Bab 4
Sonia berbaring di atas tilam kamar tidurnya sembari membuka aplikasi tinder di ponselnya. Ia sedang meninting mana saja yang menarik untuk dijadikan cinta satu malamnya di antara foto-foto profil yang masuk ke dalam jangkauan pencariannya, dan--kalau beruntung--akan "dipasangkan" untuknya. Matanya menyipit. Jemarinya berulang kali menyentuh layar untuk menggeser ataupun menekan. Satu demi satu profil yang ia temui ditelisik dengan saksama. Ia tak mau terjebak dalam perangkap kesialan ketika sedang bersenang-senang.
Ia kemudian berhenti cukup lama pada sebuah foto pria dengan rambut keriting bernama Bayu. Alisnya bertaut. Ia merasa mengenali sosok dalam foto itu. Ia seperti pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. Otaknya kemudian mencoba mengingat-ingat kembali wajah serupa yang pernah dilihatnya.
Matanya sontak membeliak. Ia teringat. Pria itu. Pria yang menolongnya di mall A. Tak pelak, Sonia segera menekan icon like untuk dia. Ia ingin berbicara dengannya. Ada yang seharusnya ia sampaikan sejak dulu: kata terima kasih.
Sebuah notifikasi segera masuk. Mereka telah "terpasang". Sonia pun mengirimkannya pesan.
"Halo. Mungkin kamu gak tahu, tapi kita pernah ketemuan sekitar sebulan yang lalu.
"Yang benar?" tanya Bayu. "Kamu yakin?"
Sonia mengetik jawaban. "Iya. Di mall A?"
Bayu tak kunjung membalas pesannya. Sonia lambat laun jengah. Bayu barangkali bukanlah orang yang sama dengan yang ia maksud. Dia hanya mirip belaka.
Jemari Sonia lantas mengetik dengan lesu. "Kamu tidak ingat dengan saya? Mungkin saya yang salah orang."
Sebuah pesan masuk.
"Tunggu."
Sonia mengernyit menunggu kelanjutannya.
"Sepertinya aku tahu. Kamu yang waktu itu lagi baca novel, kan?"
Sonia mengembuskan napas. Lega. "Benar. Saya kira sudah salah orang tadi."
"Sorry, sorry. Aku baru ingat."
Sonia lanjut mengetik. "Sebelumnya, saya mau mengucapkan terima kasih. Waktu itu belum sempat. Maaf."
"Tidak perlu. Respons orang bukan hal utama yang kucari. Aku menolong karena iba saja."
"I feel bad."
"Don't be. Gimana kalau kita ketemuan saja? Kita bisa bicara mengenai hal remeh-temeh lain."
Sonia belum berniat membalas. Bayu kembali mengiriminya pesan.
"Atau kalau kamu mau, kita bisa melakukan itu sembari berkeliling mengunjungi tempat-tempat menarik di kota ini seharian. Tidak perlu seks. Aku sudah menyusun planning-nya. Akomodasi aku tanggung semua. Bagaimana?"
Sonia mengerucutkan bibirnya. Pesan itu sungguh menarik sekaligus mencurigakan. Apakah Bayu bermaksud sungguhan atau hanya membual belaka? Atau justru ingin menjebak? Ia harus berhati-hati.
"Kamu bercanda."
"Enggak," balas Bayu. "Aku serius. Biasanya aku sendirian kalau trip begini. Tapi berhubung ada kamu, sekalian saja. Lumayan, ada teman."
Sonia menahan diri untuk tidak membalas. Terlalu banyak resiko yang menghadang. Ia tak mau pulang dalam bentuk debu, dan disebabkan karena salah memilih pasangan cinta satu malam bisa jadi merupakan berita kematian terkonyol yang pernah ia dengar.
Bayu mengiriminya pesan lagi. "Biar kamu percaya, aku bakal jemput kamu. Kamu yang pilih tempat. Aku tak perlu datang ke rumahmu. Kalau aku gak datang lebih dari tiga puluh menit, kamu bisa pergi dan mencoret namaku dalam hidup kamu. Sounds like a win-win solution?"
Sonia menimang keputusan yang akan ia buat. Setelah lima menit, ia menyerah. Ia tak bisa menolak tawaran itu. Bayu terlihat tulus dalam mengajukannya. "Ok."
"Yes. Di mana?"
"Di rumahku saja."
"Kamu yakin?"
"Iya."
"Baiklah. Besok aku jemput di sana jam sebelas pagi, ya?"
Selang beberapa detik, sebuah pesan dari Bayu kembali masuk.
"Eh, kamu sudah kerja atau masih kuliah?"
"Kuliah," Sonia menjawab.
"Ada kelas gak?"
"Tidak."
"Oke. Saya tunggu kamu besok, ya?"
"Ya."
Tidak ada balasan selanjutnya dari Bayu. Sonia pun mematikan ponsel.
-----
Sonia berdiri menatap wajahnya di depan kaca wastafel kamar mandi. Tangannya memegang sebatang gincu berwarna merah muda. Gincu itu dipoleskannya ke permukaan bibir secara perlahan dan merata. Sesudah itu, ia menyetuhkan bagian atas dan bawah bibir dengan cepat sebanyak dua kali. Itu adalah sentuhan akhir riasan wajahnya. Sonia meyakini kalau yang dilihatnya sekarang di kaca adalah penampilan terbaik yang bisa ia berikan untuk Bayu.
Telinganya kemudian menangkap suara mesin mobil yang menderu. Ia segera melesat ke dekat jendela kamarnya. Sebuah mobil sedan hitam telah terparkir di sana. Dari pintu kemudi, seorang pria berambut keriting keluar. Sonia tersenyum. Bayu sudah datang. Pria yang ditunggunya. Ia meletakkan gincu itu ke dalam sebuah rak kecil di dekat watafel dan kembali menatap wajahnya sendiri di depan kaca. Meyakinkan diri untuk yang terakhir kali. Ia lantas menyungar rambutnya sedikit sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar dan mengunci pintu kamar.
"Permisi."
Sonia segera menghampiri pintu rumah dan membukanya. Bayu terlihat santai untuk hari ini. Siap bersenang-senang. Pakaiannya terkesan kasual; kaus berkerah merah, celana jeans, dan sepatu kets.
"Hai," sapa Sonia.
Bayu tersenyum. "Hai. Sudah siap untuk hari ini?"
"Sudah." Sonia mengangguk. Ia pun keluar dari dalam rumah dan mengunci pintu. Bayu sempat melihat suasana rumah secara sekilas.
"Kamu sendirian?" Dia mengernyit. "Gak ada orang lain lagi kelihatannya di sini."
"Iya.”
Keduanya berjalan ke arah mobil.
"Orang tua kamu masih ada?" tanya Bayu.
"Masih," jawab Sonia. "Tapi... panjang ceritanya."
"Well," kata Bayu, "aku punya waktu seharian untukmu." Dia membukakan pintu mobil untuk Sonia. Sonia masuk ke dalam. Dia menyusul setelahnya lewat pintu kemudi. Setelah duduk, dia menoleh kepada Sonia. "Berceritalah."
Sonia tersenyum. Ia pun mulai bercerita sejak pertemuan awal kedua orangtuanya. Ia merupakan anak dari seorang janda dan duda beranak dua. Lima tahun setelah dirinya lahir, orangtuanya bercerai dan masing-masing menikah kembali dengan pasangan lain. Ia kemudian memilih tinggal bersama seorang sepupu dari ibunya.
"Nah, rumah ini hasil pemberian ayahnya ibu. Dia bekas tentara. Panglima, gitu. Waktu masih bertugas dulu, dia dapat hibahan rumah banyak dari dinas. Salah satunya ini. Daripada gak ada yang pakai, dikasih ke saya. Waktu itu, saya sudah SMA," jelasnya.
Bayu mengangguk, tampak mengerti. Dia kemudian mengernyit. "Gak takut sendirian?"
"Gak." Sonia menggeleng. "Sudah terbiasa."
Bayu tersenyum dan menyalakan mesin mobil. Sonia terdiam merenung. Ia memang terbiasa sendiri. Relasi keluarganya banyak, tetapi ia tidak menjalin hubungan dekat dengan mereka. Ia lebih suka menyendiri atau berkumpul dengan teman-temannya. Sebenarnya, ia menganggap teman-temannya sebagai keluarga, sementara keluarganya sendiri ia anggap sebagai teman. Berkebalikan.
-----
Mobil Bayu sampai di depan sebuah gedung TK. Keadaan gedung saat itu lumayan sepi. Sonia dan Bayu tiba di saat bel jam pulang sudah berdering setengah jam yang lalu. Sebagian besar murid tentu sudah pulang ke rumahnya masing-masing, diajak jalan-jalan, dan sekian banyak alasan atau lainnya.
Kurang lebih lima meter ke sebelah kanan dari tempat Bayu memarkirkan mobilnya, ada sebuah pemandangan yang berbeda: tenda panjang berwarna hijau memayungi ramai orang yang duduk di atas kursi plastik berwarna merah. Tempat itu adalah sebuah warung jajanan kaki lima yang menjajakan banyak jenis makanan.
"Saya gak pernah tahu tempat ini," ucap Sonia.
Bayu tersenyum sembari mematikan mesin mobil. "Di sana ada banyak pilihan makanan. Enak-enak semua.”
Mereka pun keluar dari dalam mobil dan berjalan ke arah warung kaki lima. Warung tersebut terbagi menjadi beberapa bagian. Dimulai dari yang paling dekat dengan posisi parkir mobil, yakni penjual sate ayam, lalu berjejer setelahnya: penjual baso, pecel, nasi goreng, dan ikan bakar yang terletak paling ujung.
Kedatangan mereka disambut dengan mengepulnya asap putih yang berasal dari satu alat pemanggangan panjang berwarna hitam. Puluhan potongan daging ayam yang ditusukkan ke dalam kayu dijejerkan dan dipanggang di atas bara yang menyala. Semerbak makanan itu menggoda siapapun yang lapar di sekitar, tak terkecuali Sonia yang sedari tadi di dalam perutnya sudah ada yang bernyanyi dengan nada konstan.
Setelah masuk ke dalam tenda, Sonia dan Bayu segera mencari tempat duduk. Mereka berhasil mendapatkan sebuah meja kosong yang letaknya berdekatan dengan penjual nasi pecel. Mereka pun duduk di sana.
Seorang pelayan berbaju oranye mendatangi keduanya dan memberikan daftar menu. Bayu memutuskan untuk memesan nasi pecel dan es jeruk, sedangkan Sonia memilih sate ayam, lontong, dan es teh manis. Pelayan tersebut pergi meninggalkan mereka setelah menerima pesanan.
"Sembari nunggu, kita ngobrol, yuk."
Ponsel Bayu tiba-tiba berdering dari saku celananya. Dia mengambilnya. "Sebentar, ya? Penting," katanya meminta izin kepada Sonia yang menggangguk. Dia lantas mengangkat panggilan.
Sonia mendengar percakapan itu. Dia tak mengerti detail percakapkan yang dilakukan Bayu dengan lawan bicaranya, tetapi berhasil menangkap sebuah fakta mengenai kehidupan Bayu: dia seorang pengusaha.
Bayu mengakhiri panggilan dan memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celananya. "Sorry. Sampai mana tadi?"
"Mau ngobrol," jawab Sonia. "Saya punya pertanyaan."
Bayu mengedikkan kepala. "Apa?"
"Kamu seorang pengusaha?"
"Iya."
Sonia mulai memandangi perawakan Bayu secara terperinci; matanya, rambutnya, bibirnya, hidungnya, kulitnya, lengannya. Bayu lantas mengernyitkan alis.
"Kenapa? Ada yang salah?"
Sonia tertawa kecil. "Kamu stereotipikal seorang pengusaha. Kulit agak legam, rambut berantakan... hobinya mengembara di jalanan, ya?"
"Kamu benar," jawab Bayu. "Tapi, tidak semua pengusaha seperti itu."
Sonia mengernyit. "Tapi, saya benar tentang kamu, kan?"
Bayu mengangguk.
"Pegang usaha apa?" Sonia lanjut bertanya.
"Elektronik," jawab Bayu agak lemah.
Sonia menyipitkan mata. Ia merasa ada sesuatu yang disimpan Bayu dari cara penyampainya. "Pasti bukan cuma itu saja."
Bayu terdiam sejenak.
"Aku sebenarnya paling malas menjawab pertanyaan itu." Dia menghela napas. "Aku punya banyak usaha."
"Sombong." Sonia memajukkan bibir, bercanda.
Bayu memuputkan napas. "Nah, itu. Itu yang kutakutkan."
Bayu kemudian menekur. Sonia yang melihat itu segera merasa bersalah. Ia sudah lancang dalam berucap.
"Sorry," katanya. "Lagi banyak masalah?"
"Ya... begitulah." Bayu mengernyit. "Kamu tahu apa soal pengusaha?"
"Tidak ada, kecuali stereotipikal seorang pengusaha." Sonia menyengir. "Dan Sutanto Kartali."
Ia mendadak tercenung dengan kalimat yang baru saja dilepaskan. Ia teringat dengan buah hati Sutanto, Clamidina, yang menjadi pujaan Angga. Ia merasa kasihan terhadap keduanya. Berita penangkapan Sutanto pasti menyakiti hati mereka.
"Bisa bicara hal lain?" ujar Bayu. "Aku sedang tidak ingin pusing." Dia tertawa kecil. "Kita bisa membicarakannya. Tetapi, itu akan membuat hari ini terkesan murung. Kita ingin bersenang-senang, bukan?"
Sonia tersenyum. "Kamu benar."
Tepat setelahnya, seorang pelayan kembali mendatangi meja makan dengan membawa serta dua piring berwarna merah dan kuning. Kedua piring tersebut diletakkan di atas meja. Piring berwarna merah di hadapan Bayu, sementara yang berwarna kuning di hadapan Sonia.
Di atas permukaan piring berwarna merah, terdapat nasi yang sudah diselimuti saus kacang dan ditumpuk oleh bermacam-macam sayuran seperti kangkung, kacang panjang, daun ubi, dan daun pepaya. Nasi tersebut juga diapit dua tempe goreng di sebelah kanan dan satu peyek berukuran cukup panjang di sebelah kiri.
Sementara di atas piring berwarna kuning, terdapat sepuluh tusuk potongan daging ayam dan potongan lontong, dengan permukaan berwarna coklat tua berupa bumbu campuran kacang dan kecap yang telah dihaluskan hingga mencair. Di pojok atas sebelah kanan piring itu terdapat cabai merah yang telah digiling dan irisan bawang bombai di bawahnya.
Kepulan asap kecil membubung dari kedua piring. Sonia dan Bayu masih saling memperhatikan. Keduanya terlalu segan untuk memulai makan terlebih dahulu.
Bayu akhirnya mengedikkan kepala. "Kamu saja duluan."
"Ok," Sonia menjawab. Ia lantas melahap suapan pertama dari makanan yang ada di hadapannya. Permukaan daging itu pun mendarat mulus; sebagian di giginya, sebagian lagi di lidahnya. Perpaduan rasa manis dan pahit dari bumbu dan daging yang dipanggang terasa meresap ke dalam pori-pori lidahnya, menghantarkan sebuah rasa legit yang langsung membuat benaknya meledak kegirangan.
"Wow, ini enak banget!" ucapnya berbisik dengan mata berbinar.
Dengan lahap, Sonia memasukkan semua makanan yang ada di piringnya ke dalam mulut. Keadaan yang begitu berbeda terjadi pada Bayu. Sejak makanan dihidangkan, dia tampak tertegun dan tak menyentuh makanannya sedikitpun.
"Kok, kamu gak makan?" tanya Sonia setelah menangkap pemandangan ganjil Bayu terhadapnya. Ia menghentikan kegiatan makannya. Jejak bumbu kecap tertera di kedua ujung bibirnya.
"Aku heran sama kamu." Bayu menggeleng-gelengkan kepala. "Makannya lahap banget? Kamu gak sempat makan kemarin?"
"Ini enak banget!" Sonia menujuk ke arah piring dengan cepat dan menggebu. "Dan seingat saya... saya masih sempat makan kemarin."
"Oke..." Balas Bayu sambil mengangguk-anggukan kepala, seperti mencoba memahami jawaban Sonia. Matanya kemudian melihat ke arah piring Sonia. "Kamu selalu makan dengan porsi sebanyak itu?"
Sonia mengedikkan bahu. "Ya, mungkin," jawabnya tidak yakin.
Bayu mengernyit. "Lalu kenapa kamu bisa tetap kurus?"
"Gen, barangkali," Sonia menjawab singkat, tak peduli. Nafsu laparnya masih membuncah. Ia pun kembali mengalihkan fokusnya untuk memberantas tuntas jajaran daging berwarna cokelat yang ada di hadapannya.
Bayu mencoba melahap pesanannya, sembari sesekali melirik Sonia yang begitu trengginas menghabiskan makanannya seperti manusia yang belum diberi makan berabad-abad lamanya.
Lima belas menit kemudian, Sonia berhasil menggasak dua piring sate berisi sepuluh tusuk beserta lontong dan dua buah es teh manis. Ia akhirnya terduduk lemah dengan wajah yang begitu terpuaskan.
"Eugh..." Ia beserdawa. "Aku kenyang sekali."
Bayu terkesiap. Matanya membeliak. "Pelankan suaramu."
Sonia seketika menutup mulutnya dengan telapak tangan. Matanya ikut membeliak. Ia lalu pelan-pelan menyingkirkan telapak tangannya dari mulut.
"Memangnya terdengar?" tanyanya dengan volume suara yang sedikit dikecilkan.
Bayu mengangguk. "Banget."
Sonia mengawasi keadaan sekitar. Seorang bapak yang duduk di belakangnya memperhatikan. Ia pun hanya mengembangkan senyum kepada bapak itu.
Bayu mengangkat tangannya ke udara dan memanggil seorang pelayan untuk meminta tagihan pesanan. Tak lama, pelayan itu datang membawakan tagaihan. Tertera angka enam puluh ribu di kertas tagihan itu. Sonia seketika mengambil sesuatu dari dalam tas.
"Aku saja yang bayar. Hanya itu, kan?" ujarnya sembari mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.
"Tak perlu. Biar aku saja," jawab Bayu sambil mengambil dompet yang ditaruhnya di saku belakang celananya.
Sonia menghela napas. "Jadi gak enak aku..."
"Gak apa-apalah. Aku yang ajak kamu ini, kok," balas Bayu dengan senyum. "A deal is a deal."
Sonia termangu. Kalimat itu sering memasuki lubang telinganya. Pengirimnya adalah seseorang yang begitu dikenalnya: Angga. Sonia tidak mengerti. Mengapa pula dia terbawa lagi dalam ingatannya? Ia sedang berjalan dengan pria lain. Apakah ini tanda-tanda dari alam yang memberitahu bahwa dirinya telah memlih pria yang salah? Atau justru pria yang tepat?
"Pikirin apa?"
Pertanyaan Bayu berhasil meruntuhkan pemikiran Sonia.
"Enggak." Sonia menggeleng. Dia lantas mengedikkan kepala. "Bayar saja."
Bayu mengambil uang dengan nominal enam puluh ribu dari dalam dompet; Sonia kembali menaruh uang yang telah ia keluarkan tadi kedalam dompetnya dan memasukkan dompet itu lagi ke dalam tas.
Mereka kemudian meninggalkan warung dan kembali ke mobil. Masih banyak tempat yang harus dikunjungi.
-----
Mobil Bayu menelusuri jalanan dengan kecepatan normal. Hanya tersisa satu tempat lagi bagi mereka untuk disambangi hari ini: kedai T. Kedai T adalah sebuah kedai makanan yang mengusung tema wildwest. Mereka akan makan malam di sana sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah Sonia.
Sonia yang sedang memandang ke arah jendela tak hentinya mengembangkan senyum. Perjalanannya sejauh ini amat menyenangkan. Bayu telah memperkenalkan sudut-sudut kota menarik yang tak pernah ia ketahui ataupun datangi sebelumnya karena keterbatasan dana. Bayu juga merupakan pribadi yang menyenangkan. Dia ramah, peduli, akas... semua hal yang baik.
Mobil Bayu akhirnya berhenti di depan kedai T. Mata Sonia langsung menangkap pemandangan bangunan dengan konsep unfinished wall. Tembok-tembok yang tersusun dari batu bata dibiarkan natural begitu saja, tanpa ditutupi dengan cat putih ataupun warna-warna pada umumnya. Terlihat juga pintu kecil dengan dua daun pintu yang dapat dibuka dari kedua sisi. Dari jendela yang ada di sebelahnya, dapat terlihat deretan meja kayu dan kursi bulat dengan warna coklat muda serta dinding kayu khas western.
Tetapi itu semua tidak menarik perhatiannya. Sebuah plang putih bertuliskan "closed" yang menggantung di jendela; inilah yang menarik perhatiannya.
Bayu juga melihat pelang tersebut. Tetapi, dia tampak tidak yakin. Dia keluar dari dalam mobil dan menghampiri pintu depan kafe untuk memastikan. Tak lama, dia kembali ke dalam mobil dan menghempaskan bokongnya di permukaan kursi sembari mengembuskan napas dengan keras. Bayu tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
"Ditutup lagi," gerutunya pelan. Dia kemudian menoleh ke arah Sonia. "Aku minta maaf. Aku gak sempat cek kemarin kalau ternyata tokonya tutup."
Sonia tersenyum. "Gak apa-apa."
Bayu terus memandang ke depan dengan nanar. Sonia melihat Bayu dan membuat apriori. Bayu mungkin sedang bertanya-tanya bagaimana bisa melakukan kelalaian seperti itu. Mengecek--bisa jadi--adalah sebuah hal kecil. Tidak perlu tenaga banyak. Tidak perlu waktu banyak. Tinggal membuka internet dan akan ada informasi yang tercantum di sana. Tetapi, untuk sebuah alasan yang dia sendiri tidak tahu, dia tidak melakukannya.
Itu membuat Sonia iba terhadap Bayu. Bayu telah memberikan hari yang sangat baik, dan kerikil permasalahan seperti itu tidaklah perlu dianggap menyusahkan. Yang terpenting adalah ia bahagia hari ini.
"Hei," panggil Sonia sedikit lebih keras. Bayu akhirnya menoleh.
"Gak apa-apa." Sonia tersenyum. "Aku sudah cukup senang kok hari ini."
"Tetapi, seharusnya kamu bisa lebih senang." Bayu berdecak. "Dan aku mengacaukannya."
Sonia menggeleng. "Tidak. Jangan mikir gitu."
Ia kemudian berpikir bagaimana caranya mengubah suasana hati Bayu agar kembali cerah.
"Bagaimana kalau saya yang menentukan tempat selanjutnya?" usulnya. "Tempat yang saya pilih pasti buka."
Bayu mengernyit. "Memangnya kamu punya?"
"Iya." Sonia mengangguk yakin.
Bayu mengedikkan bahunya.
-----
Sonia dan Bayu duduk di sebuah kursi kayu. Piring-piring tandas berserakan di meja. Bunyi mesin wahana permainan serta teriakan keseruan penumpang mengaung di telinga. Semerbak masakan laut yang sedang dipanggang menguar dan terendus hidung. Mereka tengah berada di sebuah pasar malam, baru saja selesai menikmati hidangan malam.
Bayu senantiasa memandang ke hadapan. Tempat itu terlihat cukup ramai dipenuhi manusia. Anak-anak berlarian, muda-mudi berpacaran, orang tua sibuk mencari anaknya yang kabur entah kemana; semuannya campur aduk. Wajahnya begitu sumringah. Dia telah menceburkan diri pada suasana keceriaan yang tidak palsu.
Di satu sisi, Sonia sedang memandangi wajah Bayu. Ia senang dengan ekspresi Bayu yang positif. Ia senang melihat orang bahagia. Menurutnya, itu adalah emosi terbaik yang dapat dikeluarkan manusia. Cerah. Menyejukkan.
Bayu kemudian berkata setelah menyadari dirinya sedang dipandang, "Aku kira kamu gak suka tempat yang kayak gini."
"Siapa bilang?"
Bayu menoleh kepada Sonia. "Ya, berdasarkan pengalaman saja. Setiap wanita yang kutemui di tinder selalu seperti itu. Ketika kubawa ke tempat ini, mereka tidak betah."
"Buktinya saya enggak." Sonia mengernyit.
"Makanya itu. Aku sepertinya sering sial. Beruntunglah bisa bertemu denganmu. Aku juga sesungguhnya lebih senang yang seperti ini. Tidak berpretensi."
Bayu kembali memandang ke arah kejauhan. Begitu meresapi. Sonia melihat Bayu. Ia ingin mengusulkan sesuatu kepadanya. Sesuatu yang akan membuat malam ini semakin menyenangkan.
"Kamu mau coba naik wahana?"
"Kalau kamu mau."
Sonia menunjuk salah satu wahana yang jika dilihat sekilas berbentuk seperti mahkota, dengan satu tiang berwarna hijau menjulang di dalamnya. Dari puncak tiang itu, terdapat tali-tali baja yang langsung terikat ke berbagai sisi kursi kayu berwarna merah yang melingkar.
Bayu agak tersedak melihat pemandangan itu. "Seriusan kamu mau langsung naik ombak banyu?"
"Iya." Sonia mengangguk.
Bayu mengernyit. "Gak mau yang lain dulu?"
"Gak."
Bayu menghembuskan napas panjang. Dia sebenarnya paling tidak suka menaiki wahana yang melibatkan gaya "putar" didalamnya. Masalahanya, hampir seluruh wahana di pasar malam melibatkan gaya tersebut. Dia jelas tak bisa berbuat apa-apa.
Mereka pun mulai mengantre di loket karcis untuk wahana ombak banyu. Seluruh kalangan masyarakat hadir di sana; anak kecil, anak muda, bahkan orang tua sekalipun.
Setelah mendapatkan tiket, mereka langsung mengambil posisi duduk di wahana ombak banyu. Lambat laun, semua kursi melingkar itu terisi penuh. Pemuda berjumlah lima orang kemudian datang dan mulai memutar kursi kayu melingkar itu ke arah kiri sembari berlari. Pelan-pelan, kecepatan wahana semakin meningkat. Para penumpang yang pada awalnya tenang sekarang berubah menjadi cemas. Sahut teriakan mulai terdengar.
“Aaaaaa."
Para pemuda itu tak peduli. Mereka tetap memacu wahana agar dapat berputar sekencang mungkin. Wahana berputar naik-turun seperti hoola hoop yang hampir lepas kendali dari perut pemainnya. Para pemuda itu dengan siaga bergelantungan ketika bagian kursi melingkar yang mereka tarik melayang ke udara.
Sonia berteriak kegirangan. Ia menyukai permainan itu. Ia gemar diputar-putar di udara. Merasakan angin menerpa wajahnya dengan begitu deras.
Sementara itu, Bayu hanya diam membisu. Dia sedari tadi mencengkeram erat pegangan yang berada terletak di belakang badannya. Matanya menatap tajam ke arah para pemuda yang bergelantungan, seolah tatapannya itu berupa mantra yang bisa membuat mereka segera khilaf dan menghentikan laju wahana.
Beberapa menit kemudian, wahana semakin lambat berputar. Gerakannya tak seliar sebelumnya. Lima pemuda itu sudah berhenti berlari dan mulai berjalan.
Meski wajah Bayu masih terlihat pucat pasi, dia akhirnya bisa bernapas lega. Wahana telah berhenti total. Dia pun segera turun dari kursi dan pergi meninggalkan Sonia yang masih meresapi sisa-sisa sensasi menaiki wahana. Dia bergegas menuju bagian pasar malam yang tak terlalu ramai. Setelah sampai, dia menghentikan langkah. Ditekannya kedua lututnya dengan tangan, lalu membungkuk ke depan.
"Hoek."
Dia ingin muntah namun tak ada yang keluar dari mulutnya.
Sonia yang terlambat sadar berlari menghampiri. Tangannya mengelus-elus punggung Bayu. Ia merasa ini akibat ulahnya sendiri yang terlalu memaksa.
"Maaf," katanya. "Seharusnya kamu kalau gak kuat bilang saja. Aku gak bakal nge-judge, kok. Daripada kayak gini."
Bayu terbatuk. Sonia mempercepat elusan tangannya di punggung Bayu.
"Gue gak apa-apa, kok. Tenang saja," ucap Bayu sebelum kembali batuk dan membuang ludah di tanah. Dia dapat melihat kunang-kunang bermunculan di matanya.
"Sebentar. Aku beli air mineral dulu," kata Sonia sebelum pergi ke warung yang berada tepat di depannya. Tak lama, ia kembali dengan sebotol air mineral. Ia langsung membukakan tutup botol dan memberikan botol itu kepada Bayu. Bayu meneguk isi botol dengan akas. Setengah dari isi air mineral di dalam botol langsung lenyap. Sonia kemudian memberikan tutup botol yang tadi ia pegang kepada Bayu. Bayu menutup kembali botol itu dengan sempurna.
"Mau ke mana habis ini?" tanya Bayu.
"Pulang saja," jawab Sonia. "Kasihan saya sama kamu."
Bayu mengernyit. "Tapi masih ada wahana yang lain. Rumah miring, tong setan-"
"Bukannya kita ada janji?" potong Sonia.
Bayu menyengir. "Oh, iya."
-----
Sonia membuka pintu kamarnya. Tangannya menekan saklar untuk menyalakan lampu. Ia kemudian mempersilahkan Bayu masuk ke dalam kamar. Bayu langsung memperhatikan seisi ruangan. Aksesoris, pernak-pernik, dan perabotan; semuanya tertata rapih.
Tiba-tiba saja ada sebuah tangan halus yang mengelus dadanya perlahan dari belakang. Sangat sensitif dan merangsang. Bayu pun berbalik ke belakang. Sonia tengah tersenyum intens. Bayu tampak terkesima melihat senyum itu. Senyum Sonia adalah senyum terindah yang pernah dilihatnya sepanjang dia hidup. Bayu tak bisa berkata apa-apa ataupun bergerak. Dia telah terpesona.
Keheningan bergelayut dengan ria di dalam kamar Sonia. Sonia dan Bayu terus bersirobok dalam diam. Keduanya terlihat yakin kalau malam ini akan dihabiskan dengan pesta birahi yang bergelora. Keduanya pun saling menunggu untuk menentukan siapa yang terlebih dahulu membakar bara. Akan tetapi, tiga menit berlalu, keduanya tetap bergeming pada posisinya masing-masing.
Lambat laun, mereka mengerti dengan keadaan canggung itu. Sesungguhnya, tidak ada satupun dari mereka yang menyediakan bahan percikkan maupun berniat menyediakan.
"Sonia?" Bayu akhirnya membuka pembicaraan.
"Iya?"
"Did you still want to..."
Sonia menggeleng. "No. Capek gue. But this is fun day, though. Thanks." Ia secara impulsif mengecup pipi Bayu.
Bayu mengernyit. Dia jelas terkejut menerima kecupan itu. "Kok dicium?"
"I just want to." Sonia tersenyum. "It's a compliment from me."
Hening sejenak. Bayu menyadari kalau itu adalah sebuah batas yang meyakinkan dirinya kalau Sonia tidak berharap lebih untuk hari ini. Tidak ada tindakan lain yang perlu dilakukannya untuk Sonia. Dia hanya perlu pulang. Hari telah berakhir.
"I'm happy with you," ucap Sonia lirih.
"So do i," Bayu membalas.
Sonia dan Bayu saling melempar senyum. Keduanya percaya kalau malam ini bukanlah pertemuan terakhir mereka.