Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
Keren thanks hu atas up-nya sehat selalu dan lancar RLnya
 
Nih arwen kok ngekor mulu ya,,,
Sikat mas ayaaaaa
:pandajahat:
 
Awal mula petaka Arya vs Ai nih...

Bakalan bt sekitar 20an part

Thanks update nya om
 
1. Karina mgkn cemburu dgn Arya yg bisa santai skaligus sukses. Nah dia seperti didlm pressure pan terus & berharap Arya ikut nemenin dia atau mirip2 kek dia lah.

2. Mgkn Ai sering ke Mitaka mulai dari Arya ngerjain speed demon dan semakin sering sewaktu Arya kerjatuh ke lobang yg enak dgn si nganu. Kondisi ini membuat Ai semakin dekat dgn Zul & Arya dapat adik ipar yg tak seberapa itu .

Ini cuma prediksi ngasal menyambut pagi setelah hari yg menyesakkan.

Btw makasih apdetnya ya om & gak sabaran nunggu apdet bericrotnya :beer:
 
Dan dimulai lah perkara berkelanjutan yg akan memainkan emosi para pembaca.hahahaa

Agak males sih baca part2 setelah ini sebenernya, pengennya langsung ke penyelesaian masalahnya ajaa!!

Tapi masih tetep sabar kok, semangat suhu RB!!!
 
MDT SEASON 2 – PART 29

--------------------------------------------

loving10.jpg

“Temen-temen semua! SPEED DEMON!!!” teriak sang MC membakar suasana. Suasana sudah begitu ramainya. Lucu. Beberapa bulan yang lalu, anak-anak ini masih main di club yang sepi, hampir tanpa penonton dan yang excited kepada mereka hanyalah kumpulan bule mabuk.

Keempat pemuda itu naik ke atas panggung dengan penuh energi plus ada aura canggung yang terasa. Aku sudah berkata tadi kepada mereka, kalau gugup, langsung geber aja di lagu pertama, kenalan sama penontonnya sehabis lagu pertama saja. Mereka setuju.

Nanang mulai memainkan gitarnya, meraungkannya dengan gahar. Penonton mulai bertepuk tangan. Nanang yang jaman dulu mungkin tidak akan memberi intro semacam itu. Pasti langsung hajar ke lagu. Sekarang dia mulai dengan solo-solo ringan sambil membangun suasana.

“Malam temen-temen semua!” teriak Billy di microphone, dan disambut oleh sorakan dan siulan yang antusias. Tampaknya yang banyak menonton adalah anak kampus. Sesuai dengan target market yang kami rencanakan.

Dan tak pakai lama, musik Speed Demon pun menghentak, lagu pertama sudah mulai masuk. Dan kini saatnya aku konsentrasi ke mixing console, agar suaranya tampil dengan baik, walaupun kepalaku lari ke percakapan dengan Anin via telpon tadi, sebelum Speed Demon naik panggung.

--

“Intinya sih Karina tadi bilang, orang kayak elo tuh susah majunya…. Jadi musti di push terus….”
“Anjing”

“Yah….” keluh Anin.
“Bilang apa lagi dia?” Hatiku yang sedang tidak karuan makin tidak karuan rasanya.
“Ya itu intinya”
“Jelasin Nin”

“Gak enak gue mendadak, udah ya, telponnya…. Gue jadi nyesel nelpon elo, sorry…. Lagi sibuk kan ya disono?”

“JE – LA – SIN “ aku mengeja persuku kata.
“Yah, tadi…. Dia bilang, kalo elo, dari mulai awal pacaran, sampe putus, sampe sekarang, gak berkembang, gitu-gitu aja…..” lanjut Anin.

“Terus?”

“Dia sampe bilang, apa yang salah coba sama si Arya, skill punya, link banyak, tapi gitu-gitu aja, dan dia juga nyebutin soal tawaran A.E.U.G. elo yang dulu itu lho…”

“Terus?”

“Makanya dia bilang, lo terlalu main aman, lo terlalu nyaman dalam dunia elo, dia bilang, gak bisa disamain sama gue dan Stefan yang emang punya kerjaan di luar musik, kalo elo kan full jadi musisi Ya….”

“Terus?”

“Anu…” suara Anin terdengar sangat tidak nyaman.
“Terusin”
“Gak enak gue”
“Kepalang tanggung, gue telen aja sekalian, terusin!” hardikku ke Anin, padahal Anin tidak salah apa-apa.

“Dia bilang, elo sebagai orang yang katanya mau jadi gitaris Jazz, kok malah sibuk nyari duit terus dengan ngurusin rekaman orang lain, terus gak eksplor di luar Hantaman, ini sebagai pribadi elo sih maksudnya, bahkan ketika lo bikin lagu jazz yang dilempar ke publik pun, lo dia bilang main aman dengan main smooth jazz….” lanjut Anin.

“Terus elo diem aja? Iya-iya aja? Lo setuju sama dia?” tanyaku mencecar Anin.
“Abis gimana, gue males ribut kan, lagipula gue gak ngerasa elo kayak gitu Ya….”
“Terus apa lagi?”

“Gue tadi sempet bilang sih kalo lo udah mulai eksplor bareng Arka dan temen-temen….”
“Terus?”
“Dia bilang itu gak cukup”

--

“Makasih!!” seru Billy di microphone. Oh, sudah lewat lagu pertama ternyata. Sial. Untung soundnya fine-fine saja. “Kita mau ngucapin terimakasih buat label kita yang luar biasa! Matahari Dari Timur!!! Kalo gak ada Mas Stefan, Mas Arya dan Mas Anin, kita masih gak jelas ini… Berkat mereka, kita bisa main di depan temen-temen semua….” senyumnya bangga, berusaha agar aku dan Stefan memperhatikannya.

“Kakean cangkem su!! Maen su!!” teriak seseorang yang disambut oleh tawa Billy sambil menunjuk ke arah sumber suara. Sepertinya temannya yang teriak.

“Oke, lanjut ya!”

--

“Gue tadi sempet bilang sih kalo lo udah mulai eksplor bareng temen-temen yang laen….”
“Terus?”
“Dia bilang itu gak cukup”

“Gak cukup kayak apa sih? Maunya apa sih?”
“Ya dia bilang, Jacob dan kawan-kawan pasti iya-iya aja sama elo dan gak nge challenge elo” lanjut Anin.

“Jadi gue mesti bikin album sama dia gitu? Freak! Dia pikir gue apaan? Rocky Balboa yang harus latihan tinju edan-edanan? Main Jazz doang? Eksplor tiap hari sama gitar latihan gak berhenti-berhenti? Gue punya istri nyet, gue harus kasih makan dia, gue harus besarin label ini juga, gue harus ini dan itu…. Siapa yang urusin Ai sama Mama?? Dia mikir gak?? Enak amat dia ngomong kayak gitu, orang tuanya tajir, dia mau main piano seharian, mau berak seharian juga bakal cukup makan terus!!!!” bentakku di telpon.

“Iya gue tau… Tadi gue juga sempet nyinggung soal antara idealisme dan cari makan….”
“Terus dia jawab apa?”
“Dia bilang, namanya rejeki pasti ngikutin, gak usah dipusingin asal fokus latihan dan ngembangin diri….”

“LO KATA NYOKAP GUE BISA NUMBUHIN POHON DUIT????” teriakku. Stefan tersentak dan menatapku dengan tatapan kaget.

“Dia kan enak, anak orang kaya, hidupnya cuman seputar piano doang dan piano doang, standar ketinggian, lo pikir gue gak kaget apa waktu dulu gue baru-baru macarin dia? Kaget gue, apa-apa musti tinggi standarnya, terutama soal musik, apa yang gue lakuin gak pernah cukup, kayaknya gue mesti latihan sampe tangan gue kapalan sekasar amplas kali baru dia bisa senyum buat gue…. Belum juga dia suka ngeremehin Om Jaya yang dia bilang gitu-gitu aja, dan dia bilang takut kalo gue kayak Om Jaya…. Justru gue pengen kayak itu engkong-engkong, ilmunya berguna buat orang banyak… Lo kira musik itu cuman buat aktualisasi diri??? Lo kira gue gak butuh makan? Lo kira gue makan kentut??” tanpa sadar aku sudah mengumpat, mengomel, mengeluh dan meracau tak jelas di telpon. Aku menarik nafas, karena nafasku mendadak berat.

“Terus…. ah, gak jadi…..” aku sampai bisa mendengar suara Anin menelan ludah lewat sambungan telpon.
“Terusin, gue bilang kan tanggung…”
“Tapi gue ga sampe tega ya, bilangin yang terakhir…..” mohon Anin dari Jakarta.

“Udah terlanjur….” aku mencoba mendengar dan mereka-reka kemungkinan yang terburuk. Entah apa.

“Jadi, dia bilang, setelah ngeliat elo kawin, kayaknya elo makin melempem….. Karena… Apa ya, dia bilang karya dan permainan elo malah makin gitu-gitu aja, terutama pas rekaman yang live bareng quartet itu lho….”

“Jadi gue harusnya nikah sama siapa?”

“Anu maksudnya….”

“Maksudnya apa?” tanyaku.

“Dia bilang, mungkin aja pernikahan elo ngedistract elo dari idealisme elo………”

“Anjing” aku menutup handphone dengan mendadak. Dan lebih ekstrim lagi, aku melemparnya dengan penuh nafsu ke dalam tasku. Stefan mendadak bangkit dan menghampiriku.

“Apaan Ya?”
“Kalo gue sampe Jakarta entar nanti, gue gorok si Karina!!” marahku.
“Ada apaan?”

“Si bangsat itu kayaknya sengaja nanya-nanya dan cerita soal gue di hadapan Anin, biar Anin cerita, dan dia nyecer gue secara gak langsung…. Bangsat”

“Anjir… Kebayang sih, dia emang kayak gitu banget….”
“Kayak gitu banget? Maksudnya?” tanyaku ke Stefan.

“Anu, dulu, waktu kalian masih pacaran, kalo gue ketemu dia, dia suka bilang-bilang soal elo…. Dia bilang soal musik lah intinya….”

“AH!” kesalku, memutus semua percakapan soal Karina dan Karina.

----------------------------------------------

14582410.jpg

“Congrats ya” aku memeluk Panji yang bau keringat dan menggenggam tangannya.
“Saya makasih banget mas, saya mau sujud nih mas, tolong jangan tahan saya” bisiknya.
“Lo sujud ntar aja pas solat hahaha” candaku dengan garing.

Sialan seribu sialan. Harusnya aku malam ini bisa berbahagia dengan Speed Demon, Stefan dan kawan-kawan lainnya. Tapi suasana hatiku terlalu kacau. Aku sudah meracau di sosial media kepada Kyoko tadi, dan dia berusaha untuk menghiburku. Tapi kurang. Rasanya aku butuh mengeluh dan marah-marah di pelukan Kyoko. Aku sangat rindu kepada dirinya, sampai-sampai aku jadi ingin nekat, kabur ke bandara dan langsung terbang ke Jakarta, bukannya besok sore.

“Ayo, semuanya gue traktir minum di Prawirotaman!” seru Stefan ke anak-anak Speed Demon, yang disambut dengan riang gembira oleh mereka. Stefan lantar mengajak bicara ke perwakilan EO, agar menemuinya besok pagi untuk hitung-hitungan. Panggung dan semua perangkatnya sekarang sedang dibereskan oleh para kru. Acara berjalan lancar dan sukses. Speed Demon sudah mulai menancapkan kukunya di dunia musik Indie. What’s next? Belum tahu. Hitung-hitungan belum muncul dan belum ada rekap atas suksesnya acara malam ini.

“Yuk mas… Mobil udah siap” seru salah seorang kru EO.
“Hajar… Ayo Ya!” ajak Stefan. Aku mengangguk, walaupun suasana hatiku kacau sekali.
“Makasih banyak ya Mas” mendadak Billy menubrukku dan berusaha mencium tanganku.

“Woi ngapain sih” senyumku. Lumayan lah, anak-anak ini bisa membuatku sedikit tersenyum, walaupun dalam hatiku, rasanya ingin menginjak-nginjak mayat Karina dengan penuh emosi.

“Ikut kan Mas, Prawirotaman?” tanya Billy dengan antusias.

“Boleh”
“Desek-desekan di mobil gapapa?” tanya orang EO padaku.
“Gapapa”

“Mas, itu…..” Nanang menunjuk ke balik punggungku dan aku berbalik dengan otomatis. Disana ada Arwen, melambai kepadaku sambil mendekat. “Itu mbak yang di Jakarta waktu itu bukan sih?” tanya Nanang.

“Yoi, fans nya Arya” canda Stefan. Aku tersenyum saja.

“Hei kalian, keren, selamat ya…” Arwen memberi selamat ke Speed Demon.
“Makasih banyak Mbak…” Muka para Anggota Speed Demon sangat cerah walaupun terlihat capai. Beda dengan suasana hatiku yang malam ini sangat muram. Benar-benar muram.

“Ikut Mbak, Prawirotaman, kita mau syukuran” senyum Billy.
“Boleh…”

“Tapi mobilnya jadi gak cukup….” sambung orang EO yang tadi mengabarkan kondisi desak-desakan akan terjadi kalau aku dijejalkan ke dalam mobil.

“Saya naik motor kok kesini…” Senyum Arwen.
“Emang bisa naik motor?” tanyaku.
“Yah, nyewa terus nyetirnya gak lancar sih haahahahaha……” tawanya.

“Yaudah, saya yang bawa motornya deh, ada helm tambahan gak?” tanyaku ke Arwen.
“Gak ada sih mas….”
“Yaudah, ditilang gapapa lah” senyumku getir, menatap ke arah anak-anak Speed Demon.

“Mulai nih” senyum Stefan sambil menggelengkan kepala. Mulai apanya. Pasti deh, mulai becanda-becanda yang nyerempet lagi.

“Kamu parkir dimana?” tanyaku ke Arwen, sang penyiar radio yang sedang liburan ini.
“Di sana” tunjuknya ke area parkir motor yang terlihat masih agak ramai, dimana para muda-mudi saling berkumpul setelah selesai menonton Speed Demon.
“Ayo, kalian duluan sana, biar gue sama dia...” aku lantas melengos dengan rasa mangkel di dalam hati, berjalan ke arah parkiran motor, dan Arwen mengikutiku.

Semakin aku berjalan menjauh dari anak-anak Speed Demon, Stefan dan anak-anak EO, aku rasanya makin tidak ingin ikut pergi dengan mereka. Bukan, bukan salah mereka, tapi rasanya sangat emosi. Aku sangat gusar karena Karina. Karena omongan Karina yang luar biasa menyebalkan ke Anin. Dan dia pasti melakukannya dengan sengaja.

“Mas” tegur Arwen.
“Hmm?”
“Tadi ada apa?” tanyanya menyelidik.
“Ah….”

“Ada yang gak beres sama soundnya? Tadi kok berasa enak-enak aja tapi?” dia tampak menyelidiki tampangku yang kusut.
“Banyak yang gak beres” senyumku kecut, tanpa menatap muka siapapun.

“Hehe.. Namanya juga mendadak jadi operator di belakang mixer ya, wajar sih kalo ribet”
“Bukan itu”
“Eh?” bingungnya.
“Karina tuh, bikin ulah gak jelas lagi”

Kami semakin mendekat ke parkiran motor, dan Arwen menunjuk ke arah motor yang ia sewa, sambil memberikan kuncinya padaku.

“Matic ini ya?” tanyaku.
“Iya… Anu, Mbak Karina ngapain lagi?”
“Makin ngaco aja….”

“Butuh diobrolin gak, keliatannya muka Mas Arya kusut banget…….” Arwen terlihat khawatir melihat mukaku yang mungkin bentuknya sekarang sudah seperti sendal jepit yang dilipat-lipat.

“Gak tau, sekarang nyusul anak-anak itu dulu aja deh, BTW, kamu nginep dimana?” tanyaku, khawatir kalau-kalau jarak antara Prawirotaman dan tempat menginapnya jauh. Untungnya aku dan Stefan memilih hotel yang bergaya vintage di daerah Prawirotaman, jadi aman.

“Saya nginep di daerah situ-situ juga kok” senyumnya sambil menatapku yang sedang memakai helm dan mulai naik ke atas motor.
“Oh, deket ama saya dan Stefan Dong…. kita sekamar berdua… Eh, kenapa saya ngomong sekamar berdua ya, jadi too much information, gak penting, maaf, lagi pusing banget……..” keluhku.
“Gara-gara Mbak Karina ya?” Arwen meringis sambil naik ke jok belakang.

“Yah, ntar saya ceritain deh….” dan kami pun meluncur di malam Jogja yang mendadak jadi dingin itu.

--------------------------------------------

prawir10.jpg

Aku menatap bar itu dari kejauhan, di pinggir jalan. Dari jauh aku bisa melihat Stefan dan anak-anak lainnya sedang asyik menenggak minuman keras itu. Suara musik yang hingar bingar memenuhi Prawirotaman. Dan aku jadi semakin tidak ingin untuk bergabung dengan mereka.

Suasana hatiku yang kacau ini butuh sedikit ketenangan.

“Kamu gabung sama mereka aja, saya mau pulang dan tidur aja di kamar” bisikku ke Arwen.
“Lho?” bingungnya yang baru saja turun dari motor.
“Saya butuh tidur, gak bisa dibawa party kalau kacau kayak gini rasanya hahaha… Saya kan gak minum, jadi gak ada gunanya juga ada disitu…” aku menunduk sambil memberikan kunci motor . “Saya jalan aja dari sini”

“Beneran nih…. Butuh diobrolin…. Cari tempat sepi aja yuk Mas, ngopi sambil ngobrol gitu sekitar sini” tanyanya sambil melihatku yang tampak amburadul.
“Kamu emang ada liat tempat sepi disini? Semuanya musiknya lomba-lomba’an paling kenceng tau”

“Em….. Di hotelku ada cafenya sih, dan dia katanya buka sampe malem banget….”

“Sekarang baru jam 11 sih, masih panjang malemnya” balasku.
“Mau kesana aja?” tanyanya.
“Terserah”
“Ayo lah Mas, saya makin ngerasa gak enak nih, soalnya kan ketemu lagi sama Mbak Karina gara-gara saya…”

Ah, malas rasanya mendengar nama itu. Sial.

“Oke deh…”

--------------------------------------------

55ed0c10.jpg

“Tutup?” tanya Arwen ke resepsionis.
“Iya mbak…” jawabnya dengan muka mengantuk.
“Kok bisa? Kata Instagramnya buka sampe jam 2 malem kan?” tanya Arwen bingung.

“Soalnya hari ini rame banget, jadi udah abis Mbak, baru aja tadi, sekitar setengah jam yang lalu…”
“Yah…” keluhnya.
“Yaudah, saya pulang aja ya, makasih udah concern soal hal-hal gak enak ini….” bisikku dengan nada malas.

Arwen menghela nafas panjang, dia melihat ke arahku, dan tampak tidak rela aku pulang dengan suasana hati yang tidak tenang.

“Mas, serius deh, orang bilang, kalo kesel disimpen sendiri gak enak, ntar malah gak bisa tidur…. Lagian saya kan udah tau problemnya apa…” balasnya. Dan resepsionis tadi mendadak sudah tidak ada. Entah dia hilang kemana. Hantu mungkin.

“Yaudah, ngobrol situ aja, ada korsi kan” tunjukku asal ke lobby.
“Saya ada kopi sih di kamar”

Di kamar? Seriously, aku mending pulang saja.

“Gak lah, gak baik, saya pulang aja”

“Hmm… Iya sih mas… Tapi… Saya gak rekomen sih, seenggaknya kita bisa ngobrol bentar, ngopi, barang setengah jam, abis itu ya Mas pulang, minimal biar bisa lebih lega sih, saya gak tega banget liatnya, dari tadi di Mercubuana sampe sini mukanya datar terus… dan saya tau gara-garanya kenapa…” bisik Arwen, berusaha agar tidak terlalu berisik malam itu.

“Terserah” jawabku.
“Oke” senyumnya kecil dan lantas dia berjalan dengan pelan ke arah tangga. Aku pun mengikutinya.

Tak berapa lama kami masuk ke kamar yang kecil, dengan double bed yang masih rapih. Tampaknya belum digunakan. Tapi barang-barang nya sudah berserakan dengan lucunya. Aku lantas duduk di pinggir kasur dengan perasaan berat, dan aku menatap ke arah Arwen yang tampaknya sedang repot menyalakan pemanas air dan membuatkan kopi instan untukku. Aku melihat handphoneku sejenak. Sudah sepi. Pesan terakhir dari Kyoko adalah selamat beristirahat dan tampaknya Stefan terlalu sibuk minum-minum sampai lupa kalau temannya entah ada di mana.

“Ini mas…. Gak seenak buatannya Mbak Kyoko, tapi cukup lah….” senyumnya, dan dia duduk di sebelahku. Kopi untukku dan teh untuknya sendiri.
“Makasih” aku menyeruput kopi instan yang rasanya familiar itu sambil menatap ke lantai.

“Mbak Karina bikin apa lagi hari ini?” tanyanya, langsung. Tampaknya dia berusaha untuk jadi psikolog pribadiku untuk malam ini.
“Dia ngomongin saya di depan Anin…. Kesel banget saya….”
“Gak enak ya emang kalo pacaran terus putusnya gak enak….” sambung Arwen.

“Haha… Pernah ngerasain juga pasti kan?”
“Ya, been there” senyumnya.

“Tapi Karina emang piece of art sih… A Dreadful Art” lanjutku. A Dreadful Art. Seni yang mengerikan.
“Kenapa tuh hahaha? Tapi jangan anggap saya ngebelain dia ya, kan saya gak kenal-kenal amat….” balas Arwen sambil menekuk jidatnya.
“Karena emang gitu….”

“Pasti sejarahnya super-super gak enak banget ya?” Dia sudah tahu sedikit kesan yang kuceritakan soal Karina beberapa waktu sebelumnya waktu dia mengajakku makan siang.

“Saya mendingan kita dijajah Belanda lagi deh daripada harus ngulang beberapa tahun yang gak enak itu….” jawabku. “Tiap kali ada aja yang pasti jadi ribut sama dia, terutama masalah-masalah di musik yang dia pasti tau segalanya”

Arwen menatapku dan memberikan senyum kecilnya.

“Kamu tau, dia gak suka banget katanya sama kondisi saya sekarang, dan dia bilang itu ke Anin, dia punya hak apa coba?” Arwen terdiam dan melongo.
“Kok bisa ngomong kayak gitu?”
“Dia bilang kalo saya gitu-gitu aja dari dulu, intinya gak berkembang lah, dari kacamata dia….”

“Apa yang salah sama musik Hantaman Mas? Kenapa dia selalu ngerasa musik Mas salah terus?” tanyanya.

“Kamu udah tau kan, udah saya ceritain waktu makan siang itu….”
“Iya”

“Dan sekarang, pas saya udah sama orang lain, udah move on dari gak enak-gak enaknya bareng dia, dia seenaknya aja komentar soal hidup saya yang sekarang?”

“Kok gak sopan banget sih?”
“Dan saya kesel sama Anin, tapi mungkin dia ngehindarin konflik sama Karina, jadi dia gak berani belain saya….”
“Tapi kan pasti Mas Anin dilema Mas…”

“Dilema macem apa? Belain temen kok pake dilema?” aku menenggak kopi yang sudah menghangat itu, dari tadinya panas. Aku berdiri dan menaruh gelas yang sekarang kosong itu di meja. “Ini hal yang selalu aja, dari dulu bikin saya gak nyaman sama Karina, dan sekarang saya ngerasa ****** banget, dulu bisa bareng sama dia….. Dia terlalu mau nyampurin hidup orang lain yang menurut dia gak bener, pake standar dia yang ketinggian….” keluhku.

Arwen hanya diam. Mungkin dia agak menyesal, mengundang singa yang sedang tidur untuk curhat.

“Coba kamu bayangin, kalo kamu punya mantan pacar, terus sejarah gak enak, putusnya gak enak, terus mendadak ketemu pas ngerjain kerjaan bareng, harusnya sikapnya kalian kayak gimana?” tanyaku ke Arwen.
“Kalo saya sih…. Ya bakal kerja aja, gak pake bahas apapun yang ada hubungan personalnya, ya gak?” jawabnya.

“Nah, kalo orang normal mikirnya kayak gitu….” aku menunjuk ke kepalaku sendiri. “Kalo dia kan, mendadak nyerang-nyerang, komentar-komentar soal kronologis bermusik saya, ngomentarin semua hal kecil sesimple saya liat hape, saya gak ngerti orkestra, dan kalo saya defense, dibilangnya pasti, dari dulu gitu jawabannya, menghindar…. Mau apa sih?” tanyaku retoris.

“Mungkin dia masih gak rela putus?” tanyanya bingung.
“Najis”
“Mungkin dia beneran gak suka dan dendam sama Mas Arya?”
“Mungkin”

“Intinya sih itu gak sehat mas, ini kan kerjaan, harusnya profesional dan lurus-lurus aja, harus bisa nahan ego, kalian berdua harus sadar posisi masing-masing….” lanjut Arwen.

“Coba kamu bilang kayak gitu ke dia, berani gak?” tanyaku. “Paling kamu diceramahin, kalo si Arya itu, gitu-gitu aja dari dulu, gak berkembang, mirip banget sama gurunya, gak berkembang, bla bla bla bla bla, sampe Dajjal muncul di dunia juga ga bakal beres, atau jangan-jangan dia dajjal nya…” kesalku.

“Ih, jangan ngomong gitu dong Mas….”
“Biarin, emang parah dia…”

Arwen menaruh tehnya di meja dan dia kembali duduk.

“Tapi harus ada solusinya sih, gak bisa didiemin aja, kalo gak gitu, kerjaan ini gak bakal kemana-mana” lanjutnya.
“No shit” jawabku.

“Coba ngobrol ke Mas Awan mungkin?” tanya Arwen.
“Dia mah makan gaji buta, semua aja Karina, dia banyakan mikirin non teknis…. Pusing juga lama-lama…. Saya gak punya tameng sekarang kalo ketemu Karina… Hajar aja terus sampe saya kering….” kesalku.

“Saya jadi mikir, kok bisa orang lain nyaman interaksi sama dia tapi Mas Engga, kayaknya dia emang selalu kayak gitu sama Mas Arya ya?”
“Gak tau” jawabku pusing.

“Kalo saya gimana dong, kalo ngobrol lumayan nyambung ama dia, berarti saya kayak dia dong, parah” candanya, untuk meringankan suasana malam ini.
“Ahahaha… Apa sih, kamu gak bisa lah dibandingin sama dia, dia gak ada seujung-kukunya kamu bahkan” aku menatapnya sambil tersenyum. “Dan kalo kamu ngomong gitu, berarti project yang ini sebelumnya juga kacau, tapi kan enggak…”

“Hehe”

“Saya curiga, dia sejak putus, coba perbaikin sikapnya ke orang lain, tapi pas ketemu saya, remnya jadi blong lagi. Bener sih, dendam” aku mencoba berkesimpulan.
“Tapi gak baik kan dendam”
“Dia otomatis kali dendamnya” balasku.

“Semacam defense mechanism gitu ya gak sih Mas?” tanya Arwen sambil menatap lekat ke mataku.
“Hal-hal yang otomatis gitu sih… Kayaknya emang kita berdua jadi musuh alami. Macem kucing sama tikus”
“Berarti dulu dia kayak gitu sama semua orang?” tanya Arwen lagi.

“Iya kali, entahlah… dan sekarang cuman ke saya aja, hebat ya… Spesial banget sih Arya ini emang buat dia, spesial pengen dia matiin kayaknya….” keluhku.

“Padahal, sejak kenal Mas Arya, saya ngerasa gak ada yang salah sama Mas, main gitarnya keren, band nya sukses, di dunia musik juga berkibar, studionya juga famous, kurang apa lagi coba?”
“Buat dia saya kurang banget….”
“Cuma karena belom bikin karya Jazz?”

“Buat dia itu segalanya”
“Dan dia ngelewatin masa-masa yang dia harusnya nikmatin bareng Mas kalo aja dia gak kayak gitu…”
“Rugi di dia”
“Sayang banget padahal, kalo gitu kalian kayak buang-buang waktu….”
“Banyak yang bilang gitu…”

“Kecuali Mbak Karina…”
“Kecuali Karina”

“Saya pernah bilang ke dia, pengen jadi gitaris jazz nomer satu di Indonesia, dan dia nganggep itu serius banget, dan dia ngepush saya supaya saya bisa jadi kayak gitu… Tapi gak bisa, ada Hantaman, ada studio, dan itu semua tempat saya cari makan….” aku menatap mata Arwen yang tampak berbinar malam ini.

“Berarti buat dia itu…”
“Sampah, karena katanya ngehalangin saya jadi gitaris jazz nomer satu” tawaku.

“Padahal gak harus jadi nomer satu juga, buat mas kan udah cukup…” senyumnya.
“Itu kan buat saya, bukan buat dia dan yang ngeselin dia selalu maksain isi kepalanya itu ke saya, bahkan mungkin sampe sekarang ” balasku.

Aku menatap ke bibirnya yang berusaha untuk tersenyum, menghiburku.

“Jadi lumayan lah ya, dateng ke Jogja, lepas gak ketemu sama dia bentar”
“Tapi tetep aja kan, neror perasaan saya lewat Anin, gak adil banget rasanya, mana tadi mendadak mereka gak bisa Sound check, dan terpaksa jadi saya di belakang mixer, karena butuh orang yang udah jago katanya…. Makin capek aja….”

Dia berusaha tetap tersenyum, dengan wajah manisnya yang berusaha menahan amarahku.

“Tapi lumayan kan….”
“Lumayan dari mana? Kayaknya mau saya ada kerjaan di ujung antartika aja dia kejar dan cecer terus, rasanya kayak saya gak bisa lepas dari gigitan dia tau gak?”

“Tapi…”
“Itu yang bikin gak tahan dari dia, saya pikir dah aman sejak putus, ternyata kayak gini lagi, jadi nyesel saya ngambil kesempatan ini…”

“Mas, itu kan gara-gara saya, saya jadi makin gak enak nih….” Dia tampak sedih, melihat orang yang ingin dia tenangkan malah terlihat makin emosi. Matanya menatapku dengan tatapan khawatir cenderung ke iba.

“Gak lah, gara-gara Karina… Sumpah, sebenernya kalo boleh saya pengen ke jalan raya terus teriak-teriak, ngomong kasar sambil mukulin orang……” kesalku.
“Jangan lah, gak baik…”

Tangannya menepuk dan memegang punggung tanganku.

“Yang penting ambil baiknya aja, kan Mas sekarang ada disini, gak bareng Mbak Karina…”
“Gak bareng dia aja juga tetep dia ngomong gak enak terus, sengaja banget kan, pengen si Anin bilang sama saya soal itu semua, maunya apa sih?” aku berusaha melepas tangan Arwen yang maksudnya baik itu, tapi dia malah menahan tanganku, mencoba menenangkanku.

Aku menatapnya. Menatap matanya yang tampak bersinar dan helpless itu.

“Percuma mau gimana juga, emang kayaknya makin gak jelas soal Karina….Sumpah, rasanya pengen saya mampusin tu orang…”
“Apaan sih mas? Kok gitu, kan dia lagi gak ada disini sekarang….”
“Dia tuh…”
“Stop…” Arwen memegang tanganku makin erat dan kami bertatapan.

Tanganku dan tangannya mendadak saling menggenggam, dan aku tertarik ke arah tubuhnya. Matanya tampak teduh, dan dia berusaha begitu keras untuk menenangkanku, tapi rasanya hati ini masih panas. Dan nafasnya terdengar jelas di telingaku.

Tanpa sadar aku menerkamnya, dan mataku mendadak gelap.

Bibir kami berdua bertemu, mendadak aku melumat bibirnya, bergumul di atas kasur itu. Bibirnya menjadi objek yang empuk untukku. Hidungku bertemu dengan hidungnya . Aku memeluk pinggangnya yang ramping dan menekan badannya masuk kedalam pelukanku.

Aku seakan lupa, siapa yang ada di hadapanku.

Bibir kami berdua saling beradu, aku menciuminya dengan panas. “Mmmnnnnhh….” desahnya tertahan, tak kuasa menerima ciumanku yang bertubi-tubi, tak memberinya waktu untuk bernafas. Tanganku memeluknya, dan tangannya berusaha menahan dadaku.

Arwen tampak tak berdaya di hadapanku. Bibirnya yang tipis itu tak berdaya, dilumat sejadi-jadinya oleh diriku. Dia menutup matanya, tampak berusaha berontak. Dia berhasil mendorongku dan aku mundur, menatapnya. Jarak kami tidak lebih jauh dari sejengkal. Kami terdiam, tak ada suara apapun didalam kamar ini kecuali suara nafas kami.

Tak sadar, tangan Arwen meraih leherku dan dia menarikku ke arah dirinya. Bibir kami berdua kembali berciuman. Aku kembali memeluk badannya, tangannya melingkar dan menarik leherku agar aku tak lepas dari dirinya. Kami saling mencium, memagut, melumat dan saling menerkam sejadi-jadinya. Nafas kami berdua begitu berat, dan kami tampak seperti sudah hapal lekukan bibir masing-masing, karena kami tampak tak ragu untuk saling mencumbu.

Aku lantas melepas ciumanku, dan secara otomatis, aku mengikuti jejak feromon di lehernya.

“Nnghhh.. Ahh….” Dia tampak geli saat aku melumat lehernya. Tanganku berusaha masuk ke dalam bajunya dan tiba-tiba.

Kami terhenti.

Aku bangkit. Kami saling bertatapan. Mata kami beradu cukup lama.

Arya!

Panggil ku ke diriku sendiri.

What are you doing?

Apa yang kamu lakukan?

“Shit… Sori..” Aku mendadak berdiri, menjauh dari dirinya. Arwen masih terpaku di atas kasur, dan dia menatapku dengan tatapan takut. Aku menggigit bibirku sendiri dan aku menatapnya sambil menggelengkan kepala.

“Gak, gak kayak gini…. Maaf….” Aku dengan tergesa-gesa keluar dari kamar, membanting pintu sekenanya dan lalu berjalan dengan cepat ke lantai bawah. Tak butuh waktu lama untuk mencapai lobby dan keluar dari hotel sialan itu.

Fuck.

What are you doing?

Aku menatap malam yang gelap di depan hotel, sambil menyumpah serapahi diriku sendiri dalam hati. Angin mendadak menerpa diriku, dan melemparkan akal sehatku kembali ke kepalaku.

What are you doing Arya? This is so wrong. This is so wrong.

Aku berjalan ke pinggir jalan dan bersandar di tiang listrik. Aku menutup mataku, berusaha melupakan apapun yang harus kulupakan. Dan aku membiarkan diriku hilang ditengah malam Jogjakarta.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Keduaxxx, ehh ketigaxxx:bata:

Susah emang kalo ketemu orang ganteng, baik pula, bikin cewek2 pade lumer + becek, wkwkwkwk

sayang ga ada mulustrasi, seinget ane dulu ada daily style pic-nya deh, hehehe ini juga nambah ilmu fashion ane biar gaya bokin makin caem.

Thank you update-nya, master
Have a nice day
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd