Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bertamax di amankan sikasik akhirnya dapat juga mantap hu thanks up-nya Karina dan Angga kayA kucing dan guguk berantem terus yg sabar ya ngga
 
Liat Karina sama Arya debat, kaya liat atlit anggar tanding. Adu bacotnya cepet. Mantan suhu....
 
Karena aku tidak tahu lagi, berapa banyak tenaga yang tersisa dalam diriku untuk menggunakan pedangku, menangkis setiap bacokan Karina, dan menunggu kesempatan yang
Bagas akan jadi juru selamat. Aku yakin itu... Hehe...
 
Semakin sepi semakin lama update nih cerita, karna ga bosa pindah ke next page
 
Bimabet
MDT SEASON 2 – PART 27

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Maaf banget Ya…. Ma’aaaaaf banget…”

Anin menangkupkan kedua buah telapak tangannya di hadapanku. Permintaan maaf yang tidak merubah fakta bahwa kemarin siang, aku mendapati personal hell ku bersama Karina lagi, tanpa ada Anin disana untuk menemani, menengahi, atau ikut berdiskusi. Mas Awan terlalu pasif, dia seringkali hanya mengobservasi dan memberi masukan sedikit-sedikit.

“Tega” kesalku sambil duduk pasrah di lantai studio.
“Kurang ajar juga elu hahaha” tawa Stefan, menertawai Anin yang tampak berdosa.

“Kalo lo gak ikut yang minggu depan, gue sate semua robot-robot elo” tunjukku dengan geram ke Anin.
“Iya sorry, kemaren itu mendadak ada anak les gue yang ganti jadwal, dan gue langsung iyain aja, dan mendadak baru gue inget kalo gue harusnya rapat ama Karina bareng elo….”
“Alesan” ledek Stefan.

“Kenapa gak elo aja yang nemenin?” ketus Anin ke Stefan.
“Soalnya gue kan ngantor beroh… Tapi ntar-ntar kalo bolos juga gue bakal nemenin si Arya” tawa Stefan melihatku dan Anin yang tampak nelangsa.
“Nin, banyak lagu Hantaman yang elo tulis lho… Kemaren itu Tanah Memerah, yang mulai kita bedah, itu elo yang nulis, walau aransemennya yang arrange gue…. Kehadiran elo akan sangat-sangat jauh berguna….” Kesalku.

“Maaf ya… yang minggu depan gue janji, bakal gue temenin…..”
“Walaupun tetep sama rencana awal kan?” tanya Stefan.
“Iya” jawabku dengan lemas.

Rencana awal kami simple di project ini. Yaitu pasrah. Kami pasrah akan apapun yang akan Karina re-arrange. Kami hanya akan iya-iya saja dan hanya “mendampingi” nya selama proses. Kami berusaha untuk melibatkan diri kami seminim mungkin untuk meringankan beban kami, dan juga agar tidak terjadi banyak perselisihan denganku. Tapi percuma, tampaknya ada saja hal kecil yang aku lakukan dan hal kecil yang dia lakukan semuanya terlihat salah.

Entah itu masalah apapun. Kadang-kadang kalau aku tak punya pendapatpun, akan melahirkan reaksi sinis dari Karina. Ya, reaksi. Bukan respon. Karena reaksi itu otomatis. Tanpa melalui proses pemikiran dan pertimbangan. Dan sejauh ini, interaksiku dengan Karina di project ini, penuh dengan reaksi.

Reaksi saling nyinyir dan saling berusaha menyerang. Walaupun dalam penulisan ulang part lagu dan partitur bisa dibilang “mulus”, tetapi tetap saja ada hal –hal lain yang diributkan secara tidak penting dan tidak efektif. Yang lucunya, Mas Awan pun tidak berusaha untuk menengahi aku dan Karina. Mungkin iya di pertemuan pertama, tapi di pertemuan kedua, dia tampak malas mencampuri urusan kami.

Entahlah, dia bisa memilih untuk tidak mencampurinya memang. Suka-suka dia.

“Kenapa ya mesti ada Karina lagi di hidup gue….” Keluhku sambil memainkan jari-jari tanganku di lantai kayu.
“Nasib soalnya” jawab Stefan asal.

“Cabut aja yuk?” tanya Anin sambil meringis.
“Taik, itu ada dendanya tau kalo kita batalin kontraknya, mau mampus apa lo duit perusahaan kita dipake buat bayar denda…. Eh, ngomong-ngomong perusahaan, berapa persen Ya?”

“Berapa persen itu maksudnya..... Progress ngeberesin albumnya Speed Demon?” tanyaku.
“Iyak”

“50 % lah, setengahnya…”
“Loh?” bingung Stefan.

“Kok loh?” tanyaku sambil malas-malasan.
“Itu waktunya udah tinggal bentar lagi bego! Lo pikir berapa lama nyetak CD? Seminggu gak kelar, buruin….” Kesalnya.

“Iya… kan gue kerjain mulu, lagian gue juga pengen cepet beres, cepet siap, dan cepet pergi ke Jogja deh, biar bisa istirahat ga mikirin Karina dulu….”
“Ke Jogjanya gak bisa dipercepat, Bapak… Ada tanggal pastinya kapan launchingnya dan gue udah beli tiket buat tiga orang pergi ke sono, makanya buruan ah, kerjaan gue sama Anin udah tinggal nungguin elo soalnya….” Komplain Stefan.

“Siap pak direktuuuuuuur” jawabku sambil meregangkan badanku dan melayangkan tinju ke udara. Aku mendadak membayangkan bagaimana seandainya jika tinju itu menghajar wajah Karina. Pasti puas sekali rasanya.

“Kalo si Karina udah keterlaluan, lo perkosa aja Ya, pake boolnya sampe nangis” canda Stefan sambil berdiri, sepertinya ingin merokok di luar studio sambil menunggu Bagas yang sedang dalam perjalanan kemari.
“Gak lucu”
“Enggak, gue serius” balasnya.

“Daripada lo jadi korban mulu, sekali-kali lo jadi pelaku deh…. Kasian amat desperate gitu, masuk penjara sekalian…” tawa Stefan, meninggalkanku yang sedang kehabisan semangat di lantai studio. Dan di saat-saat seperti ini, aku butuh Kyoko.

--------------------------------------------

guitar10.jpg

Aku duduk di atas kasur, dan istriku sedang bersatu denganku di dalam pangkuanku. Aku menggoyangkan pantatku naik turun, sambil meremas kedua buah dadanya dan menjilati putingnya dengan penuh nafsu. Kyoko meringis keenakan, mengeluarkan suara-suara indah yang menentramkan jiwaku. Dia memeluk badanku dengan erat, dan membiarkan penisku keluar masuk lubang kewanitaannya yang indah.

Kepalanya terkulai, pasrah oleh semua gerakan yang kubuat, dan dia juga bergerak pelan mengikuti irama tubuhku.

Malam itu, aku meremas, menggauli dan menggagahi Kyoko dengan penuh semangat. Entah kenapa. Entah kenapa aku begitu ingin melampiaskan sesuatu yang tidak terlampiaskan. Mungkin aku sedang marah, mungkin aku sedang tidak nyaman dengan kondisi terakhir dalam hidupku. Dan hadirnya Kyoko di hadapanku, serasa membuatku terbius, mengalihkan sejenak segala kepusingan dunia dan lebih memilih untuk melakukan apapun yang bisa kulakukan ke istriku.

Kami berdua telanjang bulat, dan kulit kami bersentuhan dengan nyamannya. Badannya yang lembut dan kenyal terasa begitu menggairahkan dalam pelukanku, sehingga rasanya aku tidak ingin melepaskannya.

Aku tidak menghitung jam lagi, berapa lama kami melakukannya malam ini. Yang kutahu, begitu Kyoko pulang, aku langsung menyambutnya dan menciuminya dengan begitu bersemangat.

Dan tanpa sadar, kami saling melucuti baju kami dan bergumul di atas kasur. Entah sudah berapa banyak posisi yang kami coba lakukan, ada yang nyaman dan tidak nyaman. Tapi sekarang, di dalam pangkuanku, rasanya Kyoko benar-benar mengisi jiwa dan ragaku.

“Aya…. Umai yo…” bisiknya. Dia tampak menikmatinya.

Entah kenapa, malam ini mengingatkanku pada semua kejadian yang pernah kami lakukan ketika pertemuan petama kali kami di Jepang sana. Dimana rasanya semua adegan seks yang kami lakukan benar-benar penuh nafsu dan diselimuti oleh rasa penasaran. Akhir-akhir ini memang kami jadi terlalu casual tentang masalah seks. Memulai dan menyudahinya terlalu gampang. Mungkin karena malam ini penuh dengan spontanitas, maka semuanya terasa menantang.

Ya, ingatanku kembali di saat kami berdua masih saling asing akan tubuh kami. Betapa kami benar-benar menggunakan waktu yang sedikit itu untuk saling mengenal dalam sebuah percakapan yang disebut seks.

Aku mendorong tubuh Kyoko perlahan, sambil melumat bibirnya dengan kencang. Aku memegang tangannya dan membiarkan buah dadanya yang indah itu dengan jelas terguncang di atas kasur. Aku memperhatikan kedua keindahan itu, sambil terus memompakan penisku dengan ganasnya ke dalam vaginanya.

Rasanya sungguh hangat dan nikmat. Penisku berasa diselimuti oleh sebuah kehangatan yang membius. Kyoko tampak meringis dan aku bisa melihat sedikit ekspresi yang sedang ia coba lepaskan.

“Ikisou da…..” bisiknya lagi, menandakan bahwa ia sedang dalam proses menuju orgasme. Rasanya pasti sudah seperti di ujung.

“Ah” Kyoko menggelinjang sejenak dan menjepit kakinya erat ke punggungku. “Aahhh….” Dia mulai mencoba berontak secara otomatis. Gerakan tubuhnya yang seperti meronta malah membuatku menjadi lebih bersemangat untuk menggaulinya. Aku mempercepat frekuensi gerakanku dan dia tampak keenakan.

“Aya… Ah!” Kyoko menggelinjang dengan keras, dan badannya bergoyang tanpa arah yang pasti. Aku makin menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya dan nafasnya terasa terengah-engah. “Aya…. Saikou da… Ah!” dia lantas kaget, karena di tengah kenikmatannya, aku mengeluarkan spermaku di dalam lubang vaginanya.

Kyoko mendadak diam dengan badan yang masih bergetar dan nafas yang berat. Dia menatapku dengan mata penuh rasa puas dan penuh kasih sayang. Aku tersenyum, dan lantas mencabut penisku.

Aku menciumnya dan langsung memeluknya, lalu tanpa bersih-bersih, langsung menarik selimut untuk menutupi tubuh kami yang dari tadi terpapar oleh udara dingin AC. Kyoko masuk dalam pelukanku, dan rasanya sungguh nyaman. Tak ada yang lebih nikmat selain berpelukan sehabis seks. Bisa dibilang, malam ini sungguh panas, dan sekarang suasananya hangat.

“Setelah seharian pusing, emang enak kalo malemnya bareng sama kamu….. Aku gak yakin kuat ntar dua hari di Jogja” senyumku kecut, mempersiapkan diriku untuk acara launching album Speed Demon yang tampaknya makin hari makin mengejarku.

“Tak apa Aya…. Tapi apakah pekerjaannya sudah selesai? Sudah sampai mana?” senyumnya membalasku, sambil memegang pipiku dengan lembutnya.
“Baru setengahnya”
“Kasihan… Aya juga pasti capai ya? Sekarang harus susah-susah bertemu dengan Karina juga…”

“Ah… Soal itu sih…”
“Pusing sekali Aya ya?” dia mencoba mencium bibirku dan aku tidak menghindar. Bibirnya dengan lembut melumat bibirku dan aku sejenak membiarkan diriku tenggelam dalam dirinya. Di dalam selimut di tengah kamar yang dingin akibat AC ini.

“Kalau gak ada kamu, mungkin aku gak bakal kuat” bisikku saat dia melepas bibirku.
“Aya selalu semangati Kyoko untuk bisa kuat ada di sini, dan Kyoko yakin kalau Aya bisa bereskan setiap pekerjaan Aya…. Dan Aya bisa lihatkan ke Karina, kalau sekarang Aya jauh lebih bahagia lagi” jawabnya.

Oke, paham, pasti dalam diri Kyoko ada sedikit rasa bangga, karena aku memilihnya. Dia sudah banyak mendengar soal kepusinganku terhadap Karina di jaman dulu, maupun akhir-akhir ini. Pasti dia merasa sedikit menang, karena aku nyaman bersamanya. Entah kenapa aku geli mendengarnya. Dan rasanya lucu. Tapi minimal ini menghiburku, karena aku hanya membutuhkan penghiburan seperti ini untuk melupakan rasa-rasa tidak nyaman di proses re-arranging lagu-lagu kami.

Biarkan aku memeluk Kyoko dengan erat. Dan biarkan aku melepas rasa pusingku sejenak, sebelum besok aku disibukkan oleh masalah Speed Demon lagi dan pertempuran-pertempuran selanjutnya dengan Karina.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

5a8e7910.png

“Intinya sih gue gak ngijinin kalau kalian ga ada yang dateng minggu depan” Karina melipat tangannya di depan piano, menatap aku dan Anin.
“Tapi kita minggu depan musti banget ke Jogja” sela Anin.

“Ya jangan semuanya dong, kita juga ada deadline kan buat bikin ini semua, kecuali kalau kalian mau mundurin jadwal live nya, dan kalau kalian propose jadwal nya dimundurin, itu semua terserah Mas Awan sih... Tapi dia mesti ngobrol lagi sama orang-orang di atas sana, dan gue pikir mereka gak akan mau mundurin tanggal” jawab Karina dengan kesal.

Perkataannya masuk akal, tapi karena yang bicara adalah Karina, semuanya jadi terdengar tidak logis. Ya, minggu depan kami bertiga sudah harus ke Jogjakarta. Minggu depan, hari jumat malam, akan diadakan acara launching album perdana Speed Demon. Konser Tunggal ceritanya. Venuenya di lapangan basket Universitas tempat sebagian besar anak Speed Demon kuliah. Aku lupa-lupa ingat nama tempatnya. Semuanya sudah disusun rapih, mulai dari undangan ke perwakilan-perwakilan music label indie di Jogja, studio-studio musik, komunitas-komunitas musik, dan segala macam semua jejaring kami yang memungkinkan di Jogjakarta.

Proses produksi tentunya sudah selesai semua, tinggal rilis. Dan salah satu alasan kami mengadakannya outdoor adalah untuk mencegah terjadinya konfrontasi fisik antar remaja tanggung yang kadang-kadang tidak berpikir sebelum bertindak. Di sisi lain, kami akhirnya menghindari menggunakan bar juga untuk menghindarkan minuman beralkohol hadir diacara tersebut, meminimalisir gesekan.

Masalah keamanan? Tenang, biar Mas Epan yang ngatur. Entah darimana dia punya link ke polisi di Jogjakarta. Dia kadang suka tertawa kalau kami berdua, aku dan Anin agak-agak kalang kabut soal persiapan launching album Speed Demon. Biasanya dengan tenangnya dia bilang kalau urusan yang kami pusingkan sudah diurus, ataupun dia punya cara sendiri untuk merumuskannya.

“Jadi?” tanya Karina membuyarkan lamunanku dan Anin.
“Kalau bisa sih tetep ada perwakilan kalian ya buat rutinitas ini, soalnya kita kan dikejar deadline juga” Mas Awan meringis, menjadi backing vokal Karina, dan sedikit mendesak kami untuk hadir secara rutin.

“Satu orang aja, gak usah kalian berdua” lanjut Karina. Aku dan Anin berpandang-pandangan. Siapa yang lebih penting untuk hadir di Jogja minggu depan? Aku atau dia?

“Lebih butuh siapa? Gue atau Arya?” tanya Anin ke Karina.
“Kalau mau jujur, gue lebih butuh orang yang nulis lagunya” Dia menatap ke Anin. Di satu sisi aku bersyukur, karena mungkin Karina lebih butuh sang penulis lagu daripada arranger yang suka berseteru dengan dia ini. Dan mungkin dia lebih memilih untuk tidak bertemu dengan mantan pacarnya. Karena memang perbedaan pendapat konyol yang cenderung destruktif sering terjadi antara aku dan dirinya.

Dan itu semua stressful untukku. Mungkin untuk Karina juga. Jadi dia bersuara lebih dulu, dan meminta Anin yang tetap hadir di sesi re-arranging musiknya Hantaman. Toh memang sebagian besar lagu Hantaman ditulis olehnya. Memang pembagian penciptaan lagu di Hantaman sudah pasti fix. Anin yang biasanya menulis lagunya, Stefan yang menulis liriknya, dan aku yang mengkomposisikan dan menata musiknya.

Bagas? Tugasnya adalah bermain drum dengan baik di setiap lagu Hantaman.

“Boleh nelpon bentar?” tanyaku ke forum, sepertinya aku dan Anin butuh memutuskan ini dengan cepat, jadi kami berdua mungkin harus segera bicara ke Stefan. Karina menatap ke Mas Awan, dan sepertinya orang yang dimintai izin tidak butuh waktu lama untuk mempersilakan kami menelpon sebentar di luar.

“Oke” sambutku setelah Mas Awan mengangguk. Aku dan Anin keluar dari ruangan itu cepat-cepat dan mencari spot sepi di sana. Tak lama kemudian, aku tersambung dengan Stefan.

“Fan, sibuk?” sapaku.
“Enggak, lagi disepongin sama cewek ini” candanya.
“Jadi gini, Karina sama Mas Awan bener-bener butuh salah satu dari kita tetep ikut di jadwal composing buat konser akustik ini buat minggu depan….”
“Lah kan minggu depan kita ke Jogja, Kontol” balas Stefan bingung.

“Makanya, dan tadi kayaknya kita baru bisa bolos kalo mereka nanya dulu ke atas-atasnya mereka, bisa gak jadwalnya diundur….”
“Hmm.. Dasar, kok kaku dan belibet gitu sih…” keluh Stefan.

“Pinjem” Anin meminta handphoneku dan aku mengiyakan.
“Anin mau ngomong”
“Oke”

“Fan, gue pikir, gue aja yang gak ikut gimana, tadi si Karina mintanya gue yang stay di Jakarta, lagian, tugas gue kan bisa remote…..” Aku mondar-mandir di sekitar Anin. Aku tak tahu apakah memang benar Anin yang dibutuhkan, ataukah Karina juga sama muaknya seperti aku. Dia tak tahan ada di dekat-dekat diriku. Dan kalau memang itu yang terjadi, aku bersyukur, karena keseluruhan proses ini menyakitkan. Bukan berarti aku tidak menikmati proses aransemen ulang, justru aku menyukainya karena ini lahan eksplorasi musik yang baru. Tapi kalau mengerjakannya dengan Karina, nah, itu yang kubilang “personal hell”.

“Oh oke, perlu gue balikin ke Arya lagi gak?” tanya Anin. “Oh, yaudah… Bye nyet” lanjutnya menutup telpon.

“Gimana?”
“Katanya gapapa gue yang tinggal, lagian dia bilang, kasih si Arya libur ketemu Karina, biar dia asik-asikan di Jogja sama cewek-cewek kuliahan” senyum Anin.
“Oh oke, tapi gapapa kalo elo sendiri?” tanyaku memastikan ke Anin.

“Coba lo perhatiin deh Ya…” Anin malah mengajakku keluar sebentar sambil mengeluarkan rokok dari saku celananya. Aku mengikutinya, dan dia menyalakan rokok di depan tong sampah. “Sebatang aja ya” bisiknya sambil melihat jam.

“Oke… Perhatiin apaan?” tanyaku.
“Karina gak rese sama gue selama proses ini”
“Hmm…”
“Oke dia keliatan tegas dan emang orangnya detail banget, tapi somehow, interaksinya sama Mas Awan dan gue cuma sebatas tegas dan firm aja…. Kalo sama elo beda, keliatan banget kayak dia nyari-nyari kesalahan elo terus…” senyum Anin.

“Iya banget” senyumku getir sambil melihat ke arah handphoneku. Kesempatanku untuk memeriksa sosial media.

Ah, pesanku untuk Kyoko belum dia balas, mungkin dia sedang sibuk di Mitaka. Ada satu pesan lagi yang belum terbaca dari Arwen. Dia jadi sering menanyakan kabar dan progressku di project ini. Tentunya dia menjadi concern karena ini awalnya adalah idenya dia, dan dia masih merasa kalau dia menjerumuskanku ke lembah Karina.

Dan tak hanya itu. Masih ingat sewaktu dia mengajakku makan siang? Itu rencananya dia ingin mentraktirku karena merasa bersalah, tapi karena waktunya mepet dan aku terburu-buru harus kembali rapat lagi, kami jadi bayar masing-masing. Jadi, bisa disimpulkan kalau dia tambah merasa bersalah dengan lucunya.

“Hari ini ketemu Mbak Karina lg?” tanyanya di sosial media.
“Iya, ini lagi, cuman nemenin Anin ngerokok di luar dulu, mumpung bisa keluar”

Ternyata dia sedang online, dan dia langsung membalas pesanku.

“Mumpung bs keluar?” nada kalimatnya tampak bingung.
“Disetrap sama Karina wkwkwk” balasku bercanda getir.

“Eh, serius mas sama dia ga bole keluar kalo lagi di studio?” tanyanya.
“Biasanya susah sih, kenapa emang?” tanyaku karena memang biasanya Karina strict kalau urusan musik. Biasanya dia menyuruh aku dan Anin untuk fokus ke musik dan malah menegur kami kalau kami memainkan handphone atau sering keluar masuk, terutama Anin, karena mungkin dia gatal ingin merokok.

“Err….” jawab Arwen.
“Kok jawabnya gitu?”

“Masalahnya…. saya kan ngecek ke anak-anak, terutama saya kenal anak-anak band yang sebelomnya… Kata dia, pas mereka bareng sama Mbak Karina… Biasa-biasa aja, malah cenderung nyantai…. Ma’aaf kepo, soalnya aku penasaran, kalo denger dari Mas Arya, kayaknya kerja bareng sama dia tuh nakutin, aku cuma mau kroscek aja…” balasnya panjang.
“Oh…” jawabku pendek.
“ =| “ jawab Arwen tak kalah pendeknya.

Aku merengut saat membaca ulang chatku dengan Arwen. Bisa ditarik kesimpulan, bahwa selama ini, sejak kami berdua putus, tampaknya Karina mungkin merubah sikap kerasnya di hadapan orang-orang lain. Tak heran jika kesan pertama Arwen bertemu Karina berbeda dengan apa yang kurasa.

Dan aku jadi berpikir, jangan-jangan selama ini, bahkan di saat kami sedang berpacaranpun, dia hanya sinis dan galak tak menentu kepadaku. Memang selama ini para musisi pengiringnya selalu mengeluh masalah perfeksionismenya dan tegasnya, tapi tampaknya keluhanku lebih banyak.

I Wonder Why.

“Kenapa muka lu gitu amat?” tanya Anin sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Baca nih”

Aku menunjukkan chattinganku dengan Arwen ke Anin. Dia memeriksanya sebentar dan dia tampaknya membacanya berulang-ulang. Mendadak mukanya jadi merengut juga, mirip-mirip dengan mukaku. Tapi tentunya tidak mirip. Ai bisa marah mungkin kalau muka kakaknya dimirip-miripkan dengan Anin.

“Aneh kan?” tanyaku.
“Hmmmm…. Dendam sama elo?” tanya Anin.
“Dulu juga pas pacaran mirip-mirip kok, tapi pas abis sinis-sinisan ya mesra-mesraan lagi” aku tersenyum getir, membayangkan ingatan masa laluku bersama Karina. Bergidik aku rasanya, membayangkan aku pernah nonton bioskop, jalan-jalan, liburan, dan bahkan berhubungan seks dengan perempuan itu.

“Apa dia cuma sinis dan galak berlebihan ke elo doang? Tapi pas yang gue baca yang soal proyek yang dulu-dulu, itu kesannya gak Karina banget sih, seinget gue, dia orangnya kan agak-agak susah ramah gitu…. Pas baru pacaran sama elo juga, kan bisa pacaran karena elo yang penasaran dan ngejar dia dulu” senyum Anin.
“Taik jangan diingetin lagi… pait pait pait” balasku sambil meringis, mengingat kenangan manis bersama Karina yang mungkin sekarang tak manis lagi. Tapi pahit dan rasanya aku ingin melupakannya saja.

“Mungkin, tapi mungkin ya, gue rasa abis lo sama dia putus, mungkin ada yang nasehatin dia supaya gak gitu-gitu amat kalo jadi orang, atau, mungkin juga dia dengan kesadaran sendiri coba perbaikin sikapnya…. Tapi…”
“Tapi pas ketemu sama gue remnya mendadak blong?” potongku.

“Yaa…. Bisa”
“Tokai”
“Emang dia sebel banget sama elo ya kayaknya?”
“Masih pake kayaknya lagi Nin….”

“Berarti bener keputusan kita, gue aja yang tinggal disini, lo sama Stefan yang urusin apapun di Jogja sana ya” senyum Anin sambil mematikan rokoknya di tong sampah.
“Makasih…” senyumku getir sambil menatap kosong ke arah entahlah.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd