-----------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------
Cerita 126 – Biar Lajang Tapi Matang..!!
[Part 2] – Belajar Ngentot..
Dengan cepat dia melepas sisa lingerie-nya.. kemudian mencampakkannya ke lantai berkarpet.
Wow..! Luar biasa.. bulu lebat membentuk segitiga seperti celana dalam.
Lalu aku naikkan kaki kanannya ke kursi rias. Wah..! Luar biasa. Kelebatan bulu vaginanya menutupi vulva.
Aku sibak bulu vaginanya, lalu tampaklah vulva yang berwarna gelap..
Hmm.. kecoklatan.. bukan kemerahan.. bukan coklat muda.
Aneh..! Aku kok bisa terangsang. Padahal kalau melihat gambar porno perek melayu yang berkulit hitam..
Meski pun payudaranya besar, toh vulvanya gelap. Dan itu menjijikkanku.
Tapi kali ini aku terkesima. Aku sibak dan belai bulu vaginanya yang sedikit basah.
Begitupula vulvanya. Vulva seorang perawan matang yang mengkilap.
Aku terus memandanginya. Kutunda sekuat tenaga untuk tidak segera mengecup dan menjilatinya.
Karena aku ingin menikmati pengalaman baruku secara bertahap dengan pelan.
Dengan jempol kuraba clitorisnya yang menyembul keras dan gelap itu. “Auwwwwww..!!” Mbak In bersuara.
Astaga..! Jadi inilah clitoris si Mbak. Coklat tua, ada merah tuanya. Besar juga clit-nya.
Aku putar pakai jempol. “Ihh.. gila kamu Gus..!”
Lalu jari telunjuk dan jari tengahku menjepit clitnya dan memutar-mutarkannya.
“Gila.. ghuillaa.. waohh..!!” Desahnya. Nafasku mulai memburu. Mbak In juga.
Aku ambil break sejenak.
Mundur, duduk, kaki selonjor di lantai, kedua tanganku di lantai menyangga badan.
Saat dia akan menurunkan satu kakinya, aku bilang, “Jangan dulu Mbak..”
Kuamati tubuh di depanku itu. Barulah kusadari pancaran kewanitaannya.
Tubuh Mbak In memang kencang.
Dalam umur 42 masih bagus badannya, karena masih perawan, belum pernah melahirkan.
Lebih dari itu dia memang rajin senam dan fitness, begitu pun renang.
Sempat terbayang bagaimana ketiaknya terlihat kalau dia senam dan renang.
Tubuh langsing padat, payudara kecil kencang, bulu vagina lebat merambat.
“Mbak aku pingin liat ketiak Mbak lagi..” pintaku. Dia mengangkat kedua lengannya. Bayangkan.
Satu kaki di kursi, kedua lengan terangkat, dada busung tegak. Oh indahnya. Oh wanita dewasa.
Oh wanita matang. Oh wanita lajang. Oh wanita perindu kehangatan lelaki.
Oh wanita matang lajang kesepian..
Yang hanya berfantasi setiap hari sambil mendidihkan birahi untuk dirinya sendiri.
“Apa lagi sekarang Gus..?”
“Mbak aku mau liat vulva Mbak..”
“Boleh. Nih liat..”
Wow..! Tangan kanannya turun, lantas jemarinya merentang labia majora.
Merah tua menggelap, tapi bagian dalamnya merah menyala. Begitu basah dan berkilau.
Lendir yang encer terlihat jelas. Sesaat aku menikmati pemandangan yang belum pernah kualami itu.
Tangan kanan menyibak vulva, lengan kiri terangkat memamerkan ketiak lebat.
“Mbak jilat sendiri Mbak..” Ah, dia mau melakukannya.
Jemari itu dijilatinya, lalu digesekkan lagi ke vulva, jilat lagi, beberapakali.
Aku tidak tahan, lalu berdiri. Penisku kian mengeras.. sehingga celana dalamku seperti menyimpan senjata.
Ada setitik basahan di situ. Itu mungkin tetesan pertama maniku. Aku menghela nafas. Lalu melepas kaos.
“Tunjukin dong penismu..” kata Mbak In, lalu duduk di kursi rias itu. Aku mendekat.
“Badanmu bagus, Gus. Atletis..”
Aku bersyukur, mempunyai tinggi 175 cm dengan berat 75, dan otot yang masih kencang.
Lalu dia meraba celanaku, lalu tonjolan penisku. Kemudian memelorotkan celanaku. Tuinggg..!
Srettt..!! Begitu celana dalamku merosot..
maka batang penisku turun, tertarik ke bawah sesaat, untuk kemudian tegak mendongak.
Dia memandangi penisku. “Pegang Mbak..” kataku. Mbak In nggak langsung menggenggam.
Tapi merentang jempol dan kelingkingnya seperti mengukur panjang. “Kayak pisang..” katanya.
Lantas jempol dan telunjuknya melingkari pucuk penisku. Jarinya lentik, kukunya panjang terawat.
Seksi juga ternyata. Kemudian dia menggenggamnya.. tidak terlalu keras, sesaat saja, lalu dilepas.
“Hangat ya..” bisiknya mesra. Kami sama-sama mengambil nafas. Aku menjauh sedikit.
Baru sekarang terasa dinginnya AC kamar. Tapi aku tidak mau terburu-buru.
Aku ingin mengulur tempo dan menikmatinya lebih lama, soalnya kan lagi ngajarin Mbak In.
“Ke sofa lagi yuk Mbak..” ajakku. Dia tersenyum. Lalu aku gandeng. Kami duduk berdua.
Berhadapan. Aku cium bibirnya, dan kemudian matanya. “Haus Mbak..” bisikku.
“Iya Gus.. tenggorokanku juga kering..” katanya dengan pelan.
Mbak In berjalan menuju kulkas, mengambil orange juice kemasan botol.
Kami minum bergantian dari botol yang sama. Lalu bersandar ke sofa, sama-sama diam.
Tidak terasa sudah satu setengah jam lebih berlalu sejak acara pembukaan di cermin rias tadi.
Nafasku kembali normal. Tapi penisku kembali mengendur, memang begitulah alam mengaturnya.
“Kok jadi kecil lagi..?” Aku tersenyum..
“Memang gitu Mbak. Entar gede lagi. Mbak juga mengecil lagi klitnya pasti.
Cairan vagina juga berhenti ngalir kan..?” Dia mencium pipiku.
“Sini Mbak..” kataku.
“Gimana lagi..?” Dia keheranan.
Dia kuminta untuk berdiri, kemudian aku dudukkan di pangkuanku.
Tangan kananku menyangga punggungnya, tangan kiriku menyangga kakinya.
Seperti membopong sambil duduk. Kami berciuman. Lipstiknya mulai menipis.
“Apa sih yang kamu sukai dari tubuhku Gus..?” Aku menjawab dengan menciumi lehernya.
“Geli, nikmat, ahh..” Kemudian dia kubalikkan, menghadap ke depan, tetap dalam pangkuanku di sofa.
Aku pegang payudaranya. Aku mainkan puting susunya.
“Ternyata Mbak In itu hangat ya..?”
“Bukan kulkas, gitu..?”
“Iya. Mbak juga penuh pesona kewanitaan..”
“Bener..?”
“Mbak ternyata punya nafsu..”
“Iya dong..” ia berbisik.
“Mbak suka masturbasi juga..?”
“Iya dong. Seminggu sekali, bisa duakali, pernah tigakali. Aku tau masturbasi sejak umur 20.
Dulu sih 3 minggu sekali. Akhirnya mulai umur 30 gairahku malah bertambah.
Kadang aku bayangin temen-temen cewek itu, udah kenal penis umur 20..
sampai sekarang udah bersetubuh berapakali, coba..? Sementara aku cuma bisa masturbasi..”
“Mbak mau dimasturbasi nggak..?” Dia mengangguk.
Lalu kakinya kukangkangkan, dengan posisi tetap jongkok di pangkuanku. Aku ajak dia bekerjasama.
Jemari dan telapak tanganku untuk memainkan vulvanya, tapi yang menggerakkan tanganku adalah tangannya.
Luar biasa. Aku jadi tau bagaimana si Mbak memburu nikmat.
Mulanya memainkan clit. Lantas labia majora. Mulanya gerakannya pelan.
Akhirnya kencang, maju-mundur, berputar-putar, sampai tanganku pegal.
-------ooOoo--------
Limabelas menit berlalu, si Mbak sudah mendesis-desis, sampai akhirnya tubuhnya mengejang sejenak.
Kuambil telapakku, aku ciumi dengan hidung dan mulut. Basah penuh aroma.
“Mbak pingin apa sekarang..?”
“Ouhh.. pake nanya. Terserah..”
Dia kuberdirikan. Aku berlutut di depannya. Aku cium paha kanannya.. lalu kiri.. lalu kanan.. lalu pusarnya.
Dia cuma ah-uh-ah-uh saja. Aku ulangi terus, kira-kira lima menit lamanya.
Akhirnya dia tidak sabar lagi. Kepalaku ditarik olehnya, lalu mukaku ditempelkan ke bulu vaginanya.
Aku cuma menggesek-gesek hidung di rumput lebat itu.
Lantas dia mengangkat satu kakinya di sofa.. kaki yang lain tetap berdiri menyangga tubuhnya di lantai.
Dengan pelan aku gesekkan hidungku ke clit-nya, lalu labia majoranya.
Aku merasakan vulva-nya yang kian basah itu.
Aku bisa merasakan bahwa bertambah basahnya vulva Mbak In bukan karena saliva-ku..
Akan tetapi terlebih karena dari lubang vagina itu memang membanjir cairan encer.
Begitu banyak cairan yang merembes.. sehingga aku bisa menghirup sambil menyedotnya.
Slurping.. kata orang bule. Segar juga.
Mungkin inilah jamunya seorang pria, cairan vagina wanita lajang yang masih virgin.
Mbak In tidak kuat dengan perlakuanku, kakinya sampai gemeter, lalu dia duduk di sofa.
Kepalaku menyeruak masuk.
Kedua pahanya kuangkat pakai tangan. Kini dia duduk bertambah maju sedikit.
Kedua kakinya terangkat, sampai bagian belakang lututnya bertumpu pada pundakku.
Aku julurkan lidahku di depan vulvanya yang basah itu, cuma di depannya, belum menempel.
Masih jauh, malah.
Kira-kira sejengkal dari sasaran. Aku diam terus sambil menjulurkan lidah. Mbak In jadi gemas dibuatnya.
“Cepet dong. Kamu jahat, Gus. Aku udah nggak tahan..” Ya, tunggu apa lagi..?
Dengan kedua jempolku aku rentang labia-nya. Merah tua kecoklatan, mengkilat basah.
Clit-nya mengeras, seperti biji kacang garing.
Ah nggak.. clitoris manis ini seperti kacang mete, begitu pula ukurannya.
Dengan pelan kutempelkan ujung lidah ke clitorisnya yang mulai keras itu.
Cuma menempel.. tidak kugesekkan.. tidak kujilatin.
“Auhh.. geli.. nikmat. Terus dong..!” Katanya mendesah. Sekarang lidahku mulai bermain.
Clit itu aku jilati. Tubuhnya bergetar. Lidahku terus menjelajah ke labia majora.
Ke seluruh vulva, sampai banjir permukaan vaginanya, karena campuran saliva dan cairan vagina.
Dia terengah-engah. “Ouhh..” Mbak In cuma bersuara begitu.
Pertama-tama Mbak In aku minta mengocok penisku sampai tegak sempurna.
Lima menit kemudian penisku tegang kembali. Errgghhh..!! Air maniku sudah mendidih rasanya.
Aku lalu rebahan di ranjang. Mbak Indriani di atas, meniduriku.
“Ayo Mbak tindih aku, pelan-pelan aja, digesekin tuh memek Mbak, kayak onani..”
Dia menurut saja. Naik turun, maju mundur, akhirnya kini vagina Mbak In telah telah basah.
Penisku basah. Sudah deh, tidak ada foreplay lagi. Yang penting kini vaginanya sudah basah.
Kemudian aku biarkan sendiri nalurinya sebagai wanita dewasa yang matang..
menuntun birahinya yang menyala-nyala semerah dinding dalam liang vaginanya.
Slebb..! Mula-mula penisku cuma masuk dua senti. Seret dan licin. Asyik juga. Mbak In merem melek.
Sleppp..! Cabut lagi.. masuk lagi. Vaginanya semakin basah. Lubang vaginanya makin longgar.
Clebb..! Kudorong lagi hingga bertambah 1 senti. Mbak In merem melek.
Kuulang-ulang terus.. aku lupa berapakali.. sampai akhirnya.. Slepppppp..!
Burungku menembus pelan be;ahan vagina si perawan tua yang selalu membuatku onani setiap hari itu.
“Nggak sakit Mbak..?” Tanyaku.
“Nggak..” bisiknya. Iya dong, mainnya pelan.. vagina sudah longgar dan banjir, mana bisa sakit.
Soal memuaskan wanita, aku mempunyai banyak pengalaman. Meski tidak keluar darah, tanpa rasa sakit..
Aku yakin inilah kali pertama vagina terhebat di dunia ini kemasukan penis.
Dengan jari kuelus permukaan vaginanya. Dia menggelinjang.
Dua jempolku kembali menempel di kedua sisi bibir vaginanya.. sehingga bisa merentang mulut vagina.
“Namanya apa sih Mbak..?” Aku menggoda.
“Bego kalo kamu nggak tau..!”
Aku terus menggoda.. “Namanya apa sih..? Sebutin dong, Mbak..”
“Payah kamu..! Udah sering ngerasain, sering nyoba.. masih nggak tau juga..”
Aku diam saja.. nggak melakukan tindakan pada pemandangan di depan mukaku itu.
“Apa dong Mbak namanya..?”
“Tauk ah..!”
“Apa dong..?”
“Dikira-kira sendiri. tau..?”
“Apa dong..?”
“Ahh.. bawel amat sih..!”
“Apa dong..?" Lleelelelhett .. "Sebutin dong..?" Llelelelelhet..!!
Aku menggodanya sembari memainkan lidah di labia dan kclit.
“Auhh.. gila. Nakal..!!”
“Apa dong..?" Clat.. clat.. clatttt..! Lidahku semakin nakal, lalu aku hentikan.
“Kamu sendiri nyebutnya apa Gus..?”
Aku jawab.. “Vulva, ada klitorisnya, ada labia majora dan minoranya..”
“Uh.. kayak guru biologi aja, Gus. Pake nama latin segala..”
“Habis apa dong..?”
“Malu ah.. udah tau kan..? Tabu buat disebutin, tapi aku sering ngebayangin juga sih..”
“Kok ngebayangin..?”
“Iya, kalo lagi masturbasi aku sering mendesis-desis nyebutin kata-kata tabu..
Sambil memacu diri menuju orgasme bersama pria seksi.
Rasanya pingin ngelepasin semua hambatan gitu. Kamu ini mulai mancing ya..?”
“Maksud Mbak..?” Aku tanya sembari menjilati bagian basah itu.
“Iyah.. aku kan sering ngebayangin hal-hal yang terlarang.. termasuk ucapan-ucapan terlarang.
Jadinya kalo lagi on, waktu masturbasi, ya nyebutin satu demi satu bagian terlarang. Ahh kamu nakal..!
Lidahmu pintar.. udah sering yahh. Aduh.. geli..!”
“Hmm.. ayo dong Mbak..”
“Iyahh.. sekalian basah.. sekalian dibuka deh rahasia ini. Kalo lagi masturbasi aku sering nyebutin ini ..
Aahh geli.. nikmat terusin.. Aku sering nyebutin ini.. Ah kamu nakal..!”
Iya.. gimana bisa ngomong lengkap, kalau mulutku semakin aktif dan binal menggarap pusat kewanitaannya..?
“Aku sering berbisik.. kadang juga berteriak, sih..
Itil, memek, jembut, burung, mani, itil, memek, burung, jembut, Gus..!”
“Lagi Mbak..” Aku senang mendengar kata-kata tabu itu.
“Memek, iyaa.. me..mheekkkk.. iiiittt..theeeiiill.. jemm bouttttt.. kuonnnnn..tuuoll..!!
Ahhhhh..! Gila.. nikmat banget teknik oralmu..!”
“Ini Mbak burungku..!” Aku berdiri, aku mengacungkan penisku ke mukanya.
“Woooouwwww.. tambah gede. Udah ngerasain berapa memek nih..?”
“Pegang Mbak..” Dia memegangnya. Lalu mengelus. Akhirnya mengocok pelan. “Isep dong..”
“Ah nggak. Entar ajah. Aku masih takut..” Aku tidak mau main paksa.
Aku sadar sedang mengajari cewek mengenal pengalaman pertama.
Biar umurnya sudah matang, tapi pengalaman masih nol.
Lalu Mbak In kuminta jongkok di mukaku.. sementara aku rebahan di karpet, kepalaku diganjal bantal.
“Sekarang Mbak yang aktif ya.. anggap aja lagi onani..”
Wow..! Tanpa penjelasan lebih lanjut.. dia langsung memainkan kemaluannya di mukaku.
Terutama di hidung dan mulutku. Namanya saja naluri..?
Biar tidak pengalaman, masih perawan, tapi kalau usia sudah matang.. juga dia sering nonton film porno..
Sehingga tidak rikuk lagi menghadapi hal tersebut.
Mbak In jadi pintar dalam waktu sekejap. Kadang dia jongkok mengambang..
Sehingga kemaluannya cuma mengambang di mukaku.
Tapi kadang juga menekan seperti menduduki wajahku. Begitu banyak cairan membajir dari liangnya.
Sekitar 10 menit hal itu berlangsung. Maju mundur, geser kanan kiri.. berputar, begitu terus.
Sampai akhirnya.. “Ahh gila.. mhemm..mhekkkkkkuuuuuuu.. itttttt..tillku.. Auhh.. Memek..! Itil..!
Ayo jangan berhenti.. aku nggak kuat Gus..!”
Ah.. ini dia awal orgasme hebat. Tubuhnya mulai mengejang. Lalu kedua lutut Mbak In tergetar.
Tidak ada suara dari mulutnya. Kemudian tubuhnya membungkuk.
Dan akhirnya setengah telungkup di atas tubuhku.
Kurasakan cairan vagina terus membanjiri wajahku, memasuki hidungku, tertelan oleh mulutku.
Tubuh Mbak sudah basah oleh peluh.
“Terimakasih, Gus..” bisiknya. Dia menggelindingkan tubuh di sampingku. Nafasnya tersengal-sengal.
Aku bangun berdiri. Dia masih rebahan. Kupandangi tubuhnya yang mengkilat..
dengan kaki mengangkang dan lengan terentang hingga ketiaknya yang lebat itu tampak.
Ah.. indahnya kejalangan seorang Mbak In..!
Dia memandangi penisku yang teracung tegak. Aku pegang batangku. “Jangan sekarang..” katanya.
Aku mengalah. Padahal nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun.
Lantas Mbak In kubimbing untuk berdiri, duduk di sofa, dan aku ambilkan minuman untuknya.
“Thanks..” katanya.
“Mbak capek..?” Tanyaku. Dia mengangguk.
“Sini aku pijitin..” kataku. Dia menurut ketika aku telungkupkann tubuhnya di sofa.
Aku mulai memijat kakinya, lalu pinggangnya, dan punggungnya.
“Hhh.. nikmat.. kamu pinter, Gus..” Saat itu penisku mulai mengendor. Nafsuku mulai berkurang.
Sekitar seperempat jam itu kupijati dia.
Kini giliran mulut dan hidungku menciumi punggungnya, pinggangnya.. pantatnya, dan entah apa lagi.
Pokoknya oral seks kupraktekkan lagi.
Lendir mengalir membanjir. Penisku menegang lagi.
Beberapa tetes precum bening pun keluar karena tidak tahan oleh birahiku yang kian menggila.
“Aku basah Mbak..” kataku. Mbak In menoleh melihat penis tegakku yang pucuknya basah.
Dia terbelalak. Lagi-lagi posisi tadi berulang. Bau keringat dan cairan vagina bercampur.
Aku tidak tau sudah berapa cc menghirup lendir encer yang keluar dari lubang vagina si perawan tua ini.
Beberapakali dia mengejang. Mungkin empatkali. Dan puncaknya adalah..
“Mememekkku Gusssss.. Itiillku.. nggak tahan. Itillkuu mauuu lepassss.. Auh..!” Dia orgasme hebat.
Vaginanya seperti menyempit tiba-tiba. Kami sama-sama lelah. Lalu beristirahat.
“Mandi air hangat yuk..” kataku. Kami ke kamar mandi, menyegarkan diri dengan shower.
Tanpa percumbuan, tanpa birahi, tanpa nafsu. Saling menyabuni dan mengeramasi.
Penisku sudah mengecil. “Lucu ih..” kata Mbak In sembari meremas penisku yang terkulai. Lalu kami tidur.
Berpelukan dalam kamar sejuk ber-AC. Dengan segera aku terlelap karena kecapean.
Kami tertidur, sudah jam 3 pagi lebih. Capek dan ngantuk sekali. Ototku seperti terurai.
Kami berpelukan di ranjang Mbak In.. ranjang perawan tua yang selalu kesepian..
Menjadi saksi tiapkali si lajang onani karena diamuk birahi..
Menjadi saksi tiapkali beberapa helai bulu vaginanya rontok saat digusel oleh tangannya sendiri.
Di kamar ber-AC itu kami terlelap. Aku benamkan wajahku di ketiaknya yang lebat.
Entah jam berapa aku tidak tau karena Mbak In membangunkanku.
“Ini apaan..? Kamu ngompol yah..?” Tanyanya.
Ternyata sprei telah basah oleh maniku, sebagian menyentuh pantat Mbak In.
“Ini maniku Mbak. Habis tertahan terus sih di dalam akhirnya cari jalan keluar sendiri.
Aku sih nggak tau.. soalnya lagi tidur tadi..” kataku tersipu.
“Iiihh.. hangat dan lengket ya..!?” Katanya.
“Bayangin aja kalo ini mengalir ke memek Mbak..” kataku.
“Nakal kamu..!” Dia mencubitku.
Dengan tissu kubersihkan ceceran maninya. Setelah itu aku tertidur lagi karena masih mengantuk.
Mbak In sepertinya juga tertidur.
-------ooOoo-------
Pagi hari, ketika sudah agak terang, aku terbangun.
Ternyata Mbak In sudah mandi, lagi make up di depan cermin. “Aku harus masuk kerja..” katanya.
“Padahal capek nih..” lanjutnya.
Kupandangi dari ranjang. Tubuh yang kencang itu kuamati dari belakang. Inilah pesona si perawan tua.
Dia cuma memakai celana dalam dan BH-nya hitam tipis mungil berenda. Oh, seksi sekali..!
Tak terasa penisku berdiri lagi.
Aku lantas bangkit dengan senjata teracung. Aku hampiri Mbak In. Kupeluk dari belakang.
Aku ciumi lehernya.. ketiaknya sambil tanganku mengelus payudaranya yang kecil.
“Ah.. jangan Gus, aku lagi make up nih.. nanti rusak make up-ku..”
Aku membisikinya, sambil menjilati telinga kirinya.. “Janji deh Mbak make up nggak rusak..
Tapi dapet kenikmatan yang banyak diperoleh para cewek di kantor Mbak pada pagi hari..”
Oh.. aku kian merapat ke tubuhnya.
Tapi tidak bisa mencium pipi dan bibirnya, takut kalau make up-nya rusak.
Yang penting bisa menikmati bulu ketiaknya yang luar biasa itu dengan hidung dan mulutku.
Penisku semakin tegak berdiri. Tanganku mengelus puting susu si perawan tua yang makin mengeras ini.
“Kamu terlalu, Gus..” bisiknya.
“Terlalu nikmat ya..?” Tanyaku.
Aku terus memeluk dari belakang. Tanganku menggusel payudara mungilnya yang keras..
Payudara 42 tahun yang tidak pernah merasakan kenakalan lelaki muda.
Hidungku merasakan sensasi gila yang luar biasa, bulu ketiak yang hitam lebat dan panjang.
“Ketek gini kok dianggurin bertahun-tahun sih, Mbak..?” Tanyaku.
“Dianggurin gimana..?” Tanyanya.
“Ya.. dianggurin dalam arti nggak pernah diciumin laki, nggak pernah digosokin burung..”
“Heh.. burung main di ketek..? Bisa..!? Coba dong..!”
Make up-nya Mbak In sudah selesai. Sekarang dia duduk di kursi rias, lantas kedua lengannya diangkat..
Sehingga bulu ketiaknya tampak jelas. Penisku yang tegang, aku gosokkan ke ketiaknya.
Wuahh.. hangat, lembbut.. seperti menyentuh bulu vagina.
Mbak In melihatku dengan pandangan mesra. Penisku semakin besar dan mengeras.
Ingin sekali rasanya minta penisku dicium, dijilat lalu diisap olehnya.
Tapi nanti dulu.. si perawan tua ini harus dilatih.
Kalau serba mendadak bisa trauma nanti dan jadi alergi dengan penis.
Akhirnya aku tidak tahan juga. Rasanya maniku sudah mendidih. Belum pernah aku onani memakai bulu ketiak..
Dulu aku tidak suka dengan cewek yang ketiaknya berbulu.
Karena tidak sabar aku gesekkan penisku ke ketiaknya sambil kukocok.
“Mbak.. aku udah nggak kuat.
Bayangin.. dari semalem cuma nahan burung supaya nggak masuk memekmu.. jadi gimana dong..?”
Mbak In tersenyum. “Mbak, bantu dong Mbak..” pintaku.
Tangannya lantas meraih penisku lalu mengocoknya pelan. “Cepat Mbak..” Dia menurut.
“Terus Mbak..”
“Aduh pegel nih.. gantian tangan kiri ya..?” Aku tidak bisa berkata apa-apa.. cuma mengangguk.
Air maniku yang mendidih tadi tidak jadi keluar. Yang pasti rangsangan yang kuterima semakin kuat.
Mbak In mulai berkeringat.
Uh.. tambah cantik melihat si perawan tua yang berbulu ketiak lebat ini berpeluh.
Ketiaknya juga basah, payudaranya juga. “Tanganku capek..” katanya.
Ya sudah.. aku kocok sendiri penisku.
“Kamu pingin apa Gus..?” Tanyanya.
Aku bilang.. “Pokoknya pingin nikmat, tuntas, sampe orgasme dan maniku terkuras abis..”
“Tapi aku belon siap buat bersetubuh. Memekku belon siap dirobek selaputnya.
Belon siap disembur cairan lelaki..” katanya manja.
“Yah gimana Mbak.. aku nggak bisa mikir nih..”
Mbak In jongkok. Mengamati dari dekat caraku mengocok penis. Mulutnya ternganga.
“Oh gitu ya.. gila..” katanya.
Aku sudah tidak tahan. “Awas Mbak mau muncrat nih..!” Mbak In terbelalak.
Aduh.. bagaimana kalau mani ini nanti kena mukanya, kena bibirnya. Dia kan masih perawan.
Vaginanya saja belum pernah disembur mani, kok muka dan mulutnya, kasihan.
“Terus Gus..!” Katanya. Tangannya menyingkirkan tanganku.
“Biar aku aja..” katanya. Aku nurut saja.
Tangan lembut berjemari lentik itu mengocok penisku pelan-pelan. Aku sudah tidak tahan.
“Cepetan Mbak..!” Kataku. Dia semakin cepat mengocok penisku.
“Mbak angkat dong lengan kiri. Aku mau lihat ketiakmu yang lebat itu..”
Jadilah dia jongkok sambil mengangkat lengan memamerkan ketiak hebat yang berbulu luar biasa.
Aku semakin bernafsu. Akhirnya aku cuma bisa berkata.. “Awassssss..!!”
Dan.. Cratt.. cratt.. cratt.. crattt..!! Air maniku muncrat keras, banyak, dan kental.
Mbak In sempat menarik muka menjauh..
Tapi payudaranya yang mungil dan kencang itu terkena semprotan air maniku.
“Uh.. yang namanya mani ternyata hangat ya..!?”
Dioles-oleskannya air maniku ke seluruh payudaranya.
“Kok lengket ya..? Kayaknya superglue, hihihik..! Gimana kalo misalnya masuk ke memekku.
Iiih.. aku harus ganti beha nih..!”
Mbak In masih terheran-heran oleh air maniku. Benda yang baru dilihatnya ketika usianya sudah 42 tahun.
Dalam ruang ber-AC.. mani yang teroles rata di payudaranya cepat mengering.
CONTIECROTT..!!
-----------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------