Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Kompilasi] Rumput Tetangga 'Nampak' Selalu Lebih Hijau.. (CoPasEdit dari Tetangga)

----------------------------------------------

Cerita 85 – Kenangan Hitam Masa Lalu

Chapter 5

Hari
telah berganti. Malam yang hening berlalu diusir oleh sang pagi yang hangat.
Murti seperti biasa bangun lebih awal untuk menyiapkan kebutuhan suaminya.

Pak Camat juga sudah bangun.. tapi seperti biasa langsung menyeruput kopi hangat sebelum mandi.
Murti masih repot di dapur guna memasak sarapan pagi.

Pak Camat memandangi istrinya yang semakin hari bukannya bertambah tua.. malah semakin muda dan berisi.
Tidak terlihat tanda-tanda ketuaan pada istrinya. Semua masih halus mulus dan kencang. Sedangkan Pak Camat merasa mulai tua.

Memang.. antara Pak Camat dan Murti terpaut perbedaan umur yang cukup jauh.
Ketika menyunting Murti.. Pak Camat sudah berumur tigapuluh lima tahun.. sedangkan Murti baru lulus kuliah.

Sepuluh tahun selisih umur mereka. Memasuki usia perkawinan yang sudah tujuh tahun berjalan..
Pak Camat kerap merasa kewalahan dengan semangat dan gairah Murti yang masih menggebu-gebu.

“Mur, cobalah belajar mengemudi. Biar ke mana-mana nggak melulu diantar Gatot..” kata Pak Camat.
“Gak mau ah, Mas.. bisa bahaya..” sahut Murti.

“Bahaya apanya..? Lha wong cuma duduk di belakang setir kok..” jelas Pak Camat.
“Memangnya Mas Joko mau istri cantikmu ini keluyuran ke mana-mana kalau bisa naik mobil sendiri..?” Tanya Murti.

“Kalau keluyuran untuk tujuan yang jelas, buat apa takut..?
Sejauh ini dan sampai kapanpun aku percaya sama kamu, Mur..” kata Pak Camat.
“Aku juga percaya sama Mas Joko..” sahut Murti.

Pak Camat membantu Murti memasang baju muslimah kebesarannya.
Setelah itu ganti Murti yang membantu Pak Camat memasangkan celana.

Mereka sempat saling mencolek kemaluan sebentar.. tapi tidak diteruskan ke tahap yang lebih jauh lagi.
Mereka harus sama-sama kerja.

Di luar terdengar deru mesin mobil yang dipanasi oleh Gatot.
Murti mempercepat riasan wajahnya karena sudah hampir jam tujuh.. jangan sampai ia terlambat ke Madrasah.

Pak Camat juga terburu-buru.. karena ini adalah hari Senin.. hari pertama yang biasanya banyak kegiatan menumpuk.
Mereka kemudian keluar beriringan menghampiri Gatot yang sudah siaga di teras.

“Kalau ada waktu luang, ajari Murti nyopir, Tot..” seru Pak Camat.
“Baik, Pak. Kapan saja saya siap..” jawab Gatot.

“Oh ya, Tot, nanti siang kamu nggak usah nunggu saya..” kata Pak Camat begitu mobil sudah melaju.
“Iya, Pak..” Gatot mengangguk.. matanya terus konsentrasi ke jalan.

“Memangnya mau ke mana, Mas..? Tumben nggak minta diantar..?” Cetus Murti dengan nada curiga.
“Urusan kantor..” sahut Pak Camat.

Murti diam.. tidak bertanya lagi.. tapi terlihat sorot ketidak-percayaan di sudut matanya yang bening.

”Sudah sampai tuh..” Pak Camat mencium kening Murti sebelum istrinya yang cantik itu turun.
Murti melirik Gatot dan melempar sedikit senyum sebelum melangkah masuk ke gerbang Madrasah.

Tinggal Pak Camat dan Gatot yang ada di dalam mobil.
Pak Camat menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya.. lalu bicara pelan pada Gatot.
“Murti mulai mencurigaiku, Tot..”

Gatot cuma tersenyum kecut sambil mendengarkan Pak Camat melanjutkan keluhannya.
“Rupanya Murti mulai termakan gosip-gosip itu..”

“Itu wajar, Pak Camat. Kita hidup ini kan cuma punya dua pilihan.. memakan gosip atau dimakan..”
jawab Gatot tanpa bermaksud menggurui.

“Bisa saja kamu. Yang penting kamu jangan bilang apapun ke Murti ya..” kata Pak Camat.
“Saya janji menyimpan rahasia itu, Pak..” sahut Gatot.

Ada kesepakatan rahasia antara Pak Camat dan Gatot. Mereka meneruskan ke kantor kecamatan.
Seperti biasa.. begitu Pak Camat masuk ke dalam kantor maka Gatot langsung meluruskan jok mobil dan tiduran sambil membaca koran.

Saat itulah Gatot kaget.. karena di halaman depan ia melihat foto ayahnya terpampang besar dengan judul ’AKHIR SANG JAGAL’.
Kalimat demi kalimat dibacanya sampai tamat.. kemudian ia lemparkan koran itu ke belakang. Wajahnya mengeras.

Gatot terpukul dengan adanya berita di koran yang mengabarkan kalau ayahnya telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan tinggi setelah upaya bandingnya ditolak.
Menurut berita, ayahnya menolak meminta grasi ke presiden.

Masih kata berita, ayahnya cuma mengajukan permintaan terakhir.. yakni bertemu sang anak bernama Gatot.. dirinya sendiri.
Ayahnya tak akan dieksekusi sebelum permintaan terakhir terpenuhi.
Jadi sampai sekarang Cak Karso masih ada di penjara paling top.. Nusakambangan.

Gatot menghantam jok mobil pelan. Ia sudah bersumpah untuk tidak mau lagi ketemu ayahnya.
Ia tidak bisa memaafkan sang ayah yang tega menghancurkan keluarga.

Ia sakit hati pada ayahnya yang telah menjual ibunda tersayang.
Ibunda yang mati mengenaskan di depan mata kepalanya sendiri. Biar saja ayahnya dihukum mati.

Sebenarnya Gatot sudah berkali-kali diminta oleh polisi agar mau datang ke Nusakambangan.
Tapi Gatot tak mau.. karena di Nusakambangan banyak kawan-kawannya yang dibui.

Ia tidak mau ketemu kawan-kawan begundalnya agar bayang-bayang masa suram itu tidak muncul.
Biarlah yang terhukum menjalani hukumannya.

“Mas Gatot nganggur..?” Gatot terkaget-kaget oleh suara halus yang menegurnya.
“M-mbak Dewi butuh bantuan saya..?” Tanyanya tergagap.

“Iya. Pak Camat yang nyuruh..” jawab gadis cantik yang bersinar bagai bidadari tersebut.
“Ke mana, Mbak..?” Tanya Gatot.. berusaha mengalihkan perhatian matanya.

“Ke Cemorosewu. Saya masuk ya..?” Tanya Dewi.
Gatot menghidupkan mesin sambil menunggu Dewi duduk dengan nyaman. Lalu berangkat.

Dewi.. gadis cantik berparas menarik.. sesekali berusaha memancing selera bicara Gatot.
Tapi Gatot memang sedang tidak mood untuk bicara.

Gatot cuma mengemudikan mobil dan mengawasi jalan raya menuju Cemorosewu.
Dewi pun tak lagi bicara.. meski dalam hati kecewa karena Gatot seperti batu arca yang ada di pintu masuk desa Cemorosewu.

Sampai suatu ketika Gatot akhirnya buka suara untuk pertamakalinya. “Jalan aspalnya cuma sampe sini, Mbak..?”
“Iya. Dari sini sampai Cemorosewu jalannya masih tanah..” sahut Dewi.

“Tidak ada jalan lain..?” Tanya Gatot.
“Tidak ada. Kenapa, takut mogok..?” Tantang Dewi

“Iya, Mbak. Saya juga takut dimarahi Pak Camat kalau sampai rusak. Ini kan mobil dinas..” jelas Gatot.
“Ya ampun, Gatot. Ini mobil pemerintah. Kalo rusak ya urusan pemerintah.
Kamu cuma perlu bilang ke Pak Camat, tidak bakal dipotong gajimu..” terang Dewi.

“Mbak Dewi bisa saja. Ada perlu apa ke Cemorosewu..?” Tanya Gatot sambil tersenyum.
“Mengantar tumpukan berkas ini..” Dewi menunjuk setumpuk kertas yang ada di pangkuannya.

Gatot cuma melirik sekilas.. karena tidak mau tergoda maksiat. Kalau dia memandang lama-lama tumpukan itu..
sama saja dengan memandang lama-lama bonggol paha Dewi yang putih mulus..
karena gadis itu cuma mengenakan span tipis yang pendek sekali.

Cemorosewu masih tiga kilo lagi. Semakin mendekati tujuan.. jalan semakin tidak karuan..
membuat penumpang dalam mobil juga bergerak ke sana-sini mengikuti goyangan mobil.

Kali ini bongkahan payudara Dewi yang menarik perhatian Gatot. Benda itu terus bergerak-gerak memamerkan kesintalannya.
Konsentrasi Gatot jadi terbelah.. antara melihat jalan yang berlubang atau melirik susu Dewi yang bulat besar.

“Tau jalannya begini.. aku nggak bakal mau disuruh Pak Camat..” keluh Dewi.. sama sekali tidak menyadari keadaan tubuhnya.
“Iya, Mbak. Entah jalannya yang memang rusak atau pejabatnya yang korup..” sahut Gatot.

Terbayang payudara putih mulus milik Murti yang coba ia bandingkan dengan punya Dewi..
yang dua-duanya langsung membuat penisnya kaku dan mengeras seketika.

Dewi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Gatot.
“Semua pejabat di negeri kita ini sudah rusak, Tot..” kata Dewi sambil berusaha menyeimbangkan tubuhnya.. tapi gagal.

Dia terlempar ketika mobil menghindari lubang besar.. dan tepat mendarat di dada Gatot.
Payudaranya yang besar mendesak Gatot begitu rupa.. hingga membuat penis Gatot makin menegang tak karuan.

“Maaf ya, Tot..” bisik Dewi begitu menyadari, dia lekas menarik tubuh sintalnya menjauh.
“Nggak apa, Mbak. Saya juga minta maaf..” suara Gator bergetar.

Permintaan maaf yang tak lebih dari sekedar basa-basi.. pemanis suasana hati yang penuh warna warni.
Bukan hatinya Gatot.. tapi hatinya Dewi.

Warna hati itu mungkin sama dengan warna paras ayu yang sekarang berubah menjadi merah delima.
Dan Gatot tentu tidak menyia-nyiakan manisnya delima yang duduk di sampingnya ini.

Ia melirik Dewi dengan senyum penuh arti.. tapi tetap berusaha menjaga wibawanya sebagai seorang laki-laki.

“Bolehkah aku main ke rumahmu, Tot..?” Tanya Dewi kemudian saat sudah bisa menguasai suasana hatinya.
“Boleh saja, Mbak. Tapi setiap hari.. dari pagi sampai ketemu pagi, saya selalu di rumah Pak Camat..” sahut Gatot.

“Masa’ sih kamu kerja nggak ada liburnya..?” Tanya Dewi.
“Libur ada, Mbak, tapi saya selalu lembur. Maklum.. banyak tanggungan..” kata Gatot.
“Semua punya tanggungan, Tot. Saya juga punya banyak tanggungan. Utang di bank menumpuk..” sahut Dewi.

Cemorosewu sudah di depan mata. Dewi memberi petunjuk kepada Gatot agar langsung menuju ke balai desa.
Dewi menemui kepala desa.. sedangkan Gatot seperti merasa tidak asing dengan wajah kepala desa itu.
Ia teringat sesuatu yang membuatnya berdiri dengan tegang.

Ia teringat salahsatu wajah orang orang yang berjudi besar-besaran dengan ayahnya puluhan tahun silam.
Ia juga ingat wajah salahsatu begundal yang memperkosa ibundanya.. dan ia yakin wajah Pak Kepala Desa sama dengan wajah itu.

Ia perlahan mendekat.. semakin dekat dan akhirnya bisa melihat ciri yang memperkuat keyakinannya.
Tato macan Pak Kepala Desa sama dengan tato macan milik ayahnya.

Perlahan Gatot meraba sesuatu di balik jaketnya.. dan ketika ia hendak mencabut benda itu..
seketika itu pula Dewi menepuk pundaknya.

“Sudah selesai, Tot. Kita kembali ke kecamatan..” kata gadis cantik itu.
“Oh ya.. Mbak Dewi jalan saja dulu..” sahut Gatot.

Maka Dewi pun berlalu.. sedangkan Gatot memandang tajam pada Pak Kepala Desa..
membuat laki-laki tua itu merasa grogi dan tak nyaman.

Tapi Gatot tidak ingin membuat masalah. Ia cuma menunjukkan celurit kecil yang dulu membunuh ibunya pada kepala desa..
membuat kepala desa berdiri gemetaran dan memandang takut pada Gatot.

“Di mana dua temanmu yang memperkosa ibuku..?” Bisik Gatot dengan suara bergetar menahan amarah.
Ia tidak melepaskan jabat tangannya.. sehingga Pak Kepala Desa tidak bisa lari ke mana-mana.

“Saya tidak paham maksudmu..” kata Pak Kepala Desa semakin ketakutan.
Gatot melepaskan tangannya dan mengembalikan celurit kecilnya ke balik jaket.

“Aku telah menemukan pemerkosa dan pembunuh ibuku..” katanya sebelum meninggalkan balai desa..
meninggalkan Pak Kepala Desa yang pucat pasi.. setelah sadar siapa pria yang baru berhadapan dengannya.

Pria dengan sorot mata penuh amarah dan dendam.. pria dengan nafsu membunuh yang besar.
Pak Kepala Desa langsung terduduk lesu di kursi kerjanya.

Gatot sudah kembali bersama Dewi.. dan mulai meninggalkan desa Cemorosewu disertai hujan yang turun dengan lebat..
membuat jalanan tanah jadi semakin becek, memperlambat laju mobil.

“Sabar ya, Mbak. Jalannya hancur..” kata Gatot.
“Tidak apa. Aku sudah telepon Pak Camat dan bilang kalau mobilnya mogok..” jawab Dewi.
“Terimakasih, Mbak..” Gatot tersenyum.

“Kamu kenal dengan kepala desa itu..?” Dewi bertanya.
“Tidak, Mbak. Kebetulan saja tadi ngobrol lama. Maaf kalo membuat Mbak Dewi menunggu..” Gatot berbohong.

Butuh perjuangan keras untuk menaklukkan jalan yang lebih cocok buat arena off road itu.
Kaca belakang dan samping mobil sudah dipenuhi oleh tanah liat.. sehingga menyulitkan pandangan.

Terlanjur basah.. mandi saja sekalian; itulah pemikiran Gatot. Maka iapun segera meminta pada Dewi untuk mengencangkan sabuk pengaman.. setelah itu pedal gas diinjaknya kuat-kuat sampai mobil melesat menembus derasnya hujan.

Dewi sampai harus berpegangan pada apa saja agar tidak terlempar ke sana-kemari.
Beberapakali tubuhnya berbenturan dengan bahu Gatot.. dan berkali-kali pula payudara besarnya mendarat di lengan laki-laki itu.

Terasa sangat empuk dan kenyal bagi Gatot hingga membuat penisnya kembali kaku dan menegak di bawah sana.

Dewi bukannya tidak mengetahui.. namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Ia hanya bisa pasrah pada ’penderitaan’ yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak itu.

Tapi yang aneh.. Dewi seperti menikmatinya.
Ia dengan ikhlas terus memberikan dadanya pada Gatot.. sampai akhirnya mereka tiba juga di jalan desa yang beraspal.

Gatot segera mengurangi kecepatan dan memandang penuh arti pada Dewi yang terduduk lemas di sebelahnya.
“Berhenti dulu, Tot. Kita makan di warung itu..” Dewi menunjuk warung makan yang ada di sebelah kiri jalan.

Wajahnya nampak memerah padam.. sementara nafasnya masih sedikit tersengal.
“Baik, Mbak. Kebetulan saya lapar..” kata Gatot. Ia tidak pernah mengetahui kalau memek Dewi sudah sangat basah saat itu.

Gatot segera memarkir mobil di depan warung. Sudah jam satu siang.
Gatot teringat pada Murti. Siapa yang menjemput Murti hari ini.. sedangkan ia masih berada lumayan jauh dari kecamatan.

Iapun meminjam handphone pada Dewi untuk menelpon Murti dan bilang tidak bisa menjemput.
Gatot menarik napas lega karena Murti sudah ada di rumah. Ia mengembalikan handphone pada Dewi.

“Terimakasih, Mbak..” katanya.
“Mau makan apa..?” Tanya Dewi.
“Sama dengan Mbak Dewi saja..” kata Gatot.

Merekapun makan dengan lahap.
Dewi memperhatikan Gatot tak putus-putus.. sementara Gatot tidak peduli pada apapun selain pada makanan yang ada di hadapannya.
Selesai makan barulah ia sadar kalau diperhatikan. Mereka saling tersenyum.

Dewi sudah akan membuka obrolan.. tapi sayang seribu kali sayang mereka harus cepat sampai di kantor kecamatan.
Dengan diiringi pandangan seisi warung yang mengagumi kesintalan tubuh Dewi..
merekapun lekas kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

Setelah mengantar Dewi ke kantor.. Gatot dipanggil Pak Camat ke ruangannya.
Pikiran Gatot mulai macam-macam karena tidak biasanya Pak Camat memanggilnya.

Setelah berada di depan Pak Camat.. ia tambah bingung karena Pak Camat tampak sangat gembira..
tidak marah seperti yang ia bayangkan sebelumnya.

“Pak Camat memanggil saya..?” Tanya Gatot.
“Benar, Tot. Ada dua kabar gembira yang ingin saya sampaikan ke kamu..” sahut Pak Camat.

“Kabar apa itu, Pak..?” Tanya Gatot penasaran.
“Yang pertama, Murti telah resmi jadi PNS. Tadi pagi SK pengangkatannya turun..” jawab Pak Camat.

“Syukurlah. Saya ikut senang, Pak..” sahut Gatot.
“Kamu tidak ingin tau yang kedua..?” Tanya Pak Camat.

“Kalau Pak Camat tidak keberatan memberitahu saya..” kata Gatot.
“Ini tentangmu, Tot. Mulai hari ini, kamu adalah calon PNS..” kata Pak Camat.

“Maksud Pak Camat..?” Tanya Gatot meski sudah bisa sedikit menebak.
“Kamu jadi pegawai honorer kecamatan. Tapi itu hanya sementara. Nanti kamu akan jadi PNS..” kata Pak Camat.

“Alhamdulillah. Saya tidak pernah bermimpi sampai ke sana, Pak..” ucap Gatot penuh rasa syukur.
“Aku yang membantumu, Tot. Anggap saja sebagai imbalan karena kamu juga banyak membantuku..” kata Pak Camat.
“Terimakasih, Pak Camat. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan..” Gatot tersenyum gembira.

“Sekarang pulanglah. Bilang ke Murti kalau aku ada kunjungan kerja sampai malam..”
sahut Pak Camat kemudian, menutup pembicaraan itu.

Gatot bergegas meninggalkan kantor kecamatan.. sekaligus meninggalkan Pak Camat.
Ia sangat paham kunjungan kerja macam apa yang akan dilakukan oleh Pak Camat..
Ke mana Pak Camat melakukan kunjungan.. menemui siapa.. semuanya ia pahami betul sebagai sesama lelaki.

Ia hanya merasa kasihan pada teman semasa kecilnya yang bernama Murti.
Itulah alasan ia selalu ingin berada di dekat Murti untuk sekedar menghiburnya.. baik dengan kata-kata maupun dengan tubuhnya.
Kalau Pak Camat bisa selingkuh.. kenapa Murti tidak. Dan Gatot dengan senang hati menemani teman masa kecilnya itu.

Begitu menginjak teras rumah Pak Camat, ia sudah disambut senyuman manis oleh Murti.
“Mana Pak Camat, Tot..?” Tanya perempuan cantik itu.
“Pak Camat ada kunjungan kerja sampai malam..” jawab Gatot.

Seketika senyum Murti memudar.. berganti dengan wajah kecewa.
“Masuklah, Tot..!” Ia menarik lengan Gatot ke dalam rumah.

Setelah pintu tertutup.. Gatot dibuat kalang kabut karena Murti tiba-tiba memeluknya sambil menangis sesenggukan.
Gatot tak tau harus berbuat apa.. selain membawa Murti ke ruang tengah.
Di sana Gatot melihat betapa segala sesuatunya sudah dipersiapkan; makan malam bagi Pak Camat.

Gatot menghela napas memahami kekecewaan dan kesedihan yang dirasakan oleh Murti.
Ia tanpa sadar telah membalas pelukan Murti secara lebih erat.. membuat tubuh Murti yang molek berada lekat di dalam dekapannya.

“Aku siapkan semua ini buat suamiku, Tot..” lirih suara Murti diiringi isakan kecil.
“Itulah resiko menjadi istri pejabat, Mur. Sabar saja ya..”

Gatot tak kuasa menahan keinginannya untuk sekedar mengelus kepala Murti yang masih tertutup jilbab.
Ia juga ingin menjamah bagian lain dari tubuh perempuan cantik itu.. tapi belum. Sekarang bukan saat yang tepat.

Murti menyeka airmata dengan ujung lengan.
Gatot menyumpahi dalam hati betapa Pak Camat telah begitu tega menyia-nyiakan seorang istri yang cantik bagai bidadari ini.

Yang kesintalan tubuhnya sanggup membuat Zaskia Adya Mecca menjadi iri. Siapa yang tahan melihat pesona Murti.
Seluruh kompleks juga sudah mengakui sang bunga desa.

Apalagi jika sudah bermuram durja seperti sekarang ini.. yang sering lupa diri bahwa ia adalah wanita bersuami.
Sungguh kurang ajar suami yang tega membiarkan istrinya menderita dalam sedih.

“Kuucapkan selamat, Mur. Kamu telah jadi PNS..” kata Gatot..
tubuhnya sedikit bergidik merasakan tonjolan payudara Murti yang mendesak di depan perutnya.

“Aku ingin dengar ucapan itu pertamakali dari suamiku, Tot..” sahut Murti.. tanpa merasa bersalah.. ia makin mempererat pelukannya.

“Pak Camat sangat sibuk..” suara Gatot mendadak menjadi parau..
karena batang besar yang ada di balik celananya perlahan mulai bangkit dan mengeras.

”Oh ya, maaf aku tadi tidak menjemputmu..” tambahnya.
“Tidak apa. Aku diantar Aisyah. Sekarang makan saja bareng aku, ya..?” Tawar Murti dengan senyum menawan.

“Semakin sering bersamamu, aku semakin merasa tak bisa mengontrol diri, Mur..” kata Gatot terus terang.
”Tidak masalah, toh Pak Camat juga semakin jarang pulang. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang akan menemaniku..?” Jawab Murti.

Ia memang nekad.. bila berada di dalam rumah bersama Gatot.
Sejak mereka ’melakukannya’.. Murti tidak malu lagi bila duduk berdua dengan Gatot.

Ia tidak risih menampakkan hal-hal yang seharusnya disembunyikan sebagai wanita bersuami.
Kenapa tidak..? Toh mereka sudah sering telanjang berdua akhir-akhir ini.
Sungguh beruntung si Gatot.. bisa melihat bentuk tubuh Murti yang bohay secara utuh.

Ia melirik tajam pada sepasang paha Murti yang sengaja diongkang-ongkangkan..
yang membuat baju panjangnya jadi tersingkap hingga ke pinggang.. menampakkan kulit pahanya yang halus mulus serta kencang.
Juga dada montok milik Murti yang terus digoyang-goyangkan selama perempuan cantik itu menyiapkan makan malam bagi Gatot.

“Sudah berapa tahun kamu menduda, Tot..?” Tanya Murti dengan desah menggoda.
“Aku tidak pernah menghitungnya, Mur..”

Gatot tak berkedip menatap teman masa kecilnya itu.. yang kini sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang mulus sempurna.

“Rasanya aku juga ingin menjanda saja, Tot. Biar bebas..” kata Murti.
“Menjanda justru tidak baik, Mur. Omongan orang selalu usil..” sahut Gatot.

“Peduli setan sama omongan orang. Selama ini aku sudah kebal berbagai gosip..
termasuk gosip tentang suamiku yang punya istri muda..” sergah Murti.

“Yakinlah, Pak Camat tidak seperti itu. Aku selalu bersama suamimu dan aku tau dia suami yang baik..” kilah Gatot.
Ia mengangguk meski dalam hati menggeleng.

Pak Camat memang bukan suami yang baik. Pak Camat juga bukan pria yang alim.
Pak Camat sama seperti dirinya. Hanya saja Pak Camat punya cara tersendiri untuk berbuat nakal.
Dia adalah orang yang tau seperti apa kenakalan Pak Camat. Dirinya jugalah satu-satunya orang yang tau kenakalan istri Pak Camat.

“Kamu bukan anak kecil lagi, Mur..” kata Gatot.
“Memang bukan. Tapi aku ingin mengulangi masa-masa kecil yang kita jalani bersama, Tot..” sahut Murti..
senyumnya makin kelihatan menggoda.

“Itu tak mungkin, Mur..” lirih Gatot, berusaha keras menekan gemuruh di dalam dadanya yang bidang.
“Siapa bilang tak mungkin..?” Murti mencubit perut Gatot kuat-kuat.

Awalnya Gatot masih bisa menahan..
tapi karena cubitan Murti terasa makin menggigit.. iapun tak punya pilihan selain balas mencubit perut Murti.

Berawal dari cubit mencubit, kemudian berkembang jadi saling kejar dan saling menjatuhkan.
“Jangan memancingku, Mur..!” Seru Gatot sambil menggeleng.

Sudah terlihat tonjolan besar di depan selangkangannya akibat gesekan tubuh montok Murti.
“Aku akan menangkapmu, Tot..” seperti tidak peduli.. Murti terus menggodanya.

Mereka berkejaran sampai ke dalam kamar. Di situlah Murti dan Gatot seperti anak kecil yang bodoh.
Saling raba sana-sini dan cium ini-itu.

Murti sendiri yang melepas baju panjang dan dalamannya.. lalu merenggut paksa tubuh Gatot dalam kekuasaannya.
Ia menuntun Gatot untuk melakukan sesuatu yang tak seharusnya mereka lakukan. Itulah momen kejatuhan Gatot.

Kesempurnaan yang dimiliki Murti ditelannya bulat-bulat tanpa ada yang tersisa.

Desah dan rintih mengalir bersama cucuran keringat yang meminyaki tubuh telanjang mereka berdua..
melicinkan jalan bagi setan untuk menancapkan kuku maksiat ke hati keduanya.

Murti dan Gatot telah benar-benar terjatuh bersama ke dalam jurang perzinahan.
Tidak ada lagi yang menghalangi kemaksiatan mereka.. sekalipun itu suara adzan.

Ya.. saat itu Adzan Isya’ terdengar.. tapi telinga mereka telah terkunci oleh kenikmatan orgasme yang memuncak.
Dan mencapai klimaks ketika cairan keduanya tercecer di mana-mana.

Sebagian dari muntahan itu bersarang telak di rahim Murti.. sisanya yang tak tertampung.. tumpah ruah ke atas ranjang.
Murti dan Gatot menggelepar kelelahan.. baik fisik maupun batin.
Namun mereka tampak sama-sama puas.. bahkan keduanya seperti menginginkannya lagi.

“Aku memang ditakdirkan menjadi pendosa, Mur..” bisik Gatot sambil mengelus dan meremas-remas payudara putih mulus milik Murti.
“Kita tanggung dosa ini bersama, Tot..” balas Murti sambil memeluk Gatot dan mengocok pelan batang penis laki-laki itu.

Gatot balas memeluk Murti.. merengkuh istri Pak Camat itu erat-erat ke dalam dekapannya.
”Dosa yang sepertinya tidak akan pernah bisa aku tolak..” bisiknya mesra.
Murti mencoba untuk tersenyum. “Aku tak pernah sehebat ini bila bersama Pak Camat, Tot..” terangnya.

Murti masih punya gairah untuk sekedar memberi suguhan terakhir pada Gatot.
Tidak sedahsyat yang pertama..
tapi sudah cukup sebagai penutup segala kemaksiatan yang tercatat di tangan Tuhan sebagai perbuatan laknat.

Dan Gatot dengan senang hati menerimanya.. apalagi saat handphone Murti berbunyi.. tanda kalau ada pesan singkat yang masuk.
”Dari Mas Joko, Tot, dia pulang telat..” terang Murti begitu selesai membacanya.

Gatot langsung memeluk teman masa kecilnya yang cantik itu..
dan lekas melebarkan kedua kaki Murti hingga tampaklah belahan vaginanya yang basah sempurna.

”Berarti ada waktu bagi kita untuk mengulangi sekali lagi, Mur..”
bisik Gatot sambil menggesek-gesekkan kontolnya di permukaan vagina sempit Murti.

”Ahh.. iya, Tot..” rintih Murti saat Gatot mulai menekan ujungnya.
Perlahan senti demi senti benda itu mulai memasuki tubuhnya. Agak sedikit tersendat karena Murti merasa kegelian..

Namun perlahan tapi pasti penetrasi itu terus tejadi sampai akhirnya batang penis Gatot amblas seluruhnya..
masuk sepenuhnya memenuhi celah kewanitaan Murti.

”Ughh.. Mur..!” Gatot melenguh.. menikmati jepitan dan kehangatannya yang begitu menggigit.

Wajah Murti agak sedikit mengernyit.. apalagi saat Gatot mulai menggerakkan penisnya maju-mundur secara perlahan.
Setiap tusukannya terasa begitu tajam dan dalam.

Bunyi gesekannya terdengar begitu merdu.. dipadu dengan rintihan lirih yang keluar dari bibir manis Murti.
Maka sempurnalah ritual persetubuhan mereka malam itu.

Gatot menatap payudara Murti yang berguncang-guncang pelan akibat gerakannya. Ia segera memeganginya.
Sambil kembali memijit dan meremas-remasnya.. mata Gatot berpesta pora menikmati tubuh indah dan putih mulus milik Murti..
yang sekarang berada di dalam dekapannya.

Ia sungguh beruntung bisa mendapatkan wanita ini.
Perempuan teramat cantik dan seksi yang sudah disia-siakan oleh suaminya yang bodoh.

”Auw, Tot..!” Kepala Murti terlempar ke kiri dan ke kanan.. menerima tusukan dari Gatot yang semakin lama terasa semakin kuat.
Matanya tertutup.. tapi bibirnya yang merah merekah terlihat begitu indah.

Gatot segera mengecup dan melumatnya mesra. ”Mmh.. Mur..” panggilnya. Murti hanya mengangguk sambil membalas ciuman itu.
Mereka berpagutan sejenak.. sebelum Gatot mengalihkan mulutnya ke puncak payudara Murti yang membusung indah.

Laki-laki itu mencucup dan menjilati putingnya secara bergantian.. sementara pinggulnya terus bergerak cepat di bawah sana..
menusuk dan mengobrak-abrik memek sempit milik Murti.. hingga membuat benda itu jadi semakin basah dan lengket.

”Arghh.. Totthh..!” Pekik Murti saat Gatot makin menambah kecepatannya.

Kecipak becek dua organ kelamin yang saling bergesekan kian memenuhi ruangan kamar.
Tentu saja sambil diiringi melodi rintihan dari Murti dan Gatot.

Hawa malam yang dingin tak mampu lagi menahan panas tubuh mereka berdua.
Peluh keduanya sudah meleleh dan saling bercampur menjadi satu.

Gatot melipat kedua paha Murti ke atas.. hingga lututnya nyaris menyentuh bulatan payudaranya.
Dengan begitu.. tusukan kontol Gatot jadi makin dalam menghujam liang senggama milik perempuan cantik itu.

”Oouh.. Tot, nngh.. ahh..!!” Rintih Murti setengah memekik saat melepaskan cairan orgasmenya.

Tak peduli dengan semprotan deras dari liang sempit Murti.. Gatot terus menggerakkan penisnya.
Ia juga merasa sudah hampir sampai. Kedutan dan jepitan vagina Murti makin menambah daya rangsangnya.

Akibatnya.. tak lama kemudian biji pelirnya pun mengerut kaku.. Lalu .. dengan satu tusukan terakhir.. Jleghh..! Crott.. crott.. crott.. crott..
Gatot mengantar semburan demi semburan spermanya.. membanjiri alat kelamin Murti yang masih memuntahkan isinya.

Mereka terus menguras nafsu masing-masing hingga Gatot yang kelelahan duluan.. rebah di atas tubuh sensual milik Murti.
Ia mencoba mengatur nafasnya sambil menjilati puting Murti yang terlihat menonjol indah di depan hidungnya.

Murti merangkul dan mengelus-elus punggung Gatot yang bermandikan keringat penuh rasa sayang.
Ia membisikkan kata-kata mesra ke telinga laki-laki itu.. bagai seorang gadis muda kepada kekasihnya.

“Aku harus pulang, Mur..” kata Gatot saat merasakan penisnya mulai mengkerut dan mengecil pelan.
“Jangan, Tot.. aku masih pingin kamu temani..”

Murti menahan badan Gatot yang sudah akan beranjak meninggalkan tubuhnya.
“Maaf, Mur.. nanti bisa dipergoki sama suamimu..” Gatot mencabut penisnya.

”Lagian, aku ingin cari berita ke kantor polisi..” tambahnya sambil memperhatikan cairan putih pekat yang mengalir keluar dari celah liang vagina Murti yang merah merekah.. menciptakan danau kecil di atas sprei.

“Ya sudah. Kalau mau balik ke sini, pintu belakang nggak kukunci..” sahut Murti sambil merebahkan tubuh sintalnya ke atas ranjang.
Gatot menatapnya tanpa berkedip.

Sebelum pergi.. ia memeluk dan memagut mesra bibir teman masa kecilnya itu, bak sepasang kekasih yang bakal lama tak bertemu.
“Jangan, Mur. Pak Camat pasti pulang sebentar lagi..” Sehabis berkata.. ia pun pergi dengan sejuta rasa di dalam hati.

Jalan terang yang baru saja datang telah kembali berubah dengan begitu cepat menuntunnya menyusuri kegelapan.
Dosa telah kembali tercipta.. dan itu pasti membawanya ke jurang neraka.

Gatot cuma sebentar saja masuk ke rumahnya.. lalu keluar lagi dengan jaket hitam gelap.. celana hitam.. helm hitam..
dan tak lupa menyelipkan sesuatu di balik jaket.
Ia memanasi motornya sejenak lalu melesat menembus rinai gerimis hujan.

Malam benar-benar hitam pekat. Sesekali petir menyambar berkilat-kilat.
Gatot tidak pergi ke kantor polisi sebagaimana yang ia katakan kepada Murti.

Ia berbohong kepada gadis itu. Sebenarnya Gatot menuju ke desa Cemorosewu.
Ada tugas maha penting yang harus secepatnya ia rampungkan demi ketenangan hati.
----------------------------------------------
 
Maaf om @Pecah Utak ternyata ane ketinggalan lmyn byk ya..
Efek tampilan baru forum sempet bikin bingung ngeliat TS udh update apa blm ditambah RL lmyn padet..Sekali lagi maaf ya om..
 
Maaf om @Pecah Utak ternyata ane ketinggalan lmyn byk ya..
Efek tampilan baru forum sempet bikin bingung ngeliat TS udh update apa blm ditambah RL lmyn padet..Sekali lagi maaf ya om..

:pandapeace: Siaaappp.. selow aja brada.. RL tetap yang utama.. sama kog kayak Nubi.

Hehe.. Nubi juga awalnya lumayan 'kagok' dengan tampilan baru..
Tapi lama2 ternyata 'lebih nyaman' buat posting (kalo Nubi sih..) dibanding yang lama.
Tampilannya terasa jauh lebih fresh n 'lapang'.
 
-----------------------------------------------

Cerita 85 – Kenangan Hitam Masa Lalu

Chapter 6

Setelah
ngebut menembus hujan lebat selama dua jam.. Gatot sampai di jalanan tanah menuju desa Cemorosewu.
Ia berhenti dan turun dari motor.. menuntun motor itu menuju semak-semak..
menutupinya dengan tanah lempung dan daun-daun.. lalu meninggalkannya di sana.

Langit yang menghitam berwarna sama dengan bayangan tubuhnya yang serba hitam..
berkelebat cepat di sepanjang tepian desa Cemorosewu.. dalam sepi sunyi yang teramat senyap.

Dalam sekejap ia sudah berdiri di depan sebuah rumah.
Mata elangnya menatap nyalang mengamati rumah itu dari atas pohon mangga.

Ia lalu melompat ringan dan hinggap di genteng rumah.
Seluruh panca indranya bekerja dan senyumnya mengembang dari balik topeng hitam.

Dengan penuh tenaga ia jejakkan kaki menjebol genteng.. dan dalam hitungan detik ia sudah berada di dalam sebuah kamar.
Gerakannya teramat sangat cepat menghunus golok dan mengayunkan ke arah sesosok tubuh yang masih berbaring.

Tidak ada teriakan.. dan sosok itupun mati seketika.

Setelah itu ia menyelinap dalam gelap dan berkelebat cepat hingga sampai di tempat ia menyembunyikan motor.
Kemudian ia pergi bagai hantu.
--------------

Di pagi yang masih diselimuti mendung.. desa Cemorosewu geger.
Kentongan berbunyi bertalu-talu memanggil penduduk untuk berduyun-duyun mendatangi rumah kepala desa.

Pengumuman disebarluaskan melalui mulut ke mulut.. dari surau ke surau.. dari satu dusun ke dusun yang lain.
Bendera hitam berkibar di sepanjang jalan menuju desa.

’TELAH TUTUP USIA.. BAPAK ASNAWI. PEMIMPIN DAN SESEPUH DESA CEMOROSEWU..’

Begitulah inti dari kegegeran itu. Dalam sekejap rumah kepala desa dipenuhi ratusan orang.
Di jalan-jalan masyarakat ramai membicarakan penyebab tewasnya bapak kepala desa.

Ada yang bilang kepala desa mati dibacok. Yang lain berkata kepala desa dibunuh selingkuhan istrinya.
Banyak juga yang yakin kepala desa mereka korban balas dendam. Semuanya masih simpang siur.

Murti terbangun dari tidurnya oleh dering handphone. Semalaman ia tidur sendiri karena Pak Camat suaminya.. belum pulang.
Ia sangat malas untuk bangun.

Tapi dering handphone tak kunjung berhenti.. memaksanya menyingkirkan selimut dan sempoyongan mendekati meja rias..
meraih HP untuk mencari tau siapa yang berani mengusik tidurnya di pagi buta begini.

“Assalamu’alaikum..” jawab Murti.
“Wa’alaikum salam.. selamat pagi, Bu. Saya cuma mau menyampaikan kabar, kalau pagi ini Madrasah diliburkan.
Ayahnya Bu Aisyah meninggal..” kata suara di seberang.

“Pak Asnawi meninggal..? Kapan terjadinya, Bu Minah..!?” Tanya Murti pada rekannya sesama guru yang menelepon.
“Tadi malam. Kalau Bu Murti mau ikut melayat, bisa ikut rombongan guru-guru..” kata Bu Minah.

“Baiklah, Bu Minah. Biar saya berangkat sendiri saja. Terimakasih informasinya, Bu..” kata Murti.
Murti tidak bisa tidur lagi. Kabar yang disampaikan oleh Bu Minah membuatnya terkejut.

Tidak ada angin.. tiba-tiba ada kabar buruk bahwa Pak Asnawi.. salahsatu pendiri Madrasah.. ayah kandung dari Aisyah..
kepala desa Cemorosewu meninggal dunia.

Ia pun segera keluar kamar dan menuju halaman belakang. Terlihat olehnya Gatot sedang mengambil air.
“Tot, cepat mandi. Antar aku ke rumah Aisyah..” kata Murti.

“Di mana itu, Mur..?” Tanya Gatot.
“Cemorosewu. Kutunggu di rumah ya..” tanpa menunggu jawaban.. Murti berbalik masuk ke dalam rumah.

Wajah Gatot langsung berubah begitu mendengar kata Cemorosewu. Entah kenapa hatinya berdebar-debar tak nyaman.
Tapi perintah Murti harus dilaksanakan karena Murti adalah istri majikannya.. yakni Pak Camat.
Menolak perintah Murti sama saja dengan menolak perintah Pak Camat.

Maka Gatot pun tidak meneruskan pekerjaannya mengambil air.
Ia langsung masuk.. dan tidak sampai sepuluh menit sudah berada di ruang tamu rumah Pak Camat.

Gatot heran.. karena suasana rumah Pak Camat masih sangat sepi.. padahal ini masih teramat pagi.
Lagipula tidak mungkin Pak Camat pergi ke kantor tanpa bersamanya.

“Pak Camat sudah berangkat ya, Mur..?” Tanya Gatot sambil memandangi Murti yang baru keluar dari kamar mandi.
“Suamiku malah belum pulang sejak kemarin. Entah di mana dia..” kata Murti.

Gatot pun manggut-manggut sambil matanya nyalang memandangi tubuh Murti yang masih belum berpakaian lengkap..
belum memasang kerudung.. bahkan belum juga mengenakan pelindung.

Tubuh yang masih setengah basah itu tampak begitu indah.. memancing penuh hasrat gairahnya.
Tapi Gatot lekas berpaling dari hadapan Murti. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk melakukannya.

Ia kembali memikirkan Pak Camat.. yang menurut Murti belum pulang sejak kemarin.
Berarti Pak Camat masih ada di sana.. pikir Gatot dalam hati.

Ia sangat tau persis di mana Pak Camat berada saat ini.. tapi ia tidak mau memberitaukannya pada Murti.
Semua ini ia lakukan demi sebuah janji.

Gatot cuma menyayangkan kenapa Murti harus menikahi pria semacam Pak Camat..
yang kurang lebih sama bejatnya dengan dirinya sendiri.

Pak Camat lebih suka bersenang-senang dengan daun muda.. meninggalkan istrinya yang cantik merana seorang diri.
Istri yang kemarin ia gauli dengan sepenuh hati.

“Ayo berangkat, Tot..!” Seru Murti mengagetkan lamunan Gatot.
“B-baik..” Gatot berpaling cepat.

”Betulkan kerah bajumu dulu, Mur..” tambahnya saat melihat kerah baju Murti yang sedikit terbuka..
menampakkan belahan buah dadanya yang ranum dan indah.

Murti mesem.. tapi tetap membiarkan kerah bajunya melonggar.
Ia juga tidak memakai kerudung yang sengaja ia simpan di dalam tas kecil.

Murti merasa aman di dalam mobil yang baru sebulan dibeli Pak Camat.
Kacanya gelap.. inilah mobil pribadi yang dibeli Pak Camat khusus untuknya.
Selama ini mobil baru itu nongkrong di garasi.. karena Pak Camat lebih suka mobil dinas.. sementara ia sendiri belum bisa nyetir.

“Sebaiknya kamu turuti suamimu, Mur. Sayang kan kalau mobil sebagus ini cuma diam saja di garasi..”
kata Gatot saat mereka mulai meninggalkan rumah Pak Camat.

“Kamu serius mau ngajari aku nyetir..?” Tanya Murti.
“Tentu. Apalagi Pak Camat sudah memberi ijin..” sahut Gatot.

“Aku tidak mau..” sergah Murti.
“Kenapa..? ’Kan malah enak. Ke mana-mana kamu bisa pergi sendiri..” kata Gatot.

“Aku tidak suka pergi sendiri..” sahut Murti. Gatot menghela nafas.
Ia pun berusaha untuk mengganti topik pembicaraan..

“Ada keperluan apa kamu minta diantar ke Cemorosewu..?” Tanyanya.
“Nanti kamu juga tau sendiri..” jawab Murti.. masih sedikit ketus.

Gatot diam tidak bertanya-tanya lagi. Murti memang seperti tidak ingin diganggu saat ini.
Mungkin karena ketidakpulangan Pak Camat malam tadi. Jadilah dua insan itu terdiam dalam sepi. Larut dalam irama hati masing-masing.

Murti lalu rebah.. menyandarkan kepalanya ke dada Gatot..
sementara tangannya menyusup ke balik kemeja Gatot dan mengusap bulu-bulu dada pria kekar itu.

“Aku sangat menyesali diriku, Tot..” bisik Murti lirih.
Gatot menghela napas dan mengurangi kecepatan mobil untuk mengimbangi konsentrasinya yang mulai terpecah.

“Apa yang membuatmu menyesal..?” Tanyanya sambil membelai rambut panjang Murti dengan tangan kiri.
“Aku menyesal kenapa harus menikah dengan Mas Joko..” kata Murti lirih.

“Itulah jodohmu, Mur. Pak Camat sangat mencintaimu.. dan aku yakin kamu juga cinta dia..” balas Gatot.
“Salah. Aku tidak mencintai Mas Joko, Tot. Aku menikah dengannya demi menyenangkan hati ayahku.
Abah yang memilih jodoh untukku, Tot..” terang Murti.

“Semua orangtua ingin yang terbaik buat anaknya, Mur. Pun demikian dengan ayahmu. Nyatanya Pak Camat memang baik..” kata Gatot.
“Tapi aku tidak mencintainya..” Murti bersikeras.

“Cinta sudah tidak penting buat orang seusia kita, Mur. Apalagi kamu sudah bertahun-tahun berumah tangga..”
Gatot mencoba bersikap bijak.

“Tapi cintaku hanya buat satu orang saja, Tot..” tukas Murti.
“Siapa itu..?” Tanya Gatot.. meski dalam hati ia takut dengan jawabannya.

“Belum saatnya kamu tau. Yang jelas, orang itu membuatku ingin mengakhiri saja kehidupan rumah tanggaku..” jelas Murti.
“Janganlah terbawa perasaan, Mur. Belum tentu setelah cerai nanti kehidupanmu jadi lebih baik..” kata Gatot.

“Jadi kamu mendoakan aku sengsara seumur hidup..?” Sengit Murti.
“Aku hanya mengatakan hal-hal yang pernah kualami, Mur. Aku adalah potret dari manusia yang gagal dalam perkawinan..” kata Gatot.

”Aku tidak peduli..” Murti mencubit perut Gatot dan tersenyum ketika merasakan sesuatu yang kaku tersentuh oleh ujung jemarinya.
Wajahnya bersemu merah.. semerah bibir yang basah dan merekah bagai mawar itu.. menanti isapan sang kumbang.

”Ahh..” Murti mendesah.. melenguh ketika merasakan tangan Gatot yang semakin turun dan terus turun..
lalu hinggap di atas gundukan payudaranya.

Tapi sayang sekali.. di saat sang kumbang akan mengisap sisa madu yang tentu masih terasa manis itu..
gerbang desa Cemorosewu sudah siap menyambut. Terpaksa acara intim mereka harus diakhiri sampai di situ.

Murti segera memperbaiki posisi duduknya.. ia juga lekas memasang kerudung hitam dan membenahi kancing baju muslimnya yang tadi sempat sedikit terbuka.. dan menyapu wajahnya dengan make up tipis.
Dengan cepat ia telah menjelma kembali menjadi ibu guru Madrasah yang cantik dan alim.

“Kamu tau arti umbul-umbul hitam itu, Tot..?” Tanya Murti pada Gatot.
“Hitam identik dengan duka dan kematian. Benar kan..?” Tebak Gatot.

“Benar. Hari ini desa Cemorosewu berkabung. Pak Asnawi, kepala desa ini meninggal semalam..” kata Murti.
“Kamu mau melayat..?” Tanya Gatot.

"Iya. Untuk menghormati Aisyah, Tot. Dia pasti sangat terpukul oleh kematian ayahnya..” sahut Murti.
Gatot merasakan ulu hatinya bagai ditusuk ribuan jarum. Jantungnya serasa berhenti berdetak mendengar perkataan Murti.

Mulutnya terkunci dan wajahnya berubah pias. Ia ingin bicara tapi tak bisa.
Ocehan Murti sudah tidak didengarnya sama sekali. Ia lebih sibuk mendengarkan kata hatinya sendiri.

“Kita sudah sampai, Tot. Ayo ikut ke dalam..” ajak Murti. Gatot melangkah ragu memasuki rumah duka.
Semakin masuk ke dalam rumah.. hati dan perasaannya semakin gundah dan gelisah.

Terlebih setelah ia dan Murti sampai di kamar tempat sesosok tubuh terbujur kaku..
dibungkus kain jarik dan dikelilingi beberapa orang. Tubuh pak kepala desa.

Gatot tak menyangka sama sekali. Terlebih ketika seorang wanita menoleh.. wanita yang seketika menyiksa batinnya.
Wanita itu adalah Aisyah.. wanita jelita yang kini bersimbah airmata.

“Assalamu’alaikum, Aisyah..” kata Murti.
“Wa’alaikum salam, Bu Murti, silakan duduk. Silakan, Mas..” kata Aisyah pada Gatot.
“Terimakasih. Biar saya di luar saja..” jawab Gatot.

Ia menyampaikan beberapa patah kata sebagai tanda bela sungkawa lalu melangkah keluar.. menuju
kerumunan polisi yang masih berjaga-jaga di sekitar rumah kepala desa.

Begitu ia muncul.. para polisi langsung mengajaknya ngobrol. Maklum sebagian besar polisi telah mengenalnya.
Ia juga sudah dikenal karena seringnya mendatangi kantor polisi.

“Selamat pagi, Pak..” sapa Gatot.
“Selamat pagi, Tot. Kamu melayat..?” Tanya salah seorang polisi.
“Iya, Pak. Saya ngantar Bu Murti, istrinya Pak Camat..” Gatot terdiam sejenak sambil memperhatikan sekitar rumah.

“Kok banyak anggota bapak di sini..?” Tanyanya kemudian.
“Kami sedang melakukan olah TKP. Ini kan pembunuhan..” kata polisi itu.

“Pembunuhan..?” Gatot pura-pura tidak tau.
“Benar. Semalam kepala desa dibacok orang. Kepalanya hampir putus..” jawab sang polisi.

“Sudah dapat pelakunya, Pak..?” Tanya Gatot.
“Sampai saat ini belum. Kami masih menanyai beberapa saksi dan berusaha mencari barang bukti..”

“Kan biasanya ada petunjuk, Pak..?” Kata Gatot.
“Pembunuh yang ini mahir, Tot..” jawab si anggota polisi.

”Dia tidak meninggalkan jejak sama sekali. Hujan deras semalam juga menyulitkan kami..” terangnya.
“Semoga cepat terungkap, Pak..” sahut Gatot. Polisi itu mengangguk.

“Oh ya, Tot. Ada kabar kalau ayahmu mendapat pengampunan. Dia cuma dihukum seumur hidup..” kata polisi itu.
“Apapun yang terjadi pada ayah saya, biar saja. Bapak sudah tau keputusan saya..” jawab Gatot.

“Bapak mengerti..” Polisi itu mengangguk. “Tuh, Bu Murti manggil kamu..” dia menunjuk ke arah rumah Aisyah.
Gatot menoleh dan tersenyum.. “Baik, Pak. Saya permisi dulu..”

Ia meninggalkan sang komandan polisi dan menghampiri Murti.
Kini Gatot telah berada kembali di hadapan Aisyah.. yang tengah menatapnya dengan sorot mata sayu.
Ia tidak berani berlama-lama menantang sorot mata itu.

“Jam berapa pemakamannya..?” Tanyanya pada Aisyah.
“Sepuluh menit lagi, Mas. Saya harap Mas Gatot ikut mendoakan ayah saya..” sahut Aisyah.

“Saya akan berdoa, Aisyah. Semoga kamu tabah..” jawab Gatot.
“Saya menerima ini dengan ikhlas, Mas. Semoga pembunuh ayah saya mendapat rahmat dari Allah untuk kembali ke jalan yang benar. Semoga dia juga ikhlas menyerahkan diri..” kata Aisyah lirih.. airmata kembali bergulir di matanya yang lentik.

“Allah mendengar doa orang-orang yang ikhlas, Aisyah..” timpal Gatot dengan hati tercabik-cabik.
“Terimakasih, Mas. Pemakaman sudah siap. Saya mohon Bu Murti dan Mas Gatot mau mendampingi saya..” pinta Aisyah.

Permohonan itu membuat Gatot semakin resah dan gelisah.
Terlebih saat jemari halus gadis itu menggandengnya menuju pemakaman umum yang cuma beberapa langkah saja dari rumah duka.
Ia sungguh tak mampu berkata-kata.

Gatot kini berada di sisi sebelah kanan Aisyah.. sementara Murti ada di sebelah kiri.
Ia tak kuasa menolak cengkeraman jemari yang semakin kuat menggenggam lengannya..
ikut merasakan isak tangis yang tak tertahan saat jenasah diturunkan ke liang lahat.. dan tanah-tanah mulai menimbun.

Belum selesai makam ditimbun.. sosok mungil Aisyah limbung.. tepat di rengkuhan Gatot.
Aisyah pingsan dan wajah ayunya pucat kelelahan.

Gatot dengan dibantu beberapa orang segera membopong Aisyah dan membawanya kembali ke dalam rumah.
“Tolong dijaga ya, Mas..” kata seorang warga memintanya menjaga Aisyah.
“Baik, Pak..” angguk Gatot.

Kini ia berada berdua saja dengan Aisyah.. gadis berhati mulia yang tiba-tiba mengingatkannya pada sang ibunda.
Ia melihat sosok Aisyah yang terbujur sama seperti ia melihat sosok ibunya saat tidur. Sangat damai.

Membuat matanya jadi terasa panas, menahan airmata agar tidak jatuh.
Tapi usahanya gagal.. dan setitik airmatanya jatuh ke wajah Aisyah.. tepat di saat gadis itu perlahan membuka mata.

“Abaaah..” lirih suara Aisyah.. terucap dengan getar yang menghantam seluruh sendi tubuh Gatot.
Laki-laki itu terpaku.. diam membatu menatap Aisyah tanpa menyadari ia telah menggenggam jemari Aisyah dengan sangat kuat.

“Saya bisa merasakan kesedihanmu, Aisyah..” bisik Gatot tulus.
“Saya tidak sedih dengan kematian abah, Mas. Tapi sedih dengan dosa pembunuh abah..” sahut Aisyah.

“Tuhan akan membalas setiap perbuatan umatnya..” balas Gatot.
“Semoga dosa orang itu terampuni, Mas. Aisyah ikhlas lahir dan batin..” kata Aisyah.

“Keikhlasanmu akan mendapat ganjaran berlipat-lipat, Aisyah. Maafkan saya..”
Gatot melepaskan cengkeramannya. Ia meninggalkan Aisyah dan pergi ke mobil.

Sambil menunggu Murti.. Gatot tercenung sendiri.
Merenungi betapa kejahatan yang telah ia lakukan semalam telah membuat begitu banyak orang berduka..
membuat beberapa hati terluka.

Ia sungguh tidak tau siapa sebenarnya orang yang semalam mati di ujung golok mautnya.
Yang ia tau tentang kepala desa Cemorosewu adalah bahwa lelaki itu adalah salahsatu begundal bejat yang mencabut nyawa ibunya.

Ia sama sekali tidak tau tentang Pak Asnawi yang kata orang-orang adalah sosok dermawan..
berjiwa sosial.. ulama terkenal.. pendiri madrasah tempat Murti mengajar.

Yang paling menyakitkan dan menyiksa batinnya..
ialah kenyataan bahwa kepala desa Cemorosewu tak lain dan tak bukan adalah ayah kandung Aisyah.

Berarti lantunan ayat-ayat suci yang ia dengar semalam adalah suara Aisyah..
sosok manusia bermukena yang sempat ia intai adalah gadis mulia berwajah jelita itu.

Sekarang gadis itu dirundung duka akibat perbuatan jahat yang ia lakukan.
Untung semalam ia tidak meneruskan niat menghabisi seluruh keluarga kepala desa.

Untung Aisyah terlalu khusyuk mengaji.. sehingga tidak mendengar tragedi semalam.
Untung ia urung untuk menelanjangi sosok bermukena itu.

Lebih untung lagi.. Aisyah sama sekali tidak tau bahwa pembunuh itu adalah dirinya.
Pun demikian dengan polisi yang tidak curiga padanya.

Gatot menyandarkan kepala ke jok mobil.. memejamkan mata untuk beberapa saat hingga ia merasa seseorang mencubit pahanya.
Ia membuka mata dan melihat Murti sudah ada di sana. “Ayo kembali ke kota, Tot..” kata perempuan cantik itu.

Mereka pun meninggalkan desa Cemorosewu dengan diiringi lambaian umbul umbul hitam yang tertiup angin.
Warna hitam yang membuat seluruh jiwa jadi muram.

Gatot dan Murti sama-sama diam. Hanya desah napas dan detak jantung mereka saja yang terdengar.

Cuaca siang ikut murung dan berduka. Langit diselimuti mendung dan titik-titik kecil air mulai menetes di kaca mobil.
Gerimis yang membuat hati menjadi miris.

Tiba di rumah.. Murti mendapati Pak Camat masih belum pulang. Di HP-nya ada SMS..
Pak Camat masih ada acara di tempat lain. Murti mendesah kecewa.. sekaligus lega.

Ia segera turun dari mobil dan berbisik pada Gatot..
”Kalau sudah selesai masukin mobil, pergi ke kamarku ya.. ada yang ingin aku bicarakan..”
”Iya, Mur..” sahut Gatot tanpa membantah.

Sementara Gatot sibuk di dalam garasi.. Murti segera mengganti pakaiannya.
Ia sengaja mencopot BH-nya untuk merangsang Gatot.

Di balik daster tipis yang sekarang ia kenakan.. bentuk payudaranya yang bulat besar terlihat jelas.
Terlebih lagi puting susunya yang menyembul indah. Murti yakin.. Gatot pasti suka dan terangsang dibuatnya.

Masuk ke dalam kamar.. mata Gatot nyaris copot karena melotot..
melihat tubuh molek Murti yang sekarang tersaji utuh di depan hidungnya.

Istri Pak Camat itu membiarkan rambut panjangnya tergerai bebas..
tidak seperti biasanya yang selalu tertutup jilbab lebar saat ia tampil di muka murid-muridnya.

Di dada Murti tampak tonjolan payudaranya menggunung sangat indah.. membuat Gatot sejenak lupa bernafas dan memejamkan mata.
”Kenapa, Tot..? Ayo duduk dulu..” Murti mempersilakannya sambil tersenyum manis.

Muka Gatot langsung memerah karena nafsu..
bayangan wajah cantik Aisyah segera lenyap dari pikirannya.. tergantikan oleh tubuh telanjang Murti yang sudah beberapakali ia nikmati.

Dan sekarang.. sepertinya ia juga akan mendapatkannya lagi..
terlihat dari senyum Murti yang merekah semakin lebar saat pandangan Gatot terarah tajam ke buah dadanya.

”Tot, kamu mau nolong aku..?”
Murti merapatkan tubuh ke arah Gatot yang masih berdiri mematung di depan pintu.

”N-nolong apa, Mur..?” Tubuh Gatot bergetar ketika tangan teman masa kecilnya itu merangkul dirinya..
sementara tangan Murti yang lain mengusap-usap daerah 'vital'nya.

”Tolong temani aku, Tot.. aku takut tidur sendiri..” bisik Murti manja.
Muka Gatot makin memerah mendengar perkataan itu.

”T-tapi, Mur.. nanti dipergoki sama Pak Camat..” tukasnya ragu.
”Mas Joko masih lama pulangnya..” Murti menunjukkan SMS dari Pak Camat pada Gatot.

”Kita punya banyak waktu..” bisiknya. Dan tanpa menunggu jawaban dari Gatot..
Murti segera menarik tangan laki-laki itu dan membimbingnya agar duduk di atas tempat tidur.

Murti yang agresif karena haus akan sentuhan laki-laki.. kemudian duduk di pangkuan Gatot.
Tanpa bisa dicegah.. bibir keduanya pun langsung saling bertemu dan berpagutan erat.

”Ehm, Mur..” lenguh Gatot saat merasakan puting susu Murti yang sudah mengeras menggesek ringan di permukaan perutnya..
sementara lidah perempuan cantik itu terus menjelajahi mulutnya.. mencari lidahnya untuk diajak saling melilit bagai ular.

Setelah puas.. Murti kemudian berdiri di depan Gatot yang masih melongo karena tidak menyangka akan diserang seganas itu.
Satu demi satu Murti mencopoti pakaiannya hingga tubuhnya yang mulus sempurna jadi polos seperti bayi yang baru lahir.

Tersenyum manja..
Murti seakan menantang Gatot agar segera menghangatkan tubuhnya yang selama ini jarang disentuh oleh Pak Camat.

”Lepaskan pakaianmu, Tot..” Murti berkata sambil merebahkan dirinya di atas ranjang.
Rambut panjangnya tergerai bagai sutera ditindih oleh tubuhnya yang sangat sintal menggoda.

”Ayo cepat, Tot..!” Murti mendesah tak sabar saat melihat Gatot masih terdiam kagum memandangi tubuhnya..
”Ah, i-iya..” terkaget-kaget.. Gatot lekas ikut menelanjangi diri.

Dengan penis mendongak kuat ke depan ia kemudian duduk berlutut di samping Murti.
Pelan Gatot meletakkan tangannya di atas dada Murti yang bergerak naik-turun seirama dengan tarikan nafasnya..
lalu mulai meremas-remasnya lembut sambil tak lupa memijit dan memilin-milin putingnya yang montok kemerahan.

”Oohh.. enak, Tot.. terus.. yah, begitu.. remas pelan-pelan..” bisik Murti lirih, matanya sudah mulai terpejam rapat.
Dengan penuh semangat Gatot melakukan apa yang teman masa kecilnya katakan.

Ia terus meremas-remasnya bergantian kiri dan kanan.. merasakan betapa empuk dan kenyalnya benda itu..
Sampai akhirnya tubuh Murti menegang tak lama kemudian..
saat jilatan dan isapan mulut Gatot mampir ke puncak payudaranya yang mungil dan indah.

Seperti anak kecil Gatot mulai menyusu ke arah puting Murti.
”Oohh.. jilat terus, Tot.. ohh.. enak..!” Tangan Murti mendekap erat kepala Gatot ke arah payudaranya.

Gatot semakin buas menjilati puting susu istri Pak Camat tersebut..
Mulutnya sampai menimbulkan bunyi decapan yang sangat nyaring.. tanda kalau isapan Gatot begitu keras dan kuat.

Bahkan tanpa ia sadari.. Gatot mulai menggigit-gigit ringan puting mungil itu.
”Hmm.. nakal kamu, Tot..!” Murti tersenyum merasakan tingkah sang sopir.

”Jangan cuma di situ, coba juga daerah bawah pusarku..” pintanya.
Gatot menurut saja. Cepat ia duduk di antara dua kaki Murti yang sudah terbuka lebar.

Murti sendiri menyandarkan punggungya ke sandaran tempat tidur..
membiarkan Gatot memandangi daerah kemaluannya yang sudah menganga lebar dengan sepuas hati.

”Sudah basah bukan..?” Murti membimbing telunjuk Gatot agar memasuki liang vaginanya.
Gatot mengangguk.. ”Lengket sekali, Mur..”

”Kelentitku, Tot. Coba kamu gosok-gosok sebentar.. rasanya gatal sekali..” Murti memohon.
Pelan jari-jari Gatot mulai mengusap-usap tonjolan pink yang mulai menyembul itu.

”Ahh.. yah.. gosok terus, Tot.. ughh, enak..!” Murti menggelinjang keenakan ketika klitorisnya terus dipermainkan oleh Gatot.
”Kalo aku giniin, enak nggak..?” Gatot tersenyum sambil menekan kelentit Murti semakin keras.
”Ooh.. Tot..! Emm..” Ia mendesah penuh nikmat.

Tubuh montok Murti makin melengkung keenakan.. nafasnya terdengar semakin memburu..
sementara bibirnya yang mungil terus mengeluarkan rintihan dan desahan yang sangat membangkitkan gairah..
menandakan kalau pertahanan perempuan cantik itu akan segera jebol tidak lama lagi.

”Ooaahh.. Tot..!” Murti mencengkeram kuat pundak Gatot saat semua otot di tubuhnya menegang.
Matanya terpejam sesaat.. menikmati sesuatu yang telah lama tidak ia rasakan bersama Pak Camat.

”Hmm.. kamu pintar sekali, Tot..” bisik Murti dengan vagina masih berkedut-kedut ringan mengeluarkan cairan kenikmatannya.
Gatot tersenyum dan menurut saja saat Murti menyuruhnya untuk berbaring,

”Sekarang giliranku untuk memuaskanmu..” ucap Murti sambil mengurut lembut batang penis Gatot.
Benda itu jadi semakin kaku dan menegang saat berada di dalam genggaman tangannya.

”Wow, makin besar aja, Tot..!” Dengan gemas Murti terus mengusap-usap dan membelainya.
Gatot cuma tersenyum dan terdiam menikmati segala tingkah istri Pak Camat yang cantik dan seksi itu.

Tanpa menunggu lama, segera saja penisnya berpindah tempat. Kini benda coklat panjang itu sudah masuk ke dalam mulut Murti.
Dengan rakus tapi sangat telaten.. Murti mulai mengulum dan mengisapnya.

Kepala penis Gatot yang berbentuk jamur tumpul digigitnya keras-keras.. hingga membuat Gatot merintih kegelian.
”Ahh.. enak, Mur.. terus..!” Gatot tanpa sadar menyodok-nyodokkan pinggulnya.. menekan penisnya semakin dalam ke mulut tipis Murti.

Gerakannya menjadi semakin cepat seiring semakin kerasnya isapan sang ibu guru cantik.
”Oohh, Mur.. aku.. aku.. arghhh..!” Crott.. crott.. crott.. crott..

Tanpa bisa dicegah.. muncratlah cairan sperma Gatot ke dalam mulut Murti yang segera dijilati oleh Murti hingga tandas dan tuntas.
”Hmm.. manis juga rasa manimu, Tot..”
Murti tersenyum.. masih dengan mulut tetap menjilati ujung penis Gatot yang masih tegak berdiri.

”Kamu juga makin pintar, Mur, bikin aku jadi tak tahan..” sahut Gatot dengan nafas terengah-engah pelan.
Murti ikut tersenyum.. ”Kita istirahat dulu ya, habis itu..”

”Kenapa istirahat..? Aku masih kuat kok..” potong Gatot sambil mendekap tubuh montok Murti dari belakang..
dan dengan cepat menyodokkan penisnya ke liang vagina perempuan cantik itu keras-keras.

”Arghkh..!!” Murti menjerit kaget.. namun cuma sebentar.. karena dalam hati ia sangat menikmati hal ini.
Siapa juga yang tidak suka mempunyai partner seks sejantan Gatot.. biarpun habis keluar tapi penisnya masih bisa digunakan..!

”Kamu menikmatinya ’kan, Mur..?” Bisik Gatot di telinga Murti.
Tangannya yang satu menyangga tubuh montok Murti.. sementara yang lain meremas payudara Murti yang menggantung indah.

Sementara penisnya dengan keras melumat liang vagina Murti hingga jadi semakin basah dan memerah.
”Ahh.. hhh..” Murti hanya bisa merintih.. tubuhnya bagai lemas tak bertenaga menikmati setiap sodokan Gatot di liang vaginanya.

Mereka terus berada alam posisi seperti itu.. hingga Gatot menyemprotkan kembali cairan spermanya tak lama kemudian..
kali ini di dalam vagina sempit milik Murti.

”Ahh.. Gatot..!” Rintih Murti saat merasakan cairan hangat memenuhi liang kewanitaannya.
Ia cepat menekan pinggulnya ke belakang agar penis Gatot yang masih berkedut-kedut ringan makin amblas lagi ke dalam miliknya.
Di saat yang sama.. Murti rupanya orgasme juga.

Kedua insan itu pun tergolek lemas menikmati apa yang baru saja mereka lakukan.
Cairan keduanya bertemu dan bercampur menjadi satu memenuhi liang kelamin Murti hingga terasa jadi begitu basah dan lengket.
Beberapa ada yang menetes keluar saat Gatot mencabut pelan batang penisnya.

”Ughh..” Murti mendesah.. rambutnya yang hitam panjang terurai menutupi bantal..
sementara dadanya yang besar bergerak naik-turun mengikuti irama tarikan nafasnya.

Tangan Gatot bertengger di sana.. meremas-remasnya pelan.
”Pak Camat masih lama pulangnya..?” Tanya Gatot.
”Sebentar.. aku SMS dulu..”

Murti segera mengambil HP-nya yang ditaruh di atas meja dan mengirim SMS kepada Pak Camat.
Tak lama SMS balasan sudah ia terima.

Gatot tersenyum lebar saat ikut membaca.. ”Masih 2 jam lagi.. itupun kalau sudah selesai..” katanya.
Murti mengangguk.. ”Iya.. masih banyak waktu bagi kita..”

”Gimana, sudah siap lagi..?” Tanya Gatot sambil mencolek vagina Murti mesra.
”Hei, jangan bilang kalau kamu sudah ngaceng lagi..!”
Sahutnya sambil melirik ke bawah dan memekik gembira.. saat melihat penis Gatot yang sudah beranjak bangun dan menegang.

”Gila.. benar-benar gila..!” Murti menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
”Akan kubikin kamu pingsan malam ini..” janji Gatot sambil menindih tubuh molek Murti dan bersiap untuk memulai ronde yang kedua.
--------------------------------------
 
Terakhir diubah:
----------------------------------------------------

Cerita 85 – Kenangan Hitam Masa Lalu

Chapter 7

Hari
masih teramat pagi.. tapi Murti sudah berdandan sangat rapi.
Dengan baju muslimah warna pink.. ia terlihat lebih anggun dan ayu.
Sementara Pak Camat, suaminya.. masih tidur mendengkur kayak lembu.

Murti tidak berniat untuk membangunkan. Suaminya pasti kelelahan dari bepergian.
Ia tidak tau jam berapa Pak Camat datang. Yang pasti ketika ia bangun jam dua dinihari.. suaminya sudah ada.

“Besok aku libur, Mur. Kamu pergi saja ke pendopo dengan Gatot..” kata suaminya tadi malam.
“Baik. Mas Joko istirahat saja. Mas pasti capek setelah dua hari keluyuran..” balas Murti pedas.

“Kamu kok gitu sih..? Aku kan ada tugas luar kota..” kilah Pak Camat.
“Bukannya apa-apa, Mas. Aku cuma sedikit rindu..” kata Murti.
“Rindu tapi benci ’kan..?” Sela Pak Camat.

Biarpun rindu tapi benci.. namun tadi malam sempat terjadi juga keintiman suami istri.
Tapi Murti tau suaminya tidak bersungguh-sungguh.

Keintiman tadi malam dibayangi ragu. Pelukan dan cumbuan tadi malam terjadi dengan setengah hati.
Terasa hambar dan kaku.

Keintiman yang tidak berlangsung lama.. bahkan sangat singkat bagi Murti.
Belum setengah ronde suaminya sudah loyo. Murti tersenyum kecut. Memang lebih enak barang milik Gatot.

“Baik, Mas.. saya berangkat..” kata Murti pada akhirnya.

Hari ini ia memang hendak ke pendopo untuk menghadiri acara pelantikan dirinya sebagai sebagai pegawai negeri sipil.
Sebenarnya ia sangat ingin didampingi suami seperti para undangan yang lain.

Murti kecewa.. karena hanya dialah satu-satunya tamu undangan yang datang seorang diri.
Yang lainnya datang bersama istri dan suami masing-masing. Ia melangkah gontai menuju kursi yang telah diberi nomor.

Sementara Gatot yang mengantarnya lebih suka menunggu di luar pendopo.. ngobrol bersama petugas pamong praja.
Ternyata bukan hanya polisi yang mengenal Gatot.. tetapi pamong praja juga kenal baik dengannya.

Boleh dibilang kalau semua aparat di kota mengenal sejarah Gatot dari masa ke masa.
Biarpun cuma lulusan SD.. Gatot masih ingat wajah teman-teman mainnya dulu.

“Hei, kamu Gatot kan..?” Sapa seseorang.
“Iya, kamu pasti si Bejo..” balas Gatot.

“Betul. Makin subur saja kamu, Tot..” kata lelaki yang dipanggil Bejo.
“Jangan memuji..” sahut Gatot. ”Kamu sudah mapan, Jo, jadi pegawai negeri..” tambahnya.

“Ini sih sudah nasib. Mainlah ke rumah..” tawar Bejo.
“Pasti. Tapi aku masih sibuk, Jo.. maklum, cuma babunya Pak Camat..” Gatot beralasan.

“Kakakku pasti senang kalau ketemu kamu, Tot..” kata Bejo lagi.
“Si Ningsih..?” Tebak Gatot.

”Di mana kakakmu itu sekarang..? Sudah punya suami..?” Tanyanya kemudian.
“Kak Ningsih ada kok. Dia sering menanyakan kamu..” jawab Bejo.

”Makanya main ke rumah..!” Kembali ia menawarkan.
Gatot tertawa kecil. Perbincangannya dengan Bejo telah membuatnya teringat pada Ningsih.

Dulu ia.. Bejo.. Ningsih.. dan juga Murti adalah teman bermain dan bersekolah.
Mereka sering bersama ke mana-mana.. belajar kelompok bersama.. bermain di sungai sampai puas.
Sampai kemudian Bejo dan keluarganya keluar dari kompleks dan pindah ke jalan lain.

Gatot ingat Ningsih dulu sama nakalnya dengan Murti..
sama-sama suka mempermainkannya ketika kecil dulu.. sering membuatnya menangis.

Murti dan Ningsih juga sama cantiknya ketika masih bocah.
Cuma sekarang ia tidak tau seperti apa bentuk dan rupa Ningsih. Tentu tidak sama dengan puluhan tahun silam.

“Sampaikan saja salamku pada ningsih, Jo..” kata Gatot sambil tersenyum.
“Kak Ningsih berharap ketemu kamu, Tot..” sahut Bejo sedikit memaksa.

”Main saja ke rumah, nanti kukenalkan ke istri dan anakku..” ia masih belum mau menyerah.
“Baiklah..” Gatot akhirnya mengalah. ”Tapi aku tidak janji ya..”

Sementara itu Murti duduk dengan gelisah di bangkunya.
Acara pelantikan masih setengah jam lagi.. tapi Murti sudah sangat ingin keluar dari pendopo.

Ia tau bahwa semua mata tengah memandanginya dengan sorot mata dan ekspresi wajah bermacam-macam.
Sekelompok orang yang ada di baris paling belakang kasak-kusuk dan sayup terdengar oleh Murti.. membuatnya makin ingin angkat kaki.

Untung ia duduk di sebelah Aisyah.. membuatnya sedikit tenang dan terhibur.
“Bu Murti sepertinya tidak semangat..” kata Aisyah memecah kebekuan.

“Iya, Aisyah. Semalam saya begadang..” jawab Murti sekenanya.
“Pantas Bu Murti kelihatan loyo..” angguk Aisyah.. ia memang gadis yang lugu dan polos.

”Kok tidak bersama Pak Camat..?” tanyanya kemudian.
“Bapak lagi libur, Aisy. Beliau istirahat di rumah..” jawab Murti.

“Jadi ibu diantar Mas Gatot..?” Tanya Aisyah dengan wajah bersemu merah..
senang sekaligus grogi karena ada kesempatan bertemu dengan Gatot.

“Benar..” Murti tersenyum memandang Aisyah yang menunduk malu-malu.
”Nanti kamu bisa pulang bersama kami..” jawabnya untuk makin menyenangkan gadis itu.

“Terimakasih, Bu. Tapi saya malu..” lirih Aisyah.
“Malu sama siapa..? Anggap saja aku ini kakakmu, Aisy..” sahut Murti menggoda.

“S-saya malu sama mas Gatot, Bu..” ucap Aisyah dengan muka makin merona.
“Ibu ngerti kok. Nggak usah malu. Gatot senang kok berkenalan denganmu..” jawab Murti.

“Ah, Bu Murti bisa saja..” Aisyah makin tersipu. Murti tertawa melihat Aisyah yang malu-malu kucing seperti itu.
Ia ingin bicara lagi, tapi acara pelantikan sudah mulai dibuka.

Saat-saat membosankan telah berlalu.. berganti dengan wajah-wajah penuh harapan baru.
Ada sekitar seratus orang yang semuanya adalah guru yang mengikuti pelantikan.

Murti tidak begitu mendengarkan sambutan dari Bupati dan Kepala Diknas.
Ia lebih suka menunggu dan berharap acara segera berakhir.

Memang kata sambutan itu yang paling lama.. sementara acara acara lain berlangsung cepat..
begitupun dengan penyerahan SK yang sengaja dikebut.

Murti merasa bahagia sekaligus kecewa. Ketika membuka SK.. wajahnya kontan berubah.
Ia memang resmi jadi pegawai negeri.. tapi juga dipindahtugaskan ke sekolah negeri.. bukan lagi di madrasah.

“Kamu juga dimutasi, Aisyah..?” Tanya Murti pada Aisyah.
“Benar, Bu. Mulai besok saya mengajar di SMA 3..″ jawab Aisyah kalem.

“Syukurlah kita masih satu tempat. Rasanya berat sekali meninggalkan madrasah..” kata Murti.
“Saya juga begitu, Bu. Sedih meninggalkan sekolah rintisan Abah. Tapi memang harus ada regenerasi..” jawab Aisyah bijak.

“Kamu benar. Semoga tempat baru memberi kita rejeki baru..” dukung Murti.
“Semoga. Kita berdoa saja, Bu..” Aisyah mengangguk mengiyakan.

Mereka menunggu dengan sabar sampai acara pelantikan bubar. Setelah berjabat tangan memberi ucapan selamat pada semua orang.. Murti dan Aisyah segera keluar dari aula pendopo dan menghampiri Gatot yang masih setia menunggu di bawah pohon.

Bertiga mereka menuju mobil. “Sudah selesai acaranya..?” Tanya Gatot pada Murti.
“Sudah. Aku dan Aisyah mau ke madrasah. Antar ke sana, ya..?” Ajak Murti.

Gatot menatap Aisyah yang masih dibayangi duka.
Ingin rasanya ia menghapus wajah duka itu agar terlihat kembali ceria seperti sedia kala.

Kematian memang menimbulkan duka mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Dan Gatot menghitung kematian Pak Asnawi, ayahnya Aisyah.. telah memasuki hari ke tujuh.

Ia dibayangi ketakutan bahwa suatu saat nanti kejahatan itu akan terbongkar.
Ia takut berhadapan dengan Aisyah bila saat itu tiba.

“Nanti malam terakhir tahlilan ya, Aisyah..?” Tanya Gatot pada Aisyah yang berjalan pelan di sebelahnya.
“Benar..” Aisyah mengangguk.. dia tidak berani menatap Gatot.

”Saya akan senang bila Mas Gatot mau hadir mendoakan abah..” tambahnya.
“Saya ingin sekali datang. Tapi semua tergantung ijin Pak Camat..” jawab Gatot.

Aisyah mengangguk, lalu menoleh pada Murti. “Oh ya, Bu Murti.. saya berniat tinggal di kompleks.
Adakah di sekitar situ rumah yang dikontrakkan..?” Tanyanya sopan.

“Kompleks sudah penuh..” sahut Murti.
”Coba kamu bicara ke Gatot. Siapa tau dia mau menyewakan rumahnya..” tambahnya sambil tersenyum penuh arti.

Gatot menoleh dan memandang Murti. “Apa maksudmu..?” Tanyanya tak mengerti.
“Maksudku.. rumahmu kan sering kosong. Bagaimana kalau kamu sewakan saja..?” Jawab Murti ringan.

“Lalu saya mau tinggal di mana, Mur..?” Tanya Gatot sedikit kesal.
“Ya tinggal di rumahku. Mas Joko sudah lama ingin kamu tinggal bersama kami, Tot..” sahut Murti dengan senyum dikulum di bibir.

“Nggak..” Gatot menggeleng, dengan cepat menolak.
”Saya tinggal di rumah saja..” putusnya.

Beda rumah aja mereka sering melakukannya.
Apalagi kalau satu rumah.. bisa-bisa Murti makin lengket dengannya.. dan ujung-ujungnya Pak Camat jadi curiga.

Gatot tidak mau itu terjadi. Dia masih ingin menikmati tubuh molek Murti sedikit lebih lama..
Kalau bisa memberikan anak kepadanya. Mudah-mudahan saja ..

“Bagaimana kalau saya saja yang tinggal di rumah Bu Murti..?” Tawar Aisyah.. nadanya sedikit penuh harap.
“Bukannya ibu menolak niat baikmu, Aisyah. Tapi ibu dan Pak Camat sudah sepakat untuk tidak menerima wanita di rumah kami..”
tolak Murti dengan halus.

“Tidak apa-apa.. saya bisa paham kok sikap keluarga ibu..” Aisyah mengangguk.. kemudian berpaling pada Gatot..
”Bagaimana kalau saya kos di rumah Mas Gatot saja..?” Tanyanya ragu.

Ganti Gatot yang terkejut mendengar permintaan Aisyah. Ia melihat kesungguhan di balik kata-kata gadis itu.
Mungkin ada sisi baiknya.. ia jadi punya teman ngobrol.

Tetapi Gatot merasa akan lebih banyak sisi buruknya bila sampai Aisyah tinggal serumah dengannya.
Gatot harus menebalkan iman untuk menghadapi kecantikan dan kemolekan tubuh gadis itu..
yang mana ia yakin tidak akan bisa melakukannya.

Belum sehari.. bisa-bisa ia sudah memperkosa Aisyah.
Belum lagi tanggapan warga yang lain.. pasti akan ada pergunjingan dan cemoohan.

“Sebenarnya apa yang membuat Aisyah ingin pindah..?” Tanya Gatot menyelidik.
“Capek mas tiap hari bolak-balik ke Cemorosewu. Kalau kos kan bisa irit waktu dan tenaga.

Bagaimana, Mas Gatot setuju..?” Tanya Aisyah.. ia kembali menunduk saat Gatot menatap wajahnya.

“Saya belum bisa putuskan, Aisyah. Saya harus diskusikan dulu dengan Pak Camat dan Pak RT..” jawab Gatot.
“Secepatnya ya, Mas. Saya tunggu keputusan Mas Gatot..” Aisyah meminta.

Setelah mengantar Murti dan Aisyah ke madrasah.. Gatot pulang ke rumah Pak Camat.
Murti yang menyuruhnya pulang karena ada SMS yang intinya Pak Camat sangat butuh bantuan Gatot.

Sampai di rumah Pak Camat.. ia sudah ditunggu majikannya itu di teras.
Pak Camat tampak sangat rapi.. membuat Gatot bertanya-tanya dalam hati hendak pergi ke mana beliau.

Ia segera menghampiri Pak Camat. “Bapak mau ke mana..?” Tanyanya tanpa berniat usil.
“Tempat biasa..” jawab Pak Camat tanpa beban.

“Tapi kalau Murti tanya, bilang saja aku rapat..” pesannya pada Gatot.
“Baik, Pak..” Gatot mengangguk..

Ia sama sekali tidak boleh melawan perintah Pak Camat meski itu bertentangan dengan kata hatinya.

Merekapun pergi. Gatot tau tempat biasa yang dimaksud oleh Pak Camat.
Tidak begitu jauh dari kompleks.. tepatnya di sebuah kawasan perumahan mewah yang tidak sembarang orang bisa masuk.

Ke situlah Gatot mengantar Pak Camat. Di depan sebuah rumah tingkat yang terletak paling ujung,
Gatot menghentikan mobil, membunyikan klakson dan masuk ke halaman rumah begitu pagar terbuka.

Dengan cepat pula pagar itu kembali tertutup.
Seorang wanita muncul dan tersenyum pada Gatot.. lalu wanita itu menggelayut manja di pelukan Pak Camat.

“Tot, terserah kamu mau ke mana. Tapi jemput nanti jam lima sore ya..”
pesan Pak Camat yang tanpa malu-malu melingkarkan tangan ke pinggul selingkuhannya.. dan meremasnya pelan.
Gatot mengangguk.. “Baik, Pak. Saya pergi dulu..” iapun pamit.. tidak tahan melihat pemandangan itu lebih lama lagi.

Gatot meninggalkan rumah itu.. meninggalkan Pak Camat yang sudah sibuk dengan wanita simpanannya.
Ia bingung mau ke mana.. tapi akhirnya ia putuskan untuk pulang saja ke rumah Pak Camat.

Sepi. Murti belum pulang dan pintu masih terkunci.
Untung Pak Camat memberikan kunci serep.. sehingga ia bisa masuk sesuka hati bagai di rumah sendiri.

Dalam kesendirian itu Gatot teringat semua kejadian yang menimpanya dalam kurun enam bulan terakhir ini.
Sejak bercerai dari istrinya.. Gatot merasa hidupnya berputar bagai yoyo.
Pahit manis kehidupan telah ia jalani dengan beragam perasaan suka duka.. senang sedih.. rindu benci.. dan segudang perasaan lain.

Ia teringat pada mantan istrinya yang berada nun jauh di sana.. di seberang pulau.
Ingin sekali ia kembali ke pulau itu.. pulau yang telah memberinya banyak harapan dan kenangan.

Gatot duduk di teras rumah Pak Camat. Matanya menatap lurus ke depan, ke jalanan yang ramai oleh anak-anak kompleks.
Tapi ia tidak merasakan keramaian itu. Ia terasing di alamnya sendiri.

Gatot memandang foto yang ada di dompetnya. Itu adalah foto Zulaikha.. mantan istrinya.
Tidak secantik dan semontok Murti.. tetapi Gatot sangat mencintainya sepenuh hati.

Dua tahun lamanya membina rumah tangga bersama Zulaikha.. ia belum pernah melihat istrinya itu marah.
Istrinya adalah wanita yang sabar dan rendah hati.. pintar menjaga perasaan dan emosi.

Gatot menyesal kenapa ia harus meninggalkan istri sebaik Zulaikha.
Ia berpikir rasanya tak mungkin lagi bisa menemukan wanita sebaik Zulaikha.

Sayang semua itu kini hanya menjadi memori yang membelenggu jiwa.
Ia ingin mendapat kabar tentang Zulaikha.. tetapi ada rasa ketidakpantasan untuk menelepon mantan istrinya itu.
Gatot menghela napas dan mengusap wajahnya.. mengembalikan foto Zulaikha ke dalam dompet.

Tepat tengah hari Murti pulang. Gatot merasa bersalah.
Gara-gara tertidur di teras.. ia sampai lupa menjemput istri majikannya itu.

Untung Murti tidak marah dan memang tidak pernah bisa memarahi Gatot.. yang ada ia malah menginginkannya.
Murti cuma bisa tersenyum masam sambil menyeka keringat yang menetes di kening.

“Maaf, Mur.. aku tertidur..” kata Gatot jujur.
“Tidak apa-apa. Tapi kenapa tidur di teras..? Mana Mas Joko..? Kamu sendirian di rumah..?”
Tanya Murti cepat.. ada sedikit nada curiga dan penasaran dalam suaranya.

“Tadinya aku berniat cari angin, eh malah ketiduran..” Gatot mencoba untuk tersenyum.
”Pak camat rapat. Tadi aku nganter beliau ke gedung dewan..” jawab Gatot.. hatinya ngilu karena sudah berbohong pada Murti.

“Bukannya bapak libur..?”
Murti bertanya tak percaya.. namun selanjutnya ikut tersenyum mengingat kesempatan langka yang terbuka di depan mata.

”Ayo masuk ke dalam..” ajaknya kemudian.. sedikit terburu-buru.
“Aku di sini saja, Mur..” Gatot mencoba untuk menolak.. Setelah persetubuhan mereka kemarin.. ia masih sedikit lelah.

“Masuk saja. Ada yang mau kubicarakan..!”
Tapi Murti memaksa.. ia sama sekali tidak mau tau alasan Gatot yang menolak untuk masuk.

Ia dengan agak kasar menyeret Gatot dan menutup pintu saat mereka sudah ada di dalam.
Murti terus menyeret Gatot hingga ke kamar. Di situ ia baru membebaskan Gatot.

Pintu kamar telah terkunci dan kuncinya disimpan oleh Murti.. Gatot sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.
Diperhatikannya Murti yang kini mengganti baju muslimahnya dengan baju rumahan.

"Benarkah Pak Camat rapat, Tot..?” Tanya Murti dengan tubuh hanya terbalut BH dan celana dalam.

Gatot tidak langsung menjawab.. ia mendesah dengan mata tak berkedip menatap tubuh molek Murti.
Ia tidak bisa menjawab dengan jelas pertanyaan istri majikannya itu.

Semakin hari pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh Murti semakin datang bertubi tubi..
Semua bernada ketidakpercayaan dan kecurigaan.

“Begitulah, Mur..” jawab Gatot pendek.. suaranya sedikit serak.
“Bohong..!” Murti memotong.

“Terserah kamu, Mur. Tapi memang begitulah kenyataannya..”
Gatot melihat Murti yang kini berjalan mendekatinya.

“Kamu tidak jujur, Tot..!” Tuduh Murti.
”Katakan di mana suamiku sekarang..!” Ancamnya sengit.

“Aku tidak bisa katakan..” Gatot menggeleng..
Sementara matanya tetap lekat menatap tubuh mulus Murti yang kini cuma berjarak sejengkal.

Murti mencopot lagi daster merah kembang-kembang yang baru saja ia kenakan..
berharap dengan begitu bisa lebih mudah mengorek keterangan dari Gatot.

Tubuh sintalnya biasanya selalu berhasil membuat Gatot menyerah.
“Kenapa..? Berapa mas Joko menyuapmu sampai kamu tega membohongiku, Tot..? Mana belas kasihanmu padaku..?” Hibanya pura-pura.

“Maafkan aku, Mur..” Gatot menatap sayu.
”Aku mengasihimu. Tapi aku juga harus menjaga semua yang diamanatkan oleh Pak Camat..” katanya menegaskan.

Tapi itu cuma di mulut.. karena tak urung penisnya mulai bangkit juga melihat provokasi Murti yang kelewat berani.

Wanita itu sekarang sudah mencopot BH hitamnya..
membuat Gatot bisa melihat dengan jelas tonjolan buah dadanya yang ranum dan indah.

“Jujurlah demi aku, Tot..” Murti meminta. Digoyang-goyangkannya benda itu tepat di depan muka Gatot..
membuat Gatot makin melongo dan bertekuk lutut.. tak tau harus berbuat apa lagi.

Gatot menggeleng untuk yang terakhirkali saat Murti merangkul dan menempelkan tonjolan buah dada itu tepat di mukanya.
Keduanya segera larut dalam pelukan bisu.. namun penuh dengan gairah.

Keduanya hanyut dalam gelombang nafsu.. yang meski begitu besar dan menggelora..
tetap membuat Gatot ragu untuk berkata sejujurnya mengenai sepak terjang Pak Camat yang sudah kebablasan.

Setelah menunggu lama.. dan Gatot tetap diam.. Murti akhirnya mendesah.
Ia memang ragu pada kesetiaan suaminya yang dirasa makin luntur dari hari ke hari..
namun sepertinya keterangan itu tidak bisa didapatnya dari Gatot hari ini. Mungkin lain kali.

Yang bisa diberikan Gatot saat ini cuma kehangatan.
Murti bisa melihatnya lewat penis laki-laki itu yang kini sudah mengacung tegak dalam genggaman tangannya.

“Sampai kapan jiwa kita terbelenggu seperti ini, Mur..?”
Bisik Gatot lirih sambil mulutnya mulai mengisap dan menciumi puting Murti satu per satu.

”Ahh..” sedikit menggeliat.. Murti menjawab..
“Mungkin sampai detak jantung kita berhenti, Tot..” balasnya berbisik.

Tubuh sintalnya cuma dibalut oleh celana dalam.. tapi tak lama benda itupun juga melayang..
membuat Murti benar-benar telanjang bulat seperti bayi yang baru lahir sekarang.

Gatot tidak pernah menang bila sudah berhadapan dengan Murti yang seperti ini.
Ia menyerah dengan begitu mudah dan kalah dalam satukali serangan.

Hati nuraninya memang bilang ini tidak boleh dan sangat dilaknat oleh Tuhan..
Tetapi Setan lebih berani.. dengan berkata bahwa keintiman yang dijalaninya bersama Murti adalah sesuatu yang sah dan wajar.

Gatot tak tau mana yang benar. Yang ia tau cuma dahaga batin Murti harus terpenuhi.
Dan hanya ia yang bisa memenuhinya. Toh Murti juga sama sekali tidak merasa tersakiti.. malah seperti menikmati.

Dengan sigap dia menurunkan celana panjang Gatot.. juga celana dalamnya hingga Gatot jadi sama-sama telanjang sekarang.
Kejantanan Gatot yang sudah mengeras dan menegang tajam langsung digenggamnya dengan begitu erat..
terlihat sangat mengagumi dan menyukainya.

”Hmm..” Murti mulai menjilat dengan sangat lembut..
Dimulai dari ujung hingga pangkal kejantanan Gatot.. seakan ingin memanjakannya.

Tak sesenti pun kejantanan Gatot yang tak tersapu oleh lidahnya yang mahir itu.
Murti juga mengemut-ngemut kantong pelir Gatot dengan gemasnya.. bahkan dia tak sungkan menjilati lubang dubur Gatot.

Mungkin karena didorong oleh perasaan cemburu pada Pak Camat..
kenikmatan yang diberikan oleh Murti pada Gatot jadi sangat total dan berlipat ganda.

Gatot jadi melenguh keenakan saat menikmatinya, ini sungguh di luar perkiraannya.
”Mur, uuh.. enak sekali. Terus jilat punyaku, Mur.. arghh..!!”
Gumam Gatot dengan tubuh bergetar pelan. Jarang-jarang Murti mau mengulum penis dengan begini telaten.

Murti semakin ganas mengisap kejantanannya.. benda itu terus keluar-masuk di mulutnya..
Dari sisi kanan bergerak ke sisi kiri.. menggesek susunan gigi dan lidahnya yang basah.

Kenikmatan yang dirasakan oleh Gatot sungguh luar biasa.. tidak dapat ia ungkapkan dengan kata-kata.
Ngilu.. geli.. nikmat.. semua bercampur menjadi satu.

Hingga akhirnya pangkal penis Gatot terasa berdenyut kencang..
ingin menembakkan apapun yang sudah sejak tadi berusaha ia tahan-tahan.

“Mur, aku mau keluar..” rintihnya sambil menahan batang penis di dalam mulut Murti.
Tanpa bisa menolak..
Murti hanya bisa pasrah saat Gatot memuncratkan seluruh spermanya di dalam mulut mungilnya yang berbibir tipis itu.

Croot.. croot.. croot… tidak ingin muntah dan tersedak.. iapun lekas menelan semuanya hingga tak tersisa.
Murti juga membersihkan sisa-sisa sperma yang masih terlihat meleleh dari lubang kencing Gatot dengan menjilatinya sampai puas.

Bagaikan wanita yang kehausan di tengah padang gurun pasir..
Murti menyapu seluruh batang kejantanan Gatot dan menelan semua cairannya tanpa ragu.
”Ahh.. Mur..” Gatot dengan lemas berguling ke sisi kiri.. ia rebahkan tubuhnya yang sudah lunglai itu di sebelah Murti.

”Tot, aku belum dapat lho..” ingat Murti.. ”Aku pengen nih..”
pintanya memelas sambil terus mengelus-elus penis Gatot yang kini sudah meringkuk dan melemas gemas dalam genggaman tangannya.

”Iya, Mur, kamu pasti dapat kok..” janji Gatot.
”Tapi aku istirahat dulu ya..” ia tarik Murti ke dalam pelukannya dan diciuminya dengan mesra.

”Aku pengennya sekarang, Tot..”
Murti menggeliat.. tapi tak urung mendesah juga saat jari-jari nakal Gatot mulai meremas-remas pelan gundukan payudaranya.

”Tapi punyaku masih lemes, Mur..” Gatot berkata malu.
”Aku jilatin lagi biar cepet bangun..” sahut Murti penuh semangat.

”Terserah kamu saja.. yang penting punyaku bisa kaku lagi..”
Tanpa menjawab.. Murti dengan cekatan segera mengambil posisi.

Kepalanya kini tepat berada di atas penis Gatot. dan kembali mengisap-isapnya dengan begitu rakus dan cepat.
Segala upaya ia lakukan.. mulai dari membelai ujungnya yang tumpul hingga melumat habis biji pelirnya yang bulat kembar.

Tak lama.. penis Gatot pun sudah kelihatan basah oleh air liur Murti. Dan tak cuma itu.. benda itupun juga mulai kaku dan menegang.
Merasa usahanya berhasil.. Murti semakin mempercepat temponya.

Alhasil kejantanan Gatot kembali mencuat dan mengeras dengan gagahnya, siap untuk bertempur kembali.
“Sudah, Tot. Ayo cepat lakukan..!” Seru Murti saat melihat batang penis Gatot sudah menegang maksimal.

Gatot yang juga sudah sabar ingin menerobos masuk dan mengaduk-aduk isi memek Murti.. memberi aba-aba pada Murti agar bergerak.
”Kamu di atas..” bisiknya.

Dengan sigap Murti menggenggam batang penis Gatot dan menuntun untuk menyentuh lubang vaginanya yang sudah basah sedaritadi.
Penis Gatot ia gesek-gesekkan terlebih dahulu di bibir memeknya.. sesekali dibiarkannya membelah gemas..

Hingga slebbb.. perlahan batang penis itu mulai menerobos masuk saat Murti mulai mendudukinya pelan.
”Erghh..” rintih Gatot saat seluruh batang penisnya sudah terbenam di liang kewanitaan Murti.

Goyangan pinggul istri Pak Camat itu juga membuatnya nikmat sekali.. begitu lihai dan sangat menggairahkan.
Semakin lama semakin kencang.. hingga mau tak mau Gatot jadi makin melenguh nikmat dibuatnya.

”Pelan-pelan, Mur. Bisa patah punyaku..!” Sela Gatot sambil meremas-remas gundukan payudara Murti kuat-kuat.
Tapi seperti kesetanan.. Murti tidak menghiraukannya.

Bongkahan pantat semoknya terus bergoyang liar mempermainkan batang penis Gatot yang masih terbenam dalam liang nikmatnya.
”Uuh.. Tot, punya kamu perkasa sekali. Nikmat.. beda dengan punya suamiku..”
bisik Murti dengan mata merem melek menikmati hujaman penis Gatot di liang senggamanya.

”Punya kamu juga enak, Mur..” balas Gatot.
”Rasanya punyaku jadi seperti dipijit-pijit.. kamu apakan sih, kok bisa enak gitu..?” Tanyanya penasaran.

”Ahh.. mau tau aja kamu..! Gak penting aku ngapain.. yang penting kita bisa sama-sama enak..”
sahut Murti sambil menggoyang semakin cepat.

”Cepat, Tot, aku sudah mau keluar.. ooh..!” Serunya sambil menengadahkan kepala ke atas.
Bersamaan dengan itu Gatot merasakan ada semburan cairan hangat yang sangat banyak sekali dari lubang kewanitaan Murti.

Istri Pak Camat itu sudah mencapai orgasmenya.
Dengan lunglai Murti ambruk merebahkan tubuhnya yang telanjang tepat di atas badan Gatot.

”Tahan, Mur.. aku juga sudah hampir..!!”Seru Gatot sambil menyuruh Murti mengangkat pantatnya sedikit.

Masih dengan posisi women on top..
kembali ia menyodok-nyodokkan penisnya dengan beringas ke dalam liang kewanitaan Murti yang sudah basah kuyup.

”Tot, ini yang aku suka dari kamu.. kuat sekali.. tidak seperti suamiku.. aah.. aah.. uhh..” erangan demi erangan keluar silih berganti dari bibir tipis Murti.. bersama dengan keringat yang semakin mengucur deras di sekujur tubuh sintalnya.

Kata-kata Murti itu membuat darah muda Gatot semakin panas membara, sekaligus semakin membuatnya terangsang.

”Ehm.. aku juga suka tubuhmu, Mur.. nikmat sekali..!”
Seru Gatot lagi dengan nafas menderu.. karena nafsu birahinya sudah semakin memuncak.

Gerakan kontolnya juga semakin mengencang.. mungkin seusai pertempuran ini memek Murti akan lecet-lecet karena sodokannya.
Tapi tidak apa-apa.. yang penting mereka sama-sama puas sekarang.

Merasa sebentar lagi akan keluar.. maka Gatot segera membalikkan posisi tubuh Murti ke bawah..
tanpa harus melepaskan batang penisnya yang sudah tertanam rapi di liang kewanitaan istri Pak Camat itu.

”Lanjut ya, Mur..?” Pinta Gatot sambil membuka lebar-lebar selangkangan Murti dan kembali memompa tubuhnya.
”Lakukan, Tot, lakukan..!” Jerit Murti..

Dalam posisi seperti ini.. terasa sekali milik Gatot seperti menyentuh hingga ke mulut rahimnya.
Setiap hujaman yang Gatot berikan.. maka erangan Murti yang tertahan terdengar semakin mengeras.

Sampai akhirnya denyut-denyut nikmat yang sudah dirasakan oleh Gatot terasa semakin menghebat.
Bagaimanapun Gatot berusaha untuk menahannya.. rasa itu tetap semakin menjadi.

Hingga saat tak dapat ditahan lagi.. akhirnya.. ”Mur, aku mau keluar..” rintih Gatot.
”Jangan dicabut.. keluarkan di dalam saja.. tidak apa-apa. Jangan sia-siakan sperma kamu.. siapa tau aku bisa hamil karenanya..!”
Seru Murti penuh harap.

”Arghh..!!!” Menjerit sedikit kencang.. crott.. crott.. crott.. crott.. crott..
Gatot pun memuncratkan spermanya di liang senggama Murti.

Bagi Murti.. semprotan sperma di liang kewanitaannya terasa begitu nikmat sekali.
Berbeda dengan milik suaminya yang biasanya cuma sedikit.. cairan Gatot terasa sangat panas dan banyak..
terasa meluncur hingga ke mulut rahimnya. Murti yakin.. ia akan bisa hamil karenanya.

Ketika Gatot mencabut penisnya..
tampak beberapa tetes cairan putih ikut mengalir keluar secara perlahan-lahan dari sela-sela belahan bibir vagina sempit Murti.

”Terimakasih, Tot..” ucap Murti sambil merebahkan dirinya yang lemas terkuras akibat pertempuran yang membawa kenikmatan ini.
”Aku yang terimakasih, Mur. Kamu sudah memberikanku kenikmatan yang tidak setiap orang bisa mendapatkannya..”
balas Gatot.. tangannya kembali meraih gundukan payudara Murti dan meremas-remasnya pelan.

”Aku juga merasa beruntung, Tot. Banyak gadis yang mengejarmu.. tapi cuma aku yang bisa merasakan kejantananmu..”
sahut Murti sambil membelai mesra penis Gatot yang sudah terkulai lemas.

”Awas, Mur.. nanti bangun lagi lho. Apa kamu kuat meladeninya..?”
Goda Gatot sambil memilin-milin puting Murti yang mungil seperti wanita yang belum menikah.

”Iihh.. kamu kuat banget sih..? Bisa mati aku kalau kamu hantam lagi seperti tadi..” Murti merajuk.
”Hahaha.. habisnya tubuhmu sungguh menggiurkan..” sehabis berkata begitu.. Gatot tiba-tiba terdiam.

”Kenapa, Tot..?” tanya Turti bingung.
”Aku tidak ingin kehilangan kamu, Mur..” bisik Gatot sungguh-sungguh.

“Bagaimana kalau kamu menikahiku di bawah tangan..?” Tawar Murti.
“Itu takkan menghapus dosa kita, Mur..” ucap Gatot.

“Kalau begitu biarlah gelimang dosa ini kutanggung sendiri..” kata Murti yakin.
Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.

Ia meneliti setiap inci tubuhnya dan tertawa sendiri.
“Bukankah aku masih segar..?” Katanya di sela tawa yang tak kunjung berhenti.

“Adakah yang lebih segar hingga Mas Joko tak lagi ingat aku..?” Katanya lagi.
“Tidak ada siapapun di hati Pak Camat, Mur. Dia hanya sibuk dengan tugasnya..” jawab Gatot.

Murti tertawa semakin keras.. sampai tubuhnya terguncang-guncang, begitu pula dengan pembaringan yang bergoyang.
Gatot hanya bisa memeluk dan mendekap Murti.

Dan tak lama kemudian.. mereka menyatu lagi dalam kobaran api birahi yang tak kunjung padam.
-------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd