--------------------------------------------
“Lo sakit jiwa?”
“Kenapa sih Di?” aku menatap Dian dengan muka santai.
“Lo bakal kerja bareng sama Karina??”
“Ya abisnya gimana? Dia music directornya kok?” tanyaku dengan santai.
“Lo tau kan gue paling gak suka ketemu ama dia”
“Ya kan elo bukan gue, dan gue juga paling gak suka kan ketemu ama dia”
“Yakin lo ga kenapa-napa gitu? Hilang ingatan? Stress?” Dian menyentuh dahiku dengan maksud bercanda, tapi mukanya masih kaget.
“Kenapa si Arya? Sakit?” suaminya datang menghampiri kami.
“Dia bakal gawe bareng ama Karina sayang….” Dian masih menatapku dengan tatapan aneh. Kami ada di tengah-tengah banyak manusia, di sebuah resepsi pernikahan, Pernikahannya Rendy dan Anggia. Lucu rasanya melihat kedua insan beda agama itu dipajang di pelaminan. Akhirnya Rendy mampu meluluhkan hati orang tua Anggia yang kudengar-dengar selalu bersikap keras setiap Anggia berpacaran dengan orang yang berbeda agama dengannya. Tapi rata-rata pacar Anggia pasti selalu muslim. Jadi ya pasti keras terus, tawaku dalam hati.
Kyoko sedang mengambil makanan, mengantri dengan rapih, tak jauh dari jarak pandang mataku. Di belakangnya ada Anin dan mereka berdua tampak mengobrol dengan akrabnya. Bram? Tidak datang tentunya. Stefan juga diundang, tetapi dia tidak bisa datang, ada keperluan lain, katanya. Entahlah keperluan apa.
“Emang kenapa gitu?” tanya sang suami dengan muka berpikir.
“Karina, mantan pacarnya!” Dian tampak menonjok rusuknya dengan bermain-main. “Dia bakal gawe ama mantan pacarnya!”
“Eh, aku sekantor sama Nica lho…” bisik suaminya sambil melirik ke arah seorang perempuan muda, berambut panjang, berkaca mata dengan aura seperti anak-anak.
“Dan dia bukan saingan aku” ledek Dian sambil menjulurkan lidahnya ke arah suaminya.
“Ya tapi maksudnya, biasa kali, orang satu kerjaan dengan mantan pacar”
“Tapi ini Karinaaa” lanjut Dian dengan muka kesal.
“Bedanya apa Karina sama mantan pacar biasa emangnya?”
“Karina!”
“Iya tau, kamu gak suka ama Karina, tapi kan bukan kamu yang bakal kerja sama Karina…”
“Awas lho kalo lo ada apa-apa sama Karina!” Dian menunjuk mukaku dengan tajam.
“Yakali… Lo pikir gue apaan, mau lagi sama orang model gitu” aku menggaruk kepalaku karena aku merasa Dian agak overreacted.
“Bini lo apa pendapatnya, kenapa dia kasih-kasih izin aja? Lo gak bilang ya?” tanya Dian lagi.
“Bilang lah… masa gak bilang? dia ngizinin setelah dia tau kok… Dia pikir emang kita harus profesional, walau dia bilang kalo dia rada-rada ngerasa gak enak, tapi dia mikir, ini kan demi karir musik gue, lagian ini proyekan, dan ada tenggat waktunya, dan ini semua bukan mau gue, bukan mau Karina, ini maunya Yang Maha-kuasa” candaku sambil menunjuk ke arah langit.
“Asal… Awas loh”
“Gak bakal kenapa-napa gue sama orang itu mah, udah ilfil sejak kapan tau….” tawaku, menatap sepupuku yang sedang marah-marah gemas ini.
Ya, aku agak paham kenapa Dian overreacted. Sejarahnya dengan suaminya sendiri agak kurang mulus, karena mereka sempat putus akibat Dian sempat berkasus. Ada dokter muda yang lebih senior menggodanya, dan Dian tampaknya larut dalam permainan hati, walaupun mereka tidak sempat ngapa-ngapain, hanya sebatas saling bertukar pesan saja. Pesan yang menjurus ke arah percintaan mungkin. Dan selanjutnya bisa ditebak, pernikahan sempat batal, dan Dian waktu itu sangat-sangat menyesal. Jadi dia sepertinya jadi lebih sensitif kepada hal-hal yang bisa memicu perselingkuhan atau affair atau semacamnya.
“Aya mau juga tidak? Ini enak…” Kyoko mendekat ke kami dan dia menunjukkan apa yang sedang dia makan kepada kami.
“Ntar aku ambil sendiri” senyumku ke istriku.
“Eh, sini deh kamu” Dian mendadak menghentikan Kyoko yang sedang enak-enak makan. Kyoko bingung dan dia pasrah saat Dian menarik tangannya dengan muka gusar.
“Kenapa?” bingung Kyoko dengan muka heran.
“Serius kamu kasih suami kamu izin buat kerja sama Karina?” tanyanya dengan tajam.
“Aduh udah deh…” aku menggelengkan kepala. Tak perlulah sampai dibicarakan begitu.
“Ahaha… Dian, tidak apa-apa…. Aya tidak akan berbuat yang Dian mungkin khawatirkan…” senyum Kyoko sambil menatap mataku dengan nada penuh kepercayaan.
“Kamu tau kan itu orang nyebelinnya kayak apa?” tanya Dian ke Kyoko.
“Aya sering cerita soal itu, Dian”
“Kamu harus ngerasain sendiri”
“Kyoko harap Kyoko tidak akan merasakannya” senyum Kyoko penuh harap.
Aku menggelengkan kepalaku sambil menepuk jidatku sendiri.
“Ah pusing deh, pokoknya elo awas ya kalo ada apa-apa ntar!” tunjuk Dian ke arahku dan aku hanya bisa meringis kecil sambil memutar mataku keatas.
--------------------------------------------
Kami berdua ada di jalan, merayapi jalan jakarta di hari minggu ini, pulang ke rumah untuk segera beristirahat sehabis menghadiri pernikahan Rendy dan Anggia. Sekarang Rendy tidak perlu lagi mengeluh karena melihat Anggia bersama orang lain. Sekarang Rendy dan Anggia sudah saling memiliki dan mereka tampak sangat bahagia tadi. Kesabaran dan kebesaran hati Rendy patut kita apresiasi, karena dia sudah begitu lamanya menunggu untuk bisa mampir di hati Anggia. Dan sekarang, dia mampir untuk selamanya.
“Aya…” tegur Kyoko dan aku lantas memelankan musik yang mengalun di dalam mobil, agar kami dapat bicara tanpa gangguan berarti.
“Iya sayang?”
“Dian sepertinya benci sekali ya kepada Karina?” tanyanya, dengan muka khawatir, dan mukanya terlihat dia sedang merasa tak nyaman.
“Dulu waktu aku sama orang itu, Dian itu salah satu yang paling gatel suruh aku pisah sama dia. Tapi kayaknya dulu aku bodoh deh, bisa kayak gitu… Untung sekarang udah pinter” balasku.
“Kyoko jadi khawatir”
“Khawatir soal apa?” tanyaku dengan hati-hati. Jangan-jangan dia jadi berpikir ulang soal izin yang pernah dia berikan kepadaku perihal kerjasama yang akan dengan intens melibatkan Karina.
“Supaya Aya tak salah kira, Kyoko bukan takut akan ada apa-apa soal hubungan Aya dan Karina…” dia lalu menghela nafas panjang. “Melihat Dian tadi, Kyoko jadi takut kalau Aya malah pusing, tidak suka dan tidak bahagia ketika mengerjakan proyek ini….” lanjutnya.
“Maksudnya kamu khawatir aku bakal stress dan frustasi pas ketemu sama Karina?” tanyaku sambil melirik ke arah istriku.
“Betul Aya”
“Hmmm….. Resiko sih…”
“Jujur, awalnya Kyoko khawatir, mungkin akan ada apa-apa soal Aya dan Karina, sewaktu Aya beritahu. Tapi lama-lama, Kyoko tidak takut akan ada apa-apa. Kyoko jadi lebih takut kalau Aya… Ano.. Se tress… Ketika bekerja….”
Tidak salah. Memang seperti itu adanya. Aku tidak akan mungkin melakukan hal yang tidak-tidak dengan perempuan lain di luar sana. Itu tidak mungkin. Tidak mungkin sekali. Tapi resiko aku tidak nyaman bekerja dengan Karina? Banyak. Resiko aku stress karena sikap dan sifat Karina saat pengerjaan aransemen? Tinggi sekali resikonya. Lebih tinggi dari Monas dikali 32 kali. Memang sulit, walau bisa dibilang dulu aku sering bekerja sama dengan Karina untuk membuat musik, tapi pasti sekarang rasanya berbeda. Dulu aku bisa tahan karena aku dan Karina mengerjakan musik untuknya. Sedangkan sekarang untuk Hantaman. Dan sekarang, bukan tidak mungkin secara sadar ataupun tidak sadar, Karina sengaja mencari-cari kesalahanku. Entah untuk apa.
“Hhh…… Tapi…” ucapku. Kyoko memperhatikanku dan menunggu kata-kata selanjutnya keluar dari mulutku. “Kan ada kamu…” senyumku tipis sambil memperhatikan jalannya mobil yang sedang kusetir ini.
“Maksudnya apa Aya?”
“Kalaupun nanti aku Stress, kan ada kamu… Aku bisa cerita sama kamu dan kamu pasti bikin aku nyaman lagi” aku tersenyum lebar, sambil menepuk paha Kyoko.
“Tapi tetap saja sebelum ketemu Kyoko, Aya sudah stress terlebih dahulu…” balasnya.
“Kan ntar juga bakal ada Anin sama Stefan, aku juga bakal ngandelin mereka buat ngelindungin aku dari perasaan gak enak dari dan ke Karina”
“Iya Aya”
“Emang kadang kita harus ngelaluin hal yang gak enak buat supaya berhasil kan?” tanyaku ke istriku.
“Seperti Kyoko, pusing sebelum bisa punya kegiatan di Mitaka” jawabnya sambil mendadak menggenggam tanganku yang menganggur.
“Ya, biasanya jalan menuju hal yang baik itu gak mulus, justru kalau mulus-mulus aja harus curiga katanya” senyumku.
Kyoko balas tersenyum dan menggenggam tanganku makin erat.
“Walau khawatir, Kyoko harap semuanya baik-baik saja”
“Amin”
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
“Sekarang pas giliran mau sign contract, semuanya ngikut” Stefan menggerutu, karena aku dan Anin ada di sebelahnya.
“Wajib kan? Pas gue pertama kali ketemu Karina gak ada yang ikut….” keluhku.
“Pas gue nego term dan revisi draft sama si Awan-awan ini juga kalian ga ada yang ikut” balas Stefan.
Hari ini aku, Anin dan Stefan ada di ruang tunggu Music Hall yang akan bekerja sama dengan kami. Hari ini kami dijadwalkan akan menandatangani kontrak untuk bekerja sama dengan mereka, sekalian mulai planning. Planning penjadwalan untuk proses produksi dan kapan kira-kira ini semua bisa disajikan ke publik dalam bentuk sebuah konser.
Hari ini tentu saja, akan ada Mas Awan, Karina, serta orang legal yang akan jadi saksi pengikatan janji antara kami semua. Kami sendiri membawa bendera Matahari Dari Timur, music label milik kami sendiri yang menaungi Hantaman. Ngomong-ngomong soal music label, aku masih berkutat dengan proses pasca produksi albumnya Speed Demon. Dan aku rasanya kurang tidur karena isi hidupku rasanya hanya berkutat di depan komputer saja, mengedit ini itu, memainkan ekualisasi, kompresor, noise gate, anu, inu, apakah, entahlah, apalah, siapakah dan lala lala lainnya yang membuat energiku terkuras.
Untung pagi tadi segelas kopi yang luar biasa dari Kyoko mampu memberi suntikan kafein yang banyak ke kepalaku, dan membuat hariku sedikit lebih segar.
Setelah melalui proses revisi kontrak dan lain-lainnya, yang tentunya itu semua ada dibawah kendali Stefan, kini kami siap untuk melebarkan sayap Hantaman lebih lebar lagi.
“Eh geng…” sela Anin.
“Kenapa?”
“Gue pikir tempat ini pas dikasih ide soal ini tertarik itu gara-gara pengalaman di Jepang kita deh deh…”
“Maksudnya gimana?”
“Jadi mereka ngerasa yakin untuk ngambil kita buat proyek Acoustic + Orchestra concert itu karena ngeliat jam terbang kita udah manggung di Jepang dalam dua occasion….” jelasnya.
“Gak salah sih, tapi itu mah udah obvious banget” balas Stefan.
“Enggak, maksudnya gue jadi mikir, gimana kalo ujung-ujungnya kita bakal dibawa ke Jepang lagi sama mereka” senyumnya.
“Lo kangen ama pacar lo? Sampe ngarep diterbangin ke sono gratis sama pabrik motor…” ledek Stefan.
“Ih, biarin aja” kesal Anin.
“Bukannya harusnya Ilham udah pulang ya ke Indonesia BTW?” tanyaku. Sekarang bulan Juli. Kalender akademik Jepang berhenti di Maret.
“Dia katanya ada beberapa proyekan dulu disana, baru landing disini Agustus” jawab Anin.
“Terus Zee taun depannya baru beres?” tanya Stefan.
“Iya Fan”
“Mampus aja”
“Mampus apaan?”
“Ya pacar lo baru lulus taun depan, gimana lo mau pacaran?” tawa Stefan.
“Kan ada tiga break panjang kalo orang sekolah di Jepang” balas Anin.
“Apaan aja tuh?” tanya Stefan dengan muka jahil.
“Liburan musim panas, akhir juli sampe agustus, terus musim dingin, desember sampe januari, terus musim semi, februari sampe april….”
“Apal banget” tawa Stefan.
“Iya, soalnya udah janjian kalo dia libur panjang either gue yang main ke SIngapur atau dia yang main ke Jakarta” jawab Anin.
“Cie”
“Apaan sih”
“Cie janjian” tawa Stefan, seperti sedang meledek anak SMP yang baru mulai pacar-pacaran. “Terus lo jalan-jalannya ke Blok M ya entar, ke Sogo Jongkok” ledek Stefan.
“Apaan sih” kesal Anin.
“Kagak, kayak anak bocah aja liat elo punya pacar” senyum Stefan, entah memuji atau meledek.
“Susah ya jadi gue, jomblo di ledek, punya pacar diledek, maunya apa sih…”
“Maunya ngeresein elo” balas Stefan. Aku Cuma bisa senyum saja melihat mereka berdua saling adu ledekan dan umpatan. Ini pemandangan yang selalu kulihat tiap mereka bareng, dari jaman kami masih kuliah dulu. Lucu, seperti anjing dan kucing tapi kompak.
“Permisi, dengan Bapak Stefan?” tanya resepsionis yang mendadak menghampiri kami.
“Iya” senyum Stefan ke arah resepsionis yang memang tampangnya juga menarik.
“SIlakan ikut saya…” senyum sang resepsionis, menuntun kami ke ruang rapat. Kami mengikutinya dan sekarang kami bertiga sedang duduk manis didalam ruang rapat.
“Ditunggu dulu ya, mau minum apa?”
“Air putih aja” jawabku.
“Sama mbak” sahut Anin.
“Hmmm….” Stefan tampak berpikir.
“Bingung saya, soalnya saya pengen kopi, tapi kalau kopi kesukaan saya racikannya agak ribet” aku menengok ke arah Stefan dan serta merta mencium bau busuk.
“Hehe” tawa si resepsionis, menunggu Stefan yang tampaknya sedang berpikir.
“Gini aja, kamu yang pilihin sesuai selera sendiri” senyum Stefan.
“Ah jangan haha…. Nanti kalo gak enak saya dimarahin…”
“Siapa juga yang mau marahin orang kayak kamu…” senyum Stefan. Sang resepsionis mendadak blushing. Pipinya agak memerah.
Aku dan Anin saling melirik dan mengulum lidah kami sendiri.
“Jangan ah, saya bikinin yang standard aja ya buat bapaknya nanti saya bilang ke OB nya…” sang Resepsionis berusaha menghindar tapi entah kenapa body languagenya tanpa tidak seperti itu.
“Jangan dong, terserah kamu aja… Eh tapi kalo kamu pengennya standard, ya udah saya terima… Tapi kalo saya gak suka gimana?” tanya Stefan.
“Haha berarti selera saya salah…”
“Supaya gak salah kayaknya kita mesti ngopi bareng kapan-kapan” mendadak rasanya perutku seperti ditonjok oleh tangan yang tidak terlihat.
“Boleh aja sih hehe…” senyum sang resepsionis.
“Kalo gitu yaudah, saya kopi, terserah kamu gimana…. Mudah-mudahan enak..” senyum Stefan.
“Oke pak..” senyum sang resepsionis yang tersipu dan dia berjalan ke luar ruang rapat.
“Eh Mbak!” mendadak Stefan memanggilnya lagi.
“Ya kenapa?”
“Salah ngomong tadi, mudah mudahan gak enak” seringai Stefan ke arah perempuan muda yang cantik itu. Sang resepsionis hanya tersenyum kecil, tersipu, lantas berlalu.
“Kampret bajingan emang” keluh Anin.
“Why? I’m single and I want to mingle” Stefan mengangkat tangannya dan senyumnya penuh kemenangan.
“Udah lama ga denger dia modusin cewek jadi lucu” sahutku sambil menggoyang-goyangkan kakiku.
“Yah gitu deh… Lo kasih trust ke dia, tapi bikin dia jadi ragu-ragu dengan term and condition. Di saat-saat kayak gitu, dia bakal berusaha lebih kenal sama elo, dan jujur, enak gak enak kopinya, ntar dia bakal tetep mau gue ajak jalan” senyum Stefan.
“Hati-hati psycho kayak Chiaki” ledek Anin.
“Tenang, gak akan gue boongin dengan kata-kata berbunga, gue cuma mau ngerasain memeknya kok” tawa Stefan.
“Tokai” tawaku.
“Gak berubah ternyata Stefan” Anin menggaruk kepala botaknya.
“Gue gak pernah berubah, gue Cuma nahan aja” senyumnya. Mendadak sang resepsionis kembali masuk, dan dia membawa minuman yang sesuai dengan permintaan kami tadi. Dia tampak tersenyum simpul saat memberikan secangkir kopi di hadapan Stefan.
“Nanti pas pulang saya kasih tau ya enak apa engga” tawa Stefan. Orang yang dituju Cuma tersipu malu dan berlalu.
“Tokai emang ya” tawa Anin.
“Tokai-tokai pun yang penting memek”
--------------------------------------------
Setelah menunggu sambil mengobrol selama kurang lebih lima menit. Beberapa orang yang bertanggung jawab dengan proyek ini masuk ke dalam ruangan. Hanya dua orang yang kukenal, Mas Awan dan Karina. Ah, Karina. Sial, tak sadar mata kami berpapasan dan kami langsung membuang muka dengan refleks. Anin tampak melirik kepadaku dengan aura tidak nyaman.
Ada dua orang lagi, yang satu tampangnya mungkin seumur kami dengan pakaian rapih kantoran. Dia membawa banyak berkas-berkas. Mungkin dia orang legalnya. Dan yang satu lagi umurnya kuperkirakan sekitar 40 tahunan akhir, dengan raut muka yang santai, dan dia tampak dituakan oleh Mas Awan dan si “legal”
“Maaf nunggu…” dia menyalami kami dan memperkenalkan dirinya dengan kartu namanya. “Saya kebetulan head of marketing yang akan langsung ngurusin hal ini” aku melihat nama yang ada di kartu namanya. Indrawan Widjaya. Keturunan tionghoa. Dari raut mukanya terlihat pengalamannya yang banyak dan keteduhan.
Music Hall ini sangat terkenal dengan konser-konser musik klasik mereka, dan ada juga pendidikan musik klasik disini. Mereka juga punya orkestra mereka sendiri. Mereka pasti ingin mempromosikan orkestra mereka, dan menarik banyak anak muda untuk belajar musik kepada mereka.
“Biar keren dan bisa tampil di panggung musik, bersama para musisi-musisi yang populer di kalangan anak muda” mungkin itu yang ingin ditanamkan oleh mereka, sebagai alasan kenapa mereka mengajak kami bekerja sama, setelah band-band yang sebelumnya.
“Jadi, saya waktu dengar ide dari Awan soal kolaborasi ini, saya sih setuju ya, karena saya sendiri punya anak remaja, dan kebetulan dia suka dengar musik kalian. Dengar musik kalian itu seperti nostalgia zaman muda” tawanya. Jelas, musik kami berkiblat ke sound Seattle tahun 90an.
“Makasih Pak” senyum Anin.
“Saya yang Makasih, tadinya kita gak mau sebanyak ini bikin konsernya, tapi mendadak Awan bisikin saya, jadi ya kita lanjut”
“Itu ide temen saya sih hehe” tawa Mas Awan, merujuk ke Arwen.
“Ah, bagaimanapun, kita mulai kerjasama kita disini, kita ulang lagi tim yang kemaren…. Awan kita perpanjang kontraknya untuk urusin kolaborasi ini dengan kalian, dan Mbak Karina kita percaya lagi untuk direct musiknya” senyumnya ke Karina, dan Karina senyum kepada kami, dengan agak dipaksakan. Lucu, harusnya aku senang dalam posisi seperti ini, karena kita sudah mau deal.
Tapi melihat Karina ada di hadapanku, rasanya amburadul. Seperti ingin cepat pulang rasanya.
“Terkait kontrak… Saya udah pelajarin hasil draft finalnya” lanjut pak Indrawan. “Kita udah positif semua, jadi hari ini Cuma seremonial aja untuk pengesahannya… Abis itu kalian semua bisa lanjut bicara soal jadwal setelah kita tanda tangan kontrak” si “legal” mengeluarkan dua buah kopi kontrak, satu untuk Hantaman dan satu untuk pihak mereka.
Stefan menatap ke kontrak tersebut dan dia membacanya sekali lagi.
“Jujur, ini draft kontrak kerjasama yang terapih yang pernah saya lihat” Stefan membuka pembicaraan. “Memang perusahaan Jepang selalu detail” lanjutnya.
“Ah kan yang kerja disini orang Indonesia semua” balas Pak Indrawan.
“Yang penting kan budaya perusahaannya, dan saya yakin hasilnya nanti akan bagus” senyum Stefan, sambil mengambil bolpoin yang disediakan oleh si orang legal.
“Kalau kerjasama dengan kalian, saya yakin hasilnya akan bagus”
“Kalau gitu kita punya niat yang sama Pak”
Stefan membubuhkan tanda tangan. Pak Indrawan membubuhkan tanda tangan. Stefan sebagai perwakilan MDT yang menaungi Hantaman, Pak Indrawan mewakili Music Hall ini sebagai induk dari kerjasama yang akan kami lakukan ini.
Setelah mereka membubuhkan tanda tangan, mereka bertukar kopi kontrak, yang kemudian harus ditanda tangani lagi, agar lengkap ada bukti kerjasama dari kedua belah pihak.
“Done” seru Stefan, dan dia berdiri, mengikuti Pak Indrawan dan mereka berdua berjabat tangan.
Oke, sudah deal. Kita bisa tancap gas. Kendaraan ini mudah-mudahan berjalan dengan baik, walau aku dan Karina ada di dalamnya. Mudah-mudahan tidak ada konflik dengan dirinya.
Amin.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG