Hantaman – Japan Februari 201X
Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto
Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -
Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta
--------------------------------------------
“Gue ntar malem ke Mitaka” jawabku ketika kami sedang makan siang bareng di kamar Anin. Burger dari restoran cepat saji yang sudah mendunia kini jadi pilihan kami. Lucu, rasanya agak sedikit beda dengan yang dijual di Indonesia.
Anin makan di atas tempat tidur. Mukanya sudah terlihat agak segar, walau menurut pengakuannya, kepalanya masih pusing dan suhu badannya masih hangat. Zee duduk di sebelahnya, juga sedang makan dengan ekspresi cueknya.
Dari tadi kulihat interaksi mereka berdua begitu lucu, Anin masih saja terlihat caper, dan Zee masih seperti cuek, tapi dari tadi berulang kali Zee membantu Anin dengan makanan siangnya, mengingatkannya untuk tidak lupa meminum obat dan banyak lagi hal yang hangat lainnya. Sudah pasti mereka sekarang terkoneksi, entah pakai status atau tidak.
“Terus elo bakal nginep?” tanya Stefan sambil makan.
“Iya”
“Digas terus nih pasti ya sebelom kawin?”
“Engga….Gue Cuma mau ngerasain rumah itu, dan cafenya, secara mungkin gue ama Kyoko bakal ke Jepang masih beberapa taun lagi…” jawabku.
“Oh iya calon bini mau jadi WNI ya, gak bakal kemana-mana setelah nyampe Indonesia entar”
“Iya”
“Kalo orang singapur jadi WNI gimana ya prosesnya?” Anin bertanya dengan polosnya sambil melirik ke arah langit-langit.
“Sama aja bego” jawab Stefan sambil membakar rokok. Dia baru saja selesai makan. Zee cuma melirik Anin dengan senyum aneh dan ekspresi ‘ada-ada saja’ tergambar di wajahnya.
“Besok terakhir kan kita manggung… Jaminan bakal sembuh gak lo besok?” tanyaku ke Anin.
“Ah, walau masih meler, tapi sekarang dah mendingan, pasti besok lebih enak mainnya, gak kayak pas di Koenji…..” jawab Anin dengan muka lemasnya.
“Jujur sih, gue udah eneg banget sama yang namanya musik….” tawaku membayangkan gig besok.
“Sama” balas Anin.
“Sama” balas Stefan.
Bagas hanya terdiam, dia fokus makan, seperti tidak mempedulikan kami..
“Gue ntar balik Jakarta, terus abis kawin mau ngapain ya….. ngelarin album solo gue paling…..” aku menerawang ke jendela, memperhatikan gedung-gedung lain di sekitar Nakano.
“Album yang gak kelar-kelar itu kan” respon Anin.
“Mampet soalnya kepala gue nih”
“Mikirin kawin kali, kepusingan….” senyumnya.
“Engga, gak jalan aja kalo gue mau buat lagu lain tuh…”
“Padahal kalau lo ngeproduserin orang tuh udah paling kreatif aja rasanya ya…..” tawanya dengan suara sengau.
“Kalo kata gue sih….” Stefan menatapku dengan rokok terselip di bibirnya.
“Apaan?”
“Lagu lo yang Matahari Dari TImur itu kurang elonya…”
“Masa?” aku menekuk jidatku dan berpikir dalam-dalam.
“Beneran, emang enak dan oke sih, Cuma kayaknya, buat gue gak Arya banget gitu…” lanjut Stefan.
“Sok pengamat musik lo” ledek Anin.
“Orang sakit diem aja deh, tuh, cewek lo, lo sikat aja daripada lo ngerecokin komentar gue” ledek Stefan balik.
“Gue pengen denger kalo menurut elo, gak gue bangetnya itu dari mana…….” sumpah, aku penasaran.
“Gini, lo kan main musik rock sehari hari, terus lo kalo main jazz ngiringin orang lain, pasti kalo ga bawain straight ahead, bawain musik jazz kontemporer gitu lah, ga pernah gue denger lo main smooth jazz yang hepi hepi kayak lagu Matahari Dari Timur…”
“Masuk akal sih, terus gimana ujungnya dari kesimpulan lo tadi?”
“Pertama elo musti ngerasain jadi frontman dulu deh…. Coba lo bikin working group yang bener-bener elo, jangan ngiringin orang dulu, mainin musik yang lo rasa sesuai ama diri elo sendiri kalo mimpin… “
“Masuk akal sih…..” aku menerawang jauh, menembus jendela dan membayangkan adegan-adegan aku bermain gitar di panggung, di genre apapun.
Iya, aku memang tidak pernah menjadi front man, di band bukan, dan ketika beralih peran sebagai gitaris jazz, aku juga selalu mengiringi orang lain, tidak pernah aku menjadi headliner atau tampil sebagai leader dalam sebuah working group.
“Sono gih, bikin grup jazz, Arya and the kontols namanya oke tuh…” tawa Stefan.
“Arya Achmad Trio lah, kayaknya keren kalo dipajang di poster Java Jazz” canda Anin.
“Arya Achmad group, yang menurut gue poster-able sih…” balas Stefan.
“Arya Achmad project juga oke” balas Anin lagi.
“Arya and Kanaya tusuk-tusukan dibelakang Kyoko - Band, baru gokil” tawa Stefan.
“Kontol lo Fan…” dan aku menutup pembicaraan siang ini.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Kopi panas, seporsi besar pasta, dan senyum Kyoko. Ini semua membuatku kenyang malam ini. Aku memperhatikan lagi pemandangan yang familiar. Kyoko dan kakaknya berjibaku di dapur, membuat pesanan orang dan melayani apapun yang mereka pesan, selama itu tertera di menu.
Kodama tadi kulihat, ada di luar, melingkar dengan bodohnya sambil memperhatikan aku masuk. Di Jakarta ada Hana, di Mitaka ada Kodama. Mudah-mudahan mereka berjodoh.
Aku menaruh sendok dan garpu di atas piring kosong. Pirig yang baru saja kuhabiskan isinya. Yang lumayan besar untuk porsi orang indonesia, mungkin memang besar porsinya, ataupun mereka berbaik hati menambahkan porsinya untukku. Aku menghirup aroma kopi yang kemudian memenuhi seluruh rongga hidungku. Wangi. Aku melirik sejenak ke arah dapur, utk mendapati Kyou-Kun berjalan ke arahku.
“Tired?” tanyanya dengan senyuman khasnya.
“Mochiron” tentu saja, jawabku.
“Ah, later after Kyoko go, I will tired too, with new people” lanjutnya dengan bahasa inggris yang tetap amburadul. Aku tak mengerti, di sekolah mereka, bahasa inggris adalah pelajaran wajib, how come bisa ancur kayak gini ya?
“I just want to rest… this tour is very tiring and consume a lot of energy” senyumku ke calon kakak iparku.
“Understand. And little time to rest from show to show, must tiring” ya, memang lelah, lelah sekali, dan aku mengharapkan malam ini Kyoko tidak terlalu menggoda agar aku tidak menggaulinya lagi malam ini dan kembali membuang energiku. Dan aku tersenyum sendiri oleh pikiran nakalku yang kemana-mana. Lihat Fan, pikiranku sekarnag dipenuhi oleh Kyoko, gak mungkin bisa ada perempuan lain atau apapun godaan yang masuk dan menggantikan Kyoko di kepalaku, tak seorangpun.
“Nii-san” Kyoko mendatangi meja kami.
“Hai?”
“Koohi o onegaishimasu”
“Ah, chotto”
Kyou-Kun lantas bangkit dari kursi di depanku dan dia langsung menuju ke mesin kopi, membaca notes yang ditempelkan oleh Kyoko di sana, dan mulai bekerja meracik kopi. Kopi, bidang yang aku sama sekali tidak tahu. Selama ini aku hanya tahu soal itu dari ceoltehan Zulham yang kuanggap sangat menyulitkan logikaku di grup whatsapp alumni kuliah. Tapi kini calon keluargaku pun hidup dari emas hitam itu. Kyoko dan Kyou-Kun sangat handal membuat kopi yang enak. Mungkin itu juga sesulit membuat lagu yang enak.
Kyoko melirik ke arahku dengan senyum tipisnya, pertanda mungkin rasa kesalnya atas kejadian kemarin yang hampir menimpaku sudah perlahan-lahan hilang. Dia lantas beringsut kembali ke dapur, untuk kembali berjibaku dengan pesanan-pesanan yang perlahan lahan datang.
Tempat ini, Mitaka, membangkitkan kenangan indah. Kenangan saat bertemu Kyoko pertama kalinya. Semuanya terjadi karena aku mengantarkan kakaknya yang mabuk dari sebuah acara jam session di Yokohama. Lalu berlanjut ke rusaknya mesin kopi, yang membuat Kyou-Kun menyuruhku dan Kyoko berjalan berdua keluar. Dan disitu kami entah kenapa saling nyambung. Kami jadi semakin nyaman untuk mengobrol, bertukar informasi soal keluarga, teman dan lingkungan masing-masing.
Lalu ciuman itu. Ciuman yang terjadi secara tiba-tiba di ruangan ini. Di ruangan café yang telah tutup. Dan aku langsung pulang karena malu. Dan tak lama dari kejadian itu, aku dan Kyoko menjalani hubungan ini dengan senang.
Walaupun ada beberapa hambatan, seperti LDR, lalu kejadian dengan Kanaya, Zee, maupun false alarm kehamilan yang pernah terjadi, kami bisa survive. Sudah saatnya hubungan yang begitu menyenangkan ini dihadiahi oleh sebuah pernikahan. Awal baru lagi untuk kami, terlebih karena Kyoko akan tinggal bersama aku, ibuku dan Ai. Kami akan jadi satu unit keuarga yang benar-benar saling mendukung dan melindungi.
Tak bisa kubayangkan betapa cerianya rumah nanti setelah kedatangan Kyoko.
Tanpa Kyoko pun, setelah kematian ayahku, suasana rumah berubah menjadi ceria. Ibuku sudah tidak terkekang lagi, aku dan Ai udah tidak harus melihat kekasaran dan menjadi objek kekasaran lagi, dan kami berdua bebas untuk melakukan apapun yang kami mau. Termasuk membesarkan Hantaman. Termasuk mencari makan dari bermain kecapi inggris yang biasa kalian sebut gitar ini.
Makanya, aku semakin tidak sabar, menunggu hari pernikahan kami. Hari dimana kami akan jadi satu. Arya dan Kyoko. Dia juga pasti tak sabar menunggunya.
--------------------------------------------
“Kodama!” seru Kyoko sambil berjongkok, memperhatikan Kodama yang sedang makan. Makan yang terlalu malam untuk Kodama mungkin. Kodama tampak cuek, lebih memperhatikan hidangan yang ia makan, daripada tuannya, Kyoko Kaede.
Aku duduk, memperhatikan mereka berdua di dalam ruangan café yang telah bersih dan sepi. Kyou-Kun dak Kyoko sudah beres-beres tadi, dan aku hanya menonton saja. Aku tamu, kata Kyou-Kun, dan calon adik ipar, jadi jangan ikut beres-beres, katanya, santai saja. Aku mengiyakan saja sambil tersenyum. Setelah ritual beres-beres dan bersih-bersih selesai, Kyou-Kun langsung pamit untuk tidur. Dia tidak mau terlalu capek, karena dia dan Kyoko besok katanya mau datang dan menonton show terakhirku dan Hantaman di Shibuya WWW.
Venue yang asik, menurut penuturan calon kakak iparku. Dia pernah manggung disana beberapa kali. Dan itu akan jadi panggung pamungkas bagi perjalanan Hantaman selama tiga minggu kurang sedikit ini di negeri sakura. Setelah beberapa kejadian bombastis yang melibatkan Chiaki dan Zee, aku tidak sabar ingin menutup ini semua.
Perjalanan kami di Jepang kali ini membuka tabir baru soal kedewasaan. Terutama soal Stefan, Bagas dan Anin. Kita bisa melihat, betapa tidak dewasa dan begitu asalnya tingkah Stefan, yang sering kali lebih banyak menggunakan penisnya untuk berpikir, dan malah merugikan kami dalam setiap ulahnya, kenalakannya yang sudah tidak pantas lagi disebut sebagai kenakalan remaja. Usianya sudah 31 tahun, dan kami ingin sekali ia tumbuh dewasa.
Dewasa seperti kedua sepupu itu. Walaupun terkesan kenanak-kanakan dan polos, Anin ternyata telah membuktikan pada kita semua bahwa dia mampu melindungi Zee di saat-saat mereka berdua paling lemah. Ya, saat mereka berdua mabuk, dan sangat memungkinkan terjadi drunk sex. Tapi anin malah melindungi Zee dengan mengorbankan kesehatannya, dan karena hal itu juga dia bisa meruntuhkan tembok pertahanan Zee terhadapnya. Tembok itu kini meleleh dan sudah tidak ada batas lagi diantara Anin dan Zee.
Dan Bagas, yang mendadak jadi penyelamat atas kejadian gila antara Stefan dan Chiaki. Ya, tak heran dia yang menikah duluan. Dia tampak sudah matang dan tahu apa yang ia suka dan tidak suka, semua gerakannya efektif dan efisien, zero waste, zero bullshit dan selalu tepat pada waktunya. Semua yang ia lakukan selalu cukup. Enough. Dan dia tahu semua resiko perbuatannya, oleh karena itu dia tidak pernah berlebihan.
Pantas saja waktu itu perkelahiannya dengan vokalisnya DIMH tidak heboh jadi berita di media online dan sosmed. Pasti karena jumlah pukulan yang ia berikan tepat, yang memberikan efek jera secara tepat. Dan mungkin memang menyakitkan, tapi tidak sebegitunya menjadi luka yang benar-benar parah dan tidak merusak mukanya, namun cukup untuk memberi statement agar mereka menjaga sikapnya di lain waktu.
Mungkin.
Tapi walaupun dia paling jarang bicara dan tidak bisa ditebak isi hatinya, tetap saja dia yang tindakannya paling dewasa dari kami semua. Kesetiakawanannya jangan ditanya lagi, walau dia pasti akan malas menjawab apapun yang kita bicarakan dan tanyakan ke kepadanya.
“Aya” panggil Kyoko. Dia sedang berada di dapur. “Mau kopi lagi?” tanyanya.
“Enggak, udah cukup” senyumku.
“Ada cake sisa dari tadi siang aya, ada tiga, Aya mau?” tanya Kyoko lagi, sambil melihat ke display. Iya, ada tiga cake sisa, yang kalau didiamkan besok pasti either jadi keras atau jadi kurang nikmat untuk dimakan.
“Boleh” dan Kyoko langsung mengambil tiga piring yang tersisa di display dan kemudian membawanya ke meja untuk kami makan berdua, berlindung dari udara dingin di luar, bersama Kodama yang sedang diam dengan sombong sekaligus tolol, melirik kami seakan kami ini mahluk rendahan.
Aku mengambil garpu yang disiapkan Kyoko, untuk mulai melahap kue di hadapan kami. Dia duduk di depanku, dan matanya berbinar melihat kue sisa itu.
“Kalau ada sisa dan gak kalian makan, diapain kue-kue begini?” tanyaku penasaran.
“Di buang, Aya”
“Sayang dong”
“Demo, kalau di buang, tida ada pemasukan, tapi kalau kami makan, kami sisihkan okane dari kami untuk bayar makanan yang kami makan ke café” jawabnya. Oh begitu, kalau ada makanan sisa atau mereka makan dari stok, mereka menyisihkan uang pribadi untuk dibayarkan ke kas café. Disiplin sekali. Mungkin bidang food and beverages bukan duniaku, jadi rasanya aneh mendengar itu.
Baru beberapa potong, aku menghentikan makanku, karena memang selain sudah kenyang, rasanya buatku terlalu manis.
“Aya tidak mau lagi?” tanya Kyoko. Aku menggeleng dengan pasti. “Untuk Kyoko?” tanyanya lagi dengan muka mengharap. Aku mengangguk. Dan Kyoko dengan muka senang tersenyum kepadaku, sambil mungkin sudah membayangkan seluruh kue tersebut berada di dalam perutnya.
Aku memperhatikan dirinya yang tengah melahap kue tersebut dengan muka sumringah. Aku tersenyum melihatnya, walau pikiranku masih digantungkan beberapa hal. Ya, pikiran selalu saja ada yang mengganggu. Terutama soal albumku yang mangkrak. Haha. Ah tapi percuma untuk dikeluhkan ke Kyoko. Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus mengeluhkannya, sebaiknya aku bicara dengan orang-orang yang lebih paham soal masalah ini dibandingkan ngerecokin Kyoko.
Lagipula aku akan memilih malam ini dengan menghabiskan waktu berdua, mengobrol, beristirahat, menginap dan santai bersama calon istriku ini. Kami mungin akan bicara sampai tengah malam, tertidur bersama ditengah obrolan yang hangat.
--------------------------------------------
Bohong. Santai dari mana?
Yang ada sekarang sebaliknya. Kyoko sedang berbaring, telentang. Baju tidurnya tersingkap, kakinya melingkar di pergelanganku. Aku dan dia lagi-lagi melakukannya. Memang tidak bisa menahan perasaan seperti inijika berdua dengannya. Apalagi di dalam kamarnya yang hangat. Di dalam kamarnya yang buanya begitu segar, yang rasanya membuat seluruh indra kita menjadi tajam dan sensitif.
Saking sensitifnya sehingga kurasa penisku menegang begitu tegangnya setiap kami berciuman. Tubuh kami sedang bersatu, saling bergerak dengan penuh kenyamanan. Rasanya semuanya begitu pas, interlocking. Lekuk tubuhnya pas dengan semua genggamanku, begitu juga dengan bentuk bibirnya, pas sekali ketika kami berciuman, tidak ada bagian-bagian yang dengan anehnya saling bertubrukan atau bergesekan.
“Kyoko?”
“Hai?” jawabnya dalam kenikmatanya.
Aku hanya memandangnya, dengan tatapan yang dalam, tatapan yang menginginkanya. Tatapan yang harusnya membuat ia merasa satu denganku. Kyoko tersenyum kepadaku, ditengah kenikmatan yang ia rasakan. Dia tampak ingin meaihku, menggigit dan menyentuh bibirku dengan bibirnya.
Aku menyambut ciumannya, dan kami kemudian bergumul lagi malam itu, tanpa mempedulikan hari esok. Yang kami tahu, besok dan besoknya lagi kami akan menjadi man and wife.
Kami tenggelam dalam segenap mimpi kami berdua. Mimpi kami untuk bersatu. Kami yang dulu berjarak ribuan kilometer, nantinya akan tinggal dibawah satu atap, membentuk keluarga baru, keluarga yang tidak kalah hangatnya jika dibandingkan dengan aku, ibuku dan Ai sekarang. Keluarga yang masa depannya membuat semua penghuninya nyaman dan aman.
--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------
Jalanku ringan pagi ini. Pagi yang tenang dan dingin di Mitaka. Aku baru saja berpamitan dengan calon istriku dan calon kakak iparku. Hari ini penuh harap, karena memang konser pamungkas kami akan terjadi malam ini. Grup whatsapp Hantaman sepi, mungkin karena sekarang masih jam 8 pagi, masih pada tidur, istirahat. Dan Anin mudah-mudahan semakin sehat dan nanti malam bisa melaksanakan konser dengan penuh semangat.
Aku duduk di halte bis, diiringi oleh ramainya manusia yang juga memulai hari.
Dingin pagi ini tidak melunturkan semangat kami semua. Iya, kami semua yang menunggu bis pagi ini. Entah kenapa suasana Mitaka selalu menyemangatiku. Ya, udaranya yang bersih, suasananya yang tentram dan bersahabat. Anginnya yang tidak pernah menusuk tulang. Harum dedaunan selalu mewarnai kota ini walaupun di musim dingin.
Di kota inilah semangatku terbit, Matahari Dari Timur terbit, dan mengisi hatiku dalam bentuk Kyoko. Dan nanti aku akan memindahkan sebagian kehangatan dari Mitaka ke Jakarta. Dalam bentuk Kyoko. Dan sekarang tugas hari ini menanti, menggetarkan Shibuya WWW, show kami yang terakhir disini.
Tak lama lagi bis akan datang, dan aku sudah tidak sabar untuk kembali ke panggung, kembali merusak telinga orang-orang, memberikan hiburan luar biasa untuk yang terakhir, di rangkaian tur jepang kami ini. Di rangkaian tur yang melelahkan, melelahkan fisik dan pikiran, dan memakan korban. Anin sudah jatuh sakit kemarin, dan hari ini mudah-mudahan dia sudah prima, dengan bantuan dan semangat dari Zee yang sekarang sudah bersamanya, menemaninya.
Ah, bis datang. Aku berdiri menyongsongnya. Berdiri menyongsong malam ini. Malam yang pasti akan lancar seperti sebelum-sebelumnya.
Shibuya, tunggu Hantaman.
--------------------------------------------
“Apa? Panas lagi?” teriakku ke Zee.
“Hey, ini biasa, he’s still weak and tired” jawabnya sambil melihat mukaku dengan aneh. Zee tampak menggunakan seragam tidurnya, training dan t-shirt yang senada, berjaga mungkin sedari malam, menemani Anin yang jatuh lagi dalam demam.
“Kok bisa ya…” bingungku sambil memutar otak. Ga jadi kita ancurin Shibuya dong malam ini.
“Bisa, he’s still too tired” Zee melirikku sambil mengganti handuk yang mengompres kepala Anin. Anin tampak melongo dengan lemah, menahan rasa tidak nyaman yang hadir dari demam.
“Terpaksa batalin aja dah” aku menggaruk kepalaku dengan malas, mungkin Kairi akan marah lagi, atau mungkin juga tidak.
“Jangan Ya” jawab Anin lemah.
“Bego, lo makin sakit ntar, sekarang demam karena flu, besok-besok jadi apa badan lo?” balasku.
“Ini terakhir, udah, tar sore sembuh kok” jawabnya.
“Mana ada tar sore sembuh, Stefan mana?” tanyaku.
“Stefan still sleeping” Iya sih, sekarang masih jam setengah sepuluh. Biasanya Stefan bangun menjelang makan siang. Dia pasti lelah juga, untung tidak jatuh sakit juga.
“Udah, batalin ah, gue ga mau lo makin ancur ntar, diopname disini gimana coba?” bingungku.
“Ih, kuat” jawabnya dengan senyum yang dipaksa.
“Listen to your friend” bisik Zee ke Anin, dengan muka yang cool tapi terlihat kekhawatiran di sudut matanya.
“Kuat kok”
“Nin”
‘Kuat”
“Nin”
“Kuat”
“Nin”
“Kuat”
“MANA SI KONTOL YANG SAKIT NYA BALIK LAGI?” mendadak Stefan muncul secara tiba-tiba di dalam, merangsek dari pintu, atau mungkin dia mendadak muncul disini lewat bantuan ilmu teleportasi yang dianugrahkan Iblis kepada Setan favoritnya.
“Jangan teriak teriak ah” balas Anin.
“Kacau ini” keluh Stefan sambil menyentuh leher Anin.
“Panas banget!!!”
“Ya, makanya udah gue bilang untuk batalin, dia gak mau” komentarku.
“Panasnya udah kayak neraka” keluh Stefan.
“Emang pernah ke neraka?” tanya Anin, mencoba bercanda.
“Tempat main lu tuh, Akihabara, neraka buat gue!” tunjuk Stefan entah kemana.
“Udah ga usah pada ribut, sekarang gue tidur dulu sampe makan siang, abis itu kan check sound, kuat kok” senyum Anin dengan penuh keterbatasan.
“CHECK SOUND DARI HONGKONG, BATAL AJA UDAH” balas Stefan.
“Kuat, jamin deh” senyum Anin sok manis.
“Nin, gimana sih… Batal aja….” kesalku.
“Udah kalo kalian maksa, voting aja, panggil Bagas…” lanjut Anin.
“Yaudah, bentar” Stefan mencoba keluar ruangan, tapi mmendadak mengurungkan niatnya. “Ya, elo aja deh, tar gue digampar lagi… takut gue…”
“Ah banci” kesalku sambil berjalan dengan gusar ke kamar Bagas. Aku ada di hadapan pintunya sekarang. Aku menarik nafas, dan berniat mengetuk pintunya. Tapi mendadak tanganku tak menemukan daun pintu yang akan kuketuk. Ah. Pintunya terbuka bersamaan dengan gerakan tanganku. Sial.
Bagas lalu mendadak muncul di depanku dengan pintu yang sudah terbuka, dengan memasang muka datarnya, dia sudah berpakaian lengkap, seperti sudah siap beraktivitas.
“Eh” aku kaget melihatnya.
“Kenapa?” tanyanya melihatku.
“Anin demam lagi”
“Iya, tau”
“Kita mau batalin manggung, tapi Anin gak mau, dia bilang suruh panggil elo, buat voting..”
“Oh” Bagas lalu keluar dari kamar, dan mengunci pintunya. Lantas kami berdua berjalan dengan langkah pasti ke kamar Anin.
Keempat personel Hantaman sudah lengkap, dan kini sedang berada di dalam kamar Anin.
“So?” tanyaku ke semuanya.
“Gas, mereka berdua mau batalin manggung karena gue sakit, tapi gue masih pengen main, jadi kita voting, dua suara ga mau lanjut, satu suara mau lanjut, yaitu gue, kalo elo?” tanya Anin dengan muka penuh harap.
Aku menarik nafas panjang, lebih karena tahu dan paham, Bagas yang ultra logis pasti memilih untuk tidak main, tidak manggung, tidak main musik, karena dia pasti tahu betapa tidak nyamannya main musik dalam keadaan demam, dan ada resiko untuk memperparah kondisi badannya. Sakitnya mungin memang hanya flu, tapi kalau kondisi badannya makin lemah, bisa juga makin menjaga demamnya tetap ada di dalam tubuh.
Kami semua memperhatikan Bagas menarik nafas, dan kemudian mengeluarkan jawabannya.
“Main” jawaban Bagas membuatku dan Stefan melongo.
“Gas gila lu ya?” bingungku.
“Imbang.........” komentar Zee. Dia melirik ke wajah bingung Stefan.
“Terus sekarang gimana dong kampret?” bingung Stefan.
“Don’t ask me” bingung Zee melihat situasi ini.
“Terus gimana? Main atau gak main?”
--------------------------------------------
BERSAMBUNG