Hantaman – Japan Februari 201X
Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto
Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -
Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta[/QUOTE]
--------------------------------------------
Berantakan.
Apa yang berantakan? Mood kami. Dan suasana diantara kami. Malam kemarin ditutup dengan tamparan keras Bagas ke wajah Stefan. Kami semua diam, tanpa suara di dalam mobil. Kami masuk kamar kami masing-masing. Stefan diam dan langsung tidur. Aku juga, tanpa mandi. Paginya kami langsung beli makan masing-masing di minimarket, jalan ke stasiun, dan naik Shinkansen.
Stefan di sebelahku, diam seribu bahasa di dalam Shinkansen.
Hanya Sena yang masih bisa mengobrol dengan Shigeo di kursi mereka. Ilham dan Zee diam. Bagas dan Anin diam. Kejadian semalam membuat kami semua tegang. Terutama sebagian besar dari kami bertanya-tanya, omongan apa yang dibisikkan Bagas ke telinga Chiaki sehingga dia rela pergi begitu saja dengan tenang?
Acara kami hari ini? Setelah ke hotel, kami akan ke kantor Titan di sore hari. Dari siang sampai sore bebas, tapi sepertinya akan kami gunakan waktu untuk istirahat. Oh iya, ada kabar baik. Kyou-Kun sudah setuju meng-hire salah seorang temannya Kyoko untuk menggantikan Kyoko setelah menikah nanti. Keputusan yang sangat berat sepertinya untuk Kyou-Kun, karena Kyoko mengatakan, hari sabtu besok, Kyou-Kun akan nonton penampilan kami di MARZ Shinjuku dan dia akan bicara panjang lebar soal ini denganku.
Ah, setidaknya masalah café dua bersaudara di Mitaka itu dan masalah Chiaki sudah kelar. Dari air mukanya malam itu setelah bicara dengan Bagas, sepertinya dia tidak akan lagi-lagi menampakkan dirinya di hadapan Stefan. Dan terus terang semua itu semalam membuatku penasaran. Penasaran sekali.
“Tak sabar bertemu Aya nanti malam ^_^” pesan dari Kyoko tadi pagi itu kuingat terus. Rencananya ia akan menginap sehabis café tutup. Tentu aku akan menunggunya. Aku rindu sekali bersamanya. Andai saja dia kemarin ikut ke Osaka dan Kyoto. Pasti suasana hatiku bisa lebih damai dan ada pelarian dari masalah Chiaki.
Masalah yang bukan masalahku, sebenarnya.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Kamar hotel, dan kami menempati hotel yang pertama lagi. Setiap orang mendapatkan satu kamar, kecuali mungkin Ilham dan Zee yang bisa bolak-balik pulang ke tempat mereka atau menumpang entah dimana. Aku berbaring dengan malasnya, menunggu perut lapar untuk makan siang. Aku dengan malas membuka handphoneku, menunggu pesan entah apalagi dari Kyoko atau pesan-pesan dari Indonesia sana.
“Lo di kamar?” tanya Stefan di media sosial saat kubuka.
“Iya, kenapa?”
“Mau cari makan bareng?”
“Terserah” jawabku.
“Yaudah, gue ke tempat lo dulu” sambung Stefan.
“Oke” jawabku dengan malas.
Tak berapa lama kemudian, pintu kamar hotelku diketuk, dan aku sudah tahu itu pasti Stefan. Aku bangkit, membuka pintu, mempersilahkan Stefan masuk dan melempar diriku kembali ke atas kasur. Aku menatap Stefan yang segera duduk di kursi, dan menyalakan rokoknya.
“Sayang smoking room gak dirokoin” ucapnya membuka pembicaraan. Aku diam saja dan menatapnya.
“Emang mau ngajak makan dimana sih elo” aku membalas omongannya dengan malas saja. Suasana masih aneh setelah kejadian tadi malam.
“Ga tau, deket sini ada apa? Paling ke Broadway, cari makan disono, balik sini lagi, kalo ga cukup waktu langsung ke kantor titan aja” jawabnya panjang.
“Lu bakal diapain lagi sama Kairi ya ntar” potongku.
“Entah”
“Gue sih rela kalo kita dibalikin ke Indonesia, terlebih karena Chiaki jadi kayak gitu karena omongan-omongan bullshit lo…” aku mencoba mereview kejadian semalam.
“Lantas?”
“Dan itu kalo elo sedari awal gak mainin perasaan tu cewek, gak bakal kayak semalem kayaknya” akhirnya keluar juga kepusingan di kepalaku, walau tidak merubah keadaan sunyi diantara kami berempat siang ini.
“Hmmm” Stefan mematikan rokokya dan membakar satu lagi.
“Cepet amat ngerokoknya”
“Tau” jawabnya.
“Sekarang gue capek, suntuk, bete, dan pasrah” lanjutku. “Jadi lo siap-siap aja ntar disemprot ama Kairi kayak apaan tau”. Stefan hanya mengangguk dan memandang ke karpet. Dia tampak tidak berani menatapku. Stefanus Giri Darmawan, setelah 31 tahun perjalanan hidupnya, dia tersandung disini, di Jepang. Pertama kali dia melanggar peraturannya sendiri, pertama kali juga dia tidur dengan perempuan yang sama dua kali. Ini prestasi sekaligus bencana.
“Ya kita makan dulu lah” balasnya dengan malas malasan. Mukanya terlihat uring-uringan. Mungkin dia tidak menyangka efek dari ke”iseng”an nya bersama Chiaki. Kini ada luka sejak tamparan Bagas ke Stefan. Ada rasa tidak percaya yang besar ke Stefan, sampai-sampai harus Bagas lagi yang menyelesaikan masalahnya. Sudah tiga kali kuhitung, perkelahian dengan DIMH, hilang di Osaka dan Tamparan semalam di Kyoto. Untuk sebuah working band yang mau berumur 8 tahun, ini jelas masalah.
“Mari” Aku bangkit, menyambar sweater tebalku dan bersiap keluar. Kita cari makan dulu sebelum dihajar habis-habisan oleh Kairi.
--------------------------------------------
"Asshole!!" Kairi menggebrak meja.
Kami semua diam. Ruang rapat itu hening sejenak. Dia pasti marah bukan karena angka penjualan tiket konser yang kecil, karena konser kami selalu penuh. Bukan juga marah karena impact konser kami yang kurang, Shigeo bilang kepada kami, kalau responnya positif dan review di majalah-majalah musik, terutama majalah indie sangatlah baik.
"Why you just can’t say no, tell that girl the truth?” tanyanya ke Stefan. Stefan hanya diam. Ya, kalau dari pertama Stefan tegas, mengatakan tidak, dan tidak memberi janji-janji palsu ke Chiaki, mungkin tidak akan ada insiden semalam.
Pertama, Chiaki, jelas itu problem, kalau Chiaki sampai kenapa-napa, pasti Titan dan Hantaman ikut kena. Dan sekarang, ada luka yang ditinggalkan oleh Stefan kepada kami. Kesan yang kami semua tangkap adalah kekacauan Stefan berimbas kepada perasaan kami padanya. Kami jadi sedikit tidak percaya kepadanya, terutama Kairi. Ini soal menjaga sikap dan behave di luar panggung.
“Thank god I forbid you from fucking other girl until next week” Kairi menggelengkan kepalanya. “And you, what did you say to her?” tanyanya ke Bagas, menanyakan apa yang Bagas katakan ke Chiaki hingga dia rela pergi.
“I said what I said” jawab Bagas tak jelas dengan kakunya.
“Just tell me”
“Nothing particular. Ordinary things” jawabnya lagi dengan tak jelas. “Something make sense. Not like him” Bagas menunjuk Stefan dengan terang terangan. Dia menunjuknya tanpa ekspresi, dan kami semua, dalam ruangan itu memandang Bagas dengan penuh tanya.
“So, what now, trouble maker?” tanya Kairi dengan muka super malas.
“Well I…”
“You guys are great band” potongnya mendadak. “But his attitude is a problem… Just tell me fucking why, you have to fuck everything that moves?” tanya Kairi dengan gamblangnya. Aku menggaruk kepalaku dengan perasaan kesal, karena buntut dari ulah Stefan di awal kedatangan kami begitu panjang.
“It’s just… It’s only a bad habit” jawab Stefan asal.
“Now write what I will say” Kairi mendadak mengambil selembar kertas dan sebuah bolpoin.
“What?” Stefan kaget.
“Write” perintah Kairi tanpa mengindahkan reaksi Stefan. Kairi berdiri dan menaruh barang-barang itu di depan Stefan. Yang disuruh hanya diam, mengambil bolpoin dan siap-siap menulis dalam keadaan tegang.
“Write down your name and passport number” Stefan langsung panik merogoh jaketnya dan mengambil paspornya. Tak berapa lama ia telah menuliskan apa yang Kairi suruh.
“Write: I am responsible for any personal damages to anyone during Hantaman’s tour in Japan, and write down the dates of this tour” perintah Kairi dengan tegas. Dia berdiri dan melihat Stefan komat kamit dengan tangannya, menulis apa yang ia suruh. Aku, Anin, Bagas dan Shigeo melihat gerak-gerik Stefan di atas kertas. Untung Zee, Ilham dan Sena menunggu di luar.
“And I will agree to Titan’s term, no alcohol without supervision, never going out along, and not to sleep with any girl until this tour is over” lanjut Kairi, tetap menatap ke arah kertas yang sedang dikaryakan oleh Stefan dan bolpoin yang ada di tangannya. “If I broke this rule, Titan will break the contract with Hantaman, and all Hantaman’s CD will be withdrawed from Japan, shipped to Indonesia. The financial damage will be covered by me” lanjut Kairi, menekankan ketegasannya. Stefan menelan ludahnya karena sekarang beban ada di kepalanya. Semua beban Hantaman.
Bagaimana tidak, jika dia melanggar semua peraturan itu, secara tertulis kontrak dengan Hantaman akan diputuskan dan semua album Hantaman akan ditarik peredarannya, dikirim ke Indonesia, dan semua biaya akan dibebankan ke Stefan. Mampus. This serves him right.
“Add your signature, and Shigeo… Hanko e motte kuru” dia menyuruh Shigeo untuk mengambil cap resmi perusahaan dan tanpa menunggu lama, Shigeo memberikannya ke Kairi. Kairi lantas mengambil tulisan Stefan dan menorehkan cap di tulisan tersebut. Kini jadi perjanjian resmi.
“Be careful, and respect your friends!” tunjuk Kairi ke Stefan, mengakhiri sesi tegang ini.
--------------------------------------------
“Mampus lo” umpat Anin di tengah makan malam kami yang begitu tegang. Stefan hanya terdiam, sambil memakan makanan yang ada di depannya dengan tidak berselera. Aku hanya fokus membalas pesan-pesan kangen dari Kyoko. Dia akan datang malam ini, tentunya hal ini membuat diriku lebih tenang. Dan fokus soal Stefan bisa teralihkan serta mungkin akan teredakan oleh Kyoko.
“Kayaknya ntar di Indonesia mesti pake perjanjian kayak gini juga sama elo” lanjut Anin.
“Ga usah” jawab Stefan asal, dengan muka datar.
“Daripada ntar ada kasus kayak gini lagi, ini yang pertama dan mudah-mudahan yang terakhir sih, tapi jaga-jaga aja biar ga jadi damage kayak sekarang”
Stefan diam saja. Dia menghela nafas panjang.
“Bisa gak usah bahas lagi gak, gue jadi ga enak makan” balas Stefan.
“Kan ini gara-gara elo”
“Iya tau makanya jangan dibahas dulu, biarin gue telen aja bisa gak” umpatnya pelan.
“Udah Nin” aku bersuara. Dan Anin menurut dalam diam. Ilham, Zee, dan Sena sekarang ikut-ikutan seperti Bagas. Diam seribu bahasa. “Besok kita ada manggung lagi, kita buktiin aja di panggung, mau ada masalah apapun, kita tetep garang” lanjutku. Anin mengangguk dengan lemah. Stefan juga.
“Biar malem ini kita istirahat, gak ada yang ngapa-ngapain, biar besok kita fokus lagi. Thanks to Bagas, lo selalu pecahin masalah kita disaat kita ga bisa ngapa-ngapain” pujiku. Bagas diam, seperti tak mendengar perkataanku. Dia fokus makan dengan tenangnya. “Ham, Zee, maaf, kalian jadi ikut liat masalah-masalah model gini dari awal” aku meminta maaf kepada mereka berdua.
“Cool, It’s okay” jawab Zee, diamini Ilham dengan anggukan dan senyuman tipisnya.
“Sena, Sorry, lo paling sering liat hal-hal kayak gini dari awal. Kita janji ini bakal jadi yang terakhir” senyumku ke Sena.
“Santai bang” balas Sena.
“Iya ini yang terakhir, kita udah makin tua” Anin menyahut setuju. Dia lantas menatap Stefan, menunggu Stefan bicara.
“Oke, gue tau kalian tunggu gue ngomong” dia lantas menarik nafasnya panjang sekali.
Kami menatapnya, menunggu dia bicara.
“Sorry. Dan disini gue bakal anteng. Liat aja entar” ucapnya pelan dengan sejuta keterpaksaan. Kami tidak tahu apakah ia merasa bersalah atau tidak, tapi rasa terpaksa untuk melakukan semua yang Kairi katakan jelas terasa. Biarlah. Dan mudah-mudahan ini jadi insiden terakhir yang mengiringi tur ini.
--------------------------------------------
“Aya!” sapa Kyoko, saat ia memanggilku, yang sedang memilih kopi kalengan di minimarket.
“Hai” sapaku dengan lemah. Kyoko menghampiriku, memeluk lenganku dan mencium pipiku.
“Aya terlihat chapai” bisiknya.
“Banget, maaf ya keliatan gak antusias, aslinya excited kok” aku dengan lemah membisikkan perasaanku ke Kyoko. Memang lelah. Lelah fisik dan mental. Aku mengambil sekaleng kopi di freezer minimarket dan lalu dengan menggandeng Kyoko jalan ke kasir.
“Chotto” bisik Kyoko, dan dia berjalan dengan cepat ke arah freezer es krim. Dia lantas membukanya dan mengambil satu. Haha, dingin-dingin makan es krim. Eh, aku juga dingin-dingin minum kopi dingin. “Dekiru?” senyumnya, menyatakan apakah aku bisa mentraktirnya sepotong eskrim. Aku mengangguk dan tersenyum. Ini yang kubutuhkan setelah kelelahan di Kyoto dan Osaka. Akhirnya setelah membayar semua belanjaan malam itu, aku dan Kyoko berjalan ke hotel.
“Aya pasti merasa berat”
“Banget” jawabku.
“Stefan bagaimana?”
“Gak tau, yang pasti seperti yang aku bilang tadi di line, dia bener-bener dikekang ama Kairi. Dan kalo ngelanggar, kita semua yang kena. Jadi pasti dia anteng…. Mudah-mudahan lah…” Kyoko hanya mengangguk pelan, sambil memakan eskrimnya di tengah dinginnya malam di Nakano. Aku menghela nafas dan melirik ke arah Kyoko. Ah, andai kamu ada disana kemarin-kemarin. Pasti tiap malam akan kupeluk, dan pasti perasaanku lebih tenang.
Tak berapa lama kemudian kami sampai di hotel. Dalam ketenangan malam itu, kami langsung merayap ke lift, menuju kamar mungil itu.Setelah pintunya kubuka, kami berdua masuk dan melepas nafas lega. Aku melepas jaketku dan Kyoko duduk dengan lucunya di kasur, sambil tetap memakan es krim yang kubelikan tadi.
“Lepas dulu mantel kamu”
“Chotto” jawabnya sambil menunjuk es krim dengan matanya. Aku tersenyum saja dan melepas hasrat ingin pipis di kamar mandi. Setelah buang air kecil, aku lantas memandang ke cermin sejenak, sambil menghela nafas, melihat air mukaku. Air muka letih dan capai. Dan besok sudah ada live show lagi. Aku dengan enggan mengambil sikat gigi, mulai membersihkan gigiku, dan lalu berkumur dengan malasnya.
Ah besok. Another gig. Coba aku bisa seatraktif Stefan di panggung yang selalu terlihat bersemangat. Capek juga pasti. Aku lantas keluar dan menutup pintu kamar mandi, hanya untuk menemukan pemandangan yang luar biasa indah.
“Kangen?” tanya Kyoko. Dia duduk bersimpuh di atas kasur tanpa memakai busana apapun, tak satu helai benangpun yang ada di tubuhnya. Tangannya memeluk dadanya, menyembunyikan payudaranya yang indah. Mukanya tampak tersenyum sumringah, melihat calon suaminya berdiri tertegun.
“Ngapain?” tanyaku iseng, tapi tanganku mendadak otomatis membuka sabuk celanaku.
“Menunggu Aya”
“Nunggu untuk ngapain?”
“Aya pikir untuk apa?”
“Untuk kamu?”
“Aya mau apa? Kenapa buka celana?” tanya Kyoko jahil.
“Otomatis” jawabku.
“Aya nakal” canda Kyoko, melihatku menanggalkan celanaku dan mulai melepas bajuku. Aku hanya tersenyum ke arahnya, yang masih tampak menantangku untuk menggaulinya.
“Siapa yang nakal, aku atau yang telanjang duluan?”
“Aya”
“Boong”
“Aya” senyum Kyoko, melihat aku sedikit demi sedikit menanggalkan pakaianku. Kini aku sudah telanjang bulat, dan mampir sejenak ke tasku, merogoh salah satu kantongnya dengan buru-buru.
“Aya cari apa?” tanya Kyoko dengan menggemaskannya.
“Kondom” jawabku pelan, dengan tak sabar.
“Kondomu? Tawa Kyoko. Aku balas tertawa dan akhirnya aku menemukan barang yang dari tadi aku cari itu.
“Come, Aya” panggil Kyoko dan aku dengan tidak sabar merayap ke arah kasur. Lampu kamar sudah diredupkan. Kyoko sigap juga untuk malam ini. Aku tersenyum dan kami berciuman di atas kasur, lantas berpelukan dan bergumul dengan lembutnya ditengah keremangan malam.
Selalu ada perasaan lega saat bibir kami berdua bertemu dan badan kami saling menghimpit satu sama lain. Kami bergulingan dengan pelan di atas ranjang yang terbatas itu. Hangat kulitnya dan lembut permukaannya menempel di badanku. Tidak ingin rasanya aku melepas ciuman ini. Mataku tertutup dan yang terbayang Cuma satu, tak lain dan tak bukan Kyoko seorang. Akhirnya bertemu juga setelah dua minggu yang melelahkan.
Aku meremas badannya, merasakan lembut kulitnya. Penisku sudah berdiri dengan tidak karuan. Aku berusaha meraih kondom yang terlempar di atas kasur pada saat kami berpelukan tadi. Kyoko menahan tanganku mendadak. Dia melepas ciumanku dan lantas tersenyum penuh arti. Dia melirik ke bawah. Ke arah penisku. Aku mengerti dan mencium hidungnya pelan. Tapi aku tidak ingin melepasnya terlebih dahulu. Aku masih memeluknya dengan erat, tanpa meraba bagian-bagian tubuhnya yang menggairahkan. Bibirnya kembali kulumat dalam sepinya Nakano malam itu.
“Aya” bisik Kyoko.
“Yes?”
“Hehe” Kyoko mendorong badanku dengan lembut dan aku pasrah. “Aya pasti chapai” senyumnya.
“Iya”
“Jya, jadi Aya tenang saja, biar Kyoko malam ini” biar dia malam ini apa?
“Hmm?” tanyaku tanpa berkalimat.
“Just relax and let Kyoko do the job” jawabnya dengan senyum dan bahasa Inggris yang kental dengan logat Jepang itu.
Kyoko kembali menyuruhku dengan gerakan tangannya, untuk tidur telentang. Rasanya mungkin tidak adil karena dia mengatakan bahwa ia akan bekerja sendirian malam ini. Tapi benar juga, badanku terasa lemah dan pegal. Aku berbaring dengan santainya di atas kasur, dan Kyoko merayap dengan pelan ke atas penisku. Dia mencium ujung kepalanya.
“Hehe” bisiknya. Aku hanya tercekat tanpa suara saat dia menggenggam penisku, mengocoknya dengan gerakan yang super lembut, dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Shit. Hangat sekal rasanya. Sensasi gerakan mulut perlahan dan digabung dengan gerakan tangannya, membuat aku yang lemas semakin lemas. Dia tampak tekun, menggerakkan tangan dan mulutnya perlahan, dalam ritme yang sedikit berbeda, tetapi kalau digabungkan, rasanya luar biasa seperti ini. Dia menutup matanya, menikmati setiap detiknya. Setiap detik dimana organ-organ di dalam mlutnya bersentuhan dengan penisku. Akupun merasakan kelembutan, kehangatan dan basahnya adegan itu. Aku dengan lemah berbaring, mencoba merasakan setiap senti permukaan alat vitalku yang ia berikan stimulan.
Tangannya bergerak begitu pelannya, berusaha agar aku tidak merasakannya sebelum semua selesai. Kyoko melepaskan penisku dari mulutnya, menatapku dengan sudut matanya, dan melanjutkannya lagi. kali ini dia menjilati permukaan penisku, sampai ke pangkal-pangkalnya. Dia tampak menikmatinya juga, walau aku tidak tahu apa yang dia rasakan.
Pelan tapi pasti, sepertinya semua permukaan penisku sudah habis olehnya. Dia menjilatinya, menciumnya dan sekarang ia kembali mengulumnya. Sumpah, getarannya luar biasa. Rasa yang menggelitik menjalar, dari penisku sampai ke otakku. Otakku terasa geli, terbenam dalam nikmatnya perasaan detik ini. Dan detik ini, Kyoko tanpa ampun dan dengan anggunnya menjadikan penisku sebagai barang favoritnya. Sempurna memang, disaat kau sedang merasakan lelah yang amat sangat, calon istrimu menawarkan sesuatu yang tak bisa kau tolak lagi. Yaitu memanjakanmu. Memanjakanmu tanpa ampun. Dan aku tidak akan meminta ampun, pasrah dan menikmati setiap detiknya.
Setiap detik lidahnya bergerak, menjelajahi sudut-sudut penisku. Setiap detik bibirnya mencium permukaan penisku. Setiap detik kehangatan mulutnya membasahi penisku. Dan setiap detik yang ia berikan untuk menjadikan diriku merasakan kenikmatan luar biasa ini.
“Aya suka?” tanyanya sambil menggenggam penisku yang begitu tegaknya. Aku hanya bisa mengangguk di tengah nafasku yang tidak karuan. Kyoko lantas tersenyum lucu, dan bangkit. Dia tersenyum simpul, sepertinya dia puas akan reaksi badanku atas perbuatanya. Dia lantas merayap, mengambil kondom yang tadi terlempar entah kemana itu. Dengan gerakan perlahan namun pasti, dia merobek bungkusnya dan mengeluarkan pelindung itu dari kemasannya.
Kyoko lalu memasangkannya dengan tepat dan baik. Ah ada aja perkembangan dan kejutannya yang selalu membuatku terpana setiap bertemu dengannya.
“Jya… Owarimashita” senyum Kyoko saat ia selesai memasangkan kondom di penisku, berikutnya dia mendadak menaiki tubuhku, tapi dengan berputar. Punggungnya menghadap diriku.pantatnya yang bulat mendadak jadi objek yang sangat menggairahkan untuk tanganku. Aku lantas meremasnya.
“Mmhh….” Desah Kyoko saat tanganku mempermainkan pantatnya. Dan dengan gerakan yang lembut, perlahan penisku amblas di dalam vaginanya. Pelan, namun pasti, Kyoko menggerakan pantatnya, memberikan stimulasi yang luar biasa yang menjalar dari vaginanya, ke penisku dan ke seluruh badanku.
Rasanya badanku bergetar dengan luar biasa, menjadikan badanku ini sebagai lahan bermainnya.
“Uhh…” desahnya tak berhenti saat pantatnya naik turun, meremas, menghadirkan perasaan yang luar biasa nikmat. Rasanya gila. Sampai saat ini, aku tidak mungkin akan pernah bosan akan semua sudut tubuh Kyoko dan segala apa yang ia lakukan. Dia memang selalu bisa membuatku terlena setiap detiknya dalam semua persetubuhan kami.
Pelan tapi pasti, aku bisa merasakan gerakan tubuhnya. Dia ingin aku sedikit beringsut kebawah, agar dia bisa berbaring di atas tubuhku. Tetapi aku tidak menurut. Tentunya aku punya pemikiran lain. Aku bangkit, duduk dan memeluk Kyoko dari belakang. Perlahan, sambil merasakan gerakan pantatnya yang naik turun, aku menciumi punggungnya dan merayap menuju lehernya. Aku bisa merasakan nafasnya yang berat, seiring gerakan bibirku menjelajaih bagian tubuhnya.
“Ngg… Kimochi” desahnya saat aku mulai meremas buah dadanya dengan kedua tanganku. Putingnya kupermainkan, dan rasanya memang luar biasa nyaman.
Kami saling memberi kenikmatan. Bertukar stimulasi. Saling mempertontonkan hasrat masing-masing. Aku menciumi lehernya dan mempermainkan buah dadanya. Dia bergerak dengan ritme yang membius, melumat penisku dengan lubang kewanitaannya yang menggoda itu. Luar biasa hangat, dan sukses membuat pikiranku melayang. Melayang, sampai di satu titik penisku tampak tidak tahan lagi.
“Kyoko… I want to come…” bisikku.
“It’s okay, kalau Aya mau” jawabnya.
“No, aku pengen Kyoko juga……”
“Aya kan chapai…. Biar Aya saja” bisiknya. Iya, diskusi ini tak ada ujungnya, karena kami masing-masing berkonsentrasi bagaimana caranya untuk memberikan rangsangan yang tidak ada ujungnya kepada masing-masing kami. Kyoko berusaha untuk membuatku ejakulasi, dan aku berusaha untuk membuat Kyoko orgasme. Benar-benar kompetisi yang saling menguntungkan.
“Sshhh” Kyoko lantas menyuruhku diam, melepas tanganku dari payudaranya, dan mendorong tubuhnya untuk jatuh ke diriku. Aku tidak kuasa menahan badannya dan akhirnya aku jatuh. Kyoko lalu dengan gerakan yang aku sama sekali tidak menduganya, sedikit mengangkang dan berbalik, menjadikan tubuhnya menghadap diriku. Dia lantas kembali menduduki penisku, menatap mataku dalam-dalam, dan menahan tanganku.
“Aya diam saja” tawanya. Dia lalu bergerak dengan ganasnya, diatas penisku.
“Aahh…” desahku tertahan saat dia bergerak dengan ritme cepat dan tidak teratur.
Gila.
Ini gila.
Luar biasa gila.
Kepalaku penuh. Penuh oleh Kyoko. Kyoko yang sedang bergerak diatas tubuhku, menahan tanganku, dan buah dadanya yang tidak bisa lepas dari mataku. Bergoyang, naik turun dengan lembutnya, memberikan tontonan yang luar biasa. Luar biasa menggoda.
“Aahhh……” bisikku tidak tahan. Dan itu seperti pertanda Kyoko untuk menjadikan gerakanya makin liar. Ia menggigit bibirnya, dia juga pasti merasakan hal yang sama.
“Aya..” teriaknya pelan.
“Uhhh…. Kyoko… Aku…”
“Aya…”
“Ah!” aku mengejang dan Kyoko juga. Dia tampak menutup matanya, disaat aku tidak bisa bersuara lagi. sial. Sial. Sial. Penisku meledak tanpa aba-aba. Aku bisa merasakan cairan hangatku meleleh di dalam kondom. Kyoko masih begerak dengan liarnya.
“Kyoko aku…”
“Chotto…” Kyoko lalu mengejang pelan. “Ah… Aya… Ah” Kyoko mengerang dengan nikmatnya dan ekspresinya yang luar biasa itu. Mendadak dia berhenti dan dengan lunglainya jatuh di atas tubuhku. Tanpa menunggu lama kami pun langsung berciuman dengan eratnya.
Badannya licin oleh keringat, dan matanya tampak bercahaya. Dia pasti sudah merasakan kenikmatan yang sama denganku.
Malam itu, kami saling mencium, seperti berjanji untuk tidak saling melepaskan. Tentu. Kami akan menjadi suami istri dalam hitungan minggu. Kami tidak akan saling melepas.
Untuk selamanya.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG