EPILOGUE
Matahari pagi terasa hangat di wajah semua yang hadir di tempat retreat yang terpencil itu. Jumlah mereka tidak lagi sebanyak sebelumnya, karena sebagian besar orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing, setelah tidak ada lagi ancaman marabahaya di Kota. Namun, bagi Ridwan dan Emma, hari ini merupakan hari yang istimewa. Ridwan mengenakan setelan jas yang bersih, ia hanya memakai kemeja biasa di baliknya. Jas pinjaman, ia tidak mempunyai banyak baju selama perjuangannya selama sebulan itu. Emma juga hanya mengenakan gaun pengantin putih yang sederhana, dengan slayer.
Namun, Ridwan terlihat sangat tampan. Dan Emma seperti seorang bidadari, kecantikannya bersinar walau hanya memakai make-up seadanya. Ia cantik dengan tubuh dan kulitnya, dengan matanya, dengan senyumannya. Mentari pagi dan bunga-bunga bermekaran, di udara pagi yang sejuk, dan suasana hening yang indah. Seorang pendeta dipanggil untuk melaksanakan upacara pernikahan itu, ia mau hadir seminggu sebelumnya, memberikan konseling dan pelajaran rohani kepada pasangan calon pengantin.
Pernikahan adalah mandat dari Tuhan, dikuduskan dalam Tuhan yang menjadikan manusia berpasangan. Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya, sehingga mereka menjadi satu daging. Dosa sudah memisahkan manusia dari Tuhan, tapi oleh anugerah, melalui Anak Tunggal Allah, manusia bisa kembali bersatu dengan Allah, dan bersatu sebagai keluarga dalam Allah. Demikianlah pendeta berkotbah, dan setelah itu ia memberkati kedua pengantin. Para hadirin bertepuk tangan ketika Ridwan membuka slayer Emma, dan mencium isterinya.
Danan dan Renggani saling berpelukan memandang pernikahan sahabat mereka. Renggani masih merasa sedih karena Dedi tidak hadir di sini, pasti ia gembira dengan pernikahan Ridwan dan Emma. Dedi tidak akan pernah melihat sinar matahari lagi, walau sukmanya kini telah menyatu dengan Renggani.
Ah, barangkali, Dedi juga masih hadir di sini, turut tersenyum melihat pernikahan itu melalui mata dan senyuman Renggani yang cantik.
Anindya dan Jill berdiri jauh-jauh, mereka tidak begitu menyukai pernikahan Kristen. Danan menghampiri teman dari India ini.
"Tidak mendekat ke sana?" tanyanya ringan.
"Ah... Tidak lah. Kami mengikuti prinsip Arya Samaj, sepenuhnya kami mengikuti kitab Weda... Ajaran Kristen tidak sepenuhnya cocok dengan Arya Samaj," jawabnya acuh tak acuh.
"Bukankah.... Bukankah kekristenan dan Arya Samaj sama-sama mengutamakan kebenaran? Sama-sama berusaha mencari pengetahuan, dan membebaskan orang dari tahayul dan kasta-kasta?" tanya Danan.
"Yaaa.... Tapi tidak sama. Apakah yang engkau percayai, Danan?"
"Hmm... Aku tidak yakin. Ajaran dari agama Hindu banyak diberikan, tapi aku tidak memahami banyak hal. Seperti, bagaimana mungkin Dewa Brahma yang Pencipta, itu terlahir dari pusar Dewa Wisnu? Lalu ketika mereka berkelahi, keduanya dihentikan dan ditundukkan oleh Dewa Siwa, yang menjadi Penghancur? Sedangkan Dewa Brahma adalah yang menciptakan segala sesuatu!
Jadi, siapakah yang menciptakan Siwa, dan Wisnu, dan Brahma?
Siapakah yang menciptakan segala sesuatu, termasuk para Dewa?" tanya Danan.
"Arya Samaj mengajarkan bahwa ada Tuhan yang menciptakan, termasuk para Dewa. Tuhan yang tidak bernama, tidak berbentuk, tapi mempunyai kepribadian, menilai benar dan salah. Hanya Dia saja yang sesungguhnya layak untuk disembah," jawab Anindya dengan khidmat.
Danan menggelengkan kepalanya. "Aliran Hindu dirimu sungguh berbeda," katanya halus.
"Dayananda Mission memang berbeda. Kami mengajarkan kesetaraan, kami tidak setuju dengan purana dan tulisan yang membuat kasta, serta banyak hal tidak masuk akal lainnya itu. Namun, memang akibatnya kami dibenci. Guru kami, Dayanand Saraswati, mati dibunuh dengan cara diracun. Tapi, kami terus mengembangkan ajarannya.
Kini kami membawa banyak orang mengerti ajaran Weda, tanpa harus melihat kasta. Siapa saja boleh belajar agama Hindu yang sebenarnya," kata Anindya. Ia nampak cukup senang bisa membagikan tentang misi dan organisasinya. Itulah yang membuat orang bule seperti Jill, Richard, dan Rorty bisa berada bersama mereka.
"Tapi... Nampaknya kalian juga tidak berkeberatan dengan telanjang," kata Danan sambil menggoda. Ia mengingat bagaimana indahnya tubuh Anindya yang bertelanjang bulat, setelah memainkan sape untuk musik ritual yang sangat erotis.
"Haha... Konon, Maharishi Dayananda Saraswati juga biasa bertelanjang bulat, atau hampir telanjang," jawab Anindya. Danan mengangkat alisnya. Betapa mudah bagi sekelompok orang untuk menikmati persenggamaan begitu saja. Tapi, mau bilang apalagi? Bahkan lingga yoni yang menjadi lambang, itu juga merupakan gambaran penis yang menancap di vagina, walaupun dibentuk dengan cara simbolik.
Upacara pernikahan sederhana itu selesai. Danan mengajak Renggani untuk memberi selamat kepada kedua mempelai. Ia terus menarik Renggani, kembali ke bungalow tempat mereka tinggal berdua. Renggani mengetahui, merasakan juga gairah birahinya naik karena mengikuti upacara nikah itu. Memandang kedua mempelai berciuman dengan penuh cinta, membuat Renggani juga ingin bercinta.
Hanya dibutuhkan waktu setengah menit untuk menjadi telanjang bulat di depan Danan. Tubuh yang indah semampai, halus, dengan dada yang membulat. Putingnya merah, tegang. Danan dengan lembut mencium, lalu menghisap puting indah itu bergantian, kiri dan kanan. Renggani mendesah. Danan terus melepaskan seluruh pakaiannya, bugil. Ia memandang Renggani yang kini berbaring di ranjang dengan sprei putih. Pahanya mengangkang lebar. Memeknya merah basah, merekah. Renggani selalu menginginkan kontol keras itu masuk memeknya.
Danan memenuhi hasrat isterinya, ia mencium bibir Renggani, seraya memasukkan batang keras kontolnya ke dalam memek Renggani. Seperti lingga menancap pada yoni, keduanya bergerak berirama, mengarungi lautan birahi dengan kekuatan dan kepastian cinta. Ini sesuatu yang juga dicapai oleh Siwa dan Parwati. Dan siapakah yang menciptakan kenikmatan cinta seperti ini?
oooOOOooo
Ki Gondolangit malam itu menatap asap dupa dengan mata tuanya. Sesosok tubuh muncul, besar dan mengerikan, itulah Batari Durga. Dalam kepercayaan yang dimilikinya sebagai orang Jawa, Ki Gondolangit melihat Batari Durga sebagai monster besar yang mengerikan. Batari Durga adalah raksasa yang sebelumnya merupakan Dewi Umi, nama lain dari Dewi Parwati. Demi Umi dikutuk oleh Batara Guru karena berselisih, sehingga menjadi Durga, yang terus melahirkan Batara Kala.
Dalam penglihatan Ki Gondolangit, Batari Durga sangat, sangat murka. Kakek tua yang usianya lebih dari 90 tahun itu terbungkuk-bungkuk ketakutan.
"Nyi Kinarah sudah menghancurkan karyaku! Engkau harus menanggung salah karena menghadirkan Kinarah!" desis Batari Durga.
Keesokan paginya, orang-orang desa menemukan Ki Gondolangit sudah tidak bernyawa, dalam keadaan duduk bersila dan mata membelalak, tidak mau ditutup. Mantri desa mengatakan mungkin jantung tuanya sudah tidak kuat. Tapi orang-orang desa meyakini hal lain... Dan mereka tidak tahu apalagi bala yang akan menimpa desa. Siapa lagi perempuan yang harus menjadi tumbal?
oooOOOooo
Amel menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa malu, merasa rusak, juga bingung. Ia tidak dapat mengingat bagaimana semuanya dimulai, tetapi hal inilah yang disadarinya: kini ia sudah tidur dengan Yuyung, juga dengan Rian, Hari, Solihin, hampir seluruh anak laki-laki dikelas. Demikian juga dengan Fanny, Sita, Ratna, Dewi, hampir semua anak perempuan. Mereka telah berkali-kali berganti pasangan, ngentot kiri dan kanan.
Sampai dua minggu lalu, mereka masih menikmati permainan di mana anak perempuan di kelas tidak memakai celana dalam, dan pada saat jam istirahat yang perempuan duduk di atas kontol mengacung anak-anak lelaki, berlomba siapa yang lebih cepat mampu meremas kontol dengan memek, sehingga lelaki itu ejakulasi. Guru-guru mulanya marah, tetapi sejak Pak Andre juga ngentot dengan anak-anak perempuan, kini guru juga mengambil bagian dalam aktivitas ngentot.
Semua guru, tidak terkecuali, sudah ngentot. Entah bagimana mulainya. Baik guru yang muda seperti Pak Andre, Ibu Elly, atau guru tua seperti Pak Herman dan Ibu Setyowati. Mereka mengajar, tapi juga ngentot. Guru lelaki menancapkan kontolnya ke murid-murid perempuan. Sedang murid laki-laki menancapkan kontol mereka ke memek ibu guru, yang mengangkang di kursi guru, di depan, sebagai hukuman.
Anak-anak laki dihukum dengan ngentotin guru? Banyak yang dengan sukacita dihukum! Tapi kalau sudah begitu, anak-anak yang tidak tahan mendengar erangan guru perempuan dientot, mereka sendiri terus membuka celana dalam, mengangkat rok abu, lantas mencari kontol siapa saja untuk diduduki, menikmati memek mereka digaruk kuat-kuat oleh kontol muda dan keras.
Tapi itu semua dua minggu lalu. Hari ini, semua datang kembali sebagai ingatan yang blur, tidak jelas, tapi pasti sangat memalukan. Perempuan macam apa yang melakukan ini?
"Amel? Kenapa....?" tanya Yuyung prihatin. Padahal, diam-diam ia sendiri sedang mengingat bagaimana sudah bersikap cabul luar biasa.
"Kita sudah gila, Yung.... kita sudah melampaui batas... Gua... Gua gak tahu bagaimana bisa ngomong sama orang tua," katanya sambil menangis. Yuyung duduk di samping Amel, mengelus kepala kekasihnya.
"Kita semua melakukannya, Mel... Kita sudah... Ya mau apa lagi?
Jujur aja, gua suka, gua menikmatinya Mel... Ngeseks sama kamu itu... Selalu istimewa buat gua."
"Walau kamu tahu gua juga ngentot sama semua anak laki di kelas?"
"Gua juga ngentot sama hampir semua anak perempuan di kelas."
"Elu nggak ngerasa.... Gua kayak perek? Gua rusak?"
"Kalau itu dibilang rusak, Mel... Gua juga rusak. Lalu gimana?
Gini Mel... Gua tahu ini salah. Dan gua pikir, gua nggak akan ngeseks dengan perempuan lain.
Gua hanya mau ngeseks sama elu, Mel... Gua cinta sama elu.
Soalnya ngeseks sama orang lain, toh tidak ada bekasnya juga. Kenyataannya, tempik elu kan tetap sama walau dimasukin banyak titit. Dan titit gua tetap sama walau masuk ke banyak tempik."
Amel memeluk Yuyung. Menangis sejadi-jadinya. "Kita ini sudah jadi gimana, kok ngobrol kayak gini Yung?! Kita udah kayak gimana?!"
"Gua nggak tahu Mel.... Tapi yang udah lewat, ya udah lewat. Nggak bisa dibalikin.
Hanya sejujurnya, setelah gua tahu ngeseks, gua ngerasa terus membutuhkan seks, Mel. Elu ngerasain juga?"
Amel mengangguk kuat-kuat di dada Yuyung. Itulah hal terberat yang menghantuinya, bahwa setelah mengerti semua kegilaan ini, ia tetap menginginkan seks. Tetap ingin merasakan lelaki masuk dalam dirinya.
"Jangan tinggalin gua, Yung.... Jangan tinggalin gua.... Janji ya Yung? Janji ya?"
Tempat kost Amel yang kecil itu menjadi saksi bagaimana kedua remaja itu berciuman. Bibir bertemu bibir, lidah bermain dengan lidah. Yuyung meremas dada Amel yang hanya memakai Tshirt, tanpa memakai BH lagi. Tangan kiri Yuyung meraba selangkangan, karena Amel hanya memakai celana pendek yang longgar. Amel juga meremas penis Yuyung yang mengeras di balik celana panjang abu-abunya.
Sambil masih berciuman, keduanya berdiri, lalu melepaskan seluruh baju yang melekat. Sudah menjadi kebiasaan, keberadaan mereka berdua ada dalam ketelanjangan. Bugil. Penis Yuyung yang keras menyelinap di antara belahan bibir vagina Amel yang putih pink. Keduanya berpelukan sambil tetap berdiri, merasakan kulit bertemu kulit. Merasakan kebutuhan untuk menjadi satu.
Amel terus berbaring di kasur busa. Yuyung mengikutinya. Pemuda itu mengambil kedua kaki panjang Amel, meletakkan di bahunya. Penisnya mengarah ke vagina yang basah merekah, dan kembali masuk dalam, perlahan, menekan. Sekali lagi, Amel merasa didorong naik ke awang-awang, nafasnya menjadi cepat, berburu dengan kenikmatan penis yang menggosok g-spot vaginanya di posisi seperti itu.
Kenikmatan ini, tidak lagi bisa diabaikan. Kebiasaan ini, tidak lagi bisa dihentikan. Entah ini benar atau salah, tubuh mereka menginginkan seks untuk tetap berjalan dengan baik.
oooOOOooo
Negeri ini perlahan-lahan pulih dari keterkejutan aksi terorisme yang membunuh banyak Jenderal. Tapi, orang-orang juga menyadari ada yang berbeda. Kini anak-anak muda tidak lagi canggung untuk berpakaian minim di tempat umum. Banyak yang tidak lagi memakai hijab. Banyak yang membiarkan baju kaus dan celana stretchnya begitu ketat menempel di tubuh, sehingga memperlihatkan lekukan hingga belahan memek nampak jelas.
Orang-orang meributkan soal moralitas dengan ketaaan pada agama, sampai ada orang-orang fanatik yang berusaha menjadi polisi moral -- mereka akhirnya diusir oleh satpam mall besera polisi. Bagaimana mau melarang begitu banyak anak muda tampil sexy saat berada di mall?
Tanpa disebutkan, tanpa pemberitaan, semua orang tahu ada sesuatu, karena hampir semua orang menyimpan rahasianya sendiri tentang seksualitas mereka. Perempuan-perempuan muda tidak lagi membahas soal keperawanan dan malam pertama -- kini kebanyakan perempuan tidak lagi perawan, kecuali anak perempuan yang usianya di bawah sepuluh tahun.
Banyak rahasia yang memalukan, karena ibu sudah ngentot dengan anak lelakinya, dan ayah sudah ngentot dengan anak perempuannya. Terasa sangat memalukan, sampai kemudian mendapati bahwa hal sama terjadi di banyak keluarga lain. Akhirnya, hal itu tidak lagi terasa terlalu berat. Bahkan, ada beberapa keluarga yang masih melanjutkan aktivitas seks di keluarga, tapi kali ini sedikit lebih cerdas dengan memakai kondom setiap kali bersenggama.
Setahun kemudian, DPR menyetujui untuk menghapuskan UU Pornografi, itu terasa munafik. Sebagai gantinya, dibuatlah Undang Undang perlindungan perempuan dan anak yang lebih ketat dan menghukum para pemerkosa dengan keras. Tetapi, kebebasan seksual menjadi hal lumrah, tidak lagi kaku. Para perempuan lebih bebas berpakaian, lebih bebas mengekspresikan diri.
Entah mengapa, sejak keperawanan tidak lagi menjadi ukuran nilai kehormatan, para perempuan membuat diri mereka lebih terhormat melalui pikiran dan perbuatan serta pilihan hidup. Perempuan yang tidak memikirkan keperawanan, malah lebih banyak mempedulikan soal bangsa dan negara dan kemanusiaan. Lagipula ketika kebebasan diberikan, anehnya, justru orang-orang lebih menghargai kesetiaan. Mereka tidak lagi menjadi munafik dengan seksualitas mereka sendiri. Tidak lagi merasa perlu menutupi gambar belahan dada sexy saat ditayangkan oleh televisi.
Tapi yah.... Siapa tahu.
Toh semua penuturan ini hanyalah fiksi.
Terimakasih bagi semua pembaca, yang sudah dengan setiap mengikuti kisah Nyi Kinarah ini.
Sampai bertemu di lain cerita!
ini Gandiwa
ini gambaran ritual Maithuna
ini penggambaran Siwa Parwati
ini linggasiwa, atau Lingam Yoni, gambaran penis lelaki (lingga) yang menancap di vagina perempuan (yoni)
ini Rumah Betang tradisional