Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Karina itu seperti apa ya? RL Ada yg seperti itu hmmm bener kata Mas "sutefan" gmana rasanya ya ngesex ma cw Kaya Karina hehehe
 
MDT SEASON 2 – PART 28

--------------------------------------------

54168810.jpg

Aku duduk di tengah ngantuk, di hari Jum’at subuh ini. Di hadapanku, orang-orang sedang lalu lalang, kesana kemari, menuju terminal-terminal yang memanggil mereka semua. Di sebelahku ada Stefan, yang sedang berkomunikasi dengan handphonenya. Entah dengan siapa. Tapi untuk urusan launching album Speed Demon ini, sudah bisa dibilang aman. Stefan lagi-lagi menunjukkan keunggulannya dalam memanage orang dan uang. Aku jadi heran kenapa di Hantaman tidak dia saja yang mengurusi urusan bisnis dan segala macamnya.

Tapi itu semua baru ketahuan sekarang, ketika kami mendirikan label bersama-sama. Dan selama diurus oleh Anin, Hantaman baik-baik saja kok. Cuma sekarang kami tahu kalau kami juga bisa mengandalkan Stefan. Kuduga, kesan bad boy dan serampangannya dia tunjukkan ke muka publik untuk menutupi “asli” nya dia. Yakni sebagai orang bisnis.

“Semua udah siap di Jogja?” tanyaku ke Stefan, memecah kengantukanku.
“Udah lah, kan kita udah kerjasama sama EO disana….”
“Detailnya gimana ntar?”
“Gak usah tau lah lu, semuanya udah gue urusin” tawanya sambil melipat kakinya. “Lo urusin produksi musiknya aja”

“Lah itu kan udah kemaren, sampe babak belur kan gue ngurusinnya….”
“Makanya lo nonton aja entar, liat gue jadi komandan aja di sono ntar” tawanya sambil menatapku dengan tatapan jahilnya. “Lo nikmatin aja akhir minggu lo yang tenang tanpa Karina di Jogja…”

Aku tertawa kecil sambil mengingat pertemuan terakhirku dengan Karina. Pertemuan yang tidak ada nyaman-nyamannya.

--

5a8e7910.png

“Bisa gak sih gak liatin hape terus?” tanya Karina dengan sinis.
“Sebentar, cuma mau transfer bentar doang….”
“Jangan ngeganggu konsentrasi orang dong” sinisnya.

“Ngapain?” bisik Anin.
“Transferin gopay buat Kyoko, dia abis katanya, dia belom bikin m-banking lagi” jawabku, dengan berbisik juga.

“Focus please”

“Kalo gitu mendingan break dulu sekarang” balasku dengan nada tak kalah ketusnya. Heran. Kenapa mengerjakan musik rasa-rasanya seperti di penjara begini sih? Dan kenapa juga Mas Awan terlihat pasif di depan kami semua. Dia producer, dia harusnya bisa mengontrol, kenapa semua kuasa jadi larinya ke tangan music director gini?
“Ini tanggung” kesal Karina sambil menunjuk ke jam tangannya.

“Tapi emang sudah masuk ke jam makan malam sih…. Gak ada salahnya break sebentar, lagipula kita udah pada capek semua, gak fokus” akhirnya dia bicara. Mas Awan akhirnya bicara. “Lagipula makan malem udah dateng, biar kita makan malem dulu…” senyumnya sambil menatapku dan Anin. Anin membalas senyumnya dan akhirnya dia bangkit.

“Sebatang dulu deh sebelum makan….” Anin tanpa banyak bicara langsung ngacir ke luar ruangan.

Aku hanya bisa diam, melihat punggungnya pergi, bagai meninggalkanku tanpa pelindung disini. OB lalu masuk membawakan makan. Dan dia membagikan makanan sesuai dengan posisi duduk kami.

“Saya keluar bentar ya” Mas Awan pun beranjak pergi. Dan mendadak ada suasana tegang aneh di dalam ruangan itu. Hanya tinggal aku dan Karina, dan kotak makanan di pangkuanku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak saling bertemu mata dengannya, tapi entah kenapa setiap mataku menyisir ruangan, mata kami selalu bertemu dan kami langsung membuang mata ketika tak sengaja berpandangan.

Aku membuka kotak makanku, dan tanpa suara langsung mencoba makan tanpa menggubris keberadaan Karina di hadapanku. Jarak kami cuma sekitar dua meter, tapi rasanya dia ada di dekatku, sedang mencekik leherku dan menunggu kapan waktu yang tepat untuk menggorok leherku dengan pisau tumpul yang berkarat.

Mendadak keheningan berhenti.

“Sori”
“Ya?” aku terpaksa menatap ke Karina.

“Itu tolong ambilin” dia melihat ke arah tumpukan botol air minum yang memang dekat dengan tempatku duduk. Dengan malas dan tanpa membantah aku menaruh makananku dan mengambilkan minuman untuknya. Tidak ada kata-kata yang terucap saat aku memberikan botol air minum ke tangannya. Dia berbisik pelan berterima kasih, tanpa suara dan dia langsung membuang muka, kembali fokus kepada entah apa yang sedang dia lakukan. Entah makan, entah masih mengulik partitur, atau entah apa lagi.

“Minggu depan aku ke Jogja, cuman Anin aja yang dateng kesini jadinya”
“Udah tau” jawabnya garing.
“Aku pikir kamu seneng kalo aku gak ada…” sinisku mendadak.

Bodoh. Tak perlu. Tapi entah kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa sengaja. Seperti ada peraturan tak tertulis diantara kami berdua sekarang. Yakni saling sindir dan saling serang untuk hal-hal kecil yang tidak perlu.

“Seneng kok” jawabnya tanpa menatap. Aku tersenyum kecut.
“Bagus lah”

“Kamu pikir gampang buat aku ngambil kerjaan ini lagi?” tanyanya mendadak, membahas sesuatu yang lebih esensial daripada sekedar sindir-sindiran gak guna.
“Pasti enggak, atau kamu sekedar ambil buat nunjukin diri kamu lebih baik dari aku kan?” tanyaku balik dengan nada datar, sambil berdoa pada semua Tuhan dan Dewa di dunia detik ini, untuk segera membawa Mas Awan dan atau Anin kembali ke dalam ruangan.

“It’s just a job” tatapnya dengan tatapan yang meremehkan. “Kalo kamu gak fokus dan kebanyakan pingin debat malah gak beres-beres” lanjutnya dengan irama bicara yang terdengar tidak enak.
“Gak sama aja? Kamu sok fokus dan malah sering mulai debat duluan?”
“Itu kritikan. Bukan bahan debat. Tapi kamu berlebihan reaksinya akhir-akhir ini. Aku pikir semenjak nikah kamu lebih santai orangnya. Tapi tetep aja, kalo bicara serius soal musik suka sok bener sendiri” lanjut Karina dengan tampang cuek.

Sumpah, kalau di dunia ini tidak ada adab kesopanan, aku ingin melemparkan makanan ini ke mukanya dengan senang hati. Tapi aku diam saja dan mencoba untuk tidak terpancing. Tapi telat. Kami sudah saling terpancing dari awal kami bertemu lagi di proyek ini. Proyek sialan. Kenapa kami setuju di awal? Oh well… memang ini tidak masalah buat teman-temanku yang lain, ini hanya masalah untukku saja. Tak adil memang, karena beratnya perasaan ini berasal dari sejarah dan pengalamanku sendiri bersama dengan Karina.

“Maklumin aja, aku gak sekolah musik” senyumku kecut ke arah Karina.
“Alasannya masih sama kayak dulu” dia melengos dan lantas membuang mukanya entah kemana. Untung Anin segera masuk dan mengambil kotak makanannya yang tergeletak belum disentuh.

--

Aku melihat ke arah handphoneku dan memberikan beberapa kalimat kepada Kyoko. Dia membalasnya dengan hangat, dan percakapan singkat kami hari itu benar-benar membuatku kangen akan dirinya. Entah kenapa rasanya berat harus pergi ke luar kota dan tidur di tempat lain, bukan di kamar sendiri bersama istri. Bagaimana jadinya nanti jika kami harus tur keliling-keliling lagi? Mungkin album bersama orkestra ini nanti ujung-ujungnya jadi sebuah permintaan konser entah keliling jawa atau ke kota-kota besar saja. Ah tak tahulah, bagaimana nanti.

“Cakep” Stefan berbisik kepadaku sambil melirik seorang perempuan yang lewat.
“Iya cakep” balasku tanpa melihat ke objek yang dilihat. Aku hanya sibuk saling balas pesan dengan Kyoko.

Ada pesan lain tiba-tiba masuk. Arwen.

“Mas katanya hari ini sama besok di Jogja?” tanya Arwen mendadak.
“Iya”
“Waaaa asik… Speed Demon ya? Aku kebetulan juga mau kesana :3 … Jalan sama temen-temen ke Jogja sampe minggu, ntar aku mampir deh ke venuenya, dimana?” tanyanya.

“Anu… Kok gue lupa sih Fan, Venuenya entar di universitas apa? Tempat kuliahnya Nanang sama Billy kan?”
“Payah… Kan Panji juga satu kuliahan bego, Cuma dia beda jurusan aja…” jawab Stefan sambil menatapku dengan menyipitkan matanya yang sudah sipit itu.
“Tinggal jawab aja apa susahnya sih?”

“Nih” jawab Stefan, memperlihatkan lokasi venuenya di handphone miliknya sambil iseng-iseng mengintip ke handphoneku. “Tuh kan”

“Tuh kan apaan?”
“Itu si Arwen ngapain di jogja” tawa Stefan.
“Kagak, kebetulan aja dia ke Jogja siang ini bareng temen-temennya, mau main, kebetulan aja dia disana, jadi mau sekalian penasaran pengen liat Speed Demon…”
“Hmmm bilang aja mau ketemu Mas Arya yang ngganteng dan charming” ledek Stefan.
“Dasar kontol monyet” umpatku.

“Ngomong-ngomong kontol monyet…..” Stefan menatap ke beberapa pramugari yang lewat. “Gue jadi konak liatin cewek-cewek itu Ya, gimana ya kalo mereka ngerebutin kontol gue buat di jilat-jilat” tawanya.
“Taik” tawaku sambil menggelengkan kepala.

“Taruhan tu cewek ntar pasti kayak model Kanaya juga deh…” Stefan tampak tersenyum puas.
“Gak bakal, beda, dia senengnya temenan sama temen cowok kok… Dan dia juga seneng temenan sama bini gue, jadi dia mah gak bakal baperan kayak Kanaya…. Beda kok, kerasa, lagian juga gue agak-agak jaga jarak, inget kejadian Zee di Jepang, gak mau lagi gue bikin Kyoko gak nyaman gitu….” jawabku.
“Panjang amat jawabnya kayak masa kepemimpinan suharto” komentar Stefan gak puguh.

“Daripada lo nanya-nanya terus dan ngeledek-ngeledek terus kan mending gue jawab panjang aja, biar gak usah jawab-jawab lagi…” tawaku menatap raut kecewa Stefan atas jawabanku.
“Yaudah lah, mending kita antri, itu gate udah dibuka” Stefan mengambil tas yang ada di hadapannya, dan bersiap-siap mengajakku untuk pergi masuk ke dalam pesawat yang akan membawa kami ke Jogja.

--------------------------------------------

17194610.jpg

Stefan terlelap di sebelahku dan aku menerawang ke arah lautan awan.

Jogja, malam nanti, di lapangan basket universitas tempat Panji, Billy dan Nanang kuliah. Untungnya pihak kampus tidak mempersulit perizinan walaupun memakai sponsor rokok. Karena ada perjanjian untuk tidak menjual rokok dan menyebut mereknya di venue. Tapi dari dekorasi dan warna banner dan spanduk dan tagline acaranya, sudah ketahuan rokok merk apa yang mensponsori acara launching ini. Urusan perizinan sudah dibereskan oleh Stefan melalui jejaringnya, komunitas musik cadas di Jogja. Dan mereka dari awal sudah menyambut baik keinginan kami, MDT sebagai label untuk mengangkat band muda beraliran cadas di Jogja.

Dan kami sudah menyuruh agar para awak Speed Demon banyak-banyak bergaul dengan mereka dan untungnya komunikasi berjalan lancar. Untuk masalah perlengkapan panggung dan sebagainya, tentunya EO dan rental musik yang kami kenal di Jogjakarta menjadi perpanjangan tangan kami. Tinggal alirkan saja sebagian besar uang dari sponsor dan preorder CD Speed Demon ke mereka, maka urusan beres sudah.

Karena ini sifatnya promosi pun, kami memutuskan untuk tidak mengambil tiket bagi yang ingin menonton. Kami hanya menyediakan beberapa booth untuk menjual CD Speed Demon, yang tentunya akan perdana dijual disana. Beberapa CD Hantaman, baik album pertama, kedua, kedua yang repackage, merchandise kami dan berbagai CD dan merchandise band lokal dan kenalan-kenalan kami juga dijual disana, sekalian, numpang promosi.

Tapi, kalau misal ada kerusuhan karena siapapun boleh nonton bagaimana?

Tenang, ada kenalan polisi dari ayahnya Stefan. Tingkatnya pun Kapolsek. Jadi bisa dengan mudah menggerakkan anak buahnya kesana baik dengan seragam maupun berpakaian preman. Stefan tinggal sedikit meminta ke ayahnya untuk melakukan satu kali telpon saja ke orang tersebut, dan sisanya gampang sudah. Dan inilah yang membuat pihak kampus jadi gampang meloloskan acara.

Karena ada pendampingan dari pihak A.C.A.B, alias All Cops Are Bastards.

Untung saja urusanku hanya sebatas urusan musiknya saja, dan nanti mungkin aku akan memberi beberapa advice ke soundmannya ketika live show. Aku tidak akan banyak meddling. Seperti kata Stefan, nikmati saja weekend ini dan bersyukurlah aku bisa jauh dari Karina.

Dan sudah kutebak, pasti nanti ketika bersama Anin, lancar-lancar saja. Dari sejak awal Karina memang tidak nyaman kalau aku ada. Jadi hari ini fair. Aku tidak ada di meeting reguler fair. Fair buatku dan fair buat Karina.

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Kami berdua sekarang ada di dalam mobil, mobil ber-plat hitam yang dikemudikan oleh orang EO. Dia tidak banyak bicara, malah aku dan Stefan yang mengobrol ngalor-ngidul seputar masalah yang akan kami hadapi nanti.

“Ini gue rada senewen sih” sahut Stefan.
“Kenapa senewennya?”
“Soalnya mereka salah jadwal soal sound check” Stefan meringis.

“Lah, kok baru tau sekarang?” bingungku.
“Iya, panggung baru beres tadi, baru aja, sementara izin soundcheck gak boleh pagi sampe sore, karena ganggu orang kuliah. Dan kalo soundcheck sesaat sebelom main, ya gak bagus lah….”
“Ntar spoiler ya ke orang-orang?” aku juga tahu resikonya. Dan sekarang kami berdua memutar otak.

“Andai gak pake sound chek gimana ya?”
“Itu pertanyaan tolol banget sih, pasti amburadul, kecuali soundmannya jago banget”
“Jago itu sejago siapa sih?” tanya Stefan.
“Sejago…. Yah, Sena udah bisa sih kalo buat setting live… Tapi sayang tu anak lagi sibuk kuliah”

“Kalo gurunya Sena gimana?”
“Gue?” tanyaku kaget. “Lo bilang tadi gue harusnya santai-santai aja?”
“Ya change of plan Mas Arya, lo kayaknya harus standby di belakang mixer terus-terusan…”
“Terus soundman yang udah di hire gimana?” tanyaku bingung sambil pusing.

“Ya udah, suruh pulang, elo yang bener-bener tanggung jawab soal masalah sound sekarang…” Stefan meringis tertawa, merasa itu bukan masalah besar.
“Ah kampret, jadi kerja kan gue sekarang…”
“Minimal kalo soundmannya kita gak jadi hire, kita bisa hemat lagi….”
“Tapi gue capek!”

“Tapi bukan sama Karina kan ini…. Plis Ya, tar gue kasih memek gratis deh seminggu” Stefan memohon kepadaku dan perkataan soal memek gratisnya membuat orang EO yang menjemput kami menahan tawanya.
“Wah monyet….”

“Plis deh, ini gue juga mendadak improv kan, baru tau tadi soal kabar panggung dan soundcheck, itu anak-anak Speed Demon pada gak apdet, untung aja gue nanya ke orang EO yang standby di panggung tadi”

“Ah yaudah….. Sampe jakarta, isiin bensin motor gue penuh, dan selama dua minggu lo gantiin gue ketemu Karina, deal?” sinisku sambil kesal. Sialan.
“Deal deh”

Aku menghela nafas panjang dan aku jadi mendadak punya kerjaan. Sialan.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

20170810.jpg

Venue, siang-siang setelah solat jum’at. Aku menatap deretan console live mixer yang sudah lama tak kusentuh. Anak-anak Speed Demon sedang ngobrol dibawah bersama Stefan dan beberapa orang dari EO. Dua orang polisi berseragam tampak mondar-mandir sambil merokok di sekitar panggung.

Damn. Sudah lama aku tidak menyentuh live mixer. Sementara di handphoneku, nada sambung terus berbunyi, menunggu Kyoko mengangkatnya.

“Hai Moshi-moshi….” ucapnya lembut di sebrang sana, menjawab telponku.
“Moshi-moshi… Udah baca Line tadi?” tanyaku.
“Sudah Aya, kasihan sekali, jadi ada pekerjaan di Jogja?”
“Padahal tadinya aku cuma mau nonton doang kan, karena pekerjaanku di studio udah beres, sekarang malah harus ngemixing live, dan harus tanpa sound check, bisa mampus ini…” keluhku.

“Tapi Aya bisa kan?”
“Bisa sih harusnya, aku pernah ngehandle kejadian kayak gini, Frank’s Chamber waktu itu korbannya, tapi mereka mah gampang, Cuma drum, gitar, sama vokal aja… Kalo ini ada gitar, bass, drum, vokal, backing vokal, pasti settingnya bakal ribet….” aku menarik nafas panjang dan membuangnya sekaligus, pasti terdengar oleh Kyoko suaranya.

“Susah ya Aya?” tanya Kyoko di ujung sana.
“Susah..”
“Tapi Kyoko yakin Aya pasti bisa…”
“Bisa, tapi susah…” Aku mencoba untuk iseng mengatur beberapa channel. Oke, ini channel-channel untuk drumnya, dan aku sudah menandainya dengan masking tape. Untung saja bukan mixer digital, tapi analog. Jadi aku bisa melakukan setting dengan cepat dan lumayan tepat walaupun butuh konsentrasi tinggi. Pada awalnya semua akan kusetel flat, lalu pelan-pelan aku akan melakukan fine tuning secara live. Ini gila. Padahal aku harusnya ada di kursi di sebelah mixer ini, menatap Speed Demon bermain dengan menggila sambil minum kopi atau ngemil, bercanda dengan Stefan yang mungkin akan menggoda beberapa anak EO yang good looking, atau mungkin malah mencoba meniduri mahasiswi yang lewat.

Itu yang kubayangkan, bukan repot di balik mixing console seperti sekarang.

“Yaudah deh… Kalau kamu bilang bisa. aku percaya sama kamu…” bisikku ke Kyoko.
“Ganbatte Aya!” serunya di telpon. Aku tersenyum.
“Yaudah, salam sama Zul ya sayang… Bye”
“Bye Aya”

Aku lantas menutup telpon, dan aku melanjutkan pekerjaanku lagi. Aku melabeli channel-channel yang akan kupakai untuk gitar, bass dan vokal. Sehabis itu aku akan membagi group output audionya. Dibagi berdasarkan frekuensi. Ke Subwoofer dan Full-Range speakernya tentunya. Untung tidak pakai speaker distribusi, jadi aku tidak usah memainkan delay. Oke…. Sial, mereka memberi equalizernya parametric saja, tidak 31 band. Fuck off. Oke, bakal jadi kegiatan yang lumayan sulit nanti.

Noise gate, compressor, limiter, crossover, terus…. Lah, ngapain pake reverb segala ini… Kan di outdoor. Aduh, pemborosan. Dan belum apa-apa, tanganku sudah pegal karena capek mencatat setiap channel masuk dan keluar. Aku melihat lagi ke arah Stefan dan anak-anak Speed Demon yang sedang mengobrol dan tampak tertawa-tawa disana, ah, ada beberapa muka yang kukenal, dari anak-anak indie dan underground Jogja.

Sialan.

Aku terpasung di balik mixer, dan dengan rajin aku mencoba menyetting semua parameter nya menjadi flat dulu. Orang macam apa yang meminjamkan mixer yang semua tombolnya kesana kemari tidak rapih seperti ini. Sial.

Aku melihat handphoneku lagi di tengah keringatku yang mengucur, karena udara lumayan panas siang ini. Ada pesan di sosial media lagi. Dari Arwen. Aduh, apa lagi sih anak ini.

“Saya bentar lg jln ke Jogja ya Mas, boarding, hehehe = )”
“Safe flight, sampe ketemu ntar malem” jawabku sambil lalu dan melempar handphoneku ke dalam tas yang kubawa. Sudah lah, mudah-mudahan tidak ada distraction lainnya. Aku akan mencoba melakukan hal yang sangat sulit sekarang, sampai nanti waktunya live show.

Ya Tuhan, tolong aku malam ini supaya semua lancar.

--------------------------------------------

loving10.jpg

Musik latar berdentum dengan kencang dan kukira anak-anak Speed Demon sudah ada di balik panggung. Aku tadi sempat beberapa saat mengobrol tentang mereka, soal preferensi live sound mereka, suara apa yang mereka inginkan untuk terdengar lebih tebal atau lebih kering, atau apapun istilahnya. Mereka untungnya sangat helpful dan malah sedih, karena aku tidak bisa santai-santai malam ini.

Suasana lapangan basket ini sudah riuh, kebanyakan oleh orang-orang yang seumuran dengan Speed Demon. Umuran kuliahan atau SMA.

Beberapa orang polisi yang berpakaian preman sudah menyebar, dan aku hapal mukanya. Stefan tampak duduk di samping live console, bicara dengan seorang perempuan yang tidak kukenal, sementara aku memakai headphone, berusaha mengutak-ngatik musik latar, sebagai persiapan fine tuning ketika nanti Speed Demon sudah mulai menghentak panggung.

Jam setengah 8 malam. Jam 8 acaranya akan dimulai.

Mendadak handphoneku bergetar. Sial, siapa ini yang menelpon. Dan aku melihat ke nomernya.

Arwen (Work)

Ah, anak ini lagi. Aku mengangkatnya.

“Mas, dimana?”
“Dibalik mixer” jawabku dengan malas.
“Loh, katanya bakal mingle di venue dan santai-santai?” tanyanya bingung.

“Ga jadi, mereka gagal check sound karena panggung baru siap tadi pagi, dan pihak kampus cuma ngijinin kemaren malem untuk mereka check sound, soalnya kalo siang-siang bakal ganggu orang kuliah….” balasku.
“Yaaah gak bisa nonton bareng dong hahaha, ntar ketemuan yuk abis selesai tugas?” tanyanya.

“Boleh, terserah…”
“Saya disini nih, di deket ring basket” dia melambai kepadaku saat aku menemukan dirinya. Aku membalas lambaiannya dengan senyum.

“Keliatan kok”
“Selamat bertugas ya Mas, mudah-mudahan lancar, tapi masih mending kan ya, daripada jumat malem harus rapat sama Mbak Karina…”
“Iya, dan malah masih mending kalo kamu suruh saya berantem sama badak ngamuk juga” candaku supaya aku tidak bete-bete amat karena kondisi malam ini.
“Hehehe… Good luck yah”
“Iya, selamat nonton, bareng siapa kamu?”

“Sendirian”
“Loh yang laen pada kemana?”
“Ga ada yang suka nonton metal hahahaha……” tawanya.

“Yaudah, selamat menikmati, ntar saya suruh Stefan nemenin kalo butuh temen” balasku.
“Oke hahaa… Daaah”
“Dah…”

Lumayan. Hiburan dari orang yang dikenal. Aku lantas berteriak pada Stefan.

“Stefan Asu!” panggilku, karena dia tampak mengobrol intens dengan perempuan itu.
“Ya kontol!” teriaknya, seperti saling berlomba untuk tidak sopan.
“Si Arwen ada disini, temenin gih”
“Ga mau!”

“Kasian jauh-jauh iseng dia nonton kesini sendirian!”
“Susah, gue lagi ngobrol sama orang cantik!”
“Monyet!”

Dan Stefan tidak menggubrisku lagi. Dan sialan, si perempuan malah tersipu malu saat Stefan terang-terangan memujinya. Sial. Pasti nanti malam itu cewek ditidurin. Aku sudah hapal hal-hal seperti ini. Aku menatap ke lautan manusia dan aku agak sedikit mempermainkan equalizer untuk mereka-reka bentuk bunyi nantinya. Beberapa orang tampak bingung dan menatap ke arah speaker atau ke arahku. Biarlah. Biar aku coba-cobanya sekarang, sebelum nanti coba-coba, malah mengganggu mereka yang menonton.

Mendadak handphoneku bergetar lagi. Anjing. Apaan lagi sih. Aku menatap ke arah Arwen. Dia tidak sedang menelpon. Dia menatap dengan sabar ke arah panggung. Aku melihat ke Stefan, dia sedang haha-hihi dengan mbak itu.

Kyoko mungkin ya? Aku melihat layar handphoneku dan menemukan nama yang familiar.

MONYET DISKO.

Oh, Anin rupanya. Apaan lagi sih, apa mau laporan soal ketemu dengan Karina dan Mas Awan tadi? Bukannya bisa lewat grup sosial media saja? Tapi mau tak mau aku mengangkatnya. Ini kali kedua aku bicara lewat telpon malam ini.

“Halo” aku mulai menyapa Anin.
“Lo musti tau men…”
“Apaan sih, gue dulu ah yang nanya, tadi gimana pas bareng Karina sama si Produser makan gaji buta itu? Lancar?” tanyaku.

“Suprisingly lancar sih, terutama pas aransemen….” balas Anin.
“Gak heran, emang anak itu cuma mau ngeresein gue aja ya bikin susah gue tiap-tiap dia ketemu gue….” keluhku.

“Dan gue jadi tau kenapa dia kayak gitu, tadi dia banyak nanya-nanya soal elo ya…. Bego kali ya? Dia kan tau gue pasti nyampein ke elo….” sambung Anin. Aku menelan ludah dengan tidak nyaman.
“Bukan, dia tau lo pasti nyampein ke gue, dia pengen gue tau tapi bukan dari dia, mungkin dia pengen bikin gue kesel…”

“Intinya sih Karina tadi bilang, orang kayak elo tuh susah majunya…. Jadi musti di push terus….”
“Anjing”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Hhahhaa.. Karina nyari ribut nihh..
Btw dijogja kayaknya bakal ada something deh..
Thanks update nya mr. Racebannon
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd