Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Kompilasi] Rumput Tetangga 'Nampak' Selalu Lebih Hijau.. (CoPasEdit dari Tetangga)

Bimabet
-----------------------------------------------------

Cerita 85 – Kenangan Hitam Masa Lalu

Chapter 8

Jam
setengah lima sore, Gatot pergi lagi. Ia sengaja tidak membangunkan Murti yang masih tertidur pulas.
Ia juga sangat hati-hati saat mengambil kunci pintu kamar dari sela paha Murti.. lalu melangkah perlahan-lahan tanpa suara.
Aman.

Gatot kembali menutup pintu kamar dan langsung ke garasi.
Ia tidak menghidupkan mobil.. tapi mendorong mobil itu sampai ke jalan raya.
Barulah ia menyalakan mesin. Gatot sudah akan melaju tapi ada yang menghalangi mobilnya.

Persis di depannya tiba-tiba ada sebuah motor melintang di jalan.
Motor itu tidak juga menyingkir meski sudah diklakson berkali-kali.
Gatot hilang kesabaran. Iapun keluar dari mobil dan melangkah cepat menghampiri motor itu.

Belum sempat ia menegur.. pengendara motor itu mendahului membuka helm dan mengurai rambut panjangnya..
lalu berbalik memandang Gatot dengan senyuman yang menghanguskan kemarahan.

Emosi Gatot yang siap meledak jadi jinak. Sekarang pengendara motor itu menepi.
“Masih ingat aku..?” Kata pengendara motor.
“Ya Tuhan..! Ningsih..!?” Seru Gatot senang.

“Benar, Tot. Lama sekali kita tidak jumpa..” kata Ningsih.
“Iya..” Gatot mengangguk. ”Malah kupikir kamu sudah punya anak banyak..” candanya.

Ningsih tertawa.. “Boro-boro beranak, nikah aja belum. Kamu mau ke mana..?” Tanyanya kemudian.
“Jemput majikanku. Kamu sendiri..?” Tanya Gatot balik.

“Mau jalan-jalan ke kompleks. Aku kan juga lahir di sini, Tot..” jawab Ningsih.
”Gimana si Murti..?” Ia bertanya lagi.
“Kamu langsung ke rumahnya aja..” sahut Gatot.

”Maaf ya, Ning.. aku buru-buru..” serunya.
“Baiklah. Sampai ketemu lagi, Tot..” Ningsih tersenyum.

Mereka berjabat tangan sebelum berpisah.
Sayang sekali waktu tidak mengijinkan.. padahal Gatot sangat ingin ngobrol lama dengan Ningsih.

Iapun tancap gas dan ngebut karena sudah jam lima sore lewat sedikit.
Berarti ia sudah terlambat menjemput Pak Camat. Semoga Pak Camat tidak marah.. batinnya.

Sesampainya di tujuan.. Gatot disambut senyum ramah sang pemilik rumah; seorang wanita yang cantik dan seksi.
Pak Camat belum menampakkan batang hidungnya.. yang nampak hanya hidung mancung wanita pemilik rumah.

Gatot mengedarkan mata dan berharap Pak Camat segera muncul.. tapi harapannya sia-sia.
Daripada menunggu lama.. tidak ada salahnya bertanya.

“Pak Joko ada, mbak..?” Tanya Gatot pada wanita muda itu.
“Masuk saja dulu. Ayo..” ajak wanita tersebut.

Gatot ikut masuk sampai ruang tamu.. lalu duduk di kursi yang empuk dan berhadapan dengan si wajah ayu.
Inilah wajah wanita idaman lain Pak Camat.

Gatot mulai dilanda gelisah karena yang ia tunggu tak juga muncul. Ia tidak mau bertanya duakali.
Sesekali ia memandang sebentar ke tuan rumah.

Ia memandang hanya ke bagian wajah saja.. karena kalau memandang lebih ke bawah ia takut imannya goyah.
Wanita itu duduk serampangan.. begitu juga pakaiannya yang melekat sembarangan.

Gatot ingin secepatnya keluar dari ruang tamu ini.. tapi si wanita malah menyuguhkan segelas susu hangat.
Keinginan Gatot pun tertahan.

“Mana Pak Joko, mbak..?” Tanyanya lagi dengan terpaksa.
“Sudah pulang..” kata wanita itu dengan gaya centil dan suara mendayu.

“Sudah pulang..? Kok Mbak Ayu tidak bilang daritadi..?” Gatot merasa ditipu.
”Naik apa Pak Joko pulang..?” Tanyanya sengit.

Rentetan pertanyaan Gatot dijawab oleh Ayu dengan kerling mata merayu.
Gatot jadi serba salah.. serba tak tau harus berkata apa lagi.. dan tak tau harus berbuat apa menghadapi situasi yang sangat berbahaya ini.

Gatot sudah terbiasa menghadapi berbagai jenis marabahaya.. tetapi menghadapi bahaya berupa wujud wanita ia seringkali kalah.
Contohnya; ia sudah kalah dan takluk di pelukan Murti. Ini ada tanda-tanda ia akan kalah lagi di hadapan Ayu.

“Baiklah, Mbak. Saya pulang dulu..” Gatot mencoba untuk pamit.
“Jangan buru-buru..” Ayu mencegah.

”Nanti aku bantu cari alasan ke Pak Joko..” ia tersenyum lagi.
“Terimakasih, Mbak..” sahut Gatot. ”Tapi saya masih punya banyak kerjaan di rumah Pak Camat..” katanya.

”Selamat sore..” ia pamit kembali.
“Yah, mau gimana lagi..” Ayu tampak kecewa, tapi tidak bisa lagi mencegah.

”Habiskan dulu susunya sebelum pulang..” ia meminta.
Gatot menenggak habis susu itu tanpa tersisa barang setetespun. Setelah itu ia pamit pulang dan menjabat tangan mulus Ayu.

Sungguh terlalu.. sungutnya setelah berada dalam mobil. Gatot masih terbayang-bayang segala bentuk tingkah laku Ayu.
Memang wajar kalau ia menyumpahinya.. wanita itu memang benar-benar terlalu.

Gatot tak habis pikir.. betapa Ayu tidak sedikitpun merasa malu mempertontonkan diri..
menampakkan berbagai gaya dan aksi yang mengundang birahinya.

Tiba-tiba Gatot merasakan kepalanya nyeri.
Ia mencoba untuk bertahan.. tetapi nyeri itu semakin keras menghantam.. membuat kepalanya serasa dipukul-pukul.. pusing sekali.

Konsentrasinya pun buyar.. dan ia tak sadar telah mengemudikan mobil ke jalur yang tak semestinya.
Sekuat tenaga ia terus mencoba kembali fokus.. namun pandangannya malah ikut-ikutan kabur.

Ketika sampai di sebuah perempatan Gatot sudah tak bisa lagi membedakan yang mana rem yang mana pedal gas.
Dalam keadaan tak sepenuhnya sadar.. mobil melaju kencang menerobos lampu merah.. tepat di saat sebuah tronton melintas.

Dalam panik.. Gatot tak bisa lagi berbuat apa-apa.
Ia masih sempat melihat dan merasakan benturan sebelum semuanya menjadi sangat gelap.

Bahkan ia tidak sempat melihat darah mengucur deras.. darahnya sendiri. Gatot pingsan di dalam mobilnya yang ringsek.
----------------

Praaaangg..!!! Murti terkaget-kaget ketika mendengar suara gaduh dari dapur.
Ia melompat dari tempat tidur dan berlari ke asal bunyi. Ia berdiri tercenung.

Tidak ada siapapun di dapur.. baik itu manusia ataupun hewan. Pintu dapur juga tertutup rapat.. pun demikian dengan jendela.
Aneh. Tidak ada angin tidak ada badai.. tiba tiba piring sudah pecah.. berserakan di lantai.

Perasaan Murti seketika menjadi galau. Ia ingat petuah dari para orang tua;
bahwa jika ada barang atau apa saja jatuh dan pecah tanpa sebab.. berarti akan ada hal-hal buruk yang akan terjadi.
Semacam firasat.

Murti memungut pecahan piring dengan hati kalut. Ia berharap tidak terjadi apapun yang menimpa diri dan keluarganya. Ia masygul.
Perasaannya makin tak nyaman, membuatnya gelisah. Ada apa ini..? Batinnya.

“Mur, cepat pakai baju dan ikut aku..!!” Seru sebuah suara.
“Mas Joko..! Bikin kaget saja..!” Murti sama sekali tidak menduga suaminya sudah berdiri di belakangnya.

Dalam hati ia bersyukur suaminya pulang dalam keadaan selamat dan sehat wal afiat. Berarti kekhawatirannya tidak terbukti.

“Ikut ke mana, Mas..?” Tanya Murti kemudian.
“Ke rumah sakit. Gatot kritis..!” Jawab Pak Camat.
“Apa..!!?” Murti berteriak dengan mulut menganga dan wajah penuh tanda tanya.

“A-apa yang terjadi dengan Gatot, Mas..?” Tanyanya dengan suara bergetar.
“Kecelakaan..” jawab Pak Camat pendek.
”Waktu kita sedikit. Cepatlah..” desak laki-laki itu.

Kalau menyangkut Gatot.. maka Murti tak mau terlambat.
Ia berlari cepat menyambar pakaian dan tanpa make up langsung menyusul suaminya di mobil.
Tak lama merekapun melesat. Murti gelisah.

Ternyata piring pecah itu memang sebuah firasat buruk.
Petuah dari para orang orang tua itu benar. Terjadi hal-hal yang sangat tidak diharapkan.
Gatot kecelakaan dan sekarang tengah kritis di rumah sakit. Murti ingin segera sampai di rumah sakit.

“Cepat dikit, Mas..” ia meminta.
“Ini sudah cepat, Murti..” jawab Pak Camat.
”Kamu mau kita kecelakaan juga..?” Tanyanya mengingatkan.

Murti mencubit perut suaminya dengan wajah merengut.
Tentu ia tidak ingin mengalami kecelakaan. Masih banyak keinginannya yang belum tercapai dan ia tak ingin mati sekarang.

Murti merasa mobil terlalu lambat.. padahal jarum speedometer sudah menunjuk angka seratus lebih.
Berarti suaminya memang ngebut.. sama-sama ingin segera sampai di rumah sakit. Dan akhirnya memang sampai juga.

“Yang mana kamarnya, Mas..?” Tanya Murti sedikit panik.
“Sabar.. kita tanya dulu..” sahut Pak Camat.

Murti paling benci birokrasi.. tapi kalau mau tau kamar pasien memang mau tidak mau harus bertanya ke bagian administrasi.
Setelah informasi didapat.. iapun berkelebat cepat mendahului Pak Camat menuju ruang perawatan.
Pak Camat cuma tersenyum samar.. lalu menyusul istrinya.

Kini mereka sudah berada di instalasi gawat darurat.
Murti ingin masuk.. tapi perawat yang berjaga melarang. Ia cuma bisa mengintip dari lubang pintu.
Murti langsung pucat begitu tau apa gerangan yang terjadi di dalam ruangan.

Buru-buru ia berbalik dan menyandarkan kepala di bahu suaminya.. duduk berdua dengan suaminya di bangku depan IGD.
Perawat yang berseliweran keluar-masuk tidak bersedia memberi pernyataan.

“Kita tunggu dokter saja. Sabar ya..” kata Pak Camat.
“Bagaimana bisa terjadi, Mas..?” tanya Murti.
“Entahlah, Mur. Aku sendiri tidak tau. Malah polisi yang memberitahuku tadi..” jawab Pak Camat.

“Mas Joko bagaimana sih..? Memangnya Mas nggak pulang bareng Gatot..?” Ketus Murti dengan curiga.
“Tidak..” jawab Pak Camat.

”Tadinya aku memang minta dijemput. Tapi karena Gatot lama.. terpaksa aku pulang bareng Pak Hasan.
Ternyata malah kecelakaan gini..” gumamnya.

“Mas Joko rapat di mana..?” Tanya Murti, masih tak percaya.
“Ya di kantor dong, sayang..” jawab Pak Camat, mencoba untuk tersenyum.

“Bohong..!” Potong Murti. ”Orang kecamatan bilang Mas Joko tidak ngantor sama sekali hari ini..” terangnya.
“Aku memang tidak ngantor.. tapi rapat di gedung DPRD..” kilah Pak Camat.. berusaha tetap bersikap tenang.

”Jangan curiga, ah..!” Katanya kemudian.
“Gimana nggak curiga kalau tiap hari Mas Joko lupa sama istri..” ketus Murti.

“Aku tidak melupakanmu, Mur. Aku sibuk..” kata Pak Camat.
”Sudahlah.. ini rumah sakit.. bukan tempat untuk berdebat..” tutupnya.

Mulut Murti langsung mengatup rapat.. tidak bicara lagi. Tapi dalam hati ia yakin ada yang tidak beres dengan suaminya.
Pak camat memang mengalami perubahan besar.. itu yang dirasakan oleh Murti.

Mengingat suaminya yang akhir-akhir ini jarang di rumah. Liburpun Pak Camat tidak di rumah.
Kepercayaannya pada sosok suami perlahan luntur.. digerus oleh kecurigaan yang semakin hari semakin tak terbendung lagi.

Satu-satunya orang yang tau betul adalah Gatot.
Sayang Gatot tidak berani membuka rahasia.. malahan kini Gatot tengah menghadapi maut.

Teringat Gatot, lagi-lagi Murti mendesah. Padahal tadi siang ia masih bersama Gatot..
Melewati masa-masa bahagia dan suka.. menghiasi siang dengan tumpahan kasih dan mesra.

Tapi di sore menjelang petang ini, Gatot tak bisa lagi diajak bercanda dan tertawa. Murti jadi gelisah.

“Maafkan aku, Mas..” ia akhirnya berkata.
“Tidak apa, Mur. Aku tidak pernah menganggapmu bersalah. Kita berdoa saja buat keselamatan Gatot..” sahut Pak Camat bijak.

Tanpa diminta, Murti memang sudah berdoa sejak mendapat firasat tadi.
Kini doanya semakin ia perbanyak.. tak peduli Tuhan masih sudi mendengar doanya atau tidak.

Yang pasti sebagai makhluk penuh dosa ia tak pernah berhenti berdoa.
Terlebih ini menyangkut hidup mati seorang pria yang sangat melekat kuat dalam hatinya.
Pria yang sejak kecil telah menjadi idaman yang abadi.. dan setelah dewasa menjadi tempatnya melipur duka.

“Bagaimana pelantikan tadi pagi..?” Tanya Pak Camat.
“Baik-baik aja, Mas..” sahut Murti.

”Tapi aku dimutasi ke SMA 3. Jadi jauh kerjaku sekarang..” tambahnya.
“Tidak apa. Sementara biar aku antar kamu sampai Gatot sembuh..” kata Pak Camat.

“Tidak usah, Mas. Aisyah bersedia berangkat bersamaku..” tolak Murti halus.
“Kasihan Aisyah, Mur. Sudah jauh dari Cemorosewu, masih harus jemput kamu..” kata Pak Camat.

“Aisyah berencana pindah ke kompleks kita, Mas. Dia lagi nyari kontrakan atau kos-kosan..” terang Murti.
“Bagaimana kalau kita tawarkan rumah Gatot saja..?” Usul Pak Camat.

“Sudah. Aisyah sendiri yang ngomong langsung ke Gatot. Tapi Gatot masih pikir-pikir..” jawab Murti.
“Itu bisa diatur..” sahut Pak Camat.

Seorang dokter keluar dari ruangan. Murti dan Pak Camat serempak berdiri dan memburu dokter itu.
“Bagaimana keadaannya, Dok..?” Tanya Pak Camat. Murti yang ada di sebelahnya berusaha untuk ikut mendengarkan.

“Masih koma. Tapi tidak usah khawatir. Dia tidak mengalami luka fatal..” jawab sang dokter.
“Syukurlah..” Pak Camat menghela nafas lega.

”Bagaimana dengan tulang-tulangnya..?” Tanyanya lagi.
“Baik..” jawab dokter itu.
”Memang ada beberapa tulang kaki yang retak. Tapi kami usahakan tidak diamputasi..” lanjutnya.

“Bisakah kami masuk ke ruangan itu..?” Tanya Murti.
“Silakan. Tapi jangan terlalu dekat dengan pasien..” pesan dokter.
“Terimakasih, Dok..” Murti mengangguk.

Mereka bergegas masuk dan berdiri agak jauh dari tempat di mana Gatot terbaring koma.
Tidak ada yang berani bersuara.
Hanya mata mereka saja yang berkaca-kaca menyaksikan Gatot dikelilingi beragam jenis peralatan medis yang serba canggih.

Selang infus menempel di sana-sini dan perban membalut hampir seluruh bagian wajah dan kaki.
Belum ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Alat pendeteksi detak jantung masih menampilkan garis lurus.

“Maaf.. adakah di antara bapak dan ibu yang bergolongan darah AB..?” Seorang perawat bertanya.
“Saya, Mbak. Silakan kalau mau ambil darah..” sahut Murti cepat.

“Baik. Silakan ibu berbaring di ranjang itu..” kata si perawat. Murti tidak menunggu persetujuan Pak Camat.
Ia mematuhi perintah si perawat untuk berbaring dan menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum mendonorkan darah.
Ia rela dan ikhlas.. bahkan biar darahnya tersedot sampai habis ia rela demi kesembuhan Gatot.

“Kami sangat butuh pendonor untuk memenuhi persediaan darah..” kata perawat itu sambil terus bekerja.
“Mas Joko, cari dong orang kantor yang bergolongan darah AB..!” Seru Murti pada suaminya.

“Baiklah. Kamu tunggu sebentar ya..” Pak Camat keluar dari ruangan dan menelepon beberapa pegawai kecamatan.
Wajahnya tampak kecewa karena hanya satu yang punya golongan darah AB.

“Dewi, bisakah kamu datang ke rumah sakit..?” Tanya Pak Camat.
“Baik, Pak. Saya langsung ke sana..” jawab Dewi dari seberang telepon.

Pak Camat tidak pernah tau kalau Dewi menjawab sambil tubuhnya berada di dalam pelukan seorang laki-laki.
”Siapa..?” Tanya laki-laki itu yang rupanya adalah Pak Rahmad.. bapak kost Dewi.

”Atasan saya, Pak. Ada yang kecelakaan, saya disuruh cepat ke rumah sakit..” jawab Dewi..
tubuhnya sedikit menggelinjang saat Pak Rahmad kembali menggerakkan penisnya.

Mereka memang sedang bersetubuh saat itu.
Seperti biasa.. setiapkali ibu kos tidak ada.. Pak Rahmad akan pergi ke kamar Dewi untuk mengambil jatahnya. Termasuk malam ini.

”Sekarang..?” Tanya Pak Rahmad dengan mimik muka kecewa. Baru saja dapat enak masa’ harus diputus di tengah jalan.
”Bapak selesaikan aja dulu..” Dewi tersenyum.

Ia berhitung, paling lama permainan ini berlangsung 5 menit lagi.. Itu sebentar untuk ukuran seorang wanita.

Pak Rahmad pun kembali menggerakkan penisnya.. sambil tangannya membelai rambut dan payudara Dewi yang bulat membusung.
Kecepatan tusukannya mulai bertambah.. dari yang semula pelan kemudian berubah menjadi semakin cepat.

Nafsu laki-laki itu rupanya kembali memuncak.. hingga setelah beberapa menit ia berbisik mesra di telinga Dewi..
”Wi, aku sudah nggak tahan lagi, mau orgasme..”
”Iya, Pak. Akan Dewi temani sampai ke puncak sama-sama..” sahut Dewi sabar.

Pak Rahmad makin mempercepat gerakannya.. ia tampak berkonsentrasi ke tubuh Dewi yang mulus dan sintal.
Sambil terus menggenggam dan meremas-remas payudara Dewi.. ia pun menyemprotkan air maninya kuat-kuat..

Creet.. creet.. creet.. berkali-kali penis tuanya berkedut kencang..
menumpahkan segala isinya memenuhi lorong vagina Dewi hingga jadi terasa begitu basah dan lembab.

“Ahh.. bapak sampai, Wii..” rintih Pak Rahmad sambil memeluk dan mendekapkan kakinya ke pinggul Dewi..
dengan begitu batang penisnya bisa tertanam sangat dalam di belahan vagina gadis cantik itu.

Dewi membelai tubuh gendut bapak kos-nya itu. Tidak ada cinta di sana.. cuma pelampiasan nafsu.
”Cabut ya, Pak. Dewi harus lekas pergi ke rumah sakit..” ia berbisik.
”Ah.. i-iya..” Pak Rahmad segera mencabut penisnya.

Dewi buru-buru bangun dan mengambil kertas tissue yang ada di atas meja.. ia lap penis Pak Rahmad dengan hati-hati sekali.
Setelah itu bibir vaginanya yang basah ia lap juga.. lalu ia pergi ke lemari untuk mengambil baju ganti.

”Kamu nggak mandi dulu..?” Tanya Pak Rahmad sambil rebahan di ranjang.. tubuhnya masih telanjang.
Penisnya yang tadi menegang kini sudah mengkerut kembali ke ukuran semula.

Dewi tersenyum saat melihatnya.. ”Nanti nggak keburu, Pak..” jawabnya singkat dan lekas pergi meninggalkan kamar.
---------------

Pak Camat masih berusaha menghubungi siapa saja yang dikenalnya.
Sungguh repot mencari dan sampai habis pulsa tidak ada yang cocok dengan permintaan si perawat.

Murti juga sibuk menelpon dan mengirim SMS pada rekan-rekannya sesama guru..
juga kawan-kawannya.. siapapun yang ia kenal segera ditelponnya.

Tapi Murti ragu untuk menelpon Aisyah karena malam ini adalah acara tujuh hari meninggalnya ayah Aisyah.
Tapi demi Gatot.. ia menepis keraguan itu dan coba untuk menghubunginya.

Beberapakali belum juga diangkat. Murti paham Aisyah pasti sibuk. Sekali lagi ia coba.. dan kali ini langsung tersambung.
“Assalamu’alaikum, Aisyah..” sapa Murti.
“Wa’alaikum salam, Bu Murti. Ada apa..?” Tanya Aisyah.

“Begini, Aisy. Kami sangat butuh pendonor. Apa golongan darahmu..?” Tanya Murti.
“AB..” jawab Aisyah, yang langsung memberi kelegaan di hati Murti.

”Buat siapa, Bu..? Siapa yang sakit..?” Tanya Aisyah kemudian.
“Buat Gatot. Tadi sore dia kecelakaan dan sekarang masih koma..” sahut Murti.

“Astaghfirullah..!?” Aisyah berseru kaget.
”Ada di rumah sakit kan..? Saya segera ke sana, Bu..” janjinya.

“Terimakasih, Aisyah..” Murti mempersilakan.
”Assalamualaikum..” ia kemudian menutup pembicaraan.

Murti lega. Setidaknya ada empat orang.. termasuk dirinya sendiri yang bersedia menjadi pendonor.
Tiga orang yang lain adalah Aisyah.. Ningsih.. dan Dewi.

Tidak sampai setengah jam.. Ningsih dan Dewi sudah berada di rumah sakit. Pak Camat mengantar keduanya ke ruang gawat darurat.
Murti menyambut mereka dengan jabat tangan dan ucapan terimakasih.

Pengambilan darah berlangsung cepat. Meski sudah selesai.. tapi Ningsih dan Dewi tetap bertahan di rumah sakit bersama Murti.
Pak Camat ijin pulang untuk mengambil beberapa kebutuhan Gatot.
Sepeninggal Pak Camat.. Aisyah datang dengan keringat bercucuran. Murti maklum.. pasti Aisyah naik angkot sampai keringetan begitu.

Semua berlangsung sama dengan tadi. Dalam sekejap tiga kantong darah sudah siap.
Mereka memang memaksa perawat untuk mengambil darah sebanyak-banyaknya.

“Terimakasih.. kalian semua mau membantu kami..” kata Murti.
“Saya juga senang bisa membantu..” sahut Ningsih.

”Padahal tadi sore aku bertemu Gatot. Katanya sih dia mau jemput suamimu..” tambahnya.
“Iya, Mbak Murti. Aku juga sempat lihat mobil Pak Camat di perumahan Residence. Pasti gatot yang bawa mobil itu..” kata Dewi.

“Perumahan Residence..?” Tanya Murti mulai berpikiran curiga. Ia tidak lagi tertarik pada obrolan ketiga tamunya.
Ia lebih tertarik pada penjelasan yang disampaikan oleh Dewi; mobil suaminya kedapatan memasuki perumahan Residence.

Selama bertahun-tahun berumah tangga.. belum pernah sekalipun Pak Camat membawanya ke perumahan mewah itu.
Suaminya juga tidak pernah menyinggung kawasan elit itu.

Tapi yang dibilang Dewi membuatnya berpikir seribukali. Ada apa gerangan dengan keberadaan mobil suaminya di sana..?
Apakah itu berhubungan dengan perubahan suaminya..? Siapa yang ditemui oleh suaminya di sana..? Kenapa Gatot tidak bilang apa-apa..?

Pertanyaan-pertanyaan itu bergentayangan merasuki alam pikirannya..
membuat Murti semakin yakin dengan gosip yang diembuskan di arisan darma wanita.

“Kok Bu Murti malah diam..?” tanya Aisyah.
“Tidak apa, Aisy..” jawab Murti.

”Kamu serius mau tinggal di kompleks..?” Tanyanya kemudian untuk mengalihkan pembicaraan.
“Benar, Bu. Ini saya malah bawa seragam kerja. Rencana saya malam ini mau menginap di rumah Bu Murti..” kata Aisyah.

“Nanti bilang sama Pak Camat dulu ya..” sahut Murti.
“Baik, Bu..” Aisyah mengangguk.

“Oh ya, Mur, aku lupa sampaikan kalau keluargaku berencana kembali ke kompleks..” kata Ningsih memberitahu.
“Benarkah..? Di mana keluargamu mau tinggal, Ning..?” Tanya Murti gembira.

“Ya di rumah yang dulu..” jawab Ningsih.
”Abah sudah membeli kembali rumah itu. Kami tidak betah di tengah kota, berisik..” terangnya.

“Syukurlah, kita bisa berkumpul lagi, Ning..” jawab Murti.
“Harapanku juga begitu, Mur. Bukan cuma dengan kamu.. tapi aku berharap bisa berkumpul dengan teman-teman kecil yang dulu..”
kata Ningsih.

“Sepertinya kompleks sangat menarik buat dihuni ya, Mbak Murti..?” Tanya Dewi yang sedaritadi cuma diam mendengarkan.
“Kamu juga mau pindah ke kompleks..?” Tanya Murti penasaran.

“Melihat antusias kalian, terus terang membuat saya tertarik, Mbak..” jawab Dewi.
“Sayang sekali kompleks sudah penuh, Dewi. Si Aisyah saja masih bingung cari kontrakan..” kata Murti.
“Sayang sekali..” Dewi kelihatan kecewa.

”Aku juga mulai nggak kerasan di kos-kosan yang sekarang.. tidur sering nggak nyenyak..”
Bagaimana bisa tidur nyenyak kalau Pak Rahmad terus menyatroninya setiap malam.

“Nantilah kutanyakan ke tetangga..” janji Murti.
Ada-ada saja. Kenapa semua orang ingin tinggal di kompleks yang tersohor sebagai kawasan buram itu..?
Tapi siapa yang bisa menebak isi hati orang. Murti hanya bisa menebak isi hatinya sendiri.

Jam sepuluh malam Pak Camat kembali ke rumah sakit.
Murti dan Aisyah membantu membawakan empat tas besar berisi pakaian dan kebutuhan Gatot selama dirawat..
sementara Dewi dan Ningsih setengah jam yang lalu sudah meninggalkan rumah sakit karena jam besuk sudah berakhir.

“Mur, kamu tau ke mana Gatot mau pergi..?” Tanya Pak Camat.
“Maksud Mas Joko..?” Tanya Murti tak mengerti.

“Begini.. tadi aku masuk ke rumah Gatot. Aku lihat satu setel baju koko dan kopiah seperti sudah disiapkan olehnya.
Makanya kutanya kamu.. tau dia kondangan di mana..?” Jelas Pak Camat.

Murti dan Aisyah berpandangan. Aisyah lalu memandang Pak Camat dengan wajah sedih.
“Mungkin Mas Gatot mau tahlilan ke rumah saya, Pak. Tadi siang saya memang undang dia..” jawabnya.

“Ooh begitu..” Pak Camat manggut-manggut.
”Saya juga mohon maaf kalau tidak bisa hadir ya, Aisyah. Saya sibuk..” tambahnya.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya memahami kesibukan Pak Camat..” kata Aisyah.
“Sudah malam. Ayo kita pulang. Aisyah mau ikut..?” Tanya Pak Camat.

“Iya, Pak..” Aisyah mengangguk.
”Saya harap bapak tidak keberatan menerima saya semalam saja. Terlalu malam kalau saya pulang ke Cemorosewu..”
“Saya malah senang. Ayo..” jawab Pak Camat sambil tersenyum.

Merekapun meninggalkan rumah sakit dengan hati berat.. terutama Murti.
Ia sangat ingin lebih lama di rumah sakit.. bahkan kalau perlu menginap untuk memastikan keadaan Gatot baik-baik saja.

Sayangnya semua itu tak mungkin karena ia bersuami.
Cukup doa saja yang ia panjatkan bersama mekarnya seribu harapan.
---------------

Di dalam kamar.. Dewi memekik kaget saat seseorang tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang.
”Auwww..! Pak Rahmad.. saya kira sudah tidur..” gelinjangnya.

Laki-laki tua itu tertawa.. ”Tadi belum puas..” bisiknya sambil mengendus leher jenjang Dewi.
Si cantik yang baru pulang dari rumah sakit itu tersenyum.. ”Dasar.. bapak ini nggak ada bosan-bosannya ya..!”

”Sama gadis secantik kamu, masa aku bisa bosan..?”
Balas Pak Rahmad.. mulutnya perlahan mencari dan memagut pelan bibir Dewi yang tipis mungil.. lalu mengulumnya lembut.

Mereka saling berciuman.. lidah Pak Rahmad dijulurkan ke dalam rongga mulut Dewi.. yang diterima Dewi dengan senang hati.
Langsung saja mereka saling melumat dengan penuh gairah.

Tangan mereka juga saling meraba.
Dewi yang saat itu mengenakan hem agak longgar.. mulai dibuka kancingnya satu per satu oleh Pak Rahmad.
Dadanya pun akhirnya terbuka.. menampakkan sepasang payudara indah miliknya yang terlihat begitu mulus dan menggiurkan.

Dewi tak berkutik saat Pak Rahmad menggiringnya naik ke atas ranjang.
Laki-laki itu merebahkannya ke tempat tidur tanpa melepaskan lumatannya..
sambil tangan kanannya mulai meremas-remas payudara Dewi yang bulat besar dengan penuh nafsu.

Dewi yang sudah mulai horny langsung melucuti sisa pakaiannya hingga telanjang bulat..
Ia juga membantu Pak Rahmad untuk melepas kain sarungnya.

Setelah sama-sama bugil.. mereka kembali berpelukan dan saling bertindihan di atas ranjang.
Dengan gemas Dewi memegang dan meremas-remas batang kemaluan Pak Rahmad yang pendek tapi sangat besar..
cepat sekali benda itu ereksi. Kini sudah terasa sangat keras dan tegang sekali.

Tangan kanan Pak Rahmad terus meremas-remas payudara Dewi.. bibirnya juga tak henti melumat..
dan mengisap mulut perempuan cantik itu.. bahkan kini ciumannya turun ke arah leher Dewi yang jenjang.

Ia mengisap lembut di sana.. sambil memberikan gigitan-gigitan kecil yang sangat diinginkan oleh Dewi.
”Ah, Pak..” gadis itu merintih.. paha kanannya ditumpangkan ke paha kiri Pak Rahmad..
sementara lututnya ia gesek-gesekkan ke atas pinggul laki-laki tua itu.. hingga alat kelamin mereka bisa saling bersentuhan.

Pak Rahmad memindahkan tangannya.. kini ia menggesek naik-turun tepat di bagian luar vagina Dewi yang sudah mulai basah berlendir..
sementara bibirnya terus menciumi bagian-bagian tubuh Dewi yang sensitif.

Dengan piawai Pak Rahmad memainkan ujung jarinya di belahan vagina Dewi.. sambil sesekali menyentuh dam merangsang klitorisnya.
Dengan sengaja ia menyentil-nyentil daging mungil itu.. hingga Dewi sampai menghentak-hentakkan tubuhnya karena saking gelinya.

Pelan ciuman Pak Rahmad juga mulai turun ke bawah.. dan berhenti di payudara Dewi yang bulat besar.
Dengan lembut lidahnya menggelitik puting susu Dewi yang ranum dan berwarna merah kekuningan.

Buah dada itu habis dilumatnya.
Pak Rahmad sudah hafal di mana titik-titik sensitif di tubuh Dewi.. dan semuanya habis ia kerjai.

Sekarang tinggal yang bawah.
Dewi melenguh saat merasakan nikmatnya belaian tangan Pak Rahmad di lubang vaginanya.

Jari laki-laki itu yang besar menggosok-gosok bagian luar vaginanya.. berkali-kali sengaja mengenai bulatan klitorisnya..
sambil jari tengahnya seperti dimain-mainkan di lorongnya yang sempit.. sehingga vagina Dewi dengan cepat menjadi basah dan becek.
Terdengar bunyi kecipak keras saat Pak Rahmad terus merangsangnya.

Tak ingin kalah.. Dewi mengulurkan tangan. Kembali ia meremas dan mengocok-ngocok batang kemaluan laki-laki tua itu.
Ia terus melakukannya saat dengan telapak tangannya..

Pak Rahmad mendorong lutut Dewi ke atas dan mengangkangkan pahanya lebar-lebar..
sehingga bagian vagina Dewi yang mungil terpampang jelas.

Pak Rahmad lalu mengarahkan kepalanya ke situ.. dengan rakus mulutnya langsung menyerbu mulut vagina Dewi..
Semua cairan yang ada di sana dijilat dan langsung ditelannya sampai habis.

Seakan tidak puas.. laki-laki itu terus menjulurkan lidahnya.. menjilat belahan pantat Dewi hingga lubang anusnya juga.
Tak ketinggalan liang vagina Dewi yang sempit juga jadi sasaran lidahnya.

Pak Rahmad mengorek dan menusuk-nusuknya hingga dalam sekali.
”Augh.. Pak..!” Diperlakukan seperti itu nafsu Dewi jadi semakin memuncak.
”Ooo.. ampun, Pakk.. aduh.. aduduh.. uhh.. bapak gila..! Aah..” rintihnya kesetanan.

Pak Rahmad yang tidak ingin memberi Dewi kesempatan untuk menarik nafas.. segera merangkak naik mencium bibirnya..
sambil tangan kanannya kembali meremas-remas puting susu perempuan cantik itu.

”Ahh..” Dewi melenguh saat merasakan benda lunak padat menempel di bibir vaginanya.

Dengan tangan kirinya Pak Rahmad menuntun batang kemaluannya agar tepat berada di pintu masuk vagina Dewi.
Setelah tepat.. segera didorongnya dengan sepenuh tenaga.

Sleepp.. bleessh..! Masuklah batang gemuk itu, memenuhi lorong vagina Dewi dengan segala pesonanya.
”Arghh..!” Dewi mengernyit.. tapi terlihat menikmatinya.

Apalagi saat Pak Rahmad mulai memompa penisnya maju-mundur mengocok lubang vaginanya.
Rasanya bukan main..! Dewi jadi semakin menggelinjang keenakan dibuatnya.

”Aduh.. enak banget, Pak.. terus..” rintih Dewi penuh kepuasan.. karena sambil tetap mengocok batang kemaluannya..
ibu jari tangan kanan Pak Rahmad ditempelkan ke klitorisnya.. dan digesek-gesekkan dengan lembut di sana..
sementara tangan kirinya meremas-remas payudara Dewi sambil juga memilin-milin puting susunya.

”Ooo.. ooh..! Dewi.. aku sudah mau keluar lagi..” rintih Pak Rahmad tiba-tiba. Seperti biasa.. laki-laki itu tidak bisa tahan lama.
”Sebentar, Pak..! Kita keluarkan sama-sama..” kata Dewi sambil ikut menggerakkan pinggulnya.

Dengan begitu ia berharap rangsangan pada tubuhnya akan lebih nikmat lagi.
Pak Rahmad hanya bisa menggeleng-geleng..
dan menyusupkan kepalanya ke belahan payudara Dewi yang besar saat menerima semua itu.

”Ooh.. s-sudah, Dewi.. aku nggak tahan..!” Jerit laki-laki tua itu.. dan akhirnya ia orgasme sambil memeluk tubuh montok Dewi erat-erat.
Dengan selangkangan masih basah dan belepotan oleh cairan sperma Pak Rahmad yang sedikit kental.. Dewi meneruskan genjotannya.
Mumpung penis laki-laki itu masih belum melemah.. ia membatin. Dan akhirnya bisa juga menjemput orgasmenya tak lama kemudian.

Cairannya memancar keluar banyak sekali.. begitu deras.
Bahkan hingga sampai membasahi bantal dan sprei. Pak Rahmad tersenyum saat melihatnya.

”Enak..?” Tanya laki-laki tua itu, tangannya kembali meremas-remas payudara Dewi yang begitu putih dan montok.
”He-em..” Dewi mengangguk.

”Bapak juga enak kan..?” Tanyanya balik.
Pak Rahmad tersenyum.. ”Kalau nggak enak, nggak mungkin aku bisa ketagihan sama tubuh kamu..” jawabnya diplomatis.

Mereka saling berangkulan dan akhirnya tertidur pulas tak lama kemudian.. sama-sama puas dan kelelahan.
-------------------------------------------------
 
---------------------------------------------------

Cerita 85 – Kenangan Hitam Masa Lalu

Chapter 9

Setelah
seminggu dirawat di rumah sakit.. Gatot menunjukkan kemajuan pesat.
Ia sudah bisa membuka mata dan bicara meski terbata-bata.

Yang paling melegakan bagi semua adalah bahwa Gatot tidak hilang ingatan.
Gatot masih bisa mengenali orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Yang paling merasa beruntung adalah Murti. Sakitnya Gatot bersamaan dengan liburan sekolah.
Ia mendapat libur selama dua minggu dimulai hari ini.

Ia jadi punya banyak waktu luang dan ia tidak ingin waktu luang itu terbuang begitu saja.
Ditambah ia sudah mendapat restu dari suaminya untuk mengunjungi Gatot kapan saja. Murti jelas bahagia.

Pak Camat suaminya bilang bahwa ia boleh menunggui Gatot.. mengingat Gatot tidak punya sanak saudara dan kerabat dekat.
Orang yang paling dekat dengan Gatot ya cuma mereka saja.

“Kamu tidak mengajar..?” Tanya Gatot dengan suara masih gemetar. Kini Gatot sudah dipindahkan ke paviliun kelas satu.
Masa-masa kritis yang dialaminya telah lewat.. tinggal masa penyembuhan dan pemulihan.

“Aku libur, Tot, dua minggu..” kata Murti sambil menyuapkan sesendok demi sesendok makanan ke mulut Gatot.
“Kamu juga sudah seminggu lho di sini..” tambahnya.

“Aku ingin pulang, Mur. Aku mau di rumah saja..” kata Gatot.
“Jangan buru-buru. Tunggu sampai kamu benar-benar sehat..” sergah Murti.

“Aku tidak punya uang buat bayar biayanya..” Gatot merenung.
“Jangan dipikirkan. Aku dan Mas Joko yang menanggung biaya sampai kamu sembuh..” kata Murti.

“Aku selalu merepotkanmu ya, Mur..?” Gatot berbisik malu.
“Sudahlah. Kita ini sudah sehati, Tot..” Murti memberi Gatot minum.. lalu duduk persis di samping laki-laki itu.

“Aku mencintaimu..” bisiknya perlahan.
“Akupun begitu, Mur. Tapi kamu punya suami..” sahut Gatot getir.

“Sekarang jelaskan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Kamu tidak mabuk minuman keras kan..?” Tanya Murti.
“Aku sempat minum susu di rumah teman. Entah apa karena susu itu atau ada hal lain.. tiba-tiba aku pusing.
Kupaksakan untuk pulang sampai rumah, tapi ya begitu, di tengah jalan aku tak tahan lagi dan nabrak tronton..” Gatot berkilah.

“Dari mana dan siapa yang memberikan susu itu..?” Todong Murti.
“Kawanku..” Gatot menjawab pendek.

“Bohong. Pas kejadian itu ada yang memergoki mobil dinas suamiku di perumahan residence..” sanggah Murti.
“Aku memang ke sana, Mur. Rumah kawanku ada di sana..” Gatot tetap bersikukuh.

“Rumah kawanmu atau rumah kawan Mas Joko, suamiku..?” Tanya Murti.
Gatot terdiam.. tapi Murti ingin mendapat penjelasan sejelas-jelasnya.
Dia sudah akan bertanya lagi saat dokter yang bertugas memeriksa datang.

“Kapan saya bisa pulang, Dok..?” Tanya Gatot pada laki-laki itu.
“Sebenarnya hari ini bisa. Tapi demi kesembuhanmu.. mungkin dua hari lagi kamu bisa pulang..” kata pak Dokter.

“Saya bosan tidur terus..” balas Gatot.
“Cobalah jalan-jalan sekitar rumah sakit. Kamu perlu melatih kakimu..” kata Pak Dokter.

“Kaki saya baik-baik saja. Memang agak nyeri.. tapi tidak masalah..” Gatot berkata meyakinkan.
“Akan aku diskusikan dulu dengan tim dokter. Permisi..” dokter itu berbalik.. pamit untuk meninggalkan ruangan.

Murti membantu Gatot berdiri dan memapahnya ke kamar mandi.
Ia tidak malu menelanjangi Gatot dan memandikan pria itu.
Bukankah sudah sering mereka telanjang berdua seperti ini..!?

“Aku ingat masa-masa saat kita sering mandi bareng, Tot..” kata Murti dengan wajah bersemu merah.
Ia ikut-ikutan basah tersiram air. Tubuhnya yang sintal tampak begitu menggoda di pandangan Gatot.

“Tapi kita bukan anak kecil lagi, Mur..” sela Gatot sambil berusaha menutupi tonjolan penisnya yang sudah mulai menegang panjang.
“Yah.. setidaknya masa itu masih bisa kukenang bersamamu, Tot..” Murti berbisik lirih.. lalu mendekatkan mulutnya ke bibir Gatot.

“Ada masa yang lebih penting untuk kamu kenang, Mur. Pernikahanmu dan rumah tanggamu..”
Gatot berusaha untuk mengelak saat Murti ingin mencium bibirnya.

“Apalah arti pernikahan tanpa ada lagi kesetiaan..” Murti mengalihkan wajah.. kecewa.
“Kamu yang tidak setia pada suamimu. Kamu mencintai lelaki lain selain suamimu. Bahkan kamu telah berzinah..”
kata Gatot mengenang kebersamaan mereka yang sudah sangat kebablasan.

“Mas Jokolah yang memulai. Aku hanya mengikuti alur, Tot.
Perselingkuhan harus dibalas dengan perselingkuhan juga..” balas Murti penuh tekad.

“Darimana kamu tau kalau suamimu selingkuh..?” Tanya Gatot.
“Dari caranya memperlakukan aku, Tot. Sebenarnya aku berharap kamu jujur. Tapi biarlah kucari sendiri jawabannya..”

Murti menyeka tubuh telanjang Gatot untuk yang terakhirkali.. selanjutnya ia membantu laki-laki itu mengenakan pakaiannya kembali.

“Aku pulang sekarang saja, Mur. Kemasi barang-barangku..” Gatot meminta.
Murti sejenak tercenung.. tapi kemudian tak punya pilihan karena Gatot terus memaksakan diri. Ia segera menelpon suaminya.

Murti berharap Pak Camat ikut menjemput Gatot dan mengantar Gatot pulang..
namun suaminya itu lagi-lagi bilang sibuk rapat dan sibuk dengan alasan ini-itu.
Suaminya hanya bilang akan mengirim seseorang untuk menjemput.

Ternyata seseorang yang dimaksud suaminya adalah Dewi. Murti sama sekali tidak mengharapkan Dewi yang akan datang.
“Selamat siang, Mbak Murti. Mau langsung pulang..?” Tanya gadis cantik itu dengan senyum manis terkulum di bibirnya yang tipis.
“Iya, Dew. Gatot tuh nggak sabaran..” sergah Murti.

“Siapa sih yang betah lama-lama di rumah sakit, Mbak..? Benar kan, Tot..?” Tanya Dewi sambil mengerling manja.
“Benar, Mbak. Saya tidak tahan bau obat. Makanya saya maksa..” jawab Gatot.

“Saya bantu jalan ke mobil ya..?” Tawar Dewi tanpa bisa ditolak. Murti melengak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Dewi.
Sangat gamblang dan terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling. Dewi ingin mengambil alih peran yang selama ini ia lakukan.

Murti mengumpat dalam hati. Posisinya saat ini memang tidak memungkinkan untuk melakukan yang biasa ia lakukan pada Gatot.
Ia adalah istri seorang camat yang wajib menjaga imej dan nama baik.. wajib berkelakuan baik di hadapan anak buah suaminya.

Fitnah bisa saja muncul kalau ia memaksakan diri memapah Gatot di hadapan dewi.
Jadi mau tidak mau ia kebagian tugas membereskan dan mengangkut tas-tas ke garasi.
Masih untung Dewi mau membantunya setelah mendudukkan Gatot ke dalam mobil.

“Tidak ada yang tertinggal, Mbak Murti..?” Tanya Dewi tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“Tidak ada, Dewi. Langsung saja ke rumah..” jawab Murti sedikit ketus.. masih marah dengan peristiwa barusan.

“Rumah yang mana..? Rumah Pak Camat atau rumah Gatot..?” Lagi-lagi Dewi bertanya menggoda.
“Ke rumahku saja, Mbak Dewi..” potong Gatot sebelum Murti sempat membuka suara.

“Baiklah, Tot. Biar aku yang nyetir. Mbak Murti kan belum bisa bawa mobil..” sambut Dewi.
Murti ingin menampar mulut Dewi yang terkesan menyepelekannya.
Ia memang belum bisa nyetir.. tapi tak selayaknya Dewi bicara begitu.. terlebih dengan nada yang angkuh.

Murti kini duduk bersebelahan dengan Gatot di dalam mobil.. tetapi ada dinding yang seakan memisahkan mereka berdua.
Dinding itu berupa tatapan mata Dewi yang membuat Murti tidak berani melakukan apapun terhadap Gatot.
Ia tidak berani walau sekedar tersenyum pada Gatot. Tatapan mata Dewi terlalu berbahaya.

“Memangnya tidak ada sopir lelaki di kantor ya, Dew..?” Tanya Murti memecah keheningan.
“Ada sih, Mbak. Tapi Pak Camat nyuruh aku.. ya kuterima..” sahut Dewi tanpa menoleh.

“Bagaimana dengan rencanamu ke depan..? Maksudku.. kapan kamu mau nikah..?” Tanya Murti.
“Waduh.. Mbak Murti ini ada-ada saja..” Dewi tertawa.

“Bukannya mengada-ada, Dew. Usiamu kan sudah cukup. Masa depanmu juga sudah mapan. Tunggu apa lagi..?” Kejar Murti.
“Saya nunggu jodoh, Mbak. Nikah itu kan nggak bisa dipaksa-paksa. Nikah karena terpaksa itu rawan bencana, Mbak Murti..”
jawab Dewi seperti menyindir.

Murti manggut-manggut.. namun dalam hati sebenarnya merengut kalang kabut. Perkataan Dewi telah menohoknya dari belakang.
Entah disengaja atau tidak.. tetapi Dewi telah mengingatkan Murti pada kisah hidupnya sendiri.

Ia memang menikah karena terpaksa.. bukan atas dasar cinta.
Mahligai perkawinannya dengan Pak Camat tak lebih demi untuk menyenangkan hati orangtua.
Ia belum puas menikmati masa muda ketika Pak Camat datang melamar. Belum pernah pacaran sampai Pak Camat mengajaknya kencan.

Sampai akhirnya benar-benar menikah.. ia sama sekali masih buta arti rumah tangga.
Kini ia mengerti betul bahwa berumah tangga sangatlah susah. Ada banyak hal yang membuat hati tersiksa.

Seperti yang dikatakan oleh Dewi.. bahwa menikah karena terpaksa rawan bencana.
Kini Murti sadar bencana itu sudah membayang di pelupuk mata.
Pak Camat suaminya ada tanda-tanda punya daun muda. Tetapi itu masih sebatas prasangka Murti.. belum benar-benar jadi nyata.

“Sudah sampai, Mbak. Saya cuma disuruh nganter saja oleh Pak Camat. Setelah ini saya harus balik ke kantor..” kata Dewi.
“Ya sudah, balik saja sekarang. Biar Gatot saya yang menangani. Terimakasih ya, Dewi..” Murti tersenyum malas.

“Sama-sama, Mbak. Mungkin nanti malam saya ke sini..” kata Dewi. Habis berkata begitu, dia langsung pergi berlalu.
Murti bersyukur Dewi tidak ikut masuk ke dalam rumah Gatot. Justru Gatot yang terheran-heran karena rumahnya sangat bersih.

Dan ia semakin heran saja karena bukan hanya bersih.. namun juga tertata rapi. Sama sekali tidak ada yang berserakan.
Ia menoleh pada Murti.. tapi Murti cuma mengangkat bahu dan sibuk sendiri.

Gatot jadi tak tahan untuk bertanya. “Kamu yang membersihkan rumahku ya..?”
“Bukan. Bersihkan rumahku sendiri saja malas.. apalagi bersihkan rumahmu..” kata Murti.

“Lalu siapa yang merawat rumahku ini..?” Tanya Gatot bingung.
“Aisyah. Dia tiap hari sepulang mengajar mampir ke sini.. membersihkan rumahmu..” jawab Murti.

“Aisyah..? Kok mau dia bersusah payah membersihkan rumahku..?” Gatot semakin tak mengerti.
“Karena dia ada maunya..” Murti tersenyum menyeringai.

”Sudahlah, Tot. Kasihan juga Aisyah tiap hari bolak-balik ke Cemorosewu. Terima saja dia tinggal di rumahmu..”
“Apa Pak Camat sudah kamu beritahu soal itu..?” Tanyanya.

“Sudah berkali-kali.. dan Mas Joko sepertinya tidak mempermasalahkannya. Bahkan Pak RT juga memberi lampu hijau..” jawab Murti.
“Baiklah, Mur. Mungkin memang ada baiknya Aisyah tinggal di sini..” Gatot mengangguk.

“Dia pasti ke sini. Aku pulang dulu ya.. kalau ada apa-apa panggil saja dari belakang..” Murti pamit.
“Iya, Mur. Aku juga mau istirahat. Kangen sama kasurku sendiri..” Gatot tersenyum.
“Dasar kamu..” kata Murti sambil mengantar Gatot ke kamarnya.

Setelah itu Murti pulang lewat pintu belakang. Sekarang ia sudah ada di rumahnya sendiri.
Murti meringis menahan sesuatu yang sangat mengganggu. Perutnya terasa mual dan ingin muntah.

Iapun pergi ke kamar mandi, mencoba mengeluarkan isi perut.. tetapi tidak ada yang keluar.
Murti ingat bahwa ia belum makan apapun sejak pagi tadi.
Ah.. mungkin sakit mag-nya kambuh.. pikirnya. Ia menghabiskan siang dengan tidur sepuas-puasnya.

Namun baru satu jam terlelap.. Murti terkesiap karena merasakan seseorang menyelinap masuk ke dalam rumah.
Tapi setelah tau yang datang adalah Pak Camat.. Murti melanjutkan tidurnya. Pak Camat menyusul tidur di sampingnya.

“Kok sudah pulang, Mas..?” Tanya Murti.
“Iya, Mur. Aku pusing..” sahut Pak Camat.

“Sudah minum obat..?” Tanya Murti lagi.
“Sudah.. tapi tetap nggak ada efeknya. Makanya aku ijin pulang..” Pak Camat menyahut malas.

“Ya istirahat saja, Mas. Mungkin Mas Joko juga perlu mengajukan cuti..” Murti membelai bahu suaminya.
“Pembangunan di desa-desa semakin meningkat, Mur. Tidak mungkin aku cuti..” kata Pak Camat.

“Bagaimana dengan pembangunan rumah tangga kita, Mas..?” Kejar Murti.
“Maksudmu apa, Mur..?” Pak Camat mendelik.
“Tidak ada maksud apa-apa, Mas. Sudah, tidur saja..”

Murti ingin suaminya langsung tanggap dengan pembangunan rumah tangga yang ia maksudkan.
Sayangnya Pak Camat tidak paham.. atau pura-pura tidak mengerti maksud hati istrinya.

Ini adalah siang pertama Murti tidur bersama suaminya setelah siang-siang sebelumnya yang lebih sering tidur bersama Gatot.
Seharusnya ada usaha memperbaiki bangunan rumah tangga yang mulai lapuk digerus berbagai macam praduga dan rasa curiga.
Namun Murti tidak mendapati suaminya punya keinginan untuk itu.

Murti pun meneruskan tidurnya dan tidak bertanya ataupun ‘meminta’ pada suaminya. Ia tidur dengan hati kosong.
-----------------

Ketika bangun jam lima sore.. Murti sudah tidak mendapati suaminya. Ia mencari-cari ke sudut rumah tapi Pak Camat tidak ada.
Yang ada malah selembar undangan yang tergeletak di atas meja. Murti membaca undangan itu. Bukan untuknya, tapi untuk Pak Camat.

Kini Murti tau ke mana suaminya itu menghilang. Di undangan itu tercantum acara resepsi hari ini jam lima sore.
Yang ia tak mengerti.. kenapa suaminya tidak memberitau.. dan bahkan tidak mengajaknya ke acara resepsi itu..
padahal selama ini mereka selalu berpasangan bila menghadiri acara-acara pernikahan.

Apakah Pak Camat sudah punya pasangan lain..? Murti cuma bisa menduga-duga saja.

Gatot juga baru saja terbangun dari tidurnya.
Saking nyenyaknya tidur.. ia sama sekali tidak merasakan apapun. Seluruh panca indranya ikutan tertidur.

Ia mengucek mata dan menajamkan telinga.. mencoba mendengar lebih jelas bunyi-bunyi berisik yang bersumber dari dapur.
Gatot sudah sangat yakin bahwa yang ada di dapurnya adalah Murti..
karena hanya Murti yang bisa keluar-masuk rumahnya dengan bebas.

Gatot menerawang memikirkan hari-harinya bersama Murti yang juga semakin bebas.. semakin tak ada batas.
Ia ingin semua berakhir.. namun sudah terlalu sulit untuk menghindari Murti.

Ada nuansa hati bila ia bersama Murti.. nuansa yang tidak pernah ia rasakan bila bersama wanita lain.
Gatot teringat saat-saat terakhir dirinya sebelum kecelakaan terjadi.

Ia curiga jangan-jangan susu yang ia minum di rumah Mbak Ayu telah dicampur sesuatu yang membuatnya pening.
Tingkah laku Mbak Ayu juga bikin kepalanya pusing tujuh keliling.

Sepengetahuan Gatot.. istri simpanan Pak Camat itu memang bukan wanita baik-baik.
Sebagai orang yang lama berkecimpung di dunia hitam.. ia tau dan mengenal hampir semua wanita penghuni lembah hitam.

Mbak Ayu pernah ia lihat di salahsatu lokalisasi paling elit di kota ini. Berarti Pak Camat juga pernah mengunjungi lokalisasi itu..
lalu bertemu dengan Mbak Ayu.. kesengsem berat pada wanita cantik itu.. sampai akhirnya menjadikan Mbak Ayu sebagai istri simpanan.

Sungguh malang nasibmu, Murti.. kata Gatot dalam hati.

Selanjutnya ia bangkit menuju pintu dapur. “Murti, kamukah itu..!?” Tanyanya dengan setengah berteriak.
Tidak ada jawaban.. tapi Gatot bisa mendengar langkah-langkah kaki mendekat.

Dan ketika seseorang berdiri di ambang pintu kamar.. iapun langsung terperanjat kaget. “Aisyah..?”
“Assalamualaikum, Mas. Maaf kalau mengejutkan..” sapa Aisyah dengan tersenyum ringan.

“Berapa lama kamu di sini, Aisyah..?” Gatot bertanya.
“Dua jam yang lalu. Saya dengar Mas Gatot sudah pulang.. jadi saya ke sini..” jawab Aisyah.

“Terimakasih Aisyah. Kamu sudah banyak membantuku..”
“Semoga bantuan ini ada hikmahnya, Mas..” Aisyah mengangguk.

“Mas Gatot makan dulu ya. Habis itu minum obat..”
“Aisyah, tinggallah di sini kalau memang kamu mau. Ada satu kamar kosong yang bisa kamu tempati..”

“Syukurlah, Mas. Besok saya akan boyongan ke sini. Makan saja dulu, Mas..” Aisyah mempersilakan.

Seluruh jiwa Gatot bergetar hebat. Aisyah berada begitu dekat..
membelenggu jiwanya dengan senyuman tulus yang menghangatkan aliran darah.. sehangat bubur yang disuapkan Aisyah ke mulutnya.

Aisyah telah membuat Gatot teringat pada mantan istrinya, Zulaikha.
Begitu banyak kemiripan antara keduanya. Aisyah sangat lugu dan murni.

Memang Aisyah tidak secantik Murti.. tapi punya daya tarik tersendiri.
Di balik kerudung lebarnya.. Gatot seakan melihat Zulaikha yang sedang tersenyum.

“Saya ganti perbannya ya, Mas..” Tawar Aisyah.
Gatot luluh. Jemari itu teramat halus.

Gatot segera menghapus imajinasinya dan ikut membantu Aisyah melilitkan perban di kakinya.
Setelah semua selesai.. Aisyah membantunya berdiri.. menggamit perutnya dan memapahnya keluar kamar.

“Sampai sini saja, Aisyah..” Gatot duduk di dapur.. memperhatikan kesibukan Aisyah.
Di sinilah ia mendapati betapa berbedanya Aisyah dengan wanita-wanita lain.. termasuk Murti.

Bila wanita lain suka membuka diri dan memamerkan diri.. maka tidak demikian halnya dengan Aisyah.
Gadis itu menutup rapat dirinya.. tidak membiarkan mata usil memelototi tubuhnya yang sintal menggoda.

Aisyah hampir selalu mengenakan pakaian panjang yang longgar.. sehingga lekuk-lekuk raganya tidak mencolok mata.

Gatot sempat melihat punggung Aisyah tersingkap.. tapi gadis itu segera menarik pakaiannya ke bawah dan punggung..
itupun tertutup lagi.. tanpa menimbulkan pikiran-pikiran buruk di kepala Gatot.

“Kapan kamu mulai tinggal di sini, Aisyah..?” Tanya Gatot.
“Mungkin besok, Mas..” jawab Aisyah.

”Kebetulan saya libur dua minggu. Ada waktu buat membersihkan kamar itu..”
“Itu kamar almarhum ibuku, Aisyah. Tapi jangan takut..” hibur Gatot.

“Kita ini hanya perlu takut pada Tuhan, Mas.
Manusia dan setan memang menakutkan.. tetapi kekuasaan dan kebesaran Tuhanlah yang paling menakutkan..” jawab Aisyah bijak.

“Tidakkah kamu takut padaku, Aisyah..?” Tanya Gatot sedikit menyelidik.
“Sama sekali tidak, Mas..” Aisyah tersenyum.

“Itu karena kamu belum tau siapa saya..” sela Gatot.
“Saya sedikit banyak tau tentang Mas Gatot. Tapi saya harap Mas Gatot tetap seperti yang saya kenal sekarang..” Aisyah menyahut ringan.

“Kamu baik dan tulus, Aisyah..” Gatot tersenyum.
”Jadi kamu mau kembali ke Cemorosewu malam ini..?” Tanyanya kemudian.

“Saya takut kalau malam-malam pulang, Mas. Cemorosewu kan jauh dan gelap.
Saya mau menginap saja di sini. Anggaplah ini hari pertama saya kos di sini..” jawab Aisyah.

“Saya tidak keberatan, Aisyah. Silakan kamu tinggal sesuka hati..”
“Terimakasih, Mas. Bagaimana pembayaran uang kosnya..? Mas Gatot mau sekarang atau dibayar bulanan saja..?”

“Tidak perlu ada pembayaran apapun, Aisyah. Saya ikhlas..” jawab Gatot.
“Tapi, Mas ..” Aisyah tampak ragu.

“Sudahlah. Simpan saja uangmu..” Gatot mengangguk tulus.
”Saya sangat berterimakasih, Mas..” sambut Aisyah dengan mata berbinar.

”Saya mau ke kamar mandi dulu..” pamitnya kemudian.
“Silakan, Aisyah..” Gatot mempersilakan.
----------------------

Sejak itulah.. Gatot tinggal serumah bersama Aisyah. Kamarnya berdampingan.
Gatot merenovasi beberapa bagian kamar yang ditempati oleh Aisyah.

Aisyah cukup pintar. Karena Gatot menolak uang sewa.. maka Aisyah memanfaatkan uang itu untuk membeli dua buah kasur baru..
satu untuk Gatot dan satu buat dirinya sendiri.
Aisyah juga melengkapi peralatan dapur.. membeli televisi.

Kini Gatot punya listrik sendiri.. tidak lagi menumpang di rumah Murti.
Pun demikian dengan air.. tidak lagi jadi masalah karena Aisyah memasang pompa air baru.

Tapi Gatot masih tetap mengabdi di rumah Pak Camat.. masih tetap mengantar Pak Camat dan Murti berangkat kerja..
juga masih tetap berjaga malam di rumah Pak Camat.

Yang beda adalah sekarang Gatot tidak terus-terusan ada di rumah Murti.
Gatot sekarang lebih suka beristirahat di rumah sendiri. Ia sudah pulih seratus persen pasca kecelakaan hebat itu.

Gatot juga mulai mengambil jatah libur di hari Minggu yang diberikan oleh Pak Camat.
Jadi setiap hari Minggu Gatot selalu ada di rumahnya.. dari pagi sampai pagi esoknya lagi.

Dan di suatu malam yang diselingi rinai hujan..
Gatot duduk berdua bersama Aisyah menonton televisi dengan ditemani segelas kopi dan setoples kacang kapri.

Aisyah baru saja selesai mandi.. sehingga rambut basahnya dibiarkan tanpa lindungan kerudung..
tergerai sebatas leher dan sangat wangi.

“Bagaimana kopinya, Mas..?” Tanya gadis manis itu.
“Nikmat sekali, Aish. Terimakasih ya..” Gatot tersenyum.

“Kalau kurang, nanti saya buatkan lagi, Mas..”
“Ini sudah cukup, Aish. Oh ya.. kamu nggak pulang ke Cemorosewu..? Ingat, besok kamu mulai kerja..”
“Tidak, Mas. Saya malas ke Cemorosewu. Ummi juga sudah tidak tinggal di sana..”

“Sebelumnya saya mohon maaf, Aisyah. Benarkah ibumu sudah kawin lagi..?” Tanya Gatot.
“Benar, Mas. Ummi kawin lagi, tapi nikahnya siri.. tidak resmi..” jawab Aisyah.

“Jadi ibumu tinggal dengan suaminya yang baru..?”
“Iya. Makanya saya sekarang jadi jarang pulang. Malah Ummi mau menjual rumah warisan abah..”

“Kamu sendiri bagaimana..?”
“Saya ini hanya seorang anak, Mas.
Sebenarnya saya ingin marah.. tetapi saya sadar.. berani melawan orangtua –terlebih ibu..– adalah dosa besar..”

Gatot mengangguk mengerti. “Sudah dua minggu kamu tinggal di sini, Aisyah. Sampaikan saja kalau ada yang tidak berkenan di hatimu..”
“Tidak ada, Mas. Saya malah senang bisa hidup mandiri seperti ini. Mumpung masih bujang.. harus banyak belajar kan, Mas..?”

“Kapan kamu akhiri masa bujangmu itu..? Jangan sampai jadi perawan tua, Aisyah..” kata Gatot tanpa berniat untuk menggoda.
“Mas Gatot ini ada-ada saja..” tapi Aisyah malah tertawa mendengarnya.

Gatot mendengar tawa nan renyah itu serenyah kacang kapri yang sedang ia kunyah.
Gatot sempat melihat wajah Aisyah membias merah jambu dan tampak malu-malu.
Gatot ikut membalas tawa itu lalu menyimak acara televisi. Kadang-kadang saling lirik dan saling lempar senyum.

“Berbaring saja di kamarmu, Aisyah..” kata Gatot saat melihat Aisyah mulai menguap.
“Saya masih ingin nonton sinetron, Mas..” jawab Aisyah.

“Pindah ke berita saja ya..?” Tawar Gatot.
“Boleh..” Aisyah mengangguk.

Gatot memang sengaja menyuruh Aisyah berbaring di kamar.. daripada wanita itu berbaring di hadapannya.
Selain merusak pandangan mata.. juga merusak konsentrasi.. terlebih lagi imannya.

Itu karena Aisyah sama seperti Murti.. tidak pernah pakai baju muslimah kalau lagi berada di rumah.
Malam ini Aisyah hanya memakai baju terusan panjang tapi berkerah rendah.. agak tipis pula..
sehingga isi tubuhnya membayang saat tersorot lampu neon.

Sampai jam sebelas malam Gatot masih nongkrong di depan televisi..
sedangkan Aisyah juga masih berbaring di karpet tapi sudah pasti terlelap dalam mimpi.

Dengkur halusnya terdengar seperti lenguhan di telinga Gatot.
Dada gadis itu bergerak turun naik secara teratur.. seirama dengan tarikan napasnya.

Gatot menghela napas.. lalu mematikan televisi dan membopong tubuh molek Aisyah ke dalam kamar.
Sejenak ia terdiam setelah menaruh tubuh Aisyah ke atas ranjang.. tertegun Gatot menatapnya.

Jantungnya berdegup kencang menyaksikan pemandangan yang baru pertamakali ini ia lihat.

Kini di depannya.. berbaring sesosok tubuh perempuan cantik dengan kulit putih mulus dan kaki jenjang menggiurkan..
seolah menantinya untuk melakukan sesuatu yang sangat-sangat dilarang oleh agama.

Dada Gatot semakin berdetak kencang saat memperhatikan bahwa daster tidur yang dikenakan oleh Aisyah telah tertarik ke atas..
hanya menutupi sebatas pinggulnya saja.

Memperlihatkan area kemaluannya yang meski dilapisi oleh celana dalam..
tapi jelas menunjukkan rambut hitam yang tumbuh cukup lebat di sana.

Mata Gatot beralih ke atas.. menatap ke arah dada Aisyah yang berpotongan rendah.
Di sana terlihat sebagian besar gunung kembarnya.. membuat puting Aisyah yang mungil hampir menyembul keluar.

Gatot gugup melihat semua itu. Gemetar ia menyaksikan indahnya pemandangan ini.
Takut kalau seandainya Aisyah tiba-tiba sadar dan terbangun..
serta menyaksikan ia berada di sampingnya sambil menatap takjub pada dirinya.

Sadarkah Aisyah dengan keadaan dirinya..?
Apakah dia memang benar-benar tertidur pulas.. sehingga tidak menyadari bahwa kehormatannya sedang terancam sekarang..?

Ada keinginan yang bertolak belakang di hati Gatot.
Keinginan yang pertama adalah segera pergi dan keluar dari kamar itu.. meninggalkan Aisyah tidur sendirian.

Namun di sisi lain ada keinginan untuk tetap berada di situ.. menikmati apa yang disuguhkan Aisyah kepadanya..
dengan alasan bahwa ini adalah pengalaman pertama dan satu-satunya bagi dirinya..
dan mungkin tidak ada kesempatan lain untuk menikmatinya di lain waktu.

Gatot tertegun sejenak.. melihat sekeliling.. memastikan bahwa keadaan telah benar-benar aman.

Entah apa yang membuat keberaniannya meningkat..
tau-tau ia sudah memegang kaki Aisyah dan menariknya menjauh.. membuat posisi kaki Aisyah sekarang terbuka lebar.

Gatot lalu beringsut duduk di antara celah paha Aisyah.. mengambil posisi senyaman mungkin di sana.
Pelan ia mulai menelusuri bagian dalam paha Aisyah yang putih mulus..

Mulai dari lutut.. dan terus naik dan semakin naik.. hingga jari-jarinya mencapai pangkal paha Aisyah..
Dan berujung di pinggiran bukit kemaluan gadis cantik itu.

Menggunakan jari telunjuk.. ia geser kain celana dalam Aisyah agak ke tepi..
hingga bisa menyentuh daging lunak berbelahan sempit yang ada di sebaliknya.

Gemetar Gatot menggerakkan ibu jarinya untuk menggesek bibir kemaluan Aisyah.. mengetes reaksinya..
sebelum menarik lagi tangannya saat didengarnya Aisyah sedikit mengeluh.

Tapi saat dilihatnya Aisyah masih tetap tertidur pulas.. Gatot pun mengulang lagi aksi bejatnya.
Ia urut belahan sempit yang terasa lengket itu hingga bibir kemaluan Aisyah jadi semakin terbuka lebar sekarang.

Bentuknya sungguh sangat menggoda;
tidak seperti milik Murti yang sudah menghitam.. karena sudah sering dipakai.. vagina Aisyah masih tampak utuh dan sempurna.

Dengan warna merah menyala dan belahan yang masih sangat sempit.. Gatot yakin kalau Aisyah benar-benar masih perawan.
Membuat Gatot jadi ragu.. haruskah ia meneruskan perbuatan ini..?

Tapi setan terus berbisik dan merayu imannya.. hingga Gatot yang pada dasarnya masih labil dengan mudah terbujuk.
Tanpa bisa membantah.. iapun meneruskan aksinya.. tapi kali ini sambil memperlihatkan sikap waspada.

Diperhatikannya wajah Aisyah yang masih terpejam rapat..
suara dengkuran gadis itu terdengar halus dengan dada naik-turun tak beraturan.

Aisyah tersenyum dalam tidurnya.. seolah ikut menikmati sensasi yang diberikan oleh Gatot.
Sementara di bawah.. vaginanya yang semula kering kini mulai menjadi sedikit basah..
Seolah ada yang menyiramnya dengan cairan licin tak berwarna.

Tak tahan melihat semua itu.. cepat Gatot melepas celana.
Ia biarkan batang penisnya yang sudah menegang dahsyat mengacung tegak ke depan..
hingga bisa menyentuh belahan kewanitaan Aisyah.

Terasa sangat geli sekali saat ia mulai menggesek-gesekkan ujung penisnya dengan bagian luar kewanitaan Aisyah.

Gatot juga memberanikan diri dengan menjulurkan tangannya ke depan..
menyentuh halus bagian atas dada Aisyah yang tidak tertutup oleh baju tidurnya.

Hanya menyentuh.. tidak lebih. Gatot tidak ingin membuat Aisyah terbangun.

Tapi entah bagaimana.. mungkin akibat gesekan atau akibat dari nafsu Gatot yang sudah meledak-ledak..
penisnya yang semakin keras dan tegang mulai mencari jalan untuk mencari kenikmatan lebih.

Tanpa sadar –meski dari awal tidak berniat untuk menyetubuhi Aisyah..–
perlahan Gatot menggeser lutut dan paha Aisyah untuk semakin melebarkan celah mungil yang ada di selangkangannya.

Tanpa disuruh dan diminta.. penis Gatot yang semula hanya menggesek-gesek bagian luar kewanitaan Aisyah..
kini mulai menyeruduk masuk menuju lubang kenikmatan perempuan cantik itu.

”Ups..” Gatot tercekat atas meluncurnya sang penis di luar kendalinya menelusuri jalan licin dan sempit di belahan kewanitaan Aisyah.

Ingin ia menarik kembali.. namun Gatot takut kalau gerakannya yang tiba-tiba malah akan membuat Aisyah terbangun.
Bisa celaka dia kalau dipergoki dalam keadaan seperti ini.

Maka Gatot menahan diri.. sambil menahan nafas.. juga menunggu reaksi dari Aisyah.
Namun ternyata gadis itu diam saja.. tidurnya masih terus berlanjut.. membiarkan Gatot bertarung sendirian melawan hawa nafsunya.

Dan tentu saja setan selalu menang..!

Bukannya mencabut batang penisnya.. Gatot malah mendorongnya semakin jauh ke dalam.
Perlahan-perlahan ia terus menusukkannya hingga tiba-tiba saja Gatot merasakan ada sebuah dinding tebal yang menghalangi jalannya.

Oke.. cukup..! Gatot berkata dalam hati. Ia tidak ingin mengambil keperawanan Aisyah.

Baginya begini sudah cukup. Gatot sudah merasa nikmat.
Tanpa perlu merusak kehormatan Aisyah.. Gatot merasa sudah bisa menyalurkan hasrat seksualnya.

Pelan Gatot mulai menggoyangkan pantatnya.. menarik dan mendorong penisnya di sekitar bibir kewanitaan Aisyah.
Hanya ujung penisnya yang masuk.. namun sudah sanggup membuat Gatot melenguh nikmat.

Ia terus melakukannya sambil berusaha mencari sensasi lebih.

Dia arahkan tangan ke dada Aisyah yang masih tertutup baju tidur dan menyentuhnya perlahan.
Gatot mulai meraba dan mengelus-elusnya lebih kuat saat dilihatnya Aisyah masih tetap tertidur dengan begitu pulasnya.
Wajah cantiknya tampak damai.. tidak ada perubahan apapun.

Semakin berani.. Gatot segera menyingkap bagian baju tidur Aisyah yang menutupi sebagian kecil area payudaranya.
Ia menarik dan menurunkannya.. memaksanya agar jadi sedikit mengendur.

Dengan begitu bisa memperlihatkan semua bagian yang tadi tersembunyi di sana.
Tampak puting mungil Aisyah yang berwarna merah muda dengan dikelilingi lingkaran sewarna yang berdiameter sekitar dua cm.

Gatot segera mencium dan mengulumnya sambil terus memaju-mundurkan pantatnya..
mendorong agar batang penisnya mendapatkan kenikmatan lebih.

Ia juga mulai meremas-remas bulatan payudara Aisyah.. saat dilihatnya gadis itu masih tetap tertidur pulas.
Terasa puting Aisyah mulai sedikit mengeras di dalam mulutnya.

Memandangi wajah cantik dan bibir indah Aisyah.. membuat Gatot jadi penasaran ingin mengecupnya.
Sambil terus melakukan dorongan-dorongan lembut ke vagina Aisyah.. ia pun mendekatkan mulutnya ke sana.

Gatot memajukan bibir untuk mengecup bibir indah Aisyah. ”Hmm..” sensasinya sungguh luar biasa.
Apalagi.. dalam tidurnya.. Aisyah ternyata juga membalas kecupan itu.

Gatot terus mempertahankan posisi.. sebelum akhirnya ia mulai turun untuk beralih ke arah payudara Aisyah yang padat dan indah.
Ia kecup dengan lembut kedua puting Aisyah secara bergantian..
lalu mulai mengisap-isapnya secara rakus saat dilihatnya Aisyah masih tetap tertidur pulas dalam balutan mimpi indah.

Waktu terus berlalu. Entah berapa menit kemudian.. –mungkin karena penis Gatot sudah sangat terangsang..–
Penetrasi yang ia lakukan nampaknya akan segera berakhir.

Gatot merasakan seperti ada sesuatu yang akan meledak di ujung penisnya.
Secara otomatis ia pun mempercepat gerakan.. namun juga sedikit ia tahan karena takut Aisyah akan terbangun nantinya.

Maka begitulah.. crett.. crett.. crett.. tanpa dapat ditahan lagi Gatot menyemburkan spermanya ke perut Aisyah.

Sengaja ia tidak mengeluarkan di dalam rahim Aisyah karena tidak ingin membuat gadis itu hamil.
Tampak lelehan spermanya berceceran di perut Aisyah yang mulus dan ramping.

Gatot segera melepas kaos yang dikenakannya untuk dipakai membersihkan cairan putih kental itu sebelum jatuh ke atas sprei.
Sisa-sisanya yang masih menempel di ujung penisnya, juga ia lap pelan pelan. Baru kemudian Gatot bisa terduduk lemas.

Ada perasaan menyesal setelah melakukan ini.. tapi juga lega karena tidak sampai merusak selaput dara Aisyah.
Gadis itu masih tetap perawan..!

Ia perhatikan wajah cantik Aisyah yang masih tersenyum tipis dalam tidur pulasnya.
Gadis itu diam terpejam.. seolah tak menyadari apa yang telah terjadi.

Menghela nafas puas.. pelan Gatot beringsut turun dari ranjang.
Setelah merapikan kembali baju Aisyah.. tanpa berbunyi ia berjalan ke arah pintu dan balik ke dalam kamarnya.

Gatot menghempaskan badan ke atas tempat tidur..
Ia merebahkan diri sambil mendengarkan suara rintik hujan yang tiba-tiba datang.. membuat suasana yang hening jadi bertambah sepi.

Sepi yang membungkus kedamaian hati.
---------------------------------------------
 
----------------------------------------------

Cerita 85 – Kenangan Hitam Masa Lalu


Chapter 10

Adzan
subuh membangunkan Gatot dari mimpi. Ia keluar kamar dan menuju belakang untuk mengambil wudlu.
Tapi ia heran karena tidak biasanya Aisyah masih tertidur. Ia tidak berani membangunkan.

Selesai sholat subuh.. Gatot bersiap-siap untuk menuju rumah Murti. Hari mulai beranjak pagi tapi Aisyah masih dilanda mimpi.
Gatot ingat hari ini merupakan hari pertama Aisyah mengajar setelah dua minggu lamanya libur.
Jangan-jangan Aisyah masih merasa libur. Pikirnya khawatir.

Mau tak mau Gatot membangunkan Aisyah juga karena jarum jam sudah menunjuk angka enam.
“Aish bangun, sudah jam enam pagi..” kata Gatot.

“Huaaahm, aku masih ngantuk..” bukannya bangun.. Aisyah malah semakin melipat tubuhnya dan menarik selimut.
“Ayo bangun, Aish. Kamu kan harus ngajar..” kata Gatot lagi.

Aisyah menggeliat dan mengucek-ngucek mata.. dan sejurus kemudian mata itu terbelalak kaget.
“Mas..!!” Pekik Aisyah tertahan sambil mengamati tubuhnya sendiri.

Gatot mengerti apa yang ada di kepala Aisyah.
“Aku hanya membangunkanmu, Aish. Tidak ada maksud lain..” ia berusaha menjelaskan.

“Jam berapa ini, Mas..?” Tanya Aisyah.
“Jam enam. Hampir setengah tujuh..” jawab Gatot.

Aisyah langsung melompat dan hampir terjerembab.
Untung Gatot cukup sigap menahan tubuh Aisyah agar tidak terjatuh.. meski dengan begitu ia harus memeluk Aisyah.

Gatot segera melepaskan Aisyah dan membiarkannya berlarian ke kamar mandi dengan panik.
Gatot pun meninggalkan kamar Aisyah dan langsung menuju rumah Pak Camat.

Murti sudah siap.. tapi Gatot belum melihat Pak Camat. Yang terlihat cuma Murti dengan penampilan baru.
Tidak ada lagi baju muslimah yang biasanya dikenakan Murti. Juga tidak ada kerudung yang membingkai wajah cantik Murti.

Semua yang dilihat Gatot benar-benar serba baru.. sama seperti ia melihat Murti puluhan tahun lalu.

“Jangan memandangku seperti itu, Tot. Ayo berangkat..!” Ajak Murti.
“Tidak nunggu Pak Camat..?” Tanya Gatot.

“Mas Joko sudah berangkat jam lima pagi. Tapi dia pesan agar kamu ke kantor kecamatan saja..”
“Oh begitu. Baiklah..” Gatot mengangguk.

Gatot mengantar Murti ke tempat kerjanya yang baru. Sebenarnya satu tujuan dengan Aisyah.. tapi Aisyah lebih suka naik motor.
Sebenarnya baik Gatot maupun Murti selalu menawari Aisyah agar berangkat bersama-sama.. tapi Aisyah selalu menolak dengan halus.
Merekapun tidak bisa memaksa.

Dengan penampilan baru Murti.. maka Gatot juga dilanda suasana hati baru. Sama seperti yang ia rasakan puluhan tahun lalu.
Dan Murti tidak berubah tingkahnya dengan masa-masa sekolah dulu.
Tetap duduk sesuka hati dan bergerak ke sana kemari.. menunjukkan apapun yang disukai Gatot pada tubuh sintalnya.

Perjalanan masih jauh.

“Penampilanmu mengingatkanku pada masa SMA kamu yang dulu, Mur..” kata Gatot.
“Mana yang paling kamu ingat..? Kenakalanmu itu kan..?” Sela Murti.

“Iya. Aku ingat bila mengantarmu ke sekolah, aku selalu menjahilimu..”
“Sekarang kamu juga mengantarku, Tot. Kamu juga bisa menjahiliku seperti yang sering kamu lakukan dulu..” goda Murti.

“Benarkah..?” Gatot melirik suka.
“Benar. Lakukan saja sesukamu. Aku rela menjadi pelacurmu, Tot..” Murti meyakinkan.

“Jangan bicara begitu, Mur..” Gatot menggeleng tak setuju.
”Kamu bukan pelacur. Berhentilah merutuki dirimu sendiri..” katanya.

Murti balas menggelengkan kepala dan melabuhkan diri di pangkuan Gatot.
Ia memejamkan mata dan membiarkan tangis kecilnya tumpah membasahi celana Gatot.

“Takdir hidupku sungguh buruk, Tot..” bisik Murti pilu.
“Jangan menyalahkan takdirmu, Mur. Kita sudah sampai. Jam berapa nanti kujemput..?” Tanya Gatot kemudian.
“Jam satu. Hati-hati di jalan, Tot..”

Murti merapikan seragam kerjanya yang awut-awutan.. lalu keluar dari mobil dan berjalan memasuki gerbang SMA 3.
Ia tidak menoleh lagi ke belakang dan langsung menuju ruang kantor.

Ia harus memperkenalkan diri kepada semua orang yang belum mengenalnya.
Sebagai guru baru.. ia perlu menyesuaikan diri dengan tugas mengajar yang jauh berbeda dan materi pelajaran.

Sekolah negeri tentu tidak sama dengan sekolah swasta.. terlebih dengan madrasah.
Semalam saja ia bekerja keras untuk kembali belajar dan membuka buku-buku.

“Bu Murti sudah sampai..?” Tanya Aisyah.
“Baru saja, Aish. Kok aku tidak ketemu kamu di jalan tadi..?” Balas Murti.

“Iya, Bu. Saya masih ngisi bensin. Bu Murti pulangnya nanti juga dijemput..?” Tanyanya balik.
“Begitulah, Aish..” Murti mengangguk.

”Bagaimana suasana di rumah Gatot, apa kamu kerasan..?”
“Sangat nyaman, Bu. Mas Gatot juga tidak macam-macam..” jawab Aisyah tanpa curiga..
Sama sekali tidak mengetahui perbuatan Gatot beberapa malam yang lalu.

Murti bersyukur dalam hati. Bahaya kalau sampai Gatot berani macam-macam pada Aisyah.
Ia sangat tidak menginginkan ada apa-apa antara Gatot dan Aisyah. Ia berharap tidak ada hubungan spesial antara Gatot dan Aisyah.

Gatot adalah segalanya baginya saat ini.. saat kehidupan rumah tangganya semakin tidak harmonis.
Sedangkan perselingkuhannya dengan Gatot berjalan dengan manis. Ia serahkan semua pada sang waktu.

Gatot juga sedang memburu waktu untuk bisa segera sampai di kantor kecamatan.
Jangan sampai ia terlambat gara-gara keluyuran di jalan memakai mobil dinas. Bisa-bisa Pak Camat marah.

Pak Camat sendiri yang mengingatkan agar kalau membawa mobil dinas jangan sampai jauh-jauh dari kantor.
Untung ia datang tepat waktu.. jam setengah delapan sudah sampai di kantor kecamatan.
Dan seperti biasa ia langsung duduk santai menunggu perintah. Siapa saja siap ia antar ke mana saja.

“Gatot.. dipanggil Pak Camat tuh..!” Seru seorang wanita.
“Saya segera ke sana, Mbak Dewi..” balas Gatot tanggap.

“Oh ya, Tot, jam istirahat nanti antar aku ya..?” Pinta Dewi.
“Mbak Dewi mau ke mana..?” Tanya Gatot.

“Pokoknya antar saja..” balas Dewi sambil tersenyum manis.
”Sudah pergi sana.. Pak Camat sudah nunggu kamu..”

Gatot lekas menuju ruang kerja Pak Camat dan duduk di hadapan majikannya itu.
Belum ada yang disampaikan Pak Camat.. dan Gatot menunggu. Panggilan Pak Camat pasti ada sebabnya.
Dan melihat wajah Pak Camat yang masam.. Gatot pun paham ada yang salah dengan dirinya.

“Begini, Tot, saya mau mengurangi beban kerjamu..” akhirnya Pak Camat berkata.
“Maksud Pak Camat..?” Tanya Gatot belum mengerti.

“Mulai sekarang, kamu tidak perlu berjaga malam di rumahku.
Tugasmu kembali seperti dulu, mengantar aku dan Murti kerja..” kata Pak Camat.

“Apakah ada kesalahan yang saya perbuat, Pak..?” Tanya Gatot penasaran.
“Sama sekali tidak ada, Tot. Ini juga demi kamu. Apalagi sekarang di rumahmu ada Aisyah.
Dia yang lebih penting untuk kamu jaga..” Pak Camat tersenyum.

“Saya bisa terima keputusan Pak Camat..” Gatot mengangguk.
“Satu hal lagi, Tot. Entah dari mana Murti bisa tau perumahan residence..” pancing Pak Camat.

“Demi Tuhan.. saya tidak pernah melanggar kesepakatan kita, Pak. Mungkin Murti tau dari orang lain.
Yang pasti saya sama sekali tidak memberitahu Murti apapun..” Gatot berusaha meyakinkan.

“Aku percaya padamu, Tot. Cuma lain kali lebih berhati-hatilah..” pesan Pak Camat.
“Baik, Pak..” Gatot mengangguk.
“Kembalilah ke tempatmu..”

Gatot kembali ke tempat semula, di paseban kantor kecamatan.
Ia duduk termenung menelaah segala yang telah disampaikan oleh Pak Camat.

Mulai hari ini tugasnya kembali seperti dulu.. sebatas mengantar jemput Pak Camat dan Murti kerja.
Pasti ada pertimbangan lain yang membuat Pak Camat tidak lagi mempercayainya sebagai petugas jaga malam.

Selain itu ia juga agak marah karena Pak Camat seolah-olah telah menuduhnya membocorkan rahasia.
Padahal ia sama sekali tidak pernah menyampaikan hal itu pada Murti.

Ia bertanya-tanya dalam hati.. siapa orang yang telah mempersulit posisinya.
Siapa orang yang memberitau Murti tentang keberadaannya di perumahan residance.
Pasti ada mata-mata yang berniat membuat kacau hubungannya dengan Pak Camat.

Jam duabelas siang pas.. Dewi minta dijemput. Gatot memenuhi permintaan itu dengan setengah hati..
sedangkan setengah hati yang lain masih memikirkan hasil pembicaraannya dengan Pak Camat.

Kediamannya membuat Dewi gigit jari. Padahal Dewi berharap bisa bercakap-cakap dengan Gatot.
Daripada menunggu Gatot yang pasif.. Dewi memilih untuk lebih aktif dan berinisiatif memecah kebisuan.

“Mikir apaan sih, Tot..?” Tanyanya memulai pembicaraan.
“Tidak ada apa-apa kok, Mbak..” Gatot berusaha untuk tersenyum.

”Jadi Mbak Dewi ini mau ke mana..?” Tanya Gatot kemudian.
“Pulang. Aku sudah ijin ke Pak Camat untuk kerja setengah hari saja..” jawab Dewi.

“Enak ya, Mbak, jadi pegawai negeri. Kerja nggak kerja tetap dapat gaji..” kata Gatot.
“Tapi lebih banyak nggak enaknya, Tot. Apalagi kalau dapat pimpinan kayak Pak Camat..!” Seru Dewi.

“Memangnya kenapa dengan Pak Camat, Mbak..?” Tanya Gatot penasaran.
“Jangan bilang-bilang ya. Pak Camat itu genit.. suka ngintip..” bisik Dewi
“Masa’ sih..?” Tanya Gatot tak percaya.

“Semua pegawai wanita sudah tau keburukan Pak Camat itu. Aku ini pernah jadi korbannya lho..” mata Dewi mendelik.
“Maaf, Mbak. Tapi saya kok tidak percaya dengan kata-kata Mbak Dewi ini..” sahut Gatot.

“Ya terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti Pak Camat itu bukan contoh pemimpin yang baik..” tegas Dewi.
Nah.. untuk yang terakhir itu Gatot sangat setuju dan seratus persen percaya;
bahwa Pak Camat memang bukanlah contoh pemimpin yang baik.

Gatot juga sepakat kalau Pak Camat itu orang yang genit.. suka lirik-lirik daun muda.. terlebih pada paha-paha mulus.
Gatot yakin pasti Dewi pernah diintip Pak Camat. Apalagi dengan kebiasaan Dewi yang sembarangan dan semau gue.

Pasti Pak Camat sudah sering melihat-lihat paha mulus Dewi dan sering mencuri-curi ke belahan dada Dewi.
Jangankan Pak Camat.. ia sendiri juga sering menyaksikan kemulusan dan kehalusan kulit Dewi.

“Makanya Mbak Dewi harus hati-hati..” kata Gatot pada akhirnya.
“Saya sudah hati-hati, tapi kebiasaan sulit diubah, Tot. Tak apalah.. toh Pak Camat cuma melihat.. nggak sampai menjilat..”
Dewi tertawa terkikik.

“Kalau itu terjadi, gimana..?” Pancing Gatot.
“Kamu mulai nakal juga ya..?” Dewi memukul pundak Gatot. Mereka telah sampai di tempat kosnya Dewi.

Setelah memarkir mobil, mereka masuk. Dewi sendiri yang mengajak Gatot.
“Istirahat di sini aja, Tot. Kalau kamu kembali ke kantor sekarang pasti banyak kerjaan di sana..!” Seru Dewi.

“Apa dibolehkan seorang pria masuk ke kamar wanita..?” Tanya Gatot.
“Tempat kos ini bebas. Siapa saja boleh membawa tamunya sampai kamar, wanita ataupun pria..” Dewi menerangkan.

Gatot masuk ke kamar kos Dewi yang tidak begitu luas.. kira-kira berukuran tiga kali tiga meter.
Hanya ada satu tempat tidur dan satu almari.. itupun sudah membuat kamar terasa sesak.

“Kalau Mbak Dewi mau ganti baju.. biar saya keluar dulu..” kata Gatot.. merasa tidak nyaman dengan keberadaannya sendiri.
Tapi Dewi tak ambil peduli.

“Duduk aja.. atau kamu bisa berbaring..” katanya sambil membuka dan melepasi satu per satu seragam kerjanya..
lalu berjalan di hadapan Gatot hanya dengan mengenakan cawat dan BH.

Bahaya..! Gatot segera membuang muka dan menunggu sampai Dewi selesai berganti busana.
Tapi busana yang dikenakan Dewi tetap saja mengundang bahaya.

“Aku mau pindah ke kompleks, Tot..” kata Dewi memulai obrolan.. ia duduk di sebelah Gatot.
“Mbak Dewi mau kos di kompleks..? Tinggal di mana, Mbak..?” Tanya Gatot sedikit rikuh.

“Di rumah yang paling ujung. Memang lumayan jauh dari rumahmu, Tot..” Dewi menjelaskan.
“Kalau tidak salah rumah yang di ujung itu dulunya milik Mbah Surti..” Gatot mengingat-ingat.

“Benar. Kebetulan cucunya Mbah Surti itu teman kuliahku. Aku akan tinggal bersamanya..” sahut Dewi.
“Mbak Dewi mau tinggal bersama Karmila yang janda itu..?” Tanya Gatot memastikan.

“Iya..” Dewi mengangguk. ”Aku boleh kan sewaktu-waktu main ke rumahmu..?” Tanyanya kemudian.
“Boleh, Mbak. Apalagi Aisyah belum punya teman. Mbak Dewi bisa berteman dengannya..” jawab Gatot ringan.

“Aisyah yang guru itu..? Jadi dia tinggal bersamamu ya..?” Ada sedikit nada cemburu di suara Dewi.
“Iya. Kok Mbak Dewi kenal..?” Tanya Gatot heran.

“Kebetulan saja kami bertemu di rumah sakit pas kamu koma. Dia juga salahsatu pendonor buatmu, Tot..!” Jawab Dewi.
“Pendonor..? Maksud Mbak Dewi..?” Tanya Gatot tak mengerti.

“Memangnya Mbak Murti belum cerita ke kamu..?” Tanya Dewi bingung.
“Belum..” Gatot menggeleng.

“Baiklah. Kuberitahu sekarang. Kamu waktu itu butuh banyak darah.
Jadi kami berempat yang kebetulan cocok dengan darahmu mendonorkan darah buatmu..” terang Dewi.

“Siapa saja empat orang yang menyelamatkan nyawa saya, Mbak..?” Tanya Gatot penasaran.
“Aku.. Mbak Murti.. si Aisyah itu.. dan yang satu lagi kalau tidak salah namanya Ningsih. Kami adalah penyumbang darah..” jelas Dewi.

“Astaga.. bagaimana saya harus berterimakasih pada mereka..? Pada Mbak Dewi..?”
Tanya Gatot rikuh.. malu karena baru mengetahui kenyataan ini sekarang.

“Tidak usah berterimakasih. Cukuplah kamu mengerti saja..” Dewi tersenyum.

Gatot sangat mengerti.. dan khusus terhadap Dewi.. ia memberi tanda terimakasih sesuai yang diinginkan oleh perempuan cantik itu.
Waktu yang singkat tidak disia-siakan untuk menjalankan sebuah niat.

Dalam panasnya udara siang, Dewi berhasil membuat Gatot mabuk kepayang. Itulah kelemahan paling mendasar yang dimiliki Gatot.
Ia belum sanggup meninggalkan dunia hitam sepenuhnya. Ia tidak bisa mengabaikan wujud indah seorang wanita.

Gatot memang sedikit kaget saat bibir Dewi mulai menyentuh bibirnya.. Namun itu cuma di awal saja..

Karena.. begitu Dewi memasukkan lidahnya.. Gatot dengan pintar segera mengimbangi dengan ikut mengisap..
Lalu menjelajahi setiap rongga mulut perempuan cantik itu. Ia bahkan menahan kepala Dewi agar ciuman mereka tidak sampai terlepas.

Lama mereka saling berpagutan..
sebelum akhirnya Gatot mengalihkan ciumannya ke pangkal telinga Dewi dan menjelajahinya turun hingga ke leher.

Dewi mengerang dan menarik tangan Gatot agar berpindah ke tonjolan buah dadanya. Dengan mesra Gatot segera meremas-remasnya.
”Ohh.. akhh..” Dewi mulai mengerang dan semakin membusungkan dadanya ke depan.

Gatot menurunkan ciumannya sampai ke belahan buah dada Dewi..
ia berusaha memasuki dada gadis itu tanpa membuka pakaiannya.

Lidahnya menari-nari di dada Dewi yang membusung indah..
tapi yang dapat dijangkau lidahnya hanya setengah dari gundukan buah dada itu.

Tak sabar menerima perlakuan Gatot.. Dewi lekas membuka kancing bajunya sendiri dengan satu tangan..
sementara yang satunya masih menekan kepala Gatot ke arah buah dadanya.

Splass..! Baju itupun terbuka.. kini tinggal beha warna krem yang masih menutupi.

Sontak Mata Gatot terbelalak menyaksikan semua itu.
Mulusnya buah dada Dewi dan ukurannnya yang begitu besar sungguh melebihi perkiraannya.

Tampak beha 36B yang dikenakan oleh Dewi seperti tidak muat menampung tonjolan buah dadanya.
Sedikit terburu-buru.. ia segera menyingkap beha itu ke atas.

Blubb..! Muncullah puting susu Dewi yang sebesar jari kelingking.
Masih rapi bentuknya.. dengan aerola yang berukuran mungil.

Mulut Gatot langsung turun untuk menyambutnya dengan sedotan dan isapan yang begitu kuat dan ketat.
”Auuwww.. akhh..” erang Dewi sambil tangannya semakin kuat menekan kepala Gatot.

Dengan rakus Gatot terus mengisap puting susu Dewi yang sebelah kanan..
sementara tangan kirinya memilin-milin puting susu yang satunya.

Bergantian ia menjilat dan mengisapnya.. dengan lincah lidahnya terus menari-nari di gundukan payudara Dewi..
hingga membuat benda bulat padat itu jadi begitu basah dan lengket oleh air liurnya.

“Ohh.. terus.. yang lama.. aku mau yang lama..” kata Dewi mengerang penuh kenikmatan.

”Ayo, Tot.. ahh.. ambil semuanya.. sekarang ini milikmu.. ayo ambil..” Dewi meracau dengan dada semakin membusung ke depan..
Sementara.. pinggulnya ia angkat tinggi-tinggi menyambut remasan tangan Gatot di belahan vaginanya.

Batang zakar Gatot yang tegang juga ikut menekan tonjolan vaginanya dari luar.
Dewi membalas dengan menjulurkan tangan ke bawah..
dan dengan gemas segera meremas-remas batang zakar Gatot dengan begitu kuatnya.

Puas bermain di dada.. jilatan Gatot kini turun ke bawah.
Ia gelitik pusar dan perut Dewi yang masih tampak langsing dan rata dengan mulutnya.

Dewi memekik dan menggelinjang.. terdengar semakin kegelian.
Apalagi saat jilatan Gatot terus merambat ke bawah.. sambil berusaha membuka rok kerjanya.

Setelah terbuka.. tampaklah gundukan vaginanya yang tebal dan basah.
Dewi tersipu malu.. namun tak urung tetap membuka kakinya juga.

Gatot tak berkedip menatap dua paha putih mulus milik Dewi.. juga belahan vaginanya yang masih tertutup celana dalam.
Pelan ia menyelipkan lidah.. berusaha memasuki bagian atas vagina Dewi tanpa membuka celana dalamnya.

Tentu saja ini membuat Dewi jadi tak sabar.
“Ayo, Tot.. jilat semua.. cepatan.. ahh..” erangnya dengan pinggul mulai bergerak berputar dan menghentak-hentak ke mulut Gatot.

Perlahan Gatot mengintip sedikit vagina Dewi dengan membuka bagian atas celana dalam gadis itu.
Samar-samar ia bisa melihat bentuk vagina Dewi yang mengembang tebal..
Cembungan vagina itu dihiasai bulu-bulu tipis yang tumbuh rapi dan teratur.. rupanya Dewi rajin mencukurnya.

Gatot memandanginya sejenak.. sebelum akhirnya dengan tak sabar memelorotkan celana dalam itu..
hingga terbukalah belahan vagina Dewi secara utuh di depan matanya.

”Ooohh..” erang Gatot manakala menyaksikan vagina Dewi yang ternyata jauh lebih indah dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Lama Gatot memandanginya.

Karena Dewi terus mengangkat-angkat pinggulnya ke atas.. hingga membuat gundukan vaginanya jadi tampak semakin cembung..
dan seolah menantang.. dengan klitoris yang menonjol indah melewati kedua bibir vaginanya.

Perlahan Gatot menjulurkan lidah. Clrup.. Ia sentuh klitoris Dewi pelan-pelan.. diusapnya dari bawah ke atas.
Reaksinya sungguh spontan.
Pinggul Dewi langsung menghentak kuat.. bahkan sampai berbenturan dengan mulut Gatot.

Melihat yang seperti itu.. Gatot jadi suka. Dengan juluran lidah yang lebih panjang.. ia segera menyerbu vagina Dewi.
Dijilatnya benda sempit itu.. diusapkannya lidahnya berulang-ulang.. bahkan hingga sampai ke lubang anus Dewi.

Perbuatannya itu membuat Dewi semakin cepat menghentakkan pinggul..
bibir vaginanya juga jadi semakin terkuak dan mengembang lebar.. menampakkan lorongnya yang begitu hangat dan basah.

”Oohh.. terus, Tot.. jilat semuanya.. ayo jilat.. lebih kuat..” erang Dewi sambil tangannya berusaha membuka celana panjang Gatot.

Begitu sudah terlepas.. dengan gemas ia meremas-remas batang kontol Gatot kuat-kuat hingga membuat laki-laki itu jadi sedikit kaget.
Namun Gatot membiarkannya saja..
karena setelah mengocok-ngocok.. Dewi tiba-tiba memutar tubuhnya hingga mereka jadi berposisi 69 sekarang.

Dengan rakus Dewi memasukkan penis Gatot ke dalam mulutnya dan mulai mengisapnya..
membuat Gatot jadi merasa nyaman dan nikmat.

Gatot mengimbangi dengan kembali mengulum dan mencucup bibir kemaluan Dewi.
Ia masukkan lidahnya ke lubang vagina Dewi yang sudah sangat licin dan basah..
juga tak lupa ia isap biji klitoris Dewi yang kini tampak semakin membusung dan menonjol indah.

Terus diperlakukan seperti itu membuat Dewi semakin cepat menaik-turunkan pantatnya.
”Ooh Tot.. enak banget.. ahh.. aku nggak tahan lagi..”

Dewi semakin meracau dengan hentakan pantatnya yang semakin liar dan kulumannya di batang zakar Gatot yang semakin kuat.
Tiba-tiba paha Dewi menjepit kepala Gatot dan berkontraksi keras.

Lubang vaginanya yang masih disantap oleh Gatot berdenyut-denyut cepat.. sebelum akhirnya..
Srrr.. srrr.. ssrrr.. liang itu menyemprotkan cairan kental yang banyak sekali.. Membasahi lidah dan bibir Gatot yang tidak sempat menjauh.

Gatot ikut merintih karena sambil orgasme Dewi juga menyedot penisnya dengan begitu kuat.. menahannya di dalam mulut.

Bersama-sama mereka saling merintih dan menggelinjang..
sampai akhinya Dewi melepaskan jepitan pahanya.. juga kulumannya di batang penis Gatot.

Gadis itu telentang lemas di bawah tubuh Gatot dengan mata masih tertutup rapat.
Dewi nampak lelah.. namun juga puas.

Pahanya yang masih terbuka membuat Gatot bisa melihat dengan jelas liang vaginanya yang begitu basah dan lengket.

Gatot kembali menjilatinya hingga Dewi jadi kembali merintih dibuatnya.
”S-sudah.. Tot..” desah Dewi setelah nafasnya sedikit agak tenang.

Gatot segera memutar tubuh. Masih tetap saling bertindihan.. mereka kini saling berpandangan.
Gatot menekan pinggulnya.. membiarkan batang penisnya yang masih tegang mengganjal di bibir kemaluan Dewi yang licin dan hangat.

Gatot hanya menggesek-gesekkannya.. masih belum ingin memasukkan. ”Enak, Mbak..?” Tanya Gatot dengan senyum.
Dewi mengangguk.. ”Enak banget, Tot. Sentuhanmu begitu indah dan nakal..” sahutnya

”Masih ada yang lebih indah, Mbak..” goda Gatot.
”Iya, Tot. Aku mau lebih lagi.. berikan padaku ya..” balas Dewi dengan senyum juga.

”Berapa yang Mbak Dewi mau..?” Tantang Gatot penuh percaya diri.
”Sampai aku nggak bisa bangun.. apa kamu kuat..?” Tantang Dewi balik.

”Jangan kuatir, Mbak. Saya akan berusaha memuaskan Mbak.. sebagai ungkapan terimakasih karena Mbak Dewi sudah nolong saya..”
kata Gatot menyanggupi.
”Kupegang kata-katamu, Tot..” Dewi tersenyum.

Kembali mereka saling melumat.
Tangan Gatot yang nakal kembali memijit dan meremas-remas buah dada Dewi yang membusung indah..
Sementara kakinya dijepitkan ke pinggang Dewi yang kurus dan ramping.

Puas dengan itu.. ia beranjak dan berjongkok di antara paha Dewi yang putih mulus dan merentangkannya lebar-lebar.
Dengan menatap mata Dewi yang pasrah..

Plep.. pelan Gatot memegang batang zakarnya dan mengarahkan menuju ke lubang vagina Dewi yang sudah menganga lebar..
menunggu penetrasinya.

”Aku masukkan ya, Mbak..?” Tanya Gatot. Dewi menjawab dengan satu anggukan ringan.

Slebb.. Pelan Gatot menempelkan kepala penisnya ke bibir vagina Dewi..
menggesek-gesekkannya sebentar sebelum akhirnya mulai menusuk tak lama kemudian.

Jlebblessepp.. ”Akhh...!!!” Dewi langsung mengerang ketika kepala penis Gatot mulai memasuki lubang vaginanya.
Tangannya langsung menangkap pantat Gatot.

”Sakit, Mbak..?” Gatot bertanya, dorongan pinggulnya spontan berhenti.

”E-enggak.. t-terus aja.. m-masukkan semua.. ahh.. e-enak kok..”
erang Dewi dengan bibir vagina terkuak lebar oleh batang penis Gatot yang sudah masuk setengahnya.

”S-saya juga enak, Mbak..” Gatot merintih merasakan jepitan vagina Dewi yang sangat ketat..
seolah tidak mengijinkannya untuk masuk lebih dalam.

Ia membiarkannya sejenak..
berharap agar vagina Dewi bisa menyesuaikan diri dengan ukuran penisnya yang besarnya di atas rata-rata laki-laki Indonesia.

Kembali Gatot melumat bibir tipis Dewi yang mendesah-desah.
Dewi membalas dengan mengangkat kakinya dan menempatkannya di atas pantat Gatot.

Ia tekan pinggul laki-laki itu untuk semakin memperdalam masuknya kontol Gatot ke belahan vaginanya.
”Ayo tekan lagi, Tot.. ahh..” bisik Dewi tak sabar. Vaginanya mengempot seperti menyedot penis Gatot.

Mengangguk mengerti, Gatot segera menekan pantatnya. Jlegh..!
Dengan sekali hentakan.. batang penisnya yang besar dan panjang meluncur masuk..
membelah lorong vagina Dewi yang licin dan hangat.. memenuhinya hingga sampai ke rongganya yang terdalam.

”Auwww.. Tootthh.. Aahhhh..!!” Jerit Dewi sambil mendekap tubuh kurus Gatot kuat-kuat.

”Ohh enaknya.. sungguh luar biasa.. ayo, Tot, ambil.. ambil semua.. puaskan aku dengan tubuhmu.. jangan sisakan sedikitpun..
sampai nggak bisa bangun.. ahh..” erang Dewi dengan pinggul mulai berputar pelan.

Gatot pun ikut menggoyang. Pelan ia mulai menggerakkan pantatnya naik-turun.. menyetubuhi Dewi.
Dengan kemalauan saling menjepit dan bergesekan ringan.. bisa ia rasakan betapa sempit..
dan hangatnya lorong vagina Dewi yang melingkupi batang penisnya.

Meski sudah tidak perawan lagi.. namun rasanya masih tetap nikmat.
Apalagi ditambah body tubuh Dewi yang begitu menggairahkan..
membuat semua urat syaraf yang ada di tubuh Gatot seperti terbangkitkan.

Dengan kedua tangan terjulur ia membetot gundukan payudara Dewi yang bergoyang-goyang indah..
lantas memijitnya dengan penuh nafsu.. merasakan betapa empuk dan kenyalnya benda bulat padat itu.

Putingnya yang mungil kemerahan juga ia pilin-pilin ringan.. sebelum dicucupnya secara bergantian..
tak lama kemudian dengan pinggul terus menghentak semakin cepat menggenjot tubuh langsing Dewi.

”Enak banget, Tot.. aku kamu apain sih..?” Tanya Dewi sambil mengerang.

Srrr.. srrr.. srrrr.. Gatot bisa merasakan siraman hangat di kepala penisnya.
Rupanya Dewi sudah orgasme lagi dengan jurus pembuka ini.

Ia yang masih belum apa-apa lekas mempercepat goyangan pinggulnya.
Seperti piston.. penisnya terus keluar-masuk di lorong vagina Dewi.
Begitu keras dan cepatnya.. hingga mengeluarkan bunyi decakan-decakan yang memenuhi seluruh dinding-dinding kamar.

Dewi yang masih lemas hanya bisa pasrah dengan tubuh terlonjak-lonjak menerima segala serangan Gatot.
Kedua tangannya mencengkeram kasur sambil berusaha menegakkan kepala..
untuk melihat keluar-masuknya kontol Gatot di lorong vaginanya.

Dewi tampak seperti mau menangis..
padahal itu adalah ekspresi rasa nikmat yang belum pernah ia dapatkan dari laki-laki lain selain Gatot.
Inilah persetubuhan terindah yang pernah ia alami.

Tak berapa lama.. ssrrr.. srrr.. drrr.. kembali Gatot merasakan kepala penisnya disiram oleh cairan hangat.
”Ahh.. aku keluar lagi, Tot.. kamu memang hebat..” kata Dewi memuji dengan tubuh semakin lemas.

Sebenarnya saat itu Gatot juga telah berada di puncak gairah..
namun karena melihat Dewi yang masih terus memburu kenikmatan.. ia jadi tidak sampai hati untuk menumpahkan spermanya.

Gatot bertekad akan memuaskan perempuan cantik itu sekuat tenaga.. sebagai wujud rasa terimakasihnya.
Biarlah ia ejakulasi di saat berikutnya.. saat Dewi mendapatkan kembali orgasmenya. Mereka akan keluar secara bersama-sama.

Dengan tekad seperti itu.. Gatot terus menggerakkan penisnya.
Bahkan ia membalik tubuh Dewi.. sehingga gadis itu sekarang menungging dengan kaki tertekuk ke bawah..
sementara buah dadanya yang besar tergencet hingga melesak pipih ke tempat tidur.

”Auhh.. enak, Tothh..!” Erang Dewi saat Gatot semakin kuat menghentak-hentakkan batang penisnya di liang vaginanya..
sambil memeluk tubuhnya dengan begitu erat.

”Ohh.. Tot.. kamu pintar sekali.. nyaman bangat posisi gini..” erang Dewi mendesah-desah.

Gatot terus mempercepat kocokan penisnya di vagina sempit Dewi yang terasa semakin membanjir.
Sepertinya gadis itu kembali mendekati puncak permainannya.. terlihat dari pantatnya yang semakin menungging..
menyambut setiap sodokan penis Gatot pada lubang vaginanya.

”Ayo, Tot.. tekan yang kuat.. ayo puaskan aku..” rintih Dewi penuh gairah.

Gatot yang merasakan waktunya juga semakin mendekat.. lekas mempercepat kocokan penisnya.
Semakin lama menjadi semakin cepat.. cepat, dan semakin kuat..

Hingga tiba-tiba Gatot mendekap dan memeluk tubuh telanjang Dewi erat-erat.
Dengan satu sodokan akhir yang menghujam begitu dalam.. Gatot melepaskan cairan spermanya.

Crott.. crott.. crott.. crott.. Cairan putih kental itu muncrat berhamburan..
Memenuhi liang rahim Dewi yang jadi begitu basah.. karena di saat yang sama Dewi sendiri juga melepaskan orgasmenya.

”Ahh.. a-aku keluar, Tot.. ahh.. ahh..” erang Dewi dengan tubuh terhentak-hentak dan pantat semakin menungging ke atas.
Gatot memeluknya semakin erat.
”Ah.. enak sekali, Mbak..” bisiknya mengakhiri sisa-sisa orgasmenya yang masih mengucur pelan.

”Kamu sungguh luar biasa, Tot.. aku puas.. beneran nggak bisa jalan ini..” kata Dewi dengan ekspresi geli di wajahnya yang cantik.
Sementara penis Gatot masih tertancap di liang vaginanya.. dan tubuh laki-laki itu masih menindih tubuhnya yang tengkurap lemas.

Setelah sedikit tenang.. barulah Gatot mencoba mencabut penisnya dari jepitan vagina Dewi yang terus berkedut-kedut ringan.
Mereka saling tersenyum dan mengubah posisi rebahan di tempat tidur dengan kepala Dewi bersandar di dada Gatot yang bidang.

”Makasih, Tot. Aku belum pernah merasa sepuas ini..” kata Dewi bahagia.
“Saya tidak bisa mempertanggungjawabkan semua ini, Mbak..” kata Gatot saat Dewi mulai memeluk tubuhnya.

“Aku tidak butuh itu. Ini kehendakku, Tot. Aku sendiri yang akan mempertanggung-jawabkannya..” Bisik Dewi lirih.
Gatot mengangguk. Sebenarnya ia masih lapar.. tubuh telanjang Dewi begitu menggodanya.

Namun jam di dinding sudah berdentang satukali.. menandakan ia harus segera kembali ke kantor kecamatan.
“Terimakasih, Mbak..” kata Gatot pada akhirnya.
“Akulah yang harus berterimakasih. Jangan bilang siapa-siapa ya..” pesan Dewi sebelum Gatot pergi.

Gatot kembali mengangguk dan lekas pamit. Dewi tersenyum sendiri. Ada arti di balik senyuman itu yang Gatot tidak mengerti.
Yang Gatot mengerti ialah ini; saatnya ia menjemput Murti. Gatot segera mengarahkan mobil ke SMA 3.

Belum sampai di tujuan.. di tengah jalan ia melihat Aisyah dan motornya melaju sambil membonceng Murti.
Ia segera memutar dan berbalik arah mengejar Aisyah sampai akhirnya bisa menjajari motor itu.

Ia bunyikan klakson dan membuka kaca mobil. Aisyah juga berhenti dan Murti turun.
Gatot sempat berbagi senyum dengan Aisyah.. sebelum gadis itu melanjutkan perjalanan pulang seorang diri..
sementara Murti sudah berada bersama Gatot untuk meneruskan perjalanan juga.

“Tumben kamu lambat, Tot..?” Tanya Murti agak sedikit curiga.
“Maaf, Mur. Aku banyak kerjaan. Disuruh ini dan diminta itu oleh suamimu..” jawab Gatot berbohong.

“Kalau memang sibuk jangan dipaksakan menjemput. Tuh wajahmu seperti nggak ikhlas..” Murti menunjuk.
“Ikhlas kok. Ini kan sudah kewajibanku..” Gatot tersenyum.

Ini karena capek habis ngentot, Mur.. bukan karena nggak ikhlas.. terangnya dalam hati.

“Mas Joko ada di kantor..? Ada acara apa lagi dia hari ini..?” Tanya Murti menyelidik.
“Pak camat ada. Menurut Mbak Dewi.. bapak mau ada pertemuan dengan anggota dewan. Bisa jadi sampai malam..” jawab Gatot.

“Sampai malam tapi kalau masih bisa pulang nggak masalah, Tot.
Yang kutakutkan Mas Joko kerja sampai malam.. tapi nyantol di rumah orang..” ketus Murti.

“Curiga terus bawaanmu..” Gatot mencoba menengahi.
”Bagaimana dengan tempat barumu..?” Tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.

“Sama saja. Yang namanya mengajar ya begitulah. Ada murid yang pintar ada juga murid yang kurang ajar..” jawab Murti kaku.
“Kurang ajar gimana..?” Tanya Gatot tak mengerti.

“Ya itu, ada segelintir murid yang suka menggoda guru, suka ngintip guru..” terang Murti.
“Kalau yang digoda dan diintip adalah guru seksi sepertimu, ya wajar dong..” Gatot tersenyum.

“Kamu mulai kurang ajar ya. Nih rasakan..!”
Cubitan-cubitan Murti mulai menyerang bertubi-tubi dan Gatot segera memperlambat mobil.

Satu tangannya memegang setir.. satu tangan lagi menghadang cubitan Murti.
Cubitan berhenti.. tapi kenakalan Murti tidak kunjung mati dan terus menggoda Gatot.. bahkan sampai tiba di rumah.

“Sudah ah, Mur, aku mau balik ke kantor..” kata Gatot mencoba berkilah.
“Sebentar saja, Tot..” tapi Murti terus memaksa.

Maka.. meski masih berada di dalam mobil.. terjadilah hubungan kilat. Murti sendiri yang nekad memaksa Gatot agar mau melayaninya.
Gatot yang masih belum puas main dengan Dewi.. melampiaskan sisa nafsunya pada Murti.

Dan hasilnya.. biar hanya hubungan kilat.. tapi yang terjadi malah lebih dahsyat. Gatot sangat puas.. begitu juga dengan Murti.
Begitulah kalau kebiasaan kemudian tumbuh subur menjadi perselingkuhan. Tiada hari yang terlewat tanpa maksiat.

Entah berapakali sudah Murti dan Gatot melakukan seks sebebas-bebasnya tanpa halangan apapun.
Yang pasti mereka sadar sepenuhnya itu sangatlah berisiko.

Tapi Murti siap menanggung resiko apapun dan juga siap mempertaruhkan rumah tangganya.

“Sudah cukup, Tot..” Murti mendorong dan menyingkirkan Gatot..
lalu memasang lagi seragam kerjanya tanpa memasang pakaian dalam.. karena ia sudah ada di dalam rumah.

Sebuah ciuman panjang mengakhiri pertarungan di hari siang itu.

Gatot kembali pada rutinitas.. kembali ke kantor kecamatan dengan hati puas.
Hari ini dua wanita dengan sangat mudahnya menggoda iman.. menuntunnya kembali ke lembah hitam.

Baginya lebih baik berjudi dan mabuk berat daripada meniduri wanita.
Ia dulu memang bejat.. tapi sekarang ia mencoba tobat dari segala jenis maksiat.

Apalah daya.. setan berwujud wanita mulus seksi sungguh lebih kuat dan membelenggu jiwanya dengan erat.
Ia di kelilingi wanita wanita pembelenggu.. wanita-wanita yang lapar akan kasih sayang.
Para wanita yang serba mau dan tak punya malu.

Gatot sampai hapal seperti apa dan bagaimana memperlakukan wanita-wanita itu.
Ada satu wanita lagi.. tapi Gatot sangat berharap wanita yang ia pikirkan bukanlah budak setan.

Ia berharap wanita yang satu ini bisa memberinya jalan terang.
--------------------------------------------
 
Terakhir diubah:
----------------------------------------------------

Cerita 85 – Kenangan Hitam Masa Lalu

Chapter 11

Jam lima sore
.. Gatot pulang tanpa bersama Pak Camat.
Ia pulang bersama seorang pegawai kantor, sementara Pak Camat entah ke mana.

Ia tidak menuju rumah Murti.. tapi langsung ke rumahnya sendiri.
Gatot melihat ada keramaian di depan rumahnya.. tepatnya di rumah yang sudah seminggu ini kosong tak berpenghuni.

Ah.. mungkin ada orang baru yang menempati rumah itu.
Gatot melihat banyak warga membantu menurunkan perkakas dari empat truk.

“Ada penduduk baru, Pak..?” Ia bertanya pada seorang warga yang kebetulan melintas.
“Penduduk baru tapi muka lama, Tot. Keluarganya si Ningsih..” jelas si tetangga.

“Ayo ikut bantu, Tot..” ajak tetangga itu lagi.
Gatot urung masuk rumah dan bersama para warga beramai-ramai membantu.

Gatot sempat melihat Ningsih tapi sangat sibuk. Begitupula si Bejo yang cuma tersenyum kepadanya.
Gatot senang karena Bejo dan keluarganya telah kembali ke kompleks. Ia jadi punya teman sebaya.

Menjelang maghrib semua perkakas sudah selesai diturunkan dan empat buah truk itu juga sudah pergi.
Barulah Gatot bisa menghampiri Bejo.

“Hei, Jo, kenapa nggak bilang kalau mau balik ke kompleks..?” Tanyanya.
“Kejutan. Ayo ikut aku, Tot. Kukenalkan ke istriku..” ajak Bejo.

Gatot ikut Bejo masuk ke dalam rumah yang masih berantakan.
Di dalam, ia langsung disambut dengan akrab oleh keluarga Bejo.

Gatot bersyukur semua masih ingat padanya.. masih bersikap baik padanya seperti dulu.
Beberapa tahun silam.. mereka memang bertetangga. Jadi wajar kalau kemudian jadi akrab.
Memang ada tambahan orang baru.. yaitu istrinya Bejo. Namun karena sudah Maghrib.. Gatot lekas mohon diri.

“Mainlah ke rumah, Jo. Aku pulang dulu ya..”
“Itu pasti, Tot. Ini dari Mbak Ningsih buat kamu..” kata Bejo memberikan sebuah bungkusan.

“Mana Ningsih..?” Gatot bertanya.
“Masih mandi. Nanti juga pasti ke rumahmu..” Bejo tersenyum.

“Terimakasih ya..” Gatot melambaikan tangan.
“Sama-sama, Tot..” Bejo mengangguk.

Gatot kembali pulang. Sesampainya di dalam rumah, ia mendapati Aisyah sedang sibuk di dapur.
Gatot segera membuka baju yang penuh keringat.. lalu mendekati Aisyah..

Namun tidak terlalu dekat.. karena khawatir Aisyah akan terganggu oleh bau badannya.
Aisyah menoleh dan tersenyum sebentar lalu kembali sibuk dengan masakannya.

“Masak apa, Aish..?” Tanya Gatot.
“Ini, sayur lodeh.. Mas. Kok baru pulang..?” Tanya Aisyah.

“Iya, Aish.. tuh masih membantu orang baru pindah. Gantian pakai kompornya ya..? Aku mau masak juga..” kata Gatot.
“Tidak usah, Mas. Ini saya masak juga buat Mas Gatot..” jawab Aisyah.
”Mending mas mandi saja. Sebentar lagi Maghrib lho..” ia mengingatkan.

“Kamu sudah mandi..?” Tanya Gatot.
“Belum, Mas..” jawab Aisyah.

“Pantas kamu bau..” canda Gatot.
“Mas Gatot yang bau..” balas Aisyah sambil tersipu malu.

Gatot paling suka melihat wajah Aisyah seperti itu.
“Mas Gatot pergi sana. Nanti merusak rasa masakanku..”

“Nanti malam jalan-jalan yuk, Aisyah..” Gatot berkata.
“Tapi habis makan malam ya..?” Aisyah menyanggupi.

“Iya.. aku kan belum ngerasain masakanmu enak apa tidak. Aku mandi dulu ya..”
Aisyah memukul Gatot dengan gagang sutil.

Gatot ingin balas memukul.. tapi urung setelah teringat bahwa Aisyah terlalu murni untuk disakiti.
Aisyah tidak sama dengan wanita-wanita lain. Cukuplah kekhilafannya dulu saat Aisyah tertidur pulas.

Gatot tidak akan mengulanginya lagi sebelum Aisyah benar-benar resmi menjadi miliknya.
Gadis itu terlalu suci untuk dicemari.

Selesai mandi dan sholat Maghrib.. Gatot duduk menunggu Aisyah sambil menonton tv.
Telinganya menangkap suara-suara halus bersenandung dari kamar mandi.

Terdengar sangat merdu.. membuat Gatot mengecilkan volume tv..
Ia menajamkan telinga untuk mendengar senandung itu lebih jelas lagi.. senandung merdu yang menyejukkan hati.
Sayang sekali senandung itu berhenti.. dan pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka.

“Mas Gatot, ke sini sebentar..!” Panggil Aisyah.
“Ada apa, Aisyah..?” Gatot berjalan menghampiri.

“Gotnya buntu ya, Mas. Airnya nggak jalan tuh..” kata Asiyah menunjuk selokan kamar mandi.
“Biar saya perbaiki. Kamu pergi saja..” sahut Gatot.

“Saya bantu, Mas, biar cepat. Saya juga belum selesai mandi..” kata Aisyah.
Gatot memang melihat Aisyah belum menyelesaikan mandinya..
karena air di lantai kamar mandi penuh akibat saluran pembuangan yang buntu.

Ia membungkuk untuk memeriksa.. Aisyah juga ikut jongkok untuk membantunya.
Gatot menahan hasrat hati demi melihat bagian-bagian tubuh Aisyah yang tidak cukup terlindungi.

Handuk yang membungkus tubuh Aisyah terlalu pendek.
Dan Aisyah jongkok tepat di hadapannya.. sama sekali tidak berusaha untuk menutupi sebagian buah dadanya.

“Aisyah..! Berdiri..!” Gatot memberi perintah demi menjaga kemurnian gadis itu.

Ia tidak tega melihat dan menyaksikan seluruh bagian bawah tubuh Aisyah yang terpampang jelas di hadapannya.
Gatot tidak ingin tergoda kembali.

“Maaf, Mas..!” Kata Aisyah sambil berdiri dan pindah ke belakang Gatot.. membuat Gatot jadi sedikit lega.
Dan lebih lega lagi karena got selesai diperbaiki.

“Beres. Kamu bisa lanjutkan mandimu, Aish. Oh ya, nyanyi yang agak keras ya..?” Katanya tersenyum menggoda.
Aisyah mengancam Gatot dengan segayung air.. membuat Gatot lari terbirit-birit sebelum Aisyah menjalankan aksinya.

Senandung suara Aisyah kembali terdengar dan terus terdengar.. meski Aisyah sudah selesai mandi dan kini ada di dalam kamarnya.
Gatot menyimak senandung itu dengan hati ragu.

Sebelum keraguan hatinya terjawab.. Aisyah sudah muncul.
Mereka makan bersama dengan cepat.. karena ada acara yang akan mereka adakan.

Malam ini Gatot dan Aisyah akan jalan-jalan.
Memang masih jalan-jalan biasa.. tapi siapa tau itu akan jadi awal dari sesuatu yang luar biasa.

“Sudah siap, Aish..?” Tanya Gatot.
“Sudah, Mas. Ayo berangkat. Mumpung belum terlalu malam..” Aisyah mengangguk.

“Kamu cantik sekali, Aish..” Gatot menatap gadis itu tak berkedip.
“Mas Gatot bisa saja. Gombal ah..” Aisyah langsung tersipu malu.

”Ini kontak motornya..” ia memberikannya pada Gatot tanpa menoleh.
Gatot hanya tersenyum saja melihatnya.

Mereka pun pergi meninggalkan kompleks naik motor.
Malam yang mendung tidak menyurutkan keinginan dua insan itu untuk mencoba mendekatkan hati.

Walaupun tidak ada tujuan pasti mana yang harus mereka datangi.
Mereka hanya ingin jalan-jalan, bukanlah untuk kencan.

Gatot merasa sudah terlalu tua untuk kencan layaknya anak-anak muda. Ia bukan lagi anak remaja.
Pun demikian Aisyah yang juga seorang wanita dewasa.

Keinginan untuk bersenang-senang mungkin sudah tidak ada. Makanya mereka berputar-putar saja keliling pusat kota.

“Ke mana enaknya, Aish..?” Tanya Gatot di tengah perjalanan.
“Ke stadion saja yuk, Mas. Sepertinya enak duduk santai di sana..” kata Aisyah.

“Kamu tidak takut..? Di sana sangat sepi, Aish..” sahut Gatot.
“Kan saya bersama Mas Gatot. Pasti aman..” yakin Aisyah.

Gatot bukannya takut untuk datang dan nongkrong malam-malam di stadion.
Daerah sepanjang stadion memang sangat sepi dan paling sering terjadi kejahatan.
Mulai dari pemalakan.. pemerasan.. perampokan.. sampai pemerkosaan sudah berkali-kali terjadi di sana.

Dan sampai sekarang tempat itu masih gelap.. lampu-lampu banyak yang hilang dicuri orang yang butuh uang.
Dulu Gatot juga sering mencuri apa saja dari stadion. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Ia sudah kapok dan tobat.

Sampai juga di stadion.
Gatot membantu Aisyah turun dari motor lalu berjalan beriringan menuju sebuah bangku panjang.

Di sanalah mereka duduk berdua. Angin malam yang dingin langsung menerpa.
Gatot membuka jaketnya dan mengenakan ke tubuh Aisyah untuk memberi rasa hangat.

“Saya belum tau banyak tentangmu, Aish..” kata Gatot membuka pembicaraan.
“Saya ini hanya wanita desa, Mas. Tidak ada apa-apanya dibanding wanita-wanita kota..” jawab Aisyah.

”Ceritakan tentang keluargamu, Aisyah..” Gatot meminta.

Ia menyimak cerita Aisyah. Gatot sudah tau kalau Aisyah adalah anak Pak Asnawi.
Yang ia baru tau adalah tentang Pak Asnawi itu sendiri.

Menurut cerita Aisyah.. Pak Asnawi dulunya juga pria yang bergelimang dosa.
Dari Aisyah masih kecil sampai Aisyah beranjak remaja.. Pak Asnawi masih seorang penjahat terkenal.
Tapi menjelang Aisyah masuk SMA.. Pak Asnawi berubah menjadi sosok yang pendiam dan semakin alim setelah menunaikan ibadah haji.

Sejak itu orang tidak lagi mengingat Pak Asnawi sebagai penjahat.
Orang-orang kemudian lebih mengenang kedermawanan Pak Asnawi. Sampai akhirnya menjadi kepala desa Cemorosewu.

Aisyah sama sekali tidak menceritakan atau memang tidak tau cerita kalau ayahnya juga seorang pembunuh dan pemerkosa.
Ironisnya.. korban pemerkosaan dan pembunuhan Pak Asnawi adalah ibu kandung Gatot.

Dan kini Pak Asnawi mungkin sudah menerima hukuman setimpal di alam kubur setelah anak dari si korban menuntut balas dendam.
Utang nyawa dibayar nyawa dan utang itu kini terbayar lunas.

“Itulah cerita keluargaku, Mas. Selanjutnya Mas Gatot tau sendiri kalau ummiku kawin lagi..” kata Aisyah mengakhiri ceritanya.
“Saya kagum dengan ayahmu, Aish. Dari penjahat kemudian tobat. Sedangkan ayahku entah dia tobat atau belum..” gumam Gatot.

“Mas Gatot yang sabar saja. Setiap rencana Tuhan pasti ada hikmahnya..” balas Aisyah bijak.
“Kamu benar, Aisyah..” Gatot mengangguk. ”Dingin ya..?” Ia bertanya.

“Iya, Mas. Tapi tak apa..” Aisyah tersenyum karena hatinya terasa hangat bisa bersama orang yang dikasihi.
Gatot merengkuh bahu Aisyah dan gadis itu tidak menolak.

Gatot merasakan getar yang tak biasa.. bukan nafsu.. tapi lebih kepada rasa sayang. Ia ingin memberi perlindungan kepada Aisyah.
Dan bersama dengan Aisyah.. Gatot seakan sedang bersama Zulaikha.. mantan istrinya.

Ia mengelus kepala Aisyah yang terbalut kerudung. Sangat terasa sekali hempasan napas Aisyah.. hingga membuat Gatot jadi merinding.
“Sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini, Aish..” Gatot berbisik.
“Maksud Mas Gatot..?” Tanya Aisyah tak mengerti.

“Kamu mengingatkanku pada Zulaikha, mantan istriku. Dia sama sepertimu, Aish..” jawab Gatot.
“Selagi Mas Gatot masih ingat mantan istri.. berarti ada harapan suatu saat Mas pasti bertemu lagi dengannya..” sahut Aisyah.

“Aku selalu berharap seperti itu, Aisyah..” Gatot mengaku.
”Sepertinya gerimis. Mau pulang sekarang..?” Tanyanya kemudian sambil melihat langit.
“Iya. Ayo pulang, Mas..” angguk Aisyah.

Namun mereka tidak benar-benar pulang.. lebih tepatnya mereka hanya meninggalkan stadion.
Hujan sudah terlalu deras dengan disertai angin kencang.
"Berteduh di loket itu saja, Mas..” kata Aisyah sambil menunjuk sebuah bangunan loket di pintu masuk stadion.

Karena cukup jauh.. praktis mereka harus berlari untuk bisa sampai.. otomatis pula mereka basah kuyup.
Gatot sudah biasa.. tapi tidak demikian dengan Aisyah; gadis itu menggigil dengan wajah pucat.

“Pasti nanti kamu masuk angin, Aish..” kata Gatot kuatir.
“Sekarang saja perutku sudah mual, Mas..” Aisyah berkata lirih.

“Jadi bagaimana..? Mau memaksa pulang..?” Tanya Gatot.
“Sudah kepalang basah.. mandi sekalian, Mas. Pulang saja..” Aisyah memutuskan.

Gatot tidak punya pilihan selain membonceng Aisyah pulang. Jalanan benar-benar sepi.
Tidak ada satupun kendaraan ataupun manusia yang berani menantang hujan selain mereka berdua.

“Pegangan yang erat, Aisyah..” Gatot memberi perintah.

Ketika dirasakan lengan Aisyah sudah melingkar erat di pinggangnya serta tubuh gadis itu melekat di punggungnya..
ia menggeber gas kuat-kuat untuk melesat kencang menembus tajamnya rinai-rinai hujan.

Di tengah jalan.. Gatot merasa menabrak sesuatu. Namun karena terlalu gelap, ia tidak bisa melihat apa itu.
Terlalu riskan untuk mengerem di saat laju motor seperti jet. Aisyah sendiri semakin merapatkan tubuhnya.

Sesampainya di rumah.. Gatot segera membopong tubuh Aisyah yang semakin lemah tak berdaya.
Celakanya lagi.. kamar Aisyah ternyata bocor. Gatot pun terpaksa membawa Aisyah ke kamarnya sendiri.

“Kupanggilkan dokter ya, Aish..” kata Gatot panik. Setelah membaringkan Aisyah.. ia bermaksud keluar untuk mencari dokter.
Tapi Aisyah mencekal lengannya.. menahan langkahnya. “Tidak usah, Mas. Saya minta tolong dikerokin saja..” kata gadis cantik itu.

“Tapi, Aish ..!?” Seru Gatot bimbang.
“Saya percaya Mas Gatot tidak akan menyakiti saya. Tolong ya, Mas..” pinta Aisyah pelan dan melas.

“Baiklah, Aish..” Gatot akhirnya mengangguk setuju. ”Terimakasih kamu percaya padaku..”
Aisyah pun berbalik telungkup.. memasrahkan punggungnya untuk dikerok oleh Gatot.

Anehnya.. Gatot sama sekali tidak merasakan birahi kali ini.
Padahal ia bebas memandangi tubuh mulus Aisyah dengan begitu rupa.

Mungkin ini karena pengaruh benih kasih yang mulai tumbuh.
Hingga membuat Gatot hanya merasa iba hati melihat Aisyah yang pasrah sedemikian rupa kepada dirinya.
Gatot bersumpah tidak akan menyakiti Aisyah.

Aisyah juga sadar sepenuhnya.. membuka bajunya yang basah dan menutupi tubuh bagian bawahnya dengan selimut..
sementara bagian atas dari kepala sampai pinggul dibiarkan telanjang.

Gatot mulai mengerok punggung Aisyah sementara Aisyah hanya bisa meronta-ronta kecil.
Untuk pertamakalinya Gatot menang saat berperang melawan setan.

Setan jahanam yang menggoda imannya ia berantas sampai tuntas.. sampai tidak ada lagi setan yang berani mengganggunya.

“Jangan meronta terlalu keras, Aish. Nanti selimutmu jatuh..” kata Gatot.
Aisyah menahan selimut dengan kedua tangannya agar tidak jatuh.. agar tidak mengundang nafsu Gatot.

Punggung yang awalnya putih mulus semurni susu.. kini berubah warna menjadi garis-garis merah.
Belum selesai dikerok.. Aisyah sudah lebih dulu muntah mengeluarkan isi perutnya.

“Kerok sampai bawah, Mas. Anginnya mulai keluar..” kata Aisyah dengan tubuh gemetar.
Gatot mengikuti alur punggung Aisyah sampai bawah..
terpaksa menyingkap sedikit selimut gadis itu agar bisa mengeroki hingga pangkal paha. Hingga selesai sudah.

Aisyah berbalik telentang dengan keringat bercucuran.
Gatot membetulkan tali kutang Aisyah.. tanpa sedikitpun menyentuh buah dada yang membuncah indah itu.

Namun ia perlu meminta ijin untuk memasangkan celana panjang.
Aisyah sudah memasang sendiri celana dalamnya dari balik selimut. Aisyah tersenyum mengangguk.

“Sekarang tidurlah, Aish. Biar panasmu turun..” kata Gatot penuh rasa lega.
“Mas Gatot tidur saja di sini. Saya ikhlas, Mas..” balas Aisyah.

“Baiklah, Aish. Selamat tidur ya..” Gatot berbisik lirih.
Ia pun membaringkan diri di samping Aisyah.. dan membiarkan gadis itu membenamkan kepala ke dadanya.

Aisyah, ya, Aisyah.. sungguh sempurna dirimu..! Batin Gatot dalam hening.

Aisyah mungkin sudah terlarut dalam mimpi.. karena tidak bergerak sama sekali saat Gatot mencium keningnya.
Ciuman yang menjadi penghantar tidur malam itu.
-----------------

Pagi-pagi sekali Gatot sudah menghadap Pak Camat.
Ia hendak membicarakan keputusan maha penting yang telah dipertimbangkan masak-masak sejak semalam.
Tapi Pak Camat sudah berangkat kerja ke kantor subuh tadi.. begitu yang disampaikan Murti kepadanya.

“Lho, kupikir Mas Joko berangkat bareng kamu, Tot..?” Kata Murti heran.
“Tidak, Mur. Ini malah aku ingin ketemu dan bicara dengan Pak Camat..” sahut Gatot.

“Mas Joko sudah pergi. Aku saja yang istrinya tidak tau jam berapa suamiku berangkat..” ketus Murti seperti biasa.
Semakin bulat saja keputusan Gatot. Pak Camat semakin sering berangkat kerja sendiri.. semakin tidak membutuhkannya lagi.

Terhitung sudah sebulan ini Pak Camat tidak menggunakan tenaganya lagi.
Gatot yakin Pak Camat memang punya maksud tersembunyi.

“Mungkin kamu bisa sampaikan padaku, Tot. Nanti kuteruskan ke Mas Joko..” kata Murti.
“Tidak, Mur. Biar aku bicara langsung dengan Pak Camat..” kata Gatot.

“Ada masalah apa antara kamu dengan Mas Joko..? Ayo ceritakan saja..” Murti mendesak.
“Sama sekali tidak ada masalah, Mur..” Gatot menggeleng.

”Kamu bersiap saja. Kutunggu di mobil ya..” iapun pergi keluar.
“Tot..!” Murti memanggil.

Gatot tidak mempedulikan panggilan itu. Tentu saja sikapnya ini membuat Murti jadi kelabakan dan berpikir ada apa gerangan.
Murti gelisah dan takut kalau-kalau suaminya membuat masalah yang menyebabkan Gatot marah.

Murti khawatir karena bisa saja suaminya celaka. Bagaimanapun Gatot adalah mantan bajingan dulu.
Dengan hati gamang Murti meneruskan tugas sebagai ibu rumah tangga sebelum mandi.

Setengah jam kemudian iapun sudah siap dan menyambar tasnya lalu menghampiri Gatot.
“Ayo jujurlah Tot. Jangan membuatku takut..” desak Murti di dalam mobil.
“Mur, sudah kubilang berkali-kali, masa kamu tidak dengar..? Tidak ada apa-apa antara aku dan suamimu. Titik..!!!” Hardik Gatot tiba-tiba.

Murti langsung mengkerut dibentak begitu oleh Gatot.
Ia sama sekali tidak menduga Gatot akan begini emosi. Tidak seperti hari-hari biasanya.

Tidak ada tawa dan canda.. malah suasana mencekam yang terasa.
Murti dicekam berbagai rasa yang membuatnya tidak sanggup lagi berkata-kata.

Sampai tiba di tempatnya kerja, Gatot tak kunjung menunjukkan tanda-tanda membaik.
Wajah Gatot dilihatnya murung dan bingung. Yakinlah Murti bahwa memang ada yang tidak beres.

“Tunggu sebentar, Tot. Aku mau ikut kamu ke kantor kecamatan..” kata Murti tiba-tiba. Barulah saat itu Gatot menoleh agak kaget.
Tapi Murti keburu keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju gedung sekolah. Gatot terpaksa menunggu.. sesuai perintah Murti.

Belum sempat Gatot menenangkan diri, Murti telah kembali lagi. “Ayo berangkat, Tot..” kata istri Pak Camat itu.
“Tapi, Mur ..” Gatot terlihat bimbang.

“Berangkat..!!!” Potong Murti cepat. Kini giliran Gatot yang kaget dibentak oleh Murti.
Namun ia harus segera berangkat sebelum Murti bertindak nekad.

Perjalanan terasa lama dan membosankan. Gatot merutuk dalam hati.. kenapa ia harus membuat Murti sakit hati.
Pasti Murti marah oleh sikapnya hari ini yang serba kaku.

“Maafkan aku, Mur..” kata Gatot sambil terus menyetir.
“Sudah kumaafkan..” balas Murti ketus.

“Belum. Kamu masih marah kan..?” Tanya Gatot.
"Aku memang marah. Tapi bukan padamu, Tot..” terang Murti.

“Syukurlah. Senyum dong..” Gatot berusaha mencairkan suasana. Murti tersenyum sekedar menyenangkan hati Gatot.
Lalu pandangannya kembali lurus ke depan.. dan tidak menoleh ke mana-mana sampai tiba di kantor kecamatan.

“Perlu kuantar sampai dalam..?” Tawar Gatot.
“Tidak usah. Biar aku sendiri saja..”

Murti melangkah memasuki paseban kantor dan terus menyusuri koridor hingga berhenti di depan ruang kerja suaminya.
Ia mengetuk pintu tigakali.. lalu mendorong perlahan pintu sampai terbuka.

Murti masuk dan berdiri terpaku. Tidak ada nampak suaminya.
Tentu kedatangannya yang mendadak membuat kalang kabut pegawai yang ada di ruangan itu.

“Selamat pagi, Bu Camat..” kata beberapa pegawai menyambut kedatangannya.
Sementara sebagian pegawai yang lain berbisik-bisik.

Murti tidak peduli bisik-bisik itu. “Selamat pagi juga. Mana Pak Camat..?” Tanyanya kaku.
“Waduh, Bu. Pak Camat malah belum datang..” kata salah seorang pegawai.

“Jadi Pak Camat belum ngantor..?” Tanya Murti mulai was-was.
“Pas Kami datang, Pak Camat tidak ada, Bu. Tapi coba ibu tanyakan ke Dewi..” kata pegawai itu.

“Baiklah. Terimakasih..” Murti mengangguk.
”Dewi, kumohon ikut aku sebentar saja..” ia memanggil gadis itu.
“Baik, Mbak Murti..” jawab Dewi penuh kebingungan.

Murti membawa Dewi menuju mobil..
dan di sanalah ia menginterogasi Dewi dengan beragam pertanyaan yang berfokus pada seputar kegiatan Pak Camat.

Gatot hendak keluar.. tapi Murti memintanya tetap di dalam.
Jadilah Gatot ikut mendengar perbincangan antara Murti dan Dewi.

“Benarkah suamiku belum ke kantor..?” Tanya Murti.
“Benar, Mbak..” Dewi mengangguk.

“Aneh.. padahal Pak Camat sudah berangkat sejak shubuh tadi..” Murti tampak berpikir keras.
“Saya sungguh-sungguh tidak tau, Mbak..” kata Dewi.

“Kamu pernah bilang memergoki mobil suamiku di perumahan residence. Bisakah kamu jelaskan lebih detil..?” Tuntut Murti.
“Oh itu. Memang benar. Seingat saya waktu itu mobil Pak Camat ada di rumah paling ujung blok A..” jawab Dewi.

“Kamu kenal pemilik rumah itu..?” Tanya Murti.
“Tidak, Mbak. Mungkin Gatot tau.. karena pasti dia pernah ngantar Pak Camat ke sana..” Dewi menoleh pada Gatot.

“Percuma minta informasi ke Gatot. Dia sudah kongkalikong dengan suamiku..” ketus Murti sengit.
Gatot hanya diam saja disindir seperti itu.

“Saya mohon Mbak Murti tidak melibatkan saya. Kamu juga, Tot. Jangan bilang apa-apa ke Pak Camat ya..?” Hiba Dewi memelas.
“Aku jamin aman, Dewi. Aku malah berterimakasih. Sekarang kembalilah bekerja..” Murti mempersilakan.

Dewi meninggalkan Murti dan Gatot. Kini Murti sudah menemukan titik terang. Yang justru bimbang adalah Gatot.
Sekarang Gatot tau dari siapa Murti tau soal perumahan residence. Ternyata dari Dewi yang membeberkan semuanya.

Mungkin Dewi tidak tau bahwa keterus-terangannya pada Murti telah menciptakan prahara besar.
Dewi telah memberi petunjuk yang bisa mengarahkan kecurigaan Murti.

Gatot pusing memikirkan apa jadinya kalau Murti sampai minta diantar ke perumahan residence.
Bahaya kalau Murti sampai nekad ke sana.

“Aduh..! Kepalaku pusing, Mur..” Gatot mengeluh secara tiba-tiba.
“Pusing..? Bagaimana ini..!?” Murti jadi panik.

“Kuantar dulu kamu ke sekolah ya..? Setelah itu aku mau pulang. Tolong bilang ke Pak Camat..” Gatot berkata terbata-bata.
“Kamu sanggup..? Jangan memaksakan diri, Tot. Nanti kecelakaan lagi. Aku bisa naik ojek dari sini..” kata Murti.
“Biar kuantar kamu dulu..”

Sesungguhnya itu hanya alasan Gatot saja untuk terbebas dari Murti. Ia pura-pura pusing dan berhasil dengan sukses.

Setelah mengantar Murti.. iapun kembali ke kantor kecamatan untuk menaruh mobil kemudian pulang..
menumpang motor Dewi yang kebetulan hendak keluar juga.

Sementara itu Murti segera meminjam motor Aisyah dan minta ijin ke kepala sekolah untuk bebas tugas hari ini.
Ia sudah bulat dan memutuskan untuk pergi ke perumahan residence seorang diri.. karena Gatot tidak bisa mengantar.

Ia harus mendapat kepastian dan kebenaran tentang gosip dan isu-isu yang selama ini berkembang.
Ia mulai termakan oleh gosip itu.. juga oleh bisik-bisik yang didengarnya dari pegawai kantor kecamatan.
-----------------

Sementara itu di sebuah rumah mewah..


Seorang wanita berbodi montok terlihat keluar dari kamar mandi dan kelihatan segar..
dengan kaos kutang kuningnya dipadu dengan celana pendek motif bunga yang bagian pahanya terlihat longgar.

Pak Camat yang daritadi duduk di ranjang.. sekarang pindah selonjoran di lantai yang dilapisi karpet berwarna coklat tua.
Wanita itu pun duduk di sebelahnya.. ikut selonjoran. ”Enak nggak, Mas, kopinya..?” tanya Ayu membuka percakapan.

”Yah lumayanlah.. kemanisan dikit..”
sahut Pak Camat sambil lengannya sengaja menyenggol daging kenyal yang membusung indah di dada perempuan cantik itu.

”Iihh.. nakal ah..!” Kata Ayu diiringi kerlingan matanya yang nakal.
”Eh, kamu nggak pake beha ya..?” Pak Camat pura-pura kaget, padahal dalam hati tersenyum senang sekali.

Ayu hanya tersenyum penuh arti. ”Nggak suka ya, hmm..?” kata-katanya begitu menantang gairah kelelakian Pak Camat.
Sebagai jawabannya, Pak Camat meraih kepala perempuan cantik itu kemudian mendaratkan kecupan lembut di bibirnya yang tipis.

Ayu pun membalas dengan penuh gairah.. dan tanpa dikomando segera tangan Pak Camat mulai menjalar ke arah buah dadanya.
”Hmm.. jangan, Mas..” kata Ayu setengah hati.

Pak Camat pun menjawabnya dengan setengah berbisik..
”Kalau jangan.. trus ngapain kamu nggak pake BH..? Hayyo..!?”

Wanita itu hanya membalas dengan mencubit perut Pak Camat.
”Nakal...!” Kata Ayu manja tapi tidak berusaha menepis tangan Pak Camat atau ciuman mesra laki-laki itu.

Nafsu setan yang sudah membelenggu keduanya membuat Pak Camat melanjutkan lagi jelajahan tangannya..
Ia kini mulai menelusup ke balik kaos longgar yang dipakai oleh Ayu.

Karena di balik kaos itu Ayu sudah tidak mengenakan apa-apa..
maka tanpa kesulitan tangan Pak Camat bisa meraih bulatan daging kembar yang tumbuh subur di sana.

Buah dada Ayu walau sudah sering dipegang.. masih terasa kencang dan kenyal dalam genggaman.
Apalagi puting di puncak bukit itu.. masih terasa kaku dan tegap kala terjepit di sela-sela jari.. layaknya masih perawan saja.

Karena tidak sabar.. Pak Camat segera menarik kaos Ayu ke atas..
hingga terpampanglah tonjolan buah dada perempuan perusak rumah tangga itu dengan begitu jelasnya.

Bentuknya bulat dan padat.. dengan puting mungil berwarna pink menghiasi puncaknya yang kuning kemerahan.
Tak tahan.. dengan penuh nafsu Pak Camat mengarahkan kepalanya ke sana.

Sambil terus meremas-remas ia mengecup kedua payudara Ayu yang bulat besar dengan menggunakan mulutnya.
”Uhh.. geli, Mas..” Ayu berbisik pelan.

”Susumu empuk..” sahut Pak Camat sambil jemari tangan kirinya terus memilin puting payudara perempuan cantik itu..
hingga jadi semakin mencuat kemerahan.. sedang mulutnya mengecupi yang satunya lagi.

Diperlakukan seperti itu.. tentu membuat desahan nikmat Ayu semakin terdengar keras.
Wanita itu menggeliat geli sambil memegangi kepala Pak Camat yang terus menyusu di bulatan payudaranya.

Apalagi saat perlahan namun pasti tangan Pak Camat mulai turun ke arah perutnya.. dan terus ke arah pangkal pahanya.
”Mas.. udah ah.. nggak usah ke bawah-bawah segala..”
bisik Ayu sambil tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Pak Camat.

Tapi apalah arti tangan sekecil itu melawan tangan kekar yang sudah dilanda nafsu birahi..
dengan mudah Pak Camat bisa menyingkirkannya.

”Pagi-pagi aku ke sini.. tentu untuk merasakan yang ini, Sayang..”
sergah laki-laki itu sambil mengarahkan jari-jari tangannya ke arah paha Ayu..
dan terus menerobos masuk ke selangkangan melalui bagian celana pendek Ayu yang terbuka longgar.

”Tapi.. masa’ harus tiap pagi..?” Ayu mencoba bertahan untuk yang terakhirkali.
”Bersamamu, tiap jam aku juga mau..!” Balas pak camat tidak peduli.

Sekarang mulut Pak Camat berpindah ke arah leher Ayu yang putih jenjang..
Ia mengisap lembut di sana hingga meninggalkan beberapa bekas cupang merah.

”Ahh..!” Ayu hanya bisa mendesah ketika jemari Pak Camat mulai menyentuh secarik kain yang sudah basah..
yang masih menutupi bagian terlarang tubuh sintalnya.

Laki-laki itu menyusupkan jarinya ke sana.. dan sedetik kemudian merasakan kebasahannya yang mengalir deras.
”Ouhh.. Mas..!!” Akhirnya Ayu menyerah saat Pak Camat mulai membelai mesra bibir vaginanya..
atau memang sebenarnya dia sudah sangat bernafsu.. sehingga mengharapkan tangan Pak Camat beraksi lebih jauh lagi.

Mengetahui hal itu.. dengan perlahan Pak Camat segera menyusupkan jari tengahnya ke lorong kemaluan Ayu yang sudah terasa licin.. sambil ibu jarinya memainkan sebentuk biji mungil di bagian atas.

Itu adalah klitoris Ayu yang sudah menonjol kaku.
”Auwhh...!” Ayu hanya bisa merintih keenakan begitu jemari Pak Camat semakin menusuk ke dalam, menerobos lubang vaginanya.
Sementara tangannya seperti refleks segera meremas batang kemaluan Pak Camat yang masih tersimpan rapi di balik celana pantalon.

”Cepet amat sih..? Belum apa-apa udah banjir..!?”
Kata Pak Camat mengomentari liang kewanitaan Ayu yang sudah begitu basah dan lengket.

”Hehe..” Ayu hanya bisa tersenyum pasrah menanggapi.. lalu berkata pelan.. ”Lepas aja, Mas.. celanaku yang basah itu..”
Tidak menjawab.. Pak Camat segera melakukannya.

Ayu membantu dengan sedikit menaikkan pinggulnya yang bulat dan besar.
Begitu celana pendek itu terlepas, Ayu menatap Pak Camat dengan pandangan sayu,

”Udah..? Yang ini nggak dilepas juga..?” Ayu menunjuk celana dalamnya.
Pak Camat tertawa.. lalu dengan terampil segera memelorotkan juga celana dalam itu. Begitu terlepas.. Pak Camat segera menciuminya.

Melihat hal itu, kontan Ayu memprotes.. ”Apa-apaan sih, Mas..? Jorok deh ih..!
Ketimbang nyiumin yang itu, kenapa nggak yang aslinya aja dicicipin..?” Katanya sambil mengangkangkan kaki lebih lebar lagi..
memamerkan belahan vaginanya yang sudah merekah indah kepada Pak Camat.

”Boleh..! Siapa Takut..? Lagian.. udah lama kayaknya aku nggak ngerasain lendir kamu..” kata Pak Camat sambil tersenyum penuh arti.
Ayu menanggapi dengan tersenyum nakal.. ”Iya nih, udah lama kayaknya mulut dan lidah Mas Joko nggak nengok punyaku..”

Mendengar kata-kata erotis itu birahi Pak Camat jadi semakin terbakar. Cepat ia rebahkan tubuh montok Ayu di karpet.
Ia tekuk kedua kaki perempuan itu ke atas hingga terlihat lubang kawahnya yang menganga indah..
membuat Pak Camat jadi semakin bergairah karenanya.

Tanpa membuang waktu.. iapun mengarahkan kepala ke daerah itu.
”Auh...!” Pekik Ayu saat Pak Camat mulai menciumi rambut halus yang tumbuh di daerah pubisnya.

Lidah laki-laki itu menjalar ke bawah, mengikuti garis di lipatan pangkal pahanya.

Untuk memudahkan aksinya.. Pak Camat memposisikan tubuh dengan tengkurap..
sementara kedua tangannya menyusup di bongkahan pinggul Ayu..
mengangkatnya hingga lubang kemaluan Ayu sejajar tepat di depan wajahnya.

Dengan posisi seperti itu.. sekarang ia jauh lebih leluasa menggarap semua bagian selangkangan perempuan cantik itu.
”Ahss..!” Pelan lidah Pak Camat mulai menyapu bagian bibir luar kemaluan selingkuhannya diiringi erangan nikmat dari mulut Ayu.

Sambil tetap tangannya menyangga pinggul perempuan itu..
ibu jari Pak Camat mencoba membuka lebih lebar liang kemaluan Ayu yang sudah merekah indah.
Kemudian mulai menjulurkan lidah menelusup masuk ke bagian dalamnya yang sempit.

Perlahan Pak Camat menjelajahi bagian demi bagian pada lubang kemaluan Ayu.
Dari mulai lubang pantatnya.. kemudian naik terus melalui lorong surga milik kekasihnya ini.

Hingga terdengarlah rintihan lirih keluar dari mulut manis Ayu.. ”Ouff.. shh.. yah.. terus, Mas.. yah begitu.. itilku dong dijilat..! Ouww..!”
Sesuai permintaan.. Pak Camat segera memainkan klitoris Ayu yang mencuat ke depan seolah mengharapkan sebuah sentuhan.

Dari hanya menjilat dan menyentil..
mulutnya mulai mengisap biji mungil itu hingga perlahan rintihan Ayu berubah menjadi jeritan kecil penuh kenikmatan.
”Iya.. begitu Mas.. aduh.. ouhh.. enak.. Mas Joko pinter banget sih.. tau aja yang Ayu suka.. Jangan berhenti.. terus emut itilku, Mas..!”

Pak Camat terus menjilati belahan lubang kemaluan yang sedikit terkuak itu dengan irama yang teratur..
menelusuri lembah dan celah-celah di seantero lubang kemaluan Ayu.

Aroma harum vagina yang khas semakin tajam menusuk hidungnya..
semakin membuatnya mabuk kepayang dan bergairah.

Terlihat dinding luar kemaluan Ayu yang semakin basah dan lengket.. terasa gurih di lidah Pak Camat.
Juga biji klitorisnya terlihat semakin membesar dan tambah memerah.. seolah mau meledak menahan gejolak nafsu birahi si empunya.

10 menit sudah berlalu dan tangan Pak Camat sudah terasa pegal menyangga bobot tubuh Ayu.
Namun dengan penuh semangat ia terus mempercepat irama isapannya..
hingga terdengar erangan dan rintihan Ayu yang semakin panjang.

Nafas wanita itu juga terlihat memburu kencang.. tubuhnya kelojotan..
sementara gerakan pinggulnya menjadi semakin liar.. seolah mengejar kenikmatan yang sebentar lagi datang menyerang.

”Ouw.. nikmatnya.. terus, Mas..! Ooh.. sedikit lagi.. ssh.. ouh.. aduh, enak banget..!” Desah Ayu semakin keras.
Dan beberapa detik kemudian, seerr.. seerr.. seerr..!! Menyemburlah cairan bening yang sudah ditunggu-tunggu oleh Pak Camat.

Dengan penuh nafsu Pak Camat segera mengisap dan menghirupnya dalam-dalam..
Terasa hangat dan gurih sekali saat mengalir memenuhi rongga mulutnya.
Pak Camat langsung menelan semuanya.. tidak membiarkan setetes pun luput dari isapannya.

Terlihat bibir kemaluan Ayu jadi tambah memerah.
Benda itu sepertinya juga berdenyut-denyut kencang.. menandakan detik-detik di mana Ayu sedang mengalami masa orgasmenya.

Satu menit berlalu..
namun Pak Camat terus giat menjilati sisa-sisa cairan Ayu yang masih menetes mengalir keluar menyusuri belahan liang vaginanya.

”Ouhh.. Mas.. aduh.. bener-bener deh.. aku puas banget! Ouh...!” Puji Ayu di akhir puncak kenikmatannya.
Sambil merapikan pakaiannya yang sudah acak-acakkan.. dia kemudian bertanya.. ”Mas, apa kamu nggak jijik..? Itu kan kotor..”

”Eh, siapa bilang..? Kamu aja suka nelen pejuhku. Ya sekali-kali kita gantian lah..” sahut Pak Camat sambil tertawa.
”Ok, berarti sekarang giliranku ya..?” Tanya Ayu polos.

Sebelum Pak Camat sempat menjawab.. ia sudah mengarahkan tangan ke selangkangan Pak Camat..
Lalu dengan terampil membuka ritsletingnya.

Tanpa kesulitan Ayu mengeluarkan batang kemaluan laki-laki itu dan menaruhnya dalam genggaman.
Sedetik kemudian,ia sudah dalam posisi siap menerkam.

Lalu.. Slruupp.. dengan lembutnya Ayu melahap batang Pak Camat ke dalam mulutnya.

”Ouh.. ssh..” sekarang gantian Pak Camat yang merintih pelan..
betapa ia merasakan kehangatan dan kelembutan mulut kekasihnya ini pada batang penisnya.

Ayu menjilatinya perlahan dari pucuk kepala terus menelusur ke bawah..
sampai mendekati kedua bola pada pangkal kemaluan Pak Camat.

Setelah menyapu perlahan, mulutnya dengan terampil mulai mengenyoti buah zakar itu dengan lembut..
bergantian kiri dan kanan.. sementara tangannya tetap mengurut dan meremas-remas batangnya yang terasa semakin menegang.

”Ya Sayang.. terus.. ehh.. aduh.. enak..!” Tanpa sadar keluar rintihan nikmat dari mulut Pak Camat.
”Ehhmm.. mmhh..” sayup-sayup terdengar juga bunyi mulut Ayu yang semakin ganas mengenyot batang kemaluan Pak Camat.

”Ouhh.. aauh.. aku pingin lagi, Mas..” pintanya sambil memposisikan tubuh naik ke pangkuan Pak Camat..
Ia mengarahkan batang kemaluan yang masih berada dalam genggamannya itu ke liang vaginanya.

”Ahh.. nanti dulu..!” Pak Camat berusaha untuk menahan.. ingin isapan itu berlangsung lebih lama lagi.
Namun bukannya menjawab..
Ayu malah terus membimbing batang rudal Pak Camat dan menancapkannya di belahan lubang vaginanya yang sudah merekah lebar.

Dengan posisi jongkok ia mulai menggerakkan tubuh sintalnya naik-turun di atas perut Pak Camat.

”Aduh.. kok enak sih, Sayang..! Belajar di mana..?” Rintih Pak Camat saat merasakan denyutan lembut dengan irama teratur di liang kemaluan Ayu yang seperti meremas dan menggigit-gigit sekujur batang kemaluannya.

Ayu hanya tersenyum sambil terus menggerakkan pinggulnya naik-turun..
Otomatis rudal Pak Camat juga terus keluar-masuk dalam dekapan bibir liang kemaluannya.

Pak Camat sendiri membantu dengan menggerakkan pinggulnya seirama tubuh sang kekasih.
Sementara di pusat kenikmatan mereka terdengar kecipak-kecipak cairan yang keluar dari kemaluan Ayu..
mengguyur dan membasahi batang rudal Pak Camat yang tidak begitu panjang.

Masih dengan posisi seperti itu.. sepuluh menit pun berlalu.
Terlihat Ayu sudah kelelahan.. keringat tipis melumasi seluruh tubuhnya yang sintal..
sebelum ambruk menindih tubuh Pak Camat tak lama kemudian.

Pak Camat segera mengambil inisiatif dengan menggerakkan tubuhnya..
tapi sekarang dengan dibantu kedua tangannya yang memegangi bulatan payudara Ayu dan meremas-remasnya pelan.

”Terus, Mas.. ssh.. terus..” desahan dari mulut Ayu kembali terdengar mengiringi kelakuan bejat mereka di pagi yang sejuk itu.
Pak Camat segera mempercepat gerakannya.

Terasa olehnya lelehan lendir yang keluar dari liang kemaluan Ayu menerobos melewati celah sempit di antara bibir dan batang penisnya.
”Ehh.. punyamu bener-bener deh, Sayang.. seperti meremas punyaku.. aduh..!” Pak Camat merintih keenakan.

Merasa sebentar lagi akan mencapai ujung pendakiannya.. iapun semakin mempercepat genjotannya.
”Ohh.. Sayang.. aku keluar.. arghhh..!”

Tak sampai satu menit kemudian batang kemaluan Pak Camat meledak.. mengeluarkan semua isinya.
Benda itu berdenyut-denyut keras di dalam liang vagina Ayu.. memenuhinya dengan cairan sperma yang begitu hangat dan kental.

Pak Camat membiarkan batang penisnya tetap terbenam dalam dekapan lubang kemaluan Ayu yang hangat dan nyaman..
sampai akhirnya menyusut dan terlepas dengan sendirinya.

Ayu segera bangkit sambil tangannya menangkup ke bawah selangkangan.. berusaha menutupi daerah kewanitaannya.
”Takut nanti pejuh Mas jatuh ke karpet..” begitu alasannya.
Kemudian ia berjongkok di samping Pak Camat sampai semua cairan yang menetes tertampung di telapak tangannya.

”Ngapain sih..?” Tanya Pak Camat heran.
Bukannya menjawab.. Ayu malah tersenyum penuh arti.

Kemudian tanpa disangka.. ia mengarahkan sperma itu ke mulutnya..
Slrupp.. dihirup sedemikian rupa sebelum ditelan semua tak lama kemudian.

Bukan itu saja.. Ayu juga menjilati telapak dan jari-jarinya hingga tak ada setetes pun cairan sperma Pak Camat yang tersisa.
Dan seolah belum puas.. ia menyambar batang penis Pak Camat yang sudah mengkerut lemas dan lekas menjilatinya hingga bersih.

Pak Camat hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah selingkuhannya itu. ”Dasar kamu..! Doyan banget sama pejuh..” ia tertawa.
”Tapi ini kan yang Mas suka..?” Tanya Ayu.

Pak Camat mengangguk. ”Bener-bener deh.. tidak ada wanita yang sebinal dirimu..!”
”Biarin..!” Ayu balas tertawa

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 07:30 pagi. Waktunya Pak Camat untuk berangkat ke kantor.
Lekas ia lepaskan tubuh perempuan cantik itu.. kemudian mereka pun berbenah merapikan baju masing-masing.
----------------

Murti sudah sampai di gerbang perumahan residence.
Ia masih harus berhadapan dengan dua orang Satpam yang menanyainya macam-macam. Ia bahkan sempat tidak diijinkan masuk.
Tapi begitu ia memberi uang tips dan meninggalkan identitas.. barulah para Satpam itu membuka portal dan memberinya jalan.

Sesaat ia dibuat terkagum-kagum oleh bangunan rumah yang serba mewah berjajar sepanjang jalan masuk.
Tapi ia datang bukan untuk mengagumi rumah-rumah itu. Ia terus mencari rumah yang disebutkan oleh Dewi.

Murti sudah sampai di blok A.
Rumah-rumah di blok ini tidak sebesar dan semewah yang tadi.. tapi tetap saja bisa dibilang mewah.

Nah.. itu dia. Murti ragu sejenak dan sempat berniat mengurungkan niat untuk bertamu.
Ia tidak kenal siapa pemilik rumah yang kini ada di hadapannya. Ia takut salah alamat yang bisa berakibat tidak baik.
Bisa-bisa ia dilaporkan ke polisi karena dicurigai sebagai orang yang bermaksud jahat.

Ah.. tidak mungkin. Toh ia memakai seragam kerja khas pegawai negeri.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Murti melihat pintu pagar yang tinggi itu terbuka.

Tapi ia langsung terkaget-kaget karena orang yang muncul dari balik pagar benar-benar di luar dugaan.
Murti serasa mati berdiri dengan wajah pucat pasi.

“Mas Joko..!?” Panggilnya pelan tanpa sadar.
“Murti..!?” Seru Pak Camat.. juga sama-sama kaget.

Murti merasakan dunia berputar. Tanah yang dipijaknya seperti pusaran yang menariknya ke bawah..
semakin ke bawah sampai ia tidak melihat apa-apa lagi selain hitam dan kelam.

Ia hanya sempat menampar suaminya dan memandang geram seorang wanita yang bersama suaminya sebelum pingsan.
Pak Camat yang lebih kaget langsung membawa Murti pulang.
------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd