Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Episode 8
Bahasa Primitif


2 0 1 2


Novia

Manusia cerdas pertama diketahui bermula dari benua hitam Afrika. Kemudian, mereka menyebar ke daratan eropa dan asia, lalu ke seluruh dunia. Lebih detail lagi, fosil manusia cerdas tertua yang dikenali sebagai Homo sapiens terekam dari wilayah Omo Kibish di Ethiopia dalam pengukuran usia sekitar 200 ribu tahun.

Sejak penemuan itulah diperkirakan bahwa spesies Homo sapiens, manusia cerdas berakal, muncul sekitar 200 ribu tahun lalu. Pada perjalanannya, mereka bahkan mengambil relung ekologis Homo neanderthal sampai menyebabkan spesies itu punah. Lalu, keterangan itu ditambah lagi dengan adanya teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Kontroversi evolusi menyeruak semakin tinggi ke permukaan.

Tentu kaum agama menentang ini atas alasan yang macam-macam. Agama manapun tidak akan mau memercayai manusia berasal dari makhluk yang lain. Tidak akan bisa 200 ribu tahun lalu manusia terpisah dari kumpulan kera, dan tidak akan boleh seperti itu.

Padahal, teori, bahkan postulat sekali pun tidak mengatakan persis seperti itu. Tidak juga Darwin mengatakan manusia mentah-mentah berasal dari kera. Darwin hanya mengatakan ada kemungkinan manusia berasal dari leluhur yang sama dari kera yang ada sekarang. Dalam bukti nyatanya, bahkan masih ada jalur yang hilang dari aliran genetik manapun yang menghubungkan manusia dengan prediksi leluhurnya.

Maka, tidak perlu dikontra pun leluhur manusia memang bisa jadi tidak berasal dari kera. Apalagi dengan bantahan yang makin mengada-ada dan dibenar-benarkan. Pada akhirnya, semua hal di dunia memang masih harus dipelajari, bukan didebati.

Begitu juga leluhur kami, masyarakat Minangkabau.

“Habis bacaanku lah ini.” Gumamku sendiri.

Aku menghabiskan waktu hampir satu tahun mempelajari lebih jauh tentang bagaimana bisa ada kaum Padri memiliki ritual mistis seperti itu. Aku mencari dari buku, dari internet di sekolah, dari catatan, dari orang-orang, dari apapun, dan siapapun.

Makhluk itu, yang kuketahui Si Bigau namanya, hanya terkenal sebagai pengembala babi hutan ghaib khas Gunung Singgalang. Infonya pun masih simpang siur mengenai perawakannya yang pendek, berambut seperti kera, telapak kakinya terbalik, dan macam-macam.

Si Bigau di Gunung Singgalang tidak ada bedanya dengan cerita Orang Pendek di Danau Gunung Tujuh. Jarak kedua gunung ini berpuluh-puluh kilometer jauhnya, tapi punya legenda yang mirip. Entah kabar yang beredar dahulu membuatnya berupa-rupa atau mereka benar-benar manusia spesies lainnya yang hampir punah.

Sayangnya, info yang aku dapatkan di sini sangat terbatas. Orang-orang dusun sangat tidak tahu atau tidak mau memberi tahu. Bahkan mungkin mencoba untuk tutup mulut. Pasien-pasien yang aku susupi kepalanya juga tidak membuahkan pertambahan info yang bagus. Aku harus ke tempat yang lebih netral dan leluasa untuk mencari informasi.

“Melamun, Kau?” Mak Etek bertanya
“Sedikit.” Jawabku.
“Jadi mau sekolah ke Jawa?”.

Aku subuh ini sedang ada di dapur, melihat Mak Etek berkecimpung dengan pisang gorengnya. Sebentar lagi Mak Etek menyelesaikan kloter pisang yang terakhir dari baskom di sisi kiri tangannya.

“Jadi.” Jawabku.
“Ya, pergilah. Jadi orang hebat di sana.”

Sedikit lucu aku membayangkan dahulu ingin ke Jawa karena berawal dari kalimat asal-asalan di ruang guru. Kemudian, aku sempat ingin ke Jawa hanya supaya bisa jauh-jauh dari dusun akibat suara misterius yang menyeramkan. Kini, aku sungguh-sungguh harus ke Jawa demi mencari informasi perihal sesuatu yang misterius.

“Hasil ujian bagaimana?” Tanya Mak Etek lagi.

Ujian yang Mak Etek maksud adalah ujian saringan masuk universitas. Aku mendapatkan keuntungan melalui jalur rapor. Bahkan, guruku sangat melebih-lebihkan kalau nilaiku bisa tertinggi seprovinsi.

Tapi itu jelas tidak mungkin. Sekolahku jauh dari kota. Tidak terpandang. Aku tidak juga mengikuti kompetisi-kompetisi akademik sekolah, apalagi mendapatkan juara apapun. Ini murni hanya keinginanku saja untuk mendaftar seleksi, kalau tidak lolos tidak apa-apa.

Aku masih bisa ke Jawa dengan banyak cara.

“Hari ini muncul di koran. Nanti pagi bapak beli di balai.”
“Berdoalah kau, Nando.”

Berita seleksi saringan masuk universitas memang tersebar di mana-mana, dari internet hingga koran harian. Tapi, karena jaringan internet masih sangat sulit di dusun ini, koran menjadi pilihan yang lebih bagus. Ada daftar kelulusan di satu halaman melalui pencantuman nomor urut pendaftaran, dan itu cukup.

“Hoaaamhh...” Aku menguap lebar.
“Masih mengantuk, kau, Nando?”

Sejenak aku terlempar dalam lamunan. Mungkin karena memang masih mengantuk.

Tidak ada kabar yang tidak tersebar di dusun. Setelah aku banyak bertanya informasi dengan banyak orang, sikap bapak dan datuak mendadak kembali normal. Mereka kembali tidak banyak bertegur sapa. Bapak kembali menjadi cerdik pandai yang banyak memberi inovasi. Datuak kembali sibuk dengan ayam-ayamnya.

Hanya saja, aku tidak berani bertanya lebih kepada bapak. Apalagi memberi tahu soal mimpi Si Bigau dan suara menyeramkan yang kualami tahun lalu. Kuperhatikan bapak juga agak tidak netral dalam hal ini dan menjadi sangat subjektif. Aku pun juga tidak mau sekali-sekali berinteraksi dengan datuak. Memang sebaiknya aku pergi mencari informasi sendiri.

“Ke luar lah, lari pagi.” Itu suara Mak Etek, memberi solusi menghilangkan kantuk.
“Dingin! Indak!” Aku bergurau.

---

Pada akhirnya aku lari pagi juga.

Garis merah dari langit mulai terlihat. Gunung Singgalang tampak kokoh menjulang. Puncaknya tertutupi kabut pagi, namun punggung gunungnya mulai kemerahan dihujani warna merah cahaya matahari.

Meski begitu, jalan dusun masih gelap terhalang bayangan bukit. Dingin yang menusuk masih terasa di ujung-ujung jari dan hidung. Berlari pun belum cukup untuk memberi kehangatan meski sudah berjauh-jauh lari dari rumah.

Dari mulutku masih terhembus uap air yang tebal. Orang-orang disekelilingku yang mulai sibuk pun masih mengenakan jaket tebal. Hanya aku yang segila ini berlari pagi menggunakan kaus selapis.

TIIN.. TIIIN.. Suara klakson motor.

Dia yang membunyikan klakson itu mengagetkanku. Dia si perempuan anak bungsu datuak. Dia Novia.

“Tumben nian lari pagi.” Novia tertawa kecil.
Iyo” Kubalas singkat.

Tidak ada yang perlu dibahas panjang-panjang dengan Novia. Tidak ada topik yang penting, tidak juga dengan kepentinganku yang memang harusnya hanya berlari pagi sendirian.

“Ayo naik.” Ajak Novia ke motornya.
“Lagi olahraga.” Aku menolak.
“Sebentar.”

Novia memaksa. Lalu, karena aku sedang tak minat berdebat, maka kuiyakan saja maunya. Lagi-lagi.

Perempuan satu ini kemudian mengendarai motor seenaknya. Jalan berlubang dia lawan juga, kadang batu pun dia lewati. Anjing dan ayam tidak diizinkan menyeberang terlebih dulu sebelum motornya yang lewat. Aku bertanya dalam hati bisakah dia mendapatkan SIM suatu hari nanti kalau masih membawa motor seperti ini.

Laju motor yang dibawanya berakhir di balai, tepat di barisan tempat makan dan sarapan bermenu Jawa. Suasananya sudah setengah ramai di sini, tapi Mak Etek belum juga datang diantar bapak untuk membuka dagangannya. Untungnya, ini justru jadi bagus, karena aku tidak ingin terlihat sedang berdua dengan Novia.

“Hari ini pengumuman kan?” Novia memasang standar samping untuk motornya.
Iyo.” Jawabku singkat.
“Kutraktir sarapan khas Jawa.”

Alisku mengernyit sedikit. Tidak sebiasa ini Novia berbaik-baik kepadaku. Aku curiga pasti ada maunya seperti yang dulu-dulu. Kutebak setelah ini dia akan meminta yang aneh-aneh, tinggal tunggu waktu.

“Sate jawa belum buka, martabak juga...” Novia sibuk mencari-cari pedagang yang membuka dagangannya sepagi ini.

Aku masih berdiri di samping motornya. Aku pandangi motor barunya, pasti milik datuak. Kudengar orang tua itu baru mendapat permintaan besar dari pasar di tepian kota Padang untuk pasokan daging ayam. Maka dari itu, datuak menambah lahan kandang ayamnya di samping sawah sejak minggu lalu. Motor itu mungkin sekali berasal dari hasil perbesaran usahanya.

Buatku, ini hal bagus karena datuak makin sibuk. Semoga terus begitu supaya dia sering bersama ayam-ayamnya dan tidak mengangguku lagi.

“Nah, ado lontong sayur di sana.” Novia memanggilku lagi.
“Lontong sayur biaso lah.” Balasku

Aku tahu lontong sayur identik dengan masyarakat betawi. Tapi, di sini, lontong, irisan labu siam, bersama potongan daging ayam juga sudah sering dimasak orang-orang. Bumbunya yang cenderung pedas cukup cocok di lidah orang Minang sehingga tidak asing lagi.

Di sana, Novia bersikeras mengajakku ke tempat makan lontong sayur. Itu memang disebabkan karena tidak ada lagi tempat makanan yang buka. Salah sendiri mengajak makan di waktu pagi-pagi buta.

Setelah dia memesan, kami duduk berhadap-hadapan di salah satu deretan meja berlapis terpal merah. Di antara kami berdua, ada jejeran tisu, sendok, garpu, sambal, dan saus. Kugunakan barang-barang itu sebagai pengalih karena Novia tak lepas melihat mukaku dari tadi.

“Hari ini benar pengumuman kan?” Novia memulai bicara hal yang berulang.

Aku mengangguk sambil agak kesal. Dia sudah menanyakan itu tadi.

Lalu sepi.

“Habis ini temani main ke sawah ya.” Ajaknya.
"Apo?!"

Enak betul bicaranya Novia. Sebaik-baiknya aku mengisi waktu di saat libur sekolah memang bermain ke luar rumah. Tapi bukan dengan dia. Aku pun masih punya tumpukan masalahku sendiri yang lebih penting. Sementara itu, Novia masih menunggu jawabanku dengan kesadaran penuh dan antusias. Air keringatnya memberiku pertanda waspada. Kutebak dia akan kecewa berat kalau aku menolak ajakannya.

Indak.” Tetap kutolak.
“Ke Danau Singkarak kalau begitu.” Ajaknya lagi.
“Wih, jauh lah dari dusun. Indak.”
“Ke pintu rimba.”

Apalagi ke pintu rimba. Sejak tahun lalu itu, sejak Novia merasa ada yang bernyanyi di dalam hutan, tidak pernah lagi aku mengabulkan permintaan asal-asalannya untuk ditemani ke pintu rimba. Pernah satu kali dia mencoba berjalan sendirian, lalu kuawasi dari agak jauh. Baru menjejak semak sebentar, rupanya dia lari kembali akibat ada seekor bunglon lewat.

Syukur dia masih takut ke pintu rimba sendirian.

"Tetap, indak."

Sedikit-sedikit raut muka kuyunya Novia mulai muncul. Semua ajakan main darinya kutolak hingga dia kehabisan lokasi tujuan. Begitu dua mangkuk lontong sayur datang, daftar lokasi tujuan bermain pun habis dilontarkan. Lalu, tidak sesendok pun kuah makanan dia suap ke mulutnya.

Kasihan juga Novia. Aku sebenarnya memang tidak mau berlama-lama dengan keluarga datuak sekali pun hanya sebentar. Kupegang sumpahku sejak dulu meski akhirnya Novia seringkali merengek meminta ini itu. Karena satu dan lain hal, aku jadi harus menuruti maunya. Seperti pada saat harus belajar kelompok di sekolah dan menjelajah masuk ke hutan tahun lalu.

Kamano lah maunya?” Novia bertanya dengan datar.

Kalau aku, aku mau belajar di tanah Jawa. Kalau bisa, kulantangkan juga keras-keras sekarang mauku ini. Tapi pasti itu bukan jawaban yang relevan dari pertanyaan yang dilontarkan Novia. Kutebak dia ingin jawaban seperti ke air terjun, ke Jam Gadang, Danau Maninjau, Danau Singkarak, atau Pantai Air Manis di kota Padang.

Novia, kubaca gerak-geriknya, mau jalan-jalan denganku. Di saat yang sama, aku tidak mau.

Lalu. datanglah seseorang ke meja kami berdua.

Kato Mak Etek lari pagi, ruponyo makan di sini pulo.”

Aku tersedak, itu bapak yang datang ke meja kami. Pasti bapak baru selesai mengantar mengantar Mak Etek ke tempatnya mengisi lapak dagangan. Sekarang, bapak sedang menangkapku jelas-jelas sedang bersama Novia layaknya sepasang yang punya rasa.

“Yasudah, ini koran, kau lihat sendiri nomormu ya. Bapak indak hafal.” Kemudian bapak pergi bersama motornya.

Aku tahu bapak tidak marah. Bapak tidak akan marah dengan hal yang sepele. Hanya saja, aku merasa bersalah kepada diri sendiri karena tertangkap basah sedang bersama orang yang tidak pernah kumau.

Biji mataku kembali menangkap raut muka Novia. Novia juga menangkap raut mukaku yang tampaknya jelas-jelas kaget dengan kedatangan bapak. Ini tidak baik untuk aku. Tidak baik untuk Novia. Tidak baik juga untuk lontong sayur yang bisa jadi mubazir tidak dimakan.

Lepas dari kagetku terhadap Bapak, di tanganku kini telah ada gulungan koran yang baru terbit hari ini. Aku pun langsung membuka satu-satu halaman yang ada, mencari di sisi mana pengumuman itu tercantum. Begitu kutemukan, nomor-nomor kecil telah mengantri berurutan dalam kolom tulisan yang banyak.

Cukup sulit mencari nomor urutku. Tapi tak kuizinkan juga Novia melihat nomor-nomor kecil ini karena bisa membuat kami menempel berdua secara fisik. Dia cukuplah duduk di depan, menanti berita yang terlempar dari lidahku saja.

Akhirnya, di situ lah tercantum nomor identitasku, di sedikit sisi agak kanan halaman sembilan. Artinya aku akan pindah ke Jawa secepatnya. Artinya hanya tinggal menunggu waktu sebentar lagi sampai aku bisa tinggal di tanah sekeliling ibukota negara!

“Ayo lah kutemani ke Danau Singkarak!” Kataku spontan kepada Novia, sambil bahagia dan membanting koran ke meja.

Novia mengangguk. Dia pun kuberitahu keberhasilanku. Aku juga menghampiri tempat Mak Etek berdagang. Semua bahagia pagi ini karena satu kabar gembira.

---

Peradaban manusia berkembang karena tata bahasa. Baik itu bahasa tubuh, tulisan, hingga lisan. Bahasa pun tumbuh berurutan sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki komunitas manusia saat itu.

Para leluhur memulai dengan berbagai bahasa tubuh sebagai komunikasi di masa pralinguistik. Marah, sedih, takut, lapar, kuasa, senang, waspada, otoriter, merendah, bermain, birahi, sakit, kelelahan, dan semuanya diekspresikan dalam sandi yang primitif. Komunikasi itu terlampau sederhana, namun dapat dimengerti dalam komunitas yang sama.

Kemudian, bahasa secara tertulis mulai berkembang melalui simbol-simbol visual. Berawal dari simbol tunggal, kemudian ditempa lagi menjadi simbol-simbol yang berdiri majemuk layaknya sebuah kalimat. Lihat itu pada naskah ortografi Sumeria, hiroglif Mesir, hingga naskah Babilonia.

Bahasa secara fonetik pun juga berkembang dari yang tunggal menjadi yang jamak. Mulai dari suara bersuku kata sesuai dengan bunyi-bunyian yang terdengar, hingga menjadi sebuah sistem suara yang kompleks. Pada akhirnya, itulah bahasa yang dipakai untuk komunikasi saat ini.

“Hoi, Novia.”

Tapi, meski bahasa sudah berkembang lebih lama dibandingkan dengan umur anak remaja 17 tahun, Novia tidak juga bisa bicara walau sudah kupanggil-panggil.

“Novia!” Aku sampai meninggi.

Kami tadi pulang dahulu untuk bebersih badan sebelum berangkat ke Danau Singkarak. Sekarang, aku yang membawa motor milik Novia.

“Jangan melamun, ini jalan berkelok-kelok.” Kataku lagi.

Perjalanan dengan motor ke lokasi tujuan butuh waktu tempuh 2 jam lebih kalau pakai motor. Dari dusun, kami harus melintasi jalur provinsi yang membelah gunung Singgalang dan Merapi, lalu mengambil jalur ke kiri di Padang Panjang. Dari sana, masih ada satu jam lagi untuk sampai ke Danau.

Aku beberapa kali melihat tumbuhan yang unik dan aneh di sepanjang jalan. Ada anggrek di mana-mana, ada juga kantong semar sesekali menyempil di antara belukar. Itu sempat mengingatkanku dengan rombongan mahasiswa dari Bogor yang datang tahun lalu, khususnya Kak Fadil.

Sayangnya, aku tidak bisa berhenti untuk sekedar melihat-lihat. Tujuan kami masih jauh dari jangkauan. Jadi, kuceritakan saja pada Novia tentang apa-apa yang kulihat barusan di sepanjang tepi jalan. Itu juga bagus buat Novia supaya dia tidak melamun.

Aku mengambil jalur Danau lewat sebelah kiri, melalui jalan raya Ombilin. Lalu kami masuk ke jalan yang masih beralaskan tanah, bersebelahan dengan ladang, sawah, dan hutan-hutan kecil. Inilah lokasi yang disarankan oleh beberapa orang yang kutanya di jalan tadi supaya bisa melihat Danau Singkarak dari tinggi dengan latar Gunung Singgalang dan Merapi.

Orang-orang bilang lokasi ini namanya Puncak Akasia.

Tidak ada pohon akasia seperti nama tempatnya. Puncak bukit ini justru dipenuhi ilalang yang melambai dan hanya ada sedikit pohon-pohon besar. Beruntung sekarang sudah memasuki musim kemarau dan tidak ada hujan dari kemarin. Jalan tanah yang kami lewati masih kering dan mudah dilalui. Begitu juga pemandangan danau yang menjadi cerah karena berlangit biru, bukang awan mendung.

Kami di atas puncak ini, siang ini, tidak hanya berdua. Banyak juga orang-orang lain yang sedang menikmati alam Sumatra Barat. Paling banyak adalah anak-anak menjelang remaja yang baru bisa mengendarai motor. Mereka sangat ribut membicarakan macam-macam hal yang tidak kutahu. Tapi itu pasti menarik untuk mereka.

“Di sini dulu yo.” Kataku.
Iyo lah” Novia turun dari motor.

Selepas dari jok motor dan jaket tebal, angin bukit yang kencang menyambut dari arah kiriku dan Novia. Rambut panjang sepunggung itu terhembus begitu indah, dan bisa-bisanya kulihat dia dengan cara pandang yang berbeda dari biasanya. Aku, baru kali ini, terpaku di atas kakiku sendiri.

“Punya kamera?” Novia menoleh.

Aku hanya bisa menggeleng tanpa mampu menjawab.

Kito pakai lah punyaku ini sama-sama.”

Novia mengeluarkan handphone barunya. Jelas sekali itu juga hasil dari usaha ternak ayam orang tuanya yang mendadak besar.

Kemudian, kami terlena bersama dengan rayuan gelombang permukaan Danau Singkarak. Rasanya seperti terhipnotis oleh duniawi. Di hadapan kami, air danaunya biru, berbatasan dengan bukit dan lereng yang serba hijau, lalu berbatasan lagi dengan horison langit yang lebih biru dari warna air.

Mataku masih sesekali terpaku kepada Novi. Dia hari ini tidak berantakan. Dia justru sangat rapi dan bertacap dengan baik. Tidak seperti Novia biasanya, tidak juga seperti Novia yang berbedak layaknya memakai tepung dengan cara disebar semabarangan, dan tidak juga aku sadar dia telah begitu sejak dari dusun tadi.

Dalam suasana hati yang senang begini, mudah rasanya melupakan bahwa Novia adalah anak dari sang datuak. Mudah juga bagiku untuk tertawa bersamanya dan diabadikan melalui tangkapan lensa kamera. Lebih mudah lagi bagi Novia membuatku mengikutinya ke berbagai sudut ilalang untuk menemukan titik foto yang bagus.

Setelah tengah hari, kami turun dari bukit untuk menuju tepian danau. Makan ikan hasil dari danau di sana adalah hal yang paling sempurna untuk melengkapi hari ini.

---

Aku berhasil mengantarkan Novia kembali ke depan rumahnya tepat sebelum gelap. Itu karena Novia terlalu senang sehingga kami banyak berhenti di berbagai titik di tepi danau. Sekali lagi, aku mau karena sedang senang hati.

Aku turun dari motor milik Novia supaya dia bisa naik ke motornya sendiri. Supaya dia bisa memasukkan motornya sendiri ke dalam rumah karena datuak asih bersama ayamnya di kandang yang ada di tepian sawah.

Tapi tidak seperti yang kuharaokan. Novia memarkirkan motornya menyamping begitu saja di hadapanku.

“Aku pulang lah yo.” Kataku.

Tidak ada jawaban. Novia menunduk memundung. Giginya yang seharian ini dipamerkan kepada kamera tidak lagi diperlihatkan. Seolah kesenangan yang tadi dilaluinya tidak pernah terjadi.

Buatku, agak berat juga sebenarnya. Tidak pernah aku melihat Novia begitu indahnya seperti hari ini. Tidak ada Novia yang menyebalkan. Hanya ada Novia yang bercerita dan mendengarkan cerita.

“Nanti mau apa di Jawa?” Tanya Novia.
“Cari pacar.” Aku jawab.

Novia tersentak. Aku sadari itu karena kami saling tatap dalam sekejap.

“Bercanda bae hahaha. Mau belajar lah, cari ilmu.” Jawabku sungguh-sungguh.

Sebenarnya aku juga ingin mencari informasi tentang misteri yang ada dusun ini. Tapi, belajar dan meraih ilmu juga jawaban yang benar. Maka, aku harus sungguh-sungguh di kedua hal itu.

Novia membalas jawabanku hanya dengan senyum tipis. Kuyakin, dari pengalamanku dengan pasien-pasien, masih ada beban yang tersisa di hati Novia. Ada keresahan yang nyata tentang kebisajadian jawaban yang dimulai dengan bercanda.

Benar kata Niken sejak dulu, Novia sudah lama menyimpan perasaan kepadaku. Hanya saja, aku yang terus bertahan dari benarnya kemungkinan itu. Lalu sialnya, aku justru mulai jatuh di hari ini kepada dia. Ini tidak baik. Ini tidak tepat.

“Belajar yang tekun.” Kata Novia pelan.
Iyo lah.” Kataku.

Lalu diam. Sepi menggerogoti kami berdua.

Di atas kepalaku, burung puntung sedang ramai-ramai terbang pulang ke sarang. Garis merah matahari terbenam juga mulai hilang dibalik Gunung Singgalang. Aku sebaiknya pulang.

“...”

Seharusnya aku memang pulang. Tapi kaki ini tertancap di tempatnya. Novia pun tidak bersuara, tapi aku bisa menangkap raganya yang berbicara supaya aku tidak pulang dulu. Supaya aku tidak pergi dulu ke Jawa cepat-cepat.

Aku tidak ke Jawa cepat-cepat, Novia. Masih ada beberapa minggu lagi aku harus ke sekolah untuk absen dan urus ini itu. Tapi, ke Jawa juga tinggal menunggu waktu. Apalah yang bisa diperbuat, Novia. Sekarang saja bicara pun lidahku kelu.

Maka mata kami melihat lekat-lekat.

Deruan nafas itu terasa mendekat.

Dan pelan.

Dan mendalam.

Inilah bahasa primitif kami berdua.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Kisah Harimau Harimau .... muncul dalam sekelebat ingatan
 
Suka bgt sama bahasanya, semoga sehat selalu dan tambah berkembang suhu amin
 
Kalo soal typo atau kata sambung mah itu tanggung jawab editor hu :D
Yang pasti kalo buat ane pribadi jalan ceritanya mengalir lancar dan bisa membuat ane terus baca tanpa ngantuk apalagi bosan.
Tetap semangat hu, semoga update lancar sampe tamat. :beer:
 
Thx updatenya om

Kalo Novia nembak Nando bakal diterima ato gak sekarang? :D
 
Gile.... berasa baca supernova, luar biasa gan, semoga lancar d8tunggu updatenya
 
Duh masih jauh dong kalo saya dibandingin sama penulis-penulis kelas. Ini aja masih ada yang typo dan kelewatan kata sambungnya hehehe.

Penulis itu cukup menuangkan ide om.... soal typo dll itu masih ada orang lain yg koreksi nantinya, jadi.... :mantap:
 
Sangar hu
Berasa kek baca novel bukan cerita esek esek
Ditunggu updatenya hu
 
Episode 9
Haru



Novia

Satuan terkecil makhluk hidup adalah sel. Di dalam sel, banyak terkumpul organel, cairan sel, dan inti sel. Di dalam inti sel itu tersimpanlah program terpenting sehingga harimau tetap menjadi harimau, bambu tetap menjadi bambu, dan manusia tetap menjadi manusia. Program itulah yang bernama DNA.

DNA merangkai gen, gen mengkode asam amino, asam amino membentuk protein, banyak protein membentuk hormon, hormon mempengaruhi segalanya. Tanpa adanya hormon auksin, tumbuhan semuanya kerdil. Tanpa hormon etilen, tidak ada buah-buahan. Tanpa hormon insulin, tidak ada tenaga. Tanpa hormon androgen, tidak ada laki-laki. Tanpa hormon, tidak ada kehidupan.

Aku begitu terus-menerus, mengulang-ulang tentang asal mula. Aku berhari-hari mencari teori tentang asal muasal segala hal. Bukan untuk mencari jawaban tentang Si Bigau atau ritual mistis si oknum Padri dan perempuannya. Tapi, aku mencari asal muasal... Cinta.

Perasaan semacam ini benar-benar datang seenaknya, dan aku menyalahkan hormon. Apa itu yang dibuat di kelenjar pituitari, yang dibuat di testis, dan yang dibuat di mana-mana di dalam tubuhku. Tubuhku menjadi serba enak merasakan kehidupan karenanya.

Semoga, sesuatu yang kurasakan ini tidak sampai membutakan. Aku akan berangkat ke Jawa besok pagi, dan kalau cinta itu membutakan, bisa-bisa aku tidak akan tau arah ke bandara.

“Siap?” Bapak bertanya.
“Dari kemarin siap.” Jawabku tegas.

Atau, aku menegas-negaskan diri sendiri.

Tidak ada barang yang terlewat untuk kubawa, semuanya sudah ada di dalam dua tas ransel ukuran 40 liter. Lagipula, isinya hanya ada buku-buku dan sedikit baju. Peralatan lainnya bisa kubeli begitu sudah dapat tempat tinggal di Jawa sana.

Aku tidak sama sekali disinggung oleh bapak soal kedekatan yang tiba-tiba dengan Novia. Tapi bapak tau banyak warga yang mulai mengangguku, apalagi diganggu oleh datuak. Kehidupan tenangku yang tersisa sekian hari kemarin tiba-tiba dirusak hampir semua orang tidak rela aku pergi ke Jawa.

Maka dari itu, aku jarang keluar rumah berminggu-minggu kemarin. Penerimaan pasien pun kututup meski banyak juga yang berkeras untuk diobati. Kecuali Novia, karena dia menjadi sering bermain ke rumah, dan aku selalu mengajaknya mengobrol di teras.

“Nando, ada Novia di depan!” Mak Etek memanggil.

Aku saling melihat dengan bapak.

“Datangi lah.” Bapak mengizinkan.
Iyo. Nando ke luar dulu.” Kataku.

Novia menjadi semakin manis dari hari ke hari. Kutatap perempuan ini dari potongan bandana hingga sendal jepit yang dipakainya. Tidak ada kebosanan bagi diriku yang sedang dimabuk hormon campur adukan ketika melihat Novia dengan tampilannya yang biasa saja.

Lebih parah lagi, darahku rasa-rasanya mendidih dan jantungku menjadi nyeri setiap Novia datang. Ada kerinduan yang pelan-pelan naik dosisnya setiap jam. Apalagi besok pagi aku sudah akan meninggalkan dusun.

Apo... kaba?” Tanyaku, kaku.

Sudah sering kami bicara. Sudah sering aku menghindarinya. Sudah sering kami duduk di teras. Tidak sering aku kehabisan nafas.

“Baik. Kau sudah packing?” Tanya balik Novia.
“Sudah.”

Harusnya aku tidak sekaku ini. Isi dadaku begitu berdebar rasanya. Tinggal beberapa belas jam lagi sampai travel menjemputku. Beberapa belas jam yang panjang kala teringat tugas besar yang menanti di depan. Kemudian, menjadi beberapa belas jam yang singkat ketika sedang bersama perempuan indah ini.

“Kau susul aku lah.” Kataku retoris.
“Sulit.” Katanya, pundung.
“Kenapa sulit?”
“Aku tidak secerdas kau.”

Di saat seperti ini di masa dulu, aku akan tidak acuh. Sekarang, jangankan kesal, membentak pun tak tega. Novia, mau tidak mau sudah menjadi kesayangan. Ada rasa senang saat mendorong dia untuk menjadi maju. Supaya mencapai cita-citanya, apalagi bisa kembali bersamaku nanti.

Masih banyak jalan untuk merantau ke Jawa demi menyicipi pendidikan berkelas. Karena, tidak ada yang lebih muluk dari setiap orang rendahan berharap bisa bersekolah di tempat dengan standar pendidikan yang tinggi. Dari sana, jalan menuju masa depan akan dianggap cerah.

“Harga ayam hari ini bagaimana?” Pertanyaanku tidak bermutu.

Seiring waktu, obrolan kami terus bergeser dan bergeser. Mulai dari kelulusan sekolah, harga jual ayam, harga beli smartphone, motor antik milik tukang ojek di balai, formasi V burung puntung kalau pulang kandang, bunglon yang pernah mengagetkan Novia, sampai kecupan bibir kami kala itu yang akhirnya terus diulangi hampir setiap bertemu.

Tentunya kami melakukan diam-diam dari pantauan Mak Etek, bapak, dan semua warga dusun.

Sampai gelap menjelang, kami melakukannya lagi.


---



Niken

Malam harinya, aku merasakan diriku begitu riang. Besok adalah hari keberangkatan, ditambah hari ini berakhir dengan perpisahan yang indah dengan Novia. Aku bisa tidur nyenyak dan yakin bisa bangun dengan segar.

Sampai, entah jam berapa. Mimpiku berubah dikala sedang bermain catur saat itu. Lantai kayu hitam dan putih dengan bidak-bidak yang lebih tinggi dari badanku tiba-tiba runtuh. Lawan mainku di sana, seorang yang fana tanpa wajah, menghilang menjadi angin. Sudah pasti mimpiku disusupi orang yang tidak diundang.

“Akhirnya mau juga merantau.” Suara itu...
“Ganggu aja.” Aku menggerutu.

Untuk bicara dengan perempuan Bogor satu ini, aku telah terbiasa sejak dulu menghilangkan dialek Minang. Sepertinya hal ini makin mendarah daging dan terjadi secara refleks dalam diriku. Kata-kata sudah mengalir begitu saja dengan logat ibu kota dan sekitarnya.

Dia, Niken, anaknya om berewok, teman sedari kecil, seorang yang mengabaikanku lalu menghilang selama satu tahun lebih. Dengan tampilan yang berkacamata dan bibir mengkilap akibat pelembab, sekarang Niken semakin tampak makin cantik dan mewah. Dia indah, namun semakin jauh luar jangkauanku.

“Ada apa?” Kataku.
“Cuma nengok adik doang.” Katanya.

Adik, katanya.

“Gak kangen sama kakaknya, nih?” Katanya lagi.

Aku tegas menjawab tidak. Tidak, bersama dengan pembawaan gestur tubuh yang tegap tanpa harus menggelengkan kepala. Karena dengan begitu, kutunjukkan padanya bahwa aku sudah kuat tanpa dirinya.

Aku bukan lagi anak manja yang harus disuapi, dalam hal ini, diajari lagi oleh Niken. Aku sudah bisa menggunakan karomahku dengan baik. Aku mampu menyusupi kepala orang melihat-lihat kenangan mereka, menutupi ingatan buruk, hingga melompat ke alam sadar dalam keadaan bermimpi. Semuanya sendirian.

“Ih, adikku udah bisa jutek~” Goda Niken.
“...”
“Biasa aja dong mukanya~”

Niken berkali-kali menggoda dengan intonasi yang lucu, pasti supaya aku melunak kepadanya. Tidak berhasil. Aku bukan anak kecil.

“Udah?” Kataku, datar.
“Lagi marah banget ya?”

Aku bukan marah. Aku hanya tidak peduli lagi. Biar Niken dengan kehidupan calon dokternya dan aku dengan kehidupanku sendiri. Tidak ada lagi irisan yang harus dilewati, sehingga kami berdua tidak perlu bertemu satu sama lain.

“Hmmm~.” Niken mendelik.

Aku tetap diam. Niken membalas kelakuanku dengan mengernyitkan dahi lebih dalam dengan matanya yang terus terpejam. Lama, dia akhirnya kembali membuka mata dan melotot sebesar-besarnya.

“Waaaah, kamu udah punya pacar sekarang? Sebentar... Siapa? Novia? Hahahaha.... Aku bilang juga apaaa!”

Aku melotot. Kesal. Dalam keadaan bermimpi, masih juga dia bisa melihat isi kepalaku. Dengan apa aku bisa menutupi rahasia darinya kalau begini.

“Diaaam!”
“Hahaha... Oke, oke.. Tunggu... tung.. Hahahaha!”

Runtuh juga ketenanganku dari tadi. Strategi untuk mengabaikan Niken hancur sekecil-kecilnya sampai tak terlihat. Kemarahan yang aku lontarkan malah membuat Niken tertawa makin keras. Karena tertawanya pula, aku jadi ingin tertawa.

Cukup lama Niken tertawa. Aku pun akhirnya ikut tertawa bercampur gengsi. Butuh waktu untuk meredakan kekacauan ini. Sampai ditambah sedikit ledekan lainnya dari Niken dan kram perut, percakapan mulai terjalin normal.

Kulampiaskan kemarahanku bersama dengan setengah gengsi yang tersisa.

"Kenapa pergi gitu aja. Gak ada kabar lagi, gak ada latihan." Kesalku.
"Kan udah aku bilang, kuliah kedokteran itu sibuk." Balasnya sambil masih tertawa kecil.
"Gak cuma itu kan?"

Aku masih tidak puas dengan jawaban yang klise.

"Well, Nando, kamu itu adik aku. Waktu itu aku ngebaca kalo kamu udah menganggap ada harapan, jadi aku lebih baik pergi dulu." Jelasnya.
"Tapi, kan.."
"Oh iya, Selamat yaaaa!"

Niken mengucapkan selamat atas keberhasilanku menembus bangku perkuliahan yang tinggi. Pun, aku akhirnya bisa satu kampus dengannya walau berbeda gedung dan jaraknya cukup jauh. Tidak akan banyak kesempatan kami bisa bertemu secara nyata, katanya. Akan tetapi, aku tetap akan punya pertolongan dikala kesulitan finansial dan batin di perantauan.

Omonganku tadi kan dipotong...

“Itu, tadi...”
“Satu lagi, jangan anggap ini selesai.” Niken mengetuk kepalanya.

Aku mengernyit.

“Apanya?” Tanyaku.
“Isi kepalamu itu.” Jawab Niken.
“Gimana? Gimana?”
“Emangnya aku bisa tau cerita kamu sama Novia, dari mana?” Niken bertolak pinggang.

Menarik. Ada kemampuan tingkat selanjutnya. Kalau telah mahir, aku akan bisa menyusup mimpi lainnya dari mimpi pertama. Niken sudah bisa melakukan itu dan aku ingin bisa. Niken memang hebat dibalik kekesalanku kepadanya.

“Kamu nanti bisa langsung ketemu dokternya aja. Latihan sendiri, kan udah di Jakarta nanti.” Kata Niken.

Saran Niken ada benarnya. Aku bisa berkonsultasi sendiri dengan dokter spesialis yang menangani kasus Niken sejak dia kecil. Ada pemotongan alur informasi di sana, sehingga penyampaian yang sedikit bergeser dikala Niken yang memberikan penjelasan bisa lenyap.

“Di mana?” Tanyaku.
“Gampang, nanti aku antar. Ingat ya, di atas langit masih banyak langit. Jangan sombong dan jangan jutek~”

Setelah itu, makin banyak topik obrolanku yang harus dibicarakan dengan Niken. Hingga akhirnya dia menyinggung soal kisah percintaannya sendiri yang kandas dan terbangun lagi. Berganti-ganti lelaki, ikut kehidupan malam, ditimpa dengan kehidupan siang yang kontradiktif, membuat Niken sangat jauh dari yang kukenal dulu.

Aku pun berkonsultasi tentang apa itu rasa cinta. Akulah seorang yang baru merasa berbunga-bunga untuk pertama kali, sedang mencari solusi kepada orang yang sudah mengalami getir dan manisnya cinta. Semoga dengan begitu, aku bisa menangani rasaku yang menggebu kepada Novia di saat jauh.

Lalu, pembicaraan menuju ke arah yang intim, tentang seberapa banyak aku mengalami insiden dewasa. Insiden dewasa yang tidak sepatutnya dialami di masa dini.

“Aku pernah lihat yang macam-macam.” Kataku mantap.
“Macam-macam?” Niken memastikan.
“Iya.”

Niken mengangguk santai. Dia sepertinya sudah siap melempar berbagai nasihat yang panjang.

Kuceritakan kisah-kisahku saat di masa Niken tidak ada. Aku pernah melihat Kak Le dengan kepribadiannya yang tersembunyi. Anak-anak Mak Tuo Sera yang semakin gila itu. Pejabat kecamatan yang meninggikan dana perbaikan printer. Pedagang di balai yang selingkuh dengan tukang angkut beras.

“Nanti, di kota besar, gak perlu aneh sama yang begitu ya.” Kata Niken.
“Kenapa?”
“Karena kamu bisa jadi juga akan begitu.”

Niken berkata semantap-mantapnya bahwa hal-hal seperti itu akan sering dijumpai, bahkan di kalangan teman-teman dekat sendiri. Atau bahkan diri sendiri. Katanya, orang yang baik belum tentu benar-benar baik di dalam kehidupan pribadinya, dan sebaliknya, orang yang nakal belum tentu terlampau nakal sejauh yang dibayangkan.

Apalagi aku dan Niken bisa menyusupi kepala orang lain. Rahasia orang bisa terbongkar dengan mudah. Saat itulah kebijakan menjadi tombak utama dari diri pribadi kami berdua.

“Jaga diri.”
“Iya.”

Nasihat itu kemudian menjadi yang terakhir. Dari alam sadar, suara ayam jantan sudah terdengar sayup-sayup sampai ke dalam mimpiku. Sudah waktunya aku bangun karena waktu keberangkatan semakin dekat.

“Oke, waktunya kamu bangun. Aku tunggu di bandara ya, kujemput di sana.” Pamit Niken.
“Sebentar, kalau gitu, kamu udah... pernah?” Tanyaku ragu.
“Udah pernah apa?” Niken bertanya balik.

Aku ragu harus dengan pemilihan kata yang mana.

“Itu...” Kataku terbata.
“Ooh.. Tebak aja sendiri~”

Dengan asumsi Niken pernah berkata bahwa bisa jadi diri sendiri yang akan melakukan hal-hal aneh, mungkin Niken sudah pernah melakukan itu. Tapi, inilah tantangan pertamaku menuju kehidupan masyarakat besar. Tidak boleh berprasangka, tidak boleh berasumsi yang buruk-buruk, atau setidaknya tidak boleh terlalu jauh mencampuri urusan orang lain.

Tetap saja, aku sudah melihat hal-hal semacam itu berulang kali. Keingintahuan semakin memuncak untuk memahami seperti apa rasanya bisa melakukan itu. Apalagi, aku sudah punya e-KTP dan berhak menjadi orang dewasa secara hukum.

Niken menghilang. Aku pun bangun dari mimpi sadarku sendiri.

---

“Nando, travel kau sudah datang!” Mak Etek memanggil dari luar.

Aku dengan jaket usangku akhirnya siap. Di depan kamar, aku berpamitan dan berpelukan dengan bapak. Tidak ada tangisan karena kami berdua tahu perginya aku ini bukan hal yang permanen.

Aku masih bisa pulang kala libur semester atau saat lebaran. Atau disaat ada kejadian yang tak terduga semisal Gunung Singgalang meletus. Semoga tidak terjadi. Aku masih akan pulang karena alasan yang semakin kuat. Wanita itu yang menambah hasratku untuk tidak membuat kehidupan baru di tempat baru.

“Pak, aku pamit.” Kataku sambil mencium tangan besar bapak.
“Pergilah. Rasakan apa yang bapak rasa dulu.”

Betul juga. Aku akan merantau jauh sama seperti bapak dulu. Ayah dan anak sama-sama menginjak tanah rantau yang sama. Kami, dua laki-laki dewasa yang sudah dan akan menempuh perjalanan jauh demi mencari peruntungan dan bekal hidup.

Kakiku menuntun badan keluar dari rumah. Kuturuni anak-anak tangga kayu yang bunyinya pasti kurindukan. Mak Etek sigap membawakan satu ransel meski tidak kuminta. Pak sopir travel ikut sigap menyusun ulang bagasinya karena ketambahan satu beban.

“Hati-hati... Hati-Hati...” Mak Etek memeluk mencium erat dua pipiku.

Mak Etek, tanteku yang baik, meski tidak menikah, tapi kebaikannya tidak pernah luntur buatku yang bukan anak kandungnya. Aku juga bilang padanya bahwa aku pasti akan rajin menelepon dan pulang kembali suatu hari nanti.

"Pak, Mak Etek, aku titip gitar di kamar ya. Jangan rusak." Salam ringanku yang terakhir.
"Iyo, iyo, sudah.. pergi lah." Mak Etek setengah sedih dan tertawa.

Lalu, akhirnya aku ada di dalam mobil, duduk di bangku paling belakang. Pak sopir dengan pasti membawa tunggangannya melaju memalingkan arah dari depan rumahku. Sudah saatnya aku pergi.

Remang-remang pagi memberikan ketidaknyamanan dari sebuah perpisahan. Apalagi hari ini aku akan jauh meninggalkan rumah. Hampir 18 tahun lalu aku lahir di dusun sini bersama manisnya keluarga dan ilmu alam yang aku pelajari terlampau dini. Bersama dengan pahitnya warga dusun yang pernah tidak mengizinkan anak-anaknya bermain denganku.

Akan tetapi, sendu itu terhenti. Dari jauh, dari remangnya pagi yang masih tersisa bunyi-bunyian jangkrik, ada suara motor menderu dengan lampu depannya yang silau dan menghadang. Mau tak mau sang sopir meberhentikan mobilnya.

Itu Novia dan datuak...

Novia memarkirkan motor seadanya. Kemudian, datuak dengan cepat mencoba menghampiriku duluan. Aku tahu ada masalah, oleh karena itu aku turun dari mobil. Di hadapanku itulah datuak dengan tatap matanya yang menyeramkan. Kurasa pagi ini dia pakai celak, makanya sekeliling matanya jadi hitam begitu.

“Tetap mau pergi kah?” Tanya datuak.
Iyo, tiga hari lagi sudah ada kelas orientasi.” Jawabku kuat.

Dasar orang tua, masih mencoba menghentikan aku di detik terakhir.

“Bawa ini.” Datuak merapat padaku.

Dari tangan datuak, dia menyelipkan suatu barang ke tanganku. Begitu eratnya dia menyelipkan barang itu sampai kulit kasarnya yang sudah keriput juga ikut terasa di ujung-ujung jari.

Itu benda aneh, kantung hitam berbahan kain yang ukurannya kecil. Tali-tali gantungnya memberikan bentuk bahwa secara kesatuan, benda ini bisa dikalungkan. Ada isi di dalam kantungnya, tapi tidak berat dan cenderung tipis seperti kertas.

Jimat?” Aku berucap dalam hati. Dasar pemain klenik.
Anta gadih iko.” Suara samar itu tiba-tiba terdengar lagi di telingaku. Kali ini arahnya sangat jelas berasal dari sudut Novia berdiri.

Begitu aku melihat Novia, berdirilah makhluk ITU di belakang tengkuknya. ITU tidak lebih tinggi dan tidak juga begitu pendek dari tinggi tubuh Novia. ITU-lah makhluk yang kulihat membuat Novia pingsan tahun lalu. ITU-lah makhluk yang dalam mimpiku juga membunuh dua orang pemuda-pemudi sesat di masa lampau.

Aku benar-benar kaget, tapi ketika aku berkedip makhluk itu tiba-tiba saja menghilang. Seolah aku tadi hanya berimajinasi yang tidak-tidak. Atau mungkin aku hanya memang berimajinasi karena ini semua tentang jeleknya datuak di mataku.

“Hati-hati.” Hanya begitu kata Novia ketika dia menatapku kembali.

Kami tidak bisa bertukar ciuman lagi karena sedang disaksikan oleh sang datuak. Ditambah dengan sopir travel dan tiga orang penumpang lain yang sedang duduk di dalam mobil. Maka, hanya ada sebuah jabat tangan yang penuh hasrat dan keringat serupa sakit kuning.

"Hoi, jadi kau ikut tidak?!!" Sang sopir menegurku.

Pagi ini khidmat sekaligus mengagetkan, bersama dengan haru yang menyeruak di antara kabut pagi dusun ini. Akhirnya aku kembali ke atas kursi penumpang. Mobil travel juga kembali berlonjak-lonjak di antara batu-batu karena jalanan yang rusak. Aku hanya mampu menunjukkan punggungku yang dibayangi lampu redup bangku penumpang kepada dusun. Kepada yang di saat akhir aku jatuh padanya pula.

Aku pergi, meninggalkan bumbu konflik yang terus mengekor bertahun-tahun antara bapak dan datuak. Bersama juga dengan misteri yang masih tersimpan antara mereka berdua. Bersama juga dengan kesembunyi-sembunyian asmara antara anaknya bapak dan anaknya datuak, aku dan Novia.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd