--------------------------------------------------------ooOoo------------------------------------------------------
Cerita 124 – Erotic Zone
[Part 5] – Epilog
Aku langsung bugil.. punyaku belum tegang benar, tapi aku tak khawatir.
Mulutnya amat terampil membuat milikku keras.
Kutekan bahunya ke bawah dan dia tau kemauanku..
Clropp..!! Penisku langsung dilahap dan kemudian diurut-urut dengan bibirnya.
Kunaikkan tubuhnya ke atas dipan.. kubentang pahanya. Slebbb.. aku menusuk.
Inilah khas milik Titin, tusukanku serasa membentur dinding. Sepertinya vagina ini menolak kumasuki.
Titin disamping liang senggamanya memang amat kecil..
Dia juga punya ketrampilan mengejan sedemikian rupa.. sehingga membuat liangnya seakan tertutup.
Inilah yang membuatku kangen. Membuatku selalu rindu ingin menyetubuhinya.
Walau pun dia tidak cantik. Walau pun banyak wanita cantik berseliweran di depanku.
Kadang aku harus bilang biarkan dulu aku masuk, baru silakan menjepit.
Begitu masuk aku langsung memompa. Pompaan tidak langsung lancar.
Tapi kalau sudah lancar.. wow nikmatnya..!! Memompa sambil dijepit.
Lalu dia mulai mengerang. Tubuhnya mulai menggeliat-geliat. Rintihannya makin tak karuan.
Pompaanku makin cepat, dia makin histeris. Mencakar, menjambak, mengguncang.
Akhirnya tangannya mencengkeram keras tubuhku.
Tubuhnya berguncang beraturan dan liang dalamnya berkedut-kedut.
Titin orgasme.. padahal aku belum apa-apa. Baru sejam lalu aku ejakulasi.
Untuk orgasme berikutnya butuh waktu yang lebih lama.
Begitu tubuh Titin mereda.. aku mulai memompa lagi. “Aahh.. Pak..!!” Jeritnya.
Aku tak peduli.. terus memompa, lebih cepat dan cepat.. dan kucabut sebelum muncrat.
Aku rebah kelelahan.
“Ngilu.. Pak..” keluhnya.
“Tapi enak ‘kan..?”
“Iya..” katanya sambil mengangguk-angguk.
-----------------ooOoo-----------------
Tari
“Anu.. Pak, selama ini saya belum pernah merasakan enaknya begituan..”
Katanya ketika kuminta dia menceritakan masalahnya.
Tari.. umur 27 tahun.. sudah 3 tahun menikah anak satu laki-laki berumur setahun.
Begitu yang kubaca dari form pasien.
“Jadi apa yang Ibu rasakan ketika berhubungan..?”
“Biasa-biasa aja, Pak..”
“Merasa sakit..?”
“Emm.. engga, tuh..”
“Lho, engga ada masalah dong..!” Perempuan itu terdiam.
Wajahnya memang tak secantik Siska, tapi lumayanlah.
Hidungnya bagus.. mancung tapi bukan seperti hidung bule.
Rambut berombak, tubuhnya tinggi.. tak bisa dikatakan langsing tapi berbentuk.. –body gitar, istilahnya..–
Dada dan pinggulnya besar, pinggang ramping, kulit langsat tua.. maksudku sawo matang cerah.
“Tapi tak seperti teman-teman saya..”
“Teman..?”
“Teman saya, perempuan, cerita enaknya main sampai.. ah.. pokoknya nikmat banget, gitu.
Saya tak pernah merasakan sampai segitu enak..”
Sangat mungkin ibu muda ini tidak ada masalah dalam hubungan seks.. hanya dia belum pernah sampai orgasme.
Memang ada wanita seperti dia, belum pernah mengalami orgasme walau pun sudah punya anak.
Kalau yang ini sih bukan bidang garapanku.
“Sepertinya sih Ibu engga ada masalah.. hanya Ibu belum pernah mengalami puncaknya hubungan seks..”
“Iya, begitu kayaknya Pak. Makanya saya ke sini supaya bisa normal..”
“Kalau yang ini di luar bidang saya, Bu..”
“Ah.. saya tau Bapak karena kawan bilang Bapak bisa menyembuhkan..”
“Siapa nama kawan Ibu itu..?”
“Bu Tati..”
“Bu Tati.. hmmm.. ya saya ingat. Tapi ..”
“Bisa kan..? Tolong ya Pak..” potongnya.
Bu Tati memang pasienku, dia memang frigid.
Susah juga menjelaskan kepada perempuan ini perbedaan yang dialami Bu Tati dengan yang sedang dialaminya.
Tapi baiklah.. tak ada ruginya menerima wanita montok ini.
Paling tidak aku bisa merabai dada dan pantatnya yang besar itu.
Kuceritakan kepadanya tentang proses terapi yang biasa kulakukan.
“Saya engga keberatan..” katanya.
“Okay kalau begitu.. kita bisa mulai. Mari Bu..” kataku mengajak ke dipan.
Bu Tari lantas bangkit menuju dipan.
Tangannya yang akan melepas kancing gaunnya batal ketika melihat Titin ada di situ.
Gerak tangannya mengisyaratkan dia keberatan.
“Tin, kamu bantu di belakang aja, Bapak bisa sendiri..”
“Baik, Pak..” Titin keluar melalui pintu belakang.
“Teteknya, Bo..” bisik Titin sebelum aku mengunci pintunya.
Bu Tari membuka seluruh kancing dan memelorotkan gaunnya sampai lepas.
Dugaanku benar.. buah dada yang ditopang bra warna coklat muda itu memang besar.
Pantatnya juga besar.. tapi pinggangnya ramping kecil.
Istimewanya lagi.. kulit badannya lebih cerah dibanding wajah dan lengannya.
Setelah dia menaruh gaun di gantungan.. tanpa sungkan dia membuka kaitan bra dan langsung melepasnya.
Seketika itu pula dua buah bulat pun bebas. Buah dada yang lebih putih dibanding warna kulitnya.
Glekk..! Tercekat aku dibuatnya.. perlahan penisku menggeliat bangun.
Putingnya coklat, sedikit besar dan menonjol.
Belum habis rasa kagetku.. tiba-tiba dia melorotkan Celdam-nya pula sampai lepas.
Wow.. bulunya amat lebat.. menutupi seluruh permukaan kelaminnya.
Bu Tari langsung bertelanjang bulat.. padahal instruksiku tadi sama seperti yang kuberikan pada Siska.
Tahap awal hanya pakaian luarnya saja yang dilepas.
Sungguh tak bijak kalau aku menyuruhnya mengenakan kembali bra dan Celdam-nya.
Kubiarkan saja. Bu Tari lalu naik ke dipan dan rebah. Buah dadanya berguncang.
Kubantu dia mengenakan penutup mata dan menyuruhnya rileks.
Proses perabaan seperti biasa.. mulai dari belaian rambut.. wajah dan bagian-bagiannya, leher dan turun ke dada.
Kudengar nafasnya sudah mulai tak teratur.
Seperti yang sudah kuduga.. perempuan montok ini tak punya masalah dengan respons seksual.
Tapi aku terus saja melakukan proses terapi seperti pada pasien-pasien yang bermasalah.
Ketika aku merabai buah dadanya, Bu Tari merintih.
Wow.. putingnya sudah mengeras.. tegang mengacung.
Kuremas-remas dadanya, kupelintir putingnya. Bu Tari mengerang. “Enak.. Pak..” Jelas saja enak.
Telapak tanganku menelusur ke bawah.. lewat perut dan langsung ke bulu-bulu yang amat lebat.
Dia tak pernah bercukur. Kupermainkan bulu-bulunya. Tanpa kuminta Bu Tari membuka sendiri pahanya.
Ya sudah.. tanganku langsung saja menuju ke selangkangannya.
Aku tak kaget, dia sudah basah. Warna coklat muda.. lumayan jernih.
Clit-nya besar pendek.. kedua labia yang mengkilat.
Begitulah gambaran kelamin Bu Tari.
Oo.. penisku tegang juga.
Jari-jariku terus mengeksplorasi seluruh permukaan kewanitaannya.
Erangan Bu Tari tak ubahnya seperti wanita yang sedang melakukan senggama.
Melenguh.. mengerang.. merintih.. diselingi dengan desis-desis “Sedaap.. oohh..!!”
Akhirnya aku jadi tak kuat juga.. pengin menyetubuhinya sekarang.
Tapi tak boleh begitu.. aku harus bertahan dan sabar.
Untuk hal kesabaran aku memang telah terlatih dengan sendirinya.
Aksi jari-jariku di kelaminnya ku-stop. Erangan Bu Tari berhenti.
Penutup matanya dibuka. “Kenapa.. Pak..?” Tanyanya terengah-engah.
“Respons Ibu sudah bagus dan cepat, engga ada masalah..”
“Tapi.. tadi.. enak.. terus saja.. Pak.. sampai ..”
Dia bangkit dan tiba-tiba memelukku.
“Teruskan ya.. Pak.. tolonglah..” Nafasnya masih tersengal-sengal.
Tangannya menyelusup ke dalam jubahku dan turun ke bawah.
“Oohh.. Bapak.. juga udah siap.. begini..!”
Aku tak pernah memakai pakaian dalam jika sedang praktek.
Tentu saja tangannya langsung menjumpai penisku yang tegang.
Dibukanya jubahku lalu dielus-elusnya batang kelaminku.
“Ooh.. bukan main..!!” Serunya.
“Bu, saya khawatir nanti tak bisa menahan diri lho..”
“Ayo.. ayo.. ngga pa-pa..!!”
“Benar engga apa-apa..?”
Bu Tari tak menjawab. Ditariknya kedua tanganku hingga aku rebah ke dipan menindihnya.
Proses ‘terapi perkeliruan’ dimulai.
Hehehehe.. dia yang mau kok..
Kuciumi hidungnya, lalu bibirnya. Bibir kami saling melumat. Lalu aku turun ke lehernya.
“Hii.. ge..li..”
Mulutku turun lagi menuju buah besarnya.
Dengan gemas kucium habis-habis kedua buah dadanya. Putingnya kusedot-sedot.
“Ayo.. Pak.. sekarang..” Aku masih mengerjai dadanya. Gemas juga menciumi sepasang daging bulat besar itu.
“Masukin.. sekarang..” Aku bangkit. Bu Tari mengangkat kedua kakinya dan pahanya melebar.
Vaginanya telah tepat terhidang di depanku. Sleckk.. sleck.. slepp.. slepp..
Aku menggosok-gosokan kepala penisku dulu di permukaan vaginanya, lalu mulai menusuk.
Slebb.. clebb..!! Secara perlahan terus merasuk sampai batang penisku ‘hilang’ ditelan liang senggamanya.
Aku memompa. Wah.. mulutnya begitu ‘heboh’.. ribut banget. Pasti kedengaran oleh Titin di belakang.
Di saat aku jedah sejenak dari memompa.. tiba-tiba kurasakan denyut-denyut di dalam sana.
Denyutan teratur yang cukup kuat ‘memeras’ ujung penisku.
“Hhhh.. sedap..” kataku.
“Tusukin.. dulu..” sahutnya.
Crebb.. crebb.. crebb.. clebb.. clebb.. clebb..!! Aku kembali memompa, menusuki rahimnya.
Di saat aku diam, gantian dia yang aktif menjepit-jepit penisku.
Begitulah.. ketika aku inginkan jepitan.. aku cukup menghentikan pompaanku saja.
Gerak jepitan teratur yang menimbulkan sensasi tersendiri.
Akhirnya kurasakan sudah tiba waktunya. Aku mempercepat pompaanku..
Tak lama kemudian tubuhku berdesir.. lalu mengejang.. Jlebb.. jleghh..!!
Crett.. crett.. crett.. crett..!! Kusemprotkan maniku kuat-kuat di luar vaginanya.
Kedua tangannya mencengkeram tubuhku amat kuat.
-------ooOoo-------
Beberapa menit berlalu aku masih menindih tubuhnya sebelum aku lalu rebah di sampingnya.
“Hoo.. sedaap..” katanya
“Tapi saya bisa merasakan, kamu belum orgasme, kan..?”
Kebiasaanku.. kalau sudah bersebadan aku tak lagi memanggil dengan ‘Bu’.
“Mungkin belum, tapi aku merasakan nikmat yang beda jauh dari biasanya..”
“Benar..?”
“Aku bisa merasakannya..”
“Syukurlah kalau begitu. Untuk menuju orgasme harus dilatih terus-terusan..” kataku.
“Berarti engga apa-apa ya kalau aku entar sering-sering ke sini..?”
“Boleh aja.. tapi hati-hati, entar suamimu curiga, lagi..”
“Soal itu bereslah..”
Sebelum Tari membuka pintu keluar.. dia tiba-tiba mengangkat ujung gaunnya lalu mencopot Celdam-nya.
Dilipatnya Celdam-nya itu baik-baik lalu diangsurkan kepadaku.
“Ini buat kamu, sebagai kenang-kenangan. Simpan baik-baik ya..” katanya, lalu keluar.
Perempuan aneh..!! Pikirku. Dan, eh dia mengurungkan langkah keluar pintu dan berbalik.
“Nanti kalau kita main lagi, keluarin aja di dalem..” katanya.
“Aku pakai pelindung kok..” katanya sebelum aku tanya. Dia lalu keluar.
Titin membuka pintu dan masuk.
“Gila.. ribut banget maennya..” katanya. Aku hanya senyum-senyum.
“Bapak juga edan..! Baru pertemuan pertama udah tancepan..”
Biasanya ‘tancepan’ memang terjadi menjelang hari terakhir terapi.
“Habis.. dia yang minta..” jawabku kekeuh.
“Mustinya tadi Bapak ngasih kunci Sudut ke saya..”
“Lain kali aja deh..”
“Bener ya..?” Katanya sambil mengganti sprei.
“Pak..” panggilnya.
“Kenapa..?”
“Kalau sekarang saya pengin, gimana..?”
“Pengin..?”
“Habis.. denger 'nyanyiannya' tadi saya jadi terangsang..”
“Aduh.. entar deh, Bapak mau istirahat sebentar.. mandi.. lalu kita main. Oke..?”
Tiba-tiba dia menghamburku. Pipiku dikecupnya.
“Terimakasih..” bisiknya. Begitu gembiranya dia seperti anak-anak yang dijanjikan diberi permen..
------------ooOoo------------
Wanita Baru
Suatu pagi..
“Pak, saya bisa ke situ sekarang..” suara lembut di ujung telepon yang telah kukenal. Siska.
“Seneng banget aku Sis..”
“Bener..? Ada pasien engga..?”
“Hari ini engga ada..”
Aku langsung mandi..
Dan keluar dari kamar mandi aku hanya mengenakan kimono menuju ke ruang praktik.
“Hari ini engga ada pasien kan, Pak..?” Tanya Titin.
“Engga..” Biasanya kalau tak ada pasien aku memang tak ke ruang praktek.
“Ada tamu istimewa ya..?”
“Tau aja kamu..!”
“Siapa Pak..? Bu Siska..?” Aku mengangguk.
“Saya pinjam kuncinya..”
Celaka.. Titin pengin nonton aku menyetubuhi Siska.
Apa boleh buat.. aku pernah sepakat mengenai hal ini.
Aku boleh main dengan pasien asalkan dia boleh nonton.
Begitu Siska masuk aku langsung memeluknya.
Dia terlihat kaget menerima seranganku ini tapi tak menolak.
“Saya kan mau melanjutkan terapi ..” katanya.
“Ini kan terapi juga..”
“Tapi bukan langsung begini..”
Walau pun begitu.. tak ada usaha penolakan dari Siska.
Kuputar tubuhnya lalu kuciumi kuduknya. Siska menggeliat-geliat.
Tanganku ke depan.. melepas kancing dadanya.. lalu menyusup ke bra-nya.
Kugenggam buah dadanya dan kuremas-remas.
Ah.. dia sudah responsif sekarang, putingnya mengeras.
Kubuka blus dan lalu bra-nya.
Aku menunduk menciumi buah dadanya dan mengisap putingnya, bergantian kanan dan kiri.
Erangannya makin seru.
Siska menarik tubuhku ke atas lalu mencium bibirku. Kami berpagutan.
Tanganku ke bawah menelusuri perutnya.. menyingkap roknya dan menyusup ke selangkangannya.
Hah..! Tanganku langsung menjamah bulu-bulu kelaminnya. Siska tak memakai Celdam..!
“Nakal.. ya..” kucubit hidungnya. Siska hanya senyum dan melepaskan kimonoku.
“Nakal juga..” katanya sambil menggenggam penisku yang telah tegang penuh.
Kulepas rok-nya. Kami sudah sama-sama bugil. Ditariknya tanganku menuju dipan.
Aku yakin Titin telah menunggu di ruang intipnya dengan nafas ngos-ngosan dan panas-dingin.
Kurebahkan dia di kasur dan kubentang kakinya lebar-lebar.
Aku sedikit bergeser.. supaya tak menghalangi pandangan Titin dari cermin searah.
Titin ingin lihat bagaimana vagina yang kubilang ‘jernih’ itu.
Tak hanya jernih.. tapi juga mengkilap. Siska telah basah.
Siska sekarang berbeda dengan Siska beberapa minggu lalu. Siska sekarang bagai wanita baru.
Kusentuh kelentitnya dan kugosok. Beberapa saat kemudian telah melembab.
Cairannya telah merembes dengan normalnya. Aku pun tak tahan.
Siska tak keberatan ketika aku langsung masuk dan memompa.
Aku yakin.. dengan gaya misionaris begini Titin bisa dengan jelas..
menyaksikan batang penisku masuk-keluar di liang senggama Siska.
Dia juga dengan jelas bisa melihat aku tak mencabut penisku ketika sampai di puncak hubungan seks.
Suatu hal yang jarang kulakukan padanya..
“Bapak kok keluarin di dalem sih..?” Komentar Titin. Aku hanya senyum tak menanggapinya.
Beberapa waktu berikutnya Siska menjadi rajin mengunjungiku. Tak hanya di pagi hari.
Kadang siang atau sore. Bahkan malam hari yang sempat membuat Titin agak jengkel.
Dia harus sabar menunggu aku selesai menyetubuhi Siska..
Ditambah sejam lagi ketika penisku siap bermain di ronde dan wanita berikutnya..
-------oOo-------
‘The End Of The Game’
Tiga bulan berlalu..
Suatu pagi.. ketika aku baru saja selesai menikmati ‘morning sex’ bersama Titin.
“Pak.. aku mau bicara..” kata Titin serius.
“Ada apa nih..? Serius banget..”
“Iya saya serius..”
Lalu diam.
“Ada apa, Yang..?”
“Sebelumnya saya minta maaf dulu sama Bapak..”
“Ceritakan dulu ada apa..” kataku.
Diam lagi.
“Jangan ragu-ragu Tin, katakan aja..”
“Saya dilamar Mas Seno..” Kalimat yang diucapkan pelan tapi cukup membuatku kaget.
“Seno..?” Iya aku ingat, Titin pernah cerita tentang perkenalannya dengan lelaki itu.
Anak muda yang punya kios di pasar tempat Titin sering belanja kebutuhan sehari-hari.
Aku coba menenangkan diri. Terbayang Titin tak lagi di pelukanku. Tak lagi bisa membantuku.
Tidak memasak lagi untukku.
Dan.. tentu saja aku tak bisa lagi menikmati jepitan-genggaman istimewa otot-otot liang senggamanya.
“Ah.. Bapak tak pernah membayangkan kamu jadi milik lelaki lain..”
“Maafkan saya, Pak..” katanya tersendat.. mulai menangis.
Jelas aku berkeberatan.. tak bisa menerimanya.
“Trus.. Bapak sama siapa..?” Aku jelas tak bisa memilikinya terus.
Suatu saat hal ini akan terjadi dan aku tak boleh egois.. tak punya hak untuk menghalangi kebahagiaannya.
“Kamu sudah menerima lamarannya..?”
“Aku minta pendapat Bapak..”
Aku diam. Mikir lama.
“Maaf, Bapak ingin tanya sesuatu yang pribadi..”
“Silakan Pak..”
“Kamu sudah .. sama dia..?”
“Sama sekali belum Pak. Mas Seno tak akan menyentuhku sebelum menikahiku..”
“Dia sudah tau kamu ..”
“Janda..? Sudah Pak..” potongnya.
“Gimana kalau Bapak saja yang menikahimu..?” Kataku setelah aku mikir masak-masak.
“Ah.. bapak ini. Kan saya sudah pernah bilang, jodoh Bapak bukan saya..”
“Dari mana kamu tau..?”
“Feeling saya mengatakan begitu, Pak..”
“Beri waktu Bapak buat berpikir dulu ya Tin..”
Sementara Titin menunggu keputusanku.. dia tetap saja bersedia melayaniku di tempat tidur.
Tiga hari kemudian.. ketika Titin menanyakan keputusanku.. aku telah mengambil keputusan.
“Kalau Seno memang pilihanmu.. bapak tak keberatan..”
“Terimakasih Pak..” Titin menciumku erat-erat.
“Tapi ada syaratnya..”
“Apa itu Pak..?”
“Setelah menikah nanti kamu tetap kerja di sini, dan ..”
Dia menunggu.
“Bapak masih bisa emm.. sama kamu..”
“Maksudnya, tidur sama Bapak..?”
“Iya..”
“Wah.. kalau tetap kerja di sini, saya dan Mas Seno tak keberatan.
Tapi kalau yang itu .. jelas saja Mas Seno akan menolak keras..”
“Kamu tak usah bilang ke dia..” aku benar-benar egois..!
“Berat bagi saya untuk berbohong terus menerus, Pak.
Sekarang aja saya tak pernah cerita pada dia saya sering tidur sama Bapak..”
“Bapak juga tau dirilah Tin. Tak akan terus-terusan minta..”
Dia diam.
“Dan Bapak tak akan mengganggu.. benih kalian. Maksudku ..” Susah mengatakannya.
Dia masih menunggu lanjutan kalimatku.
“Gini .. Bapak tak akan bikin kamu bingung, benih siapa yang kelak dalam kandunganmu..”
Dia diam terus.
“Kenapa Bapak masih menginginkan saya terus..?”
“Seperti yang sering saya bilang, Tin..” aku yakin dia cukup cerdas mengartikan ucapanku.
Maksudku, aku masih selalu merindukan jepitannya yang istimewa itu.
“Saya akan pikirkan dulu, Pak..” akhirnya..
Hari-hari setelah percakapan serius itu membuatku merasa tak enak memintanya tidur di kamarku.
Telah empat hari ini aku tak minta.. walau pun aku sebenarnya ingin menikmati vagina yang tiada duanya itu.
Suatu malam Titin masuk ke kamarku.
Dia mengenakan pakaian tidur tipis menerawang dan amat jelas tak ada apa-apa lagi di balik pakaian tidurnya.
“Bapak marah sama saya..?” Katanya yang mengagetkanku.
“Engga Tin.. sama sekali tidak..”
“Kenapa tidak pernah lagi..?”
Aku diam.
“Bukan apa-apa Tin.. hanya aku merasa tak enak saja..”
“Saya masih milik Bapak.. selama belum ada keputusan tentang Mas Seno..”
“Kecuali kalau Bapak memang sudah tak berminat..”
“Bukan begitu Tin..”
Kupeluk tubuhnya.. kuciumi wajahnya. Titin melepas pakaian tidurnya, lalu menelanjangiku.
Clropp.. slrupp.. clrupp..!! Dilahapnya penisku yang langsung tegang.
Malam itu kembali aku merasakan nikmatnya bersetubuh dengannya.
“Sudah 4 hari.. rasanya lama banget..” kataku.
“Masa’ .. kelihatannya Bapak tenang-tenang aja..”
“Tapi ininya yang gak pernah tenang..”
“Dasar.. nafsu gede..!!”
Setelah diam beberapa saat.
“Gimana Tin, sudah ambil keputusan..?”
“Sulit Pak, pusing saya..”
“Terima saja lamarannya..”
“Itu sih mudah, yang susah.. Bapak minta jatah itu..”
Kucium puting dadanya.
“Itu tandanya Bapak sayang kamu.. tak rela kamu dimiliki lelaki lain tapi harus.
Jadi kupikir ini jalan tengah, kompromi gitu..”
“Ya udah. Saya nunggu aja sampai Bapak rela..”
“Jangan..”
“Lho, bapak ini gimana sih..?”
“Kalau nunggu kerelaan Bapak, belum tau kapan. Entar dia engga jadi ngelamar..”
“Jadi, sekarang aja Bapak relakan..” katanya.
“Belum waktunya, sayang..” kataku sambil naik ke tubuhnya. Kucium bibirnya, lehernya, dadanya, perutnya..
Dan.. kembali aku menikmati ketatnya lubang kewanitaan Titin.
Sejak malam itu.. kembali aku menyetubuhinya seperti biasanya. Seperti sebelum diskusi serius itu.
Tapi bisa kurasakan.. dia tak begitu menikmati persetubuhan yang kami lakukan.
Dia melayaniku seperti menjalankan kewajiban saja.
Akhirnya aku menyadari posisiku. Dia memang bukan milikku lagi.
Tubuhnya memang bisa kunikmati, tapi jiwanya tidak.
Mungkin pikirannyanya memang sedang ada di Seno.
Hatinya memang sudah dimiliki Seno. Aku harus tau diri. Keputusan telah kuambil.
Suatu malam aku mendatangi kamarnya. Kuciumi dia habis-habisan.
Lalu dia mencopoti pakaiannya seperti biasanya dan siap melayaniku.
“Titin.. Bapak sudah memutuskan..”
“Keputusan apa Pak..?”
“Kamu memang tak lagi bisa kumiliki..”
Matanya menatapku tajam, menunggu.
“Bapak relakan kamu menikah sama Seno..”
Titin langsung memelukku erat-erat, dan menangis.
“Terimakasih Pak, terimakasih. Saya sudah memperkirakan. Bapak memang baik..”
-------ooOoo-------
Hubunganku dengan Titin sudah normal.
Bukan lagi sebagai asisten komplet.. tapi sebagai pekerja dan pemberi kerja.
Tak ada lagi hubungan seks. Dia telah kembali riang seperti biasanya.
Libidoku yang lumayan tinggi.. kulampiaskan kepada makhluk cantik molek yang bernama Siska.
Dia makin rajin datang ke rumah.
Titin juga telah tau diri untuk tidak minta kunci Sudut ketika aku menyetubuhi Siska di ruang praktek.
Suatu saat aku bicara pada Titin.
“Tin.. kalau misalnya aku ajak Siska nginap di sini, kamu keberatan engga..?”
Titin hanya ketawa.
“Kok ketawa..?”
“Bapak ini.. seandainya dari dulu Bapak berniat begitu pun saya engga keberatan.. kenapa sekarang pakai nanya dulu..?”
Kucium pipinya, bukan bibirnya lagi. “Terimakasih..” bisikku.
Sekarang aku tak tidur sendiri lagi. Bangun pagi tubuh molek itu ada di sebelahku.. yang siap ‘dinaiki’ lagi.
Tidak tiap malam memang.. tapi cukup seringlah.
Sehingga pada suatu malam sehabis bersetubuh.. Siska bicara yang amat mengejutkanku.
“Pak.. udah sebulan saya telat..”
“Lho, bagus kan kamu hamil..!?”
“Iya, tapi ini anak Bapak..” Jderr..!! Aku kaget setengah mati.. keringat dingin keluar.
“Kenapa saya..? Bukankah suamimu juga ..”
Siska menangis. Ah.. perempuan.. menangis dan menangis.
“Ini dari Bapak..”
“Kenapa kamu begitu yakin..?”
Lama kemudian dia baru menjawab.. ”Saya sudah lama pisah ranjang.. sebelum saya berobat ke sini.
Saya datang kemari dengan maksud supaya saya bisa memperbaiki hubungan dengan suami..”
“Maafkan saya kalau dulu saya tak berterus terang tentang kondisi kami..” lanjutnya.
“Susah saya mempercayai ini Sis..”
Selama ini bersetubuh sama dia aku memang selalu keluar di dalam.
“Yah.. gimana lagi, saya bicara apa adanya..”
-------ooOoo-------
“Pak, pasien udah siap tuh..” kata asistenku yang baru.
Pagi-pagi aku bisa agak santai sebab sebagian tugas telah kudelegasikan kepada asistenku.
Tugas itu adalah melayani pasien mengisi data-data pada form.
Mewawancara dan mencatat masalah yang dikeluhkan pasien.
Menjelaskan proses terapi dan menuntun pasien ke dipan periksa.
Walau pun dengan perut buncit.. umur kandungan 6 bulan asistenku ini cekatan kerjanya.
Punya semangat kerja tinggi. Maklum.. dia asisten merangkap sebagai isteri..
–Tepatnya sih isteri merangkap asisten..– Dan asisten baruku ini bernama Siska.
Sementara Siska menjalankan tugasnya di ruang periksa..
Aku bisa bertandang ke dapur menemui pembantuku yang sedang masak.
Pembantuku ini juga sedang hamil.. 3 bulan umur kehamilannya.
–Tapi hamilnya bukan sama aku lho pembaca.. dia memang punya suami..–
Aku suka sekali membelai-belai perutnya yang mulai membuncit.
Pemilik perut ini tak keberatan kubelai. Sesekali aku juga membelai beberapa senti di bawahnya.
Paling-paling dia hanya menyingkirkan tanganku, tidak berteriak.
Kadang belaian kubarengi dengan bisikan: ”Bapak pingin..”
Jawabnya: ”Silakan aja kalau berani..”
“Kalau aku berani, boleh dong..?” Dia hanya senyum tipis.
Pembantuku ini amat baik, namanya Titin. Dengan adanya peran asisten ini, tugasku hanyalah terapi.
Tapi ada juga proses ngobrol berbasa-basi dulu..
Lalu meminta buka pakaian, dan membantu memakaikan penutup mata.
Asistenku memilih duduk di luar ruang periksa.
Mungkin merasa tak enak menyaksikan suaminya menjamahi dada dan selangkangan perempuan lain.
Kalau pun nanti terjadi ‘hal-hal yang diharapkan’ antara aku dengan pasienku, asistenku tau.
Tapi dia pilih tidak menontonnya. Bukan karena ruang Sudut sudah kubongkar ..
Tapi wanita –normal..– mana sih.. yang mau menonton suaminya menyetubuhi wanita lain..? Ya kan..?
Hehehe..
F(. )i( .)N
----------------------------------------------------ooOoo-------------------------------------------------
End of Cerita 124..
Sampai Jumpa di Lain Cerita .. Adios..