Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Selamat Senin semuanya hehehe.


Thx updatenya om


Itu bukannya Kak Le?

Makasih koreksinya om.


pertamax dulu boleh ya

-----------------------
thanks updatenya om @Robbie Reyes
mantab soul

ini kemampuannya itu kaya liat tipi gitu ya om? tapi ditambah ngerasain emosi yg lagi dimasukkin pikirannya?

btw, ini nanti nyambung ke inhuman series ga om?

Pernah lucid dream? Nah, kira-kira kaya begitu. Lucid dream kalau dialihbahasa kan menjadi mimpi sadar.

Unnamed Inhuman maksudnya? Nando sempat saya mention sejak Unnamed Inhuman 1 kok.
 
Pernah lucid dream? Nah, kira-kira kaya begitu. Lucid dream kalau dialihbahasa kan menjadi mimpi sadar.

Unnamed Inhuman maksudnya? Nando sempat saya mention sejak Unnamed Inhuman 1 kok.
saya ngga ngerti istilah lucid dream om, ntar cari infu dulu deh

oh, nando pernah disebut ya, wah miss saya berarti
 
Nando ada waktu bokapnya erna meninggal ya kan hu ? @Robbie Reyes
Semoga aja karakter yg di unnamed inhuman banyak nongol sebagai cameo disini, kangen sama aksi mereka heheh
 
Iya, Nando muncul waktu bokap Erna meninggal itu.

Sebelumnya, Nando juga diajak nyanyi untuk persembahan wisuda personel Unnamed Inhuman kita, tapi dia lagi di Pekanbaru. Hayoo, ngapain dia di Pekanbaru?
 
Jdi ini ceritanya berkaitan sama lucid dream ya om?
Trus ada jg astral projection itu waktu liat mobil travel kan
Apa si Nando ini seorang penjelajah mimpi
 
Episode 7
Padri


Ada banyak mekanisme tentang proses pembentukan suatu ingatan. Tahap yang paling kuingat pertama disebut penyandian, tahap itu adalah ketika penangkapan informasi melalui rekaman indra dan makna yang tersirat. Tahap selanjutnya yang paling kuingat lagi disebut sebagai pengambilan kembali, tentang bagaimana mengungkap kembali informasi dari folder-folder ingatan.

“Nando.”

Informasi yang tersimpan bisa berasal dari ruang ingatan jangka pendek dan panjang. Bedanya, kapasitas ingatan jangka pendek sangat terbatas dan seringkali terbuang. Di sisi lain, kapasitas ingatan jangka panjang tak terbatas dan bisa menyebabkan si pemilik ingatan hidup dia dua dunia, masa lalu dan masa sekarang.

“Nando!”

Semua pasienku sejak dulu datang karena mereka punya masalah dengan ingatannya. Seringkali karena lupa atau malah terlalu ingat, sehingga aku perlu memungutnya lagi dari ruang kepala mereka yag mana-mana. Masalahnya, kalau aku yang mengalami itu, sangat tidak efektif jadinya.

“NANDO!”
Iyo!” Sahutku sambil terkaget.

Itu adalah ibu guruku yang menegur karena melamun.

Aku melamun sudah sesering ini sejak kakak-kakak mahasiswa itu pulang ke kembali tanah Jawa. Ke kampusnya. Banyak hal yang tersisa dan tidak mau lepas dari ingatanku dari perjalanan mereka, salah satunya adalah bagaimana Kak Le punya pengalaman hidup seperti itu. Sesuai dengan rencana awal, aku akhirnya menutup beberapa kenangan yang bisa kututup. Selebihnya, aku tidak punya lagi cukup tambalan ingatan karena yang harus ditutup terlalu banyak.

Di hari lain, ketika kepalaku tidak diisi pengalaman Kak Le, ada kasus Novia yang sepertinya masih disembunyikan informasinya oleh bapak.

Lalu, kepada siapa aku bisa berkonsultasi? Sementara, Niken tidak pernah muncul lagi dan aku tidak tahu cara memasuki kepalanya tanpa menyentuh fisik.

“Nando, kau coba jelaskan perkembangan pada tumbuhan.” Titah ibu guru
“Tumbuhan tumbuh melalui tahapan primer dan sekunder. Pertumbuhan primer....”

Pertanyaan dasar, selalu begitu. Kurikulum biologi ini bahkan telah kubaca materinya sejak aku masuk sekolah dasar. Sejak aku mulai penasaran bagaimana kembang kol bisa tumbuh, yang membawaku mengetahui bahwa itu adalah hasil kultur jaringan dari berbagai organ yang berbeda. Hasil akhirnya, muncul kembang kol, brokoli, kubis, kubis brussel, hingga kale. Nyatanya, Brassica oleracea yang tumbuh liar di alam tidak akan berbunga ataupun berdaun selebat itu.

“Lalu apa yang membedakan perkembangan tumbuhan dan hewan, Nando?” Tanya sang ibu guru lagi.

Panjang sekali ini penjelasannya.

---


Novia

Pulang sekolah, aku kembali mencari bapak ke ladangnya. Aku menagih janji lagi yang ke sekian kalinya perihal kejadian Novia di hutan dan makhluk apa yang aku lihat itu.

Tapi rupanya bapak tidak ada di ladang.

Kamano?” Tiba-tiba Novia muncul.
“Bikin kaget, lah.” Kesalku.

Novia tidak kuacuhkan, meski dia berkali-kali menanyakan aku mau ke mana. Aku lebih baik terus berjalan dari arah ladang untuk segera pulang ke rumah. Novia semakin tidak waras dan ingin selalu mencari-cari diriku.

Novia masih mengikutiku dari belakang. Simpang yang mengarahkan dia ke rumah baru saja lewat. Aku tidak peduli dia mau ke mana. Sekali sumpah, tetaplah sumpah untuk tidak terlibat dalam keluarga datuak.

“Ayo ke pintu rimba, lah.” Novia membujuk.

Ada apa dengan Novia ini. Setelah kasusnya itu, dia justru senang membujukku untuk datang terus ke pintu rimba. Sebaliknya, aku sedang tidak ada keinginan untuk ke pintu rimba. Isi kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang banyak.

Setibanya di rumah, Mak Etek masih memasak. Begitu dilihatnya Novia ada di depan, diizinkannya juga masuk ke dalam rumah. Sementara aku kesal sendiri karena harusnya aku bisa sibuk bersama buku-buku.

Aku terpaksa harus mencari-cari informasi berulang dari buku-buku dan catatan yang seadanya. Meski begitu, meski telah kubuka berulang kali, belum ada bukti satu pun yang kutemukan tentang apa sebenarnya makhluk itu.

Terpaksa aku mencari-cari alasan.

“Tek, ado pasien?” Tanyaku ke Mak Etek.
Idak ado.”

Hari ini tidak ada pasien. Alasan apa lagi ya?

“Kalau idak ado pasien, temani aku ke pintu rimba, lah.” Novia menyambar pembicaraan.

Aku diam, kebingungan.

“Aggh..! Yasudah. Ikut, lah.” Aku menggerutu.

Novia akhirnya mendapatkan kesenangannya sendiri. Kujanjikan menunggu perempuan satu ini di dekat batu besar setengah jam lagi, dengan alasan bahwa dia harus pulang berganti baju dahulu di rumahnya.

Setengah jam kemudian, kami telah ada tepat di pintu rimba. Semaknya masih sama, pohonnya masih sama, burung-burungnya masih sama, kadalnya masih sama, semutnya masih sama. Tidak ada yang berbeda dari seminggu lalu saat kami naik ke atas hutan sana.

“Sekarang mau apa?” Tanyaku.

Novia hanya melihat-lihat. Kepala beserta badannya berputar pelan-pelan. Sepintas kubaca gerak tubuhnya seperti menikmati keindahan alam. Selanjutnya dia menjadi aneh, kubaca gerak tubuhnya justru seperti mencari sesuatu.

Tanpa dia sadari, biji mata yang tajam mencari-cari itu menuntun kedua kakinya melangkah makin dekat dengan garis pintu rimba. Semak-semak diinjaknya dengan perlahan. Selangkah hingga dua langkah dia mulai memijak anak tangga alam yang terbentuk dari akar pohon.

“Novia.” Panggilku.
Iyo.”
“Kau mau masuk ke hutan?”

Barulah dia melihat dirinya sudah berada beberapa jauh di dalam pintu rimba.

“Nando, kau idak dengar?” Novia kembali.
“Dengar apa?”
“Ada yang bernyanyi. Bagus suaranya.”

Novia menunjuk ke dalam hutan sebagai arah dari sumber suara itu. Anehnya, aku tidak mendengar apa-apa selain bising panggilan burung dan tonggeret. Saat pagi atau lebih sore sedikit biasanya memang ada suara simpai dan siamang bersahut-sahutan, tapi bukan orang bernyanyi-nyanyi.

Apalagi aku sering ke sini. Tidak sering kulihat orang lain datang ke sini selain aku sendiri.

“Ayo pulang, lah. Melantur kau. Bahaya.” Kataku.

Kutarik tangannya supaya kami cepat-cepat keluar dari semak ini. Tindakanku barusan rupanya dibaca lain oleh Novia, karena dia mengenggam tanganku erat dan punya balasan makna lain. Aku tahu, karena matanya dari tadi tak lepas menatapku.

Tiba-tiba terdengarlah suara asing yang berbisik dari seluruh penjuru pepohonan... “Anta gadih iko.”

---

Kapasitas ingatan jangka pendek sangatlah terbatas. Akan sangat rugi kalau ada ingatan yang dibuang, padahal penting. Misalnya hasil belajar semalam suntuk untuk ujian besok hari.

Di sisi lain, kapasitas ingatan jangka panjang sangat tidak terbatas. Akan sangat rugi kalau ada ingatan yang tersimpan, padahal maknanta tidak menyenangkan. Misalnya, ditelanjangi di tengah kelas karena kena hukuman.

Untuk memindahkan informasi dari ingatan jangka pendek ke dalam ruang jangka panjang, butuh penyandian yang melibatkan lebih banyak indra, makna, dan waktu. Di sisi lain, untuk melupakan informasi dalam ingatan jangka panjang yang tidak dibutuhkan hampir mustahil, kecuali ada intervensi ingatan atau manipulasi.

Menutup informasi dengan informasi yang lain, seperti yang kulakukan kepada banyak pasien, itulah intervensi. Tidak permanen tentunya, melainkan untuk membiaskan yang telah terjadi. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan itu untuk diri sendiri karena sejak awal kutahu mana informasi yang asli dan palsu.

Jadi, makhluk itu dan suara tadi siang di pintu rimba, tidak mungkin bisa kulupakan. Indraku telah bekerja untuk menangkap informasi itu beserta makna dan momennya yang menjadi sangat terngiang. Tidak butuh pengulangan untuk membuatnya tersimpan di ingatan jangka panjang secara instan.

Ini kengerian yang tidak biasa bagiku. Tidak sama seperti cerita hantu anak-anak ataupun rumor yang biasa beredar dari kepala ke kepala. Kuputuskan aku harus pergi dari dusun ini secepatnya karena kengerian makin terjadi di dusun ini.

“Nando, kemarilah.” Panggil bapak.

Setelah makan malam, bapak mengajakku ke depan rumah. Suasana gelap, sepi, dan dingin di luar rumah memberi kesan seram. Apalagi malam ini tidak berbulan. Apalagi aku sedang mengalami kengerian yang bertubi-tubi.

“Kau masih penasaran?” Bapak menyalakan rokok kreteknya.

Aku mengangguk. Lalu, aku memantapkan posisi dudukku hingga yang ternyaman.

“Soal makhluk yang kau lihat, iya?” Tanya bapak lagi.

Bapak menghembuskan kepulan asap ke depan mulutnya. Gerak bibirnya mulai membuatku bergidik ngeri. Setelah apa yang kualami sendiri, ini momen yang justru sangat amat menyeramkan untuk mengetahui apapun jawaban itu.

“Pak!” Aku memotong duluan.

Aku menghela nafas. Aku tidak bisa menahan informasi ini sendirian, atau aku bisa gila.

“Itu.. aku bikin kopi dulu. Dingin di sini.”

Nyatanya aku tidak berani.

Setelah dua gelas kopi dan pisang goreng tersaji, bapak mulai mengisahkan seorang yang dianggap pendahulu kami di tanah Minangkabau. Seorang dari kaum adat dari masa Pagaruyung yang memerangi kaum Padri. Selama lebih dari 30 tahun berperang, kesalahan akhirnya dibuat kaum adat karena meminta bantuan belanda, lalu membuat kerajaan Pagaruyung runtuh dikuasai kolonial.

Dari cerita itu, ada penyesalan dari seorang di antara kaum adat yang takut ikut berperang dan takut juga mati. Kemudian, dia lari ke Bukittinggi untuk menghindari kelompok Imam Bonjol karena ketakutan dikira membelot, tapi di sana sudah dibangun pula benteng Fort de Kock milik Belanda sehingga dia menjadi tidak punya tujuan pelarian.

“Jadi dia lari ke sini?” Tebakku.
“Kabarnya, ke hutan di atas itu.” Tunjuk bapak ke arah pintu rimba.
“Kenapa bukan ke Singgalang?”
“Ke Singgalang harus melewati jalan Belanda. Di masa itu, daerah ini sunyi senyap.”

Aku mencoba mencerna. Bapak kembali bercerita.

Seorang itu kabarnya membawa anak gadis. Rumor yang beredar gadis itu adalah putrinya, namun rumor lain mengatakan itu adalah tawanan putri Pagaruyung yang hilang terhapus dari sejarah. Entah mana yang benar, tapi kisah itu kini menjadi legenda yang selalu disembunyikan oleh para kepala desa secara turun temurun.

“Kenapa disembunyikan?”

Aku heran.

“Rumor bilang mereka berdua mati di hutan sana. Tapi mereka sempat melakukan ritual adat yang tidak baik. Hasil akhirnya, itulah makhluk yang kamu lihat kemarin.” Tutur bapak.

Adat basandi syarak... Apalah lanjutannya. Aku paham itu. Tapi, menyembunyikan sejarah sangatlah tindakan yang abu-abu. Dampaknya sangat berakibat pada masa kemudian. Seperti makhluk itu, pada akhirnya banyak orang yang takut ke dusun ini, naik ke hutan, karena ada makhluk itu.

Bagaimana aku bisa luput dari informasi ini. Buku dan catatan mana yang aku lewatkan. Ini sangat misterius. Pantas datuak juga selalu menakutiku untuk tidak pernah main ke hutan.

---

Tengah malam ini aku gelisah. Sangat gelisah. Perutku rasanya mual. Kepalaku sakit. Mataku berkunang-kunang. Badanku lunglai. Harusnya, ini tanda-tanda manusia mengalami ulkus lambung atau maag. Tapi aku sudah makan malam tadi, rasa-rasanya tidak mungkin aku sakit seperti itu.

Perasaanku masih tadi enak dengan cerita bapak. Masih ada yang mengganjal dalam sejarah itu. Seperti ada yang tidak benar, tapi apa. Benteng Fort de Kock? Bukittinggi? Si kaum adat yang penakut? Putrinya kah? Atau putri dari Pagaruyung?

Lalu... tanpa tanda apa-apa...

Aku mengalami kejang...

Semua, pandanganku, memutih...

Sekilas kemudian, dari keburaman dan kekosongan, latar belakang putih itu menjadi biru gelap, lalu semakin gelap, lalu menjadi hitam. Aku tahu, ini dimensi yang ada di dalam kepalaku. Tapi aku kebingungan karena aku terhempas sendiri tanpa melakukan kontak fisik atau apa-apa. Kejadian ini di luar kehendak.

Aku masih ingat sedang berada di kamarku sendiri dan kondisinya sedang tengah malam. Aku sedang tidak enak badan. Malam ini adalah di bulan Juli tahun 2011. Tadi pagi puncak gunung Singgalang cerah tanpa awan. Sekolah sedang belajar tentang materi biologi pertumbuhan dan perkembangan.

Aku ingat semua yang nyata. Aku pasti bisa keluar dari sini sesingkat mungkin. Jadi, aku mencoba sadar dan menarik diriku lagi ke alam nyata.

Tapi tidak. Aku tidak bisa keluar.

Di ruangan tempatku berada, semuanya menjadi semakin hitam. Aku rasa aku masih punya tangan, namun bahkan tidak bisa kulihat. Ini sangat hitam dan gelap. Di sini juga tidak ada siapa-siapa. Tidak ada personifikasi manusia, hewan, tumbuhan, cendawan, kapang, amuba, kutu putih, atau bahkan angin, air, petir, panas, dingin. Ruangan ini hampa bahkan hanya untuk sekedar suara.

Jangan-jangan aku sudah mati.

Hingga akhirnya terdengar sayup-sayup sepasang manusia sedang berbicara satu sama lain. Satu orang suara laki-laki. Satu orang suara perempuan. Keduanya menggunakan bahasa minang lampau. Aku cukup bisa memahami apa yang mereka bicarakan meski tutur bahasanya aneh.

“Dinda, ini yang terakhir.” Suara si laki-laki.
“Aku takut.” Suara si perempuan.
“Orang padri dan orang adat harus menyatukan keringatnya.”
“Ini salah.”

Ada dengusan nafas dari sang laki-laki sebelum dia melanjutkan kata-katanya lagi.

“Ini supaya negeri kita cepat lepas dari VOC.”
“Salah siapa bersekutu dengan VOC!” Si perempuan meninggi.

Perdebatan di antara mereka sangat sengit. Aku berusaha memahami pelan-pelan dari percakapan kedua suara tersebut untuk mengetahui aku sedang berada di latar mana. Penyebutan kata-kata padri dan adat dalam dialog mereka agak kuingat.

Itu dia! Sangat segar bahwa bapak baru saja menceritakan satu kisah setelah makan malam tadi. Satu laki-laki berasal dari kaum adat. Satu perempuan yang asal-muasalnya masih misteri.

Pelan-pelan, latar hitam di atas kepalaku menjadi lebih berwarna. Tidak terang, tapi cukup memberi suasana remang di bawah terang bulan. Aku menyeringai kaget bahwa rupanya aku sedang berada di hutan lokasi penelitian kakak-kakak dari Jawa kemarin. Aku ingat ada pohon besar yang batangnya melengkung di dekat tenda saat kami hendak bermalam. Di batangnya menempel banyak lumut, pakis, hingga anggrek yang berjejer-jejer. Daun pohonnya sangat berada tinggi di atas kepala, dan aku tidak tahu nama spesiesnya.

Suara sang laki-laki dan perempuan terdengar dari sisi pohon yang lain dibaliknya. Di situ lah Novia mengalami kejadian yang membuatnya pingsan. Maka, aku berjalan menghampiri suara itu.

Aku melihat mereka di atas tikar dan dupa sedang duduk berhadap-hadapan. Kedatanganku bahkan tak menganggu kekhusyuan mereka yang berbebat tiada henti. Berarti aku benar-benar sedang ada di dalam kepalaku sendiri. Bukannya sudah mati atau pun terkirim ke zaman dahulu.

“Dinda mau melakukan atau tidak?” Tanya si laki-laki.

Si perempuan menggeleng.

“Sekarang Belanda dan orang-orang Padri sama-sama mencari kita. Hukumannya pasti berat, Dinda.” Si laki-laki terus melakukan persuasi.

Si perempuan masih menggeleng.

"Dinda mau kena cambuk seratus kali?" Terusan kalimat si laki-laki

Beberapa jurus kalimat kemudian, si perempuan akhirnya luluh juga . Demi perdamaian padri dan adat sebagai alasannya. Demi perginya Belanda dari negeri Minangkabau. Demi Tuhan. Demi apapun. Akhirya dia rela apa yang diharuskan sejak awal. Menyatukan keringat. Itu artinya mereka mau bersetubuh. Di sini.

Dengan canggungnya mereka, kulihat sepasang manusia meraba-raba akan kemungkinan memulai dari mana. Mulut mereka malu-malu terpaut satu sama lain. Baju kurung sang perempuan mulai disampirkan. Begitu pula baju gunting sang laki-laki. Tidak ada yang bisa dibandingkan antara masyarakat dahulu dengan sekarang. Semua serba apa adanya, termasuk untuk sepasang manusia di hadapanku. Tidak juga kulitnya yang sehalus dan seputih perempuan-perempuan saat ini.

Aku, saat mereka melaksanakan hal gila itu, lebih memilih mengitari sekeliling. Aku melihat-lihat perlengkapan yang mereka bawa untuk sampai hutan ini. Ada makanan di sana, ada sedikit pakaian ganti, bunga-bunga melati, cempaka, dan dupa.

“Nnhhh...” Lenguhan si perempuan.

Aku menoleh juga karena suara itu.

Mata sang perempuan terpejam dengan nafas yang memburu. Tidak kalah dengan sangat laki-laki yang juga sudah berkeringat meski sekarang malam hari. Beralaskan tikar, mereka melaksanakan tugas utama yang mereka sakralkan sendiri.

Diriku sudah tidak sekaget ketika berada di dalam kepala Kak Le. Mungkin karena mulai terbiasa. Mungkin juga karena rupa fisik kedua insan ini tidak begitu indah dibandingkan Kak Le dan pasangannya.

Rambut kemaluan dua pasangan ini tampak tumbuh tak terawat. Kedua kelamin mereka juga lebih gelap. Hanya suara desahan mereka yang lumayan serupa. Kupikir, apapun bentuknya, kegiatan semacam ini sepertinya memberikan respon sensorik yang sama saja.

Keduanya pun menyatukan keringat ala kadarnya. Tidak ada gerakan pinggul liar meski nafas sama-sama memburu. Tidak pula ada pergantian posisi tubuh. Mereka hanya saling menempelkan badan dengan gerakan yang terbatas, di mana sang laki-laki menindih perempuannya.

Sementara itu, desir angin mendadak berubah arah. Ada yang mulai tidak beres. Aku memerhatikan langit dengan seksama. Ranting-ranting bergoyang semakin kencang. Di sana, aku melihat bayangan yang melompat dari pohon satu ke pohon lainnya beserta suara kekehan yang menyeramkan.

“AHH.. AHHH...” Sang perempuan tak tertahankan.

Kedua insan yang dilanda nafsu itu tidak peduli. Tanda-tanda kenikmatan yang mereka alami sepertinya makin memuncak. Gerakan yang berantakan dari sang laki-laki disertai cakaran-cakaran dari kuku sang perempuan menjadi tandanya. Lenguhan masing-masing dari mereka berubah menjadi teriakan.

Kedua manusia berlawanan jenis itu saling berbalas rangsangan fisik. Suara sang perempuan semakin melengking dan sang laki-laki menggeram semakin rendah. Gemertak gigi mereka sampai membentuk garis-garis otot di kedua pipi masing-masing.

Bersamaan, angin semakin kencang berhembus. Ranting-ranting pohon semakin kencang bergoyang. Kini serasah dan sedikit-sedikit butiran tanah terhempas dari permukaan diterpa angin.

“DINDA.. AAGGHH!!! Geraman sang laki-laki.
“AAAHH...”

Setelah satu teriakan panjang. Mereka berdua terkulai.

Seketika angin berhenti tanpa tanda-tanda. Tekanan udara yang tadinya tinggi sekarang menjadi sangat rendah. Suhu menjadi sedikit hangat, tapi inilah yang menyeramkan. Tidak ada-apa-apa kecuali suara kekehan suatu makhluk yang tiada henti.

Sang laki-laki kembali mengenakan baju guntingnya. Dia meminta-minta kepada suara kekehan tersebut untuk imbalan atas kegiatan yang telah mereka lakukan. Di sebelahnya, sang perempuan juga baru selesai mengenakan baju kurungnya lagi.

Awak mohon, kembalikan negeri awak damai seperti dulu.” Kata sang laki-laki.
“KEHKEHKEHKEH..” Tawa itu tidak berhenti.
“Si bigau, awak mohon...”

Suara tawa itu beredar di seluruh penjuru pepohonan. Tapi, sesosok makhluk justru muncul dari dalam tanah dengan mendadak. Dia membelah permukaan dengan kedua tangannya semudah mendorong pintu gudang.

Tubuh makhluk itu secara keseluruhan telanjang. Tapi, banyak sekali rambut-rambut lebat menutupi sekujur tubuhnya serupa kera. Hanya bagian wajahnya yang bebas dari rambut. Mata merahnya bersinar menambah kesan mistis. Aku harus menjaga jarak.

Makhluk itu tidak banyak berbicara, kecuali...

“Kalian tidak layak. Bodoh dan sesat.” Kuartikan begitu.

Dia sedikit lagi bertitah bahwa akan ada sepasang dari setiap generasi, berasal dari masyarakat setelah mereka, yang akan mendapatkan keuntungan dari kegiatan sakral tadi.

Sang laki-laki menangis berlutut memohon bantuan. Sang perempuan lemah tanpa daya. Mereka sepenuhnya telah memohon bukan kepada Tuhannya sambil berputus asa. Bahkan, aku tidak tahu siapa makhluk ini sebenarnya.

Sekilas kemudian. Dibunuhlah kedua insan itu dengan masing-masing satu tusukan di perut. Cukup dengan kuku-kukunya yang panjang, putuslah nyawa kedua manusia itu.

Tiba-tiba makhluk itu melotot dan mengarahan jarinya kepadaku!

Anta gadih iko!”

Aku mendadak terlempar dalam dimensi ruang dan waktu. Aku, bukan dalam kendaliku, diperlihatkan hal yang macam-macam.

Di masa jauh setelah perang padri, aku menyaksikan sepasang sepasang suami istri lain menjalin hubungan sukses dengan VOC dalam hal dagang. Di masa lainnya, aku menyaksikan sepasang suami istri yang menjadi tabib termahsyur. Sampai beberapa masa setelah kemerdekaan, aku menyaksikan sepasang suami istri mendapatkan beasiswa veteran untuk sekolah ke Belanda.

Semua pasangan yang kusaksikan menjadi sukses dengan kemampuan otaknya yang cerdas dibandingkan dengan masyarakat di sekitar.

Mungkin itu yang dimaksud sang makhluk tadi. Sepasang dari masyarakat setelahnya setiap generasi. Mungkin itu juga yang menyebabkan sang perempuan yang rumornya putri dari Pagaruyung yang dihapus dalam sejarah. Karena dia sesat.

Sekali lagi, aku terlempar dalam dimensi ruang dan waktu yang tak dapat kukendalikan sendiri.

Sekarang aku sedang terbaring di atas ranjang yang sangat empuk. Di atas kasur yang sangat berbeda dengan kasur kamarku. Temaram lampu berwarna jingga menampar mataku. Suhu dingin ruangan yang sepertinya adalah kamar mewah menusuk kulitku.

Wajah Novia tiba-tiba ada tepat di depan mata. Dia lebih dewasa dari kelihatannya. Terlebih, dia sedang... naik di atas tubuhku dan berguncang-guncang.

Aku menoleh ke kiri. Ada makhluk itu di sisi ranjang.

Anta gadih iko!” Dengan nada menyeramkan.
“HAAAA!!!”

Aku loncat dari kasurku sendiri. Dalam keringat yang membanjir, kuperhatikan seisi kamar. Tidak ada lampu jingga. Tidak ada suhu dingin buatan. Tidak ada ranjang empuk. Tidak ada Novia Semua normal dan ini sangat nyata.

Lebih penting lagi. Celanaku kini basah dan lengket.

BERSAMBUNG
 
Thx updatenya om

Waduh mimpi basah Nando dengan Novia...
Itu gambaran masa depan ato sekedar mimpi basah biasa...? ;)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd