Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lembar 23 - Dalam Derai Tangis


Awal tahun ketujuh.

Tempat ini adalah bangunan lama dan usang yang sebelumnya tak terawat. Posisinya strategis sebetulnya, persis di jalan besar, jalan yang menghubungkan kotaku dengan kota besar lain di pulau Jawa. Berisik, volume kendaraan cukup padat. Di lingkungan kiri kanan, banyak terdapat gudang ekspedisi, tempat transit sekian jenis komoditas penting penyuplai kebutuhan kota. Di sekeliling kantor, masih dapat ditemui pohon-pohon besar, berusia tua, menciptakan kesan seram sekaligus klasik. Di balik perkampungan sebelah, ada kantor pemerintah desa, dipisahkan sungai yang juga menjadi salah satu ikon kota ini. Tidak jauh dari sini, ada hotel waru, saksi pertempuran pertamaku dengan Ais.
Gedung lawas inilah yang akan kami tempati sebagai ruang kerja baru, aku dan belasan karyawan lain, mungkin akan bertambah seiring tambahan personil dari tenaga kontrak. Aku dipercaya memimpin satu divisi kecil, sementara ini baru terdiri dari anggota yang tak lebih dari sepuluh orang pegawai.

Beberapa bagian gedung sedang dalam tahap renovasi, aku sendiri yang mendesain. Harapannya tempat ini akan sedikit lebih fresh, tidak seperti kantor-kantor pemerintah pada umumnya. Aku cukup beruntung, bidang kerjaku yang baru tak beda jauh dibandingkan kantor lama, kali ini hanya lebih spesifik ke strategi kebijakan, tidak terlalu teknis.

Hari ini adalah hari terakhir seleksi bagi pegawai kontrak, tahap wawancara akhir. Aku akan mewancarai enam kandidat yang nantinya bakal mengisi dua slot tenaga bantu di divisiku. Sebenarnya bisa dibilang tahap ini tidak terlalu menentukan, hasil tes tertulis yang lalu kurasa cukup mewakili kualitas para calon karyawan ini. Kandidat lain, seperti security dan driver, kuserahkan ke divisi sebelah. Aku lebih tertarik dengan rekrutmen 'otak baru', sekelas officer, tentu akan kuperhatikan betul penampilan para kandidat itu nantinya. Tidak melulu tampilan fisik, tapi juga tampilan attitude. Setidaknya aku ingin punya partner anak muda yang dinamis dan komunikatif, selain juga enak dipandang.

Jam satu siang, wawancara dimulai. Seperti yang kuduga, hasil tes kemarin tidak bohong. Dua peringkat teratas memang layak untuk kami sodori kontrak jangka panjang. Harapanku untuk mendapat karyawan wanita muda berpenampilan menarik dan enerjik, nyatanya tak kesampaian. Tidak ada calon yang cantik, penampilannya standar-standar saja. Tadinya aku berharap bakal ada kejadian seperti di cerita-cerita panas, atau di adegan film dewasa.

Satu kandidat berwajah cantik, tuuh molek, percaya diri dengan penampilan seksi, menebar senyum manja, berbusana rok mini dengan belahan yang kelewat tinggi, menggoda sang pewawancara, merayuku agar diterima.

"Saya bisa ngasih semua yang bapak mau..."

"Oh tentu sayang, silakan berlutut... "

Ah, omong kosong. MIMPI!!!

Aku tak pernah menemuinya di kehidupan nyata! Tidak sekalipun!

Ais masih tertahan di kantor lama, di pusat kota. Dua bulan ke depan dia masih diwajibkan Pak Boss membantu banyak perkara administrasi, syarat-syarat ditutupnya unit kerja. Sebenarnya, sudah cukup lama kami tak bertemu. Selama ini hanya bertukar kabar lewat pesan singkat, kadang malah sekadar berinteraksi di grup whatsapp. Obrolan ringan sekadar menjaga kedekatan. Posisi kami seakan tertahan sesuatu, berjarak tapi tak berpisah. Tidak semakin mdekat, tapi tak sanggup pula menjauh. Mungkin ini yang dinamakan friendzone. Atau Special-Friend-zone. Atau Friend-with-benefit-zone.

Apapun status dan bentuk hubungan kami, yang pasti aku kadung nyaman. Kami biasa berbagi cerita, walaupun aku tahu dia punya sisi diri yang dirahasiakan, bagiku tak terlalu jadi soal. Fakta bahwa hubungan kami belum go-publik, setidaknya cukup sebagai bukti bahwa Ais bisa menjaga rahasia. So, cukup fair jika dia punya rahasia lain, sepanjang tidak beririsan dengan hubungan rahasia yang kami jalin.

Sore ini aku harus mengantar keluarga kecilku ke kota sebelah, ada keperluan keluarga. Rencananya, mereka akan kutinggal di sana beberapa hari. Besok siang aku harus kembali ke rumah tanpa mereka, ada beberapa urusan rumah yang harus kuselesaikan akhir pekan ini. Terbayang lelah dan padatnya jadwalku, bahkan hanya dengan memikirkannya saja, aku sudah capek.

...

Pos Ronda, Sabtu Malam.

Bulan kesatu selalu identik dengan hujan. Begitu pula yang terjadi seharian ini. Aktivitasku sejak pagi ditemani hujan, gerimis-sedang-deras, satu hal yang juga membuat tidurku siang tadi terasa sangat nyaman. Tidur sebagai persiapan untuk menghadapai malam minggu. Malam ini harus kulewati sendiri, tanpa anak-istri. Tidak terlalu 'sendiri' sebenarnya, ada beberapa bapak dan pemuda kampung yang menemani. Ya, sebagai warga yang baik, malam ini akan kutunaikan kewajiban jaga keamanan kampung.

Sebenarnya niatanku lebih dari itu. Tadinya aku berencana kencan dengan Ais. Sekadar makan malam mungkin bisa lah. Cukup lama juga kami tak bertatap muka. Sayang, TO sedang tak enak badan. Setidaknya, begitu alasannya tadi. Entah beneran, entah bentuk penolakan. Sebagai ganti, kutuntut ia menemaniku lewat media komunikasi, telpon dan pesan singkat. Sejak pagi tadi, selama perjalananku pulang dari kota sebelah, aku dan Ais terus berhubungan lewat suara, sesekali video call. Pelan tapi pasti, kehangatan itu tumbuh lagi. Level interaksi seperti ini, layaknya orang pacaran, satu hal yang sudah lama tidak kami jalani. Ais sejauh ini tampak nyaman. Sedikit pancingan-pancingan topik panas, dilahapnya juga. Mungkin, walaupun tipis, kulihat ada peluang untuk 'rujuk' kembali.

Waktu mendekati tengah malam, situasi pos ronda makin ramai. Layaknya kumpul malam para bapak, sebagian main kartu, ada yang sekadar duduk-duduk di teras sembari ngopi dan ngerokok, ada pula golongan gamers yang sibuk dengan gawai, lengkap dengan headset. Aku memilih bergabung dengan kaum penonton, menyimak siaran langsung pertandingan bola di layar kaca sambil sesekali berbalas pesan dengan Ais. Pesan terakhirku belum dibalasnya, sudah lebih dari satu jam padahal. Aku lupa isi pesan itu, tapi semacam SSI lah.

Sesaat kupikir Ais sudah tertidur. Dugaanku keliru, pesan Ais masuk kemudian, pesan yang penuh teka-teki.

"Mas, bisa kutelepon? Penting"

Penting?

Pradugaku sudah macam-macam.

Naluri yang akan terbukti nanti.

"Tunggu sebentar, aku cari tempat aman dulu," jawabku

Aku beranjak dari tikar berdebu itu, menjauh dari kerumunan. Kutemukan satu bangku panjang dari bambu, di seberang pos ronda, dekat mushola, sedikit terlindung oleh tembok peembatas ruang wudlu. Batas yang kurasa cukup menghalangi bapak-bapak di sana untuk mengganggu percakapan kami nanti, tapi di sisi lain cukup leluasa bagiku untuk mengawasi keadaan sekitar. Posisi strategis.

Kutelepon Ais.

Baru diangkat saat nada dering ketiga.

Kudengarkan baik-baik suara lewat earphone yang hanya kupasang sebelah, antisipasi agar suara sekitar tetap bisa kudengar.

Suara tangisan.

Ais menangis.

Tangisan yang dalam.

Ada aura kesedihan di dalamnya. Juga amarah.

Cukup lama suara tangisan itu.

Kubiarkan sedemikian adanya, aku jadi pendengar saja. Sesaat kukira bakal berhenti, nyatanya lanjut lagi.

"Cup... cup... " ucapku, sekenanya. Hal yang kuyakin tak banyak membantu.

Beberapa saat, tangisan reda, menyisakan isak.

"Aku bodoh mas. So stupid... " kata Ais, membuka percakapan kami.

Tangisan kembali pecah. Aku diam lagi, dan lagi.

"Maafin aku..." ucapnya lagi, masih sambil terisak. "Aku salah, aku sudah bersalah, aku sudah gak jujur sama kamu. Aku berkhianat..."

Pengakuan itu datang bertubi-tubi.

Setiap kali terucap, pengakuan dalam tangis itu turut membawa serta seribu pertanyaan, juga ribuan luka yang mengiringi. Pertanyaan yang nantinya satu demi satu baru akan bisa terjawab seiring waktu yang terlewat. Luka itu, yang bahkan hingga kisah ini ditulis, belum juga sembuh, adalah kesakitan paling traumatik yang pernah penulis alami.

Degup jantungku terpompa. Nafas tak beraturan.

Apa yang terjadi?

Kenapa?

Bagaimana?

Pertanyaan itu terjawab satu demi satu. Menciptakan reaksi berantai, menyambung setiap ingatan dan peristiwa, entah itu kejadian yang aku tahu, entah peristiwa lain yang sebelumnya tertutup.

Dugaan bahwa Ais menyimpan satu rahasia, malam itu terbukti.

Oh Tuhan, aku sulit menuliskan kisah ini.

...


Ingatanku tak sanggup memutar ulang kronologis percakapan kami, baik lewat telepon maupun pesan whatsapp. Aku harap isi dan garis besar percakapan berikut ini cukup menggambarkan kehancuran yang kualami.

Ais berselingkuh. Tidak denganku, tapi dariku, juga dari suaminya. Tidak bersamaku, tapi bersama orang lain.

Itu fakta penting yang kudapat malam itu.

I'm fucked up.

She's fucked up.

WE'RE FUCKED UP.


Ais bercerita panjang lebar, sesekali diselingi isak dan tangis, sesekali terputus karena upaya kerasnya yang tengah mencoba memperbaiki keadaan, menjelaskan beberapa hal ke suaminya. Ais harus menjelaskan banyak hal ke dua orang. Berat.

Satu kejadian di tempat yang jauh, telah membuka tabir perselingkuhannya itu.

Satu pesan singkatnya, yang dibumbui kata 'sayang' untuk seorang pria bersuami, tanpa sengaja dibaca oleh istri dari sang pria.

Selanjutnya adalah katastrofe.

Sang istri muntab. Dia paham betul situasi yang mengancam rumah tangganya. Dikirimnya puluhan pesan broadcast di berbagai saluran komunikasi yang menyebut dengan jelas nama Ais, lengkap dengan gelar yang teramat merendahkan. Isi pesannya masih kuhafal, tapi lebih baik tidak kusebutkan.

Ais yang turut membaca pesan itu terpaksa meninggalkan grup-grup yang telah mencemari kehormatannya.

Lanjut, sang istri segera melabrak nama yang disebutnya sebagai perusak rumah tangga itu. Sumpah serapah terlontar tanpa pagar. Ais dan sang pria bangsat, tertangkap basah. Pengakuan demi pengakuan terucap.

Ais yang tengah hancur, membagi bola panas itu. Sang suami yang tengah di seberang pulau, dihubunginya. Ais ceritakan selengkap mungkin kisah perselingkuhan itu.

Semua dimulai dua tahun lalu, saat aku menepikan Ais demi mengejar mimpiku untuk sekolah lagi. Ais yang merasa dicampakkan, tersisih dan tersingkir, tentu saja dalam posisi rapuh. Saat itulah sang pria datang, seorang pegawai di kantor pusat. Orang baik yang membantu unit kerja kami di segala macam hal, teknis hingga keuangan. Ular yang saat itu tengah menyembunyikan taring.

Di sela-sela percakapan dalam tangis itu, aku tak kuasa menahan penasaran. Kutanyakan padanya, siapa orang itu.

Ais menyebutkan nama, juga menceritakan ciri-ciri sang ular.

Tadinya aku tidak merasa mengenal orang dengan ciri itu.

Barulah saat foto sang ular dikirim, aku kaget. Well, setengah kaget, karena sejujurnya aku mengenalnya cukup baik, dan justru karena mengenal dia dan juga Ais, maka kekagetanku tidak mengarah ke sang ular. Aku tahu ular itu memang sebenar-benar ular. Kagetnya lebih karena jengkel, kok bisa Ais takluk pada orang seperti itu, orang dengan perawakan tinggi, berkulit gelap.

Dia, Mas Cuan. Dialah sang ular kadut.

Nama yang pernah disebut Ais dua tahun lalu, saat aku tengah menempuh studi. Ingatanku membuka kotak memori, pernah sekali Ais mengaku sedang didekati pria itu. Hal yang kupikir sekadar upaya pria hidung belang dengan kemungkinan berhasil yang teramat kecil. Nyatanya, pria itu berhasil.

Nama dan wajah itu juga adalah kawan diklatku, satu kelompok, beberapa bulan yang lalu. Pria yang menemaniku ngobrol di teras hotel, dekat kolam renang, di malam terakhir diklat. Pria yang kupikir bakal jadi koneksi penting di kantor pusat. Pria yang ternyata berhasil meluluhkan hati Ais, saat aku tak di sisi perempuan malang itu.

Badanku gemetar. Marah dan kecewa, juga sedih dan sakit.

Ternyata begini rasanya dikhianati.

Mungkin karma karena aku juga khianat.

Kisah kasih antara Ais dan Cuan ternyata cukup panjang. Melibatkan banyak transaksi dan hutang budi. Satu yang tidak mengagetkan, juga melibatkan sejumlah uang. Uang yang digunakan Ais untuk mencukupi kebutuhannya, juga untuk liburan kemarin. Satu diantara sedikit hal yang tak bisa kubagi untuk Ais. Bantuan kecil yang ternyata jadi bumbu penguat perselingkuhan itu.

Pengakuan Ais tak berhenti hingga pagi, hingga aku kembali ke rumah dari tugas jaga.

Sudah hampir subuh, kantuk-ku tak berjejak, hilang entah ke mana.

Suara Ais tampak serak, dia kelelahan. Stres, Syok, tekanan mental yang luar biasa berat pastinya.

Kasihan. Entah apakah aku memang harus berempati untuknya?

Ais menjamin bahwa hubungan kami masih aman. Cuan dan suami Ais tak mengendus sedikitpun tentang aku. Satu hal yang melegakan.

Menjelang akhir percakapan, satu hal masih belum jelas. Satu pertanyaan dengan jawaban penting yang kupikir cukup krusial.

"Sudah sampai sejauh apa hubungan kalian? Sudah sampai ML?" tanyaku, jantungku makin deg-degan. Ragu dengan kelayakan pertanyaan itu. Berharap ada jawaban positif. Logikaku mengatakan untuk menyimpan pertanyaan itu rapat-rapat. Tapi lubuk hati terdalam mengatakan "harus ditanyakan".

Ais memberikan jawaban yang memutar-mutar beberapa saat.

"Tidak sejauh hubungan kita," tegasnya.

Aku tak puas.

"So? Nggak sampai ML?" tanyaku, interogatif.

"Pertanyaanmu sama seperti pertanyaan suamiku tadi. Suami kuberi jawaban jujur. Karena mas juga nanya, berarti kuberi jawaban yang sama."

Hmmm... lagi-lagi denyut jantung berakselerasi. Darah berdesir hebat.

"Iya mas, sampai ML."

BOOOOOMMMMMMM!!!!

Lengkap sudah.

...bersambung...
Sebenernya ente ga harus cemburu bro. Ya... Tapi... Sudahlah. Ane jg dulu hampir seperti ente.
 
Kisah nyata. Tentang Aku dan Dia. Nama tokoh dan tempat disamarkan

Bumbu Kehidupan
by PGL


Aku, Ian, 32 tahun, karyawan di institusi pemerintah daerah. Karier mapan dan pendapatan lebih dari cukup. Keluarga harmonis nyaris tanpa konflik. Menikah sejak sembilan tahun yang lalu, saat ini telah dianugerahi dua anak. Mungkin justru karena kehidupan yang terlalu baik-baik saja, jadinya malah hambar, kurang dinamis, kurang bumbu. Dua tahun pasca menikah, jalur karierku masuk dalam zona nyaman. Aku pegang kendali dalam kebijakan kantor, aspek keuangan hingga soal rekrutmen karyawan. Terlebih, pimpinan percaya dengan pilihan dan ritme organisasi yang kubuat. Singkat kata, kuasa penuh organisasi ada di tanganku.

Delapan tahun silam, atas upayaku, kantor kami mendapat bantuan operasional dari Pemerintah Pusat. Perlengkapan , anggaran, dan karyawan tambahan. Khusus untuk karyawan, kami mendapatkan seorang tenaga bantu, wanita muda, enerjik, berhijab, Ais namanya. Empat tahun lebih tua dariku. Pertama, tidak ada hal spesial yang kurasa. Anak ini cukup religius, etos kerja baik, mau kerja keras, berdedikasi, bahkan sering overtime. Tak lama aku tahu bahwa dia telah menikah, namun sekarang tengah tinggal sendiri. Tentu sebagai karyawan baru, banyak hal yang belum ia paham. Jadilah aku yang disasarnya sebagai tempat konsultasi. Aku pula yang ia mintai tolong atas berbagai masalah yang tengah ia hadapi. Semua tampak normal. tampak profesional.

Bersambung gan...

Indeks Cerita:



Seru sih, tapi kalo sepenggal gitu gak mood juga bacanya, cuma saran aja
 
Lembar 12 - Restart


Akhir tahun keenam.

Hari ini aku bertugas di ibukota, menjadi wakil dari daerahku untuk memimpin satu kontingen lomba tingkat nasional. Konsentrasiku tidak di lomba itu. Aku niatkan untuk sekadar jalan-jalan, juga berkenalan dengan calon mitra-mitra baru. Berkesempatan sejenak luput dari pengawasan istri, waktu-waktu di jakarta kumanfaatkan betul untuk membangun intensitas komunikasi dengan Ais, berharap ada hal yang bisa kami perbaiki.

Beberapa kali kupancing Ais untuk membicarakan topik ranjang, hal yang sering kami lakukan dulu. Tanggapan Ais terkesan seadanya, dingin. Aku anggap sebagai sinyal-sinyal bahaya. Inikah waktunya? Apakah hubungan kami sudah berakhir?

Lewat satu pesan singkat, kuberanikan diri menanyakan kebenaran dugaan itu.

"Mbak, masih maukah check in denganku?"

Pesan itu cukup lama dianggurkan, tak ada balasan. Kukirim siang, saat jam istirahat. Baru dibalas sore, saat perjalananku kembali ke Hotel. Itupun hanya dibalas singkat, menggantung.

"Nanti malam lewat telpon aja ya," jawabnya.

Aduh mak, makin penasaran.

Lepas makan malam, aku sempatkan diriku mencari spot ternyaman untuk bertelepon. Satu sudut lobby hotel kujadikan pilihan. Tempatnya cozy, menampilkan pemandangan kota yang hanya dibatasi dinding kaca tembus pandang berukuran penuh. Lalu lintas orang-orang, sebagian adalah kontingen lomba dari seluruh Indonesia, tampak jelas di sana.

Obrolan kami buka dengan bertukar kabar. Masih ada kurasakan aura kehangatan di obrolan kami. Hangat, tapi dalam porsi yang berbeda. Hangat tanpa percikan bara. Seakan obrolan sahabat lama. Pelan-pelan arah obrolan berpindah ke topik yang ingin kutuju sejak sekian waktu terakhir.

Aku deg2an menanti jawaban Ais. Bagai tersangka yang menanti vonis hakim.

"Aku tuh udah terlalu nyaman dengan situasi yang sekarang," kata Ais. "Mas pernah bilang bahwa hubungan kita lebih dari aktivitas seks. Tidak hanya kontak fisik. Kalimatmu itu benar-benar menyadarkanku loh mas. Bahwa perasaan sayang mas ke aku ternyata sudah sedalam itu, lebih dari yang kuduga. Dulu aku beranggapan kita ini hanya terjebak di situasi akibat kesepian. Mendapat momen yang pas, lalu terjadilah. Makin ke sini, ternyata tidak sesederhana itu. Di tahap ini, hubungan kita kok malah terasa lebih baik. Tanpa bertemu fisik, tanpa seks, justru makin nyaman. Iya gak sih?"

Tidak.

Aku ingin menanggapi kalimat Ais dengan "Tidak".

Tapi mulutku tak sanggup berkata-kata.

"Kalau memang tanpa seks kita sudah di tahap yang senyaman ini, kenapa harus dirusak dengan seks?" lanjut Ais.

Kalimat terakhir menamparku keras-keras. Mis konsepsi itu...

Aku dulu membimbing Ais untuk belajar saling menyanyangi, dalam cara-cara yang tak normal. Tidak harus dalam pernikahan, tidak harus dengan bertemu, tidak harus dengan kontak fisik. Ternyata ia menyelami filosofi itu terlalu dalam. Hubungan perselingkuhan tanpa seks.

Ah, ini di luar perkiraan.

"Tapi tetap mau cek in kan?" tanyaku lagi, menegaskan pertanyaan di awal tadi. Kali ini perjudian, kubumbui dengan sedikit humor, agar suasana obrolan jarak jauh kami tak terlalu kaku.

"Hmmm... ya kalau itu yang mas mau. Why not?" Jawab Ais.

Setidaknya masih ada kesempatan, pikirku.

Topik percakapan selanjutnya tak kuingat tepat. Tak terlalu penting juga.

...

Beberapa minggu kemudian.

Hari ini, salah satu hari besar nasional. Kami sebagai abdi negara diwajibkan mengikuti rangkaian seremoni peringatan hari besar itu. Pagi-pagi sekali, aku telah sampai di lokasi seremoni. Upacara besar, diikuti pula oleh karyawan di instansi pemerintah lainnya, juga dihadiri beberapa tenaga kontrak dan non-ASN. Ais termasuk salah satunya.

Sejak semalam, perasaanku tak enak. Galau, kata anak-anak muda. Telah cukup lama, kebutuhan biologisku tidak terpenuhi. Istriku, yah begitulah, tak bisa diharapkan. Ais satu-satunya opsi yang kupunya. Sayang, hubungan kami tak terlalu baik, kurang intens, kurang greget, kurang hangat. Aku merasa, ada jarak semacam tembok pemisah, mungkin juga sejenis jurang terjal. Aku tak berani melangkah lebih jauh, segan untuk meminta 'jatah'. Seperti biasa, kubiarkan saja nasib membawa hubungan kami, sekaligus berharap kesempatan datang.

Benar saja, kesempatan itu datang tanpa prediksi.

Selepas upacara, kami berdua berkesempatan ngobrol. Tadinya tidak hanya berdua, beberapa rekan kerja memilih warung kopi, semacam kedai kecil tidak jauh dari lokasi seremoni, untuk sekadar kongkow. Seiring matahari yang meninggi, satu demi satu mereka pamit. Tersisa aku dan Ais.

Kumanfaatkan momen itu untuk melanjutkan obrolan tempo hari, soal tawaran cek in.

"Mbak, main yuk, udah lama banget loh" kataku. Penuh kode.

"Ke hotel?" tanya Ais.

"Iyaaa...."

"Ya mas yang nyari dulu sana"

Wah, ini kesempatan emas. Aku menimbang sejenak. Berkalkulasi tentang banyak hal dalam tempo cepat. Waktu yang terpenting. Waktuku cukup, setidaknya kosong sampai malam. Cukup lah untuk sekadar melepas rinduku pada tubuh Ais.

"Tapi aku gak mau kalau ke tempat yang lama, Hotel Waru. Kejauhan juga. Hotel yang agak bagusan aja sih" lanjut Ais.

Ais mengajukan syarat yang tak terduga. Aku tak siap dengan rencana itu. Tak buang waktu, segera kubuka aplikasi pencari penginapan. Muncul beberapa opsi, penginapan dengan tiga bintang.

Kubahas opsi-opsi itu dengan Ais. Berbagai alasan mengeliminasi pilihan-pilihan yang tersedia. Tersisa satu opsi dengan budget menengah, hotel berbintang di tengah kota. Sempat kami timbang dengan cukup teliti. Ada plus-minus. Hotelnya strategis, di kawasan yang mudah dijangkau, tapi tidak di tepi jalan besar. Area parkir di basement. Rating dan review pelanggan juga baik. Kelemahannya hanya satu, lokasi itu dekat dengan kantor induk. Faktor terakhir sempat kami perdebatkan dengan cukup alot. Tentu lokasi itu berisiko, selalu ada peluang bertemu kenalan. Aku bahkan yakin, hotel ini sering dipakai beberapa rekan sejawat untuk 'bermain'.

Pada akhirnya, aku meyakinkan diri. Memang tidak ada hal di dunia yang tanpa risiko. Ambil saja. Bismillah.

.....bersambung....


cukup mewakili perasaan saya suhu.
terimakasih.
juga atas cara bercerita yang sesuai dengan kaidah petunjuk serta pelaksanaan untuk bisa dikatakan,
istimewa.
maturnuwun @pendekarguolowo
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd