Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Rekah Dua Bulan

Bimabet
tak menyangka:baca: menemukan novel tak bersampul diantara tumpukan bacaan dideretan rak. seruu!:thumbup namun:bingung: mana ini lanjutan nya??!?
ada yang:huh: tau nggak!?
alamaak:bata: ini baru saja mulai..
..
..
..
:mancing:.:malu:.......
*ayo dong!
 
Bab 4

Setelah berjalan dari hotel kurang lebih tiga ratus meter ke arah kiri dan masuk melewati sebuah gang, Lani dan Dinar akhirnya tiba di depan kedai yang dimaksud oleh Lani. Kedai tersebut sebenarnya adalah sebuah rumah yang disulap sedemikian rupa agar bisa menjadi sebuah kedai. Alih - alih sebuah pintu dan ruang tamu di bagian muka, rumah itu justru memiliki sebuah ruangan luas tak berpintu dan tak bersekat dinding, yang memungkinkan pengunjung untuk bisa leluasa masuk dan keluar kedai.

Di dalam ruangan itu sendiri, terdapat lima buah meja yang dilengkapi dengan masing - masing empat buah kursi di setiap mejanya, di area tengah; dua buah meja panjang dan kursi panjang yang melintang di sisi kanan dan belakang ruangan; satu tempat memasak, lengkap dengan peralatan memasaknya, di sisi kiri ruangan; dan tak ketinggalan pula, di sudut pojok kiri dekat tempat memasak, ada sebuah pintu berkaca yang menghubungkan ruangan tersebut dengan ruang keluarga yang dimiliki sang pemilik kedai (setidaknya itu yang diyakini oleh Lani, karena sedari tadi dirinya melihat dengan samar - samar dari pintu berkaca tersebut bayangan dua orang anak yang sedang asyik menyaksikan layar televisi.)

Lani dan Dinar kemudian melangkah masuk ke dalam kedai. Sejauh mata Lani mengamati, hanya ada tiga orang yang berada di dalam kedai tersebut.

"Apakah tempat ini selalu sepi ?" Tanya Dinar.

"Ya." Jawab Lani. "Aku sendiri tidak tahu kenapa. Yang jelas makanannya di sini enak."

"Mungkin karena tempatnya terpencil ?" Tanya Dinar lagi.

"Mungkin." Jawab Lani sembari mengedikkan bahunya.

Lani dan Dinar lantas memilih untuk duduk di kursi panjang yang terletak di sisi belakang ruangan. Setelah duduk, Dinar sibuk memperhatikan dinding kedai. Permukaan dinding yang berwarna merah muda tersebut dipenuhi dengan kalender. Total, ada sepuluh kalender dengan tahun dan bulan yang sama terpacak di dinding ruangan itu, lengkap dengan model perempuan yang berbeda - beda di tiap kalendernya. Ia juga sepertinya menyadari bahwa diantara banyaknya ruang di dinding yang telah terpakai, tidak ada satu jam dinding pun yang hadir di sana.

Dirinya mungkin tidak mengerti kenapa sang pemilik kedai mau melakukan hal itu. Apa alasannya ? Daripada menghabiskan ruang di permukaan dinding dengan memajang kalender yang tak ada perbedaannya (kecuali gambar model perempuannya), sang pemilik seharusnya bisa memilih untuk melepas beberapa kalender dan mengisinya dengan jam dinding. Toh, jam juga memiliki fungsi yang tak kalah penting dengan kalender.

Seorang ibu yang berpakaian daster berwarna kuning kemudian mendatangi Lani, lengkap dengan pena dan kertas nota di tangannya.

“Mau pesan apa ?”

“Nasi kuning saja.” Jawab Lani. “Kamu, Nar ?”

Mata Dinar masih terpaku pada dinding kedai.

"Woi." Ucap Lani tiba - tiba tepat di telinga Dinar. Dinar pun tersentak dan menoleh ke arah Lani.

"Dari tadi melamun saja..." Tegur Lani. "Kamu mau pesan apa ? Ibunya sudah menunggu."

Dinar menoleh.

"Maaf, maaf..." Ucap Dinar kepada sang ibu. Ibu tersebut membalasnya dengan sebuah senyum yang terasa begitu tulus.

"Saya pesan....."

Dinar kemudian terdiam. Ia sepertinya belum memikirkan apa - apa dan tidak tahu menu apa yang tersedia di kedai tersebut.

Lani akhirnya menyodorkan menu kedai yang tergeletak di meja kepada Dinar. Dinar pun langsung mengambil menu tersebut, membacanya, dan menemukan menu yang akan dipesan dalam waktu kurang dari sepuluh detik.

"Nasi rawon."

"Minumnya ?" Tanya sang ibu.

"Es teh manis saja." Jawab Dinar.

"Dua." Sambung Lani segera.

Ibu tersebut lantas tersenyum, lalu pergi meninggalkan mereka, sebelum menghilang diantara tempat memasak.

"Kamu kenapa sih ? Ada permasalahan beratkah yang sedang kamu pikirkan ?" Tanya Lani.

"Tidak." Jawab Dinar sembari menggelengkan kepalanya. "Aku hanya heran kenapa kedai ini memasang banyak sekali kalender."

Lani pun tak bisa menahan diri untuk ikut memandangi dinding.

"Padahal semuanya sama. Bulan dan tahunnya." Lanjut Dinar.

"Entahlah" Jawab Lani. Ia lalu menatap Dinar. "Mengapa kamu bertanya tentang hal yang tidak penting ?"

"Karena terkadang yang tidak penting itu justru yang menarik." Dinar tersenyum.

Lani mengernyitkan dahinya, tanda tidak mengerti.

"Ah, sudahlah." Ucap Dinar. "Ucapanku tidak usah digubris." Ia rupanya menyadari bahwa ucapannya memang terkadang tak jelas dan tak penting.

Ia kemudian melihat sebuah koran yang tergeletak di ujung kiri meja panjang, dekat tempat memasak. Ia pun bangkit berdiri dan mengambil koran tersebut.

"Kita lihat ada berita apa hari ini." Ucap Dinar sembari berjalan dan duduk kembali di tempat duduknya. "Berita tentang anggota DPR, kemacetan ibu kota, berita olahraga.... standard." Lanjutnya sambil membuka halaman koran satu persatu. Ia pun akhirnya berhenti di satu halaman.

"Ramalan zodiak minggu ini: Capricorn. 21 Desember - 19 Januari. Peruntungan: Problem muncul secara tiba - tiba, untuk itu segera diatasi secepat mungkin, tidak perlu menunggu nanti karena jika terlambat maka akan semakin rumit untuk diselesaikan. Karier: Jujur saja. Kesehatan: Tidak ada salahnya mencoba untuk berjalan-jalan di pagi hari ataupun berolahraga ringan karena bagaimanapun juga kesehatan anda memerlukan hal tersebut."

Ia mendongak dan menggeleng - gelengkan kepalanya, sebelum kembali lanjut membaca.

"Keuangan: Pemasukan masih cukup deras mengalir walaupun kebutuhan juga tampak semakin membengkak saja. Asmara: Gapailah keinginan anda tersebut selagi kesempatan untuk itu sedang terbuka lebar."

Ia menggemeretakkan giginya.

"Aquarius. 20 Januari - 18 Februari. Peruntungan: Bila ada persoalan segera saja dicari pemecahannya, jangan tunda-tunda nanti, segera saja diselesaikan karena lebih cepat itu akan lebih baik. Karier: Tak perlu ikut campur urusan orang lain. Kesehatan: Masih baik dan berjalan seperti apa adanya, walau begitu tenaga sebaiknya tetap dijaga dan jangan terlalu diforsir. Keuangan: Tiada artinya pemasukan yang tinggi jika tidak bisa diatur dengan baik."

Ia mendengus kesal. Masih ada sisa ramalan untuk zodiak aquarius yang tercetak di koran, namun ia sepertinya sudah tak peduli. Ditaruhnya koran itu di atas meja.

"Apakah kamu percaya dengan ramalan zodiak ?" Tanyanya sembari menatap Lani.

Lani diam tak menjawab.

"Astaga, kamu percaya dengan hal seperti itu ?" Terkanya.

Lani memajukkan bibirnya. "Ya, lumayan."

Dinar kembali mendengus mendengar jawaban itu. "Apa yang kamu harapkan ? Ramalan zodiak itu hanya menceramahi kita dengan hal - hal yang begitu 'stereotipe'."

"Seringkali aku merasa apa yang dibicarakan dalam zodiak itu benar." Jawab Lani berusaha membela diri.

"Nah itu." Kata Dinar seketika. "Ya, tidak ada salahnya mencoba untuk berjalan-jalan di pagi hari ataupun berolahraga ringan karena bagaimanapun juga kesehatan anda memerlukan hal tersebut...... Well, semua orang butuh kesehatan yang baik, tidak hanya pemilik zodiak capricorn saja." Jelas Dinar berpendapat.

"Bila ada persoalan segera saja dicari pemecahannya, jangan tunda-tunda nanti, segera saja diselesaikan karena lebih cepat itu akan lebih baik. Hei, itu juga nasehat yang cocok untuk setiap orang. Setiap orang selalu menunda - nunda, tidak perduli apa zodiaknya." Jelas Dinar lebih lanjut. "Lagipula, siapa saja bisa berceramah seperti itu."

Lani hanya memperhatikan meja kedai, tak ambil pusing dengan ucapan Dinar.

"Dan kalau menurutmu aku adalah seorang aries, yang katanya selalu keras kepala, kamu salah.” Kata Dinar. “Aku capricorn."

"Dan menurutmu hantu lebih masuk akal daripada zodiak ?" Tanya Lani dengan seringai yang begitu mentereng di wajahnya.

"Jelas." Jawab Dinar yakin.

"Apa buktinya ?" Tanya Lani sembari menatap mata Dinar.

"Semalam, kita berdua diganggu."

"Tapi kita belum tahu apa penyebabnya."

"Siapa lagi ?"

Perbincangan mereka terputus manakala sang ibu yang memakai daster tadi membawakan dua gelas es teh manis yang sudah dipesan Lani dan Dinar. Segera setelah kedua gelas tersebut mendarat di meja, Dinar langsung mengambil salah satunya dan mengaduk gula yang masih terendap di dasar gelas tersebut dengan sedotan. Ia sepertinya bisa merasakan betapa tenggorokannya meronta - ronta dan memohon untuk segera dilintasi kesegaran.

"Sebenarnya apa pekerjaanmu setelah kamu ‘mengundurkan diri’ menjadi penyanyi ?" Tanya Dinar usai menyeruput isi gelas es teh manis miliknya. Ia sudah pasti tak berniat untuk melanjutkan pembicaraan mereka tentang zodiak sebelumnya.

"Freelance. Kebetulan aku suka menggambar dan cukup senang fashion, jadi aku bertugas sebagai desainer baju. Siap menunggu panggilan." Jawab Lani. "Kamu sendiri ?"

"Pegawai kantor. Biasa." Jawab Dinar datar.

"Kantor apa ?"

"Asuransi."

"Berarti sekarang sedang cuti ?"

"Ya, aku sedang mengambil cuti. Kebetulan, aku belum pernah mengambil jatah cutiku selama tiga tahun bekerja, dan karena kepalaku akhir - akhir ini sedang bergolak luar biasa, aku putuskan untuk mengambil jatah cuti selama tiga hari, sebelum aku jadi semakin gila."

Dinar kembali meneguk isi gelas setelah menyelesaikan kalimat panjang itu.

"Apa kamu betah di sana ?" Tanya Lani.

"Yah, kamu harus siap sedia di kantor dari senin sampai jumat, pukul sembilan pagi hingga lima petang." Jawab Dinar.

"Aku tidak akan bisa seperti itu." Tanggap Lani seketika. "Aku lebih suka diberi kebebasan. Bisa bangun siang."

"Tapi untuk urusan uang ?" Sergah Dinar.

Lani tersenyum kecut.

"Ya, sepertinya kamu sudah cukup tahu bagaimana dunia freelance bekerja." Ujar Lani. "Menunggu uang cair itu rasanya sungguh menyebalkan. Dan nominalnya pun tak sebanyak pekerja kantor. Untungnya, aku masih punya sisa tabungan penghasilan saat aku menjadi penyanyi. Mungkin jika nanti sudah habis, aku akan melamar jadi pegawai kantor juga."

Tiba - tiba terdengar sebuah bunyi dering masuk telepon. Lani langsung meraba isi tasnya dan mengeluarkan ponselnya dari tas itu.

"Maaf, ada yang menelpon." Kata Lani sembari menatap layar ponselnya.

"Iya, angkat saja." Balas Dinar.

Lani mengangkat panggilan itu. Tidak ada pembicaraan yang berarti. Yang keluar dari mulutnya hanyalah kata ya, tidak, mungkin, nanti, dadah, lalu pembicaraan pun selesai.

"Panggilan pekerjaan ?" Tanya Dinar.

"Bukan temanku." Jawab Lani.

"Ohhh....."

"Ia selalu suka memek."

"Memek ?" Dinar mengernyitkan alisnya. "Maksudmu vagina ?"

Lani tertawa kecil. "Bukan. Merengek."

Dinar terlihat bingung. Ia mungkin mengira lidah Lani terpeleset dalam mengucapkan kata.

"Kamu tidak pernah membaca KBBI ?" Tanya Lani kepada Dinar, yang langsung dijawab dengan sebuah gelengan kepala. "Kalau kamu mencari kata memek di KBBI, kamu akan menemukan bahwa arti sebenarnya dari kata memek adalah merengek."

"Lalu memek yang satu lagi itu apa ?" Tanya Dinar lebih lanjut.

"Itu bahasa gaul, tapi aku tidak tahu darimana asal muasalnya." Jawab Lani.

Dinar menggelengkan kepalanya. "Hahahaha.. Lucu juga ya ? Aku tidak tahu."

"Dan hal yang lebih lucu lagi adalah kita, dua orang wanita, membicarakan memek, di sebuah kedai pada pagi hari, saat sarapan." Kata Lani.

"Kita berdua memang aneh." Ucap Dinar menimpali.

Gangguan hadir kembali. Kali ini, sang ibu telah datang membawa sebuah nampan, yang di atasnya sudah terdapat dua buah piring dan satu buah mangkok makanan, masing - masing berbeda warna. Satu piring berwarna merah polos berisi nasi kuning, telur rebus, teri, tempe, dan ayam, diberikan kepada Lani; sementara piring lainnya yang berwarna hijau tosca dan berisi nasi putih, juga mangkok berwarna putih dan bercap ayam jago yang berisi lautan kuah berwarna cokelat dengan daging - daging sapi empuk yang sedang berendam, diberikan kepada Dinar.

"Sebaiknya kita berhenti bicara dan mulai makan." Kata Lani.

Dinar mengangguk setuju dan mereka berdua memakan itu semua dengan begitu nikmat. Nihil kata, hanya melahap.

-----

Dinar dan Lani sudah berada di luar kedai. Dua piring, dua gelas, dan satu mangkuk makanan yang isinya tandas tak bersisa menjadi bukti keganasan Lani dan Dinar dalam menyantap sarapan. Namun hari masih cukup panjang untuk dilalui, dan rasa - rasanya semua itu setimpal.

"Kemana kita sekarang ?" Tanya Lani.

"Beli kado ulang tahun ibumu." Jawab Dinar. "Di pasar kerajinan saja, biar kamu bisa bebas memilih." Tambah Dinar menyarankan. Lani mengangguk setuju.

"Apa kamu tahu nomor telepon taksi di kota ini ?" Tanya Dinar.

"Biar aku cari di internet." Jawab Lani cepat sembari merogoh isi tasnya dan mengambil ponselnya. Ia lantas membuka laman internet, lalu mengetik sebuah nama perusahaan taksi dan melakukan pencarian di sana.

"Lani ?" Panggil Dinar.

"Iya ?" Jawab Lani dengan mata tertuju seutuhnya pada layar ponsel.

"Aku ingin bertanya." Kata Dinar. "Sebagai 'mantan' artis, apakah kamu pernah mencari namamu sendiri di google ?"

"Buat apa ?" Tanya Lani. "Memangnya aku tidak punya kerjaan ?"

"Ya..... aku hanya bertanya." Jawab Dinar. "Aku penasaran, apakah di laman internet ada berita mengenai kamu, mungkin dengan headline berita seperti: Masih ingatkah kamu dengan pelantun lagu ‘Hari’ ? Inilah kabarnya sekarang, lengkap dengan gambar instagrammu-"

Lani seketika beralih menatap Dinar. "Sialan." Ucapnya sembari mendorong pelan bahu Dinar. Dinar tertawa.

"Lagipula aku tak punya instagram." Lanjut Lani.

Dinar berhenti tertawa.

"twit**ter. Dan facebook. Dan snapchat. Dan berjuta aplikasi sosial media lainnya." Jawab Lani sambil kembali menatap layar ponselnya. Belum ada hasil pencarian yang masuk di ponselnya. Jaringan sinyal yang ditangkap ponselnya menunjukkan hasil yang kurang baik.

"Kenapa ?" Tanya Dinar.

"Itu semua racun. Membuka hal tersebut setiap hari hanya akan membuat pikiranku semakin ruwet. Stress karena kegiatan hari - hariku itu sudah cukup, tak perlu ditambah dengan hal lain seperti sosial media." Jelas Lani. “Belum lagi factor keamanan. Sebagai contoh, setiap kamu membuat e-mail atau akun sosial media, kamu sudah membagikan informasi pribadimu secara cuma - cuma kepada orang - orang yang tidak kamu ketahui."

Lani menatap Dinar.

"Itu juga yang menyebabkan pekerjaan 'mata - mata' tak lagi berdengung begitu hebat sekarang. Untuk mengetahui keberadaan lokasi seseorang, kamu tidak perlu susah payah menyuruh orang lain untuk melacak orang yang kamu cari. Toh, alat pelacaknya ada di tas kamu kok. Ponselmu sendiri." Lani mengedikkan kepalanya ke arah tas Dinar di akhir kalimat.

"Tetapi karena manusia adalah mahluk sosial, dan tidak berhubungan sama sekali dengan orang lain sama saja dengan bunuh diri perlahan - lahan, maka aku pun ‘terpaksa’ punya ponsel, alamat e-mail, dan lain - lain." Lanjut Lani. Ia kemudian memutuskan untuk kembali menatap layar ponsel.

"Aku tak akan bisa melawan semua itu, kecuali aku hacker…"

"Mungkin." Ucap Lani dan Dinar secara bersamaan. Keduanya pun saling berpandangan dan tertawa.

"Aku sudah bisa membacamu sekarang." Kata Dinar seraya menunjuk - nunjuk Lani. Lani hanya membalasnya dengan sebuah senyum, sebelum kembali menatap layar ponsel.

"Aku sudah dapat nomornya." Kata Lani. Ia pun membuat panggilan untuk nomor telepon perusahaan taksi yang didapatkannya. Setelah tersambung, ia berbincang sebentar, kira - kira satu menit, lalu menyudahi panggilan tersebut.

"Katanya, tunggu sebentar. Lima menit lagi akan sampai." Ucap Lani.

"Berita bagus." Timpal Dinar.

Kurang dari tiga menit, taksi yang dipesan Lani sudah datang. Lani dan Dinar pun masuk ke dalam taksi tersebut. Tak butuh waktu lama bagi taksi untuk segera melaju meninggalkan area kedai.
 
Apa yang terjadi selanjutnya huu?? Mohon di tambah xeritanyahhhh
 
Bab 5

Dibutuhkan waktu hingga satu jam sebelum akhirnya taksi yang mereka tumpangi berhasil menjejakkan diri di lahan parkir pasar kerajinan. Seusai patungan membayar biaya perjalanan taksi kepada sang supir, Lani dan Dinar pun melangkah keluar dari dalam taksi dan berjalan masuk menuju bagian muka pasar kerajinan. Dari sana, Lani dan Dinar sudah dapat melihat banyaknya kios - kios kerajinan yang berjejeran memenuhi pasar. Koleksi kerajinannya bisa dibilang sangatlah lengkap, mulai dari yang sederhana, seperti pulpen dan pembatas buku, hingga yang cukup kompleks, seperti patung maupun lukisan. Kios - kios tersebut juga tidak hanya menyediakan kerajinan yang berasal dari kota itu, tetapi dari daerah lain pula..

Saking terlalu asyik mengamati beragam kios, Lani tidak menyadari bahwa Dinar sudah memanggil - manggil namanya sedari tadi.

"Hei !" Ucap Dinar sembari menepuk punggung Lani dengan cukup kencang. Tepukan itu membuat Lani terlihat seperti baru saja selesai dihipnotis. Badannya mematung dan matanya jelalatan mencari gerangan yang menepuknya tadi.

"Sebelah kananmu." Ucap Dinar membantu. Lani menengok dan langsung tersenyum, sedikit malu.

"Omong - omong, kamu mau membelikan kado apa untuk ibumu ?" Tanya Dinar seraya lanjut berjalan. Lani mengikut disampingnya. Ia memandang ke depan dan berpikir cukup lama.

"Aku masih tidak tahu. Ada saran ?" Tanyanya sembari menoleh ke arah Dinar.

"Sesuatu yang berasal dari suku ibumu ?" Usul Dinar.

"Kamu benar." Ucap Lani.

Mereka berdua pun semakin masuk ke dalam pasar, berhimpitan dengan ratusan manusia lain yang juga melakukan hal serupa. Delapan buah kipas angin berukuran besar yang terpasang di atap pasar tak mampu melawan hawa panas yang bergelung di dalam pasar. Keringat mulai bercucuran di dahi serta leher Lani dan Dinar. Namun keduanya tidak peduli. Mereka terus berjalan, hingga akhirnya tiba di area belakang pasar. Di area tersebut, toko - toko sudah terlihat jarang. Hawa udara pun menjadi tidak sepanas sebelumnya karena jumlah manusia yang berada di area tersebut jauh lebih sedikit.

Tetapi, mereka berdua justru menjadi bingung ingin pergi ke mana.

"Neng, mau ke mana ? Berdua saja ?" Ucap seorang lelaki yang kira - kira berumur tiga puluh tahun, berpakaian hitam polos, serta bercelana jeans sobek - sobek. Ia sedang bersender pada teralis sebuah kios yang tutup. Lani sudah mau membalas ucapan lelaki tersebut, namun urung terjadi karena Dinar sudah menarik paksa lengannya terlebih dahulu agar menjauh dari orang itu.

"Bajingan !" Umpat Dinar kepada lelaki itu sembari menarik Lani dan berjalan menjauh. Lani cukup terkejut dapat mendengar kata itu keluar dari mulut Dinar.

"Kenapa ?" Tanya Lani setengah berbisik sambil berusaha melepas lengannya dari genggaman Dinar. Menyadari hal ini, Dinar pun melepas genggamannya.

"Aku benci kebanyakan pria di negara ini." Keluhnya..

"Mengapa ?" Tanya Lani.

"Karena mereka tak tahu diri." Jawab Dinar. "Mereka pikir kita ini mahluk yang lebih rendah apa ?"

Lani mengernyit. "Bukankah dia hanya mau menyapa kita ?"

"Menyapa dari mana ? Itu menghina !" Ucap Dinar dengan nada yang sedikit meninggi. "Lagipula ada gerangan apa dia mau menyapa kita ? Punya kios pun tidak."

"Kan, tidak ada salahnya menyapa ?"

"Taruhan denganku jika lelaki itu mau menyapa setiap wanita yang melewati dirinya, tak peduli mereka wanita muda atau ibu - ibu tua yang gendut !"

Lani terdiam.

"Terkutuklah patriarki." Gerutu Dinar pelan.

"Kalau kamu menentang hal itu, sama berarti kamu menentang akar budaya bangsa kamu." Ucap Lani tenang. "Coba kamu lihat, hampir seluruh suku di negara ini menganut sistem patrilinear, yang pada akhirnya membawa sifat patriarki itu sendiri."

"Tapi itu akar budaya bangsa yang buruk, Lani." Protes Dinar.

"Mau bagaimanapun, itu sudah menjadi akar budaya bangsa." Ucap Lani seraya mengedikkan bahunya. "Memang salah, namun hal itu terlalu sulit untuk diubah dalam sekejap. Butuh waktu."

Dinar terlihat menolak perkataan Lani.

"Jadi kamu memilih untuk tidak melawan ? Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu ?"

"Siapa bilang aku tidak mau melawan ?” Ujar Lani. “Tadi, aku baru saja mau membalasnya dengan berkata, 'Bukan mas, kami bertiga.'"

"Satu lagi siapa ?"

"Di samping kirimu."

Dinar sontak membelalakkan matanya dan menengok ke sebelah kiri. Tidak ada siapa - siapa.

"Itu maksudku. Teriak kata 'bajingan' di tempat seperti ini hanya akan membuat kamu semakin tersudut. Terlebih, dia tidak menyerangmu secara ‘langsung’."

"Ekhem."

Lani dan Dinar serentak berpaling ke arah sumber suara. Suara itu rupanya berasal dari seorang bapak yang tengah berdiri di belakang mereka. Bapak itu sedang membawa sebuah ukiran patung yang berukuran besar. Ia juga tengah menatap Lani dan Dinar dengan begitu tajam. Tatapan itu sebenarnya menyiratkan satu permintaan: ia minta diberi jalan. Dengan barang sebesar itu, ia butuh ruang untuk jalan yang luas; sementara Lani dan Dinar sudah menghalangi jalan itu sedari tadi.

"Maaf pak." Kata Lani dan Dinar bersamaan. Bapak itu kemudian membalas mereka berdua dengan seutas senyum, lalu pergi berlalu.

"Ayo kita jalan lagi, sebelum kita yang diteriaki." Ucap Lani setelah bapak itu selesai lewat. Dinar pun mengangguk setuju.

-----

Pasar cinderamata sudah mereka kitari selama dua jam lebih tiga puluh menit. Lani berhasil mendapatkan barang yang akan dijadikan hadiah untuk ibunya: sebuah selendang bermotif batik yang didominasi warna hijau khas suku ibunya serta sebuah tas rajut bermotif bunga; sementara Dinar membawa pulang satu buah kemeja batik berwarna cokelat yang berkuran sedang untuk dirinya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih tiga puluh menit. Perut mereka berdua kini sudah dilanda keroncongan. Mata Dinar dengan cekatan menangkap sebuah papan informasi yang menunjukkan informasi mengenai keberadaan salah satu restoran cepat saji di pasar itu. Ia pun segera memberi tahu Lani, dan dengan persetujuan yang cukup mudah, mereka memutuskan untuk segera bergerak ke tempat tersebut.

Sesaimpainya di sana, mereka berdua disambut dengan antrian di konter pemesanan yang cukup panjang. Suasana restoran pun lumayan terisi penuh, mengingat waktu makan siang yang sudah dekat.

"Lan, kamu cari tempat duduk ya ? Biar aku yang pesan makanannya." Ujar Dinar. Lani mengiyakan.

"Kamu mau pesan apa ?" Tanya Dinar.

"Satu ayam dengan satu nasi saja." Jawab Lani.

"Minumnya ?"

"Terserah."

"Oke."

Lani pun bergegas mencari tempat duduk. Ia menemukannya tepat di pojok ruangan, dekat dengan jendela yang memperlihatkan tempat parkir pasar. Tanpa berpikir panjang, ia pun menempati kursi itu.

Sepuluh menit berlalu dan akhirnya Dinar datang membawa nampan beserta makanan yang telah dipesan olehnya: dua potong ayam, dua potong nasi, serta dua buah minuman soft drink berukuran sedang.

"Ini pesanannya." Katanya sembari meletakkan nampan dengan hati - hati di atas meja.

"Aku cuci tangan duluan ya ?" Pinta Lani.

"Iya." Jawab Dinar.

Lani pun berdiri dan berjalan menuju wastafel yang berada di dekat konter pemesanan. Selama mencuci tangan, ia mendapati ada dua orang perempuan berbaju biru yang tengah memperhatikan dirinya. Namun ia tidak mengacuhkan hal tersebut.

Selesai mengeringkan tangan, Lani kembali ke kursinya untuk duduk. Menyadari hal ini, Dinar pun berdiri dan mengambil giliran pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Tak sampai satu menit, ia sudah kembali ke kursinya.

"Makan kita ?" Tanyanya. Sebuah pertanyaan yang aneh menurut Lani karena jawabannya sudah jelas - jelas ada di hadapan mereka.

"Iya." Jawabnya.

Lani dan Dinar lantas mulai melahap makanan mereka dengan nikmat. Mereka berdua sudah tidak peduli lagi dengan keadaan restoran yang semakin penuh tiap menitnya.

"Kak Lani ?"

Kepala Lani dan Dinar seketika menengok ke arah sumber suara. Ada dua orang perempuan dengan baju biru, masing - masing berambut panjang dan pendek, yang tengah berdiri mematung. Lani tahu, kedua orang inilah yang memperhatikan dirinya tadi di wastafel.

"Iya ?" Jawabnya sedikit tak yakin.

"Ini benar kak Lani ?" Tanya sang perempuan berambut panjang.

"Iya." Jawab Lani lagi tambah tak yakin.

"Kak, kami berdua fans kakak." Ucap sang perempuan berambut pendek.

Butuh waktu sepersekian detik bagi Lani untuk memproses informasi itu.

"Oh.... Astaga !" Ujarnya, akhirnya. Melihat reaksi yang dipertontonkan Lani, Dinar hanya bisa menahan tawa di kursinya.

"Kakak apa kabar ?" Tanya sang perempuan berambut panjang.

"Baik." Jawab Lani.

"Kak, boleh minta tanda tangannya ?" Pinta keduanya serempak sambil menyodorkan dua buah binder.

"Aduh, tangan kakak kotor, sayang." Jawab Lani sembari menunjukkan kedua tangannya yang belepotan nasi dan minyak dari ayam. Sesaat setelah menjawab pertanyaan itu, ia bisa menangkap dengan jelas rona kekecewaan dari wajah dua perempuan itu. Ia pun langsung merasa bersalah.

"Boleh, kok." Ralatnya seraya tersenyum. Dua perempuan itu sekonyong - konyong menjadi sumringah mendengar perkataannya.

"Sebentar, ya ?"

Ia pun bangkit berdiri dan kembali mencuci tangannya di wastafel; sementara dua perempuan itu sudah tak bisa meredakan senyum yang tersungging di wajah mereka.

Satu menit berlalu dan Lani kembali ke kursinya. Ia pun kemudian meminta binder yang ingin ditandatangani dari dua perempuan itu dan mencantumkan tanda tangannya di sana.

"Kak, kenapa tidak menyanyi lagi ?" Tanya sang perempuan berambut panjang. Lani hanya fokus menatap binder. Namun sebenarnya, ia sedang memikirkan sebuah jawaban.

"Kontrak kakak habis dengan label. Kebetulan, kakak juga lagi ingin mencari suasana baru." Jawabnya. Ia kemudian memberikan satu binder yang sudah selesai ditandatanganinya kepada sang perempuan berambut panjang.

"Ada kemungkinan kakak kembali tidak ?" Tanya sang perempuan berambut pendek.

"Mmm..." Gumam Lani sembari melihat ke depan. "Mungkin. Tapi masih lama." Jawabnya sebelum kembali menatap binder dan lanjut menandatangani binder. Itu jawaban palsu. Tentu ia takkan kembali.

"Yah... kak, kita semua masih menunggu kakak balik lagi tahu." Ucap sang perempuan berambut pendek.

"Hehehe..." Lani tertawa, sedikit terpaksa. Ia kemudian memberikan binder terakhir kepada sang perempuan berambut pendek.

"Kakak mau makan ya ?" Tanya sang perempuan berambut panjang dengan penuh kecanggungan. Lagi – lagi sebuah pertanyaan yang aneh bagi Lani, namun pertemuan dengan dua penggemarnya ini sudah terlebih dahulu terasa aneh dan menggelitik benaknya. Pertanyaan tersebut tidak ada apa – apanya.

"Ya sudah ya kak ? Maaf menganggu. Terima kasih untuk tanda - tangannya."

Dua perempuan itu kemudian melangkah pergi dan keluar dari dalam restoran. Setelah memastikan keduanya benar - benar telah pergi meninggalkan restoran, Lani langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tindakan ini langsung disambut Dinar dengan cekikikan.

"Setelah empat tahun vakum, rupanya bukan hanya aku saja yang masih mengingatmu." Kata Dinar.

"Astaga, aku canggung sekali." Ucap Lani dengan suara yang tak begitu jelas karena tertutup telapak tangannya.

-----

Setelah pertemuan "mengejutkan" itu, Lani dan Dinar kembali melanjutkan kegiatan makan mereka hingga semua yang ada di atas piring tandas, kecuali tentu saja tulang ayam. Mereka berdua lalu bangkit berdiri dan bergegas menuju wastafel untuk mencuci tangan, sebelum melangkah keluar dari dalam restoran.

"Sekarang kita ke rumah ibuku ya ?" Tanya Lani setelah berada di luar restoran.

"Iya." Jawab Dinar.

Lani tersenyum, lalu menjadi murung. Ia sebenarnya ingin sekali menolak untuk pergi ke rumah ibunya. Perasaannya masih sama seperti di hotel sehari yang lalu: malu dan tak pantas. Namun kebimbangan di dalam hatinya itu terlalu liar untuk disuarakan sekarang, hingga akhirnya hanya membuatnya menjadi bisu dan lesu, seolah - oleh makanan cepat saji yang dilahapnya tadi tak berfungsi apa - apa.

Lani dan Dinar tak perlu waktu banyak untuk mencari taksi karena ada tiga buah taksi berwarna biru yang sedang berhenti menunggu penumpang di tempat parkir dekat restoran. Mereka berdua pun mendatangi salah satu taksi dan menyebutkan alamat tujuan mereka. Sang supir mengangguk lalu mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam taksi. Taksi kemudian melaju pergi.

Selama di dalam taksi, Lani hanya menatap kaca jendela disampingnya dengan nanar. Dua bola mata Dinar menangkap gelagat itu. Ia pun memutuskan untuk mendekat ke arah Lani dan mengelus - elus pundaknya.

"Hei." Sapa Dinar lembut.

Lani menoleh.

"Tenanglah. Semuanya akan baik - baik saja." Ucap Dinar sembari kembali mengelus - elus pundak Lani.

Lani tersenyum, namun hanya sejenak. Kebimbangan baru telah mekar di dalam hatinya. Bukan tentang bagaimana cara ia akan menghadapi ibunya, melainkan tentang seorang wanita yang ada di sebelahnya dan sedang menatapnya saat ini. Tatapan itu tak pernah dilihatnya dari Dinar sejak kemarin. Baru kali ini, saat ini.

Ia paham benar tatapan itu. Tatapan itu bukan hanya sekedar tatapan menenangkan. Ada makna lain yang tersirat di dalamnya:

Dinar telah menyukainya. Bukan hanya sebagai teman.

Dan membayangkannya hanya akan membuat awan kelabu semakin ramai menggumuli hatinya.
 
Bab 6

Sebuah rumah yang berukuran kecil dan berwarna putih dibentengi oleh sebaris pagar berwarna hijau. Di balik pagar itu, terdapat beranda dan teras yang tengah memuat sebuah mobil sedan berwarna merah. Terakhir, sebuah plakat berwarna hitam dengan angka 70 terpacak di area dinding beranda.

Lani melihat itu semua. Sebuah pemandangan yang tak begitu asing baginya. Itulah rumahnya dulu, sebelum dirinya hijrah ke kota lain. Ia bermain, tumbuh, dan mengenal dunia di sana.

Tidak ada perubahan berarti yang terjadi pada rumah tersebut setelah sekian lama dirinya tak datang berkunjung. Yang berubah hanyalah cat tembok rumah dan pagar, yang kian hari kian pudar warnanya karena takluk dimakan usia.

Ia menghela napas. Jujur, dirinya tak siap. Ia tak pernah menyangka bahwa dirinya bisa berada di depan rumah ini hanya karena perbincangan remeh temeh yang terjadi di kamar hotel pada suatu malam, dengan satu perempuan yang tak pernah dikenalnya sebelumnya.

"Masuk ?" Tanya Dinar yang berdiri di sebelahnya.

Lani menggangguk. Ia mulai melangkah mendekat ke pagar rumah. Gerakannya sangat lambat. Kedua kakinya begitu kaku, seakan - akan ada batu berukuran besar yang terikat di pergelangan kakinya. Jantungnya berdegup kencang. Mungkin ini adalah momen paling menegangkan yang pernah dirasakannya, melebihi saat dirinya pertama kali tampil di atas panggung untuk bernyanyi, ataupun mengikuti ujian sidang di universitas.

Mereka berdua akhirnya sampai di depan pagar dan menyadari bahwa pagar itu digembok.

"Permisi." Ucap Dinar sembari menyentuhkan gembok ke pagar berkali - kali. Ia kemudian menghembuskan napas pelan sebelum menengok ke arah Lani. Lani hanya diam saja menatap rumah.

"Wajahmu pucat." Ucap Dinar.

Lani tak menjawab. Ia hanya tersenyum. Itu pun tak sepenuhnya.

Pintu depan rumah tersebut seketika terbuka. Degup jantungnya sudah seperti ribuan TNT yang disulut oleh api, tak henti - hentinya meletup. Seorang wanita yang berusia kira - kira tiga puluh tahun kemudian keluar dari dalam rumah.

Alis Lani sekonyong - konyong bertaut. Ia bingung. Matanya memicing beberapa kali, namun hal itu gagal mengurangi kebingungannya. Ia tak kenal dengan wanita itu.

Wanita tersebut lalu berjalan mendekat ke arah pagar. Kini Lani bisa melihat lebih jelas wajah wanita itu. Ada sebuah tahi lalat di dagunya.

"Non Lani, ya ?" Tanya wanita itu sesampainya di depan pagar.

"Iya." Lani menjawab kaku.

Wanita itu tersenyum, membuka gembok pagar, lalu menggeser pagar, memberi jalan bagi Lani dan Dinar untuk masuk.

"Sebentar, ya ? Masuk saja." Wanita itu kemudian kembali ke dalam rumah. Lani dan Dinar pun masuk dan menunggu di beranda.

Lani tidak tahu berapa menit yang sudah ia lewati di beranda. Ia tak dapat menghitung. Ia bahkan sudah tidak tahu lagi apa yang dirasakannya. Sensor motorik yang ada pada tubuhnya seperti raib entah kemana.

Lalu munculah orang yang ditunggu. Sesosok perempuan dengan tinggi yang berada sedikit di atas Lani. Ada banyak kerutan yang terlihat di sekitar pipi dan dahinya, terlebih di bawah matanya.

"Halo, bu." Ucap Lani.

Tak ada balasan. Ibunya hanya menatapnya dengan kosong. Ketakutan itu masih menyelimuti Lani, malahan kian membesar, sebab tatapan itu terasa begitu tajam memporak - porandakan hatinya.

Ia sudah pasrah. Ia tak bisa melawan. Mungkin setelah ini, ia akan ditampar, ditendang, atau bahkan diusir. Tetapi ia tak peduli. Ia mungkin pantas menerima itu.

Ibunya mendekat.

Ini dia, pikir Lani. Ia pun mulai memejamkan matanya, mempersiapkan yang terburuk. Sesaat kemudian, ia merasa ada sesuatu yang mendarat pada tubuhnya. Tidak kasar, melainkan begitu lembut dan mesra. Ia membuka matanya perlahan.

Sang ibu ternyata tengah memeluknya.

"Kemana saja kamu, nak ?" Tanya ibu Lani begitu lirih.

Dan pecahlah kesenduan. Lani tak kuasa menahan air mata. Ia segera balas memeluk ibunya begitu erat, seakan - akan ini adalah pertemuan terakhirnya dengan sang ibu.

Melihat kejadian yang terjadi di depannya, Dinar pun ikut tak kuasa menahan tangis. Tangisannya bahkan lebih parah daripada Lani dan Ibu Lani. Sampai - sampai, ibu Lani harus berhenti memeluk Lani.

"Ibu yang baru ketemu sama anak ibu, kok justru kamu yang sesenggukan ?" Tanya ibu Lani.

Dinar tersipu sembari menghapus jejak air mata di pipinya.

"Oh iya, ini teman Lani. Namanya Dinar." Ucap Lani cepat – cepat mengenalkan. Ia pun sampai lupa.

"Salam kenal, bu." Sapa Dinar dengan nada suara yang bergetar. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Ibu Lani.

"Salam kenal juga." Jawab Ibu Lani sembari berjabat tangan. "Ya sudah, ayo kalian berdua masuk. Tih, buatkan mereka teh manis !"

"Iya, bu." Jawab sebuah suara perempuan dari dalam rumah.

-----

Tiga cangkir kosong berwarna putih masing - masing terletak rapih di meja ruang tamu. Wanita yang pertama kali mendatangi Lani dan Dinar di pagar itu kemudian mengisi masing - masing cangkir tersebut dengan teh hingga terisi penuh.

"Kenalkan, ini Ratih. Dia pelayan di rumah ini. Dia bekerja di sini tiga tahun setelah kamu pergi." Jelas Ibu Lani. Setelah selesai menuangkan teh, Ratih kemudian tersenyum kepada Lani dan Dinar, lalu pergi menghilang ke dalam dapur.

"Gulanya kalian ambil sendiri ya ? Itu di toples." Tunjuk Ibu Lani ke arah toples berwarna hijau yang terletak di meja. Lani dan Dinar mengangguk.

"Jadi, apa kabarmu ?" Tanya Ibu Lani.

"Baik, bu." Jawab Lani. "Ibu ?"

"Baik juga. Kamu sekarang kerja apa ? Masih jadi penyanyi ?"

"Oh, tidak." Lani menggelengkan kepalanya. "Aku sekarang pekerja lepas, bu. Jadi desaigner."

Ibu Lani mangut - mangut.

"Ibu, maafkan aku." Lani menghela napas, begitu berat. "Mungkin aku anak paling berdo-"

"Sudahlah." Potong Ibu Lani seketika. "Ibu sudah maafkan kok."

Lani sedikit tersentak. "Ibu tidak marah aku pergi begitu saja ?"

"Marah ? Buat apa." Ucap Ibu Lani. "Lagipula juga, ibu tahu, di saat - saat umur kamu seperti itu, kamu butuh kebebasan. Dipaksa balik, bakal buat kamu jadi rewel juga, kan ?"

Lani masih kesulitan menerima jawaban itu.

"Apa ibu tidak merasakan kesepian atau kesulitan ?"

"Memang.” Jawab Ibu Lani. “Setahun, dua tahun, ibu masih bisa tahan. Tapi lama - lama umur semakin tua, kita juga makin jadi seperti anak kecil, ya ? Manja, minta diurusi. Akhirnya, ibu pun mempekerjakan Ratih di sini. Mumpung kenalan tetangga juga."

Lani menghela napas. "Tapi aku-"

"Ibu tak peduli." Potong Ibu Lani. "Pokoknya yang ibu tahu, kamu sudah dewasa. Dan kamu, sudah bisa memilih jalan pilihan kamu sendiri. Ibu tidak peduli kamu mau balik atau tidak ke rumah ini. Yang jelas, ibu sayang sama kamu." Ia tersenyum. "Walaupun buktinya, kamu tetap balik kan ke rumah ini ?"

Lani akhirnya bisa tersenyum. Kelegaan itu bisa ia hirup sekarang, meski hanya sedikit.

"Oh iya bu," Ia menyerahkan barang - barang yang telah ia beli di pasar kerajinan sebelumnya kepada ibunya, "ini Lani beli selendang dan tas rajut buat ibu."

"Terima kasih." Ucap Ibu Lani. Dipandanginya kedua barang tersebut lekat - lekat. "Kamu itu buat apa susah - susah belikan ibu barang segala ?"

Lani mengernyit. "Ibu memang tidak mengharapkan sesuatu dari Lani ?"

Ibu Lani menatap Lani dengan tulus.

"Ya, ibu hanya sadar bahwa ibu juga sudah tua. Ibu tidak mau menganggu kamu. Barang - barang seperti ini apa bandingnya memang dengan kehadiran kamu di tempat ini sekarang ?"

"Kalau cucu dan suami Lani ?" Tanya Lani sedikit ragu.

"Cucu dan suami ?” Ibu Lani tertawa. “Enggaklah. Itu terserah kamu." Jawabnya. "Kalau kamu mau, silahkan. Kalau tidak juga tidak apa - apa. Itu semua ada di tangan kamu. Ibu tidak mau memaksakan kehendak. Mau kamu kawin punya anak, tidak punya anak, ibu tidak peduli. Kamu yang punya jalan hidup, kamu yang menentukan. Ibu hanya bisa membimbing saja. Pada akhirnya, semua diserahan ke kamu."

Lani cukup terkejut mendengar jawaban tersebut. Ia tak menyangka bahwa ibunya bisa berpikiran terbuka seperti itu.

"Aduh, maaf keasyikan mengobrol." Ucap ibu Lani tiba - tiba. "Saya lupa ada kamu.” Tunjuknya ke arah Dinar. "Siapa namanya tadi ?"

"Dinar." Ucap Dinar halus.

"Dinar." Kata Ibu Lani. "Sudah berapa lama kenal dengan Lani ?"

Dinar terlihat bungkam.

"Kemarin, bu." Jawab Lani.

"Hah, kemarin ?" Ibu Lani mengernyit.

"Iya." Jawab Dinar kali ini. "Kebetulan Lani dan saya tak sengaja bertemu di lounge hotel. Kami berkenalan dan," Dinar melihat ke arah Lani, "saya memutuskan untuk mengantar Lani kemari."

Ibu Lani kembali mangut – mangut mendengar penjelasan itu. Lani mengerti. Menceritakannya secara detail tentu akan sungguh rumit dan berbelit.

Ia lalu menyadari bahwa Dinar tengah melihat sebuah rak kecil di bawah meja ruang tamu yang didalamnya tersimpan bertumpuk - tumpuk sampul tebal berukuran besar dan berbahan kulit

"Ini apa ya ?" Tanya Dinar sembari mengambil sampul yang terletak di posisi paling atas.

"Oh, itu album foto." Jawab Ibu Lani. Mata Lani tiba - tiba membeliak. Bahaya.

"Jangan dibuka !" Sergah Lani kepada Dinar. Dinar menatap Ibu Lani untuk meminta persetujuan.

"Buka saja." Jawab Ibu Lani sembari menahan tawa.

"Nar…" Sergah Lani lagi. Kali ini lebih tegas.

"Tidak usah takut." Ucap Ibu Lani. "Lani takut karena ada aib masa kecilnya di situ."

Mendengar jawaban dari ibu Lani, Dinar tanpa basa - basi langsung membuka album foto tersebut. Lembar demi lembar pun dibukanya dengan bahagia; sementara mata Lani kian membeliak menatapnya.

Dinar berhenti pada sebuah halaman. Matanya tertuju pada sebuah foto anak perempuan berambut hitam yang sedang berada di depan anak - anak lain pada sebuah lomba balap karung.

"Ini Lani ya ?" Tanya Dinar sambil menunjukkan foto yang dimaksud kepada ibu Lani.

"Bukan." Jawab Lani ketus. Tentu saja itu dirinya.

"Iya. Itu Lani." Jawab Ibu Dinar membenarkan. "Waktu itu sedang lomba hari kemerdekaan."

Dinar tertawa. Lani hanya bisa menatap ibunya dengan kesal.

Dinar kembali membuka lembar demi lembar halaman foto album itu. Ia menemukan banyak sekali foto Lani di dalamnya: Lani sedang terduduk di tanah dan menangis, Lani sedang makan kue dan kuenya belepotan di pipi Lani, Lani tengah tersenyum sembari mengacungkan dua jari, dan beragam pose lainnya.

Hingga akhirnya Dinar tiba di penghujung halaman. Sebuah foto berukuran besar yang berisikan potret seorang laki - laki, ibu Lani, dan Lani cilik menempel di sana.

"Itu ayah Lani. Kami berpisah saat Lani berusia sepuluh tahun." Kata Ibu Lani sembari tersenyum. Ia nampak sudah hafal dengan foto tersebut tanpa perlu diperlihatkan Dinar.

"Kalau boleh tahu, sekarang beliau ada dimana ?" Tanya Dinar.

"Ibu tidak tahu." Jawab Ibu Lani. Dinar menutup album foto tersebut. Ibu Lani kemudian tersenyum.

"Kamu tahu Dinar ? Ibu berpikir bahwa hal terpenting yang harus kita lakukan di dalam hidup ini bukanlah menerima, namun merelakan." Lanjutnya. "Alasannya sederhana: karena hidup di dunia ini lebih banyak diwarnai dengan kekecewaan. Kebahagiaan, itu kamu cari; tetapi kekecewaan, kamu tidak perlu cari dia juga bakal menemukan kamu."

Dinar terkesima mendengar untaian kata demi kata yang mengalir dari mulut Ibu Lani tadi.

"Ibu kira - kira sudah cocok jadi motivator belum ya ? Lumayan, pekerjaan mereka hanya berbicara, lalu dapat uang. Dengan umur ibu sekarang, masih bisalah."

Sontak ketiganya langsung tertawa.

-----

Waktu tak terasa telah bergulir begitu cepat. Tak terhitung sudah berapa kali cangkir teh Lani, Dinar, dan Ibu Lani terisi dan kembali kosong. Mereka bertiga tidak akan mengakhiri kegiatan bincang - bincang itu jikalau ibu Lani tidak mengingatkan Lani dan Dinar bahwa dirinya sudah berjanji untuk mengikuti arisan di rumah temannya. Ia pun akhirnya mengantarkan Lani dan Dinar hingga ke depan pagar rumah.

"Kalau sudah sampai dan sempat, kabari ya ?" Ucapnya antusias.

"Pasti, bu. Pasti." Jawab Lani sembari memeluk ibunya. Setelah selesai memeluk Lani, Ibu Lani membuka pagar. Lani dan Dinar pun keluar menuju ke jalan.

"Hati - hati di jalan." Ucap Ibu Lani sembari menutup pagar.

"Iya." Jawab Lani dan Dinar serempak. Mereka berdua melambaikan tangan dan berjalan menjauh dari rumah Ibu Lani.

Lani tak henti - hentinya menyunggingkan senyum setelah keluar dari rumah ibunya. Ada kelegaan yang begitu menyenangkan meruas di dalam hatinya, menandakan bahwa sebagian kecamuk itu sudah mereda.

"Ibumu baik." Ucap Dinar tiba - tiba. "Dan berpikiran terbuka."

Lani dan Dinar saling memandang, kemudian tertawa.

Lani sendiri sebenarnya tidak mengerti apa yang baru saja ditertawakan mereka berdua. Namun yang jelas, ia merasakan jalinan koneksi yang menyamankan dengan Dinar.

Baginya, berbincang dengan Dinar adalah sebuah kegiatan yang sangat membius. Walaupun kegiatan itu tidak selalu berakhir dengan konklusi, ataupun titik tengah, ia sama sekali tidak merasa bahwa waktu yang dipakainya terbuang percuma begitu saja.

Lani kemudian memperhatikan wajah Dinar dengan seksama. Rambutnya yang ikal hitam, matanya yang berbentuk oval, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis.....

Dinar terlihat begitu sempurna saat itu.

Dan Lani pun menjadi gundah. Sesuatu membuncah dalam hatinya sekarang. Penuh dengan ketidakpastian.

Ia tersenyum pahit. Inilah sebagian kecamuk yang belum terselesaikan itu: kejelasan dari perasaannya terhadap Dinar. Jatuh cinta yang seutuhnya, atau hanya ledakan penasaran serta kegembiraan yang berpadu dan terbalut dalam efek cinta satu malam semata ?

"Mau kemana kita ?" Tanya Dinar menghancurkan pemikirannya.

"Tidak tahu." Jawab Lani menggeleng. "Terserah kamu."

"Kamu mau kemana ?" Tanya Dinar kembali sembari menatap Lani.

"Pantai."

Dinar mengedikkan bahunya "Ya sudah."

Dinar kemudian tersenyum. Namun kali ini, Lani merasa ada yang aneh dengan senyuman itu.

Oh, benar. Ia tadi baru saja memberikan tatapan 'aku jatuh cinta padamu'nya terhadap Dinar.

-----

Lani dan Dinar sedang berada di dalam taksi menuju pantai. Cuaca yang tidak begitu panas ditambah dengan pendingin ruangan mobil yang diatur oleh sang sopir pada tingkat paling dingin membuat hawa taksi menjadi sangat sejuk.

Sebuah ponsel lantas berbunyi. Lani merogoh tasnya, namun tidak mendapati adanya pesan maupun panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. Ia menengok ke samping dan mendapati bahwa Dinar juga tengah merogoh tas. Suara dering ponsel kemudian menjadi terdengar jelas ketika tangan Dinar bergerak di dalam tas. Dinar akhirnya berhasil mendapatkan ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut.

Lani memilih untuk menatap jendela mobil, seakan tak peduli. Namun telinganya yang menganggur sebenarnya mendengarkan perbincangan Dinar.

Awalnya Dinar masih menyapa dengan santun. Tetapi lambat laun, ia terdengar semakin kesal dengan orang yang sedang berbicara dengannya. Ragam rutukkan dan nyap - nyap mengalir dengan luwes dari mulutnya.

Dan akhirnya, Dinar mematikan panggilan tersebut secara paksa.

"Siapa ?" Tanya Lani.

"Pacarku." Jawab Dinar. "Ia sedikit kesal karena tak diberitahu dimana keberadaanku sejak tadi pagi."

"Memangnya kenapa ?"

"Ia juga sedang datang berkunjung ke kota ini dan menginap di rumah saudaranya. Ia berencana untuk membawaku ke rumah saudaranya. Rumah saudaranya memang cukup besar."

Lani mengalihkan padangannya ke Dinar. Ia telah melupakan sebuah fakta bahwa Dinar, kenyataannya, telah mempunyai pacar.

"Aku belum bertanya mengenai dia sejak kita pertama kali bertemu." Kata Lani. "Sudah berapa lama berpacaran dengannya ?"

"Kurang lebih lima tahun. Dia pacar terlamaku." Ucap Dinar sembari menggaruk rambutnya. "Semua mantanku tak pernah selama itu. Maksimal dua tahun." Ia tertawa kecil. "Dan sepertinya kami akan menikah sebentar lagi."

"Menikah ?" Tanya Lani.

"Iya.” Dinar mengangguk. “Kami merasa bahwa hubungan ini sudah sepantasnya dibawa ke jenjang yang lebih tinggi. Belum ada tanggal pastinya memang, ini baru wacana."

Lani mengernyit. "Bagaimana dengan pekerjaanmu ?"

"Pekerjaanku baik - baik saja." Jawab Dinar. Ia terlihat tidak mengerti.

"Maksudku," Lani mencondongkan badannya ke arah Dinar, "dengan kamu kawin, bukankah itu beresiko untuk menghambat perkembangan karirmu ? Kamu kan masih bisa berkembang, mengumpulkan uang sebanyak - banyaknya." Ia mengambil jeda. "Lagipula, dia belum tentu pasangan hidupmu kan ?"

"Tunggu." Dinar mengernyit. "Apa maksudmu berkata seperti itu ?"

Lani berpikir sejenak.

"Maksudku, pernikahan bukanlah kunci dari segalanya. Kita tidak seharusnya tunduk pada pernikahan. Resiko cerai begitu tinggi. Dan masalah - masalah yang akan datang setelahnya juga akan jauh lebih rumit-"

"Hei !" Potong Dinar. Tatapannya menjadi begitu tajam. "Pilihanku adalah pilihanku, bukan pilihanmu. Kamu beruntung punya ibu yang berpikiran terbuka. Semua keluargaku adalah penganut patriarki yang menggila. Ayahku tiap hari menyuruhku untuk menemukan calon suami yang mapan dan pintar. Ibuku menyuruhku untuk berhenti bekerja karena menurutnya wanita tak pantas untuk bekerja dan pantasnya hanya melayani pria. Lalu kakakku selalu meledekku karena dengan umurku yang sekarang, aku belum kawin juga. Coba kamu berada di posisiku. Setiap hari mendengarkan racun yang terus merusak kepalamu dan membuat harimu menjadi sampah. Apa yang akan kamu lakukan ?"

Lani mengedikkan bahunya. "Memberontak saja." Ucapnya pelan.

Dinar menoleh ke depan. "Pak, tolong menepi."

Lani pun menyadari sesuatu. Dinar geram mendengar ucapannya.

"Hei, aku hanya mengutarakan pendapatku." Ucap Lani. Dinar tak menggubris.

"Masih jauh pantainya, neng." Kata sang supir taksi. "20 km lagi."

"Tidak apa - apa. Antarkan temen saya saja, pak." Ucap Dinar.

Sang sopir taksi awalnya terlihat bingung. Tapi, apa boleh dikata ? Ia pun terpaksa menuruti. Taksi lantas menepi di sebuah jalan yang hanya dikelilingi persawahan serta beberapa warung, dan Dinar langsung turun setelahnya.

Tanpa berpikir panjang, Lani melihat layar argo, memberikan jumlah uang sebesar yang tertera di layar tersebut pada sopir taksi, lalu ikut turun menyusul Dinar. Taksi itu pun segera pergi meninggalkan mereka berdua.

"Kamu kenapa sih ?" Tanya Lani.

"Kamu masih tanya aku kenapa ?" Tanya Dinar mengamuk. Ia berbalik menghadap Lani. "Itu bukan urusanmu, mengurusi apakah aku mau kawin atau mengejar karir !"

Lani menelan ludahnya.

"Dan menurutmu kabur itu mudah ?" Tanya Dinar.

"Tidak-"

"Memang tidak." Potong Dinar.

"Aku mulai curiga." Ucap Lani tidak mau kalah. "Kamu sebegitu putus asanya untuk kawin karena desakan keluargamu atau kamu capai karena sering putus ?"

"Tutup mulutmu !" Sentak Dinar. "Kamu berbicara tentang berani, berani..... kamu tidak akan datang ke rumah ibumu kalau aku tak mengajakmu !" Teriaknya penuh amarah. "Dan kalau kamu berani, kamu seharusnya sudah memberi tahu perasaanmu yang sebenarnya kepada wanita pujaanmu di SMA !"

"Jangan bawa - bawa dia !" Sentak Lani tak kalah keras.

Dinar mendorong pelan bahu Lani. "Kenapa jangan dibawa ?"

"Dia tidak penting lagi sekarang." Jawab Lani dengan suara yang kecil.

"Lalu apakah jumlah banyaknya aku putus juga penting terhadap pernikahanku ?" Tanya Dinar sembari bertolak pinggang.

"Ya." Jawab Lani sembarang. Ia juga sudah ikut naik darah. "Kamu gila."

"Memang aku gila !" Balas Dinar. "Kamu pikir siapa perempuan yang mau mendatangimu malam - malam di lounge hanya untuk berbicara, terlebih dengan wajah kusutmu itu ?"

Lani terdiam.

"Dengar, Lani. Kamu mau tahu alasan sebenarnya kenapa aku mau berbicara denganmu ?" Dinar mendekat dan berbisik di telinga Lani, "Supaya aku bisa merasakan vaginamu."

"Kurang ajar !" Lani mendorong keras Dinar hingga nyaris terjatuh.

"Kamu tak lebih dari seorang perempuan pengecut !" Teriak Dinar.

Kesabaran Lani telah habis. Ia pun memilih untuk pergi meninggalkan Dinar.
 
Sedikit lebih rumit dari bayanganku..pengolahan dinamika yang cerdas!
 
uah!?:huh: ada yang mampu menjelaskan tentang rasa vagina kah!?
:cim:
 
Bab 7 (Terakhir)

Warna kuning yang menjurus keemasan di langit, burung - burung yang berterbangan di udara sembari bernyanyi merdu, debur ombak yang menggulung dan surut, serta beberapa orang yang berenang dan tertawa riang di bibir pantai dihidangkan secara bersamaan di hadapannya saat ini.

Lani tahu, seharusnya ketika ia menikmati itu semua dari kursi selonjor, seperti sekarang ini, akan ada perasaan menenangkan yang menyelinap masuk dan mengendap di hatinya. Namun ia tak kunjung merasakannya. Segala gejolak euforia itu sepertinya harus mundur teratur dari hatinya karena Dinar.

Lani sadar dirinya bodoh sebab telah melontarkan untaian kalimat yang jika berusaha diingatnya kembali akan terasa begitu menjijikan. Dan alih - alih meminta maaf, ia malah memilih kabur dan lari ke tempat ini, persis seperti pecundang besar.

"Ini minuman untukmu."

Sebuah gelas plastik PET yang berisi teh dingin tiba - tiba hadir tepat di depan wajahnya. Ia pun mengerling ke arah datangnya gelas tersebut.

"Tahu darimana aku akan pergi ke pantai, Dinar ?" Tanyanya pelan, takut terdengar congak.

"Tujuan pergi kita tadi kan pantai ?" Jawab Dinar dengan sebuah pertanyaan. Ia terdengar sangat santai, tak ada amarah.

Lani mendengus pelan. "Oh iya, benar."

Dinar kemudian menggoyang pelan gelas tersebut, sebagai isyarat bagi Lani untuk mengambilnya. Lani pun menuruti apa yang Dinar inginkan.

"Boleh aku duduk di sebelahmu ?" Tanya Dinar.

Lani tanpa berpikir panjang langsung mengangguk. Dinar segera duduk di sampingnya.

"Lani, maafkan diriku." Ucap Dinar sembari menatap Lani. "Aku terlalu lancang tadi. Sejujurnya, aku sedikit iri denganmu. Kamu bisa memiliki kebebasan sepenuhnya; sementara, aku ini ibaratnya seperti burung di dalam sangkar, bisa berpindah tempat, tapi ada batasnya." Ia tersenyum manis di ujung kalimat.

Lani tertunduk malu. Ia berpikir, seharusnya dirinyalah yang meminta maaf terlebih dahulu, tetapi ia enggan melakukannya karena dirinya terlalu pengecut.

"Tidak apa - apa. Aku juga terpecut begitu saja." Kata Lani. "Mengenai perkawinanmu, maksudku. Jika kamu yakin bahwa kamu benar - benar cinta dengan dia, kamu bisa melakukannya."

Ia mengelus tangan Dinar dan memakukan pandangannya pada mata Dinar. "Dinar ?"

Dinar melihat tangannya yang dielus sejenak, sebelum kembali menatap Lani. "Ya ?"

Lani kemudian memajukan bibirnya, dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi Dinar. Tak ada intensi apa – apa dari tindakan Lani tersebut selain tanda terima kasih. Tetapi, ia melihat Dinar sedikit bingung menerima kecupan itu.

"Aku kira kamu mau mengecup bibirku." Ia tertawa kecil.

Hebat, Dinar, pikir Lani. Dari semua kalimat yang dapat keluar dari mulut Dinar, kalimat itu yang dipilihnya.

"Yang benar saja ? Kamu mau kita ditangkap polisi setempat ?" Ujar Lani tersenyum.

Dinar kembali tertawa kecil.

Dan tawa itu seketika terhenti saat ponselnya mulai berdering. Ada panggilan masuk. Ia langsung mengangkatnya.

"Ya, sayang ? Iya. Nanti kamu jemput aku di hotel, ya ? Iya, dah..."

Ia menutup panggilan tersebut; Lani tersenyum.

"Mengapa dia selalu menelpon di saat yang tidak tepat ?" Ucap Dinar tersenyum kecut.

Lani tak menjawab. Ia memilih untuk minum. Rasanya lumayan menyegarkan, membuat nalarnya bisa berpikir kembali dengan tenang mengenai Dinar. Lebih tepatnya, perasaannya terhadap Dinar.

Entah bagaimana dengan prinsip orang lain, namun menurutnya, manusia membutuhkan pasangan hidup. Ada yang tidak setuju ? Tak masalah. Itu hak setiap orang. Namun baginya, pasangan hidup itu penting. Ia tidak mau harus mereguk kesepian dengan keadaan sendirian pada hari tuanya. Ia membutuhkan seseorang, tak peduli apa jenis kelaminnya, yang bersedia dan mau menjadi pasangan hidupnya.

Dan ia seperti menemukan sosok pendamping itu pada diri Dinar.

Jikalau dirinya benar - benar yakin, ia bisa saja merebut Dinar dari tangan pacarnya sekarang. Kesempatan itu menurutnya sangatlah terbuka lebar karena Dinar telah menunjukkan tanda - tanda jatuh cinta dengan dirinya.

Namun, seperti yang sudah dikatakan Dinar di dalam taksi, keluarganya sepertinya bukanlah orang yang dapat berpikiran terbuka. Tentu akan sangat beresiko apabila mereka berdua ingin memulai sebuah hubungan percintaan. Apakah Dinar siap menerima semua resiko itu ?

Lalu, bagaimana jika perasaannya terhadap Dinar itu ternyata hanyalah sebuah bayangan yang mudah merapuh ? Yang apabila dipukul angin di masa mendatang, akan meluruh dalam sekejap ?

Mungkin ia perlu waktu.

"Hei." Panggil Dinar.

Lani memalingkan wajahnya ke arah Dinar. "Apa ?"

"Kamu lihat mereka ?"

Lani melihat ke arah yang ditunjuk Dinar. Mereka adalah sepasang kakek - nenek yang kemungkinan besar merupakan penjaja kudapan di pantai itu, sebab ada bakul besar yang di panggul di punggung keduanya. Mereka tengah duduk bersila di atas pasir, di dekat bibir pantai. Sang nenek menyenderkan kepalanya di bahu sang kakek dan beberapa kali terlihat sedang tertawa.

"Mereka kelihatan begitu bahagia." Ucap Dinar. "Seperti tidak ada masalah dalam kehidupan mereka. Padahal, kehidupan mereka jauh dari kata mapan."

Ia menghela napas.

"Andai bahagia bisa sesederhana itu. Melihat matahari terbenam di pinggir pantai bersama pasangan tercinta, dan diselingi dengan percakapan - percakapan bodoh nan lucu, yang mungkin setelah pulang akan dilupakan begitu saja, dan akan dibicarakan lagi di kemudian hari tanpa ada yang pernah mengingat bahwa percakapan - percakapan itu sudah pernah diucapkan sebelumnya."

Ia berpaling pada Lani.

"Setelah aku pikir, kamu ada benarnya juga. Tentang sosial media yang membawa dampak buruk. Entah bagaimana, menurutku, sosial media secara tidak langsung membuat kita tambah serakah. Kita semua pasti punya daftar kebahagiaan yang harus dipenuhi, dan daftar kebahagiaan itu setiap harinya akan terus bertambah. Setiap penambahan itu akan membuat kita gagal mewujudkan pemenuhan daftar, dan menyebabkan kita setiap harinya tumbuh menjadi orang yang mudah emosi dan menyebalkan. Seandainya kita bisa untuk sejenak melupakan daftar itu dan melakukan apa yang dilakukan pasangan lansia itu, aku rasa akan lebih baik."

Dinar tersenyum.

"Omong - omong, apa kamu punya bayangan mengenai hari tuamu nanti ?"

"Sederhana." Jawab Lani. "Mungkin menikmati hari tua bersama pasangan hidupku."

"Anak ?"

"Tidak tahu." Lani menggelengkan kepalanya. "Aku tidak terlalu tertarik. Kalau kamu bagaimana ? Apa bayangan mengenai hari tuamu nanti ?"

Dinar menunjuk dadanya. "Aku ?" Ia kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang istimewa. Dari awal, aku selalu menjalani hidup dengan biasa saja, seperti pasang ombak yang stagnan."

Lani mengernyit.

"Begini, aku tanya sekarang. Apa arti hidup ?"

Lani tak menjawab.

"Kamu tidak tahu, kan ? Ya, itu." Dinar tersenyum. "Kalau arti hidup saja kita tidak tahu, apalagi impian di hari tua ? Buatku, itu sedikit tidak adil. Kita disuruh memiliki impian, tapi arti hidup saja kita tidak tahu dengan pasti. Tapi, ya sudahlah," Ia mengedikkan bahunya, "mau bagaimana ? Kita belum akan menemukan jawaban pastinya sampai waktu kita di bumi ini habis."

Ia mengerling ke arah langit dan menegakkan jemarinya ke arah matahari, membuat sinar dari matahari menyeruak masuk di antara sela - sela jemarinya. Dilihatnya sinar tersebut secara perlahan.

"Pada akhirnya, dunia ini hanya aku anggap sebagai taman bermain saja. Jika sudah tak ada yang bisa aku cari lagi, ya sudah, tamat."

Ia mengepalkan jemarinya, seolah - olah mampu menangkap matahari melalui tangannya.

"Tapi aku punya satu keinginan untuk hari tuaku nanti."

"Apa itu ?"

Ia menoleh dan mengarahkan genggaman tangannya ke arah Lani.

"Aku ingin bisa merasa bahagia dengan hal - hal sederhana. Itu saja."

Ia membuka genggaman tersebut dan meniupkan udara ke wajah Lani. Mereka berdua tersenyum.

Dan dua buah senyum itu pula yang mengiringi senja untuk segera berakhir di ujung sana.

-----

Lani dan Dinar sudah tiba kembali di hotel untuk mengambil kembali koper milik Dinar sekaligus menunggu pacar Dinar datang untuk menjemput Dinar. Mereka berdua sekarang sedang berdiri di area luar lobby, ditemani dengan hembusan angin malam yang bertiup cukup kencang. Bagi Lani, itu merupakan kesejukan yang sangat membunuh.

"Lan, coba lihat ponselmu. Apakah sinyalnya bagus ?" Tanya Dinar sembari melihat layar ponselnya dan memegang handle kopernya.

Lani mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. "Bagus, kok."

Dinar sedikit mendengus. "Kenapa aku tidak bisa menghubungi dia, ya ?" Gumamnya pelan lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.

Di saat yang bersamaan, Lani melihat sesosok pria berkemeja merah dan bercelana jeans tengah mendekati Dinar dari arah belakang. Pria tersebut kemudian langsung mendekap Dinar.

"Sayang..." Ucap pria itu.

Dinar terkejut. Ia sempat berusaha melepaskan pelukan itu, sebelum menyadari bahwa yang datang memeluknya itu adalah...

"Hanif ! Kalau datang, jangan buat orang kaget dong, sayang."

Pacarnya.

"Iya, iya." Jawab Hanif seraya mengecup dahi Dinar.

"Oh iya, kenalkan, ini Lani." Ucap Dinar. Wajah Hanif yang terheran membuat Lani menyimpulkan bahwa Hanif baru menyadari ada satu perempuan lain yang hadir bersama Dinar. Lani pun menjulurkan tangannya.

"Lani."

"Hanif." Jawab Hanif sembari menjabat tangan Lani. Ia lalu kembali berpaling kepada Dinar, tanpa bertanya apa pun untuk Lani. "Sayang, minggu depan kita jadi, kan ?"

"Jadi apa ?" Tanya Dinar.

"Menemui orangtuamu. Bukankah tadi sore kamu menelponku dan menginginkanku untuk secepatnya melakukan hal itu ?"

Lani tersenyum. Kali ini, ia sendiri tidak tahu apa arti sesungguhnya dari senyum yang disunggingkannya. Getir ? Ejekkan ? Bahagia ? Atau barangkali, campuran dari ketiganya ?

Namun yang jelas, ia sekarang sudah tahu pasti apa pilihan yang akan diambilnya terhadap Dinar. Tak perlu menunggu hingga sebulan, setahun, atau berpuluh - puluh tahun.

"Iya, sayang." Jawab Dinar seraya balik memeluk Hanif. "Terimakasih."

"Sama - sama." Ujar Hanif.

Dinar lalu menatap Lani sekilas dan melepas pelukannya.

"Mas, kamu bisa menungguku di mobil ? Aku mau berbicara sebentar dengan Lani."

"Oh, sekalian aku pindahkan saja ya nanti mobilnya ke sini." Kata Hanif. "Tadi aku parkir di basement. Mana kopernya ? Biar aku yang bawa."

Dinar lantas menyerahkan koper miliknya kepada Hanif. Sesudahnya, Hanif pun pergi menuju basement, meninggalkan Lani dan Dinar.

"Sepertinya ini waktunya untuk kita berpisah." Ucap Dinar setelah Hanif benar - benar lenyap dari sudut mata Lani.

"Yap." Jawab Lani.

Mata Dinar membeliak. "Astaga, berapa nomor teleponmu !" Pekiknya seraya langsung menyambar ponsel Lani yang masih berada di tangan Lani. "Sini, biar aku saja yang menulis nomor telepon ponselku."

Lani tersenyum.

"Nar..."

Dinar tak menggubris ucapannya. Ia terus mengetikkan angka demi angka nomor telepon ponselnya di ponsel Lani.

"Dinar ?"

"Iya ?" Dinar akhirnya berhenti mengetik. Ia mendongakkan kepalanya.

"Sebaiknya tidak usah."

Dinar menatap Lani dalam - dalam, berusaha menggali sesuatu.

"Kenapa ?"

Lani menggeleng - gelengkan kepalanya. "Tidak. Lebih baik tidak."

"Ok..." Ucap Dinar pelan. "Kenapa ?"

Lani membisu. Ia kesulitan mengungkapkan alasannya. Ada banyak susunan kalimat yang hadir dalam benaknya, tapi tak ada satu pun yang bersedia untuk mengajukan diri agar bisa dipilih.

"Hei, kita tidak akan melakukan hal bodoh itu, bukan ?" Tanya Dinar. "Tidak bertanya mengenai kontak, lalu akhirnya putus kontak, dan tidak pernah bertemu lagi..."

"Tenang saja, aku akan buat akun twit**ter." Lani tersenyum palsu sekali. "Nanti aku yang mencarimu."

Dinar tersenyum kecut. "Aku tak percaya padamu." Ia lantas lanjut mengetik di ponsel Lani. "Sudahlah. Kenapa sih kamu harus membuat drama diakhir ?"

Selesai. Dinar sukses menyimpan nomor telepon ponselnya di ponsel itu dan memberikannya kepada Lani. Lani pun menerimanya kemudian menghela napas.

"Karena aku tak mau merusak hubunganmu-"

"Merusak hubungan bagaimana ?" Potong Dinar.

Lani memejamkan matanya, mengambil keberanian. "Aku tahu kamu suka padaku."

Dinar mengernyit. "Tahu darimana aku suka padamu ?"

"Kamu mendatangiku di pantai tadi." Jawab Lani.

Dinar terdiam.

"Kalau kamu tidak punya perasaan untukku, kamu tidak akan mendatangiku, setelah apa yang telah aku ucapkan kepadamu." Lanjut Lani lemah. "Dan cara memandangmu di dalam taksi saat perjalanan ke rumah ibuku membuat aku semakin yakin."

"A..." Semua kata - kata yang ada di benak Dinar seakan tertahan di ujung lidah. Tak perlu kepastian dari mulut Dinar, Lani telah meyakini bahwa ucapannya itu benar. Tak ada alasan yang mampu dibuat oleh Dinar.

"Aku juga sebenarnya suka padamu." Lanjut Lani. "Namun lihatlah, kamu sudah punya pacar yang sebentar lagi akan melamarmu. Aku kira, kamu juga sangat sayang padanya. Aku tidak mau jadi perusak hubungan percintaanmu." Ia tertawa kecil. "Dan bukankah kamu sendiri yang bilang di awal bahwa ini semua hanya sebatas cinta satu malam ?"

Dinar seketika menjadi lesu, seakan seluruh energinya terhisap habis oleh satu tarikan kalimat itu.

"Tenang saja,” Lani memegang lengan Dinar, “nanti aku akan menelpon kamu. Jika aku butuh berbicara denganmu."

Lani dan Dinar mendadak tersentak oleh sebuah bunyi klakson. Hanif rupanya yang membunyikan klakson tersebut dari dalam mobil yang dikendarainya.

"Sana, pacarmu sudah menunggu." Ucap Lani tersenyum manis.

Dinar terdiam sejenak. Ada segumpal air mata yang tertahan di pelupuk matanya, menanti untuk menetes. Ia sepertinya yakin betul bahwa ini merupakan pertemuan terakhirnya dengan Lani.

"Terima kasih untuk kemarin dan hari ini." Kata Dinar.

"Sama - sama." Balas Lani.

Dinar langsung memeluk Lani dengan begitu erat. Karena kepala Dinar bersender di bahu Lani, Lani dapat mendengar senggukannya dengan jelas.

"Sudahlah, jangan menangis." Hibur Lani. Ia melepas pelukan Dinar pelan - pelan. "Nanti pacarmu mengira aku yang membuat kamu menangis."

Dinar menonjok pelan bahu Lani.

"Memang kenyataannya seperti itu." Jawab Dinar sembari tertawa kecil. Matanya sedikit merah.

"Ya sudah." Ucap Lani. "Dadah." Kata itu sekarang terdengar sangat menyedihkan baginya, membuat tubuhnya serasa ditikam beratus - ratus kali oleh belati tajam.

"Dadah." Balas Dinar. Ia pun melangkah pergi, masuk ke dalam mobil, dan membuka jendela mobil. Sebuah lambaian tangan kemudian menjulur keluar dari sana seiring mobil itu beranjak pergi dan menghilang dari sudut mata Lani.

Lani segera membuka ponselnya. Ia berniat untuk menghapus nomor ponsel Dinar dan melupakan Dinar. Lebih cepat, lebih baik; pikirnya. Jemarinya lantas bergerak, mengantarkan ia ke menu kontak telepon di ponsel itu. Ada nama Dinar di sana. Ia menekan nama itu, memilih bagian edit, lalu terus menggeserkan jemarinya di layar ke arah atas hingga menemukan kata Delete Contact yang berwarna merah.

Ia menekannya.

Ponsel tersebut kemudian memberikannya dua buah opsi untuk kembali memastikan: Delete Contact atau Cancel. Tinggal menekan kata Delete Contact sekali lagi, maka nomor Dinar akan terhapus dari ponsel itu selamanya. Sangat mudah.

Namun hal itu rupanya menjadi terlampau sukar baginya. Ada dua pihak yang berusaha menguasai tubuhnya sekarang: akal sehatnya, yang menyuruhnya untuk segera menekan kata Delete Contact; serta lubuk hatinya, yang menyuruhnya untuk segera menekan kata Cancel. Ia jadi tertahan, tak melakukan apa - apa.

Ia lalu menghela napas panjang dan memandang jauh ke depan.

Malam kian kelam. Ia mulai merasa desau angin yang berhembus saat itu tengah berkomplot untuk mengkoyak - koyakkan hatinya dengan penuh sukacita.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd