Hantaman – Japan Februari 201X
Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto
Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -
Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta
--------------------------------------------
Sore hari, di hari Kamis. Kami bersama kru di Kyoto MUSE, sedang setting alat-alat kami. Dan ada satu hal yang masih mengganggu kepalaku, walau itu bukan problemku. Berapa uang yang sudah Chiaki keluarkan untuk mengejar Stefan?
Sambil menata efek, aku lantas menghitung. Tiket Bus + Biaya menginap + Sewa love hotel + Tiket masuk di beberapa acara yang gak gratisan = Berapa? Apalagi dia sekarang tidak bekerja, dan dia katanya pekerjaan-pekerjaan sebelumnya hanya magang-magang saja atau part time job. Gila, pasti uangnya pas pasan, dan apa dia masih tinggal dengan orang tuanya? Atau dia tinggal sendiri? Atau gimana? Aku tidak bisa menemukan kesimpulan yang masuk akal dari semua gerak gerik Chiaki.
Stefan merokok dengan tenangnya, berdiskusi di depan mixer, dengan Sena.
Tapi aku tahu dia pasti tidak tenang. Dia pasti takut akan Chiaki lagi. Kemarin ketika di Live House takutaku, sungguh beruntung kami tidak bertemu Chiaki. Entah karena mungkin acara malam itu sungguh ramai dan gratisan, sehingga yang masuk pun berjubel. Di tengah padat itu pasti susah menemukan Chiaki, ataupun kalau dia mencoba masuk di tengah manusia yang seperti ikan kalengan di tempat sempit itu.
Tapi sungguh, mau sesiap apapun Stefan, pasti kalau aku ada di posisi dia, sangatlah sulit untuk menghadapi orang seperti Chiaki. Rasa obsesifnya ke Stefan benar-benar menjadi momok kali ini. Entah bagaimana cara untuk meredamnya, aku sendiri tidak tahu. Yang kita takutkan, adalah ketika penolakan itu terus terpapar ke dirinya, yang ada malah dia melukai dirinya sendiri dan orang lain. Perempuan-perempuan yang seperti ini sudah pasti fragile, karena dia sendiri menyandarkan perasaannya pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak nyata.
“Empat kali show, di tiga show sih Chiaki nongol terus ya” bisik Anin yang sudah beres menyeting bass nya. Aku mengangguk, sambil melirik ke sekeliling. Bagas sedang sibuk oleh drumset, dan Shigeo sedang beristirahat sejenak dari tugasnya untuk mendampingi kami.
Kairi Yamakawa, si bos label yang tegas dan keras itu kini sudah dalam perjalanan kembali ke Tokyo. Entah bagaimana kalau misalnya nanti malam ada Chiaki dan terjadi kehebohan, atau sekeder konfrontasi dengan Stefan. Aku berharap Kairi ada, untuk bisa menengahi ataupun bisa lebih tegas ke Chiaki maupun Stefan, terlebih lagi karena Kairi adalah ibu-ibu dan perempuan, serta dia bos nya Titan. Setidaknya Chiaki mungkin, mungkin tapi, lebih paham kalau sesama perempuan yang memberi tahu, sekalian pakai alasan profesional, misalnya kedatangan dia mengganggu tur nya Hantaman.
Tapi, sejujurnya, aku harap, aku dan teman-temanku tidak akan bertemu dengan Chiaki lagi. Selamanya.
Amin.
--------------------------------------------
“Ada?” tanya Stefan sebelum kami naik ke panggung.
“Ga ada kayaknya, gue tadi dari luar ga liat” jawabku, dimana aku baru saja kembali dari luar ke backstage untuk buang air kecil. Aku berjalan ke kursi, mengambil sebuah handuk kecil untuk mengeringkan tanganku. Tak sabar, besok jalan ke Tokyo, dengan Shinkansen lagi. Kyoko sudah berjanji untuk menginap lagi. Tidak sabar rasanya bertemu dengan calon istriku itu, dan membicarakan soal progress pengalihan kekuasaan di café, membicarakan pernikahan, dan semua mua nya.
“Serius gak ada?” tanya Stefan lagi, memastikan keberadaan Chiaki.
“Gak ada”
“Jangan main-main ah” dia mempertanyakan keseriusan jawabanku.
“Cek aja sendiri keluar sana”
“Ga mau” balasnya dengan muka khawatir.
“Guys, 5 minutes” teriak Shigeo dari arah pintu backstage, menunjukkan bahwa lima menit lagi kami akan maju ke panggung. Maju untuk menjadikan Kyoto MUSE sebagai ladang pembantaian baru, sebelum pindah kembali ke Tokyo. Dari ibukota lama ke ibukota baru. Suara riuh rendah sudah mulai terdengar di luar. Tidak ada yang memanggil nama kami sepertinya, tapi atmosfer di luar sudah terasa ramai. Mereka pasti akan jadi korban kami.
“Siap?” tanya Anin, sambil melemaskan jari-jarinya.
“Siap” jawabku pelan, sambil merapihkan rambutku, bercermin. Stefan berdiri tanpa suara dan mengangguk ke arah kami semua. Bagas diam saja.
“Dan lo bisa gak, jangan pake t-shirt begitu” tegur Anin ke Stefan.
“Kenapa emang?”
“Gak enak diliat di foto tau, apalagi di media online Indonesia, kalo jadi kasus gimana di sosmed” sungut Anin.
“Terus gue pake apa dong?”
“Telanjang dada aja kayak biasa”
“Ntar itu mah kalo udah keringetan” jawab Stefan dengan muka mengesalkan.
“Kalo kata gue sih gapapa juga ya pake kaos begitu” aku mencoba menengahi.
“Gue bilang sih kenapa napa”
“Emang jeleknya dimana sih?” Stefan menarik T-shirt hitam dengan tulisan putih besar di dadanya itu.
“Tulisannya, Kontol” sungut Anin.
T-shirt hitam, dengan sablonan huruf berwarna putih di dadanya, membentuk sebuah kata. Yaitu “KONTOL”
“Salahnya dimana, kan emang tulisannya Kontol” jawab Stefan.
“Gak sopan bego”
“Ini konser rock, bukan pengajian” balas Stefan.
“Ntar di sosmed kita dibilangin malu-maluin Indonesia lho” marah Anin.
“Terus kalo gue pake ini kaos ke panggung lo mau apa? Paling lu mau misuh-misuh kayak biasa kan, misuh kayak cewek PMS” ledek Stefan.
“Lu makin ngeselin yak” Anin memicingkan matanya.
“Guys?” muka Shigeo muncul lagi, menandakan bahwa kami harus segera naik ke Panggung.
“Ayo” Stefan langsung jalan ke arah panggung, dan Anin tak kuasa melihatnya.
“Yaudah lah ya, paling udah dua lagu langsung dia lepas, dia kan ga tahan pake baju lama-lama” aku berusaha menenangkan Anin.
“Lo coba deh jadi admin fanpage, instagram, twit**ter nya Hantaman sekaligus” keluh Anin.
“Yah, tapi sosmed kan emang gahar om… Gue aja foto ama Arwen atau Zee di IG ada aja orang komentarin…” tawaku.
“Komentar apa emang” tanya Anin sambil meregangkan badannya dan mulai berjalan ke panggung.
“Pacarnya Kak Arya kok ganti lagi sih? Yang semacam itu lah, kayak mereka tau gue kayak gimana aja orangnya” tawaku.
“Haha, yang gue hadepin jauh lah lebih ngeselin daripada itu Ya, masih mending kalo yang kasar-kasar kayak fans nya DIMH gitu, yang polisi moral jauh lebih nyebelin lah hahaha” tawanya sambil menyongsong ladang pembantaian.
Okelah, mari kita bakar lagi Kyoto untuk terakhir kalinya malam ini.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Kalian tahu apa yang paling mengganggu ketika live show? Iya. Senar putus. Tak apa-apa, toh ada gitar cadangan. Aku terpaksa menaruh Epiphone Black Beautyku dan mengambil Hagstrom Viking warna hitam, kesayanganku nomer dua setelah gitar Aria Pro ku. Entah kenapa aku dulu begitu mengandalkannya, padahal tidak ada kejadian spesial yang mengiringi pembelian gitar itu.
Stefan berkomunikasi dengan penonton secara casual, dengan menggunakan Bahasa Inggris. Mereka tertawa mendengar jokes-jokes Stefan yang nakal dan spontanitasnya di panggung. Dan pada saat aku sedang sedikit menyetting gitar sebelum lagu berikutnya itulah aku bertemu mata dengan dirinya.
Aku menelan ludahku dengan rasa tak nyaman. Stefan sepertinya belum atau tidak sadar dengan sepasang mata yang menatapnya dari tadi.
Ya, mata berbinar seorang perempuan muda. Muka penuh harap, di sudut kiri, lebih dekat dengan posisiku daripada Stefan yang di tengah. Matanya seakan tanpa halangan, menatap Stefan dengan begitu gawatnya. Iya, gawat, gimana gak gawat? Dia tanpa berkedip, memperhatikan gerak gerik Stefan, bahkan ketika musik sudah dimainkan, dia tidak bergerak seirama dengan musik. Diam saja, memperhatikan, dengan segala fantasi di kepalanya.
Harus kuakui konsentrasi permainan gitarku jadi agak pecah. Untung saja karena kami sering latihan, maka aku sudah hapal di luar kepala set list dan lagu-lagu kami. Bukan hanya sering, tiga kali seminggu kami di Jakarta selalu latihan. Oleh karena itu wajar kalau kami semua hapal di luar kepala. Lagipula, kalau lupa, ada yang namanya improvisasi di musik. Apalagi basic musikku adalah Jazz, yang menekankan improvisasi dalam musiknya.
Tapi harus kuakui, memang sulit bermain musik dengan gangguan seperti sekarang. Gangguan Chiaki maksudnya. Apalagi kalau dalam posisi ini Stefan, tidak sadar soal keberadaan perempuan itu, karena mungkin terhalang olehku atau barang-barang di panggung. Sekarang dia cuek saja menyanyi dengan lantangnya.
Ah, bisa melihat tanda bahaya memang tidak nyaman.
--------------------------------------------
"Udah beres?" tanya Anin saat beberapa kru Kyoto Muse masuk dan membawa beberapa tas kami keluar, untuk dimasukkan ke mobil.
"Udah harusnya" jawab Sena, yang sedang mendata kelengkapan alat kami. Sementara aku duduk tertegun di panggung yang kosong, sambil menatap ke sudut-sudut gelap Kyoto Muse yang telah sepi.
Chiaki mana? Ini bukan bar, jadi tidak ada acara mingle ataupun minum-minum berbaur dengan pengunjung. Ini venue untuk live music. Dalam hati, aku berharap Chiaki sudah pergi, atau entahlah kemana, atau mojok lagi dengan Stefan, dan berdamai dengan keadaan seperti ini, mungkin? Tapi Kairi sudah wanti-wanti bahwa tidak boleh ada perempuan bersama Stefan di tur ini… Jadi entahlah.
Aku kadang iri dengan Stefan dan Anin, juga Sena dan Zee. Kalau melamun, mereka mengisi waktu mereka dengan merokok. Sedangkan aku sekarang idle, menunggui kru lokal beres-beres, dengan diatur oleh Shigeo. Dan yang memeriksa kelengkapan kami dan alurnya adalah Sena. Dia memang bertugas untuk itu selain menggawangi kami di mixer pada saat live show.
Besok pagi kami akan segera meluncur dengan kereta shinkansen menuju Tokyo. Menuju kota terakhir yang akan kami gilas di panggung. Dan di Tokyo ada tiga venue. Besok tak sabar ingin mengobrol lagi dengan Kyoko. Mudah-mudahan sudah ada titik terang lagi soal masalah di café. Dan tentunya aku tidak sabar ingin menginap berdua dengannya, saling berpelukan di kasur yang sempit dan hangat itu.
Dengan bosan, aku mengambil tasku, yang isinya mulai dari paspor, dompet, dan segala macam perintilan sehari-hari yang dibutuhkan untuk berangkat, juga tas yang penuh berisi efek gitarku. Aku harus menaruh tas efek gitar di mobil, biar nanti tidak ribet. Aku keluar, dan menuruni tangga Kyoto Muse. Dan di saat itulah aku melihat sebuah bayangan di pojok jalan, bayangan yang kini menakutkan.
Chiaki.
Chiaki berdiri, entah menunggu apa di bawah lampu jalan. Mobil kami jaraknya sekitar 50 meter parkir dari Chiaki. Siapapun yang keluar naik turun tangga di pintu masuk Kyoto Muse akan terlihat dengan jelas oleh Chiaki. Dengan mantelnya, dia tampak menunggu dengan seksama. Aku menelan ludah, berjalan dengan pelan. Begitu pelan sehingga mungkin aku tertinggal kalau balapan dengan kura-kura.
Jangan lihat ke Chiaki, belok saja langsung ke mobil Ya, disitu pasti ada para kru yang menata barang dengan Shigeo.
Pelan.
Jangan buru-buru.
Jangan sampai dia pikir aku parno melihatnya.
“Sorry”
Anjing. Aku menelan ludah. Aku merasakan sebuah tangan menepuk bahuku. Aku ingat suara perempuan itu. Bulu kudukku merinding disko. Mendadak. Aku menarik nafas, menyembunyikan muka takutku.
“Yes” senyumku dengan aneh sambil menatap Chiaki yang mendadak ada di belakangku.
“See Stefan?” tanyanya dengan muka yang tumben-tumbenan tidak ceria.
“Nope”
Aku menggelengkan kepala dengan lemah, dengan senyum palsu yang menyembunyikan rasa takutku, rasa ngeriku dan aku berharap dia tidak sadar soal perasaanku sekarang.
“Please tell him I’m here” lanjut Chiaki.
“Okay”
Aku lantas tanpa rem lagi berjalan dengan agak cepat, menghampiri mobil. Disana ada kru lokal dari Kyoto Muse dan Shigeo. Aku langsung menitipkan tas efekku ke Shigeo, sambil menatap Chiaki yang masih menunggu Stefan dari jauh. Entah menunggu untuk apa dan bagaimana. Buat apa juga entah. Terus bagaimana. Stefan sepertinya walau tak terlihat, dia masih di dalam. Mungkin dia masih minum bir yang disediakan panitia. Setahuku di dalam sana ada Zee, atau mungkin juga Bagas dan Ilham. Aku mengambil nafas panjang dan berjalan dengan cepat masuk kembali ke venue. Aku bisa merasakan pandangan mata Chiaki mengikuti gerakanku. Rasanya benar-benar seperti kijang yang tak berdaya, di tengah tatapan mama singa yang butuh cepat-cepat memberi makan anak-anaknya yang kelaparan.
Tanpa jeda lagi aku melewati Sena dan Anin yang masih agak sibuk di panggung. Beberapa bass nya masih mangkrak, menunggu kru untuk mengangkutnya ke mobil.
Aku langsung menuju ke dalam backstage.
“Fan?”
“Apa?”
“Gawat, Chiaki di bawah” aku lantas memandang wajah Ilham, Zee, Stefan dan Bagas satu persatu.
Tuk. Kaleng bir yang dipegang Stefan jatuh ke lantai.
“Anjing” umpat Stefan.
“Terus gimana tuh?” tanya Ilham, yang sepertinya sudah paham situasinya. Mau tak mau semua orang di dalam awak tur kali ini tahu apapun yang Stefan perbuat dari awal hari.
“Disini ada fire exit gak sih? Yang keluarnya di sisi gedung yang beda?” tanyaku ke semua orang disini.
“Percuma, udah keluar di sisi beda, tapi pas jalan ke mobil jalan ke depan lagi” jawab Ilham.
“Ya suruh Shigeo pindahin mobil” Stefan berdiri, lantas mengusap-ngusap tangannya ke celananya.
“Just face her” komentar Zee pelan.
“Elo… Sial! Kalo cowok gue gampar” Stefan tampak uring uringan. Zee Cuma memble sambil mengangkat bahunya. Stefan langsung mengambil rokok dan membakarnya.
“Nginep sini aja besok kita jemput” Mendadak Ilham memberi ide.
“Itu ide yang paling tolol yang pernah gue denger, arab” umpat Stefan. Ilham Cuma memble sambil mengangkat bahunya. Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Gue ajak ngobrol, mojok kemana terus supaya dia ga fokus sama elo yang keluar dan jalan ke mobil ntar?” aku memberi ide.
“Mojok kemana? Ntar gue keluar dia langsung samperin gue” keluh Stefan. Aku Cuma memble sambil mengangkat bahuku. Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Lo ajak ngobrol dan tegas kan lagi” Bagas mendadak bersuara. Kami menatap dirinya dengan pandangan nanar. Iya sih, masuk akal. “Usir dia” ucap Bagas pelan, tanpa emosi, sambil tetap membaca entah apa di layar handphonenya. “Sekarang sudah jam 11.45, 15 menit lagi kita semua harus keluar dari tempat ini” kalimat panjang itu keluar lagi dari mulut Bagas.
Mendadak Anin nongol di ruangan itu. “Guys? Udah beres semua nih, pulang yuk biar bisa istirohat”
“Istirohat pala lu botak!” sahut Stefan.
“Emang botak sih” Anin mengelus-ngelus kepala licinnya. “Kenapa itu si kanvas berjalan uring-uringan Ya” tanya Anin kepadaku.
“Di bawah, deket mobil kita, ada Chiaki” jawabku.
“Ooo… yaudah lah Fan, adepin aja, takut apa sih…”
“Bukan elo kan kontol yang di stalk ama cewek Psycho”
“Somehow ini kayak adegan di J-Horror” Anin tampak menatap Stefan lekat-lekat.
“Pikirin caranya supaya gue bisa balik kontolllll” umpat Stefan.
“Bicara” Bagas berdiri dan mengantungkan Handphonenya ke sakunya. Dia lalu memakai jaket tebal dan syal, dengan gerakan pelan yang membius.
“Elo aja yang ngomong, giliran hari hari elo diem, kalo lagi gawat lo ngomong, mumpung sekarang gawat kan, elo aja sana yang ajak ngomong Chiaki, kasih sesuatu apa lah, wejangan lewat otak robot elo itu” panik Stefan. Dia belum memakai jaket nya sedangkan kami semua sudah tampak siap untuk berangkat pulang ke penginapan.
“Udah Fan, ngobrol sama Chiaki sana, gue liatin dari jauh, kalo kenapa-napa, gue samper, serius…” ucapku untuk menenangkan Stefan.
“Iya, gentle lah….” Komentar Anin.
“Lu mau gue gentle sama psycho… Lo gak liat cara dia senyumin gue pas di Osaka kemaren, monyet!!!”
“Lo khawatir apa sih? Kayaknya lebay amat” bingung Anin.
“Kalo dia bawa piso gimana? Kalo dia ngancem mau bunuh diri gimana? Kalo dia lari ke jalan terus ditabrak gimana? Lo bisa gak sih mikir dari sudut pandang si cewek gila ini!!!” teriak Stefan. Aku menatap ke Ilham. Ilham lagi-lagi mengangkat bahunya, Zee juga. Dan Zee mematikan rokoknya, tampak bersiap untuk jalan.
“Bicara” Mendadak Bagas memakaikan Jaket Stefan dibahunya. Dan memberi kupluknya, langsung ia masukkan ke genggaman tangan Stefan.
“Lu anjing ya Gas”
“Bicara lebih mudah daripada kabur”
“Elo yang ngomong kalo gitu anjing”
!!!
Bagas memegang kerah Stefan dan menggenggamnya. Kami semua diam mendadak, tegang, dan rokok yang di tangan Stefan pun jatuh. Bagas menatap kosong ke dalam mata Stefan.
“Bicara”
“Atau apa?” tanya Stefan di tengah ketakutannya.
“Tidak pakai atau”
“Oke” Stefan memegang tangan Bagas dan berusaha menyingkirkan tangannya dari kerahnya. Gila. Kami semua tampak tercekat oleh ‘ancaman’ Bagas. Stefan dengan enggan memakai jaketnya, menutup kepalanya dengan kupluknya, dan kembali mengusap-ngusap tangannya di celana jeansnya.
“Biar dia jalan lebih dulu” ucap Bagas ke kami semua. Kami menurut saja. Kami tidak mau digilir diintimidasi oleh terminator dari Jakarta ini. Kami semua lalu jalan dengan berombongan dan tololnya ke pintu keluar, dan kami berusaha meniti tangga perlahan.
Stefan tercekat pada saat dia melihat Chiaki di sudut matanya. Masih di sudut yang sama dengan tadi kulihat dia pertama kali, yakni di bawah lampu jalan, berjarak 50 m dari mobil kami. Stefan berhenti dan menatap ke arah kami yang mengekor di belakangnya.
“Stefan!” Chiaki tampak melambai dengan sumringahnya di kejauhan. Kami semua menelan ludah, mungkin Bagas tidak. “Jalan” bisik Bagas kepada kami semua. Anjir. Situasi macam apa ini? Aku belajar gitar dari sejak remaja bukan untuk menghadapi situasi super parno dan aneh seperti ini. “Ayo jalan” bisikku ke Stefan. Stefan tak bisa menyembunyikan muka khawatirnya dan merayap pelan-pelan.
Baru sampai di anak tangga terakhir, Chiaki langsung bergerak ke arah Stefan yang mendadak membatu. Kami semua, kecuali Stefan malah bergegas berjalan ke mobil, seperti kocar-kacir dengan rapihnya. Berpura-pura tidak melihat Chiaki adalah pilihan yang bagus sepertinya untuk kami.
Kami semua tidak ingin mendengar apapun yang dibicarakan oleh Stefan ke Chiaki, ataupun melihat Chiaki yang aneh-aneh. Tak berapa lama beberapa dari kami sudah masuk dalam mobil, kecuali aku, Bagas dan Zee. Anin mukanya tampak nongol dari dalam mobil.
“Kalian ngapain”
“Mau liat” jawabku ke Anin.
“Buat apa?”
“Jaga-jaga” jawabku dengan anehnya. Zee menatap ke arah Stefan dan Chiaki yang seperti sedang bicara. Bagas berdiri tegak, tanpa ekspresi, bagaikan burung elang yang siap menyambar mangsanya yang tidak berdaya. Kami semua diam dalam suasana malam yang tidak puguh ini. Shigeo tampak bingung dan menghampiriku.
“What happen”
“That’s what happen” jawabku ke Shigeo. Aku menunjuk Chiaki dan Stefan yang tampak seperti sedang bicara, di sana. Berjarak hanya 50 meter dari kami. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi aku bisa melihat muka ceria Chiaki di tengah lelahnya menunggu. Dan aku bisa melihat ekspresi khawatir Stefan, beserta gesturenya yang sangat kaku. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku jaketnya, dan dia tampak tidak berani menatap Chiaki di wajahnya.
Mereka tampak bicara dengan intens. Aku memeriksa jam tanganku. Oke, jangan sampai ini lama. Langsung aja Fan. Bilang, kita gak bisa ketemu lagi gitu. Atau pura-pura udah punya pacar di Indonesia gitu. Entah lah. Apapun lah, skill nya ngebullshit harusnya keluar sekarang untuk menghindarkannya dari masalah berkelanjutan.
Mendadak Chiaki menyentuh dada Stefan dengan tangannya.
“Wow” Zee tampak antusias melihat kejadian drama di ujung sana.
“Sshh” aku menyuruhnya diam, daripada komentar yang tidak perlu. Aku tetap memperhatikan drama yang sepertinya tengah berlangsung di depan kami. Aku menatap ke Bagas yang tampaknya sigap melihat ke arah Chiaki dan Stefan.
“Gas?” tanyaku. Bagas hanya meletakkan jarinya di ujung mulutnya, menyuruhku untuk diam. Aku menurut. Aku terus memandang ke arah Chiaki dan Stefan. Chiaki masih tetap bicara dengan muka cerianya, dan Stefan dengan muka khawatirnya. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan karenanya aku menerka-nerka apa yang keluar dari mulut mereka.
Stefan mengeluarkan tangannya dari saku jaketnya dan memegang tangan Chiaki, untuk menyingkirkan tangan Chiaki dari dadanya, dan satu tangannya lagi menunjuk ke arah mobil kami. Chiaki terlihat menggeleng, dia lalu seperti memaksa untuk tetap meletakkan tangannya di badan Stefan. Stefan tampak seperti bicara lagi. Sambil menunjuk ke arah jamnya dan ke arah mobil kami. Chiaki menggeleng dan senyumnya hilang. Dia lalu melepas tangannya dari badan Stefan, tapi lantas malah menggenggam pergelangan tangan Stefan. Stefan berusaha menghindar dan memberikan permukaan dalam tangannya ke Chiaki. Tanda bahwa dia ingin Chiaki tidak menahannya.
Chiaki terlihat menggeleng. Stefan menatap kami dengan muka hopeless dan tampaknya ia berusaha melepaskan tangan Chiaki dari dirinya.
“Arya!” teriak Stefan dari kejauhan. Aku bingung dan menunjuk diriku sendiri. “Kesini lo kontol!!” teriaknya. Aku bingung. Kenapa aku diajak kesana? Zee dan Bagas menatapku. Semua mata di mobil juga menatapku.
“Kesana” lanjut Bagas. Aku menggeleng. Tapi aku lantas melihat Stefan tampak berusaha berjalan mendekati kami, dan pergelangan tangannya digenggam begitu erat oleh Chiaki. Aku menelan ludah. Ah masa bodo. Aku berlari kecil dan menghampiri mereka berdua.
“Woi”
“Gak mau lepas anjir, udah gue bilangin padahal”
“Lo bilang apa?” aku tidak ingin mendekat lebih dekat lagi, karena air muka Chiaki tampak penuh dengan agresi, berusaha menarik tangan Stefan terus menerus. Aku menggelengkan kepala melihatnya, dan Stefan tampak tidak berani bergerak terlalu spontan, mungkin khawatir juga akan mencelakakan Chiaki.
“Gue bilang udah sampe disini anjir, gue bahkan bilang gue Cuma mau memeknya makanya ngebullshit, dia berusaha yakinin gue kalo gue ama dia bisa bareng… Ya, tolong ya” panik Stefan.
“Gue harus ngapain?”
“Lo tahan tangan dia, supaya gue bisa kabur”
“Lo tolol apa bego anjing?” umpatku. Sialan, aku dijadiin tumbal.
“Arya, please leave, this is between me and Stefan” mendadak Chiaki bersuara.
“I know but…” jawabku.
“Jangan dijawab cewek psycho ini anjing!” umpat Stefan kepadaku. Aku mengangkan kedua tanganku, dan entah bersiap untuk menangkap apa dari depan.
“Chiaki, please, he doesn’t want it… It will hurt your arm if he forced to leave” aku berusaha memberitahu Chiaki bahwa gerakannya menahan tangan Stefan akan melukai dirinya apabila Stefan nekat kabur dan melepas genggaman Chiaki.
“We will make it, just like you” shit. Chiaki malah bicara seperti itu.
“I don’t want you, please” pinta Stefan.
“Liar, you said you want me everynight” rengek Chiaki dengan muka yang ekspresinya aneh itu. Seperti menahan tangis.
“Fan, lo bilang apa ke dia?”
“Udah anjir tolongin gue, pegangin tangannya” pinta Stefan.
“Gak mau anjir, lo urus sendiri kita tunggu”
“Arya, leave please” pinta Chiaki.
“Woi setia kawan kontol” umpat Stefan.
“Setia kawan sama kasus ini, lo gila ya, lo omongin apa aja sih ni cewek ampe gila gini?” marahku.
“Ya udah anjir”
“Udah apanya bego!” marahku lagi. Gila, bullshit macem apa yang Stefan katakan ke Chiaki?
“Arya, leave”
“No you leave!” kesal Stefan.
“How could you, it was real!” marah Chiaki.
“It’s not!!” marah Stefan.
“You said it was real!!!”
“Stefan babi anjing lo ngomong apa aja ke dia?” aku menunjuk ke Chiaki.
“Udah bukan masalah lagiiiii”
“Itu masalahnya kontol!” teriakku lagi. Kok malah makin runyam gini.
“Stefan don’t lie!!! You said we have a connection… you told me…. “ mendadak air mata keluar dari mata Chiaki. Ini Stefan anjing, dia pasti tidak tegas waktu mengusir Chiaki di Osaka. Oh iya, tidak mengusirnya, tapi pura-pura mabok sama kita-kita, paham, tolol. Kampret.
“Bangsat lu, urus sendiri sana” Aku mundur teratur dan Stefan malah mencoba meraih tanganku. Dan berhasil. “Fan, lepas” bisikku.
“Arya stay out of this!” teriak Chiaki histeris.
“Fan lo bangsat ya!!” aku menarik tanganku, tapi Stefan tidak melepas tangannya dan malah ikut dalam tarikan tanganku. Dan Stefan hilang keseimbangan karena dia terpaksa menarik Chiaki juga. Stefan menabrak badanku, dan Chiaki malah jatuh, tapi tangannya masih memegang pergelangan tangan Stefan.
“Lepas tangan gue!” Stefan malah teriak dengan bahasa Indonesia ke Chiaki.
“Don’t leave me!! You said you won’t leave me!!” tangis Chiaki.
“Bangsat lo boongin ya nih anak orang”
“Ya udah anjing”
“Elo yang anjing, gue gampar juga lama-lama”
“Ini kan ceritanya mau nolongin gue, kok elo galakin gue sih?!?!?!” teriak Stefan.
“Ga mau tau, ini gara-gara elo dia jadi begini kan, gue pikir dia yang psycho taunya elo yang bullshitnya kebanyakan!!!” marahku.
“Ya tolongin gue napa?”
“Udah” mendadak Bagas ada di dekat kami. Dan dia menatap dalam mata Stefan dengan tajam. Stefan menelan ludahnya. Kami sejenak berhenti dari tarik-tarikan ini. Bagas menarik tangan Stefan dari diriku. Dan berhasil dengan mudahnya. Bagas berjongkok, dan memegang tangan Chiaki.
“It’s okay” ucap Bagas. Aku tertegun, memperhatikan dalam diam. Bagas lalu memegang pergelangan tangan Chiaki, memutarnya, dan berhasil melepas tangannya dari Stefan.
“Ah!” teriak Chiaki kaget.
"Sorry" mendadak Bagas menarik Chiaki dan membantunya berdiri. “Stefan….” Chiaki tampak berusaha menghampiri Stefan dan badannya ditahan oleh Bagas. Stefan mundur teratur dengan cepat, berlindung di balik badanku.
“Woi anjing” marahku, berusaha untuk menghindar dari Stefan, agar ia tak kabur dari masalah. Tapi Stefan tidak peduli dan menarik punggung jaketku.
“Stop!” ucap Bagas ke Chiaki. Chiaki berusaha untuk melepaskan dirinya dari Bagas, agar bisa kembali menyentuh Stefan.
“Why?”
“Just Stop” ucap Bagas dengan dingin ke perempuan yang sedang bercucuran air mata itu.
“Why? He said we are special, lovers and so on, and then he left… without saying anything, and that’s why I chase him, I want to see him again” tangis Chiaki. Sialan Stefan. Apa-apaan ini. Makin yakin aku kalau Chiaki tertipu olehomongan instan Stefan.
“He lied… He’s an asshole” balas Bagas.
“And then what?”
“Stop seeing him” Bagas menatap wajah Chiaki dengan tegas.
“Why? I want him!! He said he want me too!!!”
“This asshole will hurt you more” gila. Bagas. Bicara sebanyak ini demi urusan Chiaki?
“No! I love him, he will change if I love him” teriak Chiaki ke Bagas. Bagas masih menahan badannya agar tidak mendekat ke Stefan.
“Stop. Not worth it.” Lanjut Bagas.
“I just want to be with him”
“No you can’t” jawab Bagas.
“Why?”
“He’s a liar. Asshole. Stop hurting yourself”
“You can’t tell me what to do!!!” teriak Chiaki ke Bagas.
“I can”
"How?" tangis Chiaki. Bagas tampak dengan sigap menahan badan Chiaki, dan anehnya sentuhan tangannya di bahu Chiaki tidak tampak menyakitinya, tapi mampu menahan gerakan badan Chiaki.
"Don't waste your time for him. I know him" lanjut Bagas. "You're wasting your time, money, everything for this one? Please don't..." Bagas? Bicara seperti ini?
"But he..."
"Stop for a while. Think about it" ucap Bagas pelan. Aku hanya bisa berdiri terpaku melihat adegan di depanku. Bagas mengcomfort Chiaki? Sementara Stefan masih berdiri di belakangku, menarik jaketku. Aku jadi makin marah kepada Stefan, dengan segala bullshitnya kali ini.
Chiaki malah menatap Bagas sedalam-dalamnya, seakan ingin memaksakan isi kepalanya. Tapi pasti rasanya seperti bicara dengan tembok besar yang tidak dapat dirubuhkan. Benteng pertahanan. Entah apalah, tapi aku merasa Bagas terlihat begitu dominan.
"He said"
"Stop" Bagas memotong omongan Chiaki.
"But...." Chiaki sudah tampak lemas, menatap Stefan dari kejauhan.
"Listen to me" Bagas menatap Chiaki dengan muka datarnya. Mereka berdua terdiam, saling memandang, dan angin dingin mendadak menusuk tulangku. Chiaki tampak menggenggam jaket Bagas dengan kerasnya dan air matanya masih terlihat.
Bagas lalu membisikkan sesuatu di telinga Chiaki. Entah apa. Aku tertegun melihatnya, rasanya seperti melihat Cesar Millan memanipulasi pikiran para Anjing peliharaan yang tukang mengamuk. Cukup lama ia bicara dengan Chiaki. Aku yakin kami semua juga heran dengan momen itu. Dan Bagas lalu menarik kepalanya, tangannya lalu menghapus air mata Chiaki, yang turun dari kedua matanya.
Lalu dia menepuk kepala Chiaki, masih dengan muka datarnya. Ada sekitar beberapa menit Chiaki menatap mata Bagas. Lalu dia melirik sejenak ke Stefan. Dan lalu kemudian ia berjalan dengan pelan, lunglai, menjauh dari kami.
WTF.
Bagas tampak merapihkan jaketnya dengan cuek, lalu berjalan dengan pelan kembali ke arah mobil.
"Lo ngomong apa sama dia?" tanyaku bingung. Bagas cuma mengangkat tangannya, menjawab tanpa suara.
“Thanks man….” Ucap Stefan masih dengan nada takut, ke Bagas yang melewatinya. Mendadak Bagas berbalik dan menatap Stefan dengan tajam. “Thanks Gas…” Stefan berusaha untuk senyum, karena walaupun masih shock, dia tampaknya sudah lega.
“Gas?” tanya Stefan lagi karena dia bingung melihat Bagas yang diam membisu di depan dirinya. Aku sendiri bingung. Masih linglung, dan bertanya-tanya, apa yang dibisikkan oleh Bagas ke Chiaki?
Mendadak Bagas maju dan menarik kerah Stefan.
“Apa lu bilang tadi?” tanya Bagas.
“Thanks?” ucap Stefan dengan nada bergetar, dan menatap Bagas dalam bingung yang luar biasa.
“PLAKKK!!!” Bagas menghantam kepala Stefan dengan tamparannya yang terdengar nyaring. Tepat di pipinya. Tangan Bagas terbuka lebar, menghajar pipi Stefan dengan keras. Stefan berteriak tanpa suara, saking sakit dan kerasnya tamparan tersebut. Masih dalam kekagetan kami semua, Bagas menarik kerah Stefan lebih dalam dan melempar tubuh Stefan ke trotoar dengan mudahnya.
Stefan pun jatuh, terjerembab di tengah rasa bingungnya. Aku kaget, masih bingung dengan kejadian tadi, menatap Stefan yang jatuh terjengkang sehabis di tampar Bagas dan dilempar ke trotoar.
Bagas menatap Stefan yang terjatuh, dan membuang mukanya lalu berjalan dengan pelan ke arah mobil, sambil memasukkan tangannya ke kantong celananya.
“Sampah” ucapnya ditengah kekagetan kami semua.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG