Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Kompilasi] Rumput Tetangga 'Nampak' Selalu Lebih Hijau.. (CoPasEdit dari Tetangga)

-------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 01

Sebuah desa kecil di Jawa..
beberapa belas kilometer dari batas dua propinsi, sudah lewat tengah malam.
Tak ada bulan, sedikit bintang. Terlalu gulita. Teramat sepi.
Dingin menyeruak ke dalam daging, menerobos tulang. Rerumputan berbasah embun.

Sepotong jari bergerak cepat.. lewat dari belakang telinga ke bagian kanan depan..
Dari sepasang mata yang menyorot tegang. Beberapa pasang kaki bergerak perlahan.. tanpa bunyi.
Sejumlah bayangan hitam menerobos perdu-perdu liar.. tanpa bersuara.

Lalu dipecahkan.. “Sudah dekat. Kurangi nyala obor..! Sebagian kecilkan, sebagian matikan..”
Terdengar seutas suara berat memerintah. Wajah orang itu bercoreng moreng jelaga hitam.

Embusan nafas yang kuat, tapi perlahan menghempas mati dua nyala obor.
Beberapa jemari kemudian sibuk memetik daun segar..

Kemudian membuat semacam dinding di sekeliling obor yang masih menyala.
Daun itu diikat oleh akar-akaran di sekeliling bibir obor agak ke bawah, agar tak jatuh tertiup angin.

Cahaya kini redup. Api obor seperti berkelojotan di lingkung daun basah. Sinar obor hanya menyembur ke atas..
Bebareng dengan jelaga yang menjilati pinggiran daun pelindung nyala obor.

“Lekas..!” Suara berat itu terdengar lagi.. dengan kelebat jari..
Yang memerintahkan agar orang-orang di belakang maju lebih cepat.

Semua orang itu, juga berwajah coreng moreng jelaga. Nyaris tak tersisa warna rautnya.
Bahkan.. ekspresi yang sedikit tegang, rapi tersembunyi di balik belepotan warna arang itu.
Kini.. sekitar 50 tapak di depan, sebuah rumah joglo besar berdinding kayu terpampang dalam remang.

Secuil cublik –lampu minyak tanah, biasanya terbuat dari kaleng bekas dan sumbu terbuat dari kain perca..–
yang digantung di tiang melintang.. hanya mampu membuat orang tau ada pintu persis di dekat lampu minyak itu.
Namun tak cukup terang untuk menjelaskan warna pintu itu.

“Di mana kamarnya..?” Seseorang berbisik.
“Di ruas kanan, agak ke tengah..!” Seseorang menjawab, tak kalah lirih.

Mata si penanya seperti elang mengibas ke kanan. Tampak tajam di balik baluran jelaga.

Segera tiga orang mengendap ke ruas kanan.. sementara satu yang lain mengawasi dari kejauhan..
dengan obor berdinding daun yang tak habis-habisnya menyemburkan jelaga.

“Jendela terkunci..” desis seorang yang mengendap persis di bawah kamar di ruas kanan tengah.
“Congkel. Tapi, jangan ada bunyi..!” Ujar salah seorang yang sedari tadi bertugas memberi perintah.

Sepotong linggis kemudian merangsek pinggiran jendela. Tak banyak derak terdengar.
Orang yang memegang linggis melongok ke dalam, lewat jeruji kayu yang memalang-melintangi jendela.
Matanya menyapu ruang dalam.

“Ada orang. Tapi bukan dia..!” Seru pemegang linggis itu pelan.
“Bukan dia..? Lalu siapa..? Tak mungkin ada orang lain di rumah ini. Perhatikan baik-baik sekali lagi..!”
Kata si pemberi perintah.

Pembawa linggis dan seorang lagi melongok. Ia membuka sedikit daun pelindung nyala obor.
Jelaganya bertebaran ke dekat wajah. Cahaya lebih terang terhantar ke dalam ruang.

“Sini kulihat..” si pemberi perintah menyingkirkan bahu pembawa linggis dan melongok sendiri.
Matanya melotot.
“Bukan dia..!” Gelegarnya lirih.
“Lalu siapa..?”

“Seperti bukan orang dari daerah ini. Pakaiannya bagus, berwarna-warni.
Ada tas besar berwarna-warni pula di sebelahnya. Ia tidur pulas..” jawab seorang.

“Bagaimana ini?” Si pemberi perintah berpikir sebentar.
“Biarkan dia. Tutup kembali jendela. Yang kita cari pasti berada di kamar lain.
Kita masuk lewat pintu belakang. Tutup lagi obormu, tolol..!”
Cepat seorang yang terlanjur mengupas daun pelindung obor membetulkan lagi daun itu.

Si pemberi perintah kembali mengumbar perintah.
Kali ini ia memimpin di depan berjalan mengitari rumah ke arah belakang.
Gemerisik kaki menerjang rumput basah.

“Pintu belakang tak terkunci..” si pembawa linggis berseru lirih.
“Langsung masuk..” pemberi perintah mendesah.

Pintu mengeliat sedikit, gesekannya menimbulkan lengking kecil.
Keempat orang itu masuk satu per satu tanpa suara.

“Kasih lampu..!” Pemberi perintah menyalak lagi, pelan.
“Periksa kamar itu..” telunjuk pemberi perintah mengarah ke depan.

Delapan lonjor kaki bergerak ke arah telunjuk itu.
“Itu dia..!” Pembawa linggis mendesis, “Orangtua yang kita cari ada di sini..”

Pemberi perintah merangsek maju.. mengamati sejenak sosok yang teronggok di bale-bale kayu..
dengan penerangan lampu cublik yang sama redupnya dengan cublik di depan rumah.

Tanpa suara.. ia kemudian mendekati sosok itu; sesosok renta yang jelas-jelas nampak tua..
dengan tulang pipi yang menonjol seperti gunung dan pipi seperti lembahnya.
Rambutnya putih, matanya cekung dan nafasnya berat. Tidurnya sangat pulas.

Pemberi perintah menarik nafas. Kumisnya berdiri, nyaris sama tegang dengan sorot matanya yang melotot.
Secepat kilat tangan kanannya bergerak menjemba kerah kain dril baju orangtua itu.

“Bangun, peot..!” Berangasan sekali suara itu. Orang tua itu tergagap. Matanya berkedip-kedip.
Nafasnya seperti mau putus. Tak langsung kesadarannya pulih.

Tak pernah sebelumnya ia bangun dengan cara semendadak itu.
Lama sekali ia mampu membaca situasi sekelilingnya. “Aaaa.. apa ini.. siapa.. kalian..?”
Gagap mulut tua itu berkata-kata.

Pemberi perintah memandangnya dengan sorot mata kejam.
Ia memberi orangtua itu jawaban dengan sebuah hempasan ke bale-bale, dengan bunyi gedebuk cukup keras.

“Cepat katakan, tua bangka, di mana kau simpan bukti-bukti itu..!?” Hardik pemberi perintah.
“Apa yang kau.. bicarakan..?” Orang tua itu merintih.

“Bukti itu..!” Si pemberi perintah mendekatkan wajahnya ke wajah orangtua.
“Bukti yang sudah kau simpan bertahun-tahun itu. Berikan padaku..!” Gemeletuk gigi si pemberi pemerintah..
dengan ludah membuncah, menciprat di wajah renta.

Orang tua itu berusaha beringsut bangkit. Tapi cepat sebatang besi menghantam dadanya.
“Aduh biyung! A-apa ini.. ” kakek itu merintih. Dadanya bergetar.
Tak terkira rasa sakit linggis yang menghantam tulang tua itu.

“Cepat katakan. Kalau tidak, kuobrak-abrik seluruh isi rumah ini! Aku tidak sabar lagi..”
“Aku.. sung.. guh tak paham.. maksudmu. Mengapa.. malam-malam.. kau yang gagah ini masuk rumah orang tua..
untuk mena..nyakan sesuatu yang aku tidak tau..” masih merintih orang tua itu..
dengan kedua belah tangan mendekap dada. Hidungnya bersusah payah memompa udara.

“Tua bangka banyak mulut..!” Pemberi perintah meraih kepala kakek itu dan tanpa belas kasihan..
Lalu membenturkan kepalanya ke dinding kayu. Bunyi tulang tua membentur dinding demikian memilukan.

Orang tua itu melolong-lolong.. “Ampuuuuun.. Gusti.. ada apa.. iniiiiii..!?”
“Bukti itu..! Bukti itu..! Lekas berikan padaku..!” Gelegar suara pemberi perintah membahana.
Lupa sudah bahwa ia seharusnya menjaga agar suaranya tak menimbulkan gaduh.

Kepalan tangannya yang seberat palu godam melibas kepala renta.
Orang tua itu terjengkang dan nyaris terlempar dari tempat tidur. “Ampuuuuuuunnn..! Biyuuuuuuung..!”

“Kubunuh kau.. kubunuh sekarang juga kau. Dan kubakar rumah ini..!”
Kembali suara berat dan keras menggelegar. Ia menyambar linggis dari tangan pembawa linggis.

Kini ia adalah seorang pemberi perintah dan pemegang linggis, dengan ancaman kejam di bibirnya.
“Ayo bicara! Ayo..!” suaranya lantang, linggis tergenggam mantap di tangan.
“Guuuuustiiiiiiiiiiii..!”

“Modar kau, tua bangka..!” Berayun tangan berlinggis itu.
“Kang..! Terlalu gaduh..! Bisa didengar orang..” seorang dari empat orang itu memperingatkan.

Bersamaan dengan itu, sebuah bayangan, dalam pakaian warna-warni berkelebat mendekat.
Tak percaya ia melihat empat orang gagah berpakaian serba hitam..
sedang bersiap mengakhiri nyawa seorang kakek tua.

“Hentikan..!” Sebuah suara menerabas.
Cepat keempat orang gagah berbusana hitam itu mendengus sumber suara.

“Siapa kalian..? Kenapa menyerang orangtua tak berdaya..?”
Hardik orang muda berjaket cerah, yang muncul dari ruang dalam. Sebuah cublik di tangan.

Tak banyak cakap, secepat angin, tiga orang berbaju hitam bergerak menerjang sang pemuda.
Paham ia tak mungkin meladeni tiga orang besar yang beringas itu..
ia berlari ke dalam dan menerobos pintu tengah.

Sekuat tenaga ia membanting pintu.. dan tak menyia-nyiakan waktu memasang palang pintu.
Sekuat tenaga pula ia menghambur ke pintu depan dan berteriak..

“Rampoooook.. maling.. bajingan.. tolong.. rampok.. pembunuhan.. rampoooooooook..!!!”
“Celaka, kang..! Orang kampung bisa bangun..!” Satu dari empat orang itu mulai panik.

“Lari.. lari, menyebar..!” Ini perintah terakhir yang disampaikan sang pemberi perintah.
Selanjutnya ia sendiri segera berlari keluar rumah dan menghilang dalam gelap menyusul yang lain-lain.

Gedebuk kaki masih terdengar. Linggis dilemparkan ke lantai tanah.
Menghantam obor yang masih menyala. Jelaga obor membalut ujung linggis.

Tak lama kemudian.. gedebuk orang tiba-tiba makin banyak. Kelap-kelip obor serentak mengitari rumah.
Sang pemuda terengah-engah memimpin orang kampung masuk rumah.

“Si mbah dianiaya empat orang berbaju hitam. Periksa kamar belakang..!”
Berlarian orang-orang itu menyerbu rumah. Sang pemuda terduduk. Nafasnya tersengal-sengal.

Orang-orang sibuk mengurus si mbah. Dua orang bergegas ke luar untuk menjemput Pak Mantri.
Lalu terdengar pula perkataan bahwa ada darah bertebaran di sarung bantal.

Rumah si mbah mendadak ramai dan sibuk dinihari itu. Tapi sama sekali tak tak terdengar rintihan si mbah.
-----ooOoo-----

Desa Kemiren membisu.
Punggung-punggung bukit bertebaran seperti potongan sabut kelapa yang berserak telungkup.
Rembang terang sinar mentari pagi menyirami separuh punggung-punggung bukit.

Kadang gumpalan transparan kabut menyelam ke lembah-lembah kecil di lingkung bukit..
kadang terlihat menyelinap di gugusan pucuk pepohonan.

Lewat bias matahari yang menikam bumi Kemiren.. bisa dipastikan langit akan cerah sepanjang hari ini.
Awan menyingsing jauh. Langit terbentang lebar.

Bayang-bayang ufuk timur berkilau di sungai yang airnya berhenti mengalir di sela-sela perbukitan.
Begitu manis dipandang. Tapi wajah Kepala Desa Asromo pagi itu benar-benar berkurung mendung.

Matanya menatap tajam ke perbukitan yang masih bersalut kabut.
Kerut-kerut di wajahnya bergetar perlahan dan bibirnya tegang.

Jari-jari Asromo mencengkeram erat pinggiran jendela.
Tak ia hiraukan angin dingin mengusik kerah seragam Kepala Desa yang sepagi itu sudah ia kenakan.
“Benar-benar keterlaluan. Amat keterlaluan..” Asromo mengatupkan gigi..

“Nyaris tak percaya aku ada manusia tega menyerang orang tua tak berdaya.
Apa mereka tidak tau siapa mbah Parto Sumartono..?”
Asromo bicara, nyaris pada dirinya sendiri, karena terlalu pelan ia bersuara.

Bu Lurah yang sedari tadi sibuk di meja, mendekat.. “Habiskan dulu kopimu, pak..!” Cangkir kopi tersodor.
Asromo menerima cangkir kopi dan meneguk habis sisa kopi yang masih terasa hangat.

“Bagaimana mungkin berita itu cepat tersebar..?”
Gumam Asromo, belum selesai dengan kalimatnya yang beraroma kecewa.

“Berita apa to, pak..?” Sergah istrinya. Bu Lurah perlu ikut bicara, sebab sedari tadi ialah yang merasa diajak bicara.
Sangat tak enak bila tak sepatah katapun tertimpal untuk gumam-gumam suaminya itu.

Asromo menoleh, tapi tak menjawab. Bu Lurah tak bertanya lebih jauh. Ia tau betul adat suaminya.
Kalau Asromo tak menjawab sebuah pertanyaan, itu berarti Asromo tak suka berbagi informasi dengan istrinya.

Bu Lurah mengibaskan taplak meja dan menyibukkan diri.
Ia maklum di benak suaminya ada setimbun masalah dan ia bakal sibuk luar biasa hari ini.

Jauh sebelum subuh tadi.. Gimun, staf kantor desa, menggedor rumah..
mengabarkan ikhwal peristiwa di rumah si mbah tengah malam lalu.
Sebentar lagi, seluruh staf desa berkumpul untuk sebuah rapat darurat membahas peristiwa semalam.

“Lagi, kopinya..?” Bu Lurah bersuara pelan, takut kalau-kalau tawaran itu dibalas bentakan.
Asromo menggeleng.. “Mereka sudah datang..” Mata Asromo terlempar ke depan.

Tiga orang berseragam staf desa berjalan tergopoh di jalan setapak yang berhias berbagai bunga di kanan kiri.
Asromo segera mengisyaratkan agar tiga tamu itu langsung menuju ke balai desa, tak jauh dari rumah tinggal lurah.

“Aku ke kantor, Bu. Kalau yang lain datang, suruh langsung ke balai desa..” Asromo menyambar rokok..
kemudian melangkah cepat ke bangunan beberapa meter di sebelah kanan rumah.
Empat staf desa lain yang baru datang bergegas membuntuti Asromo.

“Di ruang dalam saja..” Asromo menunjuk ruang kerjanya begitu mereka sampai di pendopo kecil yang terawat rapi.
Tujuh orang itu segera berjejal masuk ruang kerja lurah yang teramat sempit.

“Siapa yang belum datang..?” Tanya Asromo menyapukan pandangan dari tempat duduk.
“Murjito, Hamdani dan Gimun. Gimun masih menjemput mahasiswa itu..” jawab salah seorang.

“Oh ya, siapa nama mahasiswa yang tinggal di rumah mbah Parto itu..?” Tanya Asromo. “Aku lupa namanya..”
“Rio.. Rio.. siapa gitu. Nama belakangnya sulit..” jawab Karman, sekretaris desa.

“Ya, sudah. Nanti sekalian minta fotokopi KTP dan kartu mahasiswanya. Di mana dia sekarang..?” Tanya Asromo.
“Di rumah Si Mbah, menunggui Pak Mantri merawat Si Mbah..”

Asromo tercenung sejenak. “Kita tunggu yang lain saja. Huh, dinginnya..”
Asromo menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.

“Jo, tolong kau mintakan ibu kopi buat semua yang hadir..”
Asromo memerintah Harjo, staf desa yang paling muda. “Baik, Pak..!”

Harjo berlalu cepat ke arah rumah Asromo. Langkahnya ringan dan bergegas.
Setiap diminta pergi ke rumah, Harjo tak pernah menunjukkan rasa enggan.

Entah kenapa.. ia suka sekali kalau harus bicara dengan Bu Lurah.
Menurut Harjo.. wanita yang usianya jauh lebih muda ketimbang Pak Lurah itu..
benar-benar wujud wanita yang menarik hati.

Pernah terbersit dari mulut Harjo.. Bu Lurah itu rautnya anggun.. bibirnya seperti delima merekah.
Rambutnya tebal.. alisnya menawan dan tubuhnya terlalu indah untuk wanita seusia 37 tahun.

Harjo juga sering rasan-rasan.. kulit Bu Lurah begitu bersih.. kencang dan amat cerah.
Dan lagi —masih menurut Harjo— Bu Lurah itu orangnya sangat telaten..
dan tampak penyabar dalam menangani segala sesuatu.

Pendopo kelurahan yang dulu kurang terawat.. kini tampak rapi dan necis berkat sentuhan tangan Bu Lurah.
Kembang beraneka warna di sekeliling lantai pendopo, adalah hasil tangan dingin Bu Lurah.

Dulu.. Harjo suka ceplas-ceplos melontar kekagumannya pada Bu Lurah.
Untung puja-puji Harjo buat Bu Lurah segera dipatahkan rekan kerjanya.

Teman-teman sering mengingatkan.. tak baik ngomongkan keelokan istri Pak Lurah secara terang-terangan.
“Kalau Pak Lurah tau.. bisa dibayangkan betapa repotnya engkau menyembunyikan rasa malumu..”
Demikian kawan-kawan menasehati.

“Nuwun sewu, Bu. Bapak minta kopi buat peserta rapat..”
Harjo membungkuk sopan begitu mendapati Bu Lurah sedang menuang air panas ke dalam teko.

“Sedang saya buatkan, Jo..! Nanti saya suruh Marni mengirim ke sana. Sudah datang semua, to..?” Tanya Bu Lurah.
“Belum semua, Bu..” jawab Harjo, waspada sekali matanya mengawasi tengkuk langsat Bu Lurah.

Sepertinya.. seluruh jiwa raga Harjo pagi itu disalurkan hanya untuk menatap Bu Lurah.
Harjo juga tampaknya waspada untuk segera memalingkan wajah..
kalau mendadak Bu Lurah memergoki sedang menatapnya.

“Kamu ke sana saja dulu, biar nanti Marni yang kirim..” ujar Bu Lurah, tanpa menoleh.
“Saya tunggu saja, Bu. Rapat belum dimulai, kok. Lagipula, saya yang disuruh bawa kopi itu oleh Pak Lurah..”
Harjo rikuh.. tapi menampakkan hasrat ingin dipersilakan duduk.

“Ya, sudah kalau begitu. Duduklah dulu..” kata Bu Lurah.
“Nggih..!” Harjo mengambil tempat yang tak dibelakangi Bu Lurah..
Ya.. agar leluasa ia memperhatikan raut wanita yang dikagumi.

Sembari duduk.. tak habis-habisnya ia terpesona oleh bibir Bu Lurah..
saat wanita itu sedang mencicipi kopi di ujung sendok.
Mudah ditebak apa yang sedang dibayangkan Harjo saat ini.

Begitu Bu Lurah memindahkan sejumlah gelas dari meja ke baki, cepat Harjo mengulurkan tangan membantu.
Ia sangat berharap ada keajaiban yang menggerakkan tangan Bu Lurah menyentuh tangannya, meski tak sengaja.

Tapi keinginan Harjo tak terpenuhi. Gelas-gelas itu cepat sekali berpindah..
Dan tak sekalipun tangan Bu Lurah lebih dekat dari setengah meter dari tangan Harjo.

“Nah, bawa sana..! Tekonya sekalian, barangkali ada yang mau nambah..” Bu Lurah meletakkan teko di atas baki.
Harjo meraih pegangan baki dan melempar senyum.

Saat itulah ia memperhatikan baju kaus ketat Bu Lurah..
yang menonjolkan bulatan buah dadanya yang lumayan besar.

Hmm.. dan rok tipis sepaha itu.. seolah-olah bila kakinya terbuka sedikit lebih lebar..
maka Harjo dapat melihat celana dalamnya.

“Ayo, kamu nunggu apa..?” Tegur Bu Lurah sambil membereskan toples gula.
Harjo tidak menjawab.. hanya matanya terus mengikuti ke manapun perempuan itu bergerak.

Dengan imajinasinya, ia seolah-olah bisa mengintip isi rok Bu Lurah.
Sapuan matanya menyapu tubuh montok itu dan tak sadar mulai melamun..

Sampai tiba-tiba Bu Lurah menegurnya. “Kamu lihat apa, Jo..?”
Harjo terkaget-kaget di tempat duduknya menatap wajah cantik Bu Lurah yang kini memandangnya..

“A-apa, Bu..? Ah, enggak..” Bu Lurah tersenyum..
Lalu gerakan matanya menunjuk ke sesuatu di antara kedua kakinya yang jenjang.

“Dari tadi kamu noleh ke sini terus..!?“ Betapa malunya Harjo saat ditembak langsung seperti itu.
Mukanya makin memerah.. apalagi saat Bu Lurah mendekatkan diri kepadanya dan berkata..
“Kamu berusaha lihat dalemanku, ya..?”

Harjo yakin.. mukanya sudah semerah kepiting rebus sekarang. Dan Bu Lurah menambahkan..
“Warnanya coklat muda, kalau kamu pingin tau..” kata perempuan itu sambil tersenyum manis.

Harjo makin tak berkutik. Diam dia memperhatikan Bu Lurah yang sedikit membuka kakinya..
sambil mengedipkan sebelah mata. Harjo tergagap. Matanya nanar menatap rok Bu Lurah yang terdapat celah.

Bila dia maju sedikit, pasti bisa langsung melihat celana dalam yang katanya coklat muda itu.
Bu Lurah tertawa geli melihat raut rikuh Harjo. “Belum pernah lihat celana dalam perempuan ya..?”
Harjo menggeleng pelan.

“Pengen tau..?” Bu Lurah tersenyum nakal. Dan Harjo langsung mengangguk.
Bu Lurah tertawa. “Tapi nanti dimarahi Pak Lurah lho..” Harjo cuma bisa menelan ludah gugup.

Dia terdiam membayangkan Bu Lurah membuka rok di depannya.
Pasti kaki perempuan itu indah sekali. Betisnya saja putih, apalagi pahanya.
Juga pantat dan pinggulnya. Harjo makin ngiler saat membayangkannya.

“Mau lihat..?” Tanya Bu Lurah memutus lamunan Harjo.
“M-memangnya, ibu b-bersedia..?” Pemuda itu memberanikan diri bertanya.

Bu Lurah tersenyum dan mengangguk. “Kamu imut, Jo. Aku jadi penasaran..”
“I-ibu juga c-cantik.. s-saya jadi pengen nyium..”

Kata Harjo nekat, didorong oleh gejolak di kepalanya yang sudah memuncak.
Napasnya berat dan penisnya sudah mengacung tegak.

Bu Lurah agak kaget sebentar, tapi kemudian kembali tersenyum.
“Kamu itu polos, Jo, tapi juga kurang ajar..”
Harjo tersipu malu. “M-maafkan saya, B-bu..”

Bu Lurah berdiri dan dengan pelan ia bergeser mendekati pemuda itu.
“Santai saja, Jo. Aku tau kalau sudah dari dulu kamu mengagumiku.”

Harjo tetap duduk di kursinya.. teramat sangat gugup.
Apa yang telah lama ia impikan, akan terjadi sebentar lagi. Sungguh tak pernah disangka dan diduga.

Bu Lurah yang mengerti kegamangan pemuda itu,.. perlahan memeluk badan Harjo erat-erat.
Lalu ia ciumi pipinya sambil berkata.. “Aku yakin kamu masih perjaka, Jo. Sudah siap melepasnya sekarang..?”

Harjo mengangguk perlahan. Bu Lurah tersenyum dan berikutnya ia mundur..
agar Harjo bisa melihat bentuk tubuhnya dengan jelas.

Sebetulnya Bu Lurah melakukannya dengan cepat..
Akan tetapi dalam pandangan Harjo, semua gerakan itu jadi seperti gerak lambat.

Pertama Bu Lurah membuka kaus ketat tipisnya, melemparnya ke atas meja.
Tersenyum lebar.. ia mengelus-elus perutnya yang putih dan kencang sambil membuat gerakan menggoda.

Lalu dia menarik sesuatu di belakang rok.. sehingga terjatuhlah kain itu menutupi jari-jemari kakinya yang lentik..
menampakkan celana dalam coklat muda yang tadi ia katakan.

Sampai di sini, Harjo benar-benar tidak kuat duduk.
Batang penisnya sungguh-sungguh menegang dan sakit kalau dibuat untuk duduk.

Maka ia lantas berdiri.. sambil matanya tak berkedip..
memperhatikan tubuh mulus Bu Lurah yang terpampang bebas di hadapannya.

Kulitnya sungguh mulus, bagai marmer yang dipahat halus.
Payudaranya besar.. belahannya curam dan beha yang membungkusnya terlihat kekecilan.

Perut Bu Lurah masih nampak langsing..
serasi dengan pinggul lebar yang ditopang oleh sepasang kaki jenjang.
Pahanya licin sekali.. meliuk mengikuti alur pantat yang sungguh terlihat padat.

Harjo jadi sesak napas, tapi dia sangat senang. Apalagi saat Bu Lurah mulai mendekat dan memeluknya..
Hingga wajahnya jadi terbenam di antara belahan buah dada perempuan cantik itu.

“Kamu suka, Jo, dengan tubuhku..?” Tanya Bu Lurah dengan perut menempel di dada Harjo.
Pemuda itu tidak menjawab. Bukan karena malas..
Tapi karena mulutnya memang lebih sibuk menciumi harum tubuh Bu Lurah daripada mengeluarkan kata-kata.

Oh.. sambil balas memeluk tentunya. Kaku ia pegang pinggul dan pantat Bu Lurah yang terasa sekal.
Dan saat terpegang olehnya celana dalam berenda rumit..
spontan Harjo memasukkan jari-jarinya ke dalam kain segitiga itu.

Dia jamah bulatan pantat Bu Lurah yang terasa lembut..
lalu meremasnya perlahan hingga membuat Bu Lurah jadi menjerit kecil.
“Ahh..!! Nakal kamu, Jo. Tidak sabaran amat..”

Harjo melucuti celana dalam itu; dia menurunkannya ke bawah..
Menariknya melewati paha dan membiarkannya di lutut.

Selanjutnya Bu Lurah sendiri yang melepasnya dengan mengangkat kaki bergantian,..
sambil tetap memeluk pemuda itu erat-erat.

“Bu..” Harjo merintih..
Geli dia merasakan rambut tipis yang tumbuh di selangkangan Bu Lurah menggelitiki perutnya.

Ingin dia mengintip.. tapi Bu Lurah sedang menciumi pipi dan bibirnya sekarang.
“Telanjangi aku, Jo..!” Pinta Bu Lurah.

Harjo segera meraih ke belakang untuk membuka kait beha..
Karena hanya itulah satu-satunya penutup yang masih tersisa di badan sintal Bu Lurah.

Dia menariknya begitu saja, lalu mencampakkannya ke lantai.
Tak berkedip matanya menatap kedua gunung kembar milik Bu Lurah yang kini terurai.
Benda itu tampak senang dan gembira karena sudah dibebaskan.

Keduanya bergetar seirama dengan desah napas Bu Lurah yang mengalir lembut..
seakan ingin mengucapkan terimakasih.

“Ohh.. indah sekali, Bu..!” Harjo meratap..
Matanya tak lepas memandangi kedua puting Bu Lurah yang berwarna coklat muda.

“Sentuh, Jo, kalau kamu memang suka..” tawar Bu Lurah. Harjo menatap wajah perempuan itu sejenak..
Lalu perlahan mengulurkan tangan dan mulai meremasi buah dada Bu Lurah dengan jari-jari gemetar.

Rasanya empuk dan kenyal.. juga ada sedikit kesan padat saat Harjo mencoba memijit lebih keras.
Putingnya terasa kaku..
Dan Bu Lurah sedikit melenguh sambil terduduk di kursi.. ketika Harjo mulai memilin-milinnya lembut.

“Terus, Jo. Kamu juga boleh menciumnya kalau mau..!” Bisik Bu Lurah..
sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sehingga dadanya kian membusung indah..
Sedang posisi pinggul dan memeknya tersodor jauh ke depan bagai ingin disajikan.

“B-bu..” Harjo memajukan kepala untuk menciumi bulatan padat itu.
Rasanya begitu empuk ketika ia mulai menempelkan bibirnya ke sana.

Dari satu puting, dia bergerak ke puting yang lain. Lidahnya terjulur panjang untuk membasahinya..
sambil tak lupa juga terus memenceti kedua bulatannya yang terasa kian membesar padat.
Lagaknya sudah seperti lelaki yang berpengalaman, padahal dia hanya menuruti bisikan naluri.

“Hhh.. Jo..!” Bu Lurah menggelinjang, ia tekan kepala Harjo agar mengisap lebih kuat lagi.
Sambil menikmati gelitikan itu, tangannya yang kanan mulai bergerilya ke bawah.

Ia raba celana panjang Harjo yang berisi batang daging kaku..
Uhhh.. terasa panjang dan besar sekali saat digenggam.

Bu Lurah setengah membuka pahanya..
Lalu dengan sekali sentak ia buka celana pemuda itu hingga batang penis Harjo mencuat keluar.

“B-bu..” Harjo merintih menyadari kemaluannya telah bebas dan kini mengambil posisi tempur.
Bu Lurah hanya tersenyum saja.

Lembut ia pegang penis Harjo.. yang segera saja semakin menegang dan membesar panjang..
manakala mulai dikocoknya perlahan.

“Aduh.. penismu, Jo..” kata Bu Lurah sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah terangsang, ya..?”
“I-iya, Bu..“ Harjo berbisik gemetar.

Bu Lurah tertawa mengikik..
Dengan genggaman terasa semakin kuat menahan kulit kulup Harjo agar tidak menutupi kepala kontolnya.

Perempuan yang masih nampak sintal di usia paruhbaya itu menotol-notolkan jari telunjuknya pada ujung penis Harjo.
Dan setiapkali jarinya menyentuh.. setiapkali itu pula Harjo merasa tersengat oleh rasa geli-geli yang aneh.

“Hhh..” pemuda itu mendesah kenikmatan.. “Bu, s-saya tak tahan..!”
Bu Lurah menatapnya geli. “Tak tahan apa..?”

“Pengen main..” sahut Harjo dengan tangan kembali meraba-raba bulatan daging di dada Bu Lurah.
“Main petak umpet..?” Tanya Bu Lurah menggoda.

Harjo menggeleng tak sabar, “B-bukan, Bu. Pengen main seperti yang dilakukan Pak Lurah sama ibu..”
Bu Lurah tertawa. “Memangnya kamu tau..?”

Harjo mengangguk. “S-saya pengen.. n-ngentot, Bu. Sama ibu..!” Akhirnya keluar juga kata-kata itu.
Tapi Bu Lurah malah menowel hidungnya..

“Anak bandel..! Kecil-kecil sudah pengen ngentot! Memangnya kamu bisa..?”
Harjo menggeleng pelan, “Nanti ajari saya ya, Bu..” Bu Lurah menatap lucu.

“Kalau begini, aku mana bisa puas main sama kamu. Caranya saja kamu tak tau..”
“Aduh, tapi saya sudah kepengen sekali, Bu..!”
Ratap Harjo sambil terus meraba-raba payudara sintal milik Bu Lurah.

“Gimana, Bu, boleh ya..?”
“Ehmm.. gimana ya..?” Bu Lurah pura-pura berpikir..
Tapi tangannya terus memijit-mijit batang penis Harjo hingga jadi bertambah besar dan panjang.

Tak tahan lagi.. Harjo pun mencium bibir Bu Lurah..
Sehingga batang kontolnya tak urung menyentuh daerah di sekitar paha.

Bu Lurah menggeliat, tapi tidak menolak. Malah dia membalas pagutan Harjo yang asal-asalan..
dengan menggigit-gigit bibir pemuda itu, lalu mengisap lidahnya, sebelum akhirnya berkata..

“Tapi janji ya, Jo, jangan bilang-bilang sama Pak Lurah..”
“Buat apa saya bilang, Bu..”

Harjo mencium lagi bibir tipis Bu Lurah..
Meresapi kehangatan serta kelembutannya yang begitu membangkitkan gairah.

Dia menelungkup.. menindih tubuh telanjang perempuan cantik itu..
kemudian membiarkan tangan lentik Bu Lurah menyentuh-nyentuh kepala kontolnya.

Rasanya sungguh luar biasa.. selangit pokoknya.. sampai bikin dia meronta..
Menggelinjang keenakan.. sekaligus juga tidak puas. Harjo ingin lebih. Dia ingin ngentot..!

Maka, untuk memenuhi keinginan itu, Harjo menjejakkan kaki kirinya ke lantai.
Dalam posisi setengah berlutut.. dia menindih tubuh sintal Bu Lurah.. mulai mendesaknya..

Hingga akhirnya kepala penisnya yang tumpul..
Slebbbb.. perlahan-lahan melesak di antara dua bukit curam yang berhutan lebat.

Errgghh..!! Rasanya basah sekaligus juga hangat ketika Harjo menekan pantatnya.
“Ughhh.. Jo..!” Bu Lurah membusungkan dadanya dan mendongak..

Sehingga pandangan Harjo hanya berisi payudara dan puting susu kecoklatannya itu.
Plus bonus ujung hidung Bu Lurah yang bangir.

“Buu..” Harjo merintih saat kepala penisnya mulai melesak masuk.
“Iya.. terus, Jo..! Dorong terus..!” Bu Lurah memberi semangat dengan mengambil posisi berlutut.
Keduanya kakinya ditekuk saat Harjo berusaha menubrukkan pinggulnya.

Jlebb..!! Sekali dorong.. masih nampak sulit. Harjo tak mampu menembus.
Tapi jepitan mulut vagina Bu Lurah sudah membuatnya ketagihan.

Slebb..! Dia mencoba lagi. Jlebb..! Lalu lagi. Clebb..! Dan lagi. Jlebb.!!
Dan di usahanya yang keempat.. baru ia memperoleh jalan yang diinginkan.

Slepph.. Blessekkh..!! Penisnya dengan lancar menembus memek sempit Bu Lurah yang menganga rakus.
“Ughh..” Harjo terpesona merasakan gesekan penisnya dengan dinding dalam kemaluan Bu Lurah.

Perempuan itu tersenyum.. mengisyaratkan pada Harjo agar mulai menggoyang.
“Pelan-pelan saja, Jo..” dia berbisik.
“I-iya, Bu..”

Dengan tubuh gemetar.. Harjo mulai mengayun-ayunkan pantatnya..
Membuat sensasi luar biasa pada setiap gerakan dan gesekan yang terjadi.

Badannya serasa terbakar pelan-pelan..
hangus oleh perasaan geli-geli nikmat yang menjalar cepat di sekujur batangnya.

“Ughh.. enak, Jo..! Terus..!” Desis Bu Lurah saat Harjo mempercepat goyangan.
Kursi yang mereka jadikan tumpuan berderit-derit ribut menahan beban.

Harjo memejamkan mata. Sambil meremas-remas kembali payudara sintal Bu Lurah..
dia merasakan rangsangan geli di penisnya semakin melebar ke seluruh badan.

Merasuk hebat di sekujur permukaan kulitnya dan sampai pada titik tertentu nampaknya tak tertahankan lagi.
“Pelan, Jo. Santai saja..” Bu Lurah mencoba menghambat saat melihat Harjo sudah merintih-rintih.

Tapi nampaknya terlambat. Karena tiba-tiba .. Surrr.. surrr.. surrr.. Dia merasakan Harjo 'mengencinginya'.
Sperma kental berhamburan mengisi rahim hangat miliknya.. Menggantikan perasaan nikmat yang tadi sempat terasa.

“Hhh.. hhh.. Bu..!” Harjo menunduk, tak kuasa melepas getaran nikmat yang perlahan mulai menguap.
“Kok sudah keluar, Jo..?” Tanya Bu Lurah memprotes.

Dia kembali menggerakkan pinggulnya, ingin ditusuk lagi. Namun nampaknya Harjo sudah tak kuasa melayani.
Penisnya melembek dan meninggalkan jepitan memek Bu Lurah dalam satu getaran dingin.

“M-maafkan saya, b-bu..” bisiknya malu. Gerakan Bu Lurah berhenti.
Lesu dipandanginya penis Harjo yang sudah terlalu lemas.. sehingga tak dapat lagi dipakai.

Dipegangnya benda itu dan dokocok-kocoknya ringan.. tapi tetap tidak bangun juga.
“S-saya tidak bisa, Bu..” Harjo berkata lirih.. merasa tak berguna sebagai laki-laki.

Bu Lurah menarik napas panjang.
Harjo sudah siap kalau memang akan dimarahi, tapi nyatanya Bu Lurah malah tersenyum.

“Tidak apa-apa, Jo. Kamu lumayan kok. Ini pengalaman pertamamu kan..?” Tanya Bu Lurah sambil duduk tegak.
Harjo mengangguk, masih tidak berani menatap.

“Ibu senang bisa memetik perjakamu..” Bu Lurah memeluk dan sekali lagi menciumnya.
Harjo tak berani membalas lumatan itu, merasa tidak pantas karena tak sanggup memuaskan.

“M-maafkan saya, Bu..” kembali dia berujar.
“Sudah, tak apa-apa..” Bu Lurah mencoba menenangkan. Meski kecewa, dia tidak berusaha untuk menunjukkannya.

“Mungkin ini yang terbaik. Kalau lama, nanti Pak Lurah bisa curiga..”
“I-iya, Bu..” Harjo melirik Bu Lurah yang mulai mengenakan pakaiannya kembali.

“Ayo, Jo. Jangan sampai Pak Lurah nyusul kemari gara-gara lama nunggu kopi kamu..”
Perempuan itu memasang kaos dan rok pendeknya.. sementara beha dan celana dalamnya ia sampirkan di lengan.
“I-iya, Bu..” Harjo ikut mengenakan celana, sedangkan bajunya cuma ia rapikan karena tadi memang tidak dilepas.

“Lain kali berusaha lebih kuat ya, Jo..” kata Bu Lurah dengan senyum menggoda.
“Biar aku juga puas..” bisiknya.

Harjo tidak dapat menjawab, dia hanya bisa mengangguk saja.
Namun Bu Lurah nampaknya suka dengan jawaban itu.. soalnya dia kembali memeluk Harjo dan menciuminya.

Sebelum berpisah.. Harjo menyempatkan menyusu sejenak..
Sementara Bu Lurah memainkan burungnya sekali lagi dengan jemari-jemari lentiknya.

Selanjutnya Harjo balik ke tempat Pak Lurah.. meninggalkan Bu Lurah yang berpaling..
untuk mengemasi toples plastik persediaan gula dan kopi yang masih ada di meja.

Ketika Harjo datang dengan sebaki kopi di ruang rapat, semua yang ditunggu sudah pada datang.
Rio.. mahasiswa yang semalam menginap di rumah mbah Parto, sudah pula ada di sana.
Di meja Pak Lurah.. sebilah linggis berjelaga terentang.

Sehabis melirik besi panjang itu, pak lurah mendesah panjang. “Saudara-saudara..” Asromo mulai bicara.
“Ini peristiwa berbau kekerasan yang pertama kali terjadi sepanjang saya memerintah desa ini.
Saya sedih, malu, kecewa, tak percaya ini terjadi.
Ada yang punya pendapat kenapa mbah Parto dibokong demikian rupa..?”

Asromo menebar pandangan ke mata staf desa. Tapi semua masih sibuk dengan kopi masing-masing.
Tepatnya, pura-pura sibuk meniup kopi lantaran tak sebuah gagasan pun terlintas di benak.

“Anda punya, dik Rio..?” Asromo menatap Rio, mahasiswa muda itu.
Tampaknya Asromo bosan menunggu jawaban yang tak kunjung tiba dari stafnya.

“Tidak, Pak..! Saya sendiri bingung dan panik malam itu. Memang semalam.. sebelum tidur Mbah Parto sempat bicara banyak.
Bahkan saya diminta tidur di kamar yang biasa ditempatinya.. dan si mbah sendiri tidur di kamar belakang.
Beliau juga bercerita banyak tentang koleksi temuan purbakala yang ada di rumahnya.
Si Mbah orangnya baik. Saya heran kenapa ada orang yang memusuhinya..” Rio bicara panjang.

Kening Asromo mengkerut. “Saya juga gusar. Selama ini Mbah Parto Sumartono sangat dihormati dan disegani orang.
Namanya dikenal banyak orang dari dalam dan luar negeri. Tega benar orang –orang itu.”

Semua orang terpekur. Tak ada komentar, tak ada urun suara. Semua bisu.
Tak terkecuali Rio yang mulai kelihatan letih dan mengantuk.

“Sekarang begini..” Asromo masih muram.
“Untuk sementara waktu kita rahasiakan peristiwa panganiayaan itu pada orang luar.
Jangan sampai berita ini menyebar ke kampung tetangga; bisa menimbukaan pikiran yang macam-macam.
Sementara itu, kita selidiki perlahan-lahan siapa yang bertanggung jawab di balik perbuatan kotor itu..”

Asromo menarik nafas..
“Bagaimana keadaan Mbah Parto, Dik Rio..? Dinihari tadi, ketika saya jenguk, Si Mbah belum siuman.”
“Sudah agak baik. Tapi bicaranya masih pelo. Rupanya beliau terpukul atas penyerangan itu..” kata Rio.
“Syukurlah kalau begitu..” desah Asromo.

Selama beberapa menit kemudian Asromo sibuk mengurai apa-apa yang perlu dilakukan staf desa..
untuk mencegah terulangnya kejadian semalam.

Asromo juga menginstruksikan agar penjagaan Hansip di gardu reyot tak jauh dari rumah mbah Parto diaktifkan kembali.
Hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan Kamtibmas.. begitu istilah yang dipakai, bakal digencarkan.
Asromo agaknya mewarisi watak pemimpin level desa pada umumnya; bikin tindakan ketika insiden sudah terjadi.

Rio nyaris tak mampu mendengar strategi-strategi pak lurah yang disambut manggut-manggut oleh anak buahnya.
Ia demikian mengantuk dan lelah.

Kemarin siang.. ia baru saja mengalami perjalan panjang dari Surabaya..
Berdiri di atas kereta api penuh lintas Ekspres siang Surabaya – Bandung dan turun di ibukota kabupaten..
yang menelan lama perjalanan 5 setengah jam dari Surabaya tanpa berkesempatan mendapat tempat duduk nyaman.

Dari setasiun ia naik becak ke terminal kendaraan umum yang membawanya ke kota kecamatan.
Dari kota kecamatan, ia diantar tukang ojek yang mengemudi motor ugal-ugalan yang terus tancap gas di jalan bergeronjal.
Begitu datang, ia berkeliling desa dan sorenya mulai ngobrol degan Mbah Parto Sumartono sampai menjelang saat tidur.
------ooOoo------

Matahari sudah tinggi tatkala rapat berakhir. Manakala Asmoro hendak mengucapkan kata-kata penutup..
mendadak muncul seorang pemuda. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Karman yang duduk dekat pintu.

Pemuda itu membisikkan sesuatu di telinga Karman. Karman mendelik.
“Ada apa..?” Tanya Asmoro.
“Anu, pak. Ini Dayat, tukang ojek. Ia bilang baru saja ia mengantar seorang wartawan perempuan..
yang ingin bertemu Mbah Parto. Wartawati itu sudah dengar Mbah Parto disiksa orang..”

“Wartawati..? Dari mana..?” Asromo berdiri.
“Nyuwun duko, saya tidak tau darimana. Ia cuma bawa tas ukuran tanggung, pakai tas kecil melilit pinggang..
dan berkalung alat potret. Pakai jaket plastik hitam..” tutur Dayat, si tukang ojek.

“Bagaimana kau tau ia wartawati..?” Desak Asromo.
“Ia bawa kamera..!”

“Benar katamu ia tau Mbah Parto disiksa orang..?” Tanya Asmoro lagi.
“Saya bersungguh-sungguh. Berita itu sudah sampai di kota kecamatan.
Wartawati itu dengar kasak-kusuk di kota kecamatan.” Dayat bicara panjang lebar.

“Waduh..!” Asromo terduduk. “Kasak-kusuk merambat melebihi kecepatan cahaya..”
Gumam Asromo. Makin puyeng ia kelihatannya.

“Di mana wartawati itu sekarang..?”
“Menjenguk Mbah Parto. Ia bilang nanti sesudahnya, ia mau ke kantor Kepala Desa..”

Sejenak Asromo tampak gelisah. Kerut-kerut di wajahnya makin jelas.
Kalau sebuah mikropon didekatkannya ke dagunya.. akan terdengar jelas giginya gemeletuk.

Rio menatap Pak Lurah dan ganti menatap orang-orang yang hadir.
Semua menampakkan kegelisahan dan wajah-wajah hampa. Rasanya mati sudah semua gagasan.
Petunjuk Pak Lurah soal bungkam untuk peristiwa penganiyaan Mbah Parto agaknya mulai diuji.

Informasi sudah bobol sebelum tanggulnya dibuat.
Makhluk yang dinamakan wartawati, rupanya sedang menekuni pekerjaannya; mengendus berita.
Dan orang-orang di sini tampak tegang dan khawatir.

Bisa dipastikan ada sesuatu yang lain di balik kekhawatiran yang terpancar di balik masing-masing mimik ini;
Sebuah kekhawatiran yang berbaur dengan ketidakjelasan.

Tampaknya.. sulit sekali untuk mulai memahami apa sebenarnya yang terjadi di desa ini.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
Terakhir diubah:
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi

Bagian 02

Gadis itu
mengurut-urut pinggang. Duduk di boncengan sepeda motor butut tukang ojek..
menempuh jalan tak mulus sepanjang 11 kilometer memang bukan main-main.

Masih terasa raung mesin motor yang dipacu cepat dan guncangan yang melempar-lempar pantat dari jok.
Ia membetulkan celana jins dan merapikan kaos dalam. Jaket warna hitam kain parasit digulung di bagian lengan.

Di bawah dadanya yang membusung indah, bergantung sebuah kamera NIKON keluaran terbaru.
Kamera itu jelas sekali terlihat lantaran si gadis membiarkan kepala ritsluiting jaket berada di setengah perjalanan ke atas.
Gadis itu meringkas rambutnya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai saputangan.

Celana jins dan kaos dalam warna putih boleh dibilang tak bersih..
tapi kulitnya yang putih membuat wajah si gadis tampak selalu cerah.
Hidung mancungnya bahkan membantu ia kelihatan segar, meski tak terlihat gincu tersalut di bibir.

Ia menatap lurus sebuah papan sederhana yang bertuliskan nama.
PARTO SUMARTONO, PERINTIS MUSEUM PURBALAKA, demikian bunyi aksara yang tertulis di papan penunjuk.

Tanda panah di papan itu langsung mengarah ke beranda rumah Mbah Parto Sumartono.
Sembari melangkah mantap, gadis itu mencoba menebak mengapa banyak orang berkerumun di depan pintu rumah si mbah.

Sejak dari kejauhan, sang gadis sudah mendapat perhatian dari sejumlah orang yang berkerumun di pintu.
Mereka menyongsong sang gadis dengan mata penuh tanda tanya.

“Nuwun sewu..! Selamat pagi. Nama saya Candi, saya wartawati dari Jakarta. Saya dengar Mbah Parto sakit..”
Candi, gadis itu menebar sapa.

Dua tetangga tua.. yang berdiri di pintu, menatap dalam sosok Candi beberapa saat.
Mereka kemudian beringsut untuk memberikan jalan dan membiarkan Candi melangkah ke ruang dalam.

Candi masuk perlahan ke dalam ruang tamu yang agak gelap.
Di mulut kamar, ada beberapa orang.. di antaranya wanita, berdiri dengan pandangan menuju ke dalam kamar.

Mbah Parto pasti berbaring di situ. Sekali lagi Candi menerobos kerumunan kecil orang.
Miris ia melihat Mbah Parto tergolek lemas di tempat tidur.

Pipi si mbah begitu bergelendot ke dalam dan bibirnya terus bergetar kecil.
Kedua tangan si mbah, bersitumpu di atas dada.

Kata orang-orang itu, ada garis biru melintang di dada si mbah.
Menurut Pak Mantri, itu bekas hantaman benda tumpul keras.

“Bagaimana si mbah..?” Desis Candi perlahan.
Seorang pria setengah baya yang duduk di pembaringan menoleh.. memperhatikan Candi dari atas ke bawah.

“Siapa Anda..?” Tanya orang itu.
“Saya Candi, wartawati dari Jakarta..!”
“Wartawati..? Mau memuat berita tentang orangtua yang hampir sekarat dikeroyok rampok..?” Tanyanya kasar.

Candi berusaha menatap orang itu. “Tidak..! Saya datang untuk keperluan lain.
Kebetulan saya dapat kabar si mbah dianiaya orang-orang tak dikenal. Saya tau nama si mbah. Si mbah orang terkenal.
Saya menengok si mbah untuk menyatakan simpati..” ujar Candi.

“Darimana tau si mbah dianiaya orang..?” Ttanya orang itu penuh selidik.
Candi meletakkan tas di lantai. “Dari orang-orang di tempat kumpul tukang ojek di kota kecamatan..”
Orang itu termenung sesaat. “Sudah sampai di kota beritanya..” ia bicara sendiri.

“Tapi kau bukan untuk membuat berita pengeroyokan orang tua ini, kan..?” Candi menggeleng.
Orang itu menarik nafas lega.
“Syukurlah. Saya benar-benar tak suka bila penderitaan si mbah dijadikan berita..” orang itu bangkit dari duduk.

“Oh, ya. Nama saya Sujarno, saya putra satu-satunya mbah Parto Sumartono. Saya tinggal di desa lain.
Maaf, siapa nama adik tadi..?” Sujarno mengulur tangan.
“Candi..!”

“Adik bilang tadi dari mana..?”
“Saya wartawati harian Tajuk Zaman, yang terbit di Jakarta..” jelas Candi lengkap.

“Bagaimana luka-luka mbah Parto..?” Candi balik bertanya.
“Sudah membaik. Hanya masih sulit bicara..” jawab Sujarno.

Candi menatap orangtua itu tergeletak di tempat tidur dengan nafas yang berat.
Kepalanya berbalut perban putih. Rembesan darah terlihat dari bagian belakang kepala.

Kata Sujarno, pojok kanan bibir mbah koyak. Juga, ada memar biru melintang di dada. Si mbah kini sulit bicara.
“Saya ikut sedih. Belum ketemu yang melakukan..?” Tanya Candi, tanpa nada selidik.
Sujarno menggeleng. “Kata Rio, mereka berpakaian serba hitam dengan coreng-moreng di wajah. Ada empat orang..”

“Siapa itu Rio?” tanya Candi.
“Mahasiswa asal Surabaya, baru sehari di desa ini. Ia akan tinggal selama beberapa hari di desa Kemiren.
Rio tidur di kamar si mbah semalam. Untung ada dia. Dia yang berteriak memberi tau orang kampung. Kalau tidak ..”

Candi mengamati si mbah yang mampak tidur pulas.
Sebentar kemudian Candi menyapukan pandangan ke seluruh kamar. Sejumlah gambar peraga menempel di dinding.

Kertas bergambar lapisan-lapisan tanah desa Kemiren itu tampak suram dan coklat kekuning-kuningan.
Beberapa diantaranya memuat tulisan-tulisan dan peta-peta tua desa Kemiren.

Di lemari kaca kuno, sejumlah benda peninggalan purbakala yang tak keruan bentuknya, ditata rapi.
Sayang kacanya suram sekali. “Sebaiknya biarkan si mbah beristirahat..” kata Candi kemudian.

Ia melangkah mundur dan meninggalkan kerumunan orang yang merubung mbah Parto.
Sujarno mengangguk, dan ikut meninggalkan pembaringan, membiarkan para wanita tetangga melanjutkan menunggui.

Candi melepas kamera dari kalungan leher, dan duduk di beranda tak seberapa luas yang teduh. Matahari mulai bersinar panas.
Hamparan rumput teki yang tumbuh di pelataran rumah si mbah serasa tak mampu mereda pantulan panas sinar matahari.

“Anda wartawati itu..?” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan dari samping rumah.
Candi menoleh ke sumber suara itu. Rio berdiri tak jauh dari Candi.

“Ya, Anda siapa..?” Candi menoleh.
“Panggil saya Rio. Saya mahasiswa FISIP UNAIR, Surabaya..” Rio mengulurkan tangan. Candi menyambut uluran tangan Rio.

“Orang-orang di kantor desa sudah tau anda datang. Bukan untuk meliput kejadian si mbah, kan..?” Kata Rio.
“Saya heran semua orang mengkhawatirkan peliputan si mbah Parto. Kenapa..?” Candi menusuk Rio.

Pemuda itu menatapnya. “Tak apa-apa. Tapi, memang itu yang dikhawatirkan orang-orang Kemiren.
Pak Lurah malah ingin agar kejadian itu tak perlu didengar orang luar..” Candi menatap Rio.

“Jangan menatapku seperti itu. Aku baru dua hari di sini. Aku tak tau apa-apa..” kata Rio.
“Mau ke kelurahan..? Tampaknya pak lurah ingin segera bertemu Anda.”
“Ya..”
“Sebetulnya aku mengantuk sekali. Tapi ayolah kuantarkan kalau mau. Kelurahan agak jauh dari sini..”
“Aku bisa pergi sendiri..” Candi berdiri.

“Tak apa. Ayo, barangkali ada yang bisa kubantu..” ujar Rio.
“Terserahlah, asal jangan tidur sambil berjalan..” seloroh Candi.

Rio tersenyum.. dan mulai memimpin melangkah meninggalkan halaman rumah mbah Parto Sumartono.
“Siapa namamu, mbak..?” Tanya Rio.
“Candi..”
“Bisa kupanggil ‘Candi’ saja..?” Kata Rio.
“Itu lebih enak. Rio, namamu, sesingkat itu..?” Tanya Candi.
“Andrio Sukarelawan. Kamu, Candi siapa..?”

“Candi saja.. efisien dan ekonomis. Kalau mau kau boleh tambahkan kata Borobudur..
Prambanan atau Mendut di belakang namaku..” Candi tertawa. Manis juga cara dia tertawa.

“Tadi kau bilang kerja untuk harian apa..?” Tanya Rio.
“Tajuk Zaman, di Jakarta.”
“Sudah lama..?”
“Hampir dua tahun. Kamu mahasiswa apa..?”
“Antropologi, FISIP UNAIR. Kamu dulu kuliah di mana..?”
“Jurusan komunikasi, Universitas Padjadjaran..”

Mereka berjalan menyusuri tanjakan menuju ke perbukitan tempat kantor desa berada.
Kantor desa masih jauh; bendera merah putih yang berkibar di kantor desa kelihatan kecil sekali.

“So, apa kerjamu di sini, Rio?” Tanya Candi, mengamati hamparan luas di belakang mereka.
Rio turut menoleh ke belakang.

“Aku sedang mengumpulkan bahan sejarah penggalian peninggalan purbakala situs Kemiren..” kata Rio.
“Buat apa..?”
“Makalah, biasa tugas kuliah..”
“Bikin makalah sampai seserius ini..?” Tanya Candi.

“Berapa lama kamu mau tinggal di sini..?”
“Sekitar seminggu. Aku ingin cerita yang lengkap tentang sejarah penggalian itu.. terutama peran penggali pribumi.
Itulah sebabnya aku harus ngobrol banyak dengan Mbah Parto. Celakanya.. Mbah Parto sekarang cedera.
Bisa lebih seminggu aku di sini kalau menunggu Si Mbah sembuh..” Rio berbalik dan berjalan terus.

“Dan rasanya aku ingin tinggal lebih lama di desa ini. Sesuatu yang misterius tengah terjadi di desa ini..”
“Misterius..?” Candi menoleh. Rio mengangguk.

“Bisa kasih tau aku apa yang misterius itu..?” Pinta Candi.
“Aku sendiri belum tau. Pengeroyokan atas Si Mbah membawaku pada firasat itu..”

Rio menyeka keringat.. kemudian menatap Candi.
“Jujur.. sebenarnya berita apa yang sedang kau cari di desa ini..?” Kata Rio.

Candi melepas jaket dan mendekapnya di tangan kiri. “Aku mau menulis features tentang kerajinan desa ini.
Kau lihat, hampir setiap keluarga di desa Kemiren belakangan ini sibuk memahat patung.
Sebagian lagi sibuk mencari bahan galian yang mirip benda-benda menyerupai fosil-fosil..
yang pernah ditemukan di situs Kemiren oleh Si Mbah Parto Sumartono bersama arkeolog Eropa itu.
Barang-barang kerajinan yang mirip fosil itu mereka jual pada wisatawan..
yang mengunjungi Museum Purbakala yang ada di desa ini..” kata Candi.

“Jadi kau akan lama di sini..?” Tanya Rio.
“3 atau 4 hari. Di mana kira-kira aku bisa dapat tumpangan tidur..?” Tanya Candi.
“Barangkali Bu Lurah bisa bantu. Nah, itu kantor desa..” Rio menunjuk.
“Oh ya, siapa nama Pak Lurah..?”
“Asromo..”

Berpasang-pasang mata menatap Candi manakala gadis wartawati itu memasuki pendopo desa.
“Selamat siang, Bapak-bapak. Bisa saya bertemu Pak Lurah..?” Sapa Candi.

“Mari saya antar. Pak Lurah juga sedang menanti mbak..” sambut Karman, dan mengisyaratkan agar Candi mengikutinya.
Karman mengantar Candi sampai ketemu Pak Lurah yang sedang sibuk.

Begitu disilakan duduk, Candi langsung mengulur tangan. “Saya Candi, Pak, wartawati harian Tajuk Zaman dari Jakarta.
Kami sudah mendengar tentang kerajinan batu asal desa ini. Saya ingin membuat tulisan tentang kerajinan patung..
untuk koran saya..” tangkas sekali Candi bicara. Rio memperhatikan lesung pipit Candi yang bergerak-gerak indah.

Asromo yang tadinya sudah siap dengan kata-kata ancaman..
kalau-kalau Candi menulis tentang penganiayaan Si Mbah, menjadi lumer. Mimiknya berubah lega.

“Terus terang, Dik.. tadinya saya kuatir..
Dik Candi datang kemari untuk meliput penganiayaan Mbah Parto Sumartono..” kata Asromo.

“Bukan apa-apa, Dik. Kami bermaksud menjaga agar desa ini tetap terkesan aman.
Selama ini desa Kemiren memang aman. Bahkan selama setengah tahun ini tak ada laporan kemalingan.
Desa ini baru bangkit, perekonomian rakyat mulai menggeliat..” ujar Asromo.

Candi tersenyum. “Saya tau.. Pak Lurah.
Seperti saya katakan tadi, saya tidak akan ungkit-ungkit soal pengeroyakan Si Mbah.
Saya cuma ingin melaporkan kegiatan warga, mewawancarai penduduk dan mewawancarai Pak Lurah..”

Candi mengeluarkan kartu pers dan kartu tanpa penduduk dari dompet.
“Sekaligus saya mohon izin untuk tinggal di desa ini selama 3 atau 4 hari.”

Asromo menjumput dua kartu itu dari tangan Candi dan menyerahkannya kepada Karman untuk dicatat di buku tamu desa.
Lama Karman mengamati kedua kartu itu sebelum ia menyalin informasi penting di kartu dalam buku tamu desa.
Asromo menyerahkan kembali kartu itu setelah dicatat rapi oleh Karman.

“Saya ingin tanya beberapa hal lagi, dik..” kata Asromo kemudian.
“Silakan, pak..” jawab Candi.

Asromo berdiri, “Kita duduk di kursi tamu saja supaya lebih santai..”
Asromo mendahului berjalan ke arah kursi tamu. Candi kemudian duduk di seberang Asromo.
Candi tak tau sedari tadi mata Karman tak lepas darinya.

Asromo menarik nafas panjang sebelum berbicara. Ia menatap Candi. Candi menatap balik Pak Lurah.
Candi seperti melihat situasi Kemiren di mata kepala desa itu; misterius dan sulit diduga.

Apalagi yang hendak dibicarakan Pak Lurah..?
------ooOoo------

Sehabis mengobrol sebentar dengan beberapa orang di pendopo, Rio melangkah menuju rumah Pak Lurah.
Bu Lurah pasti tau informasi rumah yang bisa ditinggali Candi barang 3 atau 4 hari.

Rio menangkap kesan taman sari dari sekeliling rumah Pak Lurah. Bunga-bunga tumbuh segar;
gerbera, keladi, kastuba, draecena dan segala macam bunga-bunga berwarna indah, yang semuanya menyejukkan mata.
Sebagian bunga menebarkan aroma segar.

Pandangan Rio terdampar pada sosok Bu Lurah..
yang terlihat sedang sibuk dengan gunting di tangan di antara rerimbunan tanaman hias itu.

“Selamat siang, Bu Lurah..” sapa Rio.
Bu Lurah menoleh. “Eh, dik Rio. Saya kira siapa..!” Bu Lurah melempar senyum.
Bibirnya yang berpoles lipstik tipis merekah indah.

“Bunganya bagus-bagus, Bu. Telaten betul merawatnya..” puji Rio, mencium salahsatu bunga.
“Daripada menganggur, Dik..” Bu Lurah melirik.

“Dik Rio suka bunga to..?”
“Suka sekali. Sedari tadi saya tidak habis-habisnya mengagumi warna-warni bunga ibu.
Jenis bunga dan pengaturannya, sangat serasi, Bu..” Rio tersenyum.

Bu Lurah tersipu. Salah tingkah ia membetulkan letak blusnya.. yang tiba-tiba kelihatan kurang beres.
Tapi seperti sengaja pula ia membiarkan lereng dadanya terlihat jelas..
di atas kain melintang bagian atas dada yang memang terlampau rendah.

“Orang-orang desa di pasar seharian bicara tentang Dik Rio..”
Bu Lurah menggenggam gunting bunga dengan kedua tangannya. Menancap matanya di mata Rio.

“Kenapa, Bu..?” Tanya Rio tak mengerti.
“Mereka bilang, Dik Rio berani menghadapi para pengeroyok Si Mbah Parto..”
Mata Bu Lurah berbinar.. seolah dia sendirilah yang sedang menyatakan kekaguman.

“Ah, Ibu bisa saja. Saya malah lari memanggil orang kampung, bukan menghadapinya..” kilah Rio.
“Tapi Dik Rio berjasa, lo. Kalau ndak ada Dik Rio, bagaimana nasib Si Mbah.
Pasti prothol tulangnya dihajar bajingan-bajingan itu..”

Rio cuma tersenyum. “Saya hampir lupa..” kata Rio..
“Saya ingin menanyakan adakah keluarga yang bisa menampung seorang teman wartawati..
barang 3 atau 4 hari di desa ini..? Tak enak kalau dia harus tinggal bersama saya di rumah Si Mbah..”

“Oh, wartawati dari Jakarta itu..?” Tanya Bu Lurah.
“Benar, Bu..!”

Bu Lurah tampak berpikir sejenak. Mimik berpikirnya menarik juga.
Ia menggerak-gerakkan bibir sedemikian rupa, kadang menggigit bibir atas, kadang memainkan bibir bawah.
Energinya kelihatan lebih tersedot untuk menggerakkan bibir daripada berpikir beneran.

“Di rumah Bu Parmi saja..” kata Bu Lurah beberapa detik kemudian.
“Bu Parmi tinggal sendiri di rumah, cuma ditemani seorang cucu masih kecil..”
“Rumah Bu Parmi..? Di mana itu..?” Tanya Rio.

“Beda lima rumah dari rumah Mbah Parto. Tanyakan pada para tetangga di sekitar rumah Si Mbah. Mereka pasti tau..”
Ucap Bu Lurah, tak lepas matanya menatap Rio.
Tatkala angin berhembus sedikit dari arah belakang.. tercium harum segar beraroma herbal dari tubuh Bu Lurah.

“Baiklah, Bu Lurah. Nanti akan saya antar Candi ke rumah Bu Parmi.
Soal uang sewa nanti biar dibicarakan Candi sendiri dengan Bu Parmi..” kata Rio.

“Saya kira tak perlu bayar. Orang desa akan dengan senang hati menerima tumpangan menginap, asal orang baik-baik..”
Ujar Bu Lurah tersenyum.. kata-katanya meluncur lembut dari bibir wanita yang kelihatan matang itu.

“Oh, begitu..” Rio berusaha mengalihkan pandang dari mimik Bu Lurah yang sejuk.
“Permisi, Bu. Terimakasih..” Rio minta diri. Bu Lurah berdiri mematung menatap Rio beberapa saat.

Taulah Rio.. istri Pak Lurah ini memiliki sepasang bulu mata lentik yang sedap dipandang.
Warna kulitnya terlalu bersih untuk ukuran orang desa.

“Pareng, Bu..!” Sekali lagi Rio berpamitan.
“Monggo.. monggo, Dik..!”

Rio membalikkan badan, meninggalkan Bu Lurah yang masih berdiri mematung.
“Dik Rio..” panggil Bu Lurah tak terlalu keras.
“Ya..?”
“Antar wartawati itu ke Bu Parmi saja. Nanti saya akan beritau Bu Parmi..”

Masih terpancang mata Bu Lurah ke sosok Rio dengan senyum teramat manis.
Pemuda itu mengangguk. Heran juga dia, mengapa Bu Lurah mesti mengulang kalimat yang sudah jelas.

Rio kembali berjalan ke pendopo desa. Beberapa orang masih bergerumbul di balai desa.
Rio dikejutkan oleh Harjo yang tiba-tiba saja muncul dari samping. “Mas Rio..” sapa Harjo menepuk pundaknya.
“Astaga..! Mas Harjo. Kaget saya..” Rio memegang dada.

“Begini..” ujar Harjo menatap mata Rio dengan senyum dibuat-buat..
“Pak Lurah berpesan.. tak usah cerita banyak soal peristiwa di rumah Si Mbah tadi malam, terutama pada wartawati itu..”

Rio memperhatikan sejenak wajah Harjo.. yang berambut kelimis dengan kumis tipis itu.
Untuk ukuran desa, Harjo termasuk pemuda ganteng dan menarik.

“Pak Lurah berpesan begitu..?” Ulang Rio.
“Ya. Dik Rio harus mematuhinya. Jangan tidak. Dik Rio harus bisa memberi keuntungan timbal balik pada desa.
Dik Rio melakukan penelitian di sini, sebaliknya desa meminta bantuan dik Rio turut menjaga ketenteraman desa..” ujar Harjo.

Gaya bicara Harjo.. seperti tidak mengulang ucapan Pak Lurah..
Melainkan seperti dia sendiri yang sedang menasehati pemuda itu.

Rio manggut-manggut. Perlahan Harjo meninggalkannya. Ada sesuatu yang tiba-tiba sulit dimengerti.
Tapi agaknya tak perlu ia terlalu dirumitkan pesan-pesan itu.

Rio langsung menghampiri Candi yang baru saja keluar dari ruang kepala desa.
Candi mengalungkan kamera di leher. ”Kau masih di sini, bukannya pulang dan tidur..?” Tanya Candi.
”Aku baru saja mendapatkan tempat menginap buat kamu..” kata Rio.

”Oh ya, di mana..?”
”Rumah Bu Parmi, dekat rumah Mbah Parto. Ayo kuantar ke sana..”
”Wah, baik sekali kamu..” ujar Candi.
”Kalau memuji terus, batal kuantar kau..” seloroh Rio. Candi tertawa.

”Lama betul kau di kantor Pak Lurah..?” Tanya Rio.
”Ya, aku mau cerita ke kamu. Pak Lurah memberiku seribu satu macam wejangan.. tentang misi pembangunan desa..
Tentang keamanan dan ketertiban, dan banyak lagi. Yang intinya adalah memaksa aku..
untuk tidak coba-coba menulis tentang pengeroyokan Si Mbah..”

”Kesan apa yang kau tangkap dari semua itu..?” Tanya Rio.
Candi menatap lurus ke depan. ”Seperti dugaanmu, ada yang tak beres di desa ini. Ada selubung yang harus disingkap..”

”Aku juga berpikir begitu. Penganiayaan terhadap Si Mbah bukan sekadar peristiwa kriminal biasa.
Si Mbak luka berat.. kepala bagian belakang bocor terantuk pinggiran ranjang.
Dadanya memar dan bibirnya luka. Si Mbah juga kena hantaman linggis.
Entah apa yang dicari bajingan-bajingan itu. Mereka ngotot minta bukti dari Si Mbah..” ujar Rio.

”Bukti..?” Tanya Candi.
”Ya, itu kata yang dipakai para bajingan itu: Bukti..!

”Berarti penganiayaan itu memang direncanakan..
Dan setidaknya ada hubungan antara Si Mbah, pengeroyok dan Pak Lurah..” kata Candi.

”Pak Lurah..?” Sela Rio.
”Ya, kalau tidak, kenapa Pak Lurah gencar sekali menutup-nutupi peristiwa itu dari masyarakat luas..?
Itulah sebabnya pula kenapa Si Mbah tidak dikirim ke rumah sakit di kota kabupaten.
Pak Lurah bilang pengeroyokan itu hanyalah upaya perampokan.. perampok yang tak berhasil..
membawa lari barang berharga karena keburu ketahuan masyarakat berkat teriakanmu..” tutur Candi.

"Pak Lurah bilang begitu..?”
”Ya, cukup jelas, kan..?” Candi berjongkok, membetulkan tali sepatu yang lepas.

”Boleh jadi begitu. Pak Lurah melarang aku cerita banyak soal kejadian semalam kepada kamu.
Soal bukti yang kuomongkan itu merupakan bagian yang seharusnya tak aku ceritakan pada kamu..” kata Rio.

Candi berhenti melangkah dan memandang Rio, seolah baru menemukan bahan pembicaraan yang menarik.
”Apa acaramu hari ini..?” Tanya Rio.
”Jalan-jalan keliling desa, melihat-lihat..” timpal Candi.

”Oke kutemani kau sampai kantukku maksimal. Kita bisa diskusi soal ini sambil jalan.
Jangan lupa alihkan pembicaraan kalau kebetulan ketemu orang desa..” ujar Rio.
”Sip..!” Sahut Candi.

Candi dan Rio langsung mengambil jalan memutar dan bersiap mengeksplorasi desa.
Matahari makin membara di atas sana. Angin bertiup cuma sedikit. Jalan berdebu memantulkan panas.

Sementara itu, dugaan Rio tentang telinga ada di mana-mana kelihatannya mulai terbukti.
Dari tempat tersembunyi, sepasang mata terus menguntit gerakan Candi dan Rio.

Pemilik mata itu mengendap di sela semak-semak dan mengwasi dari jarak yang aman.
Tak satu pun gerakan Rio dan Candi luput dari sorot matanya, tak ada yang terlewatkan.

Bahkan gerakan bibir mahasiswa dan wartawati itu dicermati baik-baik.
Berusaha membaca apa yang sdang dibicarakan kedua orang muda ini.

Pengintai itu kelihatan amat terlatih dengan pekerjaannya.
------ooOoo------

Rio bangun pagi sekali.. sebelum matahari terbit. Semalam ia tidur lebih cepat dan sangat pulas.
Selain karena kantuk yang luar biasa, juga karena rasa aman bersemanyam di dada.

Pak Lurah telah memerintahkan empat petugas Hansip untuk berjaga semalam penuh di depan rumah Si Mbah.
Selain itu, masih ada dua petugas Hansip yang diposkan di gardu ronda yang sudah pula diperbaiki.

Menurut para anggota Hansip, penugasan Pak Lurah ini termasuk luar bisa.
Disebut luar biasa karena perhatian dan fasilitas pendukung diberikan secara istimewa..
Jauh lebih mewah katimbang sebelumnya.

Selama berjaga.. para anggota Hansip itu dijamu makan dengan lauk-pauk lengkap dan bergizi.
Antara lain dendeng ragi dan sup ayam buatan Bu Lurah.

Kopi disiapkan berlimpah. Makanan kecil juga seperti tak ada habis-habisnya.
Baterai untuk lampu sorot semuanya baru, dan kentongan nyaring sekali ketika dicoba sore harinya.

Keadaan seperti ini konon akan berlangsung sampai waktu yang tidak ditentukan oleh Pak Lurah..
atau sampai Pak Lurah yakin keamanan desa sudah terjamin.

Tentu saja ini sangat menguntungkan para bapak Hansip yang sebagian besar adalah sukarelawan desa.
Bisa dipastikan akan banyak orang yang mendaftar untuk ronda malam di depan rumah Si Mbah.

Rio melempar ember plastik ke permukaan umur di bawah sana.
Lama sekali ember plastik dengan pemberat itu sampai di permukaan air sumur.
Sumur-sumur di Kemiren memang rata-rata dalam, terutama di musim kemarau, dan airnya tidak jernih.

Setelah mengisi penuh bak logam di dalam kamar mandi, Rio menutup kamar mandi dan segera bersimbah air.
Ini hari Minggu. Kata orang-orang desa, Minggu adalah hari istimewa. Banyak wisatawan berkunjung ke Kemiren.

Sebagian wisatawan berjalan keliling desa.. atau mengunjungi museum milik pemerintah..
yang bertengger di bukit di sebelah barat Kemiren..
Sebagian lagi berkutat di rumah Si Mbah untuk melihat-lihat benda-benda purbakala.

Rumah Si Mbah juga berfungsi sebagai museum mini..
dengan pernik-pernik peninggalan purbakala yang tak terhitung jumlahnya.

Mereka yang datang ke rumah Si Mbah secara sadar menyisihkan sejumlah uang sumbangan..
yang diselipkan ke dalam kaleng bekas kemasan biskuit.
Uang inilah yang menyambung kehidupan Si Mbah dari hari ke hari di masa tua.

”Uang hasil menyewakan tanah bengkok tak seberapa besarnya..”
tutur Si Mbah beberapa saat sebelum kejadian nahas itu.

Rio tak tau berapa rupiah bisa terkumpul di hari Minggu dalam kaleng itu.
Yang jelas, koleksi benda purbakala di rumah Si Mbah telah mengilhami penduduk desa untuk membuat kerajinan tangan.

Sekarang, selain menggarap ladang, sebagian penduduk desa juga menekuni profesi sebagai artis pematung.
Cinderamata dibuat dari batuan yang digali di sekitar rumah, kemudian dipahat..
diukir sedapat mungkin menyerupai benda-benda hasil galian arkeologi di museum Si Mbah.

Lihatlah.. ada kreasi pahatan mirip fosil kepiting yang mirip sekali dengan fosil aslinya yang ada di rumah Si Mbah.
Ada juga yang membuat fosil kapak, senjata yang dipakai orang-orang di jaman purba.

Umumnya yang berdagang barang kerajinan adalah para ibu dan anak-anak.
Para suami, lebih suka bergiat di rumah menekuni pahatan.

Sesekali para suami dolan ke rumah Si Mbah..
untuk memperhatikan model-model kerajinan agar bisa menghasilkan kreasi baru.

Minggu ini, tentu saja rumah Si Mbah tertutup bagi wisatawan.
Ini ditempuh agar ketenangan Si Mbah yang sedang gerah tak terusik.

Jadi, bila ada pengunjung.. Sujarno, anak Si Mbah.. akan langsung meminta..
pengunjung melancong ke lokasi penjualan kerajinan yang disediakan di dekat balai desa.

Seusai mandi.. Rio menjemur handuk di tali jemuran tak jauh dari kamar mandi yang berada di belakang rumah.
Ketika merentangkan handuk di tali jemuran..
ia dikejutkan wajah Candi yang tiba-tiba saja menyembul dari balik pintu kamar kecil.

Senyum Candi mengembang di pipi. ”Sembari menunggu kami mandi, aku memanfaatkan WC ini..” kata Candi.
”Kenapa menunggu aku..?” Tanya Rio terperangah.

Benar-benar tak disangka.. Candi yang kemarin tampil kasual.. pagi ini kelihatan feminin dan seksi.
Dengan balutan daster tipis yang hanya sampai sejengkal di atas lutut, dia terlihat begitu menggoda.
Rio tau kalau Candi tidak memakai bra, payudaranya nampak membayang dari balik daster tipisnya.

”Jangan besar kepala. Aku mau mandi juga, nunggu giliran. Kamar mandi hanya ada di sini.
Satu kamar mandi untuk lima rumah. Bu Parmi juga mandi di sini..” kata Candi santai, tak merasa keberatan dipandangi.
”O, begitu..” komentar Rio, memberi jalan Candi yang menyerobot masuk kamar mandi.

”Bagaimana tidurmu semalam..?” Tanyanya dengan penis mulai tegak akibat menghirup aroma tubuh Candi yang wangi.
”Sangat nyaman. Rumah Bu Parmi besar dan tenang sekali. Di rumah itu cuma ada Bu Parmi dan cucunya ..
yang sudah kelas 2 SMP. Bu Parmi orangnya baik. Tau tidak, Bu Parmi itu ibunya Bu Lurah..” cerocos Candi.

”Oh, ya, aku baru tau..” Rio sengaja ambil posisi di sebelah pintu..
hingga dengan jelas bisa melihat betis Candi yang indah dan pahanya yang putih mulus.

”Bu Parmi suka tinggal di rumah itu. Ia enggan tinggal bersama menantunya yang adalah Pak Lurah itu.
Bu Parmi tinggal dengan Tole.. cucu dari salahsatu anaknya yang sekarang kerja di Kalimantan..” ujar Candi.

Rio manggut-manggut. Dasar wartawati, cepat sekali ia menyerap informasi..!
Batinnya.. sambil lebih sering curi-curi pandang ke betis dan paha Candi yang aduhai.
Putih, mulus dan terlihat kencang. Terawat sekali.

”Masih ada lagi..” Candi urung masuk kamar mandi. Dia malah menyilangkan salahsatu kakinya di atas paha..
Kontan saja daster pendek itu makin tersingkap.
”Pak Lurah punya satu anak laki-laki, kelas 1 SMP. Ia tinggal dengan adik Pak Lurah di kota kabupaten..”

”Kamu benar-benar punya bakat alam yang luar biasa. Wanita.. gosip dan kasak-kusuk..
adalah perpaduan potensial yang bisa mengguncang dunia..” ucap Rio menahan perasaan.

”Apa katamu..?” Tanya Candi. Rio tersenyum kecil. Candi kemudian hilang di balik pintu kamar mandi.
Tapi sejenak kemudian ia meneriaki Rio. ”Apa acaramu siang ini, Rio..?”
”Tak ada yang khusus. Paling cuma mengamati benda-benda di rumah Si Mbah..” kata Rio, tak tahan untuk tidak mengintip.

”Mau ikut aku..?”
”Tidak..!” Rio mendekat..
Ia pandangi siluet tubuh Candi yang mulai melepas baju melalui celah pintu yang kayunya lapuk.

”Aku belum bilang tujuannya, kau sudah bilang tidak..!”
Candi terlihat membelakangi pintu kamar mandi, tubuhnya sudah telanjang.

”Sudah jelas..!” Lekukan tubuh itu nampak begitu sempurna. Rio kesulitan untuk menelan ludah.
”Ke mana..? Tebak..!” Candi mulai mengguyurkan air.

”Keliling desa, bikin wawancara..” kata Rio agak keras.. agar suaranya dapat didengar di tengah kecipak air mandi.
”Hahaha, tau juga..” Candi masih tak sadar kalau tengah diintip.

”Laki-laki memang lebih berpikir ke depan..” ujar Rio menggoda. Dia nikmati siluet tinggi langsing itu.
”Ya sudah kalau tidak mau ikut..” gerutu Candi.. mulai meratakan busa sabun ke seluruh tubuhnya yang montok.

Rio diam sejenak.. tak berkedip ia memandangi betis, paha, dan pantat Candi yang mulus dan putih.

”Jam sembilan aku jemput kau di rumah Bu Parmi. Kalau aku tidak datang, kau berangkat sendiri..!!” Teriaknya.
Candi tidak menimpali.. lebih sibuk mengurut-urut kedua bulatan padat di depan dadanya yang butuh perhatian.

Rio maju selangkah, ingin melihat lebih jelas.
Tapi tanpa sengaja dia malah menyenggol pintu kamar mandi hingga menjeplak terbuka.

“Eh, ma-maaf, Can..!!” Ucapnya langsung menutup pintu. Rio sempat melihat wajah Candi juga terkejut.
Tapi yang lebih parah tentunya dia yang sempat melihat keseluruhan tubuh telanjang gadis itu.
Walaupun hanya sekian detik.

Dari tempatnya berada, Rio bahkan sampai lupa untuk bernapas.
Dia merasa bersalah pada Candi. Yakin aku akan dimarahi olehnya.

Dengan hati gundah, Rio pun memutuskan untuk beranjak dari sana, ingin kembali ke kamarnya.
Tapi belum sempat ia berbalik badan, pintu kamar mandi kembali terbuka, dan Candi muncul dari dalam.
Telanjang bulat..!

“C-Can.. ba-bajumu..!” Ucap Rio sambil memutar tubuh membelakangi.
Dia tidak berani memandangi Candi yang berdiri tanpa busana. Malu.

“Kamu tadi ngintip aku, ya..?” Tanya Candi santai.
“I-iya, Can. M-maaf..” Rio menunduk.

“Kalau ngomong lihat ke sini dong..” Candi berkata.
“Eh.. i-iya..” Dengan malu-malu, Rio pun memutar tubuh lagi, menghadap ke arah gadis itu.

Candi berdiri santai di depannya dengan tangan kiri menutupi buah dada serta tangan kanan menutupi pangkal paha.
Pose yang bikin Rio panas dingin. Dia berusaha untuk tidak melihat langsung, tapi ternyata susah.
Takut.. tapi ingin melihat karena penasaran. Ah.. Rio jadi pusing.

“Kamu kenapa grogi gitu..?” Candi tersenyum, sama sekali tidak merasa bersalah.
“Nggak kenapa-kenapa kok..” jawab Rio berusaha tenang.

“Kamu tidak pernah lihat cewek telanjang yah, sebelumnya..?” Tebak Candi.
“B-belum pernah..” Rio mengaku.
“Owh..“ Candi tersenyum makin lebar. Dia nampaknya memang berniat menggoda Rio.

“Memang kamu tidak malu telanjang seperti itu di depanku..?” Tanya Rio memberanikan diri menatap.
Ia pandangi tubuh Candi yang berdiri basah; air masih menetes-netes dari kulitnya yang mulus.

Busa sabun masih menutupi di beberapa tempat..
tapi Rio dapat melihat dengan jelas buah dada Candi yang menggantung indah..
Juga bulu-bulu tipis yang tercukur rapi. Liang kemaluannya nampak sempit, basah dan hangat.

“Kenapa mesti malu..? Kamu sudah baik sama aku..” jawab Candi senyum-senyum.
Aah.. melihat senyuman cewek cantik yang sedang telanjang bulat seperti ini sungguh membuat Rio tak tahan.

“Sudah dulu yah, aku mau lanjutin mandi. Kamu antre sana.. kita nggak boleh barengan..”
Ujar Candi sambil mengerlingkan mata. Mendengar ucapannya itu membuat jantung Rio semakin berdetak cepat.

Candi masuk kembali ke dalam dan menutup pintunya, sedangkan Rio tetap berdiri kaku.
Membatu.. tak bergerak seakan terpaku pada bumi.

Pemandangan barusan benar-benar membuat darahnya bergejolak tak karuan.
Baru kali ini aku merasakan yang seperti ini.

Terus ia mengintip segala aktivitas Candi dengan penis mengacung keras.
Sesekali juga mengurut-ngurutnya.. tapi tetap tak berani untuk mendobrak ke dalam.
Dia menghargai pilihan Candi, yang pasti akan mengundangnya kalau memang ingin.

Tak beberapa lama, Candi pun selesai.
Gadis itu keluar dengan sudah mengenakan pakaian lengkap, dasternya yang tadi.

“Tuh, mandi sana..!” Ucapnya sambil berlalu.
Candi berlagak seperti tidak terjadi apa-apa.. padahal perasaan Rio sudah tak karuan.

Dia bergegas masuk ke dalam.
Bayangan Candi yang telanjang bulat terus membekas di pikirannya, tidak mau hilang.

Penisnya juga tambah ngaceng dan menegang.
“C-Candi..!” Entah kenapa Rio jadi berusaha mengingat dengan detail tubuh gadis itu.

Warna kulit Candi yang putih bersih tanpa cacat.. butiran air yang meluncur dengan mulus di lehernya.
Perut serta belahan dada Candi yang teramat montok, juga lekuk tubuhnya yang benar-benar indah.

Bagian yang paling mempesona menurut Rio adalah buah dada Candi yang nampak bening.
Meskipun gadis itu berusaha menutupinya. Puting yang mungil sekilas terlihat olehnya.
Puting berwarna coklat muda kemerahan.

“Arghh..!!” Tanpa sadar Rio mulai memegang penisnya dan mengocoknya.
Untuk pertamakalinya.. dia beronani sambil membayangkan tubuh wanita.
Ah.. kacau. Jadi mandi lagi nih.

Rio terus mengurut-ngurut penisnya..
Tidak menyadari sedari tadi sepasang mata mengamati dari tempat tersembunyi di kejauhan.

Sepasang mata itu terus mengikuti langkah Candi yang masuk ke rumah Bu Parmi..
Dan berganti-ganti menatap pintu kamar mandi.

Agaknya pemilik mata itu tak ingin kehilangan jejak dua pendatang di desa ini.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
Terakhir diubah:
-----------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------

Cerita 196 – Misteri Tersembunyi


Bagian 03

Candi mengencangkan
ikat pinggang.. dengan kaos-t warna biru muda dan celana jins yang dikenakan sejak kemarin.
Tas pinggang sudah penuh dengan buku catatan, alat tulis, ponsel, dan baterai cadangan.
Kamera dikalungkan di bahu kanan, topi pet tanpa atap dikenakan agak mendongak.

Candi menatap wajahnya di cermin buram dan menasehati dirinya sendiri..
”Ingat.. cuma tentang kerajinan, tanpa berita cedera Si Mbah..!”

Bu Parmi tak ada di rumah, mungkin sedang ke pasar. Candi keluar lewat pintu belakang.
Kata Bu Parmi, pintu belakang biasanya tidak pernah dikunci.

Tapi semenjak peristiwa penganiayaan Si Mbah, pintu belakang harus dikunci bila keluar rumah.
Anak kunci sepakat diselipkan di bawah pot kembang sri rejeki yang terletak dekat pintu belakang.
Siapa yang tiba duluan boleh merogoh anak kunci dan membuka pintu belakang.

Candi melangkah di halaman belakang menuju ke jalan. Kini ada dua pasang mata yang bergerak seiring gerakannya.
Sepasang mata lagi tetap mengawasi rumah Si Mbah yang berjarak beberapa rumah dari rumah Bu Parmi.

Jelas para pengintai sudah paham pagi ini Rio dan Candi tak jalan bersama.
Jadi diperlukan dua juru intai untuk mengawasi dua orang asing di desa ini.
Sampai saat ini, Rio dan Candi tak tau mereka diawasi dengan ketat.

Santai Candi berjalan di jalan desa yang dilapisi batu makadam.
Ia habiskan 5 shot untuk memotret seorang ibu yang tengah berjalan dengan senampan barang kerajinan.

Saat Candi sibuk mengambil gambar, seorang bocah berlari cepat ke arah berlawanan.
Bocah itu berteriak keras. ”Mak, ada rambut jagung. Ada rambut jagung datang..!!” Teriak bocah itu.
Ujung kemejanya berkibar-kibar saking kencangnya ia berlari.

Candi mengikuti lari bocah itu dengan matanya. Si bocah masih berteriak-teriak.
”Ada rambut jagung. Cepat bawa dagangan..!” Seorang wanita tengah baya menyongsong bocah itu.
”Ada satu rambut jagung. Mana dagangannya..?” Kata bocah itu.

Si ibu tergopoh masuk ke dalam rumah lalu kembali beberapa saat kemudian..
dengan senampan barang kerajinan. Keduanya kemudian berlalu.

”Ada rambut jagung..” ibu-ibu tetangga lain yang tadi cuma duduk-duduk di beranda rumah..
tiba-tiba bergerak cepat, masuk ke dalam rumah..
Lalu segera ke luar rumah dengan senampan barang kerajinan juga.

Candi terpaku di jalan. Ini momen menarik.. pikirnya. Beberapa jepretan ia buat..
Mengabadikan hiruk pikuk ibu-ibu itu. Tapi, apa itu ’rambut jagung’..?

Ia memutar kepala dan tergerak mengikuti arah ibu-ibu pembawa nampan barang kerajinan.
Candi termangu manakala di belokan jalan ia melihat sesosok bule perempuan berjalan ke arah kantor desa.

Wajahnya cantik. Rambutnya merah kecoklatan menyala. Tubuhnya sintal dan menggoda.
Candi baru tau inilah yang disebut-sebut sebagai ’rambut jagung’.

Rupanya.. setiap turis asing yang bertandang ke Kemiren menjadi sasaran empuk para pedagang barang kerajinan.
Meski hanya seorang yang datang, itu sudah cukup menggegerkan sebagian desa.

Candi meraih catatan dan menulis kesibukan kecil itu di buku catatannya.
Bule itu tersenyum tatkala berpapasan dengan Candi.. yang dibalas senyuman kecil juga oleh Candi.

Belum lagi si bule cantik sampai di pusat penjualan barang..
ia sudah dikerubuti sejumlah perempuan dan anak-anak yang mengacungkan berbagai jenis patung.

”Ten dosen.. ten dosen..!!” Terdengar suara gaduh di sekeliling si bule.
Si bule cuma mengangkat kedua tangan di depan dada, tanda tak berminat.

Tapi orang-orang itu seperti tak bosan-bosannya mengacungkan dagangan dan menyebut harga.
Si bule akhirnya menyerah. Ia meraih asal-asalan satu patung yang diacungkan bocah.

”How much..?” Tanya si bule dengan suara merdunya.
“Ten dosen..” anak itu menyebut ten thousand, sepuluh ribu rupiah.

Si bule perempuan merogoh saku dan memberikan sepuluh ribuan kepada anak itu.
Ia mengira berakhir sudah kerubutan orang-orang di dekatnya.

Tapi ia salah. Sejumlah tangan tiba-tiba mengacungkan batu akik.
Turis bule itu mengibas-ngibaskan tangan tanda tak mau.

Candi tersenyum sendiri melihat adegan ini. Beberapa jepretan ia buat lagi.
Untung kerumunan itu bosan dengan tolakan si bule.

Kini sang bule bisa bernafas lega.. karena cuma ada satu bocah kecil yang membuntutinya terus.
Ia mengacung-acungkan pahatan berbentuk kapak ”Kampak, miss. Faif dosen..” ujar anak itu..
menyebut kapak dengan ’kampak’.

Si turis tidak meladeni. Bocah itu membetot bajunya. Ia merentangkan empat jari, tanda empat ribu..”
Si turis tak bergerak. Si bocah mengacungkan tiga jari. Si bule tetap tidak bereaksi.

”Rambut jagung edan..!” Umpat bocah kecil itu dan berlari menjauh. Menyerah dia.
Candi mendekati si bule cantik. ”Bad day..?” Sapanya.

”Kind of.. saya panik dikerubuti seperti tadi..” ujar si bule dalam bahasa Inggris.
”Nama saya Candi. Saya wartawati..” Candi mengulurkan tangan.

”Cindy..?” Tanya si bule.
”No, Candi.. bukan Cindy..”

”Candi..? Saya Danica Böhme, dari Jerman. Kau sedang bikin berita di sini..?“ Tanya Danica.
”Ya. Saya dari Jakarta..” kata Candi.

”Sudah keliling desa..?”
”Belum. Tadinya saya mau ke museum Parto Sumartono, tapi mereka bilang hari ini museum tutup.
Apa selalu tutup kalau hari Minggu..?” Tanya Danica.

”Mestinya buka. Tapi hari ini khusus..” ujar Candi.
”Kenapa..?”

”Well, orang tua yang mengurusi museum itu sedang sakit. Ia tidak bisa melayani wisatawan..” kata Candi.
”Tak ada yang mewakili..?” Tanya Danica lagi.
”Mungkin tidak ada.”

”Sayang sekali. Saya ingin ngobrol banyak dengan Parto Sumartono dan melihat-lihat koleksinya.
Kau tau.. nama desa ini banyak ditulis di literatur-literatur antropologi dunia. Pasti kau tau juga..
Kristoff von Weissernborn, paleo-antropolog Jerman yang terkenal di dunia itu..
menemukan peninggalan bernilai tinggi di situs desa ini..” kata Danica.

”Ya, sebagian penemuannya ditinggalkan di rumah Parto Sumartono..” kata Candi.
”Saya dengar nama Parto Sumartono dari seorang teman Jerman yang pernah berkunjung ke sini.
Parto yang mendampingi von Weissernborn menemukan peninggalan purbakala itu, ’kan..?”

”Betul..” Danica menyeka keringat di jidatnya, ”Apa museum Parto Sumartono bisa buka besok?
Saya akan tunggu. Ada penginapan di dekat-dekat sini..?”

Candi melepas topi pet. ”Besok..? Entahlah, rasanya agak lama kalau harus menunggu Mbah Parto sembuh..”
Danica menghempaskan nafas. ”Sayang sekali. Padahal museum itu yang paling ingin saya kunjungi..” keluhnya.

Candi menangkap kesan kecewa berat di raut bule cantik yang ia perkirakan berumur 30 tahun itu.
”Betul-betul kau ingin ke museum itu..?” Tanya Candi.

“Apa kelihatannya aku tidak serius..?” Timpal Danica.
“Mungkin aku bisa bantu..” kata Candi kemudian.
”Oh, ya..?” Mata Danica membundar.

”Aku akan antar kau ke sana. Aku kenal seorang mahasiswa yang tinggal di museum saat ini. Namanya Rio.
Nanti kukenalkan kau padanya..” ujar Candi.

”Well, tawaran yang menyenangkan. Sekarang..?” Kata Danica.
”Ya, sekarang..”
Danica mengikuti Candi berbalik arah. Sesaat kemudian mereka terlibat percakapan akrab.

Sepasang mata yang sedari tadi menguntit Candi makin menegang.
Ketika pemilik mata itu tau Candi dan si rambut merah berjalan ke arah rumah Si Mbah, ia melesat menghilang.

Tampaknya ada orang lain yang akan menerima laporan dari sang pengintai.
------ooOoo------

Sujarno berkacak pinggang di depan pintu masuk rumah Si Mbah tatkala melihat Candi datang bersama si bule.
Kelihatan Sujarno sangat tidak suka pemandangan ini.

”Saya tadi sudah sampaikan pada rambut jagung ini bahwa museum Si Mbah tidak terima tamu hari ini..”
Songsong Sujarno dengan pandangan sebeku es.
”Ini Danica, turis Jerman. Ia hanya ingin melihat-lihat, Pak Jarno. Tidak akan mengganggu Si Mbah..” tukas Candi.

”Kenapa Dik Candi suka bikin aturan sendiri..?” Desis Sujarno, nadanya naik.
Tak menduga ia akan mendapat tusukan sepanas itu.

”Tapi ia datang jauh-jauh untuk mengagumi koleksi Si Mbah..” kata Candi.
Sujarno berusaha tak menatap Candi. Ia tau mata gadis itu bisa bicara selihai mulutnya.

Pada saat itu Rio muncul dari ruang dalam. Ia menangkap suasana tak enak di beranda rumah itu.
”Ada apa..?” Tanya Rio.

”Ini Danica, dari Jerman. Ia ingin melihat-lihat koleksi Si Mbah.
Papan nama di depan itu yang mengundang ia ke sini..” kata Candi.

”Saya yang melarang orang luar berkunjung, demi ketenangan Si Mbah..” tutur Sujarno.
Rio mendekati Sujarno.
”Kalau untuk alasan ketenangan, saya pikir berlebihan bila Pak Jarno melarang turis ini bertamu ke sini.
Mohon tengok, Pak. Ibu-ibu dan tetamu yang menjenguk di bilik sebelah Si Mbah.. jauh lebih gaduh..
daripada seorang turis sendirian yang cuma ingin melihat-lihat.
Ia tak akan mengganggu asalkan tak mengajak Si Mbah mengobrol..” kata Rio.

Sujarno menghela nafas; semburannya berbareng dengan asap rokok.
”Terserahlah. Tapi kalau ada apa-apa, kau yang tanggung..”
Kata Sujarno.. membalikkan badan dan berlalu ke bilik Si Mbah.

Rio mengisyaratkan agar Candi dan Danica masuk rumah. ”Everything is okay..” kata Rio.
Danica tampak senang. ”Well.. ada satu hal yang saya suka dari orang Indonesia..” ujarnya.
”Apa itu..?” Sela Candi.
”Peraturan ternyata boleh ditawar lewat rembugan singkat..” kata Danica.

Rio tersenyum dan langsung memimpin Danica menuju ke ruang koleksi benda purbakala milik Si Mbah.
Beberapa orang yang setia menunggui Si Mbah berkasak-kusuk mengomentari Danica.
Agaknya Danica menjadi bahan pembicaraan yang mengasyikkan.

Candi tak turut menemani Danica menengok koleksi Si Mbah.
Ia menyusuri halaman rumah Si Mbah yang luas dan kembali ke jalan desa.

Ia memutar hape untuk memeriksa rekaman dan barulah ia tau baterai sudah lemah dan perlu diisi.
Sayang sekali ia tidak membawa power bank, charger juga ia tinggal di kamarnya di rumah Bu Parmi.

Candi memutar ke kanan untuk mencapai jalan tembus balik ke rumah Bu Parmi.
Tak sampai sepuluh meter dari pintu belakang rumah.. Candi mendengar gemerisik dedaunan bergesek.
Cepat ia melihat ke arah gesekan daun itu. Sesosok tubuh melintas cepat di balik semak-semak.

Siapa itu..? Waspada Candi mengawasi sekelilingnya.
Perasaannya jadi tak enak setelah menangkap kelebat orang ia. Ia curiga ia tengah diamati.

Bergegas ia menuju ke pintu belakang rumah..
kemudian mengambil anak kunci dari bawah pot kembang setelah memastikan tak ada yang melihatnya.

Bu Parmi belum ada di rumah. Ruang belakang agak gelap..
Sinar matahari hanya masuk lewat sepotong genting kaca yang dipasang terlalu tinggi.

Candi tercengang tatkala melihat jendela samping terbuka sedikit. Candi memeriksa.
Ada bersit bekas congkelan di permukaan kusen jendela. Jendela itu pasti telah dibuka dengan paksa.

Segera Candi berkeliling rumah untuk memeriksa barang. Jam dinding kuno kesayangan Bu Parmi masih ada di tempat.
Radio transistor kecil masih tergeletak aman di meja. Tak ada yang lenyap.

Candi berjalan ke kamarnya. Ia memutar kunci kamar. Kamar gelap.
Tak ada perubahan penting susunan benda-benda di kamar itu.

Candi meraih senter di dinding dan menyorot ke seluruh pelosok kamar.
Tak ada yang aneh, kecuali selembar kertas putih yang terhampar di lantai.

Ia menjumput kertas itu. Ini bukan jenis kertas bagian dari notes-nya. Candi menyorotkan lampu ke kertas itu..
Selembar kertas bergaris yang dicabut dari bagian tengah buku tulis anak sekolah.

Kertas itu dilipat menjadi dua. Candi membuka lipatan kertas.
Sederet kalimat yang ditulis dengan pulpen terpampang di depannya. Tulisannya besar-besar.

Gadis itu melotot. Tubuhnya gemetar. Tak ada nama penulis pesan itu.
Tapi ia yakin surat itu ditujukan untuknya. Suhu tubuh Candi meningkat.

Dibacanya sekali lagi pesan di kertas itu. Isinya benar-benar membuatnya merinding.
Benarkah semua yang tertulis di situ..? Siapa yang mengirimkan pesan itu..?
------ooOoo------

“Saya sangat terkesima.. belum cukup rasanya setengah hari di sini..” ujar Danica..
mencoba menyeruput kopi tubruk yang disuguhkan Rio di bale-bale di depan rumah Si Mbah.

Matahari sore mengirimkan sinar kemerahan di dedaunan.
Bayang-bayang pepohonan di hamparan rumput tampak lebih panjang daripada pohonnya.

“Kamu pasti ingin tinggal lebih lama..?” Tebak Rio, menjentikkan ujung pulpen.
“Begitulah. Kamu mengizinkan..?” Tanya Danica.

“Bukan aku yang beri izin, tapi Pak Sujarno. Tapi aku pikir tak ada alasan bagi dia..
untuk melarangmu tinggal di sini sehari lagi..” Rio mengunyah kacang kulit yang disodorkan Danica.

“Barangkali aku bisa bicara sendiri pada Sujarno..?” Kata Danica.
“Pak Sujarno sudah pulang, Sekarang istrinya yang menjaga Si Mbah..” tukas Rio.
“Jadi..?”
“Jadi, kau tinggal saja di sini sampai besok. Banyak kamar kosong di dalam sana..” kata Rio.

Danica mengernyitkan dahi. Dari kejauhan ia melihat Candi bergegas ke arah mereka.
Topi pet mendongak di depan dahinya.

”Itu Candi..!” kata Danica. ”Kita tidak lihat dia seharian..”
”Dia pasti sibuk mencari berita..”
kata Rio.. memperhatikan langkah-langkah tergesa Candi di hamparan rumput halus menuju beranda rumah.

"Aku mau bicara dengan kau..” Candi langsung bicara.
”Soal apa..?” Rio masih mengunyah kacang.

”Penting. Jangan di sini..” Candi melongok ke dalam rumah, kuatir ada yang menguping bicaranya.
”Kalau soal tadi pagi, aku ogah..” Rio membersihkan gigi dengan lidahnya.

”Bukan soal tadi pagi. Ini lebih penting..” Candi setengah memaksa, rautnya amat manis dalam ekspresi itu.
”Mau bicara di mana..? Di kamar mandi..?” Goda Rio.
”Diam..! Ikuti aku..” pinta Candi.

Danica mengikuti pembicaraan dua orang ini dengan terbengong-bengong.
Rio mengikuti Candi, sambil memberi isyarat pada Danica untuk menunggu sebentar.

Candi melintasi halaman rumah Si Mbah dan memilih sebuah tempat duduk terbuat dari lempeng batu..
yang melintang di antara dua batu tepat di bawah sebuah pohon dengan bunga-bunga merah..
membentuk serabut-serabut kecil. Tempat duduk kayu itu cukup terlindungi dan sulit dilihat dari arah mana saja.

Tak sabar Candi membeber kertas yang dipungut di lantai kamarnya tadi. Rio membaca cepat.
Alisnya berdiri. Ia ulangi membaca pesan yang ditulis tanpa tanda baca itu:

KAU MAHASISWA DAN RAMBUT JAGUNG ITU KALAU TAK MAU MATI
TINGGALKAN DESA INI SEBELUM GELAP


Mati..! Ada kata ’mati’ di pesan ini.. bulu kuduk Rio berdiri. ”Dari mana kau dapatkan..?”
”Di lantai kamarku, tadi siang..” jawab Candi.

Rio sekali lagi menatap deretan kata-kata pada pesan itu, nyaris tak percaya.
”Kalau ini lelucon, ini sama sekali tidak lucu. Siapa kira-kira yang bikin banyolan ini, kayak di film aja..” ujar Rio.

”Ini jelas ditujukan buat kita dan Danica. Aku yakin ini bukan pesan kelakar..” kata Candi.
Rio menatap mata Candi. ”Menurutmu siapa yang mengirim ini..?”

”Entahlah. Yang jelas, aku melihat seseorang berkelebat tak jauh dari jendela kamarku tadi.
Aku masuk kamar. Daun jendela ruang tengah sudah tercongkel.
Ada yang masuk dan menyelipkan kertas ini di bawah pintu kamarku.”

Rio tercenung sesaat, kemudian menoleh Danica di kejauhan yang masih asyik dengan kacang dan kopi di beranda.
”Kenapa Danica disebut-sebut juga..?” Tanya Rio.

Candi tak menyahut. Ia meraih kertas itu dari tangan Rio dan mengamati tulisannya.
Ia mencoba menganalisi motif dan bentuk tulisan. Tapi tentu saja tak akan muncul jawaban dari situ.

”Ada yang musti kita curigai..?” Tanya Rio.
Candi mendongak dan menyapu bibirnya yang kering dengan lidah.

”Kita tidak bisa menuduh. Tapi pasti ada orang-orang yang tak menyukai kehadiran kita di sini.”
”Kira-kira siapa..? Sebut saja nama. Aku mungkin bisa mendukung dugaanmu..
kalau dugaanku sama dengan dugaanmu..” kata Rio.

”Pertama, aku curiga pada Pak Sujarno..” kata Candi, ”kedua, Pak Lurah..” tutur Candi.
”Sama persis. Keduanya itu dugaanku..” ujar Rio.

”Sekarang kita perlu berpikir soal pesan ancaman itu..” Candi meraih kertas itu dan meremasnya.
Heran juga Rio, tak terbersit tanda-tanda kekuatiran pada wajah gadis ini.

Candi kini menatap bunga-bunga di ujung gugusan daun di atas dan di sekelilingnya.
”Kamu tidak takut..? Kalau kamu takut, sebaiknya kau dan Danica pergi dari desa ini sebelum Maghrib..” kata Rio.

”Kau sendiri..?” ujar Candi.
”Aku akan selesaikan pekerjaanku, minimal dua hari lagi. Aku tidak takut ancaman itu..” Rio menatap Candi.

Candi tak segera menjawab. Ia kembali melayangkan pandangan ke arah bunga-bunga di pohon di atasnya.
Ia meraih satu serabut bunga yang jatuh di keningnya dan menebarkan serabut merah itu di telapaknya.

”Pohon ini namanya kaliandra.. daunnya berjuntai-juntai rindang dan bunganya merah..
berbentuk puluhan jarum yang tumbuh tegak lurus. Pohon ini tahan segala musim dan cuaca.
Akarnya mampu mengikat nitrogen di dalam tanah, menjamin kesuburan di sekitarnya..”

Rio tak habis pikir. Alih-alih bicara soal ketakutan ancaman itu, Candi malah mulai membahas sebatang pohon.
”Dari awal aku menyukai pohon kaliandra..” sambung Candi.

”Banyak hal yang bisa dilakukan oleh sebuah pohon untuk lingkungannya.. meski ia tak bisa bergerak leluasa..”
Candi kini menatap Rio dengan sorot mata dalam.

”Kamu tau maksudku. Tadinya aku memang takut setengah mati. Tak pernah dalam hidupku..
aku menerima pesan pakai kata-kata ’mati’. Tapi aku mencium hal yang tidak beres di desa ini.
Aku tak akan pergi dari desa malam ini. Ada banyak hal yang bisa kulakukan.
Tubuh dan pikiranku bisa bergerak leluasa. Aku ingin memahami apa yang terjadi di sini..”

Candi masih menyorotkan mata pada Rio.
Rio kini paham kenapa Candi mengawali kata-katanya dengan penjelasan soal pohon Kaliandra.

”Jangan sekali-sekali kau mengira aku takut lantaran aku perempuan.
Aku tidak takut dan aku akan tinggal di sini malam ini..” tegas Candi.

Rio menelan ludah, kemudian menyalakan sebatang rokok.
Rembang petang mulai melingkung desa Kemiren. Nyala korek api terlihat terang di ujung rokok.

”Aku sudah sampaikan niatku..” Candi berdiri. ”Kita akan tetap tinggal di sini dan mengabaikan ancaman itu.
Hanya saja, kini kau punya satu tugas..” Candi menoleh ke arah Danica, ”Beri si bule cantik itu pilihan..” kata Candi.

Rio meraih gumpalan kertas ancaman itu dari tangan Candi, dan melangkah ke arah Danica.
Candi menguntit dari belakang.

”Dani..” kata Rio. ”Aku tau belum genap sehari kau di sini.
Tapi sudah ada satu ketidaknyamanan kecil yang melibatkan aku, Candi dan kau.
Candi mendapatkan surat ancaman ini..” Rio mengangsurkan kertas kumal itu pada Danica.

Bule itu mendengarkan suara Rio menerjemahkan.
”Dead..? Ho ho.. this must be kidding..! Kau pikir aku menanggapinya serius..?” Balas Danica.

“Tapi ini betul. Surat ini kutemukan di kamarku.
Aku melihat kelebat orang yang kuperkirakan taruh surat ini di kamarku..” jelas Candi.

Wajah Danica menegang sedikit..
barangkali tengah berpikir kenapa ada tempat wisata yang mengancam wisatawan asing dengan kata ’mati’.

”Ini serius, Dani. Kau boleh pergi kalau merasa tak nyaman. Jangan ikut terlibat..” ujar Rio.
Wajah Danica berubah gusar. ”Aku memang mau pergi. Tapi bukan karena ancaman ini..!”

”Jadi kau tidak takut..?” Ujar Candi.
”Sama sekali tidak. Kalian..?” Tanya Danica balik. Rio dan Candi menggeleng.

”Bagus! Jadi tak ada alasan untuk pergi. Aku sama dengan kalian, gampang tertarik pada hal-hal yang misterius..”
dengus Danica. ”Alasan lain adalah karena aku belum puas melihat-lihat.
Apakah salah bila ada turis tinggal berlama-lama di tempat yang ia suka..?” Tanya Danica.

Rio mengisap rokok dalam-dalam. Candi menyeka wajah dengan saputangan.
Danica mempermainkan kulit kacang. Kini mereka saling tunggu untuk melempar gagasan.

Candi agaknya punya ide duluan. ”Baiklah, friends. Ini memang aneh.
Tapi kita harus akui kita sama-sama sepakat ingin tau misteri di desa ini. Kita cari tau lebih banyak, okay..?” Kata Candi.

”Yup. Malam ini kita coba temui Pak Lurah. Kita desak ia agar berterus terang tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Aku yakin kunci informasi itu ada pada Pak Lurah..” kata Rio.

Candi meneguk sedikit kopi dari cangkir Rio. ”Aku setuju itu. Kau tanya Danica apakah ia setuju dengan gagasanmu..”
Danica ternyata suka-suka saja dengan gagasan Rio.
”Memecahkan misteri desa..! Oi.. wisata yang mengasyikkan..!!” Seru Danica.
------ooOoo------

Bu Lurah menghenyakkan pantat di kursi empuk dekat Pak Lurah. Asromo melirik istrinya tanpa semangat..
sama tak bersemangatnya dengan tatapannya yang menerobos ke luar jendela yang terbuka.
Nafas Asromo naik turun tak teratur. Wajahnya menegang dan duduknya gelisah.

”Kalau tak enak badan, rebahan saja, Pak..” saran Bu Lurah. Asromo mendengus kecil, tak menjawab istrinya.
Hendro, anak semata wayang mereka yang tengah menghabiskan akhir minggu di rumah..
tengah asyik bermain monopoli dengan Marni, pembantu rumah.

Bosan berdampingan dengan suaminya yang mengkerut terus, Bu Lurah bangkit dan memperhatikan Hendro.
Uang kertas mainan monopoli di hadapan Hendro kelihatan lebih banyak daripada punya Marni.

”Kau menang, Nak..?” Tanya Bu Lurah pada putranya yang hampir genap berusia 13 tahun.
”Aku selalu menang, Bu..!” Sahut Hendro bangga.

”Lha, Mas Hendro mainnya nakalan. Setiap dapat 200, ambilnya 2.000..” celetuk Marni.
Bu Lurah tersenyum. ”Jam delapan kamu musti tidur, supaya besok tidak bangun terlambat..” ujarnya.
Hendro mengiyakan.

Terdengar sebuah ketukan halus di pintu. Bu Lurah menengok melalui korden di jendela yang dia singkap.
”Selamat malam, Bu Lurah. Maaf mengganggu. Bisa kami bertemu Bapak..?” Sapa Rio.

Bergegas Bu Lurah membukakan pintu. ”Oo, adik-adik, to..? Silakan masuk..”
Bu Lurah menguak daun pintu lebar-lebar dan membiarkan Candi, Rio dan Danica masuk.

”Pak, ada Dik Rio dan Dik.. siapa..?” Kata Bu Lurah menoleh Candi dan melirik Danica.
”Candi..” timpal Candi, membantu meneruskan ucapan Bu Lurah.

Pak Lurah menoleh, tapi tak segera bangkit. Kelihatan sekali ia tak suka kehadiran tamu malam itu.
”Silakan duduk. Ada apa, sih..?” Tanya Pak Lurah dingin.
Kata ’sih’ di akhir pertanyaan itu cukup menandakan ia kurang suka tamu-tamunya.

”Maaf, Pak. Tamu asing ini namanya Danica, wisatawan Jerman..” Rio membantu memperkenalkan Danica.
Pak Lurah menyambut uluran tangan Danica tanpa semangat.
Ia kemudian duduk agak jauh dari ketiga tamunya. Bu Lurah sendiri menyibukkan diri di sudut ruangan.

Kalau diamati dengan cermat.. tempat Bu Lurah berdiri terhitung amat strategis;
Ia dapat dengan mudah menatap ke arah Rio tanpa diketahui orang lain.

”Mohon maaf kelancangan kami, Pak Lurah. Kami mohon dengan hormat..
agar Pak Lurah sudi menceritakan masalah desa ini pada kami..” kata Candi berhati-hati.

Asromo tersentak ditodong seperti itu. Sesaat ia seperti tak mampu menguasai diri.
Asromo menghunus sebatang rokok dari kemasannya..
menyulutnya dan menghembuskan asap dengan cepat.. seperti menghempaskan kejengkelan.

”Barangkali saya perlu mengingatkan saudara-saudara sekalian..
bahwa saudara-saudara sama sekali tidak berhak untuk mencampuri urusan desa ini..”
Kata Pak Lurah langsung menghujam.
Bu Lurah sempat mendongak mendengar kata-kata suaminya dari kejauhan.

”Saudara Rio datang ke Kemiren dengan izin tak resmi untuk mengerjakan penelitian tugas kuliah.
Saudari Candi meminta izin untuk mewawancarai penduduk desa dan memotret untuk mencari berita..
dan sampai saat ini saya belum tau kenapa orang asing ini ada di desa..” lanjut Pak Lurah, melirik Danica.

”Itu benar. Tapi kami terusik untuk tau..
kenapa Pak Lurah menutup-nutupi peristiwa yang terjadi pada Si Mbah kepada orang luar..” sela Rio.

”Itu urusan saya, urusan desa ini..!” Sentak Pak Lurah dengan nada meninggi.
Bu Lurah tanpa ragu-ragu mengarahkan pandangan pada para tetamu untuk menguping.

”Kami tau itu, Pak. Tapi mungkin Pak Lurah perlu tau..
Ada orang-orang yang memata-matai kami secara sembunyi-sembunyi sejak kemarin sore..” kata Rio.
”Itu bukan urusan saya..!” makin tinggi kata-kata Pak Lurah.

”Baiklah, Pak..” sela Candi kemudian, ”Itu memang bukan urusan Bapak.
Tapi mungkin Pak Lurah perlu tau ini..”

Candi mengeluarkan carik kumal kertas ancaman itu dan menunjukkannya pada Pak Lurah.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo--------------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd