Episode 8
Bahasa Primitif
2 0 1 2
Novia
Manusia cerdas pertama diketahui bermula dari benua hitam Afrika. Kemudian, mereka menyebar ke daratan eropa dan asia, lalu ke seluruh dunia. Lebih detail lagi, fosil manusia cerdas tertua yang dikenali sebagai
Homo sapiens terekam dari wilayah Omo Kibish di Ethiopia dalam pengukuran usia sekitar 200 ribu tahun.
Sejak penemuan itulah diperkirakan bahwa spesies
Homo sapiens, manusia cerdas berakal, muncul sekitar 200 ribu tahun lalu. Pada perjalanannya, mereka bahkan mengambil relung ekologis
Homo neanderthal sampai menyebabkan spesies itu punah. Lalu, keterangan itu ditambah lagi dengan adanya teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Kontroversi evolusi menyeruak semakin tinggi ke permukaan.
Tentu kaum agama menentang ini atas alasan yang macam-macam. Agama manapun tidak akan mau memercayai manusia berasal dari makhluk yang lain. Tidak akan bisa 200 ribu tahun lalu manusia terpisah dari kumpulan kera, dan tidak akan boleh seperti itu.
Padahal, teori, bahkan postulat sekali pun tidak mengatakan persis seperti itu. Tidak juga Darwin mengatakan manusia mentah-mentah berasal dari kera. Darwin hanya mengatakan ada kemungkinan manusia berasal dari leluhur yang sama dari kera yang ada sekarang. Dalam bukti nyatanya, bahkan masih ada jalur yang hilang dari aliran genetik manapun yang menghubungkan manusia dengan prediksi leluhurnya.
Maka, tidak perlu dikontra pun leluhur manusia memang bisa jadi tidak berasal dari kera. Apalagi dengan bantahan yang makin mengada-ada dan dibenar-benarkan. Pada akhirnya, semua hal di dunia memang masih harus dipelajari, bukan didebati.
Begitu juga leluhur kami, masyarakat Minangkabau.
“Habis bacaanku lah ini.” Gumamku sendiri.
Aku menghabiskan waktu hampir satu tahun mempelajari lebih jauh tentang bagaimana bisa ada kaum Padri memiliki ritual mistis seperti itu. Aku mencari dari buku, dari internet di sekolah, dari catatan, dari orang-orang, dari apapun, dan siapapun.
Makhluk itu, yang kuketahui
Si Bigau namanya, hanya terkenal sebagai pengembala babi hutan ghaib khas Gunung Singgalang. Infonya pun masih simpang siur mengenai perawakannya yang pendek, berambut seperti kera, telapak kakinya terbalik, dan macam-macam.
Si Bigau di Gunung Singgalang tidak ada bedanya dengan cerita
Orang Pendek di Danau Gunung Tujuh. Jarak kedua gunung ini berpuluh-puluh kilometer jauhnya, tapi punya legenda yang mirip. Entah kabar yang beredar dahulu membuatnya berupa-rupa atau mereka benar-benar manusia spesies lainnya yang hampir punah.
Sayangnya, info yang aku dapatkan di sini sangat terbatas. Orang-orang dusun sangat tidak tahu atau tidak mau memberi tahu. Bahkan mungkin mencoba untuk tutup mulut. Pasien-pasien yang aku susupi kepalanya juga tidak membuahkan pertambahan info yang bagus. Aku harus ke tempat yang lebih netral dan leluasa untuk mencari informasi.
“Melamun, Kau?” Mak Etek bertanya
“Sedikit.” Jawabku.
“Jadi mau sekolah ke Jawa?”.
Aku subuh ini sedang ada di dapur, melihat Mak Etek berkecimpung dengan pisang gorengnya. Sebentar lagi Mak Etek menyelesaikan kloter pisang yang terakhir dari baskom di sisi kiri tangannya.
“Jadi.” Jawabku.
“Ya, pergilah. Jadi orang hebat di sana.”
Sedikit lucu aku membayangkan dahulu ingin ke Jawa karena berawal dari kalimat asal-asalan di ruang guru. Kemudian, aku sempat ingin ke Jawa hanya supaya bisa jauh-jauh dari dusun akibat suara misterius yang menyeramkan. Kini, aku sungguh-sungguh harus ke Jawa demi mencari informasi perihal sesuatu yang misterius.
“Hasil ujian bagaimana?” Tanya Mak Etek lagi.
Ujian yang Mak Etek maksud adalah ujian saringan masuk universitas. Aku mendapatkan keuntungan melalui jalur rapor. Bahkan, guruku sangat melebih-lebihkan kalau nilaiku bisa tertinggi seprovinsi.
Tapi itu jelas tidak mungkin. Sekolahku jauh dari kota. Tidak terpandang. Aku tidak juga mengikuti kompetisi-kompetisi akademik sekolah, apalagi mendapatkan juara apapun. Ini murni hanya keinginanku saja untuk mendaftar seleksi, kalau tidak lolos tidak apa-apa.
Aku masih bisa ke Jawa dengan banyak cara.
“Hari ini muncul di koran. Nanti pagi bapak beli di
balai.”
“Berdoalah kau, Nando.”
Berita seleksi saringan masuk universitas memang tersebar di mana-mana, dari internet hingga koran harian. Tapi, karena jaringan internet masih sangat sulit di dusun ini, koran menjadi pilihan yang lebih bagus. Ada daftar kelulusan di satu halaman melalui pencantuman nomor urut pendaftaran, dan itu cukup.
“Hoaaamhh...” Aku menguap lebar.
“Masih mengantuk, kau, Nando?”
Sejenak aku terlempar dalam lamunan. Mungkin karena memang masih mengantuk.
Tidak ada kabar yang tidak tersebar di dusun. Setelah aku banyak bertanya informasi dengan banyak orang, sikap bapak dan
datuak mendadak kembali normal. Mereka kembali tidak banyak bertegur sapa. Bapak kembali menjadi cerdik pandai yang banyak memberi inovasi.
Datuak kembali sibuk dengan ayam-ayamnya.
Hanya saja, aku tidak berani bertanya lebih kepada bapak. Apalagi memberi tahu soal mimpi
Si Bigau dan suara menyeramkan yang kualami tahun lalu. Kuperhatikan bapak juga agak tidak netral dalam hal ini dan menjadi sangat subjektif. Aku pun juga tidak mau sekali-sekali berinteraksi dengan
datuak. Memang sebaiknya aku pergi mencari informasi sendiri.
“Ke luar lah, lari pagi.” Itu suara Mak Etek, memberi solusi menghilangkan kantuk.
“Dingin!
Indak!” Aku bergurau.
---
Pada akhirnya aku lari pagi juga.
Garis merah dari langit mulai terlihat. Gunung Singgalang tampak kokoh menjulang. Puncaknya tertutupi kabut pagi, namun punggung gunungnya mulai kemerahan dihujani warna merah cahaya matahari.
Meski begitu, jalan dusun masih gelap terhalang bayangan bukit. Dingin yang menusuk masih terasa di ujung-ujung jari dan hidung. Berlari pun belum cukup untuk memberi kehangatan meski sudah berjauh-jauh lari dari rumah.
Dari mulutku masih terhembus uap air yang tebal. Orang-orang disekelilingku yang mulai sibuk pun masih mengenakan jaket tebal. Hanya aku yang segila ini berlari pagi menggunakan kaus selapis.
TIIN.. TIIIN.. Suara klakson motor.
Dia yang membunyikan klakson itu mengagetkanku. Dia si perempuan anak bungsu
datuak. Dia Novia.
“Tumben
nian lari pagi.” Novia tertawa kecil.
“
Iyo” Kubalas singkat.
Tidak ada yang perlu dibahas panjang-panjang dengan Novia. Tidak ada topik yang penting, tidak juga dengan kepentinganku yang memang harusnya hanya berlari pagi sendirian.
“Ayo naik.” Ajak Novia ke motornya.
“Lagi olahraga.” Aku menolak.
“Sebentar.”
Novia memaksa. Lalu, karena aku sedang tak minat berdebat, maka kuiyakan saja maunya. Lagi-lagi.
Perempuan satu ini kemudian mengendarai motor seenaknya. Jalan berlubang dia lawan juga, kadang batu pun dia lewati. Anjing dan ayam tidak diizinkan menyeberang terlebih dulu sebelum motornya yang lewat. Aku bertanya dalam hati bisakah dia mendapatkan SIM suatu hari nanti kalau masih membawa motor seperti ini.
Laju motor yang dibawanya berakhir di
balai, tepat di barisan tempat makan dan sarapan bermenu Jawa. Suasananya sudah setengah ramai di sini, tapi Mak Etek belum juga datang diantar bapak untuk membuka dagangannya. Untungnya, ini justru jadi bagus, karena aku tidak ingin terlihat sedang berdua dengan Novia.
“Hari ini pengumuman kan?” Novia memasang standar samping untuk motornya.
“
Iyo.” Jawabku singkat.
“Kutraktir sarapan khas Jawa.”
Alisku mengernyit sedikit. Tidak sebiasa ini Novia berbaik-baik kepadaku. Aku curiga pasti ada maunya seperti yang dulu-dulu. Kutebak setelah ini dia akan meminta yang aneh-aneh, tinggal tunggu waktu.
“Sate jawa belum buka, martabak juga...” Novia sibuk mencari-cari pedagang yang membuka dagangannya sepagi ini.
Aku masih berdiri di samping motornya. Aku pandangi motor barunya, pasti milik
datuak. Kudengar orang tua itu baru mendapat permintaan besar dari pasar di tepian kota Padang untuk pasokan daging ayam. Maka dari itu,
datuak menambah lahan kandang ayamnya di samping sawah sejak minggu lalu. Motor itu mungkin sekali berasal dari hasil perbesaran usahanya.
Buatku, ini hal bagus karena
datuak makin sibuk. Semoga terus begitu supaya dia sering bersama ayam-ayamnya dan tidak mengangguku lagi.
“Nah,
ado lontong sayur di sana.” Novia memanggilku lagi.
“Lontong sayur
biaso lah.” Balasku
Aku tahu lontong sayur identik dengan masyarakat betawi. Tapi, di sini, lontong, irisan labu siam, bersama potongan daging ayam juga sudah sering dimasak orang-orang. Bumbunya yang cenderung pedas cukup cocok di lidah orang Minang sehingga tidak asing lagi.
Di sana, Novia bersikeras mengajakku ke tempat makan lontong sayur. Itu memang disebabkan karena tidak ada lagi tempat makanan yang buka. Salah sendiri mengajak makan di waktu pagi-pagi buta.
Setelah dia memesan, kami duduk berhadap-hadapan di salah satu deretan meja berlapis terpal merah. Di antara kami berdua, ada jejeran tisu, sendok, garpu, sambal, dan saus. Kugunakan barang-barang itu sebagai pengalih karena Novia tak lepas melihat mukaku dari tadi.
“Hari ini benar pengumuman kan?” Novia memulai bicara hal yang berulang.
Aku mengangguk sambil agak kesal. Dia sudah menanyakan itu tadi.
Lalu sepi.
“Habis ini temani main ke sawah ya.” Ajaknya.
"
Apo?!"
Enak betul bicaranya Novia. Sebaik-baiknya aku mengisi waktu di saat libur sekolah memang bermain ke luar rumah. Tapi bukan dengan dia. Aku pun masih punya tumpukan masalahku sendiri yang lebih penting. Sementara itu, Novia masih menunggu jawabanku dengan kesadaran penuh dan antusias. Air keringatnya memberiku pertanda waspada. Kutebak dia akan kecewa berat kalau aku menolak ajakannya.
“
Indak.” Tetap kutolak.
“Ke Danau Singkarak kalau begitu.” Ajaknya lagi.
“Wih, jauh lah dari dusun.
Indak.”
“Ke pintu rimba.”
Apalagi ke pintu rimba. Sejak tahun lalu itu, sejak Novia merasa ada yang bernyanyi di dalam hutan, tidak pernah lagi aku mengabulkan permintaan asal-asalannya untuk ditemani ke pintu rimba. Pernah satu kali dia mencoba berjalan sendirian, lalu kuawasi dari agak jauh. Baru menjejak semak sebentar, rupanya dia lari kembali akibat ada seekor bunglon lewat.
Syukur dia masih takut ke pintu rimba sendirian.
"Tetap,
indak."
Sedikit-sedikit raut muka kuyunya Novia mulai muncul. Semua ajakan main darinya kutolak hingga dia kehabisan lokasi tujuan. Begitu dua mangkuk lontong sayur datang, daftar lokasi tujuan bermain pun habis dilontarkan. Lalu, tidak sesendok pun kuah makanan dia suap ke mulutnya.
Kasihan juga Novia. Aku sebenarnya memang tidak mau berlama-lama dengan keluarga
datuak sekali pun hanya sebentar. Kupegang sumpahku sejak dulu meski akhirnya Novia seringkali merengek meminta ini itu. Karena satu dan lain hal, aku jadi harus menuruti maunya. Seperti pada saat harus belajar kelompok di sekolah dan menjelajah masuk ke hutan tahun lalu.
“
Kamano lah maunya?” Novia bertanya dengan datar.
Kalau aku, aku mau belajar di tanah Jawa. Kalau bisa, kulantangkan juga keras-keras sekarang mauku ini. Tapi pasti itu bukan jawaban yang relevan dari pertanyaan yang dilontarkan Novia. Kutebak dia ingin jawaban seperti ke air terjun, ke Jam Gadang, Danau Maninjau, Danau Singkarak, atau Pantai Air Manis di kota Padang.
Novia, kubaca gerak-geriknya, mau jalan-jalan denganku. Di saat yang sama, aku tidak mau.
Lalu. datanglah seseorang ke meja kami berdua.
“
Kato Mak Etek lari pagi,
ruponyo makan di sini
pulo.”
Aku tersedak, itu bapak yang datang ke meja kami. Pasti bapak baru selesai mengantar mengantar Mak Etek ke tempatnya mengisi lapak dagangan. Sekarang, bapak sedang menangkapku jelas-jelas sedang bersama Novia layaknya sepasang yang punya rasa.
“Yasudah, ini koran, kau lihat sendiri nomormu ya. Bapak
indak hafal.” Kemudian bapak pergi bersama motornya.
Aku tahu bapak tidak marah. Bapak tidak akan marah dengan hal yang sepele. Hanya saja, aku merasa bersalah kepada diri sendiri karena tertangkap basah sedang bersama orang yang tidak pernah kumau.
Biji mataku kembali menangkap raut muka Novia. Novia juga menangkap raut mukaku yang tampaknya jelas-jelas kaget dengan kedatangan bapak. Ini tidak baik untuk aku. Tidak baik untuk Novia. Tidak baik juga untuk lontong sayur yang bisa jadi mubazir tidak dimakan.
Lepas dari kagetku terhadap Bapak, di tanganku kini telah ada gulungan koran yang baru terbit hari ini. Aku pun langsung membuka satu-satu halaman yang ada, mencari di sisi mana pengumuman itu tercantum. Begitu kutemukan, nomor-nomor kecil telah mengantri berurutan dalam kolom tulisan yang banyak.
Cukup sulit mencari nomor urutku. Tapi tak kuizinkan juga Novia melihat nomor-nomor kecil ini karena bisa membuat kami menempel berdua secara fisik. Dia cukuplah duduk di depan, menanti berita yang terlempar dari lidahku saja.
Akhirnya, di situ lah tercantum nomor identitasku, di sedikit sisi agak kanan halaman sembilan. Artinya aku akan pindah ke Jawa secepatnya. Artinya hanya tinggal menunggu waktu sebentar lagi sampai aku bisa tinggal di tanah sekeliling ibukota negara!
“Ayo lah kutemani ke Danau Singkarak!” Kataku spontan kepada Novia, sambil bahagia dan membanting koran ke meja.
Novia mengangguk. Dia pun kuberitahu keberhasilanku. Aku juga menghampiri tempat Mak Etek berdagang. Semua bahagia pagi ini karena satu kabar gembira.
---
Peradaban manusia berkembang karena tata bahasa. Baik itu bahasa tubuh, tulisan, hingga lisan. Bahasa pun tumbuh berurutan sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki komunitas manusia saat itu.
Para leluhur memulai dengan berbagai bahasa tubuh sebagai komunikasi di masa pralinguistik. Marah, sedih, takut, lapar, kuasa, senang, waspada, otoriter, merendah, bermain, birahi, sakit, kelelahan, dan semuanya diekspresikan dalam sandi yang primitif. Komunikasi itu terlampau sederhana, namun dapat dimengerti dalam komunitas yang sama.
Kemudian, bahasa secara tertulis mulai berkembang melalui simbol-simbol visual. Berawal dari simbol tunggal, kemudian ditempa lagi menjadi simbol-simbol yang berdiri majemuk layaknya sebuah kalimat. Lihat itu pada naskah ortografi Sumeria, hiroglif Mesir, hingga naskah Babilonia.
Bahasa secara fonetik pun juga berkembang dari yang tunggal menjadi yang jamak. Mulai dari suara bersuku kata sesuai dengan bunyi-bunyian yang terdengar, hingga menjadi sebuah sistem suara yang kompleks. Pada akhirnya, itulah bahasa yang dipakai untuk komunikasi saat ini.
“Hoi, Novia.”
Tapi, meski bahasa sudah berkembang lebih lama dibandingkan dengan umur anak remaja 17 tahun, Novia tidak juga bisa bicara walau sudah kupanggil-panggil.
“Novia!” Aku sampai meninggi.
Kami tadi pulang dahulu untuk bebersih badan sebelum berangkat ke Danau Singkarak. Sekarang, aku yang membawa motor milik Novia.
“Jangan melamun, ini jalan berkelok-kelok.” Kataku lagi.
Perjalanan dengan motor ke lokasi tujuan butuh waktu tempuh 2 jam lebih kalau pakai motor. Dari dusun, kami harus melintasi jalur provinsi yang membelah gunung Singgalang dan Merapi, lalu mengambil jalur ke kiri di Padang Panjang. Dari sana, masih ada satu jam lagi untuk sampai ke Danau.
Aku beberapa kali melihat tumbuhan yang unik dan aneh di sepanjang jalan. Ada anggrek di mana-mana, ada juga kantong semar sesekali menyempil di antara belukar. Itu sempat mengingatkanku dengan rombongan mahasiswa dari Bogor yang datang tahun lalu, khususnya Kak Fadil.
Sayangnya, aku tidak bisa berhenti untuk sekedar melihat-lihat. Tujuan kami masih jauh dari jangkauan. Jadi, kuceritakan saja pada Novia tentang apa-apa yang kulihat barusan di sepanjang tepi jalan. Itu juga bagus buat Novia supaya dia tidak melamun.
Aku mengambil jalur Danau lewat sebelah kiri, melalui jalan raya Ombilin. Lalu kami masuk ke jalan yang masih beralaskan tanah, bersebelahan dengan ladang, sawah, dan hutan-hutan kecil. Inilah lokasi yang disarankan oleh beberapa orang yang kutanya di jalan tadi supaya bisa melihat Danau Singkarak dari tinggi dengan latar Gunung Singgalang dan Merapi.
Orang-orang bilang lokasi ini namanya Puncak Akasia.
Tidak ada pohon akasia seperti nama tempatnya. Puncak bukit ini justru dipenuhi ilalang yang melambai dan hanya ada sedikit pohon-pohon besar. Beruntung sekarang sudah memasuki musim kemarau dan tidak ada hujan dari kemarin. Jalan tanah yang kami lewati masih kering dan mudah dilalui. Begitu juga pemandangan danau yang menjadi cerah karena berlangit biru, bukang awan mendung.
Kami di atas puncak ini, siang ini, tidak hanya berdua. Banyak juga orang-orang lain yang sedang menikmati alam Sumatra Barat. Paling banyak adalah anak-anak menjelang remaja yang baru bisa mengendarai motor. Mereka sangat ribut membicarakan macam-macam hal yang tidak kutahu. Tapi itu pasti menarik untuk mereka.
“Di sini dulu
yo.” Kataku.
“
Iyo lah” Novia turun dari motor.
Selepas dari jok motor dan jaket tebal, angin bukit yang kencang menyambut dari arah kiriku dan Novia. Rambut panjang sepunggung itu terhembus begitu indah, dan bisa-bisanya kulihat dia dengan cara pandang yang berbeda dari biasanya. Aku, baru kali ini, terpaku di atas kakiku sendiri.
“Punya kamera?” Novia menoleh.
Aku hanya bisa menggeleng tanpa mampu menjawab.
“
Kito pakai lah punyaku ini sama-sama.”
Novia mengeluarkan handphone barunya. Jelas sekali itu juga hasil dari usaha ternak ayam orang tuanya yang mendadak besar.
Kemudian, kami terlena bersama dengan rayuan gelombang permukaan Danau Singkarak. Rasanya seperti terhipnotis oleh duniawi. Di hadapan kami, air danaunya biru, berbatasan dengan bukit dan lereng yang serba hijau, lalu berbatasan lagi dengan horison langit yang lebih biru dari warna air.
Mataku masih sesekali terpaku kepada Novi. Dia hari ini tidak berantakan. Dia justru sangat rapi dan bertacap dengan baik. Tidak seperti Novia biasanya, tidak juga seperti Novia yang berbedak layaknya memakai tepung dengan cara disebar semabarangan, dan tidak juga aku sadar dia telah begitu sejak dari dusun tadi.
Dalam suasana hati yang senang begini, mudah rasanya melupakan bahwa Novia adalah anak dari sang
datuak. Mudah juga bagiku untuk tertawa bersamanya dan diabadikan melalui tangkapan lensa kamera. Lebih mudah lagi bagi Novia membuatku mengikutinya ke berbagai sudut ilalang untuk menemukan titik foto yang bagus.
Setelah tengah hari, kami turun dari bukit untuk menuju tepian danau. Makan ikan hasil dari danau di sana adalah hal yang paling sempurna untuk melengkapi hari ini.
---
Aku berhasil mengantarkan Novia kembali ke depan rumahnya tepat sebelum gelap. Itu karena Novia terlalu senang sehingga kami banyak berhenti di berbagai titik di tepi danau. Sekali lagi, aku mau karena sedang senang hati.
Aku turun dari motor milik Novia supaya dia bisa naik ke motornya sendiri. Supaya dia bisa memasukkan motornya sendiri ke dalam rumah karena
datuak asih bersama ayamnya di kandang yang ada di tepian sawah.
Tapi tidak seperti yang kuharaokan. Novia memarkirkan motornya menyamping begitu saja di hadapanku.
“Aku pulang lah
yo.” Kataku.
Tidak ada jawaban. Novia menunduk memundung. Giginya yang seharian ini dipamerkan kepada kamera tidak lagi diperlihatkan. Seolah kesenangan yang tadi dilaluinya tidak pernah terjadi.
Buatku, agak berat juga sebenarnya. Tidak pernah aku melihat Novia begitu indahnya seperti hari ini. Tidak ada Novia yang menyebalkan. Hanya ada Novia yang bercerita dan mendengarkan cerita.
“Nanti mau apa di Jawa?” Tanya Novia.
“Cari pacar.” Aku jawab.
Novia tersentak. Aku sadari itu karena kami saling tatap dalam sekejap.
“Bercanda
bae hahaha. Mau belajar lah, cari ilmu.” Jawabku sungguh-sungguh.
Sebenarnya aku juga ingin mencari informasi tentang misteri yang ada dusun ini. Tapi, belajar dan meraih ilmu juga jawaban yang benar. Maka, aku harus sungguh-sungguh di kedua hal itu.
Novia membalas jawabanku hanya dengan senyum tipis. Kuyakin, dari pengalamanku dengan pasien-pasien, masih ada beban yang tersisa di hati Novia. Ada keresahan yang nyata tentang kebisajadian jawaban yang dimulai dengan bercanda.
Benar kata Niken sejak dulu, Novia sudah lama menyimpan perasaan kepadaku. Hanya saja, aku yang terus bertahan dari benarnya kemungkinan itu. Lalu sialnya, aku justru mulai jatuh di hari ini kepada dia. Ini tidak baik. Ini tidak tepat.
“Belajar yang tekun.” Kata Novia pelan.
“
Iyo lah.” Kataku.
Lalu diam. Sepi menggerogoti kami berdua.
Di atas kepalaku, burung puntung sedang ramai-ramai terbang pulang ke sarang. Garis merah matahari terbenam juga mulai hilang dibalik Gunung Singgalang. Aku sebaiknya pulang.
“...”
Seharusnya aku memang pulang. Tapi kaki ini tertancap di tempatnya. Novia pun tidak bersuara, tapi aku bisa menangkap raganya yang berbicara supaya aku tidak pulang dulu. Supaya aku tidak pergi dulu ke Jawa cepat-cepat.
Aku tidak ke Jawa cepat-cepat, Novia. Masih ada beberapa minggu lagi aku harus ke sekolah untuk absen dan urus ini itu. Tapi, ke Jawa juga tinggal menunggu waktu. Apalah yang bisa diperbuat, Novia. Sekarang saja bicara pun lidahku kelu.
Maka mata kami melihat lekat-lekat.
Deruan nafas itu terasa mendekat.
Dan pelan.
Dan mendalam.
Inilah bahasa primitif kami berdua.
BERSAMBUNG