Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Hu, kalo mdt2, sama cerita baru, ane masih bisa menanti agak lamaan sih, tapi please hu, side story anggia tolong direpost juga ya hu. Kalo bisa sekalian sama side story nya nica dan karen juga.
 
Intinya sih season 1 diberesin dulu copasnya, lima part setiap hari selain pas di hati apdetnya penanti. Baru abis penanti beres juga, serial baru dan mdt 2 kapan kapan kalau saya mood.

Ah tega suhu nih, mosok update season 2 nunggu mood.
 
MDT SEASON 1 - PART 76

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda

Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -
Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

on_the10.jpg

Capek? Iya.

Pusing? Iya juga.

Aku ada di dalam minibus, dimana kami semua ada di dalamnya. Kairi di depan, di samping Shigeo yang di plot jadi supir dadakan minibus sewaan itu. Dia tampak tertidur dengan anggunnya di bangku depan. Stefan ada di baris kedua, bersamaku seperti biasa. Dibelakangku Anin dan Sena. Bangku paling belakang, ada Bagas, Ilham dan Zee. Barang-barang ada di bagasi.

Aku sedang mengobrol dengan Kyoko di media sosial panjang lebar. Sejauh ini Kyoko masih belum menemukan calon pengganti dirinya untuk membantu kakaknya di cafe. Dia yang katanya dulu tidak begitu banyak kenal dengan junior-juniornya di sekolah kejuruan, sekarang terpaksa mencari kontaknya satu persatu. Untunglah jaman sekarang lebih mudah karena database manusia modern semua ada di dunia virtual bernama internet.

Kita urai dulu satu satu, masalah yang kami temui di perjalanan ini. Masalahku dan Kyoko tidak ada, cuma Kyoko mencoba mencari penggantinya di cafe. Anin. Anin masih garing-garing aja sama Zee. Masalahnya cuma si Stefan yang keliarannya kini berbalik jadi bumerang, dan Kairi yang tampaknya terganggu oleh kejadian dia hilang di Dotonbori dan waktu ia sembunyi dari Chiaki.

Dan aku sampai tidak tega, membayangkan kalau Kairi bertemu Chiaki. Akankah dia akan menyemprot Chiaki juga seperti dia menyemprot Stefan?

Mungkin.

"Jangan terlalu dipikirkan, Aya... Kyoko pasti akan dapat penggantinya bahkan sebelum Aya pulang ke Indonesia ^_^" tulis Kyoko di sosial media.
"Iya, cuma masa gak dipikirin sih..."
"Tenang, Nii-san hanya kaget karena Kyoko akan pindah selamanya"

"Emang Kyoko gak mau balik ke Jepang lagi?" tanyaku. Ya, setidaknya untuk pensiun lah.
"Tidak :3"
"Serius?"
"Tidak, dan Kyoko kan juga harus tidak pergi kemana-mana selama 5 tahun, Aya. Karena untuk jadi orang Indonesia harus begitu..."

Iya. Kyoko membulatkan tekadnya jadi WNI. Dia akan jadi orang Indonesia, setidaknya lima tahun lagi, sesuai dengan peraturan pemerintah. Dimana orang asing yang ingin jadi WNI, tidak boleh bepergian ke luar Indonesia selama lima tahun dihitung dari waktu menetapnya. Boleh saja sebenarnya kemana mana, tapi masa tunggu untuk jadi WNI nya jadi 10 tahun. Lama bukan? Iya lama.

Makanya Kyoko bersikeras tidak ingin kemana mana dulu selama lima tahun sehabis kami menikah, katanya. Padahal aku ingin bulan madu ke Jepang, atau ke Thailand. Tapi kata Kyoko di Indonesia saja. Yasudah lah, yang penting dia happy.

Pagi ini kami mengukur jalan dari Osaka ke Kyoto. Jaraknya hanya sejam, tapi di menit pertama mobil jalan, sebagian besar dari penumpang mobil sewaan ini langsung tidur. Semalam, sebelum tidur, kami merancang trip di Kyoto. Karena Kyoto memang tradisional sekali, dan disana banyak sekali kuil, istana, benteng dan macam-macam lainnya yang memang peninggalan Zaman Edo. Kyoto dulunya adalah ibukota Jepang sebelum pindah ke Tokyo.

Tak heran disana banyak peninggalan sejarah dan kebudayaan khas Jepang. Stefan katanya mau lihat Geisha di Gion. Tapi katanya munculnya suka gak jelas dan cuma bisa dilihat kalau beruntung saja. Entahlah. Yang pasti orang itu sedang capek fisik dan mental.

Kita nikmati saja sisa tur ini.

--------------------------------------------

screen11.png

Kinugasanishi Goshonouchicho. Itu nama daerah tempat kami menginap. Lagi-lagi modelnya apartemen, tapi karena unitnya lebih kecil, kami dipisah-pisah dalam beberapa kamar.

Kamar pertama diisi oleh para perempuan, Zee dan Kairi. Kamar kedua oleh Sena, Shigeo dan Bagas. Kamar ketiga Anin dan Ilham. Kamar keempat? Tentu saja aku dan Stefan. Stefan yang kesetanannya sudah dikebiri total oleh Kairi. Dia jadi lebih banyak diam. Lebih banyak melamun dan merenung.

Aku sedang membereskan bajuku, setelah sebelumnya menata gitar-gitarku agar tersimpan rapih di kamar.

"Ikut ntar Fan?" tanyaku ke Stefan yang sedang tiduran sambil merokok. Iya, disini boleh merokok di dalam ruangan.
"Gak"
"Cuma ke temple-temple sekitar sini doang, paling kita ke Kinkaku-Ji dulu, kalo gak capek muter dikit" lanjutku.

"Gue mau tidur, lagian, gue udah terlalu lelah sama semua ini"
"Makanya settle"
"Jangan dijadiin kesempatan buat nasehatin gue dong" balasnya dengan muka sebal.

Aku lantas melempar badanku ke kasur, setelah mempersiapkan baju tidur dan baju untuk jalan-jalan besok. Besok kami mau ke Fushimi Inari. Aku meregangkan tubuhku dan mengambil handphoneku, untuk kembali mengobrol dengan orang-orang di sosial media, misalnya Kyoko, Ai dan Arwen. Entah kenapa nama yang terakhir, aku jadi sering ngobrol dengan dia. Lumayan lah, pengganti temen cewek yang akrab. Aku selalu merasa butuh teman perempuan sedari dulu, karena memang menarik melihat dunia dari sudut pandang perempuan. Lagipula dari dulu pacar-pacarku tidak pernah ada yang bermasalah dengan itu semua dan memang tidak pernah terjadi apa-apa juga. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari akrab dengan teman perempuan.

Tapi jika ditarik kebelakang, ada kasus memang dengan teman perempuan yang satu itu. Kanaya. Ah, problematik. Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya, mudah-mudahan dia baik-baik saja.

"BTW Fan, gue malah baru tau problem keluarga lo sekarang, setelah kita lama kenal" aku mulai mengajak bicara, dengan maksud mencairkan suasana hati Stefan yang pasti sedang amburadul.
"Iya, itulah, gue malah udah lupa sama problem itu, soalnya lama banget, pas gue SMP gitu... Jadi udah masuk ke alam bawah sadar" jawabnya sambil tiduran, dengan rokok menggantung di tangannya.

"Paham, tapi karena lo udah dewasa sekarang jadi lo ga perlu takut lagi kali"
"Gue gak takut ama komitmen kayaknya. It's just not my style" senyumnya dengan sinis.
"Jadi?"
"Kan dulu pernah dibongkar ama adek lu tuh, yang gue bilang gue kesel sama kakak dan adek gue, juga gaya nya bonyok gue, sebenernya gak sesederhana itu. Gue kesel, karena gue nganggap kodratnya laki-laki itu harusnya gak berhenti di satu memek" lanjutnya.

"Terus gimana dong kalo gak berkeluarga" balasku.
"Tauk" jawabnya pelan sambil membuang abu di asbak.

"Ah, emang... Menurut gue sih penting ya, berkeluarga, punya anak, dengan aransemen yang tradisional dan baik, itu ngebentuk masyarakat juga, dan ngebentuk manusia, gak cuma anaknya, tapi ortunya buat jadi lebih baik" jelasku panjang lebar.
"Lo ikut kelas parenting dimana, kontol" tawanya.

"Ya seenggaknya gue baca-baca dikit artikel tentang pernikahan lah sebelom kawin, di kopasin ama sepupu gue si Dian-dian itu"

"Oh yang lakinya berantem itu ya"
"Iya hahaha" tawaku.
"Udah deh, Ya, Ce'st la vie aja... Santai aja lah urusan gue mah"

"Ga bisa santai kalo lo dikejar Chiaki dan lo mabok ga puguh waktu itu" balasku.
"Iya juga sih"
"Lo mah stress tapi pura-pura santai" tawaku lagi.
"Yah..."

"Udah ikut aja abis makan siang ke Kinkaku-ji, refreshing"
"Gak, mau tidur, tar gue beli makanan di minimarket aja... Wong Shigeo aja gak ikut kan?" balas Stefan.
"Iya... Untung Shigeo ama Kairi ga ikut. Jadi ada yang ngawasin elo" jawabku.
“Udah, gue tidur aja, biar fit, tenang, gue besok ikut kalian jalan-jalan kok…” lanjutnya sambil berguling di kasurnya.

“Oke, sampe ntar malem”

--------------------------------------------

kinkak11.jpg

“Jadi kuil emas ini dulunya pernah kebakar?” tanyaku ke Ilham.
“Yoi, taun 50an gitu…”
“Karena?”

“Jadi ada biksu muda yang gangguan jiwa gitu, gara-gara ulah dia lah, terus direnov baru beres taun 80an…” lanjut Ilham.

Aku dan Ilham memandang ke arah Kinkaku-ji, kuil yang terbuat dari emas. Tidak, bukan terbuat dari emas, tapi dia dilapis oleh lembaran emas. Kuil ini bercahaya, dan merupakan salah satu tempat yang paling sering dikunjungi di Kyoto. Gila, tidak tega aku membayangkan bangunan seindah ini terbakar. Aku membayangkan dengan miris, bagaimana sebuah sesuatu yang begitu indah bisa runtuh dengan ngeri nya.

Dan mudah-mudahan café milik Kyou-Kun tidak seperti itu. Aku berharap Kyoko bisa cepat mencari pegawai baru untuk menggantikan dirinya, dan mudah-mudahan Kyou-Kun semakin legowo soal kepergian Kyoko. Anin, Zee, dan Sena sedang merokok di smoking area. Bagas? Tenang saja, dia tidak ikut sekarang, jadi jumlah manusia yang menjaga Stefan agar tidak macam-macam ada tiga orang di penginapan.

“Abis ini mau kemana lagi?” tanya Ilham dengan muka lelah.
“Kayaknya hari ini udah deh disini aja, besok kita ke Fushimi Inari sama jelajah banyak kuil, dan kita udah lobby ke Kairi kalo besok gak usah pake latihan lagi” senyumku dengan sama lelahnya juga.

“Bagus lah, jadi kalian gak terlalu tegang-tegang amat…”
“Iya, biar banyak istirahatnya juga, stamina kacau nih, si Stefan gila tapi, dia masih belom sakit padahal udah mabok sampe ketiduran di taman gitu” senyumku ke Ilham.

“Haha, yaudah, udah puas kan liat-liatnya?” tanya Ilham kepadaku.
“Udah puas”
“Samperin anak-anak yuk” ajaknya.
“Ayo”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

Malam ini aku berbaring dengan tenangnya sambil chatting segala rupa dengan Kyoko. Adikku pasti sudah tidur, di Jepang sekarang sudah jam 1 malam, pasti di Indonesia sudah jam 11 malam. Kyoko bicara panjang lebar soal ada seorang juniornya yang mau untuk menggantikannya, tapi mencocokkan jadwal dengan Kyou-Kun untuk interview tampaknya sulit. Kyou-Kun tampak mau untuk mengadakan interview, tapi ia tunda dengan alasan yang tidak jelas. Padahal dari sekian banyak yang dihubungi, yang satu ini mau, dan baru saja menghubungi balik sore tadi.

Ya aku tahu, memang tampaknya berat untuk ditinggalkan oleh adik sendiri, yang sedari usia muda sudah membangun café dan meneruskan usahanya bersama-sama. Tapi ternyata sang adik kini kesengsem oleh seorang lelaki dan memilih untuk meninggalkan Jepang, untuk tinggal bersama dengan sang lelaki itu di Jakarta.

Aku menghela nafas, sambil berharap Kyou-Kun akhirnya bisa rela melepaskan Kyoko. Aku menguap dan melirik ke samping. Melihat Stefan tertidur dengan jinaknya. Haha, orang seperti ini bisa dijinakkan oleh Kairi. Hebat, kapan-kapan dia perlu tampaknya mengatur hidup Stefan sehari-hari agar rasanya jadi benar.

Ah, susah ya akhir-akhir ini.

Pertama pernikahan, ada efek samping yang ditimbulkan olehnya, yaitu masalah café. Bukan masalah yang terlalu berat, dan dihandle dengan sangat seksama oleh Kyoko, tapi tak enak saja rasanya, kebahagiaan kami berdua melangkahi kepentingan kakak iparku sendiri, ralat, calon kakak iparku.

Kedua, soal Stefan.

Kondisi dalam dirinya sepertinya campur aduk antara kegalauan soal pernikahanku, lalu memorinya yang tidak enak soal orang tuanya, gangguan Chiaki, dan kekang yang diberikan oleh Kairi. Saking banyaknya hal yang campur-campur di dalam kepalanya, mungkin aku jadi bingung bagaimana mengurainya. Lagipula dia juga tampaknya masa bodo dengan semua itu dan membiarkan dirinya diterpa masalah demi masalah yang kadang-kadang ia sebabkan sendiri. Dan sepertinya dia butuh segera pulang, karena Tur selama ini, menjadi biang masalah buat Stefan yang dalam kepalanya sendiri sudah bermasalah. Masalah yang dipermasalahkan lalu menjadi pemicu masalah, yang kemudian menghasilkan masalah-masalah baru yang bercampur dengan masalah lama.

Pusing.

Sudah, dua itu saja, Anin dan Zee? Gimana? Tidak, mereka berdua bukan masalah. Zee sudah cool denganku, dan dia tampak menyadari kalau yang dulu itu kesalahan dia semua dan tampaknya dia sudah berusaha memperbaikinya dan terlihat hasilnya. Dan biarlah Anin seperti itu. Dari tadi di jalan dia tampak berusaha dengan antusias mengobrol dengan Zee, dengan tololnya seperti biasa. Dan ditanggapi dengan agak garing oleh Zee. Yasudah lah, memang begitu adanya. Mau gimana lagi.

Tapi, on a good side, kedua hal ini bukan masalah utamaku. Masalah utamaku apa? Ya aku tidak bisa menyembunyikan perasaan excitedku untuk menikah nanti sepulangnya kami dari sini. Sepulangnya kami dari tur yang belum apa-apa, di minggu pertama ini sudah menghadirkan banyak yang mengejutkan.

Lagipula besok, adalah hari yang santai, hari dimana kami akan berjalan-jalan mengelilingi Kyoto. Aku tentunya tidak sabar untuk memasukkan kartu namaku ke salah satu kuil kecil di komplek Fushimi Inari, sesuai kebiasaan orang-orang Jepang yang berkunjung kesana.

--------------------------------------------
-------------------------------------------
--------------------------------------------

fushim13.jpg

“Dingin” bisik Stefan.
“Musim dingin namanya juga” jawab Anin dengan ketusnya, tapi dalam pose senyum. Dan selesailah akhirnya Ilham mengambil gambar kami, di depan gerbang utama Fushimi Inari Taisha, kuil kemakmuran di Kyoto, salah satu objek wisata utama di Kyoto. Dari tadi banyak turis, baik turis bule, asia, maupun turis Indonesia juga.

Aku tak lupa mengambil banyak foto-foto yang kemudian aku upload di Instagram, sembari kami berjalan dari gerbang utama dan masuk. Disini banyak sekali arca dan patung rubah, yang diyakini oleh orang Jepang sebagai pembawa kabar baik dari Inari, dewa kesuburan, agrikultur dan industri. Oleh karena itu banyak orang yang mendoakan bisnis mereka agar lancar dan baik di kuil ini.

Kami terus berjalan ke kuil utama dan lagi-lagi kami mengambil banyak foto disana, sembari menunggu Zee, yang tampaknya sedang ingin berdoa di kuil utama.

Aku celingukan sambil menghitung rombongan kami. Ada Aku, Stefan, Bagas, Anin, Ilham, Zee serta Sena. Shigeo dan Kairi tidak ikut. Tampaknya mereka lebih memilih untuk mengurus pekerjaan mereka dibanding dengan wisata budaya di Kyoto. Apalagi Kairi yang tampaknya gaya dan cara hidupnya sudah tidak Jepang sama sekali.

Karena menunggu Zee lumayan lama, maka aku memeriksa instagramku, komentar-komentar iri ada disana, mulai dari teman-teman musisi Jazz, kenalan lain semacam Arwen dan lainnya, Kyoko, para anggota keluarga, sepupu dan lainnya juga ramai komentar disana. Aku hanya tersenyum saja, melihat rasa iri mereka yang ingin ada disana menyusulku. Jawabannya sebenarnya gampang, luangkan waktu dan luangkan uang. Haha.

--------------------------------------------

fushim12.jpg

“Tolol” komentar Stefan ke Anin saat kami sedang mendaki gunung Inari yang dihiasi oleh ribuan gerbang Toori.
“Kenapa tolol?”
“Ngapain buang CD kita ke dalem kuil?” tanya Stefan.

“Itu biar band kita berkah tau” jawab Anin kesal.
“Tapi dibuang ke dalem kuil? Mendingan dijual, jadi tuh 50-60 rebu” Stefan menggelengkan kepalanya.
“Itu kan tadi Arya buang kartu nama dia biar berkah, kan tradisi itu…” Anin berusaha membela diri.

“Itu Cuma Kartu Nama oon, dan itu kuil kecil isinya cuman Kartu nama doang” balas Stefan lagi.
“Kurang nonjok kalo kartu nama, CD juga dong biar makin berkah”
“Lo pikir dewa di gunung ini mau dengerin kita?” kesal Stefan.
“Sinis amat sih sama Jejepangan” sungut Anin.

“Gue sinisnya sama elo” balas Stefan, sambil kami berjalan didalam naungan ribuan gerbang merah, bersama para turis-turis lainnya. Gerbang merah ini benar-benar luar biasa, dan kami tahu ternyata, kenapa orang bisa tampak berfoto private di tempat ini, yaitu dengan cara menghentikan antrian semena-mena dan lalu berfoto. Aku hanya geleng-geleng kepala saja melihatnya, dan bisa kulihat senyum meledek Zee terkembang tiap ada kejadian antrian mendaki gunung Inari macet.

“Ah elah, ada yang brenti lagi buat foto yak!” marah Stefan.
“Biarin aja napa sih, namanya juga turis” balas Anin.
“Gak bikin macet juga tapi, Woi maju, Kontol!!” teriak Stefan ke pasangan orang kulit putih yang menghentikan antrian mendaki gunung di bawah ribuan gerbang toori, agar ketika mereka berfoto, tampaknya hanya mereka berdua saja yang ada di Fushimi Inari.

“Mas. Ngomongnya jaga dong” mendadak seorang ibu-ibu berjilbab nongol dan menyusul Stefan yang masih bersungut-sungut.
“Eh ibu-ibu nyempil aja lagi”
“Situ jangan marah-marah aja dong, kan jadi lelet juga” marah balik si ibu.
“Ah elah biasa ngantri di tanah abang aja, sok-sok ngantri di sini…” ledek Stefan ke ibu itu, yang mendadak menghentikan jalannya.

“Apaan sih, ngerusak wisata orang aja”
“Itu yang ngerusak bule di depan tuh yang tadi nyetop”
“Sok tertib” balas si ibu.

“Udah yuk istirahat ngerokok dulu….” Aku menarik tangan Stefan dan membawanya melipir ke sebuah tempat pemberhentian, dimana banyak orang yang menyusuri ribuan gerbang toori itu istirahat, dan bahkan ada tempat mojok untuk merokok. Stefan, dasar, dimana saja selalu cari ribut sama orang.

Rombongan kami lalu terpaksa diam sebentar, dimana momen itu dimanfaatkan oleh Anin, Sena dan Stefan untuk merokok. Bagas duduk di bangku, dan Ilham tampak sibuk memotret semua pergerakan kami. Aku pun duduk di dekat Bagas, melemaskan kaki yang sudah mulai pegal karena banyak berjalan, dan suara perdebatan Anin dan Stefan mendadak sayup-sayup terdengar.

“Like a child” bisik Zee dengan muka sinis sambil tersenyum. Dia duduk di sebelahku, sambil mengganti batre kameranya.
“Gak ngerokok?” tanyaku.
“Nope… mereka terlalu noisy” senyumnya tipis dengan muka agak datar.
"Yah, gitu, demen berantem terus mereka dari dulu" tawaku.

"One of them is troublemaker, dan satu lagi orang terlalu baik" senyumnya.
"Iya"

Aku menoleh ke belakang, melihat gelombang manusia bergerak dengan rapih dan tidak rapihnya untuk melewati semua gerbang Toori di tempat ini.
"BTW, too bad saya tak bisa datang ke your wedding" ujar Zee dengan muka cuek, sambil menatap ke hamparan pohon yang ada di sekitar kami.
"Gapapa kok"
"It's amazed me, you know. Orang beda culture tapi ingin menikah" lanjut Zee.

"It's not a big deal"
"It's a big deal" senyumnya tipis.
"Tapi kan..."
"But selama kamu bisa mengatasinya, your marriage will become long lasting"

Menarik. Aku tak percaya sebenarnya, perempuan cuek seperti ini sepertinya percaya kepada marriage. Ya, culture kami berbeda, aku dan Kyoko, pemikiran random sebenarnya. Tapi di satu sisi kami bisa pasti saling mengalah. Dan memang kami selalu ingin bersama.

Dan aku jadi semakin tak sabar untuk pernikahanku nanti.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
MDT SEASON 1 - PART 77

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -

Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -

Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

captio11.jpg

“Chiaki apa ada disana Aya?” tanya Kyoko, malam itu, disaat kami sedang menunggu giliran untuk tampil. Musik rock bergema di seluruh ruangan Live House takutaku di Kyoto. Tempat yang sempit tapi atmosfirnya asik ini penuh dengan manusia yang mencari hiburan di selasa malam ini.

Di panggung, sedang tampil sebuah band punk lokal, yang dari tampangnya, kelihatannya mereka masih jauh lebih muda daripada kami. Aku menunggu di meja bar dengan sabarnya. Backstagenya terlalu sempit, hanya muat untuk orang lalu-lalang saja. Kairi duduk dengan kami, berjejer di bar. Rokok menghiasi bibirnya dan dia melipat tangannya dengan nyamannya. Tampangnya tegas, dengan dandanan malam itu yang sedikit nge-blend dengan crowd. T-shirt hitam polos, jeans, sepatu boots. Pantas Stefan kesengsem sama orang ini, dia terlihat segar dan muda di umurnya.

Sementara Stefan meringkuk di kursi sampingku, menunduk, tidak berani melihat ke arah crowd, takut menemukan Chiaki.

Chiaki yang manis dan tampak innocent, kini menjadi momok yang luar biasa menakutkan untuk Stefan. Sampai-sampai Stefan merasa butuh mabuk sendirian dengan tidak benarnya, sampai-sampai beberapa kali sembunyi di backstage. Untung tidak sampai sembunyi di kamar mandi.

Sementara Live House takutaku makin detik makin sesak kelihatannya, dan bouncer di depan sudah mulai kewalahan mengatur alur pengunjung yang masuk. Aku melihat ke sekeliling, mencoba mencari muka Chiaki di tengah keramaian yang padat. Tapi aku tidak dapat menemukannya. Aku malah menemukan beberapa orang bermuka melayu yang tampaknya ingin melepas rindu dengan musik Indonesia. Musik keras Indonesia.

“Fan?” aku menegur Stefan setelah menjawab pesan dari Kyoko lewat handphoneku.
“Paan? Ada?” tanyanya masih dengan pose kucing menghindar dari tuannya yang akan membawanya ke dokter hewan.

“Kagak”
“Jangan ngagetin, makanya, monyet” umpatnya ke gitaris band nya, aku.
“Bukan, Cuma mau bilang, Ai nanya kenapa elo jarang banget balas mesejnya udah berhari-hari”
“Gue males buka wassap ama line” jawabnya.

“Kok gitu?”
“Gue males kalo liat mesej dari Chiaki” lanjutnya.
“Hah… Emang gak lo blok?” tanyaku.
“Kagak”
“Kenapa?”
“Gue takut kalo gue blok dia malah makin menjadi-jadi” jawab Stefan dengan muka khawatir.

“Jadi? Lo diemin aja mesejnya gitu berjam-jam?” tanyaku lagi dengan muka super heran.
“Engga, dia udah lama gak mesej, terakhir ya yang abis kita di tower records itu” Stefan menelan ludahnya dan kepalanya mendadak tegak, menyelidik ke sudut ruang, beberapa kali dia memperhatikan beberapa perempuan dan kaget, mungkin dia pikir itu Chiaki, tapi ternyata bukan.

“Wah sakit tu cewek” komentarku, berusaha bersimpati.
“Sakit abis, udah TBC campur Kolera campur Demam Berdarah dan Kanker Stadium Empat lah, gak ada obat” keluh Stefan sambil kembali menunduk dan memperhatikan handphonenya.
“Dan gue pikir lo banyak liat hape itu curhat sama Ai” tawaku.
“Gue malah belom cerita ama dia”
“Gue udah cerita”
“Kampret” umpatnya.

“Ya gimana, dia adek gue dan dia deket ama elo” aku mengangkat bahu sambil mengambil gelas berisi lemon tea di meja bar, sambil melirik ke arah panggung. Energi yang ada di panggung lumayan memberikan semangat buatku, menyambut jam main kami yang makin lama rasanya semakin dekat itu. Anin dan Bagas duduk di sudut yang sama dengan kami, sambil sibuk dengan pikiran masing-masing sepertinya. Ilham dan Zee sudah berdesak-desakan di crowd, berusaha untuk mencari posisi yang optimal untuk menjadikan bayangan kami abadi secara digital lewat kamera.

“Ember lo” kesalnya.
“Ya kan biar dia merhatiin elo, ahaha”
“Berisik ah, gue sibuk nih” dia melihat terus ke layar handphonenya dan memperhatikannya lagi dengan seksama.

“Ngapain sih?” tanyaku.
“Ngeliatin cewe-cewe di instagram” jawabnya.
“Ngapain?”
“Obat Stress tau, di satu sisi gue takut ama Chiaki, dan di satu sisi gue juga sange abis, udah lama gak ngews” jelasnya panjang, tidak lebar dan jelas.

“Udah dibilangin coli aja” bisikku.
“Kagak kelas gue coli, pinginnya sih sama si itu tuh” Stefan melirik ke arah Kairi yang sedang mematikan rokoknya di asbak.
“******”
“Biarin, emang lo kagak pengen ngentot cewek secakep itu?” tanya Stefan.
“Yang lo sebut cewek itu partner kerja kita bego, bahkan dia bisa dibilang bos kita karena ngasih kita job tur disini” jawabku.

“Umur segitu masih kenceng gawat gak ya, lo jangan-jangan selain incest homo juga kali ya, ga mau sama doi” ledek Stefan.
“Bukan, gue Cuma bisa nahan diri karena gue tau ada orang yang sayang ama gue dan gak mau kehilangan gue” jawabku.

"Kedengerannya homo banget" tawa Stefan, sambil tetap ada ekspresi khawatir soal keselamatannya malam ini.
"Eh elo suka bandel ke pegawai kantor lo sendiri gak sih?" tanyaku mendadak.
"Gue? Enggak"
"Padahal kan cakep-cakep pasti anak media"
"Emang, tapi kan rekan kerja? Nyalahin aturan gue dong. Sama aja kayak Kairi tapi, cuma jadi pemicu sange doang" jawabnya asal di tengah kewaspadaan dirinya.

"Ah sekalian aja lo libas aturan lo, wong lo udah ngelanggar aturan lo sendiri disini" aku merujuk ke kasus Chiaki.
"Ah... Itu sih bangsat"
"Elo yang bangsat" ledekku balik.
"Iya" dia tampak pasrah, menatapku dengan sudut matanya yang tajam.

--------------------------------------------

tommy010.jpg

Malam ini pun kami berhasil lagi. Suasana Live House takutaku berhasil kami bakar dengan meriahnya. Energi tertumpah lagi di Kyoto. Untung malam ini aman. Aman dari Chiaki. Entah kenapa. Mungkin karena suasana yang begitu sumpek, membuat dia jadi susah masuk? Atau dia bahkan tidak ke Kyoto? Atau mungkin sudah berhenti mencari-cari Stefan?

Kami semua ada di Izakaya, ditraktir oleh Kairi. Bir dan sake terus mengalir, dan Stefan yang tidak boleh minum tanpa pengawasan, menggunakan kesempatan itu untuk minum sebanyak-banyaknya yang dia mampu. Sesaat aku melirik ke arah Zee, khawatir akan sesuatu, tapi dia tampaknya tenang, hanya minum bir saja, tidak menyentuh sake sedikitpun.

Tinggal sekali lagi main di Kyoto dan lalu kembali ke Tokyo. Ingin rasanya aku bertemu Kyoko lagi dan mendengar kabar bahwa dia sudah menemukan penggantinya untuk mengurus cafe, sekaligus menemani Kyou-Kun.

Aku menyeruput teh hijau hangatku dan melahap yakitori dihadapanku, sambil melihat ke arah Anin dan Stefan. Walaupun mood Anin membaik karena ada Zee, tapi tetap, air mukanya terlihat lelah. Stefan? Walau tadi di panggung ia kembali tampil sebagai monster yang siap meluluh lantakkan Kyoto, tapi tetap saja muka letih dan parno nya masih terlihat.

Jangan tanya Bagas. Dalam kondisi apapun mukanya tetap seperti itu.

Dan baru setengah tur, kami merasa badan kami sudah hancur. Besok bagaimana dengan rencana kami keliling Kyoto? Kemarin rasanya masih kurang, Fushimi Inari dan beberapa kuil. Besok main attractionnya adalah Gion, distrik kota tua di Kyoto yang semua bangunan dan budaya asli Jepangnya di preserve. Nah, ke Gion inilah aku sebenarnya ingin membawa Kyoko untuk berbulan madu. Tapi karena dia ingin langsung menetap di Indonesia untuk menjalani proses naturalisasi, jadi terpaksa kami alihkan rencana bulan madu ke entah mana, Lombok, Jogja, ataupun Bali.

"Guys" Kairi memotong keheningan. "Tomorrow I'll be back to Tokyo... Please be safe, especially you" dia menunjuk Stefan dengan matanya. "So far this mini tour is doing good.... Keep up the good work... " senyumnya, walau terasa ada terbersit sedikit kekesalan dirinya atas ulah Stefan kepada Kairi dan kejadian Stefan waktu di Osaka.

"So, cheers to all of us" Kairi mengangkat gelas sakenya, dan kami balas dengan mengangkat gelas kami juga dengan lemahnya.

Gila, masih setengahnya. Oke, kita lihat lagi kedepannya bakal ada apa.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

Perdebatan yang sama terjadi lagi, setelah makan siang. Dari tadi pagi kami mengelilingi Kyoto dan melihat sisa-sisa kuil dan istana yang belum kami jelajahi.

"Gue mau ke Toei Studio Park"
"Gue enggak"

Ya, biasa, Anin vs Stefan.

"Gue mau liat set nya film-film Toei dan musium nya" Ini Anin, dia pasti ingin pergi ke tempat-tempat seperti itu.
"Gue baru mau kesana kalau ada memek gratis" balas Stefan dengan sinis.

"Udah bagi-bagi aja" Ilham memberi ide.

"Jangan bagi-bagi lagi, tar ilang lagi" Anin tetap bersikeras.
"Lo pikir gue supersemar, ngilang"

"Sekarang gampang kali Nin, siang..." aku berkomentar.
"Gue ga mau dia ilang lagi kayak waktu di Osaka"
"Bentar" potongku.

"Kenapa?" Anin balik memotongku.
"Lo pikir emang kita semua mau ke Toei Studio Park?"
"Hah?"

"Iya Nin, gue juga ga mau ke Toei Studio Park kok..." aku kembali bersuara.
"Kok diem aja daritadi?" tanya Anin.
"Soalnya gue pengen kalian berdua beres dulu ributnya" aku tersenyum ke arah Anin dan Stefan.

"Nah kan, gue ga bakal ngilang karena gue bisa aja berdua ama Arya" senyumnya bahagia.
"Jadi yang ke Toei Studio Park cuma gue, Ilham, Sena, ama Zee nih?" tanya Anin mengkonfirmasi. Bagas seperti biasa, dia tidak ingin ikut karena menurutnya istirahat lebih berharga untuk live besok.

"Saya tak mau" jawab Zee mendadak.
"Lah?" Anin kaget, karena dia pikir Zee mau ikut ke Toei Studio Park.
"I want to take some photograph of Gion" jawabnya dengan alis yang dinaikkan.

Anin melongo begitu saja, dimana aku dan Stefan saling melirik dan menyembunyikan senyum geli kami. Anin pasti sudah ngarep bisa lanjut jalan dengan Zee, walaupun rame-rame sehabis makan siang. Ternyata tidak.

Yasudah, dibagi dua berarti, aku, Stefan dan Zee ke Gion. Dan satu lagi, Anin, Ilham dan Sena ke Toei Studio Park.

--------------------------------------------

3902_110.jpg

Kami bertiga berjalan di tengah keramaian Gion, melihat Yasaka Shrine, kuil terbesar disana. Zee sedang mengambil foto-foto untuk keperluan kesenangannya sendiri, sedangkan aku dan Stefan berdiri, memperhatikan suasana Jepang jaman dahulu.

"Mana Geishanya nih"
"Kalo gue googling semalem sih katanya baru muncul malem, itu juga jarang" jawabku.
"Lah kok gak kasih tau gue?" tanya Stefan.
"Lo gak nanya" tawaku.

"Yah terus buat apa kita kesini"
"Emang liat geisha juga mau apa, kayak yang bisa ngajak ngobrol aja, terus kayak yang bisa diapa-apain aja, mereka kan entertainer buat high class gitu dan cuma buat hiburan doang kayak nyanyi-nyanyi yang udah pasti kita ga ngerti" jawabku panjang.
"Widih, mulai jadi Anin dia" ledek Stefan.

"Ini hasil googling semalem doang sayang"
"Sayang lo kan ada di Tokyo" sungut Stefan. "BTW si Zee tumben gak bandel lagi ke elo, kalem dia selama ini" dia memperhatikan perempuan itu, yang sekarang sedang berdoa di kuil.
"Dia emang biasa aja orangnya kali"
"Ah paling dia ikut bareng kita biar bisa deket ama elo" ledek Stefan.

"Lo kalo pake referensi pas dia mabok kemaren salah banget, namanya aja orang mabok waktu itu, ya pasti bandel lah"
"Kenapa mesti ke elo coba, gak ke gue gitu, atau Anin?" tanya Stefan penuh rasa penasaran sekalian terdengar nakal.
"Kalo itu gue punya jawabannya kayaknya Fan"

"Apaan?" tanya Stefan yang tampaknya penasaran.
"Gue ganteng"

"Kontol!" dan Stefan melempar botol minuman kosong di tangannya ke kepalaku, kena dengan telak. Aku hanya bisa mengaduh sambil tertawa, saat dia kemudian mengambil kembali botol kosong yang jatuh ke tanah.

Zee menghampiri kami setelah dia selesai berdoa di kuil. Kami bertiga lantas berjalan keluar pelataran kuil, dan mendapati banyak penarik becak. Becak ala Jepang yang ditarik oleh para penarik becak, dimana kebanyakan dari mereka adalah anak muda yang tampak atraktif. Mereka memakai seragam yang senada, dan mereka melirik kami dengan ramah.

eiu30010.jpg

"Lucu juga naek mereka, daripada keliling cape sendiri" celetuk Stefan.
"Itu emang legal atau gimana sih becak-becak itu?" tanyaku bingung.
"Mereka... They're under tourism company, and they're legal... They also act as a guide here" jawab Zee.

"Ooo... Aman kalo gitu, gak ditembak harganya"
"Usually mereka kasih tahu harga di depan, jadi kamu bisa back off kalau tak mau" komentar Zee.

"Yaudah, naek aja dah" Stefan tampak berjalan, mendekati salah satu becak. Kami berdua mengikutinya.
"Ntar musti dua becak dong karena kita tigaan"
"Kalian berdua naik. I wait here" jawab Zee.

"Jangan dong" Stefan menarik tangan Zee dan dia langsung bicara dengan tukang Rickshaw. "How much for the longest tour?" tanyanya langsung, dan setelah dia melihat harga, dia langsung merogoh kantongnya, mengeluarkan uang dan membayar ke tukang rickshaw. Aku tertawa saja melihat kemudian Zee dengan muka agak kesal langsung naik ke Rickshaw.

Terus kok Stefan gak naik-naik? Aku menunggu karena sepertinya Stefan merogoh lagi dompetnya dan mendekati tukang Rickshaw lain, bicara sebentar, naik Rickshaw dan langsung ngacir. Semua terjadi dalam gerakan yang menurutku sangat cepat.

Loh kok?

"Sir?" tanya tukang Rickshaw kepadaku sambil mempersilahkan aku naik dan duduk di sebelah Zee.
"Eh Sorry but..." Aku dengan kikuk menunjuk ke arah Rickshaw Stefan yang telah menjauh.
"Just.." Zee melirikku dengan muka agak kesal, memberi isyarat agar aku naik saja. Aku menghela nafas dan akhirnya naik.

Dan si tukang Rickshaw lalu menarik kami, mulai berjalan di sekeliling Gion.

"So, where are you come from?" tanya si tukang Rickshaw dengan ramahnya. Sementara Rickshaw yang dinaiki Stefan sudah tak terlihat.
"Indonesia"
"Singapore"

Jawab kami berdua dengan agak enggan. Aku mengeluarkan handphoneku dan mendapati ada pesan dari Stefan.

"TUH HADIAH GUE BUAT ORANG GANTENG" tulisanya dengan huruf besar semua. Aku menggelengkan kepala dan ikut dalam perjalanan rickshaw ini dengan Zee. Zee yang juga sama cueknya dengan kondisi sekarang. Aku meliriknya dan dia mengangkat bahunya sambil senyum. Nikmatin aja, mungkin katanya. Yaudah, nikmatin aja, kenapa emang dengan naik Rickshaw bareng Zee? Gak ada yang aneh-aneh juga.

Zee asik memotret dan si tukang Rickhsaw perlahan-lahan menjelaskan landmark-landmark yang kami lalui. Mulai dari taman umum pertama yang ada di Jepang, lalu kuil ini dan itu. Tak lupa sebuah pabrik tahu legendaris. Ah, memang harus dinikmati perjalanan ini. Aku membuka instagram dan lantas membuat insta story.

"What are you doing?" tanyanya bingung, sambil melirik ke arah kamera.
"Instagram Story" jawabku ringan, sambil meng-upload video tersebut di dalam aplikasi instagram.

Kami makin mendekati Pagoda Yasaka, salah satu landmark yang paling terkenal di Gion. Aku tahu namanya karena si Tukang Rickshaw menjelaskan soal pagoda itu kepada kami dengan bahasa Inggris yang lancar dan baik.

111.jpg

"Mas itu gapapa?" mendadak ada dm di instagram dari Arwen.
"Kenapa emangnya?"
"Itu sama siapa bareng di Rickshaw-nya, emang pacarnya mas ga marah?" tanyanya.
"Kenapa musti marah?" aku mendadak melipat mukaku. Zee tampak pura-pura antusias dengan penjelasan si Tukang Rickshaw, dan mungkin karena dia malas mendengarkan penjelasannya, dia iya-iya saja dan tidak berusaha menunjukkan kalau Bahasa Jepangnya lancar.

"Kok gak marah haha, kalo saya jadi pacarnya Mas Arya sih marah" jawabnya.
"Saya kan ga ngapa-ngapain haha" balasku.
"Ya gimana ya.. Tapi emang temen banget? Kalo emang udah temenan lama sih saya gak akan marah"
"Gak juga sih"
"Nah... Kadang emang cewek suka gitu sih, saya termasuk ahahaha... Tapi kalo pacarnya Mas santai ya yowes" balasnya diiringi oleh emoticon emoticon konyol.

"Pacar, eh calon istri saya kan ga cemburuan orangnya..." tawaku.
"Gak cuma masalah itu" jelas Arwen.
"Terus?"

"Cewek kalo ada cowok yang model kayak Mas Arya gitu, yang suka langsung akrab ama cewek, bisa langsung suka..." jawabnya.
"Terus?"
"Ya kalo dia suka kan kasian dianya... Kasian pacar Mas Arya juga kudu ngeprotect hahaha"

Mendadak aku jadi ingat Kanaya.

"Emang gue tipe cowok yang kayak gitu ya?" sekalian aku mengirimnya dengan emoticon tertawa biar tidak terkesan bahwa aku bertanya serius.
"Kayaknya, abis langsung akrab sama saya he he he"
"Tapi situ juga supel" candaku.
"Ini muji apa ngeledek"

"Haha"
"Yah, intinya sih kalo ama temen cewek musti ati-ati" lanjut Arwen.
"Situ sendiri temen cewek"
"Oh gitu ya? Suka ga sadar kalo saya cewek" tawanya.

"Well, this is Yasaka Pagoda, do you want me to take your picture?" si Tukang Rickshaw menawarkan dirinya.
"Sure" Zee memberikan kameranya ke Tukang Rickshaw.

Kami berdua pun tersenyum seadanya di depan Pagoda.

"Cheese for the newlyweds" senyum si Tukang Rickshaw.

What? WTF.

--------------------------------------------

"Kontol" umpatku ke Stefan saat perjalanan Rickshaw itu berakhir. Aku dan Zee pasrah menjadi "pengantin baru" karena kami berdua terlalu malas menjelaskan situasi kami ke Tukang Rickshaw. Ya, itu semua ulah Stefan. Dia setelah membayar rickshaw, memberitahu bahwa kami berdua adalah pengantin baru.

"Kontol tapi suka kan" tawanya.
"Biasa aja kontol"

Zee sedang ke minimarket, membeli rokok dan kopi.

"Ah elu, lo sadar kan kalo cewek itu gampang suka sama elo" tawa Stefan.
"Gundulmu"
"Gundulmu apa" tawa Stefan lagi.
"Gue kan bukan elo, gue ramah sama cewek, dan gak ngemodus, bego..."

"Gak ngemodus tapi dengan lo sok ramah dan friendly sama cewek-cewek, liat aja Kanaya" tawanya.
"Itu mah dianya aja"
"Dianya aja? Taruhan ke gue, kedepannya bakal berapa banyak Kanaya baru yang bakal muncul" tantang Stefan.

"Jangan karena lo lagi parno sama Chiaki terus gue jadiin hiburan dong"
"Engga, beda lagi ini, ayo, taruhan, kalo misal dalam waktu setaun ga ada Kanaya baru, gue kasih lo gitar lagi deh" tawa Stefan.
"Mayan gitar baru... Yaudah, kalo ada yang baper lagi, gue kasih elo apa ya..."

"Bayarin gue bikin tato baru"
"Oke"
"Deal"

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
MDT SEASON 1 - PART 78

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto
Week 2

Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -

Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

289510.jpg

Sore hari, di hari Kamis. Kami bersama kru di Kyoto MUSE, sedang setting alat-alat kami. Dan ada satu hal yang masih mengganggu kepalaku, walau itu bukan problemku. Berapa uang yang sudah Chiaki keluarkan untuk mengejar Stefan?

Sambil menata efek, aku lantas menghitung. Tiket Bus + Biaya menginap + Sewa love hotel + Tiket masuk di beberapa acara yang gak gratisan = Berapa? Apalagi dia sekarang tidak bekerja, dan dia katanya pekerjaan-pekerjaan sebelumnya hanya magang-magang saja atau part time job. Gila, pasti uangnya pas pasan, dan apa dia masih tinggal dengan orang tuanya? Atau dia tinggal sendiri? Atau gimana? Aku tidak bisa menemukan kesimpulan yang masuk akal dari semua gerak gerik Chiaki.

Stefan merokok dengan tenangnya, berdiskusi di depan mixer, dengan Sena.

Tapi aku tahu dia pasti tidak tenang. Dia pasti takut akan Chiaki lagi. Kemarin ketika di Live House takutaku, sungguh beruntung kami tidak bertemu Chiaki. Entah karena mungkin acara malam itu sungguh ramai dan gratisan, sehingga yang masuk pun berjubel. Di tengah padat itu pasti susah menemukan Chiaki, ataupun kalau dia mencoba masuk di tengah manusia yang seperti ikan kalengan di tempat sempit itu.

Tapi sungguh, mau sesiap apapun Stefan, pasti kalau aku ada di posisi dia, sangatlah sulit untuk menghadapi orang seperti Chiaki. Rasa obsesifnya ke Stefan benar-benar menjadi momok kali ini. Entah bagaimana cara untuk meredamnya, aku sendiri tidak tahu. Yang kita takutkan, adalah ketika penolakan itu terus terpapar ke dirinya, yang ada malah dia melukai dirinya sendiri dan orang lain. Perempuan-perempuan yang seperti ini sudah pasti fragile, karena dia sendiri menyandarkan perasaannya pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak nyata.

“Empat kali show, di tiga show sih Chiaki nongol terus ya” bisik Anin yang sudah beres menyeting bass nya. Aku mengangguk, sambil melirik ke sekeliling. Bagas sedang sibuk oleh drumset, dan Shigeo sedang beristirahat sejenak dari tugasnya untuk mendampingi kami.

Kairi Yamakawa, si bos label yang tegas dan keras itu kini sudah dalam perjalanan kembali ke Tokyo. Entah bagaimana kalau misalnya nanti malam ada Chiaki dan terjadi kehebohan, atau sekeder konfrontasi dengan Stefan. Aku berharap Kairi ada, untuk bisa menengahi ataupun bisa lebih tegas ke Chiaki maupun Stefan, terlebih lagi karena Kairi adalah ibu-ibu dan perempuan, serta dia bos nya Titan. Setidaknya Chiaki mungkin, mungkin tapi, lebih paham kalau sesama perempuan yang memberi tahu, sekalian pakai alasan profesional, misalnya kedatangan dia mengganggu tur nya Hantaman.

Tapi, sejujurnya, aku harap, aku dan teman-temanku tidak akan bertemu dengan Chiaki lagi. Selamanya.

Amin.

--------------------------------------------

“Ada?” tanya Stefan sebelum kami naik ke panggung.
“Ga ada kayaknya, gue tadi dari luar ga liat” jawabku, dimana aku baru saja kembali dari luar ke backstage untuk buang air kecil. Aku berjalan ke kursi, mengambil sebuah handuk kecil untuk mengeringkan tanganku. Tak sabar, besok jalan ke Tokyo, dengan Shinkansen lagi. Kyoko sudah berjanji untuk menginap lagi. Tidak sabar rasanya bertemu dengan calon istriku itu, dan membicarakan soal progress pengalihan kekuasaan di café, membicarakan pernikahan, dan semua mua nya.

“Serius gak ada?” tanya Stefan lagi, memastikan keberadaan Chiaki.
“Gak ada”
“Jangan main-main ah” dia mempertanyakan keseriusan jawabanku.
“Cek aja sendiri keluar sana”

“Ga mau” balasnya dengan muka khawatir.

“Guys, 5 minutes” teriak Shigeo dari arah pintu backstage, menunjukkan bahwa lima menit lagi kami akan maju ke panggung. Maju untuk menjadikan Kyoto MUSE sebagai ladang pembantaian baru, sebelum pindah kembali ke Tokyo. Dari ibukota lama ke ibukota baru. Suara riuh rendah sudah mulai terdengar di luar. Tidak ada yang memanggil nama kami sepertinya, tapi atmosfer di luar sudah terasa ramai. Mereka pasti akan jadi korban kami.

“Siap?” tanya Anin, sambil melemaskan jari-jarinya.
“Siap” jawabku pelan, sambil merapihkan rambutku, bercermin. Stefan berdiri tanpa suara dan mengangguk ke arah kami semua. Bagas diam saja.

“Dan lo bisa gak, jangan pake t-shirt begitu” tegur Anin ke Stefan.
“Kenapa emang?”
“Gak enak diliat di foto tau, apalagi di media online Indonesia, kalo jadi kasus gimana di sosmed” sungut Anin.
“Terus gue pake apa dong?”

“Telanjang dada aja kayak biasa”
“Ntar itu mah kalo udah keringetan” jawab Stefan dengan muka mengesalkan.

“Kalo kata gue sih gapapa juga ya pake kaos begitu” aku mencoba menengahi.
“Gue bilang sih kenapa napa”

“Emang jeleknya dimana sih?” Stefan menarik T-shirt hitam dengan tulisan putih besar di dadanya itu.
“Tulisannya, Kontol” sungut Anin.

T-shirt hitam, dengan sablonan huruf berwarna putih di dadanya, membentuk sebuah kata. Yaitu “KONTOL”
“Salahnya dimana, kan emang tulisannya Kontol” jawab Stefan.
“Gak sopan bego”
“Ini konser rock, bukan pengajian” balas Stefan.
“Ntar di sosmed kita dibilangin malu-maluin Indonesia lho” marah Anin.
“Terus kalo gue pake ini kaos ke panggung lo mau apa? Paling lu mau misuh-misuh kayak biasa kan, misuh kayak cewek PMS” ledek Stefan.

“Lu makin ngeselin yak” Anin memicingkan matanya.
“Guys?” muka Shigeo muncul lagi, menandakan bahwa kami harus segera naik ke Panggung.
“Ayo” Stefan langsung jalan ke arah panggung, dan Anin tak kuasa melihatnya.

“Yaudah lah ya, paling udah dua lagu langsung dia lepas, dia kan ga tahan pake baju lama-lama” aku berusaha menenangkan Anin.
“Lo coba deh jadi admin fanpage, instagram, twit**ter nya Hantaman sekaligus” keluh Anin.
“Yah, tapi sosmed kan emang gahar om… Gue aja foto ama Arwen atau Zee di IG ada aja orang komentarin…” tawaku.

“Komentar apa emang” tanya Anin sambil meregangkan badannya dan mulai berjalan ke panggung.
“Pacarnya Kak Arya kok ganti lagi sih? Yang semacam itu lah, kayak mereka tau gue kayak gimana aja orangnya” tawaku.
“Haha, yang gue hadepin jauh lah lebih ngeselin daripada itu Ya, masih mending kalo yang kasar-kasar kayak fans nya DIMH gitu, yang polisi moral jauh lebih nyebelin lah hahaha” tawanya sambil menyongsong ladang pembantaian.

Okelah, mari kita bakar lagi Kyoto untuk terakhir kalinya malam ini.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

holl10.jpg

Kalian tahu apa yang paling mengganggu ketika live show? Iya. Senar putus. Tak apa-apa, toh ada gitar cadangan. Aku terpaksa menaruh Epiphone Black Beautyku dan mengambil Hagstrom Viking warna hitam, kesayanganku nomer dua setelah gitar Aria Pro ku. Entah kenapa aku dulu begitu mengandalkannya, padahal tidak ada kejadian spesial yang mengiringi pembelian gitar itu.

Stefan berkomunikasi dengan penonton secara casual, dengan menggunakan Bahasa Inggris. Mereka tertawa mendengar jokes-jokes Stefan yang nakal dan spontanitasnya di panggung. Dan pada saat aku sedang sedikit menyetting gitar sebelum lagu berikutnya itulah aku bertemu mata dengan dirinya.

Aku menelan ludahku dengan rasa tak nyaman. Stefan sepertinya belum atau tidak sadar dengan sepasang mata yang menatapnya dari tadi.

Ya, mata berbinar seorang perempuan muda. Muka penuh harap, di sudut kiri, lebih dekat dengan posisiku daripada Stefan yang di tengah. Matanya seakan tanpa halangan, menatap Stefan dengan begitu gawatnya. Iya, gawat, gimana gak gawat? Dia tanpa berkedip, memperhatikan gerak gerik Stefan, bahkan ketika musik sudah dimainkan, dia tidak bergerak seirama dengan musik. Diam saja, memperhatikan, dengan segala fantasi di kepalanya.

Harus kuakui konsentrasi permainan gitarku jadi agak pecah. Untung saja karena kami sering latihan, maka aku sudah hapal di luar kepala set list dan lagu-lagu kami. Bukan hanya sering, tiga kali seminggu kami di Jakarta selalu latihan. Oleh karena itu wajar kalau kami semua hapal di luar kepala. Lagipula, kalau lupa, ada yang namanya improvisasi di musik. Apalagi basic musikku adalah Jazz, yang menekankan improvisasi dalam musiknya.

Tapi harus kuakui, memang sulit bermain musik dengan gangguan seperti sekarang. Gangguan Chiaki maksudnya. Apalagi kalau dalam posisi ini Stefan, tidak sadar soal keberadaan perempuan itu, karena mungkin terhalang olehku atau barang-barang di panggung. Sekarang dia cuek saja menyanyi dengan lantangnya.

Ah, bisa melihat tanda bahaya memang tidak nyaman.

--------------------------------------------

2910.jpg

"Udah beres?" tanya Anin saat beberapa kru Kyoto Muse masuk dan membawa beberapa tas kami keluar, untuk dimasukkan ke mobil.
"Udah harusnya" jawab Sena, yang sedang mendata kelengkapan alat kami. Sementara aku duduk tertegun di panggung yang kosong, sambil menatap ke sudut-sudut gelap Kyoto Muse yang telah sepi.

Chiaki mana? Ini bukan bar, jadi tidak ada acara mingle ataupun minum-minum berbaur dengan pengunjung. Ini venue untuk live music. Dalam hati, aku berharap Chiaki sudah pergi, atau entahlah kemana, atau mojok lagi dengan Stefan, dan berdamai dengan keadaan seperti ini, mungkin? Tapi Kairi sudah wanti-wanti bahwa tidak boleh ada perempuan bersama Stefan di tur ini… Jadi entahlah.

Aku kadang iri dengan Stefan dan Anin, juga Sena dan Zee. Kalau melamun, mereka mengisi waktu mereka dengan merokok. Sedangkan aku sekarang idle, menunggui kru lokal beres-beres, dengan diatur oleh Shigeo. Dan yang memeriksa kelengkapan kami dan alurnya adalah Sena. Dia memang bertugas untuk itu selain menggawangi kami di mixer pada saat live show.

Besok pagi kami akan segera meluncur dengan kereta shinkansen menuju Tokyo. Menuju kota terakhir yang akan kami gilas di panggung. Dan di Tokyo ada tiga venue. Besok tak sabar ingin mengobrol lagi dengan Kyoko. Mudah-mudahan sudah ada titik terang lagi soal masalah di café. Dan tentunya aku tidak sabar ingin menginap berdua dengannya, saling berpelukan di kasur yang sempit dan hangat itu.

Dengan bosan, aku mengambil tasku, yang isinya mulai dari paspor, dompet, dan segala macam perintilan sehari-hari yang dibutuhkan untuk berangkat, juga tas yang penuh berisi efek gitarku. Aku harus menaruh tas efek gitar di mobil, biar nanti tidak ribet. Aku keluar, dan menuruni tangga Kyoto Muse. Dan di saat itulah aku melihat sebuah bayangan di pojok jalan, bayangan yang kini menakutkan.

Chiaki.

Chiaki berdiri, entah menunggu apa di bawah lampu jalan. Mobil kami jaraknya sekitar 50 meter parkir dari Chiaki. Siapapun yang keluar naik turun tangga di pintu masuk Kyoto Muse akan terlihat dengan jelas oleh Chiaki. Dengan mantelnya, dia tampak menunggu dengan seksama. Aku menelan ludah, berjalan dengan pelan. Begitu pelan sehingga mungkin aku tertinggal kalau balapan dengan kura-kura.

Jangan lihat ke Chiaki, belok saja langsung ke mobil Ya, disitu pasti ada para kru yang menata barang dengan Shigeo.

Pelan.

Jangan buru-buru.

Jangan sampai dia pikir aku parno melihatnya.

“Sorry”

Anjing. Aku menelan ludah. Aku merasakan sebuah tangan menepuk bahuku. Aku ingat suara perempuan itu. Bulu kudukku merinding disko. Mendadak. Aku menarik nafas, menyembunyikan muka takutku.

“Yes” senyumku dengan aneh sambil menatap Chiaki yang mendadak ada di belakangku.
“See Stefan?” tanyanya dengan muka yang tumben-tumbenan tidak ceria.
“Nope”

Aku menggelengkan kepala dengan lemah, dengan senyum palsu yang menyembunyikan rasa takutku, rasa ngeriku dan aku berharap dia tidak sadar soal perasaanku sekarang.

“Please tell him I’m here” lanjut Chiaki.
“Okay”

Aku lantas tanpa rem lagi berjalan dengan agak cepat, menghampiri mobil. Disana ada kru lokal dari Kyoto Muse dan Shigeo. Aku langsung menitipkan tas efekku ke Shigeo, sambil menatap Chiaki yang masih menunggu Stefan dari jauh. Entah menunggu untuk apa dan bagaimana. Buat apa juga entah. Terus bagaimana. Stefan sepertinya walau tak terlihat, dia masih di dalam. Mungkin dia masih minum bir yang disediakan panitia. Setahuku di dalam sana ada Zee, atau mungkin juga Bagas dan Ilham. Aku mengambil nafas panjang dan berjalan dengan cepat masuk kembali ke venue. Aku bisa merasakan pandangan mata Chiaki mengikuti gerakanku. Rasanya benar-benar seperti kijang yang tak berdaya, di tengah tatapan mama singa yang butuh cepat-cepat memberi makan anak-anaknya yang kelaparan.

Tanpa jeda lagi aku melewati Sena dan Anin yang masih agak sibuk di panggung. Beberapa bass nya masih mangkrak, menunggu kru untuk mengangkutnya ke mobil.

Aku langsung menuju ke dalam backstage.

“Fan?”
“Apa?”
“Gawat, Chiaki di bawah” aku lantas memandang wajah Ilham, Zee, Stefan dan Bagas satu persatu.

Tuk. Kaleng bir yang dipegang Stefan jatuh ke lantai.

“Anjing” umpat Stefan.
“Terus gimana tuh?” tanya Ilham, yang sepertinya sudah paham situasinya. Mau tak mau semua orang di dalam awak tur kali ini tahu apapun yang Stefan perbuat dari awal hari.
“Disini ada fire exit gak sih? Yang keluarnya di sisi gedung yang beda?” tanyaku ke semua orang disini.
“Percuma, udah keluar di sisi beda, tapi pas jalan ke mobil jalan ke depan lagi” jawab Ilham.

“Ya suruh Shigeo pindahin mobil” Stefan berdiri, lantas mengusap-ngusap tangannya ke celananya.
“Just face her” komentar Zee pelan.
“Elo… Sial! Kalo cowok gue gampar” Stefan tampak uring uringan. Zee Cuma memble sambil mengangkat bahunya. Stefan langsung mengambil rokok dan membakarnya.

“Nginep sini aja besok kita jemput” Mendadak Ilham memberi ide.
“Itu ide yang paling tolol yang pernah gue denger, arab” umpat Stefan. Ilham Cuma memble sambil mengangkat bahunya. Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Gue ajak ngobrol, mojok kemana terus supaya dia ga fokus sama elo yang keluar dan jalan ke mobil ntar?” aku memberi ide.
“Mojok kemana? Ntar gue keluar dia langsung samperin gue” keluh Stefan. Aku Cuma memble sambil mengangkat bahuku. Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Lo ajak ngobrol dan tegas kan lagi” Bagas mendadak bersuara. Kami menatap dirinya dengan pandangan nanar. Iya sih, masuk akal. “Usir dia” ucap Bagas pelan, tanpa emosi, sambil tetap membaca entah apa di layar handphonenya. “Sekarang sudah jam 11.45, 15 menit lagi kita semua harus keluar dari tempat ini” kalimat panjang itu keluar lagi dari mulut Bagas.

Mendadak Anin nongol di ruangan itu. “Guys? Udah beres semua nih, pulang yuk biar bisa istirohat”
“Istirohat pala lu botak!” sahut Stefan.
“Emang botak sih” Anin mengelus-ngelus kepala licinnya. “Kenapa itu si kanvas berjalan uring-uringan Ya” tanya Anin kepadaku.

“Di bawah, deket mobil kita, ada Chiaki” jawabku.
“Ooo… yaudah lah Fan, adepin aja, takut apa sih…”

“Bukan elo kan kontol yang di stalk ama cewek Psycho”
“Somehow ini kayak adegan di J-Horror” Anin tampak menatap Stefan lekat-lekat.
“Pikirin caranya supaya gue bisa balik kontolllll” umpat Stefan.

“Bicara” Bagas berdiri dan mengantungkan Handphonenya ke sakunya. Dia lalu memakai jaket tebal dan syal, dengan gerakan pelan yang membius.
“Elo aja yang ngomong, giliran hari hari elo diem, kalo lagi gawat lo ngomong, mumpung sekarang gawat kan, elo aja sana yang ajak ngomong Chiaki, kasih sesuatu apa lah, wejangan lewat otak robot elo itu” panik Stefan. Dia belum memakai jaket nya sedangkan kami semua sudah tampak siap untuk berangkat pulang ke penginapan.

“Udah Fan, ngobrol sama Chiaki sana, gue liatin dari jauh, kalo kenapa-napa, gue samper, serius…” ucapku untuk menenangkan Stefan.
“Iya, gentle lah….” Komentar Anin.
“Lu mau gue gentle sama psycho… Lo gak liat cara dia senyumin gue pas di Osaka kemaren, monyet!!!”

“Lo khawatir apa sih? Kayaknya lebay amat” bingung Anin.
“Kalo dia bawa piso gimana? Kalo dia ngancem mau bunuh diri gimana? Kalo dia lari ke jalan terus ditabrak gimana? Lo bisa gak sih mikir dari sudut pandang si cewek gila ini!!!” teriak Stefan. Aku menatap ke Ilham. Ilham lagi-lagi mengangkat bahunya, Zee juga. Dan Zee mematikan rokoknya, tampak bersiap untuk jalan.

“Bicara” Mendadak Bagas memakaikan Jaket Stefan dibahunya. Dan memberi kupluknya, langsung ia masukkan ke genggaman tangan Stefan.
“Lu anjing ya Gas”
“Bicara lebih mudah daripada kabur”
“Elo yang ngomong kalo gitu anjing”

!!!

Bagas memegang kerah Stefan dan menggenggamnya. Kami semua diam mendadak, tegang, dan rokok yang di tangan Stefan pun jatuh. Bagas menatap kosong ke dalam mata Stefan.

“Bicara”
“Atau apa?” tanya Stefan di tengah ketakutannya.
“Tidak pakai atau”
“Oke” Stefan memegang tangan Bagas dan berusaha menyingkirkan tangannya dari kerahnya. Gila. Kami semua tampak tercekat oleh ‘ancaman’ Bagas. Stefan dengan enggan memakai jaketnya, menutup kepalanya dengan kupluknya, dan kembali mengusap-ngusap tangannya di celana jeansnya.

“Biar dia jalan lebih dulu” ucap Bagas ke kami semua. Kami menurut saja. Kami tidak mau digilir diintimidasi oleh terminator dari Jakarta ini. Kami semua lalu jalan dengan berombongan dan tololnya ke pintu keluar, dan kami berusaha meniti tangga perlahan.

Stefan tercekat pada saat dia melihat Chiaki di sudut matanya. Masih di sudut yang sama dengan tadi kulihat dia pertama kali, yakni di bawah lampu jalan, berjarak 50 m dari mobil kami. Stefan berhenti dan menatap ke arah kami yang mengekor di belakangnya.

“Stefan!” Chiaki tampak melambai dengan sumringahnya di kejauhan. Kami semua menelan ludah, mungkin Bagas tidak. “Jalan” bisik Bagas kepada kami semua. Anjir. Situasi macam apa ini? Aku belajar gitar dari sejak remaja bukan untuk menghadapi situasi super parno dan aneh seperti ini. “Ayo jalan” bisikku ke Stefan. Stefan tak bisa menyembunyikan muka khawatirnya dan merayap pelan-pelan.

Baru sampai di anak tangga terakhir, Chiaki langsung bergerak ke arah Stefan yang mendadak membatu. Kami semua, kecuali Stefan malah bergegas berjalan ke mobil, seperti kocar-kacir dengan rapihnya. Berpura-pura tidak melihat Chiaki adalah pilihan yang bagus sepertinya untuk kami.

Kami semua tidak ingin mendengar apapun yang dibicarakan oleh Stefan ke Chiaki, ataupun melihat Chiaki yang aneh-aneh. Tak berapa lama beberapa dari kami sudah masuk dalam mobil, kecuali aku, Bagas dan Zee. Anin mukanya tampak nongol dari dalam mobil.

“Kalian ngapain”
“Mau liat” jawabku ke Anin.
“Buat apa?”
“Jaga-jaga” jawabku dengan anehnya. Zee menatap ke arah Stefan dan Chiaki yang seperti sedang bicara. Bagas berdiri tegak, tanpa ekspresi, bagaikan burung elang yang siap menyambar mangsanya yang tidak berdaya. Kami semua diam dalam suasana malam yang tidak puguh ini. Shigeo tampak bingung dan menghampiriku.

“What happen”
“That’s what happen” jawabku ke Shigeo. Aku menunjuk Chiaki dan Stefan yang tampak seperti sedang bicara, di sana. Berjarak hanya 50 meter dari kami. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi aku bisa melihat muka ceria Chiaki di tengah lelahnya menunggu. Dan aku bisa melihat ekspresi khawatir Stefan, beserta gesturenya yang sangat kaku. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku jaketnya, dan dia tampak tidak berani menatap Chiaki di wajahnya.

Mereka tampak bicara dengan intens. Aku memeriksa jam tanganku. Oke, jangan sampai ini lama. Langsung aja Fan. Bilang, kita gak bisa ketemu lagi gitu. Atau pura-pura udah punya pacar di Indonesia gitu. Entah lah. Apapun lah, skill nya ngebullshit harusnya keluar sekarang untuk menghindarkannya dari masalah berkelanjutan.

Mendadak Chiaki menyentuh dada Stefan dengan tangannya.

“Wow” Zee tampak antusias melihat kejadian drama di ujung sana.
“Sshh” aku menyuruhnya diam, daripada komentar yang tidak perlu. Aku tetap memperhatikan drama yang sepertinya tengah berlangsung di depan kami. Aku menatap ke Bagas yang tampaknya sigap melihat ke arah Chiaki dan Stefan.

“Gas?” tanyaku. Bagas hanya meletakkan jarinya di ujung mulutnya, menyuruhku untuk diam. Aku menurut. Aku terus memandang ke arah Chiaki dan Stefan. Chiaki masih tetap bicara dengan muka cerianya, dan Stefan dengan muka khawatirnya. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, dan karenanya aku menerka-nerka apa yang keluar dari mulut mereka.

Stefan mengeluarkan tangannya dari saku jaketnya dan memegang tangan Chiaki, untuk menyingkirkan tangan Chiaki dari dadanya, dan satu tangannya lagi menunjuk ke arah mobil kami. Chiaki terlihat menggeleng, dia lalu seperti memaksa untuk tetap meletakkan tangannya di badan Stefan. Stefan tampak seperti bicara lagi. Sambil menunjuk ke arah jamnya dan ke arah mobil kami. Chiaki menggeleng dan senyumnya hilang. Dia lalu melepas tangannya dari badan Stefan, tapi lantas malah menggenggam pergelangan tangan Stefan. Stefan berusaha menghindar dan memberikan permukaan dalam tangannya ke Chiaki. Tanda bahwa dia ingin Chiaki tidak menahannya.

Chiaki terlihat menggeleng. Stefan menatap kami dengan muka hopeless dan tampaknya ia berusaha melepaskan tangan Chiaki dari dirinya.

“Arya!” teriak Stefan dari kejauhan. Aku bingung dan menunjuk diriku sendiri. “Kesini lo kontol!!” teriaknya. Aku bingung. Kenapa aku diajak kesana? Zee dan Bagas menatapku. Semua mata di mobil juga menatapku.

“Kesana” lanjut Bagas. Aku menggeleng. Tapi aku lantas melihat Stefan tampak berusaha berjalan mendekati kami, dan pergelangan tangannya digenggam begitu erat oleh Chiaki. Aku menelan ludah. Ah masa bodo. Aku berlari kecil dan menghampiri mereka berdua.

“Woi”
“Gak mau lepas anjir, udah gue bilangin padahal”
“Lo bilang apa?” aku tidak ingin mendekat lebih dekat lagi, karena air muka Chiaki tampak penuh dengan agresi, berusaha menarik tangan Stefan terus menerus. Aku menggelengkan kepala melihatnya, dan Stefan tampak tidak berani bergerak terlalu spontan, mungkin khawatir juga akan mencelakakan Chiaki.

“Gue bilang udah sampe disini anjir, gue bahkan bilang gue Cuma mau memeknya makanya ngebullshit, dia berusaha yakinin gue kalo gue ama dia bisa bareng… Ya, tolong ya” panik Stefan.
“Gue harus ngapain?”
“Lo tahan tangan dia, supaya gue bisa kabur”
“Lo tolol apa bego anjing?” umpatku. Sialan, aku dijadiin tumbal.

“Arya, please leave, this is between me and Stefan” mendadak Chiaki bersuara.
“I know but…” jawabku.
“Jangan dijawab cewek psycho ini anjing!” umpat Stefan kepadaku. Aku mengangkan kedua tanganku, dan entah bersiap untuk menangkap apa dari depan.

“Chiaki, please, he doesn’t want it… It will hurt your arm if he forced to leave” aku berusaha memberitahu Chiaki bahwa gerakannya menahan tangan Stefan akan melukai dirinya apabila Stefan nekat kabur dan melepas genggaman Chiaki.
“We will make it, just like you” shit. Chiaki malah bicara seperti itu.
“I don’t want you, please” pinta Stefan.

“Liar, you said you want me everynight” rengek Chiaki dengan muka yang ekspresinya aneh itu. Seperti menahan tangis.
“Fan, lo bilang apa ke dia?”
“Udah anjir tolongin gue, pegangin tangannya” pinta Stefan.
“Gak mau anjir, lo urus sendiri kita tunggu”

“Arya, leave please” pinta Chiaki.
“Woi setia kawan kontol” umpat Stefan.
“Setia kawan sama kasus ini, lo gila ya, lo omongin apa aja sih ni cewek ampe gila gini?” marahku.

“Ya udah anjir”
“Udah apanya bego!” marahku lagi. Gila, bullshit macem apa yang Stefan katakan ke Chiaki?

“Arya, leave”
“No you leave!” kesal Stefan.
“How could you, it was real!” marah Chiaki.
“It’s not!!” marah Stefan.
“You said it was real!!!”

“Stefan babi anjing lo ngomong apa aja ke dia?” aku menunjuk ke Chiaki.
“Udah bukan masalah lagiiiii”
“Itu masalahnya kontol!” teriakku lagi. Kok malah makin runyam gini.

“Stefan don’t lie!!! You said we have a connection… you told me…. “ mendadak air mata keluar dari mata Chiaki. Ini Stefan anjing, dia pasti tidak tegas waktu mengusir Chiaki di Osaka. Oh iya, tidak mengusirnya, tapi pura-pura mabok sama kita-kita, paham, tolol. Kampret.

“Bangsat lu, urus sendiri sana” Aku mundur teratur dan Stefan malah mencoba meraih tanganku. Dan berhasil. “Fan, lepas” bisikku.

“Arya stay out of this!” teriak Chiaki histeris.
“Fan lo bangsat ya!!” aku menarik tanganku, tapi Stefan tidak melepas tangannya dan malah ikut dalam tarikan tanganku. Dan Stefan hilang keseimbangan karena dia terpaksa menarik Chiaki juga. Stefan menabrak badanku, dan Chiaki malah jatuh, tapi tangannya masih memegang pergelangan tangan Stefan.

“Lepas tangan gue!” Stefan malah teriak dengan bahasa Indonesia ke Chiaki.
“Don’t leave me!! You said you won’t leave me!!” tangis Chiaki.
“Bangsat lo boongin ya nih anak orang”
“Ya udah anjing”
“Elo yang anjing, gue gampar juga lama-lama”

“Ini kan ceritanya mau nolongin gue, kok elo galakin gue sih?!?!?!” teriak Stefan.
“Ga mau tau, ini gara-gara elo dia jadi begini kan, gue pikir dia yang psycho taunya elo yang bullshitnya kebanyakan!!!” marahku.
“Ya tolongin gue napa?”

“Udah” mendadak Bagas ada di dekat kami. Dan dia menatap dalam mata Stefan dengan tajam. Stefan menelan ludahnya. Kami sejenak berhenti dari tarik-tarikan ini. Bagas menarik tangan Stefan dari diriku. Dan berhasil dengan mudahnya. Bagas berjongkok, dan memegang tangan Chiaki.

“It’s okay” ucap Bagas. Aku tertegun, memperhatikan dalam diam. Bagas lalu memegang pergelangan tangan Chiaki, memutarnya, dan berhasil melepas tangannya dari Stefan.

“Ah!” teriak Chiaki kaget.
"Sorry" mendadak Bagas menarik Chiaki dan membantunya berdiri. “Stefan….” Chiaki tampak berusaha menghampiri Stefan dan badannya ditahan oleh Bagas. Stefan mundur teratur dengan cepat, berlindung di balik badanku.

“Woi anjing” marahku, berusaha untuk menghindar dari Stefan, agar ia tak kabur dari masalah. Tapi Stefan tidak peduli dan menarik punggung jaketku.

“Stop!” ucap Bagas ke Chiaki. Chiaki berusaha untuk melepaskan dirinya dari Bagas, agar bisa kembali menyentuh Stefan.
“Why?”
“Just Stop” ucap Bagas dengan dingin ke perempuan yang sedang bercucuran air mata itu.

“Why? He said we are special, lovers and so on, and then he left… without saying anything, and that’s why I chase him, I want to see him again” tangis Chiaki. Sialan Stefan. Apa-apaan ini. Makin yakin aku kalau Chiaki tertipu olehomongan instan Stefan.
“He lied… He’s an asshole” balas Bagas.
“And then what?”

“Stop seeing him” Bagas menatap wajah Chiaki dengan tegas.
“Why? I want him!! He said he want me too!!!”
“This asshole will hurt you more” gila. Bagas. Bicara sebanyak ini demi urusan Chiaki?

“No! I love him, he will change if I love him” teriak Chiaki ke Bagas. Bagas masih menahan badannya agar tidak mendekat ke Stefan.
“Stop. Not worth it.” Lanjut Bagas.
“I just want to be with him”
“No you can’t” jawab Bagas.
“Why?”
“He’s a liar. Asshole. Stop hurting yourself”

“You can’t tell me what to do!!!” teriak Chiaki ke Bagas.
“I can”
"How?" tangis Chiaki. Bagas tampak dengan sigap menahan badan Chiaki, dan anehnya sentuhan tangannya di bahu Chiaki tidak tampak menyakitinya, tapi mampu menahan gerakan badan Chiaki.

"Don't waste your time for him. I know him" lanjut Bagas. "You're wasting your time, money, everything for this one? Please don't..." Bagas? Bicara seperti ini?
"But he..."
"Stop for a while. Think about it" ucap Bagas pelan. Aku hanya bisa berdiri terpaku melihat adegan di depanku. Bagas mengcomfort Chiaki? Sementara Stefan masih berdiri di belakangku, menarik jaketku. Aku jadi makin marah kepada Stefan, dengan segala bullshitnya kali ini.

Chiaki malah menatap Bagas sedalam-dalamnya, seakan ingin memaksakan isi kepalanya. Tapi pasti rasanya seperti bicara dengan tembok besar yang tidak dapat dirubuhkan. Benteng pertahanan. Entah apalah, tapi aku merasa Bagas terlihat begitu dominan.

"He said"
"Stop" Bagas memotong omongan Chiaki.
"But...." Chiaki sudah tampak lemas, menatap Stefan dari kejauhan.
"Listen to me" Bagas menatap Chiaki dengan muka datarnya. Mereka berdua terdiam, saling memandang, dan angin dingin mendadak menusuk tulangku. Chiaki tampak menggenggam jaket Bagas dengan kerasnya dan air matanya masih terlihat.

Bagas lalu membisikkan sesuatu di telinga Chiaki. Entah apa. Aku tertegun melihatnya, rasanya seperti melihat Cesar Millan memanipulasi pikiran para Anjing peliharaan yang tukang mengamuk. Cukup lama ia bicara dengan Chiaki. Aku yakin kami semua juga heran dengan momen itu. Dan Bagas lalu menarik kepalanya, tangannya lalu menghapus air mata Chiaki, yang turun dari kedua matanya.

Lalu dia menepuk kepala Chiaki, masih dengan muka datarnya. Ada sekitar beberapa menit Chiaki menatap mata Bagas. Lalu dia melirik sejenak ke Stefan. Dan lalu kemudian ia berjalan dengan pelan, lunglai, menjauh dari kami.

WTF.

Bagas tampak merapihkan jaketnya dengan cuek, lalu berjalan dengan pelan kembali ke arah mobil.

"Lo ngomong apa sama dia?" tanyaku bingung. Bagas cuma mengangkat tangannya, menjawab tanpa suara.

“Thanks man….” Ucap Stefan masih dengan nada takut, ke Bagas yang melewatinya. Mendadak Bagas berbalik dan menatap Stefan dengan tajam. “Thanks Gas…” Stefan berusaha untuk senyum, karena walaupun masih shock, dia tampaknya sudah lega.

“Gas?” tanya Stefan lagi karena dia bingung melihat Bagas yang diam membisu di depan dirinya. Aku sendiri bingung. Masih linglung, dan bertanya-tanya, apa yang dibisikkan oleh Bagas ke Chiaki?

Mendadak Bagas maju dan menarik kerah Stefan.

“Apa lu bilang tadi?” tanya Bagas.
“Thanks?” ucap Stefan dengan nada bergetar, dan menatap Bagas dalam bingung yang luar biasa.

“PLAKKK!!!” Bagas menghantam kepala Stefan dengan tamparannya yang terdengar nyaring. Tepat di pipinya. Tangan Bagas terbuka lebar, menghajar pipi Stefan dengan keras. Stefan berteriak tanpa suara, saking sakit dan kerasnya tamparan tersebut. Masih dalam kekagetan kami semua, Bagas menarik kerah Stefan lebih dalam dan melempar tubuh Stefan ke trotoar dengan mudahnya.

Stefan pun jatuh, terjerembab di tengah rasa bingungnya. Aku kaget, masih bingung dengan kejadian tadi, menatap Stefan yang jatuh terjengkang sehabis di tampar Bagas dan dilempar ke trotoar.

Bagas menatap Stefan yang terjatuh, dan membuang mukanya lalu berjalan dengan pelan ke arah mobil, sambil memasukkan tangannya ke kantong celananya.

“Sampah” ucapnya ditengah kekagetan kami semua.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd