Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN Kumpulan Cerita XXX Klasik

begawan_cinta

Guru Semprot
Daftar
27 Oct 2023
Post
540
Like diterima
9.098
Bimabet
Cerita-cerita berikut di bawah ini merupakan cerita klasik yang saya COPAS dari blog yang sudah tidak aktif.

Selamat menikmati.


===©©©===



L a n g g a n a n



Sudah dua bulan ini aku menjalankan bisnis menjual juice buah asli dalam bentuk gelas dan botol kecil.

Aku sendiri belum pernah menghitung apakah rugi atau ada untung walaupun sedikit.

Setiap hari harus bangun subuh untuk mengupas; memblender dan mengepres gelas dengan alat pemanas plastik agar tidak tumpah, itupun terkadang masih ada satu dua gelas yang tak menutup sempurna. Kemudian mengedropnya di beberapa tempat yang telah kami tawarkan sebelumnya.


Saat awal menawarkan kerja sama ini memang berat, karena unsur meyakinkan orang adalah teramat penting.

Sudah beberapa kali kami menerima pesanan dalam bentuk botol kecil maupun gelas oleh instansi maupun perorangan. Hal itu bermula dari kami menyebar penawaran dalam bentuk kertas foto copyan di perempatan jalan dan acara–acara arisan dan sejenisnya.

Tentunya harga telah kami sesuaikan sebelumnya, lain bila untuk dijual lagi. Mereka jelas tidak keberatan dengan harga yang telah kami tetapkan tersebut, sebab rata–rata dari kalangan menengah ke atas.


Acara seperti arisan tentu pesertanya adalah para ibu–ibu, baik yang masih muda maupun setengah baya. Normal saja jika melihat kaum hawa yang menawan hati kita akan merasa tertarik.

Di sinilah pengalamanku akan kuceritakan.

Sebut saja Ibu Lis. Suaminya seorang notaris yang cukup sukses di kotaku.

Ibu Lis dulu pesan juice dalam bentuk botol kecil dengan nilai 150 ribu, jumlah yang cukup lumayan bagi kami. Rupanya akan dijualnya lagi di arisan kelompoknya.

Ibu Lis adalah sosok ibu rumah tangga yang quite enough personality, wajar mengingat latar belakang suaminya.

Tingginya 155 sentimeteran; semampai; rambut sebahu; manis wajahnya (skor 7); dengan umur kutaksir 40-an. Tidak ada perasaan apapun saat pertama bertemu mengantar pesanan.

Aku menghormatinya sebab pelanggan merupakan ujung tombak penjualan. Dari mereka yang merasa puas tentu diharapkan akan bercerita kepada teman; saudara; dan lembaganya untuk ikut mengorder kepada kita.

Terhitung sudah 3 kali ini Ibu Lis memesan juice dalam nilai yang lumayan. Dulu belum kuberikan nomor hapeku karena langsung order pada Tanteku. Berhubung yang mobile aku, akhirnya Tante memberi nomor-nomor langganan khusus padaku.


Hari ini Ibu Lis pesan juice lagi, tentu nilainya ok. Ia WA, ˝Mas, bisa diantar ke rumah jam berapa?˝

Bergegas kujawab ˝Ya Ibu mau jam berapa pasti saya antar.˝

˝Ok... jam 9 kalo gitu ya. Saya tunggu.˝ balas lagi.

˝Ya Bu... terima kasih.˝


Setelah semua selesai kupacking, starter motor, ...wusss berangkat. Sampai di rumahnya pukul 8:15.

Aku mencari tombol bel rumahnya, tet... tet (cukup 2 kali, di atas 3 kali kurang ajar).

Ibu Lis keluar dari dalam rumah masih memakai baby doll.

“Lho kok sudah nyampai..?”

“Iya Bu... biar sama-sama enak.”

“Oo... makasih lho Mas. Jadi saya juga bisa cepet berangkat. Oh ya... ini uangnya.” Ibu Lis menyodorkan sejumlah uang dan kuhitung ada lebihnya.

“Kembali 20 ribu Bu.”

“O ya.. nggak papa. Buat Mas aja... udah pagi-pagi nyampenya.” Ia menjawab sambil tersenyum.

“Manis juga dia...” begitu pikirku.

“Sebentar dulu...” ia menyuruhku menunggu, entah ada perlu apa lagi. Setelah keluar lagi sambil membawa kunci mobil, “Mas... bisa minta tolong dimasukkan mobil sekalian...?”

“Oh... bisa Bu,” aku menjawab sambil menerima kunci mobilnya.

Kutekan tombol alarm mobil dan kuletakkan cooler juice di jok tengah. Hal yang tak kusadari adalah ternyata Ibu Lis mengikutiku.

Saat mengangkat cooler yang lumayan berat, “Saya bantu Mas..”

Aku terkejut kaget, “Oh... bisa kok Bu... makasih.“

Tapi ia tetap ikut mengangkat dan aku tak merasa bahwa rupanya tadi sempat menyenggol sisi dada kanan Ibu Lis.

Setelah 5 detik kemudian baru aku menyadarinya, “Maaf Bu... nggak sengaja...“

“Apanya... ohh... nggak papa.“ Ia hanya tersenyum. Segera kurapikan letak cooler, kukunci mobil dan kuserahkan kuncinya.

“Sudah Bu... maaf yang tadi...“ Ia menerima kunci dan berkata, “Udah... nggak papa kok Mas... terima kasih sudah dibantu ya...“

“Iya Bu... saya yang terima kasih...“ Aku cepat-cepat starter motor dan segera kabur dari rumahnya, “Waduh gawat... semoga dia gak marah dan masih mau pesen. Untung gak ada yang liat juga tadi...“


Berbagai pikiran serba salah dan malu memenuhi pikiranku. Tapi segera kutepis, “Ahh... gak tau... semoga tidak apa-apa. Masih kenceng juga susunya...“

Aku nyengir mengingat kejadian tadi.

Saat masih di jalan mendadak hapeku bergetar, aku menoleh kiri kanan jalan untuk menepi guna melihat siapa yang telpon atau WA aku. Kubaca tertera Ibu Lis, “Mas, mau ngrepotin lagi, bisa nggak..?“

“Ada apa ya..“ aku berpikiran macam-macam, “Kalo saya bisa, saya bantu Bu..“

“Gini lho Mas, sopir yang biasa sama saya nggak bisa nganter, istrinya agak panas badannya. Kalo Mas nggak sibuk, saya minta tolong dianter. Saya sih bisa nyetir, tapi kalo jaraknya agak jauh masih takut.“

Aku nggak langsung balas WA-nya, “Gimana nih... sebetulnya udah selesai semua sih. Tapi nanti kalo Tante tanya mo ke mana tak jawab apa..?“

“Bisa kok Bu, udah selesai semua kok. Nanti Ibu jemput saya di jalan di deket rumahnya Tante saja.“

“Oh gitu, ya udah. Makasih banyak Mas, ngrepotin terus.“

“Nggak ngrepotin kok Bu. Kalo saya bisa ya saya bantu.“

Balas-balasan WA berakhir.

Sesampainya di rumah Tante, aku parkir motor dan mencari Tanteku yang sedang di dapur.

“Tan, aku dijemput temenku. Diajak cari buku... tak tinggal dulu ya.“

Tanteku menjawab, “Ya... semua kerjaan sudah selesai tho.“

“Udah semua kok Tan... keluar dulu ya..“

“Ati-ati ya..“ Tante menjawab sambil masih asyik memasak.

Lalu aku ke kamar mengambil sebungkus rokok untuk menemani menunggu Ibu Lis datang nanti. Aku berjalan ke jalan besar depan gang rumah Tanteku. Aku duduk di batu di trotoar dan kukeluarkan sebatang rokok lalu kunyalakan.

Sambil merokok aku berpikir, “Disuruh ke mana ya sama Bu Lis... moga gak jauh-jauh amat.“

Selang 10 menit kemudian sebuah mobil mendekati trotoar. Aku tak menyadarinya karena asyik menikmati rokok.

“Ayo Mas... berangkat...“

Aku menoleh ke samping dan kulihat sebuah mobil yang kukenal, “Lho itu Bu Lis sudah datang.“

Kaca kiri depan turun setengah dan kulihat sebentuk wajah Ibu Lis.

“Oh iya Bu berangkat sekarang.“ Ibu Lis memakai kaca mata hitam yang pasti ber–merk; bergaun terusan warna oranye cerah; berkalung manik-manik kecil-kecil warna biru; di kursi kiri tergeletak tas hitam mengkilat.

Ibu Lis lalu keluar dan kubukakan pintu kiri depan. Tercium parfum yang kukenal. Kemudian aku menuju pintu kanan; duduk; menyesuaikan kursi dan spion mobil; baru menjalankan mobil.

Semua itu tak lepas dari pandangan Ibu Lis, “Mas teliti sekali ya...“

Aku menoleh, “Iya Bu... kan biar saya nyaman nyetirnya dan demi keamanan.”

Ibu Lis tersenyum mendengarku.

Sambil menyetir aku sempatkan melirik Ibu Lis, “Tambah manis aja kalo udah dandan. Oh iya... memang manis dan ada dana sih...”

”Oh ya Bu... ini mau ke mana..?“

“Ke jalan Mayjen Sungkono Mas...“

Memang cukup jauh dari rumah Ibu Lis.

“Mas... maaf umurnya berapa?“ Ibu Lis bertanya.

“30 lebih Bu...“

“O ya... kalo gitu terpaut sedikit dengan saya. Kalo gitu panggil Mbak aja biar enak.“

“Emm... nggak enak Bu..“

“Nggak papa kok...“

“Tapi kalo sedang berdua saja... maksud saya kalo di mobil atau WA. Di luar itu tetap Ibu... ya Bu... eh Mbak..“


Ia tertawa mendengar aku agak gugup.

“Iya Mas... oh ya... sampai lupa. Nama Mas siapa... udah beberapa kali ketemu belum tau nama... maaf lho Mas..“

“Nggak papa kok Mbak... Iwan Mbak.“

Aku baru menyadari, rok terusan itu panjangnya sedikit di atas lutut dan... belahan dadanya sedikit lebar. Maka saat posisi duduk Ibu Lis berubah ke kiri, belahan dada sebelah kiri ikut terlihat walau hanya sedikit.

Itupun sudah cukup membuatku ada bunyi ting-ting di kepala. Dan panjang rok itu ikut naik sedikit bila Mbak Lis mengobrol padaku dengan sedikit memiringkan tubuhnya ke kiri. “Cukup putih juga kulitnya... iyalah... dirawat..“

Mbak Lis tak sadar atau membiarkan saja posisi gaunnya.

“Lumayan... pagi-pagi gratisan pemandangan indah,“ bunyi pikiranku berdendang.

Kami mengobrol apa saja hingga mendekati jalan dimaksud.

“Arah mana ini Mbak...?“

“Masih terus... itu ada mobil hijau keluar dari gang Mas masuk aja. Nanti saya beri tahu nomornya.“


Setelah 5 menitan, “Nah... itu ada banyak mobil berhenti. Rumahnya nomor 40, pagar biru.“

Aku menghentikan mobil tepat di depan rumah, “Mbak turun dulu... nanti coolernya saya yang bawain.“

“Duh... makasih lho Mas... ngrepotin lagi..“

“Mbak... jangan bilang gitu terus... saya jadi gak enak.“

“Iya deh..“

Setelah berputar dan mencari tempat parkir, aku turun dengan membawa cooler. Lalu aku masuk ke rumah, di sana sudah banyak ibu-ibu. Ada yang masih muda dan banyak juga yang sebaya Mbak Lis.


Bu Lis menghampiriku dan berbisik, “Taruh di dapur aja Mas... biar di atur pembantu-pembantu nanti...“

Aku mencari dapur yang dimaksud dan kuletakkan di sana.

Sempat kudengar ada yang bertanya siapa itu, maksudnya aku tentu, dan dijawab keponakannya.


Aku langsung keluar rumah dan menuju mobil. Belum sampai mobil Mbak Lis memanggilku, “Mas... ini ada sedikit sangu buat Mas... kalo nunggu saya pasti bosan. Paling 2-3 jam lagi baru selesai acaranya.“

“Ha... oh... aduh... nggak usah Mbak... aku ada kok..“


Padahal cuma ada 20 ribu di dompetku.

“Sama kayak siapa aja... udah ambil aja..“ sambil tangan kananku digenggamnya, halus, dan terasa ada sebentuk uang di tanganku.

“Makasih Mbak... kalo gitu nanti tak jemput 2– 3 jam lagi ya..“

“Atau... nanti kalo mau bubar tak WA aja Mas..“

“Iya deh Mbak..”

Mbak Lis bergegas kembali ke rumah dan aku masuk mobil.

Kulihat ada selembar uang 100 ribu di tangan, “Wah... lumayan nih... buat apa ya... nonton atau main game ya..“

Aku bertanya pada diriku sendiri, akan digunakan untuk apa uang ini.

“Ah... pikir nanti aja... yang jelas sekarang ke mall deket sini.“

Kulirik jam tangan, “Gak usah ngebut... masih banyak waktu.“

Sesampainya di mall, aku belum putuskan akan ke mana. Akhirnya aku ingin main game dulu sepuasnya, lalu makan.

Tak terasa waktu melesat bagai anak panah. Jam tanganku menunjukkan bahwa tak lama lagi arisan akan berakhir. Aku segera menyelesaikan makanku; membayar di kasir; menuju parkiran mobil; dan meluncur di jalan guna menjemput Mbak Lis.

Benar saja. Hapeku berbunyi, “Halo.. Mas.. setengah jam lagi saya dijemput ya. Mau selesai nih acaranya.“

“Oh ya Mbak.. ini tinggal 2 kilometeran kok.“

“Ya deh..“

Sampai di sana, kulihat Mbak Lis dengan teman–temannya sudah di depan pagar. Aku berhentikan mobil dan kubuka pintu depan kiri serta pintu tengah untuk memasukkan cooler, yang dibawa pembantu pemilik rumah.

“Daagghh... sampai ketemu lagi ya semua..“ Mbak Lis berpamitan.

Tak sengaja kulirik, ada beberapa teman Mbak Lis yang senyum-senyum padaku dan Mbak Lis, entah apa maksudnya. Kami pun kembali bergabung dengan kendaraan–kendaraan lain di jalan raya.

“Habis Mbak juicenya..?“

“Iya... syukur. Pakai ngancam juga soalnya.. ha..ha..ha..“

“Wah... ganas juga Mbak ini..“

“Ganas... maksudnya..?“

“Ha... oh.. maksudku serem juga Mbak.. pakai acara ngancam segala.“

“Ohh... tak pikir ganas apa,“ sambil tersenyum.

Aku tersenyum juga dan benakku berkata, “Lha... yang tak maksud memang itu... tapi kayaknya Mbak gak ngeh. Maksudnya ganas apa tadi apaan ya..? Tau deh.“

Kami lalu berbincang ke sana kemari, tiba–tiba, “Mas... mau ngrepotin sekalii lagi... kalo nggak capek dan bosen tak mintain tolong sih..“

Aku bertanya-tanya dalam hati, “Apa lagi..“

“Mau tak anter ke mana Mbak..?“

“Gini... aku pingin ke Batu... nglepasin pikiran dan capek... gimana..?“

Mbak Lis menatapku dengan pandangan yang kubayangkan seperti film Sinchan bila memohon sesuatu pada Mamanya.

“Gak ada acara ke mana-mana sih aku Mbak.. kalo Mbak sendiri gak capek... ya ayo aja.“

“Bener nih... wah... makasih banget ya Mas... semoga gak kapok ya..“ dengan tangan kanannya memegang, tepatnya kurasa mengusap, tangan kiriku yang sedang menyetir.

“Yah... makasih lagi... gak jadi aja wis..“ aku menggodanya.

“Eh.. iya.. iya.. ngambek ya..“ rupanya Mbak Lis takut kalo aku benar-benar tidak jadi menemani ke Batu.

Aku hanya tersenyum lebar. Padahal dalam hati aku sedikit mengeluh, “Waduh... udah jam segini... jalan Porong kan gak bisa diprediksi. Ahh... liat nantilah.“

Jadilah sepanjang perjalanan ke Batu ada saja hal-hal yang kami bicarakan.

Sewaktu di daerah Pandaan, kulirik Mbak Lis yang rupanya telah tertidur.

“Pantes... tak ajak ngomong gak njawab... kasihan... capek pastinya.“

Mbak Lis sepertinya pulas, nafasnya turun-naik teratur.

“Kalo pas gini Mbak Lis tambah manis aja... lha... belahan dada kirinya kok tambah lebar lagi. Tak benerin atau nanti bangun malah. Biar ajalah, nanti kalo bangun tak kasih tau. lumayan... ada yang bisa dilihat pas jalan bikin kesel hati.”

Menjelang sampai Batu, kudengar ada gesekan baju dan kursi, “Udah bangun Mbak Lis rupanya.“

“Duh.. enaknya tidurnya Mbak... kayaknya capek banget.”

“Hmm... iya nih... nggak tau kok ngantuk bener dari tadi.”

Mbak Lis menggerakkan dua tangannya ke depan dan terdengar derak jari-jarinya.

“Maaf ya Mas... tak tinggal tidur... lama lagi.”

“Gak papa Mbak... kalo gak dibikin tidur nanti nyampe Batu malah bisa gak enak semua badan. Kan katanya mau rileks sejenak.”

“He.. iya.. oh ya... nanti sebelum nyampe Batu makan dulu yuk... laper nih.”

“Iya Mbak... udah nahan dari tadi,” sambil aku nyengir.

Akhirnya kami mencari rumah makan, “Mau makan apa Mas..?”

“Enaknya sih dingin gini makan sate... sate apa ya... kambing aja wis.”

“Aku juga tapi gabung sama Mas aja ya... 10 tusuk Mas aku lima aja. Biar bikin panas badan kata orang. Aku pesen lele penyet aja... Mas juga..?”

“Liat nanti Mbak... kalo punya Mbak gak habis tak habisin nanti.”

Kami makan sambil berbincang-bincang.

Aku lihat sekeliling, rupanya sedari tadi ada beberapa yang memperhatikan kami, mungkin dianggap sepasang kekasih. Karena kuakui kami cukup akrab, padahal baru pertama kali ini sedemikian dekat.

“Mas mau ngabisin lele ini... kenyang aku."

“Hmm... ya deh... sayang udah dibeli.”

Setelah makananku habis, “Mbak... aku ngrokok ya..?” aku minta persetujuannya.

“Gak papa Mas... kan biasanya emang gitu. Apalagi udara dingin gini.”

Aku menyalakan 234 sebatang, pusss..

“Enaknya... kenyang pas di tempat dingin lagi.”

Rokok pun habis. “Terus... ke mana sekarang Mbak..?”

“Sambil jalan aja yuk..”

Kami pun kembali ke mobil setelah Mbak membayar makanan kami.

Di dalam mobil, “Mas... emm... jalan dulu aja wis.”

“Ada apa sih Mbak... bilang aja.”

“Gak dulu... jalan aja ya.”

Aku hanya memendam pertanyaan, “Ada apaan sih... ada masalah ta Mbak Lis..?”

Aku menjalankan mobil dengan kecepatan sedang, menunggu keluarnya perkataan Mbak Lis.

Selang 10 menit kemudian, “Gini Mas... aku pingin nginap di Batu. Tapi kalo Mas keberatan ya sebentar aja di sana.”

Deg, hatiku.

“Waduh... gimana nih... sebetulnya gak papa sih. Aku juga free.”

“Tapi orang rumah Mbak gimana..?” aku bertanya.

“Kalo Mas setuju... ya sekarang tak telpon bilang di ajak temen-teman nginap di manalah..”

“Ya udah... nanggung juga, udah jam segini. Aku gak ada acara ke mana-mana, nanti Tante tak telpon juga,” jawabku.

“Makuasih buanyak ya Mas... jarang-jarang lho ada anak kayak Mas.”

“Ah Mbak... jadi besar nih..” godaku.

“Besar apanya Mas..?”

“Ya besar kepalalah Mbak..” aku tertawa.

“Uhh... bisa aja,” sambil tangan kanannya menggelitiki pinggangku.

“Kok gak geli Mas..?” tanyanya heran.

“Dari kecil tu aku gak pernah geli kalo digelitikin. Katanya sih... kuat..” aku tidak meneruskan kalimatku.

“Kuat apa Mas..?”

“Emm... kuat nge–sex,” entah dengan keberanian apa aku berbicara itu.

Pikirku, “Biar aja... lagian kita udah kayak kakak adik dari tadi.”

“Hah... masak sih... aku baru denger.”

“Ya kan kata orang Mbak.”

Duduk Mbak Lis lebih miring ke kanan, sepertinya tertarik dengan perkataanku, “Jujur aja... Mas pernah main sama cewek kan..?”

Aku kaget juga.

“Ya iyalah Mbak.. kalo main ma cowok tu kalo cewek udah gak memuaskan lagi... hi..hi..hi..”

“Terus... udah berapa kali?”

“Baru 6–7 kali–an. Emang kenapa Mbak?”

“Nakal juga ya... terus... ceweknya gimana... maksudku puas apa gimana?”

Aku berpikiran, “Wah... omongan kita udah menjurus-jurus nih... cuek ah.”

“Seingatku dan perasaanku sih puas kayaknya. Kenapa Mbak tanya-tanya terus kayak polisi sih... emang siapa mau mraktekin sama aku... temen Mbak... atau..?”

“Atau apa eh siapa Mas?” Mbak Lis penasaran sepertinya.

“Yaaa... Mbak kali... hi..hi..hi..”

“Heii... nakal amat ya..” dengan tambahan mencubit lengan dan kuping kiriku.

“Aduh.. atit kan.. abis nanyanya gak habis-habis,” aku berlagak seperti anak kecil.

“Huh... awas ya nanti..” Mbak Lis duduk menghadap depan lagi dengan tangan di dada dan bibir yang meruncing.

“Ha..ha.. ha.. duh... manis... maap ya.. cup..cup..cup..” aku membujuknya dengan menepuk-nepuk lengan dan pipi kanannya.

“Ih.. pakai pegang-pegang pipi,” Mbak Lis berkata sambil mengelus pipi kanannya seakan-akan tersentuh sesuatu yang tidak enak.

Aku hanya tertawa. Kita seperti saudara atau anak kecil saat itu.

Kami mencari penginapan yang banyak tersebar di Batu. Tiba di penginapan, CS penginapan bertanya, “Mau dua kamar Bu?”

Mbak Lis cepat menjawab, “Nggak 1 aja, yang single bed ya Mbak, makasih.”

Aku pura-pura tidak mendengarnya dan keluar ruangan untuk menyalakan rokok lagi. “Mungkin Mbak takut tidur sendiri di tempat yang baru seperti ini.”

Udara bertambah dingin.

“Tau gini tadi bawa jaket atau sweater,” aku menakupkan tangan kanan di dada.

“Mas.. kenapa.. dingin ya?”

“Ya iyalah Mbak... masak kepanasan di sini,” sambil nyengir.

“Berhubung kita gak bawa baju ganti, cari yuk di sekitar sini,” ajak Mbak Lis.

“Terserah Mbak aja,” jawabku.

Kami keluar penginapan dan menuju pasar yang terdekat.

Mbak Lis membeli baju hangat 1; daster 1 dan underwear 1 set. Sedang aku diberi uang dan jelas aku beli keperluanku sendiri, hanya 1 kaos dan 1 kaos hangat. Kami membuat janji bertemu di dekat mobil.

“Beli apa Mas?”

“1 kaos sama 1 kaos hangat.”

“Ha... gak beli CD ta?”

“Gak Mbak... biasa cowok,” kataku sambil garuk-garuk kepala.

“Jorok ah... walaupun besok kita pulang tapi udah seharian kan. Tak beliin aja wis.”

“Tapi Mbak..” belum sempat kulanjutkan Mbak Lis sudah melesat ke kios sebelah mencari celana dalam yang dirasa pas buatku.

Kami telah berada di mobil kembali. “Nih Mas... moga cukup,” Mbak Lis menyerahkan kresek hitam padaku.

Kulihat ukurannya ternyata benar, warna biru. “Kok bisa tau Mbak ukuranku? Makasih ya Mbak.”

“Yaa kira-kira aja. Cowok tu juga harus jaga kebersihan.”

“Iya Mbakku sayang..” rajukku.

“Huu... nggombal sekarang ya.”

“Ya kan emang bener. Kita kayak udah saudaraan lama dan dekat.”

“Iya juga sih..”

Tak lama kemudian kami telah berada di penginapan lagi.

“Kamar berapa Mbak?”

“201 Mas.”

Aku menuju CS dan mengambil kunci.

Penginapan itu cukup bagus dengan fasilitas kolam renang dan lapangan tenis. 5 menit kemudian kami telah berada di depan pintu kamar. Aku keluarkan kunci dan kubuka pintu, “Silakan Mbak yang manis.”

“Ah... Mas nggombal lagi.”

“Ya udah kalo gak mau dibilang manis... Mbak yang agak lumayan,” kugoda lagi.

“Gak mau bilang manis ya wis... gak papa,” Mbak Lis tidak melihatku, langsung masuk.

Aku agak mengejarnya dan kugelitik pinggangnya.

“Ehh.. geli tau,” Mbak Lis menghindar sambil badannya berputar tapi tak urung terkena sedikit.

Aku tertawa melihat tingkahnya. Kukunci pintu dan lampu-lampu langsung menyala.

“Sepertinya bintang 3 ini. Padahal kita cuma semalam... ah biar aja. Mbak kan memang duitnya lebih dari orang kebanyakan,” pikirku.

Kami meletakkan belanjaan di meja dekat tv. Aku menuju kamar mandi untuk buang air kecil sekalian cuci muka, lengket kurasa dari tadi. Pintu kamar mandi sengaja tak kukunci, toh hanya kami di dalam kamar.

Saat penis masih mengeluarkan air tiba-tiba pintu terbuka. Ternyata Mbak Lis melongokkan kepala ke dalam.

“Lho.. gak dikunci tho.. pipis ya Mas.”

Aku menoleh dan, “Iya Mbak.. kan cuma ada kita dan ya aku pipislah, masak nyemen tembok.”

“Huu..” cuma itu sahutannya dan pintu disisakan celah, tidak ditutup lagi.

Aku lalu mencuci muka dengan sabun. Keluar dari kamar mandi kulihat Mbak Lis sedang mengeluarkan belanjaannya dan dipaskan di badannya. “Cocok kok Mbak dasternya,” aku mengomentarinya.

“Eh... iya.”

Daster itu berwarna putih berbunga biru kecil-kecil, agak tipis.

Mbak Lis meletakkannya lagi dan menuju kamar mandi dan kudengar suara khas wanita sedang buang air kecil.

Dari kaca yang ada di depan tempat tidur kulihat pintu kamar mandi tidak ditutup Mbak Lis, tersisa celah. Tapi tak kuhiraukan, nanti dianggap kurang ajar kalau ketahuan.

Aku menyalakan tv dan kucari channel kartun, pas, Tom & Jerry. Walau telah beberapa kali kulihat tapi pasti judul-judul tertentu membuatku tertawa lebar.

“Liat apa sih Mas... ya ampun kartun. Udah gede kan,” Mbak Lis keluar kamar mandi dan melihatku tertawa lebar.

“Kartun kan sepanjang jaman Mbak... gak ada istilah udah gede atau masih anak-anak,” aku berkomentar balik.

“Iya deh.. kadang memang lucu-lucu sih.”

“Mbak mau mandi dulu atau aku atau..” kalimatku sengaja kugantung.

“Atau apa..” tanya Mbak dengan raut muka sudah mengerti kelanjutannya.

“Mandi bareng..” yang kubarengi meloncat ke samping kiri tempat tidur karena Mbak Lis segera ke arah kanan dan akan mencubit atau apalah.

Jelas terlihat wajahnya yang geram dengan ucapanku.

“Hei... mau ke mana... sini... nggoda terus dari tadi.”

Aku berpindah-pindah ke kanan dan kiri, menghindarinya. Mbak Lis juga demikian.

“Udah... udah... keringatan nih Mbak... ampun deh. Gantian tadi aku ditanya-tanya terus.. he..he..he..”

“Huh.. iya.. jadi keringatan. Awas nanti.”

Masih dengan muka cemberut Mbak Lis menghentikan aksinya lalu berbaring telentang.

Nafasnya turun naik cepat. Aku elus kepalanya, “Maap Mbakku... udah mandi dulu sana, abis itu aku.”

Dia diam, hanya menarik nafas pelan-pelan.

“Iya... tapi tetep awas nanti.”

“Sedari tadi bilang awas terus... emang mau mbalas apa sih?” batinku.

Mbak Lis bangun dan mengambil daster putih lalu melempar bantal ke arahku dan berlari ke kamar mandi. Aku kaget tapi masih sempat menangkap bantal itu, “Lucu juga Mbak Lis itu.”

Aku lanjutkan mencari channel film atau lagu-lagu tahun 80 – 90-an.

Kulihat lagi pintu kamar mandi tak tertutup, “Mbak... pintunya gak ditutup ta. Tak tutup ya..”

“Eh jangan... aku pernah kekunci makanya kalo aku udah kenal sama orang aku percaya aja. Kenapa... mau ngintip ya..”

“Oo gitu... benernya gitu sih... hi..hi..hi..”

“Sini... tak semprot air nanti.”

“Emoh kalo gitu.” Kuperhatikan lagi walau samar-samar dari kaca depan tempat tidur, “Tubuhnya masih ok juga... sayangnya gak keliatan.. hi..hi..hi..”

Tak sadar aku tertidur.

Terbangun saat kurasakan sentuhan hangat di pipi kananku dan, “Mas... ketiduran ya... mandi dulu gih... biar enak.”

“Hmm... iya Mbak.” sambil menggeliat dulu.

Tapi mataku langsung terbuka lebar. Mbak Lis keluar dari kamar mandi dengan berdaster putihnya yang sedikit tipis serta underwear yang membayang terkena sinar layar tv, “Hitam ternyata warnanya... my fave nih.”

Mbak Lis cuek saja karena jelas bahasa tubuhnya memperlihatkan bahwa ia tidak terganggu dengan kondisi dasternya.

Aku lalu bangun mengambil kaos dan celana dalam lalu ke kamar mandi, dengan pintu tak kututup.

“Kok gak ditutup Mas pintunya?”

“Sengaja Mbak.. siapa tau ada yang mau ngintip... he..he..he..”

“Huu,” hanya itu komentar Mbak Lis.

Aku menyalakan air hangat yang kuimbangi dengan air dingin, mau berendam.

Setelah kurasa cukup ketinggiannya aku bersabun dulu, kubilas lalu masuk ke bathtub. Nyaman sekali rasanya, setelah seharian di jalan. Sempat tertidur aku.

Kemudian aku membuka pembuangan air bathtub dan mengeringkan tubuh. Keluar kamar mandi kulihat Mbak Lis tertidur lagi, sepertinya menunggu aku selesai mandi, sebab posisi tidurnya menghadap arah kamar mandi.

Dengan posisi seperti itu, gunung indahnya lumayan terlihat karena belahan daster di dada cukup lebar.

Sejenak aku merasa bangkit nafsuku, “Duh... bikin pingin menyentuh aja nih posisinya.”

Kemudian aku hati-hati duduk di sebelah kanannya dan kuusap pipi kirinya, “Mbak... Mbak... gak dingin ta..”

Mbak Lis tidak mendengar sepertinya.

Aku menarik selimut dan akan kututupkan ke tubuhnya. Belum sempat sampai ke bagian dada, Mbak Lis membuka mata mungkin merasa ada gesekan kulit dengan sesuatu.

“Hmm... oh... udah selesai mandinya Mas..”

“Udah Mbak... enak ya tidurnya... maaf ngganggu,” sambil kuelus rambut di keningnya.

Entah, reflek saja saat itu. Mungkin kedekatan kami dan mulai timbul rasa sayang di diriku. Mbak Lis menatapku mesra, “Emm... iya Mas... abis berendam tadi jadi ngantuk.”

“Iya Mbak, aku juga udah ngrasa enak sekarang. Makasih ya udah ngajak aku ke sini, pake bathtub lagi. Jadi bisa berendam.”

“Sama-sama Mas,” Mbak Lis menggenggam tanganku yang ada sedang bermain-main dengan rambut di keningnya.

“Jadi laper lagi nih Mbak. Pesen makan ya Mbak?”

“Pesen aja. Aku juga laper lagi. Mana daftar menunya Mas?“

Kuambil daftar menu yang di tergeletak di meja tv.

“Aku pesen nasi goreng special aja Mas sama jeruk anget.“

“Aku yang seafood aja, minumnya sama.“

Aku menekan tombol room service dan menyatakan pesanan kami.

Mbak Lis menarik selimut yang masih di bagian perutnya hingga ke dada.

“Mas gak dingin ta... masuk aja.“

“Iya sih..“ Aku lalu ikut masuk ke balik selimut, hangat.

“Mbak... kenapa gak dua kamar pesennya?“

“Aku takut sendirian... kan tempatnya baru kukenal.“

“Heeh,“ jawabku.

“Mas... nanti aku ke kamar mandi kalo pegawainya ketok pintu... gak enak aja. Uangnya ambil aja di tas.“

“Baru mau bilang aku.“

Tak lama kemudian ada yang mengetok pintu.

Mbak Lis bangun dan menuju kamar mandi lalu menutup pintunya. Pegawai room service masuk membawa pesanan kami lalu kubayar serta kuberi tip. Setelah ia keluar kamar, kuberbisik, “Mbak... udah.“

Mbak Lis keluar kamar mandi dan kembali berselimut.

“Wah... banyaknya porsinya."

“Iya nih Mbak... gak tau abis gak ini.“

Kami makan sambil melihat film barat diselingi mengobrol. Piring-piring kami letakkan di meja samping tv.

“Mas... beliin body lotion yang nggak terlalu lengket dan baunya yang enak ya.“

“Buat apa Mbak... malem-malem gini. Kan pagi harusnya."

“Engg... kalo boleh... tapi kalo Mas capek ya gak usah.“

“Nggak Mbak... udah biasa kok. Apa sih Mbak?“

“Enngg... mau minta pijet..“ sambil matanya menatap penuh harap.

“Oo... tak pikir apa. Bisalah Mbak.“ Aku keluar kamar dan menuju drug store penginapan di depan.

Di sana aku beli lotion yang kuanggap paling bagus. Terlintas di benakku, “Kayak-kayaknya berlanjut nih... apa beli kondom juga ya..“

Daripada kepikiran terus, aku beli kondom 2 dus kecil isi 3.

Sampai di kamar Mbak Lis sedang memejamkan mata. “Apa tidur lagi ya..“

“Mbak.. ketiduran lagi ya..“ kutepuk pelan pipi kirinya.

“Emm... abis Mas lama sih... beli apa aja sih.“

“Tadi yang jaga ngajak kenalan,“ aku menggodanya.
“Huu... maunya,“

“Jadi pijetnya Mbak?“

“Ya jadilah... tapi matiin lampu ya..“

“Malu yaa..“

“Udah sana cepet.“

Aku lalu mematikan lampu besar, tv dan kusisakan yang sebelah kananku saja.

“Tv-nya kok dimatiin Mas?“

“Nanti gak konsen mijetnya. Mbak geser pas di tengah ya, biar enak.“

Mbak Lis menggeser tubuhnya ke tengah seperti yang kuminta.

“Selimutnya tak buka apa gak Mbak?“

“Pake aja... dingin.“ Mbak Lis telungkup dengan selimut menutupi tubuhnya.

Aku menyusup masuk dan memposisikan diri agar enak memijatnya. Tangan Mbak Lis kuposisikan seperti orang menyerah ketika ditodong senjata. Aku duduk di antara 2 pahanya yang kubuka sedikit lebar. Kutuang lotion di telapak tangan dan sedikit di bagian kaki dulu yang kupijat.

Pertama kaki sebelah kiri. Kupijat kemudian kuluncurkan tangan ke bagian lutut, berulang-ulang, begitu pula kaki kanannya. Mbak Lis diam saja.

“Pahanya juga ya Mas.“

“Ok Mbak,“ Karena Mbak Lis yang memberi perintah maka aku berani.

Hal yang kulakukan saat di bagian kaki kulakukan pula pada pahanya, hanya kuhentikan hingga mendekati pantat.

Mungkin Mbak Lis merasa aku malu atau bagaimana, “Pantatnya dipijet juga Mas... gak pa-apa.“

Aku ragu, tapi kulakukan juga.

Aku singkap daster hingga sebatas pinggang. Sebuah bentuk pantat yang masih lumayan padat, mengingat usia Mbak Lis.

Lalu aku memijatnya, mungkin tepatnya sedikit meremas tapi bukan kategori nafsu. 10 jariku meremas dan meluncur atas bawah, pelan tapi cukup bertenaga, baik bundaran pantat maupun sisi-sisinya.

Entah benar atau tidak tetapi saat sedikit menyentuh celana dalam bagian belahan dua pantatnya yang bawah, ada rasa hangat dan basah sepertinya. Mau tidak mau penisku mulai menggeliat bangun. Bagaimana tidak, berdua di kamar, acara memijat pula.

Kulihat Mbak Lis memejamkan mata dari tadi, tapi nafasnya sedikit berubah.

“Mbak... punggungnya gimana ini. Tak pijat dari luar atau gimana?“

“Ya dari dalam Mas... dari luar gak kerasa.“ Kepalang basah, toh Mbak Lis sudah memberi lampu hijau.

Aku teruskan saja 2 tanganku setelah dari pantat, naik ke punggung. Tetap kupijat dan kususurkan tangan-tanganku.

Tanpa meminta persetujuan Mbak Lis, kucari kait BH–nya dan kulepas... tess, tapi tetap berada di tubuhnya.

“Lepas aja Mas... bisa?“

Tak kujawab, tali yang kiri kuturunkan dulu hingga lepas dari lengan lalu yang kanan.

“Bentar ya Mbak... maaf,“ kuangkat dada bawahnya untuk melepas total BH-nya.

“Hmm... iya,“ jawab Mbak Lis tanpa nada marah atau protes.

Sedikit tersentuh kulit susu bawahnya, “Masih kenyal juga.“ Penisku makin bangkit dari tidurnya.

Hanya aku tak mau terburu-buru untuk bermesraan dengan tubuhnya, belajar dari pengalaman. Wanita akan lebih terbakar bila irama kemesraan tidak tancap gas.

Kuperhatikan BH-nya, mencari nomor ukuran, “Ukuran berapa nih Mbak?“

“Apa.. oh.. 34A. Kenapa kecil ya?“ Mbak Lis melirik aku yang sedang memegang BH hitamnya.

“34A tu biasa Mbak. Walau kecil tapi kenceng padat aku ya jelas sukalah Mbak. Ya... kayaknya Mbak juga,“ aku menanggapi pertanyaan Mbak Lis yang nadanya mungkin membuatku sedikit kecewa karena ukurannya.


“Huu... belum tau tapi sok tau nih,“ jawab Mbak Lis.

“Feeling aja sih Mbak,“ aku menyahutinya sambil nyengir.

Memijat punggung tentu menyebabkan daster Mbak Lis akan naik, hingga pinggang.

Aku memutuskan untuk mengapit dua pahanya dengan kaki-kakiku lalu duduk di bawah pantatnya, untuk menjangkau bagian bawah leher yang tertutup daster. Namun kemudian Mbak Lis menurunkan tali pundak kiri dan kanan, agar aku tidak kesulitan lalu meloloskan ke dua tangannya.

Dari semula pantat; punggung dan kini pundaknya sudah hampir terbuka semua. Hanya saja dasternya masih menempel di punggung atas.

“Dikurangin dikit tenaganya ya Mas... gak kuat sakitnya,“ begitu kata Mbak Lis.

“Iya Mbak.“ Pelan tapi sedikit bertenaga begitu kumulai memijat pundaknya dengan 2 tangan.

Sebelumnya kutuang lotion di pundak dan telapak tanganku.

“Tak kurangin lagi Mbak tenagaku?“

“Nggak Mas... cukup kok. Hmm... enak.“ Dari pundak, kualihkan ke tulang belikatnya,kuurut dan kupijat.

Semakin ke bawah aku baru sadar bila dasternya masih melekat di punggung.

“Mbak... gak dilepas dasternya? Ngganggu bagian punggung nih.“

“Hm.. ya lepas aja Mas. Pokoknya kalo aku diem ya berarti jalan aja.“

“Ok Mbak.“ Aku tarik daster ke atas melewati kepala.

Mbak Lis membantu dengan meluruskan tangan. Saat akan melalui pundak, Mbak Lis diam saja, tidak mengangkat tubuh. Lalu kupegang daster dengan tangan kiri, kusangga dada bawah Mbak Lis dengan lengan kanan yang menyilang hingga menyentuh susu kirinya.

“Kapan lagi bisa dapet kesempatan kayak sekarang,“ batinku gembira.

Mbak Lis tetap merem tapi mengeluarkan suara, “Emm..“ dan sedikit menggerakkan pundak, kepalanya tetap miring ke kiri.

Praktis tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.

Kulanjutkan memijat dan mengurut punggungnya, dari bawah ke atas.

Tiba–tiba, “Mas... pantat tadi belum dipijet pakai lotion ya? Ulangi lagi ya... kurang mantep.“

“Anything you wish Mbak,“ jawabku.

“Huu... sok Inggris,” Mbak Lis berkomentar.

“Kan memang lumayan.”

“Iya deh,” batinku berpikir, “Hmm... mulai naik nih si Mbak kayaknya.” Kulepas celana dalamnya, dengan mengangkat dua pahanya saat turun melewati pantat.

Kutuang lotion di 2 telapak tangan. Kuremas lagi pantatnya.

Aku menggunakan 2 jempol ketika mengurut pantatnya. Saat kumulai dari bawah pantat untuk mengurut, mau tidak mau mengenai garis tengah 2 pantatnya.

“Geli Mas...”

“Lha kan memang pasti kena. Kalo nggak kena berarti gak full pantat tho Mbak.”

“Iya sih.” Dua pahanya kubuka lebih lebar lagi untuk mengurut paha dalamnya.

Ketika naik, 2 jempolku mengenai area bagian bawah anus Mbak Lis, yang merupakan area lumayan sensitif baik bagi cewek dan cowok.

“Emm...” reaksi Mbak Lis dengan mencengkeram seprei.

Penisku makin berdenyut dan mengembang. Bukan sengaja tapi kuulang hingga 3 kali, karena aku wajib menuntaskan tugas.

Mbak Lis makin kuat mencengkeram seprei di atas kepalanya.

Kurasakan area itu menghangat dan ada sedikit basah, entah karena keringat atau cairan vagina yang mulai keluar.

Kulanjutkan dengan mengurut sisi kiri dan kanan tubuh Mbak Lis. Jelas mengenai sisi luar susunya, agak mengeras kurasa.

Mbak Lis sedikit menggerak-gerakkan kakinya.

“Geli Mas ah..” saat mengenai ketiak kanan dan kirinya dan menggerak-gerakkan tubuhnya.

“Katanya apa aja Mbak gak protes.”

“Iya... tapi kan memang geli.”

“He.. he.. hee..”

Aku membuka kaos karena kurasa panas tubuh yang mulai meningkat.

“Mbak... bagian belakang udah semua. Sekarang yang depan.”

Mbak Lis memutar tubuh untuk telentang.
Akhirnya... bagian-bagian terindah tubuh wanita bisa kulihat sekarang. Susu Mbak Lis termasuk masih bagus mengingat umurnya. Pentil dan areola warna kecoklatan, keduanya bentuknya tidak membesar walau sudah mempunyai anak. Perut sedikit berlemak, wajar. Vagina juga masih ok, warnanya sedikit hitam, dengan rambut yang tertata rapi tidak lebat. Ahh... semuanya kesukaanku,” batinku.

Ada 2 menit aku menatap tubuhnya. Mbak Lis tetap merem, mungkin malu.

“Ayo Mas mulai mijet. Katanya sekarang yang depan.” Mbak Lis membuka mata.

“Lagi ngapain.. eh malah liat-liat. Malu ahh,” Mbak Lis lalu menutup dada dan akan mengatupkan paha.

Tapi karena aku ada di antara 2 pahanya maka ia tidak bisa mengatupkan pahanya, hanya mengangkat paha. Langsung kutahan dengan 2 tangan gerakan pahanya, “Yah Mbak... kalo gak mau keliatan yaa depannya gak usah aja. Dan lagi tubuh Mbak masih bagus.”

“Uhh gombal... biasa cowok,” Mbak Lis menatapku dengan mulut yang sedikit meruncing.

“Yaa... benernya sih gak terlalu bagus. Biar seneng aja,” aku menggodanya.

Mbak Lis membelalakkan mata dan sedikit menegakkan tubuh lalu mencubit paha dan tanganku.

“Habis... memang bagus kok. Dipuji gak mau... yaa aku batalin... he..he..he..”

“Udah... sekarang Mbak telentang yang manis, diem dan nikmatin aja..ok,“ sambil kubaringkan tubuhnya kembali dan kutatap 2 bola matanya dengan merundukkan tubuhku.

Nafas hangatku menerpa wajah Mbak Lis. Kucium kening atasnya yang ada anak rambutnya. Kata orang, wanita bila dicium area itu merasa lebih disayang dan perhatikan. Kami saling bertatap mata.

Mbak Lis tidak bereaksi, hanya 2 bola matanya menatapku dalam dan dua tangannya berpegangan pada 2 lenganku ketika akan kurebahkan.

Mbak Lis kembali merem. Kuletakkan 2 tangannya di sisi kiri dan kanannya. Kedua pahanya kembali kuturunkan dan lebarnya seperti semula.

Aku duduk lebih maju, otomatis lututku mengenai paha dalamnya.

Aku memulai memijat kening; pipi dan area sekitar mata, tanpa lotion. Sengaja kurundukkan tubuh agar nafas kami saling mengenai wajah. Ada 2–3 kali Mbak Lis membuka matanya. Seakan penasaran apa yang akan kulakukan selanjutnya dan ada sinar nyaman dan sayang yang kutangkap.

Kusentil ujung hidungnya. Ketika kusentil bibirnya seperti orang ketika akan menyalakan kenop lampu, “Uuhh... jahil.”

Aku hanya tersenyum.

Kulanjutkan mengurut dan memijat 2 lengannya. Lalu mengurut sisi kanan dan kiri tubuhnya. Nafasnya sedikit naik turun ketika mengenai sisi luar susunya.

Tanpa bertanya dulu, aku memijat dada sekarang. Dari bawah leher turun terus. Kedua pentilnya tak kusentuh. Kupijat dadanya, bukan, lebih tepat mengurut dan meremas pelan.

Mbak Lis makin naik-turun dadanya. Kulirik dua tangannya kuat mencengkeram seprei.

Susu Mbak Lis lebih mengeras dan 2 pentilnya makin tegak.

Aku menggodanya dengan menyentil pentil kirinya, “Kok tegang dan keras Mbak...”

“Mas ini... ahh... malu aku,” ujar Mbak Lis.

Di bagian perut aku hanya mengurutnya pelan. Turun lagi... area vagina. Aku mulai dengan memijat dan mengurut paha dulu.

Dari bawah ke atas. 2 jempolku mengenai lagi area vagina dan anusnya. Area itu jelas sangat sensitif bagi siapapun.

“Eeemmm,” Mbak Lis mulai mengerang dan seprei makin kusut karena cengkeramannya.

Kulihat memang vaginanya sudah basah dan mengeluarkan cairan. Nanggung, kuurut pula dinding luar vagina Mbak Lis.

“Hmpf... hmpf... eengghh... ennggghh,” desah dan erangan Mbak Lis makin keras menggema di kamar kami.

Vagina makin basah dan cairannya mulai mengalir ke luar.

Kusengaja berlama-lama area ini. Jempolku kadang kuurutkan di sungai luar vagina, yang membuat denyutan di vagina Mbak Lis tambah kuat.

“Mmmass... kamu apain mpekkuuu...” racau Mbak Lis.

“Mbak jorok juga bahasanya ih...” aku berkomentar.

“Kamu kok nakal Mmmasss... oouugghhh... eemmppfff...”

Lima menit kemudian tangan Mbak Lis mencengkeram lenganku kuat-kuat dan mengangkat 2 pahanya, membentuk huruf A.

“Aaaahhh... Mmmmasss... uuhhfffssttt... eeemmm...” disertai lenguhan nafasnya yang berhembus keras dan lava panasnya mengalir deras membentuk pulau yang cukup luas di seprei.

Pahanya tetap dalam huruf A dan tanganku pun tetap dicengkeram kuat-kuat sekitar 5 menit. Mbak Lis merem dengan bibir berhuruf O kecil.

Aku bahagia melihatnya, bisa memuaskan orang yang walau relatif baru dekat. Aku merundukkan badan, nafasku berhembus di wajahnya. Lalu kucium lembut bibir yang sedang membentuk huruf O kecil itu, “Cup...” Mbak Lis membuka matanya, dengan sedikit berkaca-kaca.

“Kok nangis Mbak... aku bikin salah ya?”

“Nggak Mas... aku bahagia dengan apa yang Mas lakuin. Makasih ya Mas,” Mbak Lis menarik kepalaku dengan tangan kiri, sedang yang kanan memegang pipi kiriku, menciumku dalam-dalam.

Kubalas dengan mengelus-elus rambutnya dengan tangan kiri, tangan kananku memegang leher kirinya.

Kami berciuman dengan mesra dan saling bertukar lidah, sekitar 5 menit, lalu kuhentikan.

“Kok berhenti Mas?“

Aku hanya tersenyum, kukecup lagi bibirnya, “Cup..“ lalu aku kembali duduk tegak menatapnya. Mbak Lis juga tersenyum, manis sekali. Kedua tanganku digenggamnya mesra.

Aku merendahkan tubuh lagi dan kututup kelopak matanya lagi lalu kucium. Kening Mbak Lis sedikit mengernyit, tanda bertanya-tanya, tapi ia kemudian tersenyum. Pasrah pada apa yang akan kulakukan selanjutnya.

Aku turun dari spring bed, melepas celana dan celana dalamku. Penisku langsung terbang dengan gembiranya, benar-benar full erection.

“Mbak... mengkurep lagi ya,“ aku memerintahnya.

Mbak Lis kembali memutar tubuh dengan mata tetap terpejam, telungkup. Aku naik ke spring bed lagi.

Kedua tangannya kembali kuatur seperti semula. Kulumuri seluruh tubuh belakang Mbak Lis, mulai kaki hingga punggung, lalu tubuhku sendiri.

Aku merambat dari kaki, seperti ular menuju ke atas.

Gampangannya, aku surfing di tubuh belakang Mbak Lis. Saat tubuhku atasku mencapai punggung, kukecup lembut belakang leher, sedikit kugigit kecil.

Mbak Lis menggerak-gerakkan kepala tanda geli, “Mass... geli aku.“

Kukecup punggungnya walau hanya sedikit karena telah penuh lotion.

Aku menurunkan tubuh lagi. Merambat naik lagi. Kali ini kepala penisku sedikit menyentuh daerah pertemuan vagina dan anus.

“Emm.. Mmaass...“ Mbak Lis mulai mengerang lagi. Kulakukan hingga 5 kali.

Tangan Mbak Lis kembali mencengkeram seprei, punggung dan pantatnya sedikit menegang. Telapak kakinya agak menekuk, tanda gairah mulai melanda kuat. Kukecup mesra pipi kirinya, karena Mbak Lis kepalanya miring ke kiri. Kutiup pelan lubang kupingnya.

“Geli ah Mas...“ dengan menggeleng-gelengkan kepala.

Aku turun dan naik lagi. Kurasakan kepala penisku sedikit memasuki pintu vaginanya.

“Oohh... emm..“ erang Mbak Lis.

“Mbak... telentang ya sekarang,“ pintaku.

Mbak Lis sepertinya enggan menurutiku karena untuk memutar tubuhnya ia melihatku dulu dan, “Ngapain sih Mas bolak balik...“ protes rupanya.

Aku menaruh telunjuk kananku di bibirnya sambil tersenyum.

“Tutup mata lagi ya..“ aku memerintah Mbak Lis.

Kubuka pahanya lebih lebar dari pada sewaktu telungkup tadi.

Aku mengusapkan lotion di tubuhku dan kutuang di tubuhnya, lalu merambat dari kakinya lagi. Kulakukan pelan-pelan sambil telapak tangannya kugenggam erat. Sewaktu mendekati vagina, kutiup; kukecup dan kujilat.

“Eemm... Maass..“ Mbak Lis mengerang lagi. Kugelitik pusarnya.

“Geliii Masss...“ katanya. Di daerah dada, kuremas dulu susunya. Kucium pucuk pentil kanannya. Kujilat yang kiri, bergantian.

Mbak Lis mencengkeram lenganku erat. Lalu kuhisap kuat bergantian. “Maasss... eemmmppff...“

Kuputar-putar pentilnya di dalam mulutku yang semakin tegak dan mengeras.

Mbak Lis pun makin menggeliat-geliat. Sekarang kugunakan jempol dan telunjukku kiri dan kanan untuk bermain-main dengan pentil-pentilnya. Sedang bibirku menuju bibir Mbak Lis, menciumnya dalam-dalam.

Kepalaku dipegang kuat-kuat dengan 2 tangannya. Saling sedot lidah, gigit. Sesekali kujulurkan lidahku di langit-langit mulut atasnya kuat-kuat. Hal itu menyebabkan Mbak Lis megap-megap, seakan kehabisan nafas.

Mbak Lis membelalakkan mata tapi bibirnya tetap kukuasai.

Tangan kiriku kuturunkan ke vaginanya. Kutekan-tekan jempolku di sana. Sekuat tenaga Mbak Lis melepaskan bibirnya dariku.

“Hah... ooohh... adduuuhh Maasss...“

Langsung kutusukkan jari telunjuk dan tengah kiriku masuk ke vagina Mbak Lis.

Kontan pahanya menjepit tangan kiriku yang sedang beraktifitas. Tangan kiri Mbak Lis mencengkeram pantatku sedang yang kanan tetap kugenggam erat.

“Adduhhh... Mmaass... terrruuss...“

Aku menerapkan irama 2 kali setengah masuk 1 kali masuk semua.

Mbak Lis semakin kelojotan. Paha; kepala (walau terus kucium); dan pundaknya terus bergerak. Aku lepas ciumanku untuk merambat lagi dengan memposisikan penis tepat di pintu vaginanya. Masuk sedikit, kuturun lagi, berulang 3 kali.

“Mmmasss... jangan mainin aakkuu...“

Tepat yang keempat, aku masukkan semua penisku, dengan kugenggam erat-erat dua telapak tangannya dan kucium dalam-dalam bibirnya.

“Hhmmppff... eennngghhh... eenngghhh...“ desah dan erangan Mbak Lis memenuhi kamar kami yang sunyi.

Aku maju dan mundurkan penisku, berirama 3 kali setengah masuk 2 kali masuk semua. Ketika kulepas genggamanku, dua tangannya langsung memelukku kuat-kuat.

Sekitar 10 menit kami dalam posisi telentang. Kemudian Mbak Lis ingin berada di atas, terasa dari gerakan tubuhnya. Kusangga punggungnya dan sehingga Mbak Lis berputar sendiri.

Kini Mbak Lis yang pegang kendali. Aku diciumnya ganas, tanpa sempat menarik nafas. Kepalaku dipegang dua tangannya, sedang pinggang dan pantatnya dihujamkan ke penisku dalam-dalam. Kerapatan dan kehangatan vaginanya masih lumayan.

Mbak Lis juga sesekali bergerak maju mundur tanpa menekan pinggangnya. Aku hanya meremas pantat serta memeluknya erat.

Beberapa kali jari tengahku kuusapkan di urat yang tepat di tengah jalur vagina dan anus, cowok pun juga ada. Area itu salah satu yang cukup sensitif untuk meningkatkan birahi.

Terbukti Mbak Lis semakin mengerang dan kecepatan maju mundurnya pinggang semakin kencang.

“Mmmaaaass... kamu kok piinntteerr sssihhh...“

Tak berapa lama Mbak Lis merebahkan tubuhnya, disertai luncuran lava panas yang diikuti denyutan otot-otot vaginanya.

“Ooohhh... Mmmaaass... eehhmmmppff... ahh... aahhh..“ Mbak Lis telah berada di awan rupanya.

Kupeluk erat-erat punggungnya. Degup jantungnya terasa benar di dadaku.

Sekitar 5 menit Mbak Lis di atas tubuhku. Kupegang kepalanya, kutatap 2 bola matanya yang berkaca-kaca.

“Kok nangis lagi Mbak... aku nyakitin ya?“

“Huk..huk.. nggak Mas. Mas baiiikk banget sama aku. Sekian lama tak kurasakan perasaan ini. Nyaman banget.”

Aku membelai-belai rambutnya hingga ujungnya, lalu kukecup kening dan bibirnya, “Aku yang makasih Mbak. Mbak yang baik banget sama aku, padahal kita deket baru kali ini.”

Kuusap air matanya dan kukecup bulir-butir air matanya yang masih menetes.

Rambutku dibelainya pula lalu bibirku dicium dalam-dalam.

“Mas belum ya?”

Aku hanya tersenyum, “Cowok kan wajib memuaskan pasangannya dulu.”

“Huu... nggombal lagi.”

“Itu udah prinsipku dari dulu Mbak. Untuk aku kan gampang aja. Selama masih kuat ya kulanjutkan,” aku berkata panjang lebar.

Ujung hidungku disentilnya, “Nakal... tapi Mas memang ok. Mas mau kan kita deket terus?” matanya menatapku dalam, penuh harap.


“Iya Mbak... kalo Mbak nggak baik dan seksi... ya emohlah aku... he..he..he..”

Ia gemas dan rambutku diacak-acak.

Saat itu entah Mbak Lis merasa atau tidak, kugetar-getarkan penisku yang masih bersarang damai di vaginanya. Kupegang erat pantatnya dengan dua tanganku dan kugerakkan maju-mundur.

“Hhmmppff... Mmmaass... aku diapain lagi,” Mbak Lis mulai naik lagi birahinya.

Makin lama kecepatan cengkeramanku di pantatnya makin kutingkatkan dan kusertai hunjaman penis hingga mentok.

Mbak Lis belingsatan, menegakkan tubuh lalu meraih dua tanganku, diletakkan di susunya.

Aku meresponnya dengan meremas dan memainkan pentil-pentilnya, tapi tidak terlalu kuat. Mbak Lis menggoyang tubuhnya sendiri seperti yang kulakukan tadi.

Kuangkat pinggangku untuk menghunjamkan penis, disambut hentakan pinggang Mbak Lis dalam-dalam. Kutarik kepalanya dan kucium ganas. Kami saling memegang kepala pasangannya.

“Hhegghh... hheegghh... oohhh... Mmmasss... aku mau kkelluuarr llaagiii...”

Kutatap matanya, “Oougghhh.. iiiyyaaa... Mmmbbbakk... aakkkuuu... jjjuugggaaa. Di dalam attaauu..” Belum sempat kuteruskan kalimatku langsung disambar,

“Ddaalleeemm aajjjjaaa... oouuffsstt... aaayyoo... Mmmaasss...”

Pantatnya kucengkeram makin erat, kugoyang maju mundur-makin cepat.

Beberapa saat kemudian kurasakan magmaku sudah di ujung kepala penis. Kuangkat pinggangku lebih cepat agar penisku lebih sering mengenai tembok belakang vaginanya dan seiring pantatnya kuhentakkan ke bawah. Aku diciumnya dalam-dalam. Lidah Mbak Lis kusedot kuat-kuat.

“Oouughhh... aaahhhh... eemmppfffssstt... Mmmaaass...” Kupegang kepalanya dengan tangan kanan erat-erat dan tangan kiriku memeluk pinggangnya sekuatku.

“Mmmbbbaaakk... oouuugghhh... uuufffsstt...”

Kami mencapai awan hampir bersamaan.

Mbak Lis merebahkan tubuh lagi, tapi hanya sebentar karena aku balikkan tubuhnya. Kususupkan 2 lenganku di leher belakang Mbak Lis. Kepalaku di susunya.

Kujepit 2 pahanya erat-erat. Penisku masih berdenyut-denyut mengeluarkan magma begitu pun vagina Mbak Lis yang juga masih mengeluarkan lava dan denyutannya juga masih terasa. Lama juga posisi kami seperti itu. Kudengar isak tangis perlahan.

“Yahh... kok nangis lagi sih Mbak... maaf aku lupa pake kondom. Padahal udah beli tadi.” Kutatap bola-bola matanya.

Kujilat air matanya dan kukecup 2 kelopak mata Mbak Lis.

Punggung dan kepalaku dibelainya. Lalu aku dicium, “Nggak Mas... aku memang pingin magmamu menyembur di mpekku. Aku nangis karena aku bahagia. Mas memang baik.”

“Aku memang dari tadi pingin kontolku nyemprot mpekmu Mbak,” balasku.

“Jorok ih omongannya."

“Kan Mbak yang ngajari..hi..hi..hi..”

Kami tertawa bersama, sedang malam telah larut.

Kucium habis seluruh wajahnya. Mbak Lis membalasnya pula.

“Mbak... tak nyalain air bathtub dulu terus kita berendam yuk. Habis itu bobo,” ajakku.

“Iya sayang... aku juga capek banget habis kamu setubuhi,” dengan senyum manisnya.

“Abis Mbak juga yang nyerempet-nyerempet dulu.. aku kan hooh aja..hee.. hee.. hee..” aku nggak mau kalah.

“Uuhh... dasar... cepet sana nyalain.”

Kami pun 2 jam berendam bersama di bathtub, berbincang-bincang apa saja.

Jika tidak melihat kulit jari-jari kami yang mulai mengkerut, mungkin bisa lebih lama lagi berendamnya.

Akhirnya kami tidur berpelukan, tanpa busana di balik selimut.

Esoknya kami pulang dengan senyum terus mengembang dan perasaan bahagia yang mekar di hati. (.)(.)
 
Terakhir diubah:


K h a l i j a h



Jilbabnya lebar, berkemeja longgar putih dan rok hitam panjang semata kaki Khalijah tidak dapat menampik jika ada orang yang mengatakannya berwajah cantik.

Bibirnya yang tipis merona merah delima dan lesung pipit yang tampak kentara di pipinya menimbulkan hasrat banyak lelaki yang memandanginya.

Sebentuk kacamata minus yang menghiasi wajahnya membuatnya terlihat makin menawan. Dia juga terlihat lebih dewasa di antara teman-temannya.

Sebagai mahasiswi kedokteran, Khalijah sering diminta untuk melayani di puskesmas tempat tinggalnya sebagai tenaga medis karena keterbatasan tenaga medis di daerahnya dan juga bertugas di posyandu membantu ibu-ibu PKK.

Suatu ketika saat Khalijah sedang bertugas di puskesmas, tiba-tiba datang seorang pria setengah baya yang terburu-buru menemuinya. Khalijah mengenalnya, pria itu adalah Pak Hasan, salah satu kerabat dekat kepala desa. Pak Hasan walaupun sudah berumur limapuluh tahun tapi terlihat masih kuat dan kekar.

Dulunya Pak Hasan adalah jawara desa yang sangat ditakuti. Tampangnya seram, rambutnya yang sudah beruban tumbuh tidak teratur seolah tidak pernah tersentuh air.

Senada dengan itu kumis dan janggut kambingnya juga tidak terawat. Tampangnya semakin sangar dengan sebuah bekas luka yang menoreh di pipi kirinya, seperti luka bekas bacokan senjata tajam.

“Pak Hasan… ada apa Pak?” tanya Khalijah dengan tergopoh-gopoh.

Pak Hasan yang terengah-engah tidak segera menjawab. Dia masih terbungkuk mencoba mengatur nafasnya, sepertinya dia baru saja berlari mengelilingi desa.

“Eh.. tolong Neng Dokter.. ibunya.. anu.. anu, Neng Dokter, maksud saya.. mmm.. mmm maksud saya... istri saya..” Pak Hasan berujar terputus-putus di tengah napasnya yang tidak teratur.

“Istri Bapak kenapa..?”

“Tidak tahu Neng Dokter.. tahu-tahu panasnya tinggi dan muntah-muntah.”

“Di mana sekarang istri Bapak?” Khalijah bertanya bingung. “Kenapa tidak dibawa ke sini..?”

“Di rumah Neng.. boro-boro dibawa ke sini, jalan saja susah, kalau bisa Neng Dokter yang ke sana,” Pak Hasan menunjuk ke arah luar, maksudnya mungkin menunjuk ke arah rumahnya.

“Iya Pak.. sebentar saya ambil tas dulu.” Khalijah segera menyambar tas peralatannya, dan tanpa menunggu persetujuan, Pak Hasan menarik tangan Khalijah, Khalijah mengikuti dengan langkah terseret keluar dari puskesmas.

“Aduh.. tunggu Pak.. jangan cepat-cepat,” Khalijah mengeluh, dia memakai sepatu hak tinggi, tentu saja susah kalau diajak jalan cepat.

“Kalau tidak cepat nanti keburu hujan Neng,” Pak Hasan menunjuk ke atas.

Khalijah ikut menengok, langit memang terlihat suram karena tertutup mendung tebal.

Mereka segera mempercepat jalannya. Perkiraan Pak Hasan tepat, baru setengah perjalanan hujan sudah mulai turun dan makin lama makin deras, membuat keduanya basah kuyup.

Khalijah merasakan tetes-tetes air sebesar kelereng seperti hempasan peluru yang menghajar tubuhnya. Tubuhnya menggigil kedinginan sementara tidak ada tempat untuk berteduh.

Akhirnya mereka terpaksa berjalan di tengah hujan.

Sampai di rumah Pak Hasan hujan belum reda sedikitpun, bahkan makin deras. Tapi Khalijah merasa lega akhirnya bisa berteduh.

Tetapi baju yang dipakainya basah kuyup oleh air hujan sehingga menciptakan dua gunung nan indah yang tertutup ujung jilbabnya yang ikut basah kuyup.

Di teras rumah Pak Hasan ada dua orang pria yang sepertinya juga sedang berteduh menghindari hujan yang kian menggila.

“Lho.. Parjo.. Somad.. kalian di sini..?” Pak Hasan mengenali mereka, mereka adalah petugas hansip desa yang sering ronda kalau malam hari.

“Eh iya Pak.. tadi barusan dari desa sebelah, baru sampai di tengah perjalanan sudah hujan,” ujar Parjo, pria bertubuh gemuk dengan rambut botak di bagian depannya, menyeringai.

Di sebelahnya, Somad yang bertubuh pendek tapi gempal dengan rambut dipangkas pendek bak tentara, juga menyeringai.

“Kok sama Neng Dokter ini Pak..?” Parjo bertanya dengan nada tertahan seolah tidak ingin mencampuri urusan pribadi Pak Hasan.

Sesekali matanya melirik ke arah Khalijah. Tatapan matanya bagaikan srigala lapar yang siap menerkam mangsanya.

Khalijah mendadak merasa risih ditatap oleh Parjo dan Somad, seolah mata kedua orang itu mampu melihat sampai menembus ke balik jilbab putih dan kemejanyanya, apalagi dari luar jilbabnya menyembul dua gunung nan indah.

“Istri saya sakit.” Pak Hasan menjawab kalem.

Parjo dan Somad hanya menjawab dengan o…. panjang. Pak Hasan lalu menyuruh mereka berdua masuk.

“Neng Dokter bajunya basah kan.. nanti pakai saja baju punya anak saya.” kata Pak Hasan. Pak Hasan lalu masuk ke salah satu kamar dan tak lama kemudian keluar dengan membawa beberapa lembar pakaian.

“Eh.. “ Khalijah menatap Pak Hasan. “Boleh saya numpang ganti baju Pak?”

“Oh ya.. di situ saja..” Pak Hasan menunjuk ke arah kamar belakang yang sebagian dindingnya terbuat dari triplek tipis.

Khalijah yang sudah kedinginan bergegas masuk ke dalam kamar itu dan segera mengunci pintunya.

Kamar itu tidak seberapa luas, hanya berukuran dua kali tiga meter dan terkesan kosong, ada sebuah ranjang kayu reot di dekat dinding sebelah kiri pintu dan sebuah lemari kayu yang juga usang. Beberapa poster artis India tertempel di dinding secara acak dan tidak teratur.

Khalijah meletakkan baju pemberian Pak Hasan di atas ranjang. Kemudian dengan gerakan perlahan dia mulai membuka satu persatu pakaiannya.

Mula-mula kemejanya yang basah kuyup sehingga tubuh bagian atasnya sekarang hanya berbalut bra berwarna pink berenda dan jilbab putih.

Tubuh Khalijah jelas sekali terawat dengan baik. Putih dan mulus. Payudaranya terlihat padat dan ketat di balik mangkuk branya.

Lalu Khalijah mulai menurunkan rok panjangnya, dan sepasang kakinya yang jenjang dan mulus terlihat begitu elok dipandang, pahanya yang padat dengan pinggul membulat berakhir pada pinggang yang ramping.

Selembar celana dalam yang juga berwarna pink berenda melekat di bagian segitiga selangkangannya.

Pantatnya juga terlihat begitu padat, dan meskipun masih berada di balik celana dalam, tidak dapat dipungkiri pantat itu sangat bagus, padat dan mulus, semulus bagian tubuh Khalijah yang lain.

Khalijah kemudian menyeka seluruh tubuhnya dengan selembar handuk dengan gerakan tenang seolah di rumah sendiri, bahkan Khalijah terdengar bersenandung kecil.

Tanpa disadarinya, ada sesuatu yang bergerak liar di luar kamar mengikuti setiap gerakannya dengan tatapan mata yang liar.

Rupanya di luar kamar, Parjo sedang berkasak-kusuk di dekat dinding kamar tempat Khalijah berganti pakaian.

Rupanya sejak dari awal Parjo bertemu Khalijah di rumah Pak Hasan, Parjo mempunyai niat jahat pada Khalijah. Parjo hafal seluk beluk rumah Pak Hasan karena sering sekali menginap di situ. Dia tahu di dinding kamar itu ada celah kecil yang tersembunyi jika dilihat dari dalam, letaknya agak di bawah dekat dengan lemari.

Parjo sering mengintip Pak Hasan ngentot dengan bininya. Bini Pak Hasan juga memakai jilbab panjang sehari-hari. Dan Parjo ingat betul bagaimana bentuk vagina bini Pak Hasan ketika lubangnya dimasuki oleh penis Pak Hasan yang panjang dan besar.

Parjo sambil onani menyaksikan liukan pinggul Mak Iyam meliuk-liuk dengan lincahnya tidak mau kalah meremas penis Pak Hasan ketika penis Pak merajam-rajam lubang vaginanya.

Wanita berjilbab memang memiliki daya tarik seksual tersendiri bagi sebagian laki-laki seperti Parjo. Parjo juga sering menikmati bau vagina anak gadis Pak Hasan melalui celana dalam bekas pakai Siti yang ditemui Parjo pagi-pagi di kamar mandi.

Siti yang duduk di bangku SMK Negeri ini suka masturbasi, tak pelak Parjo sering menemukan lendir kental menempel di celana dalam gadis berumur 17 tahun ini dan dijilati Parjo dengan nikmatnya bagaikan menikmati selai untuk mengoles roti tawar.

Parjo nekat mencoba melebarkan celah itu dengan menggunakan pisau hansip yang saat itu dibawanya. Celah itu membuka cukup lebar untuk Parjo bisa mengintip ke dalam.

Dan Parjo dengan jelas bisa melihat apa yang terjadi di dalam, dan dengan jelas pula Parjo bisa melihat kemulusan tubuh Khalijah yang hanya berbalut celana dalam dan bra serta selembar jilbab menutup kepalanya.

Parjo meneguk ludah menyaksikan kemulusan dan kemolekan tubuh Khalijah. Tubuh Parjo sampai panas dingin dan gemetar menahan dorongan syahwat yang menggelegak bagaikan air panas yang sedang mendidih di panci saat menyaksikan tubuh yang nyaris telanjang itu.

“Apa yang...” Pak Hasan dan Somad yang tahu-tahu sudah berada di dekat Parjo, melongo dan tertegun menatap ulah Parjo.

Parjo terkejut sesaat dan beringsut mundur. “Ngapain kamu..?” Pak Hasan bertanya dengan suara lirih. Parjo menunjuk ke arah celah yang dibuatnya. Pak Hasan lalu ikut mengintip ke dalam.

Seperti Parjo, Pak Hasan juga meneguk ludah menyaksikan tubuh Khalijah yang mulus itu. Gairah kelelakiannya bangkit seketika, napasnya terengah-engah menahan gejolak liar dari dalam tubuhnya.

“Mulus banget ya, Pak…” Parjo berbisik.

Pak Hasan hanya mengangguk tanpa menggeser tubuhnya dari tempat mengintip itu. Dilihatnya Khalijah sedang menimbang-nimbang apakah perlu melepaskan bra dan celana dalamnya juga.

“Buka… ayo buka..” Pak Hasan bergumam lirih pada dirinya sendiri.

~~~ ©©© ~~~

(bersambung)
 
Tapi Pak Hasan kecewa karena Khalijah memutuskan untuk tetap memakai pakaian dalamnya dalam keadaan basah.

Pak Hasan makin kecewa saat Khalijah memakai pakaian pemberiannya, seolah menyesali keputusannya memberikan pakaian itu pada Khalijah.

Ketika Khalijah keluar kamar, Pak Hasan dan Parjo bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, meskipun begitu Parjo tidak dapat menahan diri untuk terus menatap tubuh Khalijah, terutama pada bagian payudara, selangkangan dan pantatnya.

Khalijah sendiri tidak tahu kalau beberapa saat yang lalu tubuhnya dijadikan obyek wisata. Dia segera bergegas memeriksa keadaan istri Pak Hasan yang sedang sakit, yang terbaring lemah di ranjang.
Khalijah kemudian memriksa kadaan istri Pak Hasan. Tanpa disadari oleh Khalijah, Pak Hasan dan Parjo sedang berkasak-kusuk merencanakan sesuatu.

Khalijah lalu berdiri sambil menatap ke arah Pak Hasan.

“Dia nggak apa-apa, cuma terserang flu berat, sekarang sudah tidur.” kata Khalijah lembut. “Dia cuma perlu istirahat.”

“Terima kasih Neng Dokter,” Pak Hasan mengucapkan terima kasihnya sambil menyilakan Khalijah duduk di ruang tengah. Ada secangkir minuman di tangan Pak Hasan.

“Silakan diminum dulu Neng,” Pak Hasan menyodorkan cangkir di tangannya sambil tersenyum aneh.

Khalijah menerimanya dengan canggung sambil mengucapkan terima kasih. Khalijah perlahan meneguknya sedikit, bukan teh, bukan pula kopi, cairan hangat yang mengalir di dalam tenggorokannya terasa aneh, segar dan membangkitkan sesuatu dari dalam dirinya, seperti kehangatan yang sulit dilukiskan.

“Minuman apa ini Pak..?” tanya Khalijah sambil menatap penuh tanda tanya.

“Oh.. itu minuman tradisional desa ini Neng, dibuat dari daun teh liar dari hutan sini..” Pak Hasan menjawab ringan. “Habiskan Neng.”

Khalijah agak ragu untuk meneguknya lagi, tapi dia merasakan tubuhnya yang tadi kedinginan mendadak menjadi hangat, maka Khalijah sedikit demi sedikit meneguk minuman itu sampai habis.

Sesaat Khalijah merasakan tubuhnya hangat dengan kehangatan yang tidak lazim. Seperti ada yang menyalakan api kecil di dalam tubuhnya, kepalanya perlahan seperti berputar dan pandangannya mengabur membuat keadaan di sekelilingnya menjadi berwarna abu-abu.

Khalijah juga merasakan dorongan aneh di dalam tubuhnya, seperti seekor kuda liar yang berusaha mendesak keluar. Mendadak badannya menjadi terasa gelisah, keringat mulai menetes dari tubuh Khalijah. Desakan asing dari dalam tubuhnya membuat Kahlijah seolah ingin secepatnya melepaskan seluruh pakaiannya dan membuatnya seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Dalam keadaan seperti itu Khalijah merasa tubuhnya seperti diangkat dan dipindahkan dari ruangan tengah dan direbahkan ke sebuah tempat yang lembut dan lebar.

Setelah beberapa saat Khalijah kemudian benar-benar hilang kesadaran.

Beberapa saat kemudian Khalijah terbangun dari tidurnya. Untuk beberapa saat Khalijah merasakan keanehan yang terjadi pada dirinya, dia sekarang berada di sebuah kamar sempit dan terbaring di atas sebuah ranjang lebar berbau melati.

Samar-samar dilihatnya ada tiga orang yang berdiri di dekatnya mengelilingi tubuhnya.

“Pak Hasan..” Khalijah mengejapkan matanya untuk melihat lebih jelas, perlahan bayangan samar yang dilihatnya mulai menampakkan bentuk aslinya, Pak Hasan, Parjo dan Somad berdiri mengelilinginya di pinggir ranjang. Ketiganya hanya memakai celana kolor.

Khalijah berusaha bangun, tapi tubuhnya lemas sekali, pengaruh minunam yang diminumnya membuat sekujur badannya lemas.

“Sudah bangun Neng..” Pak Hasan berujar sambil tersenyum dengan tatapan matanya memelototi Khalijah.

Parjo dan Somad bahkan menatap Khalijah tanpa berkedip sedikitpun sambil sesekali menguk ludahnya.

Khalijah merasa ada yang salah dengan tubuhnya melihat ketiga orang itu menatapnya. Dan beberapa detik kemudian Khalijah baru sadar kalau dirinya terbaring di atas ranjang dalam keadaan telanjang bulat, tanpa selembar benangpun menutupi tubuhnya.

“Apa yang kalian lakukan pada saya..?” Khalijah menjerit, tapi suaranya terdengar terlalu lemah, dia berusaha mundur dan bangkit, tapi tubuhnya tidak bertenaga, dia hanya mampu menutupi payudaranya yang telanjang sambil berusaha merapatkan kakinya, sementara jilbabnya sudah tersingkap hingga leher.

“He..he..he..he..” Pak Hasan tertawa pelan. “Belum ada sih Neng, soalnya kami baru saja selesai menelanjangi Neng Dokter.”

“Jangan Pak.. jangan.. jangan sakiti saya..” Khalijah mulai menangis sambil berusaha berontak, meskipun dia terlalu lemah untuk itu, yang dilakukannya hanya mengejang-ngejang di atas ranjang yang justru membuat gerakan erotis karena dirinya dalam keadaan bugil.

“Oh.. tentu tidak Neng, Bapak hanya ingin senang-senang sedikit saja,” kata Pak Hasan sambil menoleh ke arah Parjo dan Somad yang menyeringai liar.

“Tidak apa-apa Neng.. Bapak hanya minta Neng melayani Bapak sebentar saja, Bapak sudah lama tidak mendapat jatah dari istri Bapak.” kata Pak Hasan

“Jangan Pak.. jangan.. saya tidak mau..” Khalijah menangis sesenggukan sambil menggeleng ketakutan.

“Jangan nangis Neng, Bapak janji bakal muasin Neng Dokter juga, malah mungkin Non yang ntar ketagihan.” katanya setengah berbisik, hembusan nafasnya terasa di telinganya.

Khalijah merinding mendengar usapan itu, sama sekali tidak disangkanya Pak Hasan tega melakukan hal ini padanya, Khalijah memang sudah tidak perawan karena pernah melakukan masturbasi dengan timun sehingga selaput daranya robek, tapi dia tidak mau dijadikan pelampiasan nasu seorang tua bangka seperti Pak Hasan.

“Neng Dokter cantik sekali..” Pak Hasan menyeka air mata yang membasahi pipi Khalijah lalu mengalihkan wajah cantik itu berhadapan dengan wajah buruknya, dilumatnya bibirnya yang mungil itu dengan kasar, sementara tangan kanannya meremas-remas payudaranya.

Khalijah memejamkan mata dan meronta berusaha melepaskan diri, namun tenaganya terlalu lemah untuk melawan Pak Hasan, malah rontaan itu membuat Pak Hasan makin bernafsu mengerjainya.

Ketika tangan Pak Hasan mulai merogoh bagian kewanitaannya, dia tersentak dan mulutnya sedikit membuka, saat itulah lidah Pak Hasan menerobos masuk ke mulutnya dan melumatnya habis-habisan, lidah Pak Hasan menyapu telak rongga mulutnya.

Khalijah merapatkan pahanya untuk mencegah tangan Pak Hasan masuk lebih jauh, namun dengan begitu Pak Hasan malah senang bisa sekalian membelai paha mulusnya sambil tangannya makin menuju ke selangkangan.

Sekali lagi tubuhnya tersentak seperti kesetrum karena jari Pak Hasan telah berhasil mengelus belahan vaginanya. Desahan tertahan terdengar dari mulutnya. Tangan Pak Hasan menyusup menyentuh permukaan kemaluan Bella yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

Khalijah mengejang sesaat ketika tangan itu menyentuh kemaluannya, campuran antara sensasi yang ditimbulkan sentuhan tangan itu dan pengaruh minuman yang tadi diminumnya membuat tubuhnya menegang sesaat. Bella mulai merasakan getaran-getaran yang mengenai syaraf seksualnya, tanpa sadar Bella mendesah.

“Ahhhhhh… ehsssss…. ohhhkkkhhhh…” Khalijah merintih dan bergerak liar merespon sentuhan Pak Hasan.

Pak Hasan melihat reaksi itu semakin bersemangat. Pak Hasan lalu berusaha membuka kedua belah paha Khalijah lebar-lebar sambil terus menerus menciumi bibir Khalijah.

Nafas gadis itu semakin memburu dan wajahnya yang putih merona merah karena rangsangan-rangsangan gencar Pak Hasan. Tangan Pak Hasan akhirnya berhasil membuka paha Khalijah membuat vagina Khalijah sekarang terbuka lebar, vagina itu terlihat bagus dengan ditumbuhi rambut halus dan rapi.

Parjo dan Somad yang melihat aksi Pak Hasan mengerjai Khalijah hanya bisa meneguk ludah sambil mengocok penis mereka sendiri.

“Ohh.. jangan lama-lama Pak.. kami juga kebelet..” Parjo mengerang pelan sambil meneguk ludah.

Sebuah pemandangan yang erotis, ironis, namun sangat menggairahkan. Seorang gadis cantik yang alim, berjilbab lebar dan berbaju longgar yang ia gunakan untuk melindungi dirinya dari pikiran kotor para lelaki bejat, kini terbaring tak berdaya dengan jilbab tersingkap dan buah dada serta perut yang terbuka lebar, penuh liur dari orang yang memperkosanya.

Dari mulutnya terdengar lenguhan dan desahan birahi yang terdengar semakin meninggi, disela jeritan dan kata-kata penolakan yang seperti dikatakan hanya untuk menjaga kehormatannya.

“He..he..he.. giliran kalian nanti ya..” kata Pak Hasan.

Kemudian Pak Hasan mulai memainkan jari-jarinya di vagina Khalijah sambil terus menciumi dan mengulum bibir Khalijah Lidah Khalijah yang berusaha menolak lidahnya justru semakin membuatnya bernafsu mencumbunya.

Beberapa saat lamanya Pak Hasan terus menciumi bibirnya dan mengelus-elus bibir vaginanya. Jari-jari Pak Hasan yang ditusuk-tusukkan ke vaginanya sadar atau tidak telah membangkitkan libidonya.

Menyadari perlawanan korbannya melemah, Pak Hasan menyerang daerah lainnya, payudara Khalijah yang telanjang perlahan mulai diremas oleh Pak Hasan.

Khalijah berusaha menepis tangan Pak Hasan dan menutupi dadanya dengan menyilangkan tangan, namun Pak Hasan mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan melebarkannya ke samping badan.

Dia memejamkan mata dan menangis, seorang bertampang buruk dan seusia ayahnya meremas, menjilati dan mengenyot payudaranya.

Gadis berjilbab itu menggeliat-geliat dengan suara- suara memelas minta dilepaskan yang hanya ibarat menambah minyak dalam api birahi pemerkosanya.

Cukup lama Pak Hasan menyedoti payudara Khalijah sehingga meninggalkan bekas cupangan memerah pada kulit putihnya dan jejak basah karena ludah. Jilatannya menurun ke perutnya yang rata sambil tangannya terus memainkan payudara Khalijah.

“Tidak…jangan Pak, jangan!” ucap Khalijah memelas sambil merapatkan kedua belah paha ketika Pak Hasan mau menjilati vaginanya.

Pak Hasan hanya menyeringai lalu membuka paha Khalijah dengan setengah paksa lalu membenamkan wajahnya pada vagina gadis itu.

Tubuh Khalijah menggelinjang begitu lidah Khalijah yang panas dan kasar itu menyapu bibir kemaluannya, bagi Khalijah lidah itu adalah lidah pertama yang pernah menyentuh daerah itu, tubuhnya menggelinjang dan darahnya berdesir merasakan sensasinya.

Pak Hasan berlutut di ranjang dan menaikkan kedua paha Khalijah ke bahu kanan dan kirinya sehingga badan gadis berjilbab itu setengah terangkat dari ranjang, dengan begitu dia melumat vaginanya seperti sedang makan semangka.

“Sudahhh Pak…ahh…aahh !” desah Khalijah memelas saat lidah Pak Hasan masuk mengaduk-aduk bagian dalam vaginanya.

Sekalipun hatinya menolak, tubuhnya tidak bisa menolak rangsangan yang datangnya bertubi-tubi itu. Harga diri dan perasaan ngerinya bercampur baur dengan birahi dan naluri seksual.

Sekitar seperempat jam Pak Hasan menikmati vagina Khalijah demikian rupa, dengan ahlinyanya dia menyedot dan menjilati klitoris gadis berjilbab itu menghanyutkannya dalam permainan liar ini.

“Eenngghh… aaahh…!” Khalijah pun akhirnya mendesah panjang dengan tubuh mengejang. Dia menyedoti bibir vagina Khalijah sehingga tubuhnya makin menggelinjang.

Orgasme pertama begitu dahsyat baginya sehingga membuatnya takluk pada pria itu. Parjo dan Somad yang melihat Khalijah orgasme tertawa senang.

“He..he..he..he.. ternyata konak juga, tadi nolak-nolak tuh.. dasar pelacur, dimana-mana sama saja... meski pakai jilbab kalo pelacur yah konak juga.” Parjo berujar datar.

“Iya nih… tadi berlagak alim nggak mau, ternyata nyampe juga..” timpal Somad yang juga masih mengocok-ngocok penisnya sendiri.

“Nah.. kalau begitu Neng dokter sudah siap ya..” kata Pak Hasan.

Khalijah tahu maksud ‘siap’ yang dilontarkan Pak Hasan. Dirinya memang terangsang hebat oleh perlakuan Pak Hasan, meskipun pikirannya menolak, tapi tubuhnya tidak bisa berbohong. Khalijah yang sudah mulai kehilangan akal sehatnya hanya terdiam.

Diamnya Khalijah itu bagi Pak Hasan dan kawan-kawannya dianggap sebagai lampu hijau dari Khalijah untuk menidurinya.

Perlahan Pak Hasan mulai menarik kedua belah kaki jenjang Khalijah ke arah luar sehingga terpentang lebar membuat vaginanya terkuak. Lalu perlahan Pak Hasan mulai menindih tubuh mulus Khalijah yang telanjang bulat. Pak Hasan merasakan kenyalnya payudara Khalijah menekan dadanya dengan lembut.

Perlahan-lahan, Pak Hasan lalu menaikkan kedua kaki Khalijah yang masih mengangkang sehingga melingkari pinggulnya yang kekar. Kedua pahanya kini melingkari bagian perut Pak Hasan. Kemudian Pak Hasan menggosok-gosokkan batang penisnya ke kemaluan Khalijah membuatnya kegelian merasakan kemaluan Pak Hasan yang menyentuh kemaluannya.

Setelah penis Pak Hasan mengeras sepenuhnya dan siap dipakai, dia lalu mengarahkan kemaluannya yang panjang dan hitam legam itu ke arah bibir kemaluan Khalijah. Siap untuk dibenamkan ke dalamnya.

Merasa batang penisnya telah siap lalu Pak Hasan mendorong pinggangnya maju mendesak pinggul Khalijah membuat penisnya masuk ke dalam vagina Khalijah.

Saat penis Pak Hasan melesak ke dalam kemaluan Khalijah, spontan Khalijahpun mengejang. Jeritan tertahan di tenggorokannya. Sebentar kemudian, ia pun meringis…. kedua matanya terpejam menahan nyeri dan sakit pada rahimnya. Tak terasa air matanya pun menetes…

“Aduuuh…….. Paak…!! Ampuuun…” jeritnya halus mengiba. Pak Hasan masih mendorong penisnya untuk masuk terus hingga dasar kemaluan Khalijah.

Khalijah pun terus menangis dan air matanya menetes membasahi pipinya yang putih saat itu. Tubuhnya pun terguncang-guncang di bawah tubuh kekar Pak Hasan.

Mengetahui tangisan Khalijah saat menerima penisnya masuk, Pak Hasan lalu memeluk Khalijah dengan ketat dengan posisi tetap di atas tubuh putih Khalijah. Ia peluk Khalijah dan diciuminya bibir Khalijah seakan tidak ingin terpisahkan.

Pak Hasan ingin bibir mereka juga menyatu sama seperti tubuh mereka yang telah menyatu saat itu.

Khalijah meronta mencoba mendorong tubuh Pak Hasan yang menindihnya tapi dirinya terlalu lemah, rontaan Khalijah bukannya membuat Pak Hasan bergeser justru membuatnya semakin bernafsu, sensasi yang didapatnya saat vagina Khalijah mencengkeram penisnya benar-benar membuatnya merasa nikmat.

Pak Hasan tetap mendiamkan penisnya yang panjang dan besar itu di dalam kemaluan Khalijah. Ia ingin mereguk kehangatan tubuh gadis berjilbab cantik itu dengan sempurna. Khususnya kehangatan yang berasal dari cengkeraman vaginanya.

Apalagi dinding-dinding kemaluan Khalijah terasa berdenyut-denyut meremas penis Pak Hasan yang keras. Ia pun menikmati semua itu sambil terus mengulum bibir Khalijah dan menjilati bagian belakang telinganya yang basah oleh keringat.

Dari tengkuk Khalijah jilatannya terus berpindah ke arah bahu yang putih bersih hingga menampakkan aliran merah darah dari urat-urat Khalijah. Nafsu Pak Hasan terus terpacu karena wangi tubuh Khalijah yang juga masih tercium aroma minyak wangi mahal yang telah bercampur dengan keringatnya saat itu.

Setelah puas di bahu, lalu ia turun ke arah payudara Khalijah yang bernomor 34B itu. Mulut Pak Hasan terus bermain-main dengan puting dan belahan payudara Khalijah.

Jejak cupangan merah mulai banyak menghiasi kedua payudara yang putih dan mulus itu.

Diperlakukan sebegitu rupa, pelan-pelan bertahanan Khalijah jebol, tubuhnya sudah tidak mematuhi perintah otaknya yang menolak cumbuan Pak Hasan, desakan luar biasa sebagai akibat pengaruh minuman yang diberikan Pak Hasan benar-benar bagaikan kuda binal yang menghentak-hentak di setiap ujung syaraf kenikmatan seksual Khalijah.

Cengkeraman Khalijah pada bahu Pak Hasan makin mengeras dan tubuh Khalijah akhirnya mengejang keras seperti dialiri listrik yang membuatnya terhentak. Wajah Khalijah merah padam seperti menahan sesuatu yang inginn dilepaskan.

Akhirnya diiringi desahan lirih, Khalijah mencapai orgasme untuk yang kedua kalinya.

Pak Hasan menyadari Khalijah kembali dilanda orgasme, karena vagina Khalijah dirasakan mencengkeram penisnya dengan kuat seperti cengkeraman tangan baja.

Pak Hasan kemudian mulai mengerakkan pantatnya maju mundur untuk menggenjot kemaluannya ke dalam liang vagina Khalijah. Sedang kedua tangannya memegangi pinggang Khalijah agar tetap di tempatnya.

Khalijah perlahan-lahan menikmati genjotan Pak Hasan yang kasar itu. sementara kedua tangannya tergeletak ke samping sambil meremas-remas seprei yang sudah tak jelas warnanya itu. Itu yang terdengar hanya dengus nafas dan erangan kedua orang yang sedang bersetubuh itu.

Selama setengah jam lamanya Pak Hasan menyetubuhi Khalijah, ditonton oleh Parjo dan Somad yang sudah blingsatan setengah mati menahan gejolak yang menggebu.

Sungguh sebuah ketahanan yang luar biasa, terutama mengingat umur Pak Hasan yang sudah tua, Sementara Khalijah semakin lama makin menikmati persetubuhan itu.

Tanpa sadar dia mulai mengimbangi gerakan Pak Hasan, bahkan saat Pak Hasan berhenti menggenjot vaginanya, Khalijah spontan menggerakkan pantatnya sendiri maju mundur.

Respon yang diberikan Khalijah membuat Pak Hasan makin bersemangat. Kemudian Pak Hasan membuat gerakan memutar-mutarkan pantatnya sehingga penisnya seperti mengaduk vagina Khalijah.

Khalijah merasakan batang penisnya menyentuh seluruh rongga vaginanya, terasa berputar-putar, terasa sangat penuh, sampai akhirnya Khalijah merasakan penis Pak Hasan berdenyut denyut di dalam rongga vaginanya dan Khalijah sendiri sudah akan mencapai orgasme yang ketiga kalinya.

Tubuh Khalijah kembali mengejang, tanpa sadar Khalijah memeluk badan Pak Hasan dan mencakari punggungnya dengan garukan keras.

“AHHHHHKKKKHHHHHHHHH………………….” Khalijah mengerang kuat, seluruh energinya tumpah keluar saat orgasme untuk ketiga kalinya, pada saat itulah Pak Hasan mencapai puncaknya.

“AAAARRRRGGGGHHHHHH …..” Pak Hasan berteriak kuat-kuat sambil menjambak jilbab Khalijah, badannya melengkung ke atas sambil wajahnya menunjukkan ekspresi puas luar biasa dan kemudian spermanya menyembur bagitu banyak di dalam rongga rahim Khalijah.

Akhirnya tubuh kedua insan yang baru saja melakukan persenggamaan itu melemas kembali. Pak Hasan selama beberapa menit membiarkan tubuhnya menindih tubuh putih mulus Khalijah, mencoba merasakan sebanyak mungkin kenikmatan dari tubuh gadis berjilbab cantik dan terpelajar itu sepuas-puasnya sambil sesekali mulutnya mencium dan mengulum bibir Khalijah.

Khalijah kembali meneteskan air matanya, tapi dia tidak dapat memungkiri kalau dirinya baru saja menerima pengalaman seksual yang sangat luar biasa sehingga di dalam hatinya dia ingin lagi dan lagi disetubuhi oleh mereka.

Pak Hasan akhirnya melepaskan penisnya dari jepitan vagina Khalijah. Dia sendiri kemudian terkapar lemas di samping Khalijah sambil mengelus kepala berbalut jilbab Khalijah.
 
Terakhir diubah:
Update....

“Sekarang giliran saya Pak..” suara Parjo yang bergetar membuat Pak Hasan tersadar. Dia lalu berdiri dan menjauh.

“Nah.. giliranmu sekarang Jo..” kata Pak Hasan.

Parjo hanya tersenyum liar sambil memandangi tubuh Khalijah yang basah oleh keringat.

Parjo tipe orang yang tidak sabaran, apalagi dia memang sudah sejak tadi terangsang hebat melihat adegan persetubuhan Khalijah dengan Pak Hasan, Parjo segera menarik tubuh bugil Khalijah yang tergolek lemas di atas ranjang lalu dibalikkannya tubuh Khalijah sampai menelungkup.

“Saya mau nyoba gaya anj*ng boleh ya Neng..” Parjo berlagak sopan. Lalu dengan kasar ditariknya pantat Khalijah sampai menungging membuat Khalijah sekarang dalam posisi pantat lebih tinggi dari kepalanya.

Parjo kemudian berlutut tepat di belakang Khalijah sambil segera melepaskan celananya, dan sebatang penis sepanjang 16 sentimeter dengan diameter sekitar 3 sentimeter segera mengacung keras.

Parjo mengarahkan penisnya ke bibir vagina Khalijah yang sudah basah oleh cairan lendir dan sperma Pak Hasan kemudian Khalijah segera menekankan penisnya ke dalam vagina Khalijah.

Khalijah menjerit kecil sambil mendongak, meskipun penis itu masuk tanpa perlawanan akibat vaginanya yang sudah licin, tapi karena ukurannya yang besar membuat Khalijah merasa kesakitan.

“Oookkkhhh….” Khalijah meringis menahan sakit pada vaginanya. Air matanya sampai meleleh kembali di pipinya yang mulus.

Sementara Parjo memejamkan matanya merasakan sensasi jepitan vagina Khalijah pada penisnya. Kemudian Parjo pelan-pelan mulai menggoyangkan pantatnya membuat penisnya mendesak lebih dalam di dalam vagina Khalijah.

Sentakan itu membuat Khalijah mengejang sambil merintih. “Akkhh… sakiit Paak.. aduuuhhh.. sakiit..” Khalijah merintih sambil menghiba.

“Sakit ya? Tenang saja Neng, sebentar lagi juga enak, tadi kan Neng dokter seneng banget waktu digenjot sama Pak Hasan..” Parjo mengejek. Sambil memegangi pantat Khalijah, Parjo mulai memaju-mundurkan pinggulnya dengan frekuensi genjotan makin naik.


Setiap pria itu menyentakkan pinggulnya, Khalijah mendesah keras sampai suaranya terdengar keluar, dia merasa perih pada vaginanya, namun juga ada rasa nikmat bercampur di dalamnya, penis yang menyesaki liang kemaluan itu menggesek-gesek klitorisnya yang tentu saja merangsang gairahnya.

Parjo melenguh-lenguh menikmati penisnya menggesek-gesek dinding vagina Khalijah yang masih ketat. Khalijah sendiri mulai bangkit kembali gairah seksualnya.

Dia lama-lama bisa mengimbangi gerakan kasar Parjo. Pinggul Khalijah kini malah ikut bergoyang mengimbangi sentakan-sentakan Parjo.

Lama-lama Khalijah pun tidak tahan lagi, tubuhnya menggelinjang karena klimaks.

“Ooohhhhhh……….” desahan panjang terdengar dari mulutnya, dia merasakan mengeluarkan cairan dari vaginanya meleleh keluar dari selangkangannya.

Selama klimaksnya, Parjo tidak sedikitpun berhenti maupun memperlambat genjotannya, sebaliknya dia semakin bersemangat melihat gadis cantik itu telah takluk.

Setelah selama sekitar limabelas menit menggagahi Khalijah dengan gaya anj*ng, rupanya Parjo kurang puas, dengan gerakan kasar dia mendorong tubuh Khalijah membuat penisnya yang masih menancap di vagina Khalijah terlepas dari jepitan vagina itu. Lalu Dipaksanya Khalijah duduk berhadap-hadapan dengannya.

Ditatapnya wajah Khalijah yang cantik itu, wajah itu terlihat sangat memelaskan tapi tidak membuat Parjo merasa iba, dia justru merasa kenikmatannya bertambah.

“Sekarang Neng dokter yang goyang ya..” kata Parjo.

Khalijah hanya bisa mengangguk, lalu mulai menggerakkan pantatnya maju mundur sambil melingkarkan kaki mulusnya ke pinggang Parjo.

Parjo mengimbanginya dengan mencengkeram pantat Khalijah dan mendorong pantatnya maju mundur. Sementara bibirnya sibuk menyusu pada payudara Khalijah sambil sesekali mengulum dan menjilati puting payudara Khalijah.

Selama beberapa menit berikutnya yang terdengar hanyalah gesekan penis Parjo di dalam vagina Khalijah diiringi dengan desahan erotis dari bibir Khalijah yang mungil, sementara Parjo tanpa henti terus mengaduk-aduk vagina Khalijah membuat Bella makin merasa nikmat, pelan-pelan birahi Khalijah kembali meninggi dan akhirnya Khalijah bersedia mengimbangi setiap gerakan Parjo, membuat mereka bisa berpadu dengan serasi dalam mencapai puncak kenikmatan seksual.

Selang beberapa menit, Parjo perlahan merebahkan kembali tubuh mulus Khalijah yang sekarang kembali basah oleh keringat membuat posisinya kembali tertindih tubuh Parjo, tapi dengan kedua kaki masih melingkari pinggul Parjo.

Parjo tanpa berhenti terus menggenjotkan penisnya di dalam vagina Khalijah, hal itu membuat Khalijah makin terhanyut, desahannya makin menjadi-jadi, tubuhnya makin lama makin menegang, tangannya mencengkeram kasur dengan sangat erat dan beberapa menit kemudian Khalijah akhirnya tidak tahan lagi, orgasmenya meledak.

“OOOOHHHHH……………………..” Khalijah mengerang kuat-kuat sambil badannnya melengkung membuat payudaranya mencuat menekan dada Parjo dengan lembut.

Parjo merasakan vagina Khalijah berdenyut-denyut, seolah menyempit dan meremas penisnya dengan kekuatan cengkeraman tangan, sensasi itu membuat Parjo megap-megap, dia tidak tahan lagi, sensasi dahsyat menghantam sekujur tubuhnya seolah cakar harimau yang merobek tubuhnya dari dalam.

“AHHHHHKKHHHH…………….” Parjo tidak tahan lagi, dengan erangan keras dia menyentakkan penisnya dengan keras ke dalam vagina Khalijah, lalu saat itu juga spermanya menyembur dengan deras membanjiri rahim Khalijah.

Tubuh Parjo menegang sesaat sebelum melemas lagi. Parjo ambruk setelah mendapat orgasme yang luar biasa. Belum pernah Parjo melakukan hubungan seks senikmat ini, kenikmatan yang diperolehnya daripara pelacur yang pernah digaulinya jelas tidak ada seujung kuku jika dibandingkan dengan kenikmatan yang didapatkannya saat menggauli tubuh gadis secantik Khalijah.

“Ohhh… gila, enak banget memeknya Neng dokter..” kata Parjo lirih di telinga Khalijah. Khalijah hanya diam saja meskipun air matanya meleleh membasahi pipinya.

Tapi meskipun sedih, Khalijah juga merasakan kenikmatan yang tiada taranya saat digauli oleh Parjo.

Pacarnya sekalipun belum pernah memberikan kenikmatan begitu dahsyat seperti yang baru saja dialaminya bersama Parjo dan Pak Hasan. Karena itu Khalijah diam saja ketika dilihatnya Somad naik ke ranjang menggantikan posisi Parjo.
 


“Sekarang giliran saya Neng..” ujar Somad sambil cengar-cengir. Khalijah hanya menatapnya dengan tatapan sayu.

Somad untuk beberapa saat hanya mengagumi tubuh telanjang Khalijah yang terlentang di hadapannya.

“Astaganaga, gila bodinya Neng dokter mantap banget nih, wah beruntung banget nih kita,” kata Somad,” Lalu tanpa ba bi bu lagi tubuh Khalijah langsung diterkamnya.

“Hmmphhh ungghhh Pak… hmmph,” Khalijah merasa sangat sesak sekali, karena selain tubuh Somad yang gempal itu, nafas dan bau badannya sangat mengganggu, tapi Somad tidak mempedulikannya, mulut Khalijah langsung dijilatnya tanpa menghiraukan rintihan Khalijah, lidahnya mulai berhasil menembus mulut Khalijah, dan selama beberapa saat keduanya saling bergulat bibir dengan ganas.

Tiba–tiba tanpa peringatan Somad langsung menjambak jilbab dan rambut Khalijah membuat Khalijah kesakitan.

“Aahhh... sakit Pak.” Khalijah merintih, Somad justru menyeringai.

“Keluarin lidahnya Neng dokter…” Somad memberi perintah, dan dalam keadaan seperti itu Khalijah hanya pasrah, dijulurkannya lidahnya yang berwarna pink.

Somad tanpa pikir panjang langsung mengulum lidah Khalijah tanpa merasa jijik sedikitpun. Lidah Khalijah bahkan di permainkan di mulutnya.

Kemudian Somad mulai meremas remas payudara Khalijah, ia mainkan puting susu Khalijah seperti orang ingin mencari gelombang radio.

Somad juga menjilat-jilati puting susu Khalijah dan dimainkan terus sehingga puting susu Khalijah mengeras dan mengacung dengan indahnya, Khalijah kembali menegang, birahinya seperti dibakar kembali, dan tanpa sadar Khalijah kembali hanyut dalam permainan yang kali ini dilakukan oleh Somad.

Khalijah hanya mampu mengerang menahan gejolaknya yang kembali menggebu.

Melihat Khalijah yang sudah kembali terangsang, Somad segera melepaskan celana kolornya, dan penisnya yang hitam legampun mengegang keras siap untuk dihujamkan ke dalam vagina Khalijah.

Somad kemudian mengatur posisi kaki Khalijah supaya mengangkang lebar membuat vaginanya yang sudah basah itu membuka lalu Somad mengatur posisi tubuhnya tepat di depan celah kemaluan itu. Kemudian dengan gerakan pelan Somad menggesek-gesekkan ujung kemaluannya di bibir vagina Khalijah, hal itu membuat Khalijah mengerang lirih.

Somad kemudian mendorong pantatnya maju dengan gerakan pelan, membuat penisnya sedikit demi sedikit mendesak masuk ke dalam liang vagina Khalijah.

Khalijah merasakan vaginanya seperti melebar ketika menerima penis Somad yang lebih besar dari penis Parjo, membuatnya meringis kesakitan.

“Ahhh… sakiiitt.. sakit Pak…” Khalijah merintih lirih. Air matanya kembali meleleh, dia berusaha melebarkan kakinya agar vaginanya bisa menampung penis Somad.

“Sakit ya Neng..? Bentar lagi juga enak.. tahan ya Neng..” Somad berujar santai sambil menindih tubuh mulus Khalijah lalu mendekapnya dengan kedua tangannya yang kekar.

Kemudian dengan gerakan pelan Somad menarik penisnya, membuat Khalijah sedikit bisa bernafas lega. Tapi sedetik kemudian Somad kembali menusukkan penisnya ke dalam vagina Khalijah, kali ini dengan sentakan kasar.

“Ahhhkk….!!” Khalijah merintih sambil menggeliat, membuat tubuhnya melengkung dan tulang rusuknya seperti menjiplak di kulitnya.

Tanpa sadar Khalijah mencengkeram punggung Somad dengan kuat membuat goresan kecil dengan kuku-kukunya. Tapi Somad tidak merasakan goresan kecil itu, konsentrasinya sepenuhnya berpusat pada kemaluannya yang sudah bersatu dengan kemaluan Khalijah.

Sensasi luar biasa mengalir ke dalam setiap pembuluh darahnya membuat darahnya seperti menggelegak. Somad lalu mengulangi aksinya, meanirk penisnya pelan dan menghunjamkannya ke dalam vagina Khalijah dengan kasar.

Kembali Khalijah menjerit lirih menerima perlakuan itu. Somad lalu mengulanginya lagi, membuat Khalijah kembali menjerit.

Dan selama sepuluh menit kemudian yang terdengar di kamar itu adalah jeritan-jeritan lirih Khalijah ketika vaginanya digenjot oleh Somad dengan kasar.

Rupanya jeritan Khalijah yang sensual itu menjadi sensasi tersendiri yang menambah kenikmatan Somad dalam melakukan persenggamaan dengan Khalijah.

Khalijah sendiri meskipun merasa tersiksa, tapi mulai bisa menikmati sensasi yang dihasilkan dari persetubuhannya dengan Somad. Pelan-pelan rintihannya berubah dari rintihan kesakitan menjadi rintihan kenikmatan.

Khalijah perlahan juga mulai mengimbangi gerakan-gerakan Somad yang kasar dengan gerakan pinggulnya. Sensasi yang dibuat oleh Somad pada diri Khalijah membuat Bella tak berkutik lagi, lenguhan dari bibirnya yang mungil makin menjadi-jadi seolah meracau. Karena itu Khalijah tidak menolak ketika Somad memintanya berganti posisi.

Somad yang masih mendekap tubuh Khalijah yang mulus berguling sehingga sekarang posisinya terbalik, tubuh mulus Khalijah yang telanjang sekarang berada di atas Somad.

Somad lalu meminta Khalijah untuk menggerakkan pantat sehingga penis Somad yang masih mendekam di dalam vagina Khalijah kembali terkocok oleh jepitan vaginanya.

Khalijah melakukannya sambil terengah-engah, Somad meresponnya dengan melumat bibir Khalijah yang megap-megap dengan rakus seolah berusaha menelan bibir itu mentah-mentah.

Selama sepuluh menit keduanya berada dalam posisi berdekapan dan saling berpagutan bibir.

Masih tidak puas dengan gaya itu, Somad lalu bangkit dalam posisi duduk tanpa melepaskan pelukannya dari tubuh Khalijah sehingga sekarang keduanya saling menempel dalam posisi duduk di ranjang.

Kaki Khalijah sekarang melingkari pinggul Somad, lalu keduanya bergantian menggerakkan pinggulnya membuat kemaluan mereka yang bersatu kembali terbenam dalam sensasi seksual yang menggebu.

Khalijah mendesah penuh kenikmatan diperlakukan sedemikian rupa. Dan Somad membalas aksi Khalijah dengan memagut bibirnya kemudian menelusuri leher dan belahan payudara Khalijah dengan ciuman-ciuman, meninggalkan bekas kemerahan di bagian yang diciuminya.

Setelah bebarapa menit Somad kembali kepada posisinya semula, direbahkannya tubuh Khalijah dan ditindihnya kembali tubuh mulus itu. Somad kemudian menggenjotkan penisnya lagi, kali ini gerakannya teratur, membuat Khalijah serasa melayang ke angkasa oleh sensasi yang dihasilkan genjotan Somad.

Menit demi menit berlalu, Somad masih bersemangat menggenjot Khalijah. Sementara Khalijah sendiri sudah mulai kehilangan kendali diri, dia kini sudah tidak terlihat sebagai seseorang yang sedang diperkosa lagi, melainkan nampak hanyut menikmati ulah Somad.

Khalijah merasakan ingin selamanya disetubuhi seperti ini, Khalijah tanpa sadar memeluk Somad dan memberikan ciuman di mulutnya.

Mereka berpagutan sampai Khalijah mendesis panjang dengan tubuh mengejang, tangannya mencengkeram erat-erat lengan kokoh Somad.

“Aaaaaahh…ooooohh !” desah Khalijah sambil memeluk Somad dengan kuat saat penis Somad melesak ke dalam vaginanya, cairan yang sudah membanjir dari vagina Khalijah menimbulkan bunyi berdecak setiap kali penis itu menghujam.

Suara desahan Khalijah membuatnya semakin bernafsu sehingga dia meraih payudara Khalijah dan meremasnya kuat-kuat membuat Khalijah meringis kesakitan bercampur nikmat. Khalijah merasa dirinya seperti mau meledak.

Tubuhnya bergetar dan kemudian mengejang kuat sekali.

“AHHKHHH….. OHHHHH…..” lolongan kuat meluncur begitu saja dari bibir mungil Khalijah, untuk kesekian kalinya Khalijah mengalami orgasme gila-gilaan.

Somad akhirnya menyerah, diapun kemudian melepaskan sensasi yang sedari tadi ingin dilepaskannya. “Ahhhhh…..“ Somad melenguh penuh kepuasan saat spermanya menyembur mengisi rahim Khalijah.

Crroottt.... crrrooottt.... crrrooottt... crrootttt.... crrooottt...

“Ahhhhh…..“ lenguh Somad lagi.

“Minggir Mad!” terdengar suara Pak Hasan dan Parjo, Somad yang masih dikuasasi sensasi orgasme gelagapan, dia menyingkir dan melihat Pak Hasan dan Parjo tiba-tiba naik ke atas ranjang sambil berlutut tepat di atas wajah Khalijah sambil mengocok penisnya.

Lalu....

Croott… crrootttt… crooottt…. sperma kedua orang itu muncrat membasahi wajah Khalijah. Rupanya selama mereka melihat Khalijah disetubuhi oleh Somad, mereka kembali naik birahinya dan melakukan onani. Setelah puas menyemprotkan spermanya di wajah Khalijah mereka terkapar di ranjang dengan napas terengah-engah.

Dibiarkannya Khalijah ranjang itu, wajahnya tampak sedih dan basah oleh keringat, air mata dan cairan sperma yang sangat banyak melumuri wajahnya, dalam hatinya berkecamuk antara kepuasan yang dialaminya dan rasa benci pada ketiga orang yang baru saja memperkosanya.

Selama sehari semalam penuh, ketiga orang itu kembali menikmati kemulusan tubuh Khalijah dengan berbagai macam cara.

Khalijah dipaksa untuk melakukan oral seks sambil mengocok penis yang lain, lalu dipaksa pula untuk melayani tiga orang sekaligus.

Ketiganya melakukan hal itu secara bergantian membuat Khalijah berkali-kali orgasme. Khalijah juga dipaksa untuk menari dalam keadaan telanjang bulat, lalu mereka menyuruhnya untuk menjilati penis mereka satu-persatu sambil kemudian menyemprotkan spermanya di wajah dan tubuh Khalijah.

Baru keesokan paginya setelah semalam suntuk menggarap tubuh Khalijah habis-habisan mereka mengantar Khalijah pulang ke pondokan sambil disertai ancaman akan melakukan sesuatu yang buruk jika Khalijah berani buka mulut tentang perlakuan mereka semalam.

Gadis itu segera mengenakan pakaiannya. Tubuhnya lemah lunglai berbau bir dan sperma-sperma kering masih menempel di tubuhnya. Sementara Pak Hasan tidak lupa untuk berpesan agar Khalijah setiap saat siap jika mereka ingin menikmati tubuhnya lagi. (Desember 21, 2012)


 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd