Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[KOMPILASI] FROM OFFICE AFFAIR (CopasEdit dari Tetangga)

---------------------------------------------------------ooOoo---------------------------------------------------

Cerita 124 – Erotic Zone

[Part 3] – Cerita Berbeda..

Menurut cerita Bu Siska..
bila bersetubuh suaminya ‘langsung naik’ saja.
Wajar kalau ibu muda ini hanya merasakan sakitnya saja, alih-alih nikmat.

Sebenarnya ada kemungkinan titik-titik itu terletak pada buah dada.. terutama di putingnya.
Bagi wanita normal hal itu hampir pasti.. tapi bagi wanita frigid belum tentu.

Aku masih belum berani menjamah ‘sekwilda’nya. Khawatir disangka memanfaatkan kesempatan..
Lalu dia menarik diri dari pengobatan ini, aku juga rugi.
Lebih baik melatih kesabaran untuk nanti memetik hasilnya.

Kembali menjelajah daerah perut.. pusar, dan ke bawah lagi sampai batas Celdam-nya.
Tiba-tiba lutut Bu Siska sedikit terangkat.. terus balik ke posisi semula. Mungkin ini.

Aku lalu lebih intensif menelusuri daerah bawah perutnya itu. Semua variasi rabaan kuterapkan di daerah ini.
Nah.. benar.. nafasnya mulai berubah, walau hanya sedikit. Awam mungkin tak akan melihat perubahan ini.

“Gimana Bu..?”
“Hmm.. ya, di situ rasanya agak beda..” Ini awal penemuan titik yang kucari.

Lalu dengan menundukkan kepalaku.. secara hati-hati aku menyentuhkan bibirku ke daerah yang ‘mencurigakan’ ini.
Tak ada bagian tubuhku lain yang menyentuh, hanya bibirku saja.

Mula-mula menyentuh.. lalu mengusap-usap.. mengecup.. kemudian usapan-usapan lain-lain.
Aku tak yakin apakah dia tau bukan hanya tanganku saja.. tapi mulutku ikut mengusapi tubuhnya.

“Uuhh..” lenguhnya pelan.
Bibirku makin aktif.
“Ya.. di situ enak..”

Aku sudah yakin memang inilah titik pertama yang kutemukan.
Di bawah perut tapi agak ke kanan.. di atas pangkal tumbuhnya bulu-bulu kelamin.

Walau pun sudah menemukan.. tapi bibirku terus mengeksplorasi-nya.
Kalau yang ini demi kepentinganku sendiri.. hehehe..

“Ehmm.. udah-udah Pak.. geli..” aku bangkit.
“Kita temukan satu titik Bu. Saya yakin masih banyak yang lainnya..”
“Kalau udah nemu, trus..?” Tanyanya seperti penasaran.

“Harus terus dilatih, Bu. Sebelum berhubungan.. mintalah suami Ibu untuk terus mengeksplorasi titik tadi.
Ini akan membuat Ibu mulai terrangsang. Kalau rangsangan sudah tinggi, tak ada sakit lagi..”

“Tapi tadi kaya’nya bukan terrangsang..”
“Belum, Bu. Makanya saya bilang tadi perlu dilatih. Tapi saya yakin itu salahsatunya. Percayalah..”
Seandainya aku boleh melepas celana dalam Bu Siska, mungkin akan menemukan titik-titik erotis lagi.

“Kita cari yang lain ya..” Aku mulai dari paha kanannya.
Ahhh..!! Batang pahanya memang nyaris bulat dan licin walau ditumbuhi bulu-bulu yang amat halus.

Penelusuran di permukaan tak membawa hasil.. lalu merambah ke sisi luarnya, sama juga.
“Maaf, Bu.. bisa dibuka sedikit pahanya..?” Karena aku mau ke sisi dalam pahanya.

Bu Siska perlahan membuka pahanya sedikit.. memang aku mintanya hanya sedikit.
Menelusuri sisi dalam paha dari lutut sampai ke pangkalnya.

Bisa saja aku jadi rada nakal dengan pura-pura terpeleset tangan hingga menyentuh selangkangannya.
Tapi sungguh mati aku tak berani. Pada pertemuan pertama ini aku punya pikiran:
Kalau aku menyentuh bagian tubuhnya yang sekarang tertutup..
Bu Siska akan mundur membatalkan pengobatan.

Kuulangi lagi proses penjelajahan paha kanan dengan lebih teliti..
Sambil mengamati kembang-kempisnya dada dan embusan nafasnya, apakah ada perubahan.

Ketika tak ada perubahan apa pun aku tetap saja menjamahi..
Tapi pandanganku tertuju ke semburat kehitaman di celananya.
Tapi.. tuh tubuhnya memberikan reaksi ketika telapak tanganku mendekati pangkal pahanya.

Coba lagi dengan sedikit tekanan. Diam saja tuh.
Rabaan mengambang, Bu Siska menggigit bibirnya, alunan nafasnya juga berubah.
Tapi ketika aku melakukan rabaan lebih intensif, gerakan reaksinya berhenti. Heran..

Harus ketemu. Dengan sabarnya aku mengulang-ulang.
Oo.. ternyata punggung telapak tanganku yang menyentuh paha satunya lagi, bukan paha yang kanan ini.

Segera saja aku pindah ke situ. Dan benar saja..! Ketemu satu lagi titiknya.
Yaitu di sisi dalam paha kiri dekat ke pangkal. “Bagaimana Bu..?”
“Eemm.. yah..”
“Enak..?”
“Mungkin di situ..”

Aku terus saja mengeksplore titik ini, sambil menunggu datangnya.. –Boleh dikatakan semacam..– keajaiban.
Aku mengharapkan Celdam-nya membasah.. sebab selama berhubungan seks, Bu Siska tak pernah basah..
Sehingga harus dibantu dengan cairan khusus yang dibeli oleh suaminya.

Tapi sekian lama titik itu aku usap-usap toh Celdam-nya tetap kering.
Seperti di daerah dada tadi.. kemungkinan titik bisa ditemukan di balik kain segitiga warna krem ini. Nantilah..

“Sekarang Ibu berbalik, telungkup..” aku mengarahkan.
“Posisi tangan sesantai mungkin..”
Tambahku ketika Bu Siska kelihatannya repot meletakkan tangan dalam posisi telungkup.

Amboi.. bokong itu.. bukan main. Inilah yang kemarin berguncang mengesanku.
Melihat dari dekat malah semakin menggemaskan.

Tak seperti tadi.. menelusuri tubuh bagian belakang aku mulai dari bawah.
Telapak kaki.. betis, belakang lutut, belakang paha..
seluruhnya kuraba dan kuelus tak ada yang terlewat sesentipun.

Tiba di daerah pantat aku tak bisa menahan untuk tidak meremas-remasnya.
Untung dia tak protes.. juga tak berreaksi. Juga di pinggang dan punggung..

Wiiihhhh..!! Aku hampir saja tergoda..
untuk mencubit limpahan daging buah yang tergencet di sisi kiri dan kanan punggungnya.
Tak ada apa-apa di daerah punggung, hanya kemulusan saja.

Nah.. ketika aku menjamah di leher belakang, Bu Siska mendesah.
Lalu kedua belah telapak tanganku bergantian merabai daerah kuduknya. Irama nafasnya mulai berubah.

Aku makin semangat, kusibakkan rambutnya agar tak mengganggu. Desahan berubah menjadi erangan.
“Gimana rasanya, Bu..?”
“Yah.. enak..” inilah kata enak yang pertamakali dari mulutnya meluncur sejak sejam lalu.

Lalu aku coba rada nekat.. dengan agak susah payah..
— supaya tubuhku tak menyentuh tubuhnya– kucium kuduk Bu Siska. Tak ada protes. Malah dia melenguh.

Errggghhh..!! Rasanya ingin aku memindahkan seluruh tubuhku menindih belakang tubuhnya.
Tidak. Setidaknya bukan sekarang.
Aku masih mampu menahan diri.. walau pun keteganganku tak kunjung surut juga.

“Cukup, Pak.. sudah..” katanya terengah. Kulepaskan mulutku dari kuduknya.
“Saya boleh berbalik ya.. sesak nafas..”
“Silakan Bu. Jangan bangkit dulu. Ibu relaks saja lagi..”
Walau nafasnya telah memburu.. tetap saja tak ada kebasahan di selangkangannya.

Setelah beberapa saat berlalu.. “Boleh saya buka penutup mata..?”
“Jangan dulu Bu. Saya akan ulang lagi proses tadi, baru kita nanti diskusi..”
“Hm.. rasanya cukup saja dulu Pak. Besok lagi aja..”

“Ya, terserah Ibu saja, besok kita lanjutkan. Setidaknya sekarang Ibu relaks dulu, cuma 5 menit..”
“Kenapa Pak..?”
“Prosedurnya begitu..”

Padahal aku memang butuh waktu untuk memanggil Titin kembali masuk ke kamar.
“Sekarang boleh dibuka matanya Bu..” kataku setelah Titin berdiri di sebelahku.
Bu Siska lalu bangkit duduk.


“Bu, kita tadi telah menemukan 3 titik, yaitu di sini.. –dengan sikap wajar aku mengusapi daerah bawah perut..–
Di sini.. –paha kiri sisi dalam..– dan di sini.. –kuduk..– Ketiga titik tadi besok kita latih lagi dan berulang..
Agar Ibu bisa lebih mengenal rangsangan..”

Dan aku masih terus tegang, Bu.. kataku, tapi dalam hati..
-------ooOoo-------

Setelah Bu Siska berlalu.
“Bodinya oke banget ya Pak..?” Kata Titin
Aku tak memperhatikan komentar Titin.. masih terbayang keindahan Siska.

“Dapet, Pak..?” Aku tau maksud pertanyaan ini. Titin memang tau semua. aku kadang ‘dapet’ kadang tidak.
Maksudnya ‘dapet’ di sini adalah aku bisa menyetubuhi pasien dengan ‘lancar’.. tanpa protes atau ribut-ribut.
Alias au sama mau.. sukarela tanpa tekanan.

“Kalau dapet engga manggil kamu..” Aku melepas jubahku, kuperlihatkan ketegangan penisku..
Karena belum tersalurkan.. lalu kudekati Titin.
“Eeeh.. Bapak ini gimana..? Kan dari kemarin saya mens..” katanya.

Oh.. aku baru ingat. Titin memang bukan pembantu biasa.
Dia asisten istimewa yang mendampingiku, yang siap setiap saat melayaniku..
–kecuali kalau lagi mens, tentu saja..–

Seperti pagi ini, aku sudah begitu terangsang tapi tak dapet. Hasrat ini biasanya kusalurkan kepada Titin.
Dan dia sudah maklum. “Cara yang lain dong..” kataku.
“Iih.. Bapak ini gak ada brenti-brentinya..”

Walau pun mengomel begitu tapi Titin penurut. aku berbaring terlentang.
Titin sudah tau apa yang musti dia lakukan kalau aku minta ‘cara lain’.

Dia langsung membuka blus dan branya.
Buah dada yang tak begitu besar tapi kencang, dan puting yang amat kecil, belum pernah diisap bayi.

Titin memang janda kembang sewaktu ‘kuambil’. Bahkan perkawinannya hanya berumur 4 bulan.
Dia dicerai oleh suaminya karena Titin malas-malasan melayaninya di tempat tidur.

Bukan malas sebenarnya.. tapi karena kesakitan.
Aku berhasil mengembalikannya sebagai wanita normal, yang mampu menikmati indahnya seks.
Mungkin karena itulah dia bersedia bekerja sebagai asistenku.

Asisten khusus.. sebab dia juga memasak, beres-beres rumah dan melayaniku di tempat tidur.
Persis seperti isteri saja.. cuma tak ada surat nikah, dan dia tak pernah menuntut minta dinikahi.

Dia juga tau aku sering meniduri wanita-wanita lain, bukan hanya pasien-pasienku saja.
Bukan hanya tau.. tapi pernah juga ‘menyaksikan’ live show-ku dengan pasien.
Tapi dia tetap saja dengan senang hati melayaniku.

Kuciumi buah dadanya.. kuisap-isap putingnya. Puting mungil itu mengeras.
Lalu diangkatnya kepalaku dan dia menciumi bibirku.

Dia selalu minta berciuman sebelum bersetubuh..
Sebab salahsatu titik erotis yang berhasil kutemukan adalah bibirnya.

Kemudian kugeser kepalanya ke bawah.. dia tau yang kuinginkan.
Dijilatinya batang penisku.. dari pangkal sampai ke ujung.

Lalu kepala penisku dijepitnya dengan bibirnya.. sebelum akhirnya dimasukkannya ke mulutnya..
Jauh masuk ke dalam sampai bibirnya menyentuh pangkal penisku.

Kemudian.. inilah yang aku suka. Bibirnya menjepit pangkal batang penisku..
Dan perlahan ditariknya sampai bibir itu di ujung penisku.
Lalu kembali mulutnya bergeser ‘maju’ sampai ke pangkal. Demikian berulang-ulang.

Ughhhh..!! Penisku serasa ‘diurut’ saja. Oral sex yang menyenangkan.
Sampai secara perlahan aku mendaki ke puncak, dan urutannya makin cepat.

Ketika kemudian aku ‘sampai’.. mulutnya tak melepaskan penisku. Aku ejakulasi di dalam mulutnya.
Ini memang permintaanku, jangan sampai aku ‘ditinggal’ selagi berada di puncak.

Untuk selanjutnya terserah Titin. Apakah mau ditelan atau tidak.
Kadang-kadang dia memang suka menelan.

“Ih.. banyak bener..” katanya sambil mengambil segelas air dan meminumnya.
-----------------ooOoo-----------------

Keindahan Siska


Esok harinya sekitar jam 9 Bu Siska sudah berada di ruang praktik.
Tanpa diminta lagi dia langsung menuju dipan dan membuka baju.

Kali ini dia mengenakan bra dan celana dalam warna hitam..
Yang makin menampakkan betapa putihnya kulit ibu muda ini.
Dia lalu naik ke dipan.. mengenakan kain penutup mata dan merebahkan tubuhnya.

Kutunggu dia beberapa menit rebahan agar merasa santai..
Sementara aku memberi isyarat Titin agar keluar ruangan. Titin keluar sambil senyum-senyum penuh arti.

Aku mulai mengelus langsung pada titik erotis di bawah perut. Rabaan lembut mengambang.
Elusan berganti-ganti dengan ciuman.
Kadang jariku sengaja ‘mendorong’ karet Celdam-nya agar sedikit ke bawah.

Beberapakali dorongan jari di tempat berbeda-beda telah menguak ‘cakrawala’ baru.
Pangkal bulu-bulu kelamin Bu Siska terkuak. Wuihhh..!! Ini membuatku makin tegang.

Belasan menit berlalu usahaku membawa hasil, nafasnya mulai tak teratur.
Setelah dia bisa merasakan rangsangan pertama.. aku harus terus memelihara rangsangan itu..
Dan berusaha terus meningkatkannya.

Tangan kiriku masih mengelus di situ.. sementara tangan kananku menerobos celah pahanya.
Bu Siska membentang sedikit pahanya..
Kini tanganku leluasa menelusuri paha kiri sisi dalam, titik erotis kedua Bu Siska.

Menit-menit berlalu aku mengerjai kedua titik itu tampaknya tak ada kemajuan.
Aku amati selangkangannya baik-baik, tak ada kebasahan juga.

Rangsangan awal yang dia rasakan, tidak berkembang. Aku harus mengubah taktik.
Aku menghentikan elusanku dan mendekat ke arah kepala Bu Siska.

“Bagaimana Bu..?” Tanyaku setengah berbisik.
“Tadi memang saya bisa merasakan enak ketika Bapak ciumin di bawah perut tadi, tapi lama-lama kok hilang..”
Eh, dia menjawabnya juga ikut berbisik.

“Ibu memikirkan sesuatu..?”
“Rasanya engga..”

“Apa saja yang Ibu bayangkan waktu saya ciumin tadi..”
“Emm.. saya membayangkan suami saya yang ciumin”

“Bagus.. Lalu Ibu ngebayangin situasi yang gimana..?”
“Saya membayangkan kami mau melakukan itu di kamar kami..”

“Good. Pertahankan bayangan Ibu mau melakukan hubungan seks dengan suami Ibu.
Hanya jangan di kamar saja. Ibu harus kreatif membayangkan di lain tempat.
Bisa di dapur.. kamar mandi, ruang tamu, atau di tempat terbuka sekalipun..”

“Okay, kita mulai lagi ya Bu..!?” Ujarku
“Sebentar.. kadang bayangan saya terganggu..” bisiknya, amat pelan.

“Terganggu apa, Bu..?” Aku juga ikut berbisik
Tak ada jawaban hanya centikan jarinya mengisyaratkan sesuatu.

Kudekatkan mulutku pada telinga Bu Siska. “Titin..?” Bisikku. Dia mengangguk.
“Ibu ingin Titin keluar..?” Mengangguk lagi.

“Tin, kamu bisa keluar sebantar..?” Kataku pura-pura bicara sama Titin. Padahal dari tadi dia sudah di
luar. Aku melangkah ke pintu, membukanya. “Ntar kalau saya perlu kupanggil ya..” aku bicara sendiri.
Pintu kututup lagi dan kukunci.

“Sudah Bu..”
“Soalnya tadi waktu membayangkan suami, seolah-olah Titin ikut menonton..” katanya.
“Ya, bisa dimengerti Bu. Sekarang Ibu buka mata dulu..”

Perlahan dia melepaskan penutup mata.
“Ibu lihat sekeliling, tak ada siapa pun di sini, Okay..?” Dia mengangguk.
Tanpa disuruh memakaikan penutup matanya kembali dan rebahan.

“Saya ada usul, Ibu boleh tak setuju..”
“Apa Pak..?”
“Ehm.. begini, bu. Kebanyakan wanita titik-titik rangsangan ada pada puting dada dan klitoris..
Nah.. kalau Ibu setuju.. mungkin kita bisa cari..” nada bicaraku sewajar mungkin. Tak ada jawaban.

“Mohon Ibu tidak salah mengerti..”
“Saya mengerti Pak, cuma saya malu. Selama ini hanya suami saya yang ..”
“Saya maklum, Bu. Saya hanya melihat kemungkinan lain, barangkali bisa membantu..”
“Saya tau Pak..”

“Ibu bisa seperti tadi, membayangkan bahwa suami Ibu yang melakukan..”
Ah.. kok tiba-tiba aku jadi ngotot begini..?

Biasanya.. kalau pasien tak setuju membuka bra atau Celdam.. aku langsung membatalkan.
Bukan ‘berusaha mati-matian’ begini.
Terus terang aku memang ingin banget menjamahi buah dada dan kelamin wanita molek ini.

“Boleh, Pak.. tapi yang bawah jangan ya..”
Akhirnya.
“Kenapa, Bu..?”
“Malu..”

“Ah, Bu.. kan cuma saya yang ngeliat, dan saya udah biasa kok. Anggap saja Ibu ke dokter kandungan..”
“Iya.. tapi, yang atas dulu aja deh..”
“Baik Bu..”

“Maaf, saya akan melepas kaitan beha Ibu ya..!?” kataku dengan hati-hati.
Tubuh molek itu miring ke kiri sedikit. Dengan sedikit gemetaran tanganku melepas kaitan bra-nya.

Lalu tubuh itu kembali ke posisi semula, rebah.
Lantas cup beha sebelah kanan aku buka sedikit demi sedikit.. –berdegup juga dadaku..–

Lereng bukitnya mulai nampak. Terus dan terus.. dan.. Sempurna.
Hanya itu yang terucap –dalam hati..– melihat pemandangan ini.

Takjub. Bukit itu membusung seolah menantang langit, bersih dan ‘jernih’, sampai urat-urat kehijauan tampak.
Di puncaknya bertengger puting kecil kemerahan dan jernih, dikelilingi lingkaran kecil warna coklat muda.

Aku mati-matian menahan agar nafasku yang mulai tak teratur tak terdengar.
“Maaf Bu ya.. saya harus meraba..” Bu Siska mengangguk.

Mulai dari pangkal aku mengelus, sekeliling. Uh.. halus dan kenyal..!
Aku perhatikan perubahan nafas Bu Siska. Tak ada. Yang berubah justru nafasku..!

Lalu aku mulai mendaki ke lerengnya.. –sementara penisku makin mengeras..–
Belum juga ada reaksi.
Dengan ujung telunjuk, kusentuh putingnya.
Lalu jari telunjukku pun menari-nari di sekitarnya.

Tiba-tiba tangan Bu Siska menyingkirkan tanganku dari putingnya.
“Gimana Bu rasanya..?”
“Jangan di situ..”
“Kenapa, Bu..?”
“Engga enak..”

Lalu tanpa menyentuh putingnya aku perlahan meremas bukit indah itu.
Buah kenyal itu berada di genggaman telapak tanganku.
Dan puting itu tak kunjung mengeras, masih sama seperti pertamakali kubuka.

Kemudian cup beha satunya lagi kubuka, dan aku mulai merabai seperti yang sebelah tadi.
Dan kini kedua bukit kembar itu aku genggam. Hasilnya sama saja. Sampai di puting, Bu Siska menolak.

Coba cara lain.. telunjuk dan ibu jariku mulai memelintir putingnya.
Dan tanganku ditolaknya dengan agak kasar.
“Jangan Pak..!”
“Kenapa Bu, apa yang Ibu rasakan..?”

“Pokoknya engga enak, engga nyaman..!”
“Kalau dipelintir..?”
“Makin engga enak. Saya juga melarang kalau suami saya menyentuh ujungnya..”
Inilah yang tak normal. Kebanyakan wanita merasa ‘syur’ kalau puting dadanya distimulir.

“Saya coba bukan dengan tangan ya..?”
Kemudian dengan nekatnya.. aku menjilat puting Bu Siska. Putting itu masih lembek juga.

Lalu kepalaku disingkirkannya. “Sama saja.. tak nyaman..”
Lebih nekat lagi, bibirku mengulumnya. Kepalaku disingkirkannya lagi.

Aduh.. aku sudah tinggi begini..!!
Rasanya ingin kulepas Celdam-nya.. kutindih, dan kumasukkan penisku..

Tapi jelas saja aku tak mungkin melakukannya sekarang.
Bisa-bisa dia teriak dan aku dituduh memperkosanya.

“Bu.. exercise kita barusan menunjukkan tak ada titik erotis di buah dada Ibu..”
“Emang begitu kenyataannya, Pak..”

“Terus terang saya tak percaya, Bu..”
“Kenapa..?”
“Sebab ini berbeda dengan wanita pada umumnya..”
“Trus..?”

“Ini harus kita latih, bertahap.. agar Ibu bisa merasakan enaknya..”
“Apa bisa berubah..?”
“Bisa Bu, lagian sayang kan..?”
“Sayang..?”

“Buah dada yang indah begini kok ..” kalimat yang rada kurang ajar ini meluncur begitu saja dari mulutku.
“Ah, Bapak ni.. indah apanya..?”
“Saya berkata jujur Bu. Ingat.. saya udah banyak melihat dada wanita, lho. Tak ada yang seindah punya Ibu..”

“Ah udahlah.. terus gimana..?”
“Oh iya. Kita latih pelan-pelan..” Bu Siska mengenakan bra-nya kembali

“Jangan dulu, Bu. Kita coba stimulasi kombinasi..”
“Kombinasi..?”

“Kita eksplor titik erotis Ibu, sambil melatih di dada..”
“Ibu sekarang miring ke kiri, menghadap ke sana..” lanjutku.

Dengan posisi miring begini alur lengkungan tubuh Bu Siska makin indah.
Dari punggung terus menurun sampai pinggang..
Selepas pinggang tiba-tiba mendaki tajam dan melengkung di bagian pinggul.

Dengan amat perlahan kutempelkan bibirku ke kuduk Bu Siska.
Kuciumi daerah leher belakang Bu Siska dengan lembut.

Kadang hanya menempel, kadang juga menggeser, diselingi dengan jilatan-jilatan.
"Nggggghhhh.. ahhhh.." Bu Siska merintih pelan.. amat pelan nyaris tak terdengar.

Sambil terus mencumbui kuduk tanganku menyusup di sela lengan atasnya dan mencapai buah dada.
Kuremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan. Sesekali kusentuh putingnya.

Beberapa lama remasan dan bergantian kiri-kanan tak juga ‘membangunkan’ puting Bu Siska.
Lalu tanganku bergerak mengikuti alur lengkungan indah pinggir tubuh Bu Siska.

Melewati pinggul tanganku terus menyusup ke sela pahanya..
Kemudian stop di titik erotis temuanku.. sisi dalam paha kiri.
Aku mengusap-usap daerah itu dan sesekali menyentuh selangkangannya.

Rintihan Bu Siska makin keras dan sering.
Aku harus melakukan ‘test’ tentang reaksi fisik yang dialami pasienku..

Makanya tanganku lebih sering menekan selangkangannya dibanding mengusap pahanya.
Sejauh ini tanganku tak merasakan ada kebasahan di situ. Mulutku makin intens menciumi kuduknya.

Tiba-tiba Bu Siska bangkit.. kepalaku terhempas ke kasur.
“Saya.. kira.. cukup, ..Pak..” katanya dengan nafas terengah.
Dia lalu membuka penutup matanya dan duduk bersandar ke dinding.

Gila..! Buah dada itu tetap tegak menantang ke depan, tak ada kelihatan ‘turun’ sedikit pun..!!
Pemandangan indah yang hanya sekejap kunikmati..
Sebab tangan kirinya segera menutupi begitu dia sadar aku memelototi dadanya.

Tangan kanannya meraih bra dan mengenakannya.
“Tampaknya Ibu mengalami kemajuan..” kataku
“Yah.. mungkin.. engga tau saya ..”

“Apa yang Ibu rasakan..?”
“Eemm.. yah.. memang agak beda..”

“Hmm maaf, apakah Ibu juga merasakan basah di bawah..?” Aku menegaskan pengamatanku.
“Saya engga tau..”
“Ibu engga merasakannya..?”
“Engga..”

“Begini, ya, Ibu harus sering-sering melatih seperti barusan.
Mintalah suami Ibu melakukannya, supaya berlanjut. Tidak terhenti seperti tadi..” nasehatku.

“Terus dilatih sampai Ibu merasa makin tinggi..” tambahku
“Dan.. Ibu jadi basah..” ujarku pelan.

“Sebab inilah pangkal persoalannya. Ibu rasakan sakit karena Ibu memang belum siap berhubungan.
Kita telah temukan titik-titik erotis Ibu. Titik itu harus rajin dilatih, agar Ibu terrangsang, kemudian lalu basah..
Dan Ibu akan merasakan nikmatnya dunia..”

“Tapi saya tak yakin, Pak.
Walau pun saya tadi sempat merasakan rangsangan, kenyataannya saya belum basah juga..”

“Kita perlu eksplore daerah itu, kalau Ibu setuju..”
“Ah, engga’lah..” sahutnya cepat.
“Bukan tangan saya yang melakukan, Bu..”
Bu Siska diam. Sepasang mata indahnya menatapku, minta penjelasan.

“Saya punya alat untuk itu..”
Kataku sambil beranjak menuju meja kerjaku dan mengambil sebuah kotak dari laci meja.

Mata Bu Siska lekat mengamati tanganku membuka kotak karton itu. Kukeluarkan sebuah ‘dildo’..
Tiruan kelamin lelaki yang sedang ereksi, dari bahan khusus yang ‘feel like’.

“Iiih..!!” Serunya kaget.
“Jangan kaget dulu, Bu. Alat ini bisa membantu Ibu melatih area di bawah sana secara bertahap..”

“Engga deh, Pak. Yang asli aja sakit apalagi ini..”
“Ya engga langsung dimasukin, dong.
Seperti yang saya bilang tadi.. tahap demi tahap dan berulang-ulang..”

“Kalau Ibu setuju, kita bisa mulai sekarang di permukaannya dan daerah sekitarnya.
Barangkali kita bisa menemukan titik-titik lagi..”
“Engga’lah. Lagian sekarang udah siang, saya harus pulang..” katanya sambil turun dari dipan.

“Atau kita coba dulu sebentar saja. Saya ingin tau respons fisik Ibu..” aku begitu memaksa kali ini.
Habis.. sudah demikian tingginya rangsangan menguasai seluruh tubuhku. Bu Siska tetap menolak.

“Baiklah.. Ibu bisa pikir-pikir dulu, mungkin besok saja kita lakukan..” aku tak menyerah begitu saja.
“Gimana besok saja..?” Katanya.. menyiratkan aku masih punya harapan.

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------------ooOoo-----------------------------------------------------
 
Terakhir diubah:
---------------------------------------------------------ooOoo-----------------------------------------------------

Cerita 124 – Erotic Zone

[Part 4] – Dilema Nikmat..

“Sukses Pak..?”
Tanya Titin sambil senyum-senyum.
Dia langsung masuk ruangan begitu Bu Siska berlalu.
“Sukses apanya..!? Nih, masih begini..!” Jawabku rada 'sewot'.
“Hi ..hi..hi..”

“Yuk..!?” Ajakku sambil menarik tangannya menuju dipan.
“Eee.. Bapak nih, saya masih itu..”
“Mens kok lama banget..?”
“Baru tiga hari, juga. Kaya’ kemarin aja..?”

“Engga usahlah..!” Sekarang aku butuh intercourse, bukan sekedar oral.
“Bener Pak, engga mau nih..!?”
“Engga..”
“Saya mau masak, kalo gitu..” katanya. Dia langsung keluar.

Aku langsung menelepon Marni, pacarku dulu.
Dia langsung menangkap maksudku meneleponnya. “Kapan Mas..?”
“Sekarang..”
“Aduh.. kalo sekarang gak bisa..”

“Lagi halangan..?”
“Bukan, tapi ada Toni..”
Kalau suaminya sedang di rumah, Marni memang tak bisa keluar.

“Kalau besok sore aja, gimana Mas..?”
“Mau juga sih, tapi sekarang Mas butuh banget..”
“Udah ngebet ya..?”
“Iya nih.. tegang dari tadi..”

“Kan ada Titin..”
“Dia udah 3 hari mens..”
“Kan ada pasien..”
“Justru itu.. ini gara-gara pasien nih..!”

“Pasti pasiennya bahenol ya..?”
“Ah.. kamu, udahlah ke sini, bentar aja kok. Tak sampai sejam..”

“Maaf Mas.. Mas tau kan kondisinya..”
Pusing.. pusing. Masa’ aku harus cari perempuan sewaan..? Engga’lah.

Apa boleh buat, aku ke dapur. “Masak apa, Tin..?”
"Daging semur kecap..” jawabnya tanpa menoleh. Dia sedang Asyik mengulek bumbu.

Kusingkap jubahku.. kukeluarkan penis tegangku dan kutempelkan ke pantat Titin.
“Ih.. Bapak nih..!?” Serunya kaget.
“Kaya’ kemarin aja..”
“Katanya tadi engga mau..!?”
“Tadi engga, sekarang mau..!”

Titin lantas mematikan kompor dan menyingkirkan benda-benda di atas meja dapur, lalu cuci tangan.
Aku langsung duduk di meja dapur, siap dengan penis tegak mengacung.

Titin membuka kancing bajunya dan mencopot bra.
Kuremas-remas buah kembarnya.. sementara dia melahap penisku..
-------ooOoo-------

Keesokan harinya Siska yang kutunggu-tunggu tak juga muncul.
Entah dia memang tak bersedia membuka Celdam-nya, atau dia benar-benar sibuk.
Jadi seharian ini aku menganggur saja.

Sore harinya aku kembali menelepon Marni. Kami janjian ketemu di mall CL..
Kemudian berdua kami check-in di hotel yang terletak persis di sebelahnya.

Di kamar hotel inilah Marni benar-benar melayaniku sampai puas.
Menjelang tengah malam aku baru sampai ke rumah, dan langsung tidur.

Aku terbangun ketika pintu kamarku di ketuk.
“Pak.. Pak.. ada tamu..” suara Titin. Kulihat jam, wah.. jam 9 lebih. Kesiangan.
“Siapa..?”
“Bu Siska..”

Siska..! Datang juga dia akhirnya. Aku langsung bersemangat.
“Suruh tunggu, sediain minuman..”
“Udah..”

Aku mandi dengan cepat dan hanya sempat melahap setangkup roti isi dan segelas teh manis.
“Selamat pagi, Bu.. maaf lama menunggu..” sapaku.
“Pagi. Engga apa-apa kok. Baru bangun ya..?”
“Iya..”
“Mengganggu tidur Bapak dong..”
“Ah, engga. Udah seger kok..”

“Gimana perkembangannya Bu..?”
“Maksud Bapak..?”
“Ibu melatih engga..?”

Setelah diam agak lama, dia lalu membuka mulut
“Kemarin saya minta suami menciumi leher belakang..”
“Trus..?”
“Sambil meraba-raba paha..”
Diam sejenak..

“Tapi ya itu.. saya udah mulai enak, dianya engga sabaran..”
“Hmm..”
“Langsung naik.. sakit lagi..”

“Engga apa-apa Bu untuk tahap pertama, teruskan saja.
Sedikit demi sedikit Ibu minta dia lebih lama merabanya..” ujarku menasehati.

“Ibu juga bisa melatih sendiri di bawah perut dan di paha..”
“Iya.. cuman ternyata saya rasakan yang paling enak di kuduk..”

“Nah.. itu juga suatu kemajuan, Ibu sudah bisa membedakan mana yang lebih enak..”
“Eeng.. ada satu lagi .. saya kemarin ..” Aku tunggu, kalimatnya tak berlanjut.

“Kemarin apa Bu..?”
“Hmm.. apa tuh.. susah ngomongnya ah, malu..”
“Ibu nih, ceritakan sajalah..”

“Sebelum dia masuk, suami saya pegang-pegang itu..”
Diam lagi. harus super sabar, memang.

“Rasanya.. enak..” ia meneruskan.
“Nah kan.. seperti yang saya bilang kemarin. Kelihatannya di situ perlu dilatih..”

“Kemarin aja tumben dia pegang-pegang, biasanya engga pernah..”
“Ibu sendiri saja melatihnya..”
“Sudah saya coba, kalau dipegang sendiri engga enak..”

“Baik, engga apa-apa. Gimana dengan tawaran saya kemarin..?”
“Tawaran apa..?”
“Pakai alat yang itu..?”
“Itu.. yang ingin saya coba..”

Wuahhhh..!! Mendadak aku gembira luar biasa. Bak menang lotere. Penisku mulai memuai.
“Ibu.. kenapa engga bilang dari tadi..” Dia hanya senyum malu-malu.

“Kita mulai saja, Bu..?”
“Titin nanti engga masuk, kan..?”
“Engga. Kalau engga saya suruh dia engga masuk..”

Dengan perlahan bu Siska membuka pakaiannya kemudian rebahan di dipan.
Aku mengambil penutup mata dan dildo. Bra dan Celdam-nya masih menempel di tubuhnya.

Bu Siska melirik dildo di tanganku.
“Kenapa engga dibuka semuanya..?”
“Nanti aja Pak, saya mau rileks dulu..”
“Okay, bagus. Ibu udah mulai mengikuti metode saya. Rileks lalu berkhayal ya..!?”

Kubantu dia mengenakan penutup mata. Sementara dia rileks.. mataku melahapi tubuh mulusnya.
Toenggg..!! Penisku makin tegang. Terangsang membayangkan apa yang akan kulakukan nanti.

Kubiarkan dia barang 10 menitan, lalu aku mulai meraba bawah perutnya.
“Dari belakang saja, Pak..” Bu Siska langsung memiringkan tubuh.
Kuciumi kuduknya. Dia memang mengalami kemajuan..

Tak lama kemudian nafasnya mulai tak teratur dan mulutnya mengeluarkan erangan-erangan.
Aku makin terangsang. Kubuka kaitan bra-nya lalu tanganku meremas-remas susunya.

Heran aku.. puting itu tetap saja tak menjadi keras.
Tanganku menelusur turun merabai bawah perutnya.

Ketika suara erangannya makin keras dan sering.. kulepas ciuman di kuduk..
kemudian aku bergeser ke bawah tubuhnya.

Aku berdiri di ujung dipan, di sisi bawah tubuhnya. Kedua kakiku naik ke pijakan yang telah kusiapkan.
Kuoleskan dildo itu di bawah perutnya. Sesekali menyusup ke karet Celdam-nya. Pahanya juga kuusapi.

Tubuhnya mulai tak tenang, menggeliat walau pun geliatan kecil.
Sambil masih mengusap-usap dengan dildo..
Tanganku yang bebas secara perlahan menggeser dua dudukan tinggi yang tadi rapat ke dinding.

Inilah saatnya. Perlahan kutarik karet celana dalam bu Siska ke bawah.
Wow..! Bulu-bulunya tertata rapi.. mungkin dicukur secara berkala.

Kupelorotkan lagi Celdam-nya hingga lepas.. dan dengan sopan dan pelan kubuka pahanya.
OH..! Wanita ini memang istimewa. Kewanitaannya begitu bersih dan indah.

Merah muda mendekati pink.
Tak ada ‘gelambir’ atau warna kecoklatan di bibirnya. Benar-benar ‘jernih’.
Clit-nya kecil menonjol agak ‘panjang’.. Kelamin yang terlalu sayang kalau dilewatkan.

Kelamin yang pantas dijilati.
Ingin rasanya aku menjulurkan lidahku menyentuh clit-nya atau menelusuri belahan bersih ini.

Hanya sayangnya, bagian tubuh wanita yang terpenting ini kering.
Seandainya ia basah.. menjadi mengkilap dan akan menambah keindahannya.

Kugeser dildo itu ke bawah, menelusuri bulu-bulu kelamin Bu Siska.
Aku tak bisa mengamati efek dari stimulan ini, sebab dia memang mulai terangsang.

Aku tak bisa membedakan dari mana asal rangsangannya.
Apakah dari stimulasiku sekarang pada bulu-bulu kelaminnya..
Ataukah memang hasil rangsangan dari tadi di kuduknya.

Efek gesekan dildo ini baru nyata setelah dia nanti basah.. pertanda rangsangannya meningkat.
Aku menurunkan lagi geseranku.

Mendadak datang ide di kepalaku, sebelum dildo itu menyentuh clit-nya.
Ide yang nakal dan berisiko.. tapi nikmat. Kenapa tak dicoba saja..?

Sambil masih menyeruaki bulu-bulu dengan dildo di tangan kiriku..
Dengan hati-hati aku melangkah mengambil posisi di bagian kepala Bu Siska.
Tubuhnya masih berkelejot kecil.

Tangan kiriku lalu mengelusi buah dadanya.. sekedar memberitau kehadiranku di situ.
“Ibu bisa bergeser ke bawah..?” Kataku berbisik di dekat telinganya, kubuat suaraku mendesah.

Dengan lembut iia menggeser tubuhnya ke bawah. Aku check posisinya.
“Sedikit lagi Bu..” masih berbisik.
“Stop..!” Kataku ketika pantatnya telah mencapai pinggiran dipan.

Aku kembali ke posisi semula dan kakiku naik ke.. pijakan sehingga posisinya kurasa sudah pas.
Dildo masih di seputar bulu kelaminnya..
Sementara tangan kiriku mengelus paha kanannya.. lalu bergeser ke betis dan kakinya.

Kakinya kuangkat sambil kubuka lebar.. lalu kuletakkan di dudukan tinggi yang tadi telah kuatur letaknya.
Dildo kupindah ke tangan kiri.. dan tangan kananku membuka paha kirinya..
Yang kemudian kuposisikan seperti tadi tapi berlawanan arah.

Posisi Bu Siska kini mengangkang.. persis seperti posisi ibu-ibu yang akan melahirkan.
Kewanitaannya sudah semakin jelas terpampang.

“Bu.. sebelum dengan alat, boleh saya menyentuhnya..?” Tanyaku pelan.
Bu Siska mengangguk beberapakali. Rupanya dia memang menunggu saat-saat kelaminnya disentuh.

Menurut pengalamannya kemarin, memang menimbulkan rasa ‘enak’.
Sungguh.. bagiku inilah saat-saat yang paling ‘membahagiakan’.

Susah diceritakan perasaanku waktu itu.
Terangsang hebat.. dan aku diperbolehkan merabai vagina yang paling indah ini.

Aku mulai dari pinggir kiri dan kanan, tak langsung ke clit. Lalu ke kedua belah labia mayora.
“Enak.. Bu..?” Bu Siska mengangguk.

Dengan ujung jari telunjuk kusentuh clit-nya pelan, amat pelan. “Uuhh..” dia melenguh.
Berikutnya clit itu kuelus dan tekanan jari kutambah.
Berikutnya lagi telunjukku berputar-putar. Bu Siska mengerang.

Lalu jariku bergeser menelusuri kedua belah labia minoranya. Menggesek.
Kemudian turun sedikit mencapai pintu vaginanya. aku berhasil..!
Kurasakan ada kebasahan di sana. Rangsangannya telah meningkat.

“Sekarang pakai alat ya Bu..” suaraku jelas serak.
Aku melepaskan jubahku, aku bugil.. tinggal ikat kepala satu-satunya kain yang menempel di tubuhku.

Penisku yang tegak mengacung kupegang di pangkalnya. Lalu dengan amat hati-hati aku maju.
Hati-hati jangan sampai ada bagian tubuhku yang menyentuh pahanya.

Supaya Bu Siska tetap mengira aku menggunakan alat untuk menstimulir vaginanya.
Padahal aku menggunakan ‘alatku’ yang vital.

Sleckk.. sleckk.. slepp..!! Kugeser-geserkan kepala penisku menelusuri seluruh permukaan vaginanya.
Di bagian clit kutekan-tekan. “Gimana rasanya Bu..?” Aku mengatur nafas dulu sebelum bicara.

Bu Siska hanya mengangguk-angguk.
Tak mampu lagi bicara.. mendingan mulutnya buat mengerang saja daripada buat bicara.

Aku lalu berputar-putar sekitar liang senggamanya.
Lalu ketika kepala penisku tepat di lubang.. slebb.. aku menekan. Hups.. mentok, dan.. “Auuff..!!”
Teriakan lirih Bu Siska. “Jangan. Sakit..!!”

Kok aku jadi tak sabaran begini..? Habis.. rangsanganku sudah sedemikian tinggi..
Aku sudah siap lahir dan batin buat penetrasi.. maklum dong.

Aku juga jadi maklum kenapa suami Bu Siska jadi tak sabaran.
Lelaki mana yang tahan dengan segala penampilan fisik Bu Siska..?
Namun sadar.. aku harus bersabar.

Kujelajahi lagi seluruh permukaan vaginanya dengan kepala penisku.
Berulangkali aku juga mencoba menusuk. Perlakukan saja seperti akan menyetubuhi seorang perawan.

Sampai suatu saat tak terdengar lagi suara ‘aauuf..’ dari mulut Siska. Aku telah masuk sampai leher.
Memang ‘feel like virgin’.. Suara-suara kesakitan dan lekatnya liang vagina Bu Siska..
mirip pengalamanku ketika pertamakali bersebadan dengan Marni.

Aku harus melicinkan ‘jalan’ dulu. Slepp.. clebb.. slepp.. clebb.. slepp.. clebb..!!
Kutarik batang penisku kemudian kutusuk lagi di belahan indahnya, hanya sebatas leher.

Begitu berulang-ulang..! Aku mulai menikmati enaknya. Tubuhku serasa mulai seakan melayang-layang.
Sampai aku lupa memperhatikan reaksi Bu Siska.

Kini dia sudah seperti layaknya perempuan normal.
Merintih-rintih.. kepalanya mendongak.. tubuhnya berkelojotan.

Saatnya aku masuk lebih dalam. Rrrrrbbbb.. slebb.. clebb.. slebb.. clebb.. slebb.. clebb..
Pinggulku terus bergerak maju-mundur.. sedikit demi sedikit penisku makin dalam menusuk.

Sampai akhirnya batang penisku telah tenggelam seluruhnya ke dalam liang vagina Bu Siska.
Blessekk..!! Oohhhhh..!! Kelamin kami telah benar-benar menyatu.

Aku lupa menjaga agar tubuhku tak menyentuh pahanya.
Kini pinggul depanku telah menempel erat ke selangkangannya.

Clebb.. clebb.. crebb.. crebb.. crebb.. batang penisku keluar masuk dengan nikmat.
Kalau sudah begini.. dengan sendirinya aku pun bergoyang memompa.

Tiba-tiba Bu Siska bangkit.. dilepaskannya penutup matanya dan ditariknya tubuhnya.
“Kamu..!?” Teriaknya dengan nada marah.. tak lagi memanggil dengan ‘pak’. Kelamin kami terlepas.

“Ambil kesempatan ya..!?” Katanya lagi.. tapi matanya menatapi penisku yang masih tegang.
“Maafkan saya Bu..” Apa boleh buat.. aku memang melakukan kesalahan.

“Begitu ya caranya mengobati..!? Selalu mengambil keuntungan..!”
“Engga selalu, Bu. Tadi saya benar-benar tak mampu menahan diri..”
Dia diam. Beberapakali matanya tertangkap melirik kelaminku.

“Sumpah, Bu. Saya benar-benar lepas kontrol tadi..”
Dia masih terdiam, kesempatanku untuk membela diri.

“Habisnya.. Ibu begitu mer ..”
“Apa .. nyalahin aku lagi..!?” Potongnya.
“Sama sekali tidak. Saya ngaku salah. Saya lepas kontrol karena Ibu begitu istimewa..”

Aku menunggu reaksinya. Tak ada.

“Semua yang ada pada Ibu, begitu indahnya..”
Kataku sambil menatapi susu dan kelaminnya yang masih terbuka, bergantian.

Dia memutar tubuhnya menghadap dinding.. membelakangiku begitu tau aku menatapi tubuhnya.
Dia menunduk diam. Sunyi. Sungguh suasana yang tak enak. Cukup lama.

Akhirnya.. “Saya tadi sungguh kaget, tak menyangka, bukan apa-apa..”
Nada suaranya berubah.. tak lagi marah seperti tadi.

Masih membelakangiku. aku menunggu ucapan berikutnya.

“Kalau memang begitu.. Bapak tak usah curi-curi..”
Harapanku timbul kembali, dia kembali memanggil dengan ‘Bapak’.

“Bapak bisa bilang baik-baik..” Tak salah lagi.
Mendadak aku gembira.

“Maksud Ibu..?” Dia menoleh,
“Bapak tau maksudku..” lalu kembali menatap tembok.

Aku mendekatinya.. ketika aku persis di belakang punggungnya, kubelai-belai rambutnya.
Tak ada penolakan.. bahkan kulihat dia memejamkan mata

Aku berlanjut. Kucium kuduknya pelan..
Kutelusuri seluruh permukaan leher belakangnya dengan mulutku.

"Ngghhh aahhh.." Bu Siska merintih.
Memang di sinilah harus dimulai bila menginginkan dia terangsang.
Aku berani taruhan suaminya tak pernah melakukan begini.

Melewati kedua bahunya.. kedua tanganku meluncur menjamah buah dada.

Kuraba.. kuelus.. kuremas kedua buah kembarnya dengan perasaan utuh..
Yang memang bertujuan untuk menikmati bulatan daging indah itu.

Berbeda dengan tadi.. pada saat aku pertamakali merabai dadanya..
Perasaanku hanya setengah hati menikmatinya.
Setengah lainnya memang sedang mencari-cari titik-titik erotis.

Kali ini penghayatanku sepenuh hati.
Entah karena perasaan yang penuh tadi mungkin saja berimbas kepada dia..
Yang jelas dia tak mencegah ketika jari-jariku merabai putingnya.

Kutarik punggungnya hingga merapat erat ke bagian depan tubuhku..
Dan kelaminku merapati pinggangnya.. agar kedua tanganku bisa lebih intens menikmati dadanya.

Benar saja.. telapak tanganku merasakan puting itu mengeras.
Teknik remasanku sebenarnya sama dengan remasan tadi pagi, hanya sekarang lebih menimbulkan sensasi.

Beda rasanya meremas buah dada dalam keadaan puting keras terangsang..
dibanding buah dada yang ‘tak responsif’.

Sebelah tanganku meluncur ke bawah ingin tau.. semacam ‘test’.
Pahanya sedikit membuka.. memberi jalan ketika tanganku menyusup ke selangkangannya. Benar.
Dia telah lembab. Basah layaknya wanita-wanita normal.

Kuputar punggungnya jadi menghadapku. Kuangkat dagunya sedikit lalu kulumat bibir sensualnya.
Bu Siska menyambut lumatanku.. bahkan bibirnya minta disedoti.

Kurebahkan punggungnya ke kasur.. aku lalu naik ke dipan dan menindih tubuhnya.
Pahanya membuka memberi tempat untuk pinggulku.

Aku masih melanjutkan ciuman di bibirnya sebentar sebelum turun ke leher dan terus ke dada.
Aku menciumi kedua belah dadanya juga dengan sepenuh hati.
Ughhhh..!! Buahnya serasa lebih kencang dibanding tadi.

Tak ada protes atau keluh kesakitan..
ketika aku menjilati dan bahkan menyedot-nyedot puting dadanya. Segalanya normal.

Lalu ketika tanganku memegang penis tegangku dan menyapu-nyapu permukaan vaginanya..
reaksinya pun seperti wanita normal..
Mendesah-desah.. merintih.. dengan tubuh bergerak-gerak tak beraturan.

Aku tak ingin mengulangi kesalahan yang tadi.. tak ingin cepat-cepat menusuk.
Sleppp..!! Dengan kepala penisku.. kutelusuri seluruh permukaan kewanitaannya.

Mulai clit sampai seputar liang senggamanya.. berulang-ulang.
Mati-matian aku menahan diri untuk tak menusuk.

Nah.. ketika liangnya membuat kepala penisku terpeleset.. tibalah saatnya buat mencoba masuk.
“Siska.. boleh ya..?” Bisikku.
Siska mengangguk.
“Kamu tak keberatan kan..?”
Lagi dia mengangguk.. berkali-kali.

Kubuka lagi pahanya lebih lebar.. kutempatkan ujung kelaminku tepat di liangnya..
Ssslebbb.. lalu aku menekan. Jlebb..!! Kepala penisku membelah masuk.

“Sakit, sayang..?” Uh.. aku memanggilnya sayang.. meluncur begitu saja. Dia menggeleng.
Hanya sebatas kepala aku memompa. Kuamati wajahnya.

Kepalanya mendongak.. matanya terpejam rapat.. mulutnya terus merintih dan mengerang.
Kedua tangannya gelisah ke sana kemari.. kadang meremas bantal.. kadang seperti mencabut sprei.
Nafasnya memburu.

Aku berhenti memompa.. ingin masuk lebih dalam .. jlebb.. aku menekan lebih kuat.
“Ahh..!!” Serunya kecil.. keningnya berkerut, tanda kesakitan.
“Sakit, Yang..?”
Siska mengangguk lemah.

Kutarik penisku lagi pada posisi semula. “Tapi engga apa-apa.. terus aja..” kata Siska lirih.
Slebbb..!! Aku menekan lagi. Wajahnya berkerut lagi.

Sleppp..! Kutarik lagi.. dan kugoyang sebatas kepala.. clebb.. lalu menusuk lagi.
Kerutan wajahnya menandakan kesakitan walau tanpa mengaduh.

Masuknya harus pelan-pelan.. bertahap.. senti demi senti.
Persis seperti menyetubuhi seorang perawan. Harus ekstra sabar.

Kesabaran membawa hasil.
Tangan Siska yang tadi memeluk punggungku meluncur turun ke pantatku, dan menekannya.
Suatu isyarat untuk lebih ke dalam lagi.

Slebb.. jlebb..!! Pinggulku menekan. Penisku masuk lebih dalam.. tapi lagi-lagi keningnya berkerut.
Aku menarik pinggulku.. tapi tangan Siska menekan pantatku lagi.

Mungkin dia merasa sedikit sakit.. tapi sebaliknya juga merasa enak..
Sehingga memintaku untuk terus masuk sampai seluruh batang penisku tenggelam.

Aku mulai menggoyang memompa. Memang sih tidak seperti vagina Titin..
Yang begitu erat mencengkeram penisku.. yang begitu susah dimasuki.
Vagina Titin memang lain daripada yang lain.

Tapi milik Siska cukup terasa gesekannya. Otot-otot dinding vaginanya masih terasa digeseknya.
Kulihat tak ada sisa ruang lagi ketika penisku keluar masuk liang vaginanya.

Ya..! Aku benar-benar telah menyetubuhi wanita ini. Rasanya bagai mimpi.

Tak kusangka. Sekarang aku sedang berhubungan seks dengan wanita cantik dan seksi..
Berkulit putih.. bibirnya sensual.. punya buah dada yang sempurna, dan kewanitaan yang ‘jernih’ dan indah.

Kelamin yang indah ini sekarang sedang kupompa dengan penuh semangat.
Pemilik vagina yang jernih ini sedang menikmati pompaanku.

Kepalanya menengadah menatap dinding di atasnya.. mulutnya sibuk mengerang dan merintih.
Keringatnya membasahi sekujur tubuhnya.. dan bercampur dengan keringatku.

Ketika pendakianku menuju puncak hampir sampai..
Ketika aku mempercepat ‘langkahku'..

Dan kemudian bersiap-siap menunggu momen yang tepat untuk dicabut..
Ya.. seperti biasanya bila aku bersebadan tanpa ‘helm’ pelindung..

Nah.. saat itu pula Siska malah mengeratkan jepitan kakinya pada pinggulku.
Seakan dia tak rela aku meninggalkannya. Apa boleh buat.. dicabut pun sudah terlambat.

Beberapa detik setelah hujaman kuat.. cratt.. cratt.. cratt..!! Aku ejakulasi di dalam tubuhnya.
Ejakulasi yang membuat tubuhku bergetar.. suatu tanda puncak yang kucapai memang tinggi.

Errrggghhhh..!! Begitupula kenikmatan yang kudapat.
-------ooOoo-------

Nafas kami telah mereda.. aku masih menindihnya dan penisku masih di dalam tubuhnya.
Masih terbayang-bayang.. betapa nikmatnya hubungan seks yang baru saja kulakukan.

Ejakulasi yang benar-benar di puncak yang tinggi.
Nikmatnya bersetubuh dengan wanita molek yang serasa perawan.
Ughhhh..!! Sungguh nikmat yang susah disamai.

Bu Siska tersenyum. “Kenapa..?” Tanyaku.
Senyuman berubah jadi ketawa kecil.
“Ada apa sih..?” Aku heran. Ketawa kecil jadi ngakak.

Aku bangkit menatap matanya.
“Begini ya.. cara mengobati..?” Katanya setelah berhenti ketawa. Aku merasa tersindir.
“Ya begitulah. Supaya tau hasil terapi..” jawabku asal.

Tiba-tiba ketawanya meledak lagi. “Ingat kan sama pasien yang masuk sebelum Aku..?” Tanyanya.
Bu Karto.. ya aku ingat sama perempuan setengah baya yang gemuk itu.
Lagi-lagi dia ketawa. Barulah aku menyadari arti ketawanya.

“Engga semuanya dong. aku juga milih-milih..”
“Udah berapa ratus orang..?” Katanya sinis.

“Ah.. cuman beberapa. Aku benar-benar pemilih. Yang putih seksi seperti kamu..”
Kami tak lagi saling memanggil Pak dan Bu.

“Ngomongnya sih begitu..?” Ujarnya.
“Tapi apa peduliku..” katanya lagi sebelum aku sempat membela diri.

“Sorry, itu kan urusanmu. Aku tak akan tanya lagi..” tambahnya.
“Sorry juga, aku tak mampu menahan diri. Habis kamu begitu indahnya..” jawabku
“Huh.. gombal..!”
“Aku bilang sebenarnya, Sis..”

Aku lalu mendeskripsikan keindahan seluruh bagian tubuhnya.
Mulai dari kulit.. wajah.. buah dada. Sampai keindahan kewanitaannya.

Siska hanya terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin bangga..
Atau karena belum ada lelaki yang pernah menggambarkan keindahan dirinya begitu detil.

Siska lalu ke kamar mandi, aku memberesi pakaian dalamnya yang berserakan.
Keluar dari kamar mandi aku membantunya mengenakan pakaian. Lalu dia pamitan.

“Masih banyak kerjaan di rumah..” katanya ketika aku menahannya.
“Terimakasih ya.. baru kali ini aku bisa menikmati..” bisiknya menjelang keluar pintu.

Kutarik tangannya.. dan kupeluk tubuhnya erat-erat. Kucium bibirnya. Penisku menggeliat lagi.
Merasakan itu Siska lalu merenggangkan tubuhnya.

“Terus dilatih sama suami ya. Aku siap membantu kapan saja..” bisikku juga.
“Membantu apa maksudmu..?”
“Apa saja yang bisa kubantu..” ujarku diplomatis.

“Terus terang aku menginginkan kita tetap berhubungan. Kapan saja kutunggu..” lanjutku.
Siska melangkah keluar.
-------ooOoo-------

“Ehem..!” Titin berdehem sambil senyum-senyum.
“Apa..?” Kataku.

“Sedap banget ‘kali ya barangnya..?”
“Ah.. biasa aja. Engga selegit punya kamu. Eh, kamu ngintip ya..?”
“Engga..! Mana berani saya tanpa seizin Bapak. Lagian Bapak kan yang pegang kuncinya..”

“Kok bilang sedap..?”
“Habis.. Bapak lama banget. Kapan-kapan kalau dia dateng lagi, boleh dong saya ke Sudut..”

Sudut, adalah istilah kami untuk ruangan kecil di pojok, bersebelahan dengan ruang periksa.
Tak berlampu, selalu terkunci dan kuncinya aku bawa.. ada kaca khusus yang berukuran 60X30 cm.

Disebut kaca khusus.. karena dari ruangan ini bisa melihat dipan periksa..
Tapi dari ruang periksa kaca ini tampak sebagai cermin.

“Belum tentu dia dateng lagi..”
“Ah.. masa’..”
Aku tak menyahut.

“Bapak udah kenyang dong sekarang..”
“Walau pun kenyang kalau ada makanan ya kusikat..” kataku bercanda.

“Padahal saya udahan..”
Titin nyender di dipan sambil mengangkat gaunnya tinggi-tinggi.. tak ada Celdam..!
Yang tampak hanya bulu-bulu kelaminnya.

Anak ini memang rada nakal.
Dia tak memakai Celdam..! Artinya.. mens-nya sudah beres.

Aku tau dia pingin..
Tapi aku rada malas sebenarnya setelah mendapat kepuasan maksimum dengan Siska.
Tapi aku tak boleh menolak wanita patuh ini.

Kudekati dia, kuelus-elus kelaminnya. Dia merintih. Ah.. sudah basah.
Kulepas gaun itu.. dia tak memakai bra. Kedua putingnya sudah keras.

CONTIECROTT..!!
--------------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------------
 
Terakhir diubah:
--------------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------------

Cerita 124 – Erotic Zone

[Part 5] – Epilog

Aku langsung bugil..
punyaku belum tegang benar, tapi aku tak khawatir.
Mulutnya amat terampil membuat milikku keras.

Kutekan bahunya ke bawah dan dia tau kemauanku..
Clropp..!! Penisku langsung dilahap dan kemudian diurut-urut dengan bibirnya.

Kunaikkan tubuhnya ke atas dipan.. kubentang pahanya. Slebbb.. aku menusuk.
Inilah khas milik Titin, tusukanku serasa membentur dinding. Sepertinya vagina ini menolak kumasuki.

Titin disamping liang senggamanya memang amat kecil..
Dia juga punya ketrampilan mengejan sedemikian rupa.. sehingga membuat liangnya seakan tertutup.

Inilah yang membuatku kangen. Membuatku selalu rindu ingin menyetubuhinya.
Walau pun dia tidak cantik. Walau pun banyak wanita cantik berseliweran di depanku.

Kadang aku harus bilang biarkan dulu aku masuk, baru silakan menjepit.
Begitu masuk aku langsung memompa. Pompaan tidak langsung lancar.

Tapi kalau sudah lancar.. wow nikmatnya..!! Memompa sambil dijepit.
Lalu dia mulai mengerang. Tubuhnya mulai menggeliat-geliat. Rintihannya makin tak karuan.

Pompaanku makin cepat, dia makin histeris. Mencakar, menjambak, mengguncang.
Akhirnya tangannya mencengkeram keras tubuhku.

Tubuhnya berguncang beraturan dan liang dalamnya berkedut-kedut.
Titin orgasme.. padahal aku belum apa-apa. Baru sejam lalu aku ejakulasi.
Untuk orgasme berikutnya butuh waktu yang lebih lama.

Begitu tubuh Titin mereda.. aku mulai memompa lagi. “Aahh.. Pak..!!” Jeritnya.
Aku tak peduli.. terus memompa, lebih cepat dan cepat.. dan kucabut sebelum muncrat.

Aku rebah kelelahan.
“Ngilu.. Pak..” keluhnya.
“Tapi enak ‘kan..?”
“Iya..” katanya sambil mengangguk-angguk.
-----------------ooOoo-----------------

Tari


“Anu.. Pak, selama ini saya belum pernah merasakan enaknya begituan..”
Katanya ketika kuminta dia menceritakan masalahnya.

Tari.. umur 27 tahun.. sudah 3 tahun menikah anak satu laki-laki berumur setahun.
Begitu yang kubaca dari form pasien.

“Jadi apa yang Ibu rasakan ketika berhubungan..?”
“Biasa-biasa aja, Pak..”
“Merasa sakit..?”
“Emm.. engga, tuh..”
“Lho, engga ada masalah dong..!” Perempuan itu terdiam.

Wajahnya memang tak secantik Siska, tapi lumayanlah.
Hidungnya bagus.. mancung tapi bukan seperti hidung bule.

Rambut berombak, tubuhnya tinggi.. tak bisa dikatakan langsing tapi berbentuk.. –body gitar, istilahnya..–
Dada dan pinggulnya besar, pinggang ramping, kulit langsat tua.. maksudku sawo matang cerah.

“Tapi tak seperti teman-teman saya..”
“Teman..?”
“Teman saya, perempuan, cerita enaknya main sampai.. ah.. pokoknya nikmat banget, gitu.
Saya tak pernah merasakan sampai segitu enak..”

Sangat mungkin ibu muda ini tidak ada masalah dalam hubungan seks.. hanya dia belum pernah sampai orgasme.
Memang ada wanita seperti dia, belum pernah mengalami orgasme walau pun sudah punya anak.
Kalau yang ini sih bukan bidang garapanku.

“Sepertinya sih Ibu engga ada masalah.. hanya Ibu belum pernah mengalami puncaknya hubungan seks..”
“Iya, begitu kayaknya Pak. Makanya saya ke sini supaya bisa normal..”
“Kalau yang ini di luar bidang saya, Bu..”

“Ah.. saya tau Bapak karena kawan bilang Bapak bisa menyembuhkan..”
“Siapa nama kawan Ibu itu..?”
“Bu Tati..”
“Bu Tati.. hmmm.. ya saya ingat. Tapi ..”
“Bisa kan..? Tolong ya Pak..” potongnya.

Bu Tati memang pasienku, dia memang frigid.
Susah juga menjelaskan kepada perempuan ini perbedaan yang dialami Bu Tati dengan yang sedang dialaminya.

Tapi baiklah.. tak ada ruginya menerima wanita montok ini.
Paling tidak aku bisa merabai dada dan pantatnya yang besar itu.

Kuceritakan kepadanya tentang proses terapi yang biasa kulakukan.
“Saya engga keberatan..” katanya.
“Okay kalau begitu.. kita bisa mulai. Mari Bu..” kataku mengajak ke dipan.

Bu Tari lantas bangkit menuju dipan.
Tangannya yang akan melepas kancing gaunnya batal ketika melihat Titin ada di situ.
Gerak tangannya mengisyaratkan dia keberatan.

“Tin, kamu bantu di belakang aja, Bapak bisa sendiri..”
“Baik, Pak..” Titin keluar melalui pintu belakang.
“Teteknya, Bo..” bisik Titin sebelum aku mengunci pintunya.

Bu Tari membuka seluruh kancing dan memelorotkan gaunnya sampai lepas.
Dugaanku benar.. buah dada yang ditopang bra warna coklat muda itu memang besar.

Pantatnya juga besar.. tapi pinggangnya ramping kecil.
Istimewanya lagi.. kulit badannya lebih cerah dibanding wajah dan lengannya.

Setelah dia menaruh gaun di gantungan.. tanpa sungkan dia membuka kaitan bra dan langsung melepasnya.
Seketika itu pula dua buah bulat pun bebas. Buah dada yang lebih putih dibanding warna kulitnya.

Glekk..! Tercekat aku dibuatnya.. perlahan penisku menggeliat bangun.
Putingnya coklat, sedikit besar dan menonjol.

Belum habis rasa kagetku.. tiba-tiba dia melorotkan Celdam-nya pula sampai lepas.
Wow.. bulunya amat lebat.. menutupi seluruh permukaan kelaminnya.

Bu Tari langsung bertelanjang bulat.. padahal instruksiku tadi sama seperti yang kuberikan pada Siska.
Tahap awal hanya pakaian luarnya saja yang dilepas.

Sungguh tak bijak kalau aku menyuruhnya mengenakan kembali bra dan Celdam-nya.
Kubiarkan saja. Bu Tari lalu naik ke dipan dan rebah. Buah dadanya berguncang.

Kubantu dia mengenakan penutup mata dan menyuruhnya rileks.
Proses perabaan seperti biasa.. mulai dari belaian rambut.. wajah dan bagian-bagiannya, leher dan turun ke dada.

Kudengar nafasnya sudah mulai tak teratur.
Seperti yang sudah kuduga.. perempuan montok ini tak punya masalah dengan respons seksual.
Tapi aku terus saja melakukan proses terapi seperti pada pasien-pasien yang bermasalah.

Ketika aku merabai buah dadanya, Bu Tari merintih. Wow.. putingnya sudah mengeras.. tegang mengacung.
Kuremas-remas dadanya, kupelintir putingnya. Bu Tari mengerang. “Enak.. Pak..” Jelas saja enak.

Telapak tanganku menelusur ke bawah.. lewat perut dan langsung ke bulu-bulu yang amat lebat.
Dia tak pernah bercukur. Kupermainkan bulu-bulunya. Tanpa kuminta Bu Tari membuka sendiri pahanya.

Ya sudah.. tanganku langsung saja menuju ke selangkangannya.
Aku tak kaget, dia sudah basah. Warna coklat muda.. lumayan jernih.

Clit-nya besar pendek.. kedua labia yang mengkilat.
Begitulah gambaran kelamin Bu Tari. Oo.. penisku tegang juga.

Jari-jariku terus mengeksplorasi seluruh permukaan kewanitaannya.
Erangan Bu Tari tak ubahnya seperti wanita yang sedang melakukan senggama.
Melenguh.. mengerang.. merintih.. diselingi dengan desis-desis “Sedaap.. oohh..!!”

Akhirnya aku jadi tak kuat juga.. pengin menyetubuhinya sekarang.
Tapi tak boleh begitu.. aku harus bertahan dan sabar.
Untuk hal kesabaran aku memang telah terlatih dengan sendirinya.

Aksi jari-jariku di kelaminnya ku-stop. Erangan Bu Tari berhenti.
Penutup matanya dibuka. “Kenapa.. Pak..?” Tanyanya terengah-engah.

“Respons Ibu sudah bagus dan cepat, engga ada masalah..”
“Tapi.. tadi.. enak.. terus saja.. Pak.. sampai ..”

Dia bangkit dan tiba-tiba memelukku.
“Teruskan ya.. Pak.. tolonglah..” Nafasnya masih tersengal-sengal.

Tangannya menyelusup ke dalam jubahku dan turun ke bawah.
“Oohh.. Bapak.. juga udah siap.. begini..!”

Aku tak pernah memakai pakaian dalam jika sedang praktek.
Tentu saja tangannya langsung menjumpai penisku yang tegang.

Dibukanya jubahku lalu dielus-elusnya batang kelaminku.
“Ooh.. bukan main..!!” Serunya.
“Bu, saya khawatir nanti tak bisa menahan diri lho..”
“Ayo.. ayo.. ngga pa-pa..!!”
“Benar engga apa-apa..?”

Bu Tari tak menjawab. Ditariknya kedua tanganku hingga aku rebah ke dipan menindihnya.
Proses ‘terapi perkeliruan’ dimulai. Hehehehe.. dia yang mau kok..

Kuciumi hidungnya, lalu bibirnya. Bibir kami saling melumat. Lalu aku turun ke lehernya.
“Hii.. ge..li..”
Mulutku turun lagi menuju buah besarnya.
Dengan gemas kucium habis-habis kedua buah dadanya. Putingnya kusedot-sedot.

“Ayo.. Pak.. sekarang..” Aku masih mengerjai dadanya. Gemas juga menciumi sepasang daging bulat besar itu.
“Masukin.. sekarang..” Aku bangkit. Bu Tari mengangkat kedua kakinya dan pahanya melebar.

Vaginanya telah tepat terhidang di depanku. Sleckk.. sleck.. slepp.. slepp..
Aku menggosok-gosokan kepala penisku dulu di permukaan vaginanya, lalu mulai menusuk.

Slebb.. clebb..!! Secara perlahan terus merasuk sampai batang penisku ‘hilang’ ditelan liang senggamanya.
Aku memompa. Wah.. mulutnya begitu ‘heboh’.. ribut banget. Pasti kedengaran oleh Titin di belakang.

Di saat aku jedah sejenak dari memompa.. tiba-tiba kurasakan denyut-denyut di dalam sana.
Denyutan teratur yang cukup kuat ‘memeras’ ujung penisku.

“Hhhh.. sedap..” kataku.
“Tusukin.. dulu..” sahutnya.

Crebb.. crebb.. crebb.. clebb.. clebb.. clebb..!! Aku kembali memompa, menusuki rahimnya.
Di saat aku diam, gantian dia yang aktif menjepit-jepit penisku.

Begitulah.. ketika aku inginkan jepitan.. aku cukup menghentikan pompaanku saja.
Gerak jepitan teratur yang menimbulkan sensasi tersendiri.

Akhirnya kurasakan sudah tiba waktunya. Aku mempercepat pompaanku..
Tak lama kemudian tubuhku berdesir.. lalu mengejang.. Jlebb.. jleghh..!!

Crett.. crett.. crett.. crett..!! Kusemprotkan maniku kuat-kuat di luar vaginanya.
Kedua tangannya mencengkeram tubuhku amat kuat.
-------ooOoo-------

Beberapa menit berlalu aku masih menindih tubuhnya sebelum aku lalu rebah di sampingnya.
“Hoo.. sedaap..” katanya
“Tapi saya bisa merasakan, kamu belum orgasme, kan..?”
Kebiasaanku.. kalau sudah bersebadan aku tak lagi memanggil dengan ‘Bu’.

“Mungkin belum, tapi aku merasakan nikmat yang beda jauh dari biasanya..”
“Benar..?”
“Aku bisa merasakannya..”
“Syukurlah kalau begitu. Untuk menuju orgasme harus dilatih terus-terusan..” kataku.

“Berarti engga apa-apa ya kalau aku entar sering-sering ke sini..?”
“Boleh aja.. tapi hati-hati, entar suamimu curiga, lagi..”
“Soal itu bereslah..”

Sebelum Tari membuka pintu keluar.. dia tiba-tiba mengangkat ujung gaunnya lalu mencopot Celdam-nya.
Dilipatnya Celdam-nya itu baik-baik lalu diangsurkan kepadaku.

“Ini buat kamu, sebagai kenang-kenangan. Simpan baik-baik ya..” katanya, lalu keluar.
Perempuan aneh..!! Pikirku. Dan, eh dia mengurungkan langkah keluar pintu dan berbalik.

“Nanti kalau kita main lagi, keluarin aja di dalem..” katanya.
“Aku pakai pelindung kok..” katanya sebelum aku tanya. Dia lalu keluar.

Titin membuka pintu dan masuk.
“Gila.. ribut banget maennya..” katanya. Aku hanya senyum-senyum.

“Bapak juga edan..! Baru pertemuan pertama udah tancepan..”
Biasanya ‘tancepan’ memang terjadi menjelang hari terakhir terapi.

“Habis.. dia yang minta..” jawabku kekeuh.
“Mustinya tadi Bapak ngasih kunci Sudut ke saya..”
“Lain kali aja deh..”
“Bener ya..?” Katanya sambil mengganti sprei.

“Pak..” panggilnya.
“Kenapa..?”
“Kalau sekarang saya pengin, gimana..?”
“Pengin..?”

“Habis.. denger 'nyanyiannya' tadi saya jadi terangsang..”
“Aduh.. entar deh, Bapak mau istirahat sebentar.. mandi.. lalu kita main. Oke..?”

Tiba-tiba dia menghamburku. Pipiku dikecupnya.
“Terimakasih..” bisiknya. Begitu gembiranya dia seperti anak-anak yang dijanjikan diberi permen..
------------ooOoo------------

Wanita Baru


Suatu pagi..
“Pak, saya bisa ke situ sekarang..” suara lembut di ujung telepon yang telah kukenal. Siska.
“Seneng banget aku Sis..”
“Bener..? Ada pasien engga..?”
“Hari ini engga ada..”

Aku langsung mandi..
Dan keluar dari kamar mandi aku hanya mengenakan kimono menuju ke ruang praktik.

“Hari ini engga ada pasien kan, Pak..?” Tanya Titin.
“Engga..” Biasanya kalau tak ada pasien aku memang tak ke ruang praktek.
“Ada tamu istimewa ya..?”
“Tau aja kamu..!”
“Siapa Pak..? Bu Siska..?” Aku mengangguk.
“Saya pinjam kuncinya..”

Celaka.. Titin pengin nonton aku menyetubuhi Siska.
Apa boleh buat.. aku pernah sepakat mengenai hal ini.
Aku boleh main dengan pasien asalkan dia boleh nonton.

Begitu Siska masuk aku langsung memeluknya.
Dia terlihat kaget menerima seranganku ini tapi tak menolak.

“Saya kan mau melanjutkan terapi ..” katanya.
“Ini kan terapi juga..”
“Tapi bukan langsung begini..”
Walau pun begitu.. tak ada usaha penolakan dari Siska.

Kuputar tubuhnya lalu kuciumi kuduknya. Siska menggeliat-geliat.
Tanganku ke depan.. melepas kancing dadanya.. lalu menyusup ke bra-nya.

Kugenggam buah dadanya dan kuremas-remas.
Ah.. dia sudah responsif sekarang, putingnya mengeras.

Kubuka blus dan lalu bra-nya.
Aku menunduk menciumi buah dadanya dan mengisap putingnya, bergantian kanan dan kiri.
Erangannya makin seru.

Siska menarik tubuhku ke atas lalu mencium bibirku. Kami berpagutan.
Tanganku ke bawah menelusuri perutnya.. menyingkap roknya dan menyusup ke selangkangannya.

Hah..! Tanganku langsung menjamah bulu-bulu kelaminnya. Siska tak memakai Celdam..!

“Nakal.. ya..” kucubit hidungnya. Siska hanya senyum dan melepaskan kimonoku.
“Nakal juga..” katanya sambil menggenggam penisku yang telah tegang penuh.

Kulepas rok-nya. Kami sudah sama-sama bugil. Ditariknya tanganku menuju dipan.
Aku yakin Titin telah menunggu di ruang intipnya dengan nafas ngos-ngosan dan panas-dingin.

Kurebahkan dia di kasur dan kubentang kakinya lebar-lebar.
Aku sedikit bergeser.. supaya tak menghalangi pandangan Titin dari cermin searah.

Titin ingin lihat bagaimana vagina yang kubilang ‘jernih’ itu.
Tak hanya jernih.. tapi juga mengkilap. Siska telah basah.
Siska sekarang berbeda dengan Siska beberapa minggu lalu. Siska sekarang bagai wanita baru.

Kusentuh kelentitnya dan kugosok. Beberapa saat kemudian telah melembab.
Cairannya telah merembes dengan normalnya. Aku pun tak tahan.

Siska tak keberatan ketika aku langsung masuk dan memompa.
Aku yakin.. dengan gaya misionaris begini Titin bisa dengan jelas..
menyaksikan batang penisku masuk-keluar di liang senggama Siska.

Dia juga dengan jelas bisa melihat aku tak mencabut penisku ketika sampai di puncak hubungan seks.
Suatu hal yang jarang kulakukan padanya..
“Bapak kok keluarin di dalem sih..?” Komentar Titin. Aku hanya senyum tak menanggapinya.

Beberapa waktu berikutnya Siska menjadi rajin mengunjungiku. Tak hanya di pagi hari.
Kadang siang atau sore. Bahkan malam hari yang sempat membuat Titin agak jengkel.

Dia harus sabar menunggu aku selesai menyetubuhi Siska..
Ditambah sejam lagi ketika penisku siap bermain di ronde dan wanita berikutnya..
-------oOo-------

‘The End Of The Game’


Tiga bulan berlalu..
Suatu pagi.. ketika aku baru saja selesai menikmati ‘morning sex’ bersama Titin.
“Pak.. aku mau bicara..” kata Titin serius.
“Ada apa nih..? Serius banget..”
“Iya saya serius..”
Lalu diam.

“Ada apa, Yang..?”
“Sebelumnya saya minta maaf dulu sama Bapak..”
“Ceritakan dulu ada apa..” kataku.
Diam lagi.

“Jangan ragu-ragu Tin, katakan aja..”
“Saya dilamar Mas Seno..” Kalimat yang diucapkan pelan tapi cukup membuatku kaget.
“Seno..?” Iya aku ingat, Titin pernah cerita tentang perkenalannya dengan lelaki itu.

Anak muda yang punya kios di pasar tempat Titin sering belanja kebutuhan sehari-hari.
Aku coba menenangkan diri. Terbayang Titin tak lagi di pelukanku. Tak lagi bisa membantuku.

Tidak memasak lagi untukku.
Dan.. tentu saja aku tak bisa lagi menikmati jepitan-genggaman istimewa otot-otot liang senggamanya.

“Ah.. Bapak tak pernah membayangkan kamu jadi milik lelaki lain..”
“Maafkan saya, Pak..” katanya tersendat.. mulai menangis.

Jelas aku berkeberatan.. tak bisa menerimanya.
“Trus.. Bapak sama siapa..?” Aku jelas tak bisa memilikinya terus.
Suatu saat hal ini akan terjadi dan aku tak boleh egois.. tak punya hak untuk menghalangi kebahagiaannya.

“Kamu sudah menerima lamarannya..?”
“Aku minta pendapat Bapak..”
Aku diam. Mikir lama.

“Maaf, Bapak ingin tanya sesuatu yang pribadi..”
“Silakan Pak..”
“Kamu sudah .. sama dia..?”
“Sama sekali belum Pak. Mas Seno tak akan menyentuhku sebelum menikahiku..”
“Dia sudah tau kamu ..”
“Janda..? Sudah Pak..” potongnya.

“Gimana kalau Bapak saja yang menikahimu..?” Kataku setelah aku mikir masak-masak.
“Ah.. bapak ini. Kan saya sudah pernah bilang, jodoh Bapak bukan saya..”
“Dari mana kamu tau..?”
“Feeling saya mengatakan begitu, Pak..”
“Beri waktu Bapak buat berpikir dulu ya Tin..”

Sementara Titin menunggu keputusanku.. dia tetap saja bersedia melayaniku di tempat tidur.
Tiga hari kemudian.. ketika Titin menanyakan keputusanku.. aku telah mengambil keputusan.

“Kalau Seno memang pilihanmu.. bapak tak keberatan..”
“Terimakasih Pak..” Titin menciumku erat-erat.

“Tapi ada syaratnya..”
“Apa itu Pak..?”
“Setelah menikah nanti kamu tetap kerja di sini, dan ..”
Dia menunggu.

“Bapak masih bisa emm.. sama kamu..”
“Maksudnya, tidur sama Bapak..?”
“Iya..”
“Wah.. kalau tetap kerja di sini, saya dan Mas Seno tak keberatan.
Tapi kalau yang itu .. jelas saja Mas Seno akan menolak keras..”

“Kamu tak usah bilang ke dia..” aku benar-benar egois..!
“Berat bagi saya untuk berbohong terus menerus, Pak.
Sekarang aja saya tak pernah cerita pada dia saya sering tidur sama Bapak..”

“Bapak juga tau dirilah Tin. Tak akan terus-terusan minta..”
Dia diam.
“Dan Bapak tak akan mengganggu.. benih kalian. Maksudku ..” Susah mengatakannya.

Dia masih menunggu lanjutan kalimatku.
“Gini .. Bapak tak akan bikin kamu bingung, benih siapa yang kelak dalam kandunganmu..”
Dia diam terus.

“Kenapa Bapak masih menginginkan saya terus..?”
“Seperti yang sering saya bilang, Tin..” aku yakin dia cukup cerdas mengartikan ucapanku.
Maksudku, aku masih selalu merindukan jepitannya yang istimewa itu.
“Saya akan pikirkan dulu, Pak..” akhirnya..

Hari-hari setelah percakapan serius itu membuatku merasa tak enak memintanya tidur di kamarku.
Telah empat hari ini aku tak minta.. walau pun aku sebenarnya ingin menikmati vagina yang tiada duanya itu.

Suatu malam Titin masuk ke kamarku.
Dia mengenakan pakaian tidur tipis menerawang dan amat jelas tak ada apa-apa lagi di balik pakaian tidurnya.

“Bapak marah sama saya..?” Katanya yang mengagetkanku.
“Engga Tin.. sama sekali tidak..”
“Kenapa tidak pernah lagi..?”
Aku diam.

“Bukan apa-apa Tin.. hanya aku merasa tak enak saja..”
“Saya masih milik Bapak.. selama belum ada keputusan tentang Mas Seno..”
“Kecuali kalau Bapak memang sudah tak berminat..”
“Bukan begitu Tin..”

Kupeluk tubuhnya.. kuciumi wajahnya. Titin melepas pakaian tidurnya, lalu menelanjangiku.
Clropp.. slrupp.. clrupp..!! Dilahapnya penisku yang langsung tegang.

Malam itu kembali aku merasakan nikmatnya bersetubuh dengannya.

“Sudah 4 hari.. rasanya lama banget..” kataku.
“Masa’ .. kelihatannya Bapak tenang-tenang aja..”
“Tapi ininya yang gak pernah tenang..”
“Dasar.. nafsu gede..!!”

Setelah diam beberapa saat.
“Gimana Tin, sudah ambil keputusan..?”
“Sulit Pak, pusing saya..”

“Terima saja lamarannya..”
“Itu sih mudah, yang susah.. Bapak minta jatah itu..”

Kucium puting dadanya.
“Itu tandanya Bapak sayang kamu.. tak rela kamu dimiliki lelaki lain tapi harus.
Jadi kupikir ini jalan tengah, kompromi gitu..”

“Ya udah. Saya nunggu aja sampai Bapak rela..”
“Jangan..”
“Lho, bapak ini gimana sih..?”

“Kalau nunggu kerelaan Bapak, belum tau kapan. Entar dia engga jadi ngelamar..”
“Jadi, sekarang aja Bapak relakan..” katanya.

“Belum waktunya, sayang..” kataku sambil naik ke tubuhnya. Kucium bibirnya, lehernya, dadanya, perutnya..
Dan.. kembali aku menikmati ketatnya lubang kewanitaan Titin.

Sejak malam itu.. kembali aku menyetubuhinya seperti biasanya. Seperti sebelum diskusi serius itu.
Tapi bisa kurasakan.. dia tak begitu menikmati persetubuhan yang kami lakukan.
Dia melayaniku seperti menjalankan kewajiban saja.

Akhirnya aku menyadari posisiku. Dia memang bukan milikku lagi.
Tubuhnya memang bisa kunikmati, tapi jiwanya tidak.

Mungkin pikirannyanya memang sedang ada di Seno.
Hatinya memang sudah dimiliki Seno. Aku harus tau diri. Keputusan telah kuambil.

Suatu malam aku mendatangi kamarnya. Kuciumi dia habis-habisan.
Lalu dia mencopoti pakaiannya seperti biasanya dan siap melayaniku.

“Titin.. Bapak sudah memutuskan..”
“Keputusan apa Pak..?”
“Kamu memang tak lagi bisa kumiliki..”

Matanya menatapku tajam, menunggu.
“Bapak relakan kamu menikah sama Seno..”

Titin langsung memelukku erat-erat, dan menangis.
“Terimakasih Pak, terimakasih. Saya sudah memperkirakan. Bapak memang baik..”
-------ooOoo-------

Hubunganku dengan Titin sudah normal.
Bukan lagi sebagai asisten komplet.. tapi sebagai pekerja dan pemberi kerja.
Tak ada lagi hubungan seks. Dia telah kembali riang seperti biasanya.

Libidoku yang lumayan tinggi.. kulampiaskan kepada makhluk cantik molek yang bernama Siska.
Dia makin rajin datang ke rumah.
Titin juga telah tau diri untuk tidak minta kunci Sudut ketika aku menyetubuhi Siska di ruang praktek.

Suatu saat aku bicara pada Titin.
“Tin.. kalau misalnya aku ajak Siska nginap di sini, kamu keberatan engga..?”
Titin hanya ketawa.
“Kok ketawa..?”

“Bapak ini.. seandainya dari dulu Bapak berniat begitu pun saya engga keberatan.. kenapa sekarang pakai nanya dulu..?”
Kucium pipinya, bukan bibirnya lagi. “Terimakasih..” bisikku.

Sekarang aku tak tidur sendiri lagi. Bangun pagi tubuh molek itu ada di sebelahku.. yang siap ‘dinaiki’ lagi.
Tidak tiap malam memang.. tapi cukup seringlah.

Sehingga pada suatu malam sehabis bersetubuh.. Siska bicara yang amat mengejutkanku.
“Pak.. udah sebulan saya telat..”
“Lho, bagus kan kamu hamil..!?”

“Iya, tapi ini anak Bapak..” Jderr..!! Aku kaget setengah mati.. keringat dingin keluar.
“Kenapa saya..? Bukankah suamimu juga ..”

Siska menangis. Ah.. perempuan.. menangis dan menangis.
“Ini dari Bapak..”
“Kenapa kamu begitu yakin..?”

Lama kemudian dia baru menjawab.. ”Saya sudah lama pisah ranjang.. sebelum saya berobat ke sini.
Saya datang kemari dengan maksud supaya saya bisa memperbaiki hubungan dengan suami..”

“Maafkan saya kalau dulu saya tak berterus terang tentang kondisi kami..” lanjutnya.
“Susah saya mempercayai ini Sis..”
Selama ini bersetubuh sama dia aku memang selalu keluar di dalam.

“Yah.. gimana lagi, saya bicara apa adanya..”
-------ooOoo-------

“Pak, pasien udah siap tuh..” kata asistenku yang baru.
Pagi-pagi aku bisa agak santai sebab sebagian tugas telah kudelegasikan kepada asistenku.

Tugas itu adalah melayani pasien mengisi data-data pada form.
Mewawancara dan mencatat masalah yang dikeluhkan pasien.
Menjelaskan proses terapi dan menuntun pasien ke dipan periksa.

Walau pun dengan perut buncit.. umur kandungan 6 bulan asistenku ini cekatan kerjanya.
Punya semangat kerja tinggi. Maklum.. dia asisten merangkap sebagai isteri..
–Tepatnya sih isteri merangkap asisten..– Dan asisten baruku ini bernama Siska.

Sementara Siska menjalankan tugasnya di ruang periksa..
Aku bisa bertandang ke dapur menemui pembantuku yang sedang masak.

Pembantuku ini juga sedang hamil.. 3 bulan umur kehamilannya.
–Tapi hamilnya bukan sama aku lho pembaca.. dia memang punya suami..–

Aku suka sekali membelai-belai perutnya yang mulai membuncit.
Pemilik perut ini tak keberatan kubelai. Sesekali aku juga membelai beberapa senti di bawahnya.
Paling-paling dia hanya menyingkirkan tanganku, tidak berteriak.

Kadang belaian kubarengi dengan bisikan: ”Bapak pingin..”
Jawabnya: ”Silakan aja kalau berani..”
“Kalau aku berani, boleh dong..?” Dia hanya senyum tipis.

Pembantuku ini amat baik, namanya Titin. Dengan adanya peran asisten ini, tugasku hanyalah terapi.
Tapi ada juga proses ngobrol berbasa-basi dulu..
Lalu meminta buka pakaian, dan membantu memakaikan penutup mata.

Asistenku memilih duduk di luar ruang periksa.
Mungkin merasa tak enak menyaksikan suaminya menjamahi dada dan selangkangan perempuan lain.

Kalau pun nanti terjadi ‘hal-hal yang diharapkan’ antara aku dengan pasienku, asistenku tau.
Tapi dia pilih tidak menontonnya. Bukan karena ruang Sudut sudah kubongkar ..

Tapi wanita –normal..– mana sih.. yang mau menonton suaminya menyetubuhi wanita lain..? Ya kan..? Hehehe.. F(. )i( .)N
----------------------------------------------------ooOoo-------------------------------------------------

End of Cerita 124..

Sampai Jumpa di Lain Cerita .. Adios.. :ciao:
 
sip bang update ceritanya
 
Bimabet
Waah, cerita #124 ini, menurut saya, sangat menarik, hu @Pecah Utak .

Kalo boleh jujur, saya sudah banyak membaca karya2 dari para suhu maupun subes di forum kita tercinta ini. Namun, jarang yg tulisannya bisa sedetil cerita #124 ini. Apalagi, yg temanya "Dukun". Lebih jarang lg nemunya...

Saya angkat topi deh, plus kasi 3 jempol 👍👍👍 buat koleksi suhu @Pecah Utak. Gak kebayang deh, perjalanan ngumpulinnya... Dan, udah berapa jam dihabisin buat rental warnet...
😁😁😁😁

Salut hu....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd