Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 25

--------------------------------------------

attrac11.jpg

“Lo sakit jiwa?”
“Kenapa sih Di?” aku menatap Dian dengan muka santai.

“Lo bakal kerja bareng sama Karina??”
“Ya abisnya gimana? Dia music directornya kok?” tanyaku dengan santai.
“Lo tau kan gue paling gak suka ketemu ama dia”
“Ya kan elo bukan gue, dan gue juga paling gak suka kan ketemu ama dia”

“Yakin lo ga kenapa-napa gitu? Hilang ingatan? Stress?” Dian menyentuh dahiku dengan maksud bercanda, tapi mukanya masih kaget.
“Kenapa si Arya? Sakit?” suaminya datang menghampiri kami.

“Dia bakal gawe bareng ama Karina sayang….” Dian masih menatapku dengan tatapan aneh. Kami ada di tengah-tengah banyak manusia, di sebuah resepsi pernikahan, Pernikahannya Rendy dan Anggia. Lucu rasanya melihat kedua insan beda agama itu dipajang di pelaminan. Akhirnya Rendy mampu meluluhkan hati orang tua Anggia yang kudengar-dengar selalu bersikap keras setiap Anggia berpacaran dengan orang yang berbeda agama dengannya. Tapi rata-rata pacar Anggia pasti selalu muslim. Jadi ya pasti keras terus, tawaku dalam hati.

Kyoko sedang mengambil makanan, mengantri dengan rapih, tak jauh dari jarak pandang mataku. Di belakangnya ada Anin dan mereka berdua tampak mengobrol dengan akrabnya. Bram? Tidak datang tentunya. Stefan juga diundang, tetapi dia tidak bisa datang, ada keperluan lain, katanya. Entahlah keperluan apa.

“Emang kenapa gitu?” tanya sang suami dengan muka berpikir.
“Karina, mantan pacarnya!” Dian tampak menonjok rusuknya dengan bermain-main. “Dia bakal gawe ama mantan pacarnya!”

“Eh, aku sekantor sama Nica lho…” bisik suaminya sambil melirik ke arah seorang perempuan muda, berambut panjang, berkaca mata dengan aura seperti anak-anak.
“Dan dia bukan saingan aku” ledek Dian sambil menjulurkan lidahnya ke arah suaminya.
“Ya tapi maksudnya, biasa kali, orang satu kerjaan dengan mantan pacar”

“Tapi ini Karinaaa” lanjut Dian dengan muka kesal.

“Bedanya apa Karina sama mantan pacar biasa emangnya?”
“Karina!”

“Iya tau, kamu gak suka ama Karina, tapi kan bukan kamu yang bakal kerja sama Karina…”
“Awas lho kalo lo ada apa-apa sama Karina!” Dian menunjuk mukaku dengan tajam.

“Yakali… Lo pikir gue apaan, mau lagi sama orang model gitu” aku menggaruk kepalaku karena aku merasa Dian agak overreacted.
“Bini lo apa pendapatnya, kenapa dia kasih-kasih izin aja? Lo gak bilang ya?” tanya Dian lagi.
“Bilang lah… masa gak bilang? dia ngizinin setelah dia tau kok… Dia pikir emang kita harus profesional, walau dia bilang kalo dia rada-rada ngerasa gak enak, tapi dia mikir, ini kan demi karir musik gue, lagian ini proyekan, dan ada tenggat waktunya, dan ini semua bukan mau gue, bukan mau Karina, ini maunya Yang Maha-kuasa” candaku sambil menunjuk ke arah langit.

“Asal… Awas loh”
“Gak bakal kenapa-napa gue sama orang itu mah, udah ilfil sejak kapan tau….” tawaku, menatap sepupuku yang sedang marah-marah gemas ini.

Ya, aku agak paham kenapa Dian overreacted. Sejarahnya dengan suaminya sendiri agak kurang mulus, karena mereka sempat putus akibat Dian sempat berkasus. Ada dokter muda yang lebih senior menggodanya, dan Dian tampaknya larut dalam permainan hati, walaupun mereka tidak sempat ngapa-ngapain, hanya sebatas saling bertukar pesan saja. Pesan yang menjurus ke arah percintaan mungkin. Dan selanjutnya bisa ditebak, pernikahan sempat batal, dan Dian waktu itu sangat-sangat menyesal. Jadi dia sepertinya jadi lebih sensitif kepada hal-hal yang bisa memicu perselingkuhan atau affair atau semacamnya.

“Aya mau juga tidak? Ini enak…” Kyoko mendekat ke kami dan dia menunjukkan apa yang sedang dia makan kepada kami.
“Ntar aku ambil sendiri” senyumku ke istriku.

“Eh, sini deh kamu” Dian mendadak menghentikan Kyoko yang sedang enak-enak makan. Kyoko bingung dan dia pasrah saat Dian menarik tangannya dengan muka gusar.
“Kenapa?” bingung Kyoko dengan muka heran.
“Serius kamu kasih suami kamu izin buat kerja sama Karina?” tanyanya dengan tajam.

“Aduh udah deh…” aku menggelengkan kepala. Tak perlulah sampai dibicarakan begitu.
“Ahaha… Dian, tidak apa-apa…. Aya tidak akan berbuat yang Dian mungkin khawatirkan…” senyum Kyoko sambil menatap mataku dengan nada penuh kepercayaan.

“Kamu tau kan itu orang nyebelinnya kayak apa?” tanya Dian ke Kyoko.
“Aya sering cerita soal itu, Dian”
“Kamu harus ngerasain sendiri”
“Kyoko harap Kyoko tidak akan merasakannya” senyum Kyoko penuh harap.

Aku menggelengkan kepalaku sambil menepuk jidatku sendiri.

“Ah pusing deh, pokoknya elo awas ya kalo ada apa-apa ntar!” tunjuk Dian ke arahku dan aku hanya bisa meringis kecil sambil memutar mataku keatas.

--------------------------------------------

eco-dr10.jpg

Kami berdua ada di jalan, merayapi jalan jakarta di hari minggu ini, pulang ke rumah untuk segera beristirahat sehabis menghadiri pernikahan Rendy dan Anggia. Sekarang Rendy tidak perlu lagi mengeluh karena melihat Anggia bersama orang lain. Sekarang Rendy dan Anggia sudah saling memiliki dan mereka tampak sangat bahagia tadi. Kesabaran dan kebesaran hati Rendy patut kita apresiasi, karena dia sudah begitu lamanya menunggu untuk bisa mampir di hati Anggia. Dan sekarang, dia mampir untuk selamanya.

“Aya…” tegur Kyoko dan aku lantas memelankan musik yang mengalun di dalam mobil, agar kami dapat bicara tanpa gangguan berarti.
“Iya sayang?”
“Dian sepertinya benci sekali ya kepada Karina?” tanyanya, dengan muka khawatir, dan mukanya terlihat dia sedang merasa tak nyaman.

“Dulu waktu aku sama orang itu, Dian itu salah satu yang paling gatel suruh aku pisah sama dia. Tapi kayaknya dulu aku bodoh deh, bisa kayak gitu… Untung sekarang udah pinter” balasku.
“Kyoko jadi khawatir”
“Khawatir soal apa?” tanyaku dengan hati-hati. Jangan-jangan dia jadi berpikir ulang soal izin yang pernah dia berikan kepadaku perihal kerjasama yang akan dengan intens melibatkan Karina.

“Supaya Aya tak salah kira, Kyoko bukan takut akan ada apa-apa soal hubungan Aya dan Karina…” dia lalu menghela nafas panjang. “Melihat Dian tadi, Kyoko jadi takut kalau Aya malah pusing, tidak suka dan tidak bahagia ketika mengerjakan proyek ini….” lanjutnya.
“Maksudnya kamu khawatir aku bakal stress dan frustasi pas ketemu sama Karina?” tanyaku sambil melirik ke arah istriku.

“Betul Aya”
“Hmmm….. Resiko sih…”
“Jujur, awalnya Kyoko khawatir, mungkin akan ada apa-apa soal Aya dan Karina, sewaktu Aya beritahu. Tapi lama-lama, Kyoko tidak takut akan ada apa-apa. Kyoko jadi lebih takut kalau Aya… Ano.. Se tress… Ketika bekerja….”

Tidak salah. Memang seperti itu adanya. Aku tidak akan mungkin melakukan hal yang tidak-tidak dengan perempuan lain di luar sana. Itu tidak mungkin. Tidak mungkin sekali. Tapi resiko aku tidak nyaman bekerja dengan Karina? Banyak. Resiko aku stress karena sikap dan sifat Karina saat pengerjaan aransemen? Tinggi sekali resikonya. Lebih tinggi dari Monas dikali 32 kali. Memang sulit, walau bisa dibilang dulu aku sering bekerja sama dengan Karina untuk membuat musik, tapi pasti sekarang rasanya berbeda. Dulu aku bisa tahan karena aku dan Karina mengerjakan musik untuknya. Sedangkan sekarang untuk Hantaman. Dan sekarang, bukan tidak mungkin secara sadar ataupun tidak sadar, Karina sengaja mencari-cari kesalahanku. Entah untuk apa.

“Hhh…… Tapi…” ucapku. Kyoko memperhatikanku dan menunggu kata-kata selanjutnya keluar dari mulutku. “Kan ada kamu…” senyumku tipis sambil memperhatikan jalannya mobil yang sedang kusetir ini.

“Maksudnya apa Aya?”
“Kalaupun nanti aku Stress, kan ada kamu… Aku bisa cerita sama kamu dan kamu pasti bikin aku nyaman lagi” aku tersenyum lebar, sambil menepuk paha Kyoko.
“Tapi tetap saja sebelum ketemu Kyoko, Aya sudah stress terlebih dahulu…” balasnya.
“Kan ntar juga bakal ada Anin sama Stefan, aku juga bakal ngandelin mereka buat ngelindungin aku dari perasaan gak enak dari dan ke Karina”

“Iya Aya”
“Emang kadang kita harus ngelaluin hal yang gak enak buat supaya berhasil kan?” tanyaku ke istriku.
“Seperti Kyoko, pusing sebelum bisa punya kegiatan di Mitaka” jawabnya sambil mendadak menggenggam tanganku yang menganggur.
“Ya, biasanya jalan menuju hal yang baik itu gak mulus, justru kalau mulus-mulus aja harus curiga katanya” senyumku.

Kyoko balas tersenyum dan menggenggam tanganku makin erat.

“Walau khawatir, Kyoko harap semuanya baik-baik saja”
“Amin”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

5a8e7910.png

“Sekarang pas giliran mau sign contract, semuanya ngikut” Stefan menggerutu, karena aku dan Anin ada di sebelahnya.

“Wajib kan? Pas gue pertama kali ketemu Karina gak ada yang ikut….” keluhku.
“Pas gue nego term dan revisi draft sama si Awan-awan ini juga kalian ga ada yang ikut” balas Stefan.

Hari ini aku, Anin dan Stefan ada di ruang tunggu Music Hall yang akan bekerja sama dengan kami. Hari ini kami dijadwalkan akan menandatangani kontrak untuk bekerja sama dengan mereka, sekalian mulai planning. Planning penjadwalan untuk proses produksi dan kapan kira-kira ini semua bisa disajikan ke publik dalam bentuk sebuah konser.

Hari ini tentu saja, akan ada Mas Awan, Karina, serta orang legal yang akan jadi saksi pengikatan janji antara kami semua. Kami sendiri membawa bendera Matahari Dari Timur, music label milik kami sendiri yang menaungi Hantaman. Ngomong-ngomong soal music label, aku masih berkutat dengan proses pasca produksi albumnya Speed Demon. Dan aku rasanya kurang tidur karena isi hidupku rasanya hanya berkutat di depan komputer saja, mengedit ini itu, memainkan ekualisasi, kompresor, noise gate, anu, inu, apakah, entahlah, apalah, siapakah dan lala lala lainnya yang membuat energiku terkuras.

Untung pagi tadi segelas kopi yang luar biasa dari Kyoko mampu memberi suntikan kafein yang banyak ke kepalaku, dan membuat hariku sedikit lebih segar.

Setelah melalui proses revisi kontrak dan lain-lainnya, yang tentunya itu semua ada dibawah kendali Stefan, kini kami siap untuk melebarkan sayap Hantaman lebih lebar lagi.

“Eh geng…” sela Anin.
“Kenapa?”
“Gue pikir tempat ini pas dikasih ide soal ini tertarik itu gara-gara pengalaman di Jepang kita deh deh…”
“Maksudnya gimana?”

“Jadi mereka ngerasa yakin untuk ngambil kita buat proyek Acoustic + Orchestra concert itu karena ngeliat jam terbang kita udah manggung di Jepang dalam dua occasion….” jelasnya.
“Gak salah sih, tapi itu mah udah obvious banget” balas Stefan.
“Enggak, maksudnya gue jadi mikir, gimana kalo ujung-ujungnya kita bakal dibawa ke Jepang lagi sama mereka” senyumnya.

“Lo kangen ama pacar lo? Sampe ngarep diterbangin ke sono gratis sama pabrik motor…” ledek Stefan.
“Ih, biarin aja” kesal Anin.

“Bukannya harusnya Ilham udah pulang ya ke Indonesia BTW?” tanyaku. Sekarang bulan Juli. Kalender akademik Jepang berhenti di Maret.
“Dia katanya ada beberapa proyekan dulu disana, baru landing disini Agustus” jawab Anin.
“Terus Zee taun depannya baru beres?” tanya Stefan.

“Iya Fan”
“Mampus aja”
“Mampus apaan?”
“Ya pacar lo baru lulus taun depan, gimana lo mau pacaran?” tawa Stefan.

“Kan ada tiga break panjang kalo orang sekolah di Jepang” balas Anin.
“Apaan aja tuh?” tanya Stefan dengan muka jahil.
“Liburan musim panas, akhir juli sampe agustus, terus musim dingin, desember sampe januari, terus musim semi, februari sampe april….”

“Apal banget” tawa Stefan.
“Iya, soalnya udah janjian kalo dia libur panjang either gue yang main ke SIngapur atau dia yang main ke Jakarta” jawab Anin.
“Cie”

“Apaan sih”
“Cie janjian” tawa Stefan, seperti sedang meledek anak SMP yang baru mulai pacar-pacaran. “Terus lo jalan-jalannya ke Blok M ya entar, ke Sogo Jongkok” ledek Stefan.
“Apaan sih” kesal Anin.

“Kagak, kayak anak bocah aja liat elo punya pacar” senyum Stefan, entah memuji atau meledek.
“Susah ya jadi gue, jomblo di ledek, punya pacar diledek, maunya apa sih…”
“Maunya ngeresein elo” balas Stefan. Aku Cuma bisa senyum saja melihat mereka berdua saling adu ledekan dan umpatan. Ini pemandangan yang selalu kulihat tiap mereka bareng, dari jaman kami masih kuliah dulu. Lucu, seperti anjing dan kucing tapi kompak.

“Permisi, dengan Bapak Stefan?” tanya resepsionis yang mendadak menghampiri kami.
“Iya” senyum Stefan ke arah resepsionis yang memang tampangnya juga menarik.
“SIlakan ikut saya…” senyum sang resepsionis, menuntun kami ke ruang rapat. Kami mengikutinya dan sekarang kami bertiga sedang duduk manis didalam ruang rapat.

“Ditunggu dulu ya, mau minum apa?”
“Air putih aja” jawabku.
“Sama mbak” sahut Anin.
“Hmmm….” Stefan tampak berpikir.

“Bingung saya, soalnya saya pengen kopi, tapi kalau kopi kesukaan saya racikannya agak ribet” aku menengok ke arah Stefan dan serta merta mencium bau busuk.
“Hehe” tawa si resepsionis, menunggu Stefan yang tampaknya sedang berpikir.

“Gini aja, kamu yang pilihin sesuai selera sendiri” senyum Stefan.
“Ah jangan haha…. Nanti kalo gak enak saya dimarahin…”
“Siapa juga yang mau marahin orang kayak kamu…” senyum Stefan. Sang resepsionis mendadak blushing. Pipinya agak memerah.

Aku dan Anin saling melirik dan mengulum lidah kami sendiri.

“Jangan ah, saya bikinin yang standard aja ya buat bapaknya nanti saya bilang ke OB nya…” sang Resepsionis berusaha menghindar tapi entah kenapa body languagenya tanpa tidak seperti itu.
“Jangan dong, terserah kamu aja… Eh tapi kalo kamu pengennya standard, ya udah saya terima… Tapi kalo saya gak suka gimana?” tanya Stefan.
“Haha berarti selera saya salah…”

“Supaya gak salah kayaknya kita mesti ngopi bareng kapan-kapan” mendadak rasanya perutku seperti ditonjok oleh tangan yang tidak terlihat.
“Boleh aja sih hehe…” senyum sang resepsionis.
“Kalo gitu yaudah, saya kopi, terserah kamu gimana…. Mudah-mudahan enak..” senyum Stefan.

“Oke pak..” senyum sang resepsionis yang tersipu dan dia berjalan ke luar ruang rapat.

“Eh Mbak!” mendadak Stefan memanggilnya lagi.
“Ya kenapa?”
“Salah ngomong tadi, mudah mudahan gak enak” seringai Stefan ke arah perempuan muda yang cantik itu. Sang resepsionis hanya tersenyum kecil, tersipu, lantas berlalu.

“Kampret bajingan emang” keluh Anin.
“Why? I’m single and I want to mingle” Stefan mengangkat tangannya dan senyumnya penuh kemenangan.
“Udah lama ga denger dia modusin cewek jadi lucu” sahutku sambil menggoyang-goyangkan kakiku.

“Yah gitu deh… Lo kasih trust ke dia, tapi bikin dia jadi ragu-ragu dengan term and condition. Di saat-saat kayak gitu, dia bakal berusaha lebih kenal sama elo, dan jujur, enak gak enak kopinya, ntar dia bakal tetep mau gue ajak jalan” senyum Stefan.
“Hati-hati psycho kayak Chiaki” ledek Anin.

“Tenang, gak akan gue boongin dengan kata-kata berbunga, gue cuma mau ngerasain memeknya kok” tawa Stefan.
“Tokai” tawaku.
“Gak berubah ternyata Stefan” Anin menggaruk kepala botaknya.

“Gue gak pernah berubah, gue Cuma nahan aja” senyumnya. Mendadak sang resepsionis kembali masuk, dan dia membawa minuman yang sesuai dengan permintaan kami tadi. Dia tampak tersenyum simpul saat memberikan secangkir kopi di hadapan Stefan.

“Nanti pas pulang saya kasih tau ya enak apa engga” tawa Stefan. Orang yang dituju Cuma tersipu malu dan berlalu.

“Tokai emang ya” tawa Anin.

“Tokai-tokai pun yang penting memek”

--------------------------------------------

Setelah menunggu sambil mengobrol selama kurang lebih lima menit. Beberapa orang yang bertanggung jawab dengan proyek ini masuk ke dalam ruangan. Hanya dua orang yang kukenal, Mas Awan dan Karina. Ah, Karina. Sial, tak sadar mata kami berpapasan dan kami langsung membuang muka dengan refleks. Anin tampak melirik kepadaku dengan aura tidak nyaman.

Ada dua orang lagi, yang satu tampangnya mungkin seumur kami dengan pakaian rapih kantoran. Dia membawa banyak berkas-berkas. Mungkin dia orang legalnya. Dan yang satu lagi umurnya kuperkirakan sekitar 40 tahunan akhir, dengan raut muka yang santai, dan dia tampak dituakan oleh Mas Awan dan si “legal”

“Maaf nunggu…” dia menyalami kami dan memperkenalkan dirinya dengan kartu namanya. “Saya kebetulan head of marketing yang akan langsung ngurusin hal ini” aku melihat nama yang ada di kartu namanya. Indrawan Widjaya. Keturunan tionghoa. Dari raut mukanya terlihat pengalamannya yang banyak dan keteduhan.

Music Hall ini sangat terkenal dengan konser-konser musik klasik mereka, dan ada juga pendidikan musik klasik disini. Mereka juga punya orkestra mereka sendiri. Mereka pasti ingin mempromosikan orkestra mereka, dan menarik banyak anak muda untuk belajar musik kepada mereka.

“Biar keren dan bisa tampil di panggung musik, bersama para musisi-musisi yang populer di kalangan anak muda” mungkin itu yang ingin ditanamkan oleh mereka, sebagai alasan kenapa mereka mengajak kami bekerja sama, setelah band-band yang sebelumnya.

“Jadi, saya waktu dengar ide dari Awan soal kolaborasi ini, saya sih setuju ya, karena saya sendiri punya anak remaja, dan kebetulan dia suka dengar musik kalian. Dengar musik kalian itu seperti nostalgia zaman muda” tawanya. Jelas, musik kami berkiblat ke sound Seattle tahun 90an.

“Makasih Pak” senyum Anin.
“Saya yang Makasih, tadinya kita gak mau sebanyak ini bikin konsernya, tapi mendadak Awan bisikin saya, jadi ya kita lanjut”
“Itu ide temen saya sih hehe” tawa Mas Awan, merujuk ke Arwen.

“Ah, bagaimanapun, kita mulai kerjasama kita disini, kita ulang lagi tim yang kemaren…. Awan kita perpanjang kontraknya untuk urusin kolaborasi ini dengan kalian, dan Mbak Karina kita percaya lagi untuk direct musiknya” senyumnya ke Karina, dan Karina senyum kepada kami, dengan agak dipaksakan. Lucu, harusnya aku senang dalam posisi seperti ini, karena kita sudah mau deal.

Tapi melihat Karina ada di hadapanku, rasanya amburadul. Seperti ingin cepat pulang rasanya.

“Terkait kontrak… Saya udah pelajarin hasil draft finalnya” lanjut pak Indrawan. “Kita udah positif semua, jadi hari ini Cuma seremonial aja untuk pengesahannya… Abis itu kalian semua bisa lanjut bicara soal jadwal setelah kita tanda tangan kontrak” si “legal” mengeluarkan dua buah kopi kontrak, satu untuk Hantaman dan satu untuk pihak mereka.

Stefan menatap ke kontrak tersebut dan dia membacanya sekali lagi.

“Jujur, ini draft kontrak kerjasama yang terapih yang pernah saya lihat” Stefan membuka pembicaraan. “Memang perusahaan Jepang selalu detail” lanjutnya.
“Ah kan yang kerja disini orang Indonesia semua” balas Pak Indrawan.
“Yang penting kan budaya perusahaannya, dan saya yakin hasilnya nanti akan bagus” senyum Stefan, sambil mengambil bolpoin yang disediakan oleh si orang legal.

“Kalau kerjasama dengan kalian, saya yakin hasilnya akan bagus”
“Kalau gitu kita punya niat yang sama Pak”

Stefan membubuhkan tanda tangan. Pak Indrawan membubuhkan tanda tangan. Stefan sebagai perwakilan MDT yang menaungi Hantaman, Pak Indrawan mewakili Music Hall ini sebagai induk dari kerjasama yang akan kami lakukan ini.

Setelah mereka membubuhkan tanda tangan, mereka bertukar kopi kontrak, yang kemudian harus ditanda tangani lagi, agar lengkap ada bukti kerjasama dari kedua belah pihak.

“Done” seru Stefan, dan dia berdiri, mengikuti Pak Indrawan dan mereka berdua berjabat tangan.

Oke, sudah deal. Kita bisa tancap gas. Kendaraan ini mudah-mudahan berjalan dengan baik, walau aku dan Karina ada di dalamnya. Mudah-mudahan tidak ada konflik dengan dirinya.

Amin.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Saya jadi kepikiran soal anggia, apa suaminya dian pas udah nikah sempet melipir sesekali ke anggia?
 
Baca pas acara buka puasa si randi kok ngumumin kawinan ama karina ya bukannya ama anggia tan kalo gk salah??
 
MDT SEASON 2 – PART 26

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Aya kapan mau tidur?”
“Bentar, kamu duluan aja……”

“Kerjakannya di kamar saja Aya, kan ada komputer juga di kamar…”
“Tapi gak ada software yang aku butuhin di komputer kamar kita…. Sini…” aku menarik Kyoko ke pelukanku dan aku memeluk lehernya. Kucium keningnya dan aku menghirup wangi rambutnya.

“Duluan, ntar aku nyusul ya…” senyumku.
“Jangan lama-lama ya Aya” aku mengangguk dan membiarkan Kyoko berlalu. Aku mengacak-ngacak rambutku sendiri lalu menyeruput kopi yang disediakan Kyoko tadi. Sekarang sudah jam 1 malam. Dan tampaknya malam masih akan panjang. Aku masih berkutat dengan Speed Demon di layar komputerku. Rekaman memang sulit. Proses rekamannya sulit, pasca produksinya lebih sulit lagi. Jangan tanya bagaimana caranya supaya semua lagu di dalam satu album memiliki benang merah sound yang sama. Itulah yang sedang berusaha kulakukan.

Selain Speed Demon, tentu ada kegiatan lain juga yang menyita perhatianku. Kegiatan yang baru saja kuceritakan ke Kyoko tadi. Kegiatan yang biasa sebenarnya, yakni mempersiapkan konser akustik bersama Yamaha string orchestra. Yang tidak biasa? ada Karina disana yang bertindak sebagai music director.

Sulit. Sulit sekali bekerja sama dengan Karina. Dan rasanya, selama tadi kami semua diskusi, kehadiran Anin tidak banyak membantu dari segi komposisi lagu dan membentengi mentalku di hadapan Karina. Aku lupa, selama ini Anin selalu iya-iya saja soal aransemen dan komposisi lagu-lagu Hantaman. Dan tadi juga dia iya-iya saja. Entah dia yang terasa iya-iya saja atau aku yang secara otomatis selalu berusaha mendebat Karina.

Entah.

Ah, sial. Aku ingin mengajak Sena untunk membantuku di proyek-proyek ini sebenarnya. Tapi dia sedang sibuk menyelesaikan kuliahnya setelah tahun lalu banyak bolong-bolongnya karena menemani kami tur dimana-mana. Tapi… Dia baru akan banyak gunanya ketika live sebenarnya, walaupun operator mixer nanti ketika live sudah ada di Music Hall tersebut. Walaupun memang, tugas kami cuma tinggal main musik dan rombak ulang aransemen baru.

“Cuma”

Tidak ada yang “Cuma” kalau bersama Karina. Aku menarik tanganku dari keyboard dan mouse, lalu mengusap-ngusap mukaku dengan perasaan yang tak enak. Aku masih ingat waktu membahas aranseman untuk pertama kalinya dengan Karina dan Mas Awan.

--

5a8e7910.png

“Gak setuju” geleng Karina.
“Kenapa gak setujunya?” tanya Anin bingung. “Setengah jam di udara itu salah satu yang paling progresif dari album kedua kita lho…”

Aku mempermainkan jariku di pahaku. Di lantai studio partitur musik lagu-lagu Hantaman terhampar. Gitar akustik yang kubawa masih dengan tenang berada di dalam casingnya. Tampaknya aku belum akan mengeluarkan gitar dulu. Kami berempat ada di dalam studio atau entahlah itu ruangan kelas atau apa di Music Hall ini. Rencananya hari ini kami akan merapatkan soal aransemen, di pertemuan pertama ini. Dan sekarang kami masih dalam tahapan memilih lagu.

“Kalian semua tau kan tema lagu itu soal apa?” Karina memicingkan matanya ke Anin.
“Tapi kan…”
“It’s not good” potong Karina.

“Tapi Rin, sayang lho, yah saya dengar lagunya sih langsung tau ini tentang apa, tapi kan bisa dispik-spikin kan sama kalian kalo ada orang yang nanya, lagipula syairnya Stefan kan selalu ambigu” senyum Mas Awan.
“Tetep aja Mas, ini lagu temanya soal narkoba.. Dan rasa fly abis makenya…”

“***** bukan Narkoba” potongku dengan dingin. Peduli amat dengan reaksi Mas Awan ketika mendengar perkataanku.
“Udah aku duga kamu pasti ngomong kayak gitu” balas Karina. “Terserah mau bilang apa, tapi di negara ini, benda itu narkoba”
“Narkoba itu bikin kecanduan… ***** enggak…. Dan iya emang ilegal, tapi lirik ambigunya Stefan bisa soal apapun, tau Comfortably Numb nya Pink Floyd kan? Itu kan bukan lagu high, itu lagu cerita soal proses bius sebelum tindakan dokter…..” aku beralasan.

Intinya, lagu ini harus tetap masuk di dalam setlist kami nanti, karena lagu ini salah satu lagu kami yang paling rumit. Banyak sound psikadelik yang bisa diaplikasikan oleh orkestra ke lagu ini. Bahkan part-part string nya saja sudah terbayang di kepalaku.

“Lagu politik oke… Lagu depresif oke.. Lagu ngaco boleh… Lagu tentang orang giting gak boleh…” Karina menyentil partitur lagu itu dengan muka kesal.
“Saya ikut Mas Awan aja deh…” aku menyerahkan keputusan dengan pasrah ke Mas Awan.

“Musically lagu ini bagus banget, dan bener kata Mas Arya…. Liriknya lagu bisa jadi multitafsir, sayang lho Rin” senyum Mas Awan untuk meredakan suasana.
“Kalo emang Mas ngelolosin lagu itu… Wah gak tau ya? We can do better than this” jawabnya sambil menunjuk ke partitur lagu “Setengah Jam di Udara” yang juga berfungsi sebagai judul album kami.

“Liriknya udah halus banget itu… Dan lirik itu kan hanya buat ngisi jeda di tengah-tengah dua solo gitar” balasku dengan malas, mengambil quote dari iklan gitar, yang sering disuarakan oleh Kang Bimo, Frank’s Chamber. Band unik asal Bandung yang sangat akrab dengan kami, dan mereka memang tidak pernah serius dalam membuat lirik. 100 % liriknya heureuy - bercanda, tapi bahasanya sok kelam dan puitis.

“Dan kamu ngequote gitaris yang kerjanya cuma main efek di panggung” sindir Karina ke Kang Bimo, lewat aku.
“Kenapa sih semuanya salah di mata kamu?” tanyaku dengan tajam. Aku bisa merasakan Anin dan Mas Awan sama-sama menelan ludah. Kupikir situasinya dengan band-band terdahulu tidak serumit dan se awkward ini. Karena di ruangan ini sama-sama ada Arya dan Karina, suasananya jadi benar-benar tolol dan tolol setolol tolol aneh dan tidak nyamannya.

“Soalnya emang…….”
“Nah, mumpung makanan udah dateng, kita makan siang dulu…. Kayaknya susah diskusi ya kalo perut laper” senyum Mas Awan, menyambut OB yang mendadak masuk sambil membawa bungkusan makanan.

“Mas Awan” tegur Karina.
“Ya?”
“Ntar-ntar saya gak mau kalo kita lagi ada kegiatan disini ada OB mendadak masuk gitu, inget kan dulu kita harus ulang pekerjaan kita dari awal karena ke distract?” tegurnya dengan tegas.

“Eh iya Rin, lupa soalnya, dah laper tadi saya suruh masuk gitu aja….”
“Ntar-ntar jangan lupa” Karina lalu berjalan keluar. Entah mau kemana. Mungkin cuci tangan, mungkin ke toilet, mungkin cuci kaki, mungkin nabrakin diri ke mobil lewat. Entah lah.

Aku sekarang hanya bisa bersandar sambil menguap, bertanya-tanya apa isi bungkusan makanan yang sekarang ada di depan kami itu.

--

Sudah kepalang tanggung, pikirku. Walau orangnya seperti itu, dan diperparah dengan hadirnya aku disana, tapi aku yakin karyanya pasti bagus. Ah sudahlah. Kita kembali ke Speed Demon, jangan sia-siakan waktu.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

the-wy10.jpg

Aku ada di sebuah restoran yang terletak di jalan Senopati. Di depanku ada sesosok perempuan muda yang dari tadi ekspresi mukanya tampak khawatir kepadaku. Makanan di depannya tampak tidak disentuh.

“Makan aja dulu..” aku menyuruh Arwen untuk makan duluan.
“Nungguin punya Mas deh….” dia meringis karena tampak tidak enak kepadaku.
“Ah elah, paling bentar lagi dateng” aku menggaruk kepalaku dengan malas. Ya, karena sebentar lagi, sehabis makan siang aku harus meeting dengan Karina dan kawan kawan lagi untuk mulai merombak aransemen, setelah perundingan soal setlist lagu yang alot.

Tebak bagaimana nasibnya lagu “Setengah jam di udara”? Tepat. Seratus buat semuanya. Tidak lolos. Mas Awan akhirnya menyerah kepada ngotot dan perfeksionisme ala Karina.

“Ya… Saya gak mau mulai duluan ah…” senyumnya dengan manis. Aku tersenyum balik sambil menunjukkan muka malas. “Eh Mas…”
“Hmm?”
“Hari ini ke situ lagi?” tanyanya dengan nada sungkan.

“Iya”

“Oh….” dia tampak memutar matanya entah kemana.
“Dan tumben tiba-tiba pagi tadi kamu ngajakin makan siang…. Rada maksa lagi…”
“Ya abisnya saya gak enak sama Mas Arya, jadi saya pikir… Saya traktir makan siang kali ya?” jawab Arwen.
“Alah gak usah repot-repot lah…” tadi Kyoko sebenarnya mengatakan agar aku menurut saja kepada ajakan Arwen, karena bila ditolak, dia mungkin akan merasa makin tidak enak, setelah dia tanpa sengaja dan tanpa sadar mempersembahkan aku ke Dewi Kematian dari Neraka lapisan ke lima putuh delapan alias Karina Adisti.

Tidak, tidak selebay itu. Dia masih profesional sebenarnya. Walaupun nada bicaranya selalu ketus dan kalimat-kalimatnya menjadi tendensius jika aku ada di sekitarnya. Dan entah kenapa kehadiran Anin tampaknya percuma. Dia tidak melindungiku dari Karina, atau mungkin dia sudah berusaha melindungiku dan aku sendiri yang terlalu sensitif kepada apapun yang dilakukan oleh Karina.

Tai.

“Mas, saya masih gak enak, kesannya kan kayak saya yang ngejebak Mas buat ada di situasi yang gak enak terus-terusan” Arwen mulai bersuara lagi setelah tadi diam.
“Kan udah dibilang, kamu kan gak tau…”
“Maaf, tau gitu saya scroll instagram Mas Arya atau Mbak Karina dulu harusnya waktu itu…….”

“Percuma juga, kan foto-foto kita berdua udah diapus-apusin dari sosmed….” jawabku dengan asem. “Kamu kan kenal saya setelah saya gak ada apa-apa lagi sama Karina….”
“Dan saya kenal sama Mbak Karina di waktu yang sama juga, kenalan habis konser…. Dikenalin sama temen…. Orangnya sih keliatan asik dan smart gitu ya?” lanjut Arwen, terdengar sangat polos dan naif.

“Smart.. boleh lah, karena untuk jadi orang kayak dia itu harus pinter…” entah pinter apa maksudnya. Pinter main piano atau pinter nyinyir. Nyinyirnya pun hanya ke Aku mungkin. Juara.
“Sejauh ini gimana tapi?” tanya Arwen.
“Yah… gitu sih… baru rapat sekali tapi rasanya kayak udah bertaun-taun..” senyumku terpaksa. Sebenarnya agak malas juga membahas Karina dengan orang yang aku tidak begitu akrab. Tapi kuladeni saja, mungkin bisa membunuh rasa tidak enaknya atau juga bisa sedikit meringankan bebanku soal pertemuan-pertemuan yang akan datang dengan Karina.

Katanya, kalau stress harus rajin-rajin cerita ke orang-orang, biar bebannya terangkat katanya. Ah entahlah.

Arwen meringis dengan tidak enaknya. Pembicaraan kami terhenti sebentar karena waiter baru saja mengantarkan makananku ke depan mukaku. Makanan yang sebetulnya enak, tapi aku tidak selera memakannya. Tapi manusia harus makan. Kalau tidak makan bisa mati.

“Maaf ya Mas…. Aku sama sekali gak tau soal sejarah kalian berdua, dan kalo diliat dari situasi sekarang, kayaknya dulu kalian emang banyak gak enaknya ya?”
“Yah….” Jawabku.

“Duh… Maaf, saya malah nanyain kayak gitu… gak sopan..” dia mengurut jidatnya dan mengambil minumannya, sambil melirik entah kemana, menghindari kontak mata denganku karena mungkin auraku terasa suram, atau terasa marah. Entahlah, bebas pilih yang mana. Menyebalkan. Rasanya surgaku yang aman dan damai bersama Kyoko sekarang jadi terusik cuma gara-gara ada Karina di depan mataku selama beberapa waktu ke depan. Ingin rasanya segera menyelesaikan proyek itu. Tapi apapun yang berhubungan dengan Karina, karena dia orangnya detail dan perfeksionis, pasti akan makan waktu yang lumayan lama dan usaha yang lumayan banyak.

“Yah, tapi udah kepalang basah, pasti kamu juga penasaran dan ngerasa gak enak mungkin banyak nanya-nanya yang gak jelas soal saya sama Karina….”

Arwen mengangguk, tapi masih belum berani menatap mataku.

“Intinya sih emang gak enak….”
“Emang berapa lama?”
“Yah…. Lumayan lama lah… Berapa tahun ya?” senyumku getir tanpa berniat menyebutkan lama waktu yang ditempuh oleh aku dan Karina.

“Ooo….” Arwen kembali meringis dan menunjukkan muka yang tak nyaman.
“Dan kalo kamu bertanya tanya, emang kita putusnya gak baik-baik hahaha….” Tawaku mengingat pertengkaran di studioku yang kemudian berlanjut ke aksi diam-diaman, yang kemudian kami putus tanpa pembicaraan apapun.

“Tapi sekarang lebih enak kan Mas? Ada Mbak Kyoko yang luar biasa banget saya liatnya….” Dia berusaha membesarkan hatiku.
“Ya Kyoko sih emang buat saya kayak malaikat…. Dan emang luar biasa banget, gak ada bandingannya lah di dunia ini…. Dia orang yang berani ngelindungin saya dari peluru kalo mendadak ada orang iseng yang nembak saya…” Kyoko memang seperti itu. Memang luar biasa dan benar-benar penyayang. Beda dengan Karina. Jauh. Sejauh jarak dari Majalengka ke Planet Jupiter.

“BTW…” lanjutku. “Saya bukannya ngejelek-jelekin Karina ya… mungkin emang saya aja yang gak cocok sama dia, setiap orang kan emang gitu… Ada orang yang cocok dan nganggep orang itu baik banget, tapi ada juga yang sebaliknya…” lanjutku.
“Ya… sejujurnya sih seperti yang saya bilang sih Mas, saya baru kenal, dan cuma sebatas tau kalo dia musisi jenius, smart dan karya-karyanya edan…”.

“Gak salah, emang karyanya edan semua, detailnya, dan kalau udah improvisasi, aduh, gila banget deh…. Cuma tinggal butuh waktu aja dia bisa go internasional kali..” senyumku.
“Ya mas juga sama, malah udah go internasional duluan….” Balas Arwen.

“Go internasionalnya kan sama Hantaman…”
“Yang penting kan Go internasional..”
“Buat Karina gak penting Hantaman tuh…. Hahahaha” tawaku.

“Masa?” bingung Arwen.

“Dia bilang band itu ngehambat saya buat jadi lebih hebat lagi, katanya harusnya saya konsentrasi di Jazz aja, gak mainin musik lain…. Baru setelah saya establish di Jazz, nah, katanya baru boleh saya kemana-mana….” Senyumku.

“Tapi Hantaman kan keren banget!!” seru Arwen kaget.
“Kan kamu bilang keren…. Mungkin dia juga bakal bilang keren kalau saya udah establish jadi gitaris Jazz beneran….” Balasku.
“Loh tapi Mas Arya kan emang juga gitaris Jazz yang keren?” bingungnya.
“Belom keren kalo gak konsen katanya…. Padahal guru gitar saya aja bilang terserah saya mau gimana… Asal tau konsekuensinya….” Jawabku dengan mengingat-ngingat pertengkaranku dengan Karina soal hal-hal seperti ini.

“Nah iya musisi kan harusnya gak ngotak-ngotakin ya?”
“Dia gak ngotak-ngotakin, dia cuma nganggep kalo Hantaman itu ngehambat saya” aku menarik nafas panjang. “Mungkin ada benernya, tapi kan hidup itu pilihan, dan saya udah milih ini buat jalan hidup saya”
“Iya… hehehe” senyumnya dengan senyum yang sangat lebar. Mungkin dia juga tak rela kalau Hantaman dibilang menghambat karir musik Jazzku. Tapi mau bagaimana lagi? Hantaman adalah keluarga untukku. Unit ini sudah berjalan lebih lama daripada masa hubunganku dengan Karina.

“Ngomong-ngomong… Udah jam 2” tawaku.
“Kenapa emang?”
“Saya janjian sama Karina dan Mas Awan jam 2…. Hahahaha”

“Waduh? Gimana dong?”
“Biarin aja telat lah, lagian lagi makan juga, kalo gak makan kan mati… Paling ntar Anin duluan yang udah disana, biar dia dulu yang ngobrol sama dua orang itu” balasku.
“Yaudah deh saya cepetin makannya biar Mas bisa buruan pergi”

Aku lantas tertawa dalam hati, melihat tingkah ramahnya yang penuh spontanitas dan lain sebagainya. Dan sebentar lagi, aku harus bertemu dengan Karina di Yamaha Music Center.

Mudah-mudahan rahmat Tuhan selalu menyertaiku.

--------------------------------------------

5a8e7910.png

“Telat sejam dan gak ada kabar” sindir Karina kepadaku. Aku baru saja masuk ke ruangan studio/kelas itu sambil menenteng gitar di bahuku.
“Makan dulu, sori lupa ngabarin” jawabku dengan asal. Dan sialnya, Anin tak datang, dia baru saja mengabariku tadi, ketika aku akan jalan dari Senopati ke tempat ini. Katanya mendadak ada apa gitu. Entahlah. Aku tak peduli. Aku lebih peduli kepada kesehatan mentalku di detik, menit dan jam ini.

“Lain kali bilang ke kita kalau bakal telat, jadi gak ada waktu sia-sia untuk nungguin kamu” kesalnya. Mas Awan cuma diam sambil melihat-lihat partitur lagu-lagu Hantaman yang sudah kami pilih di pertemuan pertama. Karina duduk di balik piano, dengan tumpukan kertas partitur yang kosong. Dia sepertinya sudah siap membedah lagu Hantaman.

“Kenapa gak nanyain aja aku lagi dimana biar tau?” tanyaku ke Karina, sambil mengeluarkan gitar akustikku dan aku duduk di sebelah Mas Awan yang membawa pocket recorder.
“Kamu udah ganti nomer”
“Terus gimana caranya bisa saling ngehubungin kalo gak tau harus ngehubungin lewat mana?” tanyaku kesal.
“Bisa ngomong ama Mas Awan” ketusnya sambil memutar-mutar alat tulis yang ada di tangannya. Setahuku alat tulis itu biasa disebut sebagai pena, bolpoin, atau potlot. Entahlah.

“Mas Arya, ini nomer saya…” Mas Awan dengan sigap menunjukkan deretan nomer yang tadi baru saja dia tulis di kertas sobekan entah apanya. Lucu. Dia produser, tapi sepertinya kalah galak dibanding dengan Music Director. Hirarkinya harusnya lebih tinggi Mas Awan. Lucunya, Mas Awan terlihat “kalah” jika dibandingkan dengan Karina. Ya, siapapun bisa kalah sama Karina. Mungkin Bagas juga bisa kalah. Mungkin.

“Makasih mas…” jawabku sambil tersenyum sekedarnya. Mas Awan membalas senyumku dengan senyum penuh keprihatinan dan kekhawatiran. Tenanglah mas, kalau kita sudah selesai manggung, setidaknya aku pernah punya portofolio di direct musiknya sama setan alas macam Karina ini. Setan alas jenius yang sudah kawin dengan piano. Sehingga sepertinya piano adalah bagian dari organ tubuhnya.

“So, jadi gimana mau bedahnya? Urutan per lagu mulai dari lagu pertama buat manggung, atau mau terserah yang mana dulu?” tanyaku ke Karina.
“Urutan”
“Tapi bisa aja dari lagu yang mana aja kan?”
“Bisa, tapi urutan aja”

“Biasanya sih biar lebih gampang, dimulai dari lagu yang paling kerasa enak atau disuka boleh, biar masuknya lebih enak mood ngerjainnya” aku beralasan. Entah kenapa aku mendebat Karina. Padahal semua juga bisa, mau dari depan, mau dari belakang, mau dari mana, asal pengerjaannya baik dan tiap lagu berkesinambungan, semuanya bisa.

“Sayangnya aku gak ada yang suka sama lagu kalian”
“Good to hear that”

Sial, mulai lagi saling sindir.

“Oke…. Lagu pertama, itu…. Tanah Memerah kan?” tanya Mas Awan sambil mencari partitur lagunya.
“Ntar-ntar lagunya diurutin sesuai setlist mas, biar gak susah nyarinya” potong Karina.
“Iya, Tanah Memerah”

Lagu itu lagu dari album pertama, lagu yang kurang terkenal sebenarnya. Tapi kemarin kami pilih jadi lagu pertama, karena ada riff gitar yang berbau etnis. Menurut Karina, opening berbau etnis dengan aransemen mini orchestra bisa membawa mood penonton naik. Benar sih. Tapi entah kenapa rasanya tidak sreg. Ini pasti subjektif, bukan soal musik.

“Ini mau intronya yang dibikin jadi tema opening orchestranya atau riff nya?” tanyaku, berusaha kembali jadi orang yang profesional.
“Riff nya”
“Oke” jawabku tanpa banyak membantah.

“Berarti disini orchestranya main riff yang bakal kita breakdown ya?” tanya Karina, berusaha berkonsentrasi ke pekerjaan.
“Berapa piece orkestranya?” tanyaku.
“12 orang” jawab Karina pendek.

“Pake conductor?” tanyaku.
“Enggak”
“Kenapa?” tanyaku lagi. Entah kenapa aku bertanya seperti itu, soalnya memang orchestra ada yang pakai konduktor ada yang tidak.

“Karena lebih baik conductornya dari dinamika musik kalian” jelas Karina.
“Masuk akal”
“Terutama di Anin dan Bagas. Karena mereka yang pegang tempo dan yang pegang dinamika, mereka berdua harusnya juga ada disini buat ngatur flow musiknya….” Sambungnya.

“Sayang Anin gak bisa dateng sekarang”
“Bukan cuma sayang, rugi” dengus Karina dengan marah. Dia lantas memainkan riff lagu Tanah Memerah di piano. “Ini yang bakal ditulis ulang buat 12 piece orchestra…”

“Pembagiannya gimana aja?” tanyaku sambil mencatat.
“Masa kamu gak tau?”
“Gak semua orang tahu pembagian suara di orkestra kayak apa” balasku.
“Serius, masa kamu gak tau?”

“Gak semua orang tau” jawabku dengan kesal.
“4 first violin, 3 second violin, 2 viola, 2 cello dan 1 bass…” potong Mas Awan kepada kami berdua.

“Nah kan, mendingan ngasih tau dari awal daripada nyuruh aku tau soal hal yang aku gak tau” kesalku.
“Itu dasar banget”
“Gak semua orang sekolah musik kayak kamu” balasku.

Dan mendadak mata kami bertemu. Kalau kedua mata kami adalah pedang, sekarang kami sedang beradu pedang, saling berusaha membacok dengan tenaga kami.

Oh Tuhan, muluskanlah jalan proyek ini. Karena aku tidak tahu lagi, berapa banyak tenaga yang tersisa dalam diriku untuk menggunakan pedangku, menangkis setiap bacokan Karina, dan menunggu kesempatan yang bagus untuk membacoknya.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd