Bab 6
Sebuah rumah yang berukuran kecil dan berwarna putih dibentengi oleh sebaris pagar berwarna hijau. Di balik pagar itu, terdapat beranda dan teras yang tengah memuat sebuah mobil sedan berwarna merah. Terakhir, sebuah plakat berwarna hitam dengan angka 70 terpacak di area dinding beranda.
Lani melihat itu semua. Sebuah pemandangan yang tak begitu asing baginya. Itulah rumahnya dulu, sebelum dirinya hijrah ke kota lain. Ia bermain, tumbuh, dan mengenal dunia di sana.
Tidak ada perubahan berarti yang terjadi pada rumah tersebut setelah sekian lama dirinya tak datang berkunjung. Yang berubah hanyalah cat tembok rumah dan pagar, yang kian hari kian pudar warnanya karena takluk dimakan usia.
Ia menghela napas. Jujur, dirinya tak siap. Ia tak pernah menyangka bahwa dirinya bisa berada di depan rumah ini hanya karena perbincangan remeh temeh yang terjadi di kamar hotel pada suatu malam, dengan satu perempuan yang tak pernah dikenalnya sebelumnya.
"Masuk ?" Tanya Dinar yang berdiri di sebelahnya.
Lani menggangguk. Ia mulai melangkah mendekat ke pagar rumah. Gerakannya sangat lambat. Kedua kakinya begitu kaku, seakan - akan ada batu berukuran besar yang terikat di pergelangan kakinya. Jantungnya berdegup kencang. Mungkin ini adalah momen paling menegangkan yang pernah dirasakannya, melebihi saat dirinya pertama kali tampil di atas panggung untuk bernyanyi, ataupun mengikuti ujian sidang di universitas.
Mereka berdua akhirnya sampai di depan pagar dan menyadari bahwa pagar itu digembok.
"Permisi." Ucap Dinar sembari menyentuhkan gembok ke pagar berkali - kali. Ia kemudian menghembuskan napas pelan sebelum menengok ke arah Lani. Lani hanya diam saja menatap rumah.
"Wajahmu pucat." Ucap Dinar.
Lani tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Itu pun tak sepenuhnya.
Pintu depan rumah tersebut seketika terbuka. Degup jantungnya sudah seperti ribuan TNT yang disulut oleh api, tak henti - hentinya meletup. Seorang wanita yang berusia kira - kira tiga puluh tahun kemudian keluar dari dalam rumah.
Alis Lani sekonyong - konyong bertaut. Ia bingung. Matanya memicing beberapa kali, namun hal itu gagal mengurangi kebingungannya. Ia tak kenal dengan wanita itu.
Wanita tersebut lalu berjalan mendekat ke arah pagar. Kini Lani bisa melihat lebih jelas wajah wanita itu. Ada sebuah tahi lalat di dagunya.
"Non Lani, ya ?" Tanya wanita itu sesampainya di depan pagar.
"Iya." Lani menjawab kaku.
Wanita itu tersenyum, membuka gembok pagar, lalu menggeser pagar, memberi jalan bagi Lani dan Dinar untuk masuk.
"Sebentar, ya ? Masuk saja." Wanita itu kemudian kembali ke dalam rumah. Lani dan Dinar pun masuk dan menunggu di beranda.
Lani tidak tahu berapa menit yang sudah ia lewati di beranda. Ia tak dapat menghitung. Ia bahkan sudah tidak tahu lagi apa yang dirasakannya. Sensor motorik yang ada pada tubuhnya seperti raib entah kemana.
Lalu munculah orang yang ditunggu. Sesosok perempuan dengan tinggi yang berada sedikit di atas Lani. Ada banyak kerutan yang terlihat di sekitar pipi dan dahinya, terlebih di bawah matanya.
"Halo, bu." Ucap Lani.
Tak ada balasan. Ibunya hanya menatapnya dengan kosong. Ketakutan itu masih menyelimuti Lani, malahan kian membesar, sebab tatapan itu terasa begitu tajam memporak - porandakan hatinya.
Ia sudah pasrah. Ia tak bisa melawan. Mungkin setelah ini, ia akan ditampar, ditendang, atau bahkan diusir. Tetapi ia tak peduli. Ia mungkin pantas menerima itu.
Ibunya mendekat.
Ini dia, pikir Lani. Ia pun mulai memejamkan matanya, mempersiapkan yang terburuk. Sesaat kemudian, ia merasa ada sesuatu yang mendarat pada tubuhnya. Tidak kasar, melainkan begitu lembut dan mesra. Ia membuka matanya perlahan.
Sang ibu ternyata tengah memeluknya.
"Kemana saja kamu, nak ?" Tanya ibu Lani begitu lirih.
Dan pecahlah kesenduan. Lani tak kuasa menahan air mata. Ia segera balas memeluk ibunya begitu erat, seakan - akan ini adalah pertemuan terakhirnya dengan sang ibu.
Melihat kejadian yang terjadi di depannya, Dinar pun ikut tak kuasa menahan tangis. Tangisannya bahkan lebih parah daripada Lani dan Ibu Lani. Sampai - sampai, ibu Lani harus berhenti memeluk Lani.
"Ibu yang baru ketemu sama anak ibu, kok justru kamu yang sesenggukan ?" Tanya ibu Lani.
Dinar tersipu sembari menghapus jejak air mata di pipinya.
"Oh iya, ini teman Lani. Namanya Dinar." Ucap Lani cepat – cepat mengenalkan. Ia pun sampai lupa.
"Salam kenal, bu." Sapa Dinar dengan nada suara yang bergetar. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Ibu Lani.
"Salam kenal juga." Jawab Ibu Lani sembari berjabat tangan. "Ya sudah, ayo kalian berdua masuk. Tih, buatkan mereka teh manis !"
"Iya, bu." Jawab sebuah suara perempuan dari dalam rumah.
-----
Tiga cangkir kosong berwarna putih masing - masing terletak rapih di meja ruang tamu. Wanita yang pertama kali mendatangi Lani dan Dinar di pagar itu kemudian mengisi masing - masing cangkir tersebut dengan teh hingga terisi penuh.
"Kenalkan, ini Ratih. Dia pelayan di rumah ini. Dia bekerja di sini tiga tahun setelah kamu pergi." Jelas Ibu Lani. Setelah selesai menuangkan teh, Ratih kemudian tersenyum kepada Lani dan Dinar, lalu pergi menghilang ke dalam dapur.
"Gulanya kalian ambil sendiri ya ? Itu di toples." Tunjuk Ibu Lani ke arah toples berwarna hijau yang terletak di meja. Lani dan Dinar mengangguk.
"Jadi, apa kabarmu ?" Tanya Ibu Lani.
"Baik, bu." Jawab Lani. "Ibu ?"
"Baik juga. Kamu sekarang kerja apa ? Masih jadi penyanyi ?"
"Oh, tidak." Lani menggelengkan kepalanya. "Aku sekarang pekerja lepas, bu. Jadi desaigner."
Ibu Lani mangut - mangut.
"Ibu, maafkan aku." Lani menghela napas, begitu berat. "Mungkin aku anak paling berdo-"
"Sudahlah." Potong Ibu Lani seketika. "Ibu sudah maafkan kok."
Lani sedikit tersentak. "Ibu tidak marah aku pergi begitu saja ?"
"Marah ? Buat apa." Ucap Ibu Lani. "Lagipula juga, ibu tahu, di saat - saat umur kamu seperti itu, kamu butuh kebebasan. Dipaksa balik, bakal buat kamu jadi rewel juga, kan ?"
Lani masih kesulitan menerima jawaban itu.
"Apa ibu tidak merasakan kesepian atau kesulitan ?"
"Memang.” Jawab Ibu Lani. “Setahun, dua tahun, ibu masih bisa tahan. Tapi lama - lama umur semakin tua, kita juga makin jadi seperti anak kecil, ya ? Manja, minta diurusi. Akhirnya, ibu pun mempekerjakan Ratih di sini. Mumpung kenalan tetangga juga."
Lani menghela napas. "Tapi aku-"
"Ibu tak peduli." Potong Ibu Lani. "Pokoknya yang ibu tahu, kamu sudah dewasa. Dan kamu, sudah bisa memilih jalan pilihan kamu sendiri. Ibu tidak peduli kamu mau balik atau tidak ke rumah ini. Yang jelas, ibu sayang sama kamu." Ia tersenyum. "Walaupun buktinya, kamu tetap balik kan ke rumah ini ?"
Lani akhirnya bisa tersenyum. Kelegaan itu bisa ia hirup sekarang, meski hanya sedikit.
"Oh iya bu," Ia menyerahkan barang - barang yang telah ia beli di pasar kerajinan sebelumnya kepada ibunya, "ini Lani beli selendang dan tas rajut buat ibu."
"Terima kasih." Ucap Ibu Lani. Dipandanginya kedua barang tersebut lekat - lekat. "Kamu itu buat apa susah - susah belikan ibu barang segala ?"
Lani mengernyit. "Ibu memang tidak mengharapkan sesuatu dari Lani ?"
Ibu Lani menatap Lani dengan tulus.
"Ya, ibu hanya sadar bahwa ibu juga sudah tua. Ibu tidak mau menganggu kamu. Barang - barang seperti ini apa bandingnya memang dengan kehadiran kamu di tempat ini sekarang ?"
"Kalau cucu dan suami Lani ?" Tanya Lani sedikit ragu.
"Cucu dan suami ?” Ibu Lani tertawa. “Enggaklah. Itu terserah kamu." Jawabnya. "Kalau kamu mau, silahkan. Kalau tidak juga tidak apa - apa. Itu semua ada di tangan kamu. Ibu tidak mau memaksakan kehendak. Mau kamu kawin punya anak, tidak punya anak, ibu tidak peduli. Kamu yang punya jalan hidup, kamu yang menentukan. Ibu hanya bisa membimbing saja. Pada akhirnya, semua diserahan ke kamu."
Lani cukup terkejut mendengar jawaban tersebut. Ia tak menyangka bahwa ibunya bisa berpikiran terbuka seperti itu.
"Aduh, maaf keasyikan mengobrol." Ucap ibu Lani tiba - tiba. "Saya lupa ada kamu.” Tunjuknya ke arah Dinar. "Siapa namanya tadi ?"
"Dinar." Ucap Dinar halus.
"Dinar." Kata Ibu Lani. "Sudah berapa lama kenal dengan Lani ?"
Dinar terlihat bungkam.
"Kemarin, bu." Jawab Lani.
"Hah, kemarin ?" Ibu Lani mengernyit.
"Iya." Jawab Dinar kali ini. "Kebetulan Lani dan saya tak sengaja bertemu di lounge hotel. Kami berkenalan dan," Dinar melihat ke arah Lani, "saya memutuskan untuk mengantar Lani kemari."
Ibu Lani kembali mangut – mangut mendengar penjelasan itu. Lani mengerti. Menceritakannya secara detail tentu akan sungguh rumit dan berbelit.
Ia lalu menyadari bahwa Dinar tengah melihat sebuah rak kecil di bawah meja ruang tamu yang didalamnya tersimpan bertumpuk - tumpuk sampul tebal berukuran besar dan berbahan kulit
"Ini apa ya ?" Tanya Dinar sembari mengambil sampul yang terletak di posisi paling atas.
"Oh, itu album foto." Jawab Ibu Lani. Mata Lani tiba - tiba membeliak. Bahaya.
"Jangan dibuka !" Sergah Lani kepada Dinar. Dinar menatap Ibu Lani untuk meminta persetujuan.
"Buka saja." Jawab Ibu Lani sembari menahan tawa.
"Nar…" Sergah Lani lagi. Kali ini lebih tegas.
"Tidak usah takut." Ucap Ibu Lani. "Lani takut karena ada aib masa kecilnya di situ."
Mendengar jawaban dari ibu Lani, Dinar tanpa basa - basi langsung membuka album foto tersebut. Lembar demi lembar pun dibukanya dengan bahagia; sementara mata Lani kian membeliak menatapnya.
Dinar berhenti pada sebuah halaman. Matanya tertuju pada sebuah foto anak perempuan berambut hitam yang sedang berada di depan anak - anak lain pada sebuah lomba balap karung.
"Ini Lani ya ?" Tanya Dinar sambil menunjukkan foto yang dimaksud kepada ibu Lani.
"Bukan." Jawab Lani ketus. Tentu saja itu dirinya.
"Iya. Itu Lani." Jawab Ibu Dinar membenarkan. "Waktu itu sedang lomba hari kemerdekaan."
Dinar tertawa. Lani hanya bisa menatap ibunya dengan kesal.
Dinar kembali membuka lembar demi lembar halaman foto album itu. Ia menemukan banyak sekali foto Lani di dalamnya: Lani sedang terduduk di tanah dan menangis, Lani sedang makan kue dan kuenya belepotan di pipi Lani, Lani tengah tersenyum sembari mengacungkan dua jari, dan beragam pose lainnya.
Hingga akhirnya Dinar tiba di penghujung halaman. Sebuah foto berukuran besar yang berisikan potret seorang laki - laki, ibu Lani, dan Lani cilik menempel di sana.
"Itu ayah Lani. Kami berpisah saat Lani berusia sepuluh tahun." Kata Ibu Lani sembari tersenyum. Ia nampak sudah hafal dengan foto tersebut tanpa perlu diperlihatkan Dinar.
"Kalau boleh tahu, sekarang beliau ada dimana ?" Tanya Dinar.
"Ibu tidak tahu." Jawab Ibu Lani. Dinar menutup album foto tersebut. Ibu Lani kemudian tersenyum.
"Kamu tahu Dinar ? Ibu berpikir bahwa hal terpenting yang harus kita lakukan di dalam hidup ini bukanlah menerima, namun merelakan." Lanjutnya. "Alasannya sederhana: karena hidup di dunia ini lebih banyak diwarnai dengan kekecewaan. Kebahagiaan, itu kamu cari; tetapi kekecewaan, kamu tidak perlu cari dia juga bakal menemukan kamu."
Dinar terkesima mendengar untaian kata demi kata yang mengalir dari mulut Ibu Lani tadi.
"Ibu kira - kira sudah cocok jadi motivator belum ya ? Lumayan, pekerjaan mereka hanya berbicara, lalu dapat uang. Dengan umur ibu sekarang, masih bisalah."
Sontak ketiganya langsung tertawa.
-----
Waktu tak terasa telah bergulir begitu cepat. Tak terhitung sudah berapa kali cangkir teh Lani, Dinar, dan Ibu Lani terisi dan kembali kosong. Mereka bertiga tidak akan mengakhiri kegiatan bincang - bincang itu jikalau ibu Lani tidak mengingatkan Lani dan Dinar bahwa dirinya sudah berjanji untuk mengikuti arisan di rumah temannya. Ia pun akhirnya mengantarkan Lani dan Dinar hingga ke depan pagar rumah.
"Kalau sudah sampai dan sempat, kabari ya ?" Ucapnya antusias.
"Pasti, bu. Pasti." Jawab Lani sembari memeluk ibunya. Setelah selesai memeluk Lani, Ibu Lani membuka pagar. Lani dan Dinar pun keluar menuju ke jalan.
"Hati - hati di jalan." Ucap Ibu Lani sembari menutup pagar.
"Iya." Jawab Lani dan Dinar serempak. Mereka berdua melambaikan tangan dan berjalan menjauh dari rumah Ibu Lani.
Lani tak henti - hentinya menyunggingkan senyum setelah keluar dari rumah ibunya. Ada kelegaan yang begitu menyenangkan meruas di dalam hatinya, menandakan bahwa sebagian kecamuk itu sudah mereda.
"Ibumu baik." Ucap Dinar tiba - tiba. "Dan berpikiran terbuka."
Lani dan Dinar saling memandang, kemudian tertawa.
Lani sendiri sebenarnya tidak mengerti apa yang baru saja ditertawakan mereka berdua. Namun yang jelas, ia merasakan jalinan koneksi yang menyamankan dengan Dinar.
Baginya, berbincang dengan Dinar adalah sebuah kegiatan yang sangat membius. Walaupun kegiatan itu tidak selalu berakhir dengan konklusi, ataupun titik tengah, ia sama sekali tidak merasa bahwa waktu yang dipakainya terbuang percuma begitu saja.
Lani kemudian memperhatikan wajah Dinar dengan seksama. Rambutnya yang ikal hitam, matanya yang berbentuk oval, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis.....
Dinar terlihat begitu sempurna saat itu.
Dan Lani pun menjadi gundah. Sesuatu membuncah dalam hatinya sekarang. Penuh dengan ketidakpastian.
Ia tersenyum pahit. Inilah sebagian kecamuk yang belum terselesaikan itu: kejelasan dari perasaannya terhadap Dinar. Jatuh cinta yang seutuhnya, atau hanya ledakan penasaran serta kegembiraan yang berpadu dan terbalut dalam efek cinta satu malam semata ?
"Mau kemana kita ?" Tanya Dinar menghancurkan pemikirannya.
"Tidak tahu." Jawab Lani menggeleng. "Terserah kamu."
"Kamu mau kemana ?" Tanya Dinar kembali sembari menatap Lani.
"Pantai."
Dinar mengedikkan bahunya "Ya sudah."
Dinar kemudian tersenyum. Namun kali ini, Lani merasa ada yang aneh dengan senyuman itu.
Oh, benar. Ia tadi baru saja memberikan tatapan 'aku jatuh cinta padamu'nya terhadap Dinar.
-----
Lani dan Dinar sedang berada di dalam taksi menuju pantai. Cuaca yang tidak begitu panas ditambah dengan pendingin ruangan mobil yang diatur oleh sang sopir pada tingkat paling dingin membuat hawa taksi menjadi sangat sejuk.
Sebuah ponsel lantas berbunyi. Lani merogoh tasnya, namun tidak mendapati adanya pesan maupun panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. Ia menengok ke samping dan mendapati bahwa Dinar juga tengah merogoh tas. Suara dering ponsel kemudian menjadi terdengar jelas ketika tangan Dinar bergerak di dalam tas. Dinar akhirnya berhasil mendapatkan ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut.
Lani memilih untuk menatap jendela mobil, seakan tak peduli. Namun telinganya yang menganggur sebenarnya mendengarkan perbincangan Dinar.
Awalnya Dinar masih menyapa dengan santun. Tetapi lambat laun, ia terdengar semakin kesal dengan orang yang sedang berbicara dengannya. Ragam rutukkan dan nyap - nyap mengalir dengan luwes dari mulutnya.
Dan akhirnya, Dinar mematikan panggilan tersebut secara paksa.
"Siapa ?" Tanya Lani.
"Pacarku." Jawab Dinar. "Ia sedikit kesal karena tak diberitahu dimana keberadaanku sejak tadi pagi."
"Memangnya kenapa ?"
"Ia juga sedang datang berkunjung ke kota ini dan menginap di rumah saudaranya. Ia berencana untuk membawaku ke rumah saudaranya. Rumah saudaranya memang cukup besar."
Lani mengalihkan padangannya ke Dinar. Ia telah melupakan sebuah fakta bahwa Dinar, kenyataannya, telah mempunyai pacar.
"Aku belum bertanya mengenai dia sejak kita pertama kali bertemu." Kata Lani. "Sudah berapa lama berpacaran dengannya ?"
"Kurang lebih lima tahun. Dia pacar terlamaku." Ucap Dinar sembari menggaruk rambutnya. "Semua mantanku tak pernah selama itu. Maksimal dua tahun." Ia tertawa kecil. "Dan sepertinya kami akan menikah sebentar lagi."
"Menikah ?" Tanya Lani.
"Iya.” Dinar mengangguk. “Kami merasa bahwa hubungan ini sudah sepantasnya dibawa ke jenjang yang lebih tinggi. Belum ada tanggal pastinya memang, ini baru wacana."
Lani mengernyit. "Bagaimana dengan pekerjaanmu ?"
"Pekerjaanku baik - baik saja." Jawab Dinar. Ia terlihat tidak mengerti.
"Maksudku," Lani mencondongkan badannya ke arah Dinar, "dengan kamu kawin, bukankah itu beresiko untuk menghambat perkembangan karirmu ? Kamu kan masih bisa berkembang, mengumpulkan uang sebanyak - banyaknya." Ia mengambil jeda. "Lagipula, dia belum tentu pasangan hidupmu kan ?"
"Tunggu." Dinar mengernyit. "Apa maksudmu berkata seperti itu ?"
Lani berpikir sejenak.
"Maksudku, pernikahan bukanlah kunci dari segalanya. Kita tidak seharusnya tunduk pada pernikahan. Resiko cerai begitu tinggi. Dan masalah - masalah yang akan datang setelahnya juga akan jauh lebih rumit-"
"Hei !" Potong Dinar. Tatapannya menjadi begitu tajam. "Pilihanku adalah pilihanku, bukan pilihanmu. Kamu beruntung punya ibu yang berpikiran terbuka. Semua keluargaku adalah penganut patriarki yang menggila. Ayahku tiap hari menyuruhku untuk menemukan calon suami yang mapan dan pintar. Ibuku menyuruhku untuk berhenti bekerja karena menurutnya wanita tak pantas untuk bekerja dan pantasnya hanya melayani pria. Lalu kakakku selalu meledekku karena dengan umurku yang sekarang, aku belum kawin juga. Coba kamu berada di posisiku. Setiap hari mendengarkan racun yang terus merusak kepalamu dan membuat harimu menjadi sampah. Apa yang akan kamu lakukan ?"
Lani mengedikkan bahunya. "Memberontak saja." Ucapnya pelan.
Dinar menoleh ke depan. "Pak, tolong menepi."
Lani pun menyadari sesuatu. Dinar geram mendengar ucapannya.
"Hei, aku hanya mengutarakan pendapatku." Ucap Lani. Dinar tak menggubris.
"Masih jauh pantainya, neng." Kata sang supir taksi. "20 km lagi."
"Tidak apa - apa. Antarkan temen saya saja, pak." Ucap Dinar.
Sang sopir taksi awalnya terlihat bingung. Tapi, apa boleh dikata ? Ia pun terpaksa menuruti. Taksi lantas menepi di sebuah jalan yang hanya dikelilingi persawahan serta beberapa warung, dan Dinar langsung turun setelahnya.
Tanpa berpikir panjang, Lani melihat layar argo, memberikan jumlah uang sebesar yang tertera di layar tersebut pada sopir taksi, lalu ikut turun menyusul Dinar. Taksi itu pun segera pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kamu kenapa sih ?" Tanya Lani.
"Kamu masih tanya aku kenapa ?" Tanya Dinar mengamuk. Ia berbalik menghadap Lani. "Itu bukan urusanmu, mengurusi apakah aku mau kawin atau mengejar karir !"
Lani menelan ludahnya.
"Dan menurutmu kabur itu mudah ?" Tanya Dinar.
"Tidak-"
"Memang tidak." Potong Dinar.
"Aku mulai curiga." Ucap Lani tidak mau kalah. "Kamu sebegitu putus asanya untuk kawin karena desakan keluargamu atau kamu capai karena sering putus ?"
"Tutup mulutmu !" Sentak Dinar. "Kamu berbicara tentang berani, berani..... kamu tidak akan datang ke rumah ibumu kalau aku tak mengajakmu !" Teriaknya penuh amarah. "Dan kalau kamu berani, kamu seharusnya sudah memberi tahu perasaanmu yang sebenarnya kepada wanita pujaanmu di SMA !"
"Jangan bawa - bawa dia !" Sentak Lani tak kalah keras.
Dinar mendorong pelan bahu Lani. "Kenapa jangan dibawa ?"
"Dia tidak penting lagi sekarang." Jawab Lani dengan suara yang kecil.
"Lalu apakah jumlah banyaknya aku putus juga penting terhadap pernikahanku ?" Tanya Dinar sembari bertolak pinggang.
"Ya." Jawab Lani sembarang. Ia juga sudah ikut naik darah. "Kamu gila."
"Memang aku gila !" Balas Dinar. "Kamu pikir siapa perempuan yang mau mendatangimu malam - malam di lounge hanya untuk berbicara, terlebih dengan wajah kusutmu itu ?"
Lani terdiam.
"Dengar, Lani. Kamu mau tahu alasan sebenarnya kenapa aku mau berbicara denganmu ?" Dinar mendekat dan berbisik di telinga Lani, "Supaya aku bisa merasakan vaginamu."
"Kurang ajar !" Lani mendorong keras Dinar hingga nyaris terjatuh.
"Kamu tak lebih dari seorang perempuan pengecut !" Teriak Dinar.
Kesabaran Lani telah habis. Ia pun memilih untuk pergi meninggalkan Dinar.