pendekarguolowo
Adik Semprot
BAGIAN TIGA - TIGA RATU
Akhir tahun ketujuh.
Tahun ini terasa berat. Unit kerja baruku ternyata memang butuh momentum dan bentuk baru. Bagi para pembaca yang banyak terlibat di urusan pemerintahan khususnya di daerah, pastinya paham betul betapa bobroknya pola dan budaya kerja di sini. Bagi yang mendalami di bagian budgeting, masalahnya lebih runyam lagi, belibet dengan rantai birokrasi yang naudzubillah panjangnya. Ruwet karena beririsan dengan begitu banyak urusan dan kepentingan kanan-kiri, atas-bawah. Terlebih yang kukelola ini adalah unit baru, divisi yang belum ada jejak dan contoh di masa lalu. Ini divisi rintisan, dengan masa depan yang sebenranya juga tak pasti.
Terbatasnya anggaran di tahun ini, memaksaku berkreasi, mencoba cara-cara baru. Salah satunya dengan menggandeng mitra baru. Beruntung, beberapa kolegaku cukup aktif di gerakan sosial, organisasi profesi, dan sebagian lain berasal dari kalangan akademisi. Khusus poin terakhir, kudapatkan beberapa mitra penting dari satu kampus swasta di kota pelajar. Sebagian pengajar di sana kebetulan adalah teman kuliahku dulu, bahkan seorang di antaranya adalah kakak angkatan saat studi lanjut, sebut saja Bung Yona. Jadilah kampus itu kusasar sebagai pilihan utama. Nota kerjasama segera kami susun. Dalam masa yang tak terlalu lama, kami telah berstatus mitra kerja. Untuk kelancaran urusan, beberapa kali pejabat pemerintah dan pengurus kampus bertemu, tentu saja aku yang mengatur. Sedangkan dari pihak kampus, beruntung kutemukan (lebih tepatnya atas rekomendasi Yona) seorang pengurus fakultas yang bisa kuandalkan, dosen muda jelang 30, cerdas dan visioner, lulusan program doktoral dari luar negeri, cantik, berambut pendek, panggil saja Yuni. Kuberi nama Yuni karena perawakannya memang tak beda jauh dengan Yuni Shara, versi muda ya, yang masih mirip-mirip KD.
Kisah dengan Yuni?
Ada.
Sementara kusimpan dulu. Masih belum kuputuskan apakah akan kutulis di sini atau di tempat lain. Mungkin pembaca bisa memberi masukan?
Tidak hanya dengan satu kampus itu, beberapa kerjasama lain sempat pula aku jajaki. Kesibukanku berkeliling jawa, menjadi rutinitas baru yang harus aku dan Ais terima. Waktuku bersama Ais terhimpit di kondisi yang makin sulit. Kami praktis hanya bisa bertemu sebulan sekali, saat reuni bulanan dengan teman-teman ex-kantor lama. Tawaran Ais untuk liburan kemarin, akhirnya tak pernah bisa kami wujudkan. Setidaknya untuk tahun ini.
Suami Ais tampak lebih protektif beberapa waktu belakangan. Jam edar perempuan berkerudung itu diatur betul-betul. Jam lima sudah harus sampai rumah. Telat sedikit saja, siap-siap ditelepon dengan penuh nada curiga. Hal yang makin menyulitkan kami untuk mencari waktu. Satu yang agak mengkhawatirkan, sang suami tak segan mencari info tentang teman sekantor Ais. Mungkin takut kecolongan seperti kejadian yang lalu. Di satu waktu, Ais pernah bercerita, suaminya tau semua nama teman laki-laki sekantor Ais. Dan semua pria itu dicurigainya sebagai 'buaya' yang siap menerkam Ais. Berlebihan.
Waktu Ais nyaris tak tersisa lantaran ibunya diagnosa mengidap penyakit berbahaya. Satu penyakit yang butuh perawatan intensif. Satu perkara yang secara sadar atau tidak, berpengaruh ke psikis Ais. Di pesan singkatnya, sering kali wanita itu berbagi soal rasa sayangnya untuk ibunda, juga letihnya saat harus merawat beliau yang makin renta. Bahkan, tidak jarag Ais harus izin kantor untuk mengantar ibunda kontrol atau periksa lanjutan. Alasan tak terbantahkan yang mempersempit kesempatan kami bertemu.
Waktu pertemuan terbatas.
Kesibukan tak berjeda.
Suami posesif.
Lengkap sudah derita Ais. Derita Kami.
.
..
...
Bulan Desember tahun ketujuh.
"Dia ngajak nikah mas." kata Ais
Aku tersedak. Memuntahkan sebagian latte dingin yang barusan kusesap.
...
..
.
Beberapa Jam sebelumnya.
Di akhir tahun ini, aku mendapat tugas, mengikuti sebuah workshop lima hari tentang pengelolaan keuangan, di salah satu hotel terkenal di kotaku. Seperti biasa, jadwal workshop bisa dinego. Panitia kegiatan berhasil kami yakinkan untuk memadatkan jadwal. Di hari ke empat, semua agenda sudah terlaksana. Sebagian besar peserta workshop berasal dari luar kota, memilih untuk berkeliling mencari oleh-oleh. Jalan-jalan sekaligus liburan. Aku memilih stay di hotel, menunggu kabar dari Ais.
Pagi tadi kukirimkan pesan itu, pesan ajakan untuk berbuat 'sesuatu' siang ini. Jadwalku kosong seharian, kamarpun tersedia. Situasi yang nyaris sempurna. Tinggal menunggu kesediaan Ais.
Satu pesan darinya akhirnya masuk, jelang tengah hari.
"Aku bisa mas. Aku langsung ke situ ya? Ruang berapa?"
Ah. Sip.
Segera kukirimkan nomor kamar yang akan jadi saksi pertarungan kami.
Sejam kemudian aku dan Ais sudah di kamar itu. Kami berpelukan.
Lama.
Sekian waktu kami berjauhan. Nyaris tiga bulan kami tak bersentuhan. Aku merindukan hangat dan wangi tubuhnya yang sedemikian familiar dan memabukkan.
"Aku kangen," ucapnya. Masih dalam posisi berpeluk.
"Aku nggak," godaku.
Dilepaskannya pelukan itu.
Bibirnya manyun. Tampang bete.
Segera kusosor bibir itu. Kulumat permukaannya yang hangat dan lembut, juga basah, tanpa ampun. Ais membalas, tak kalah liar. Kami nikmati momen itu dalam-dalam. Berusaha mencari kenikmatan yang lama tak kami jangkau.
Cukup lama, hingga akhirnya kurasa cukup. Ada yang menginginkan Ais, lebih dariku.
Segera kuturunkan celana boxer warna merah yang kupakai.
Batang penisku terpampang. Tegang menantang.
"Dia yang kangen," kataku.
Ais tersipu. Wajahnya manis sekali.
"Kok udah tegang sih? Belum diapa-apain juga"
"Udah sedari pagi itu. Mbak lama sih"
"Aiihh, susah nyari alasan buat kabur jam kerja gini". Tangan Ais mulai mengelus penisku. Elusan gemas, makin lama makin kasar.
"Suka mbak?"
"Banget".
"Kok cuma dielus?"
Ais tersenyum genit, sepertinya paham apa yang kuinginkan. Segera dia berlutut, bersimpuh, masih dengan pakaian kerja lengkap.
Batang itu digenggamnya, dielus perlahan. Lembut, matanya tampak mengamati benda kaku itu. Entah apa yang sedang dipikirkan Ais. Mungkin mencari titik pendaratan, awal mula serangan pertama.
Ais memilih area bawah, dekat bola naga. Dijilatinya kulit kisut di area itu, telaten, dengan tempo sedang.
Aku bergidik. Nuansa geli segera menjalar ke sekujur badan.
"Hmmmm.... Sssshhh..."
Sesekali kubelai rambut Ais, masih dari luar hijabnya. Satu sikap memuji, mengapresiasi, sekaligus pendorong yang membuat Ais makin bersemangat. Aksi pujian yang sekali lagi membuktikan bahwa perempuan lebih pandai menangkap sinyal-sinyal tersembunyi.
Benar saja, segera dikeluarkan ajian sakti dari wanita bersuami itu: menyapu seluruh batang, dari bawah hingga ujung kepala penis. Pelan, sensual, penuh hayat. Kontolku berkedut, membuatnya kaku seketika, ngaceng maksimal. Satu lumatan Ais, membenamkan penisku dalam mulut hangat dan basah. Tandas. Ludes kontolku dicaplok perempuan laknat itu.
"OOhhhhhh... Sayang..... aaahhh... shit...."
Aku mengerang hebat.
Menjamah kenikmatan yang selalu berhasil membuatku menggila. Tidak hanya aku, kupikir Ais sudah menggila sejak tadi.
Lidah Ais bergerak-gerak saat mengulum, seakan-akan memijat dan meremas batang kakuku.
Ah, asu tenan.
Tanganku reflek menahan kepala Ais, mencengkeram bagian belakang kepalanya agar setia menyervis penis. Gerakan halus mulut Ais, maju-mundur, mengocok pusaka itu perlahan, makin membuat birahiku tak terbendung.
"Aduh, gak kuat aku mbak...keluar duluan gapapa ya..."
"Hmmm...hemmmm" jawab Ais.
Aku kira Ais bakal menolak.
Kupikir ia bakal menghentikan aksi persepongan itu.
Aku, nomor sebelas Liverpool. Aku salah.
Ais justru makin kalap.
Dikocoknya kontol tegang itu. Mulutnya makin heboh memompa. Maju-mundur, kadang sedikit dipelintir, ada sensasi diputar. Ah gak ngerti lagi sudah.
"Cplokkk.... cplokkkk...clokkkks....cplokssss..."
Kedua tanganku tak terkontrol. Gearakannya random. Kadang menjewer kuping Ais. Kadang membelai hijab. Kadang meremas, memijat kepala sampai leher. Kadang pasrah saja, bertumpu di pundak dan sekitaran bahu.
Sesekali kupandangi aksi Ais di bawah sana. Perempuan dengan pakaian muslimah lengkap, wajahnya cantik, kacamata yang masih dikenakannya tidakmengurangi sedikitpun aura elegan dan anggun yang dimiliki Ais. Wajah itu memerah karena birahi, juga karena antusias, semangat bergelora. Ais tengah mengoralku, didera nafsu.
Sensasi saat mulut nakalnya menghisap penisku kuat-kuat. Enak. Nikmat. Membahagiakan.
Aduh, mati aja sudah.
Sensasi itu memuncak. Maksimal. Di ujung.
"Aku mau keluar... " ucapku, spontan.
Ais mempercepat pompaan mulutnya. Tepat sesaat sebelum puncak, Aku mengerang.
"Oooohhhhhh....."
Ais segera melepaskan sergapan, berganti peran, kali ini tangannya yang menahan penisku di ujung perjuangan. Wajah manisnya mendongak, matanya terpejam, seolah penuh harap. Sang pusaka diarahkannya ke wajah itu, tepat beberapa centi di atas hidung, mengarah di antara kedua mata. Mulut Ais juga menutup, ada seberkas senyum tipis yang kutemui, sekilas.
Aku sampai.
Crrrotttt......cruuuttt.....crrrrrotttttt....."
Sperma menyembur, cipratan terbesar mendarat di jidat, sedikit mengenai alis, aku hapal betul bagian ini.
Sebagian lain muncrat di berbagai sudut, akibat wajah Ais yang terus bergerak, menyambut semprotanku. Sebagian acak mengenai kelopak mata, hidung, pipi, juga menyasar ke ujung hijab biru Ais.
Aku terkulai, ambruk di bed, tepat di belakangku.
Lemah.
Tidak sampai sepuluh menit, aku kalah.
Tapi nikmatnya luar biasa.
Boleh jadi ada perasaan yang terlibat di sana, tetap harus kuakui ada perasaan yang tertinggal, mungkin karena rinduku telah terbalas.
...
Pasca pertempuran, berita buruk datang.
Ais tengah mens.
Oh, shit.
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hari ini?
"Baru mulai pagi ini," kata Ais.
Sedikit kecewa. Satu hal yang nanti akan kuceritakan di bagian-bagian lain. Ada yang unik soal itu. Tunggu saja.
Tak apa, aku menghibur diri. Setidaknya hari ini kami bisa menghabiskan waktu berdua. Toh badanku lemas sekali selepas permuncratan tadi. Mungkin karena faktor U, staminaku tak bisa lagi diandalkan. Soalan ini, nanti juga akan kuceritakan di bagian lain.
Menjelang sore, setelah pillow talk dan cuddling manja sesiang tadi, kami memutuskan mencari makanan kecil di resto atas, bagian rooftop.
Hotel ini tergolong mewah. Jika bukan karena acara negara, kurasa tak mungkin aku menyempatkan diri ke sini. Berbagai ornamen kemewahan bercita rasa seni tinggi menghiasi sudut-sudutnya. Bagian rooftop memberi nuansa lain, lebih adem sekaligus intens. Dilengkapi taman-taman indah, dan area bermain anak di satu sisi, dan kolam renang di sisi yang lain. Di bagian ujung ada semacam cafe yang cukup luas, dilengkapi meja bar dan panggung kecil di mana terdapat beberapa instrumen alat musik akustik. Cocok untuk acara makan malam bersama keluarga, pasangan atau rekan sejawat. Kuduga, pasti ramai saat malam.
Karena masih kuatir ada yang memergoki, kami memilih datang ke tempat itu sekitar jam empat, waktu di mana bagian tempat itu relatif sepi. Sebelum Maghrib, aku berharap kami sudah kembali ke kamar.
Benar saja, begitu sampai di lokasi, kulihat hanya area kolam renang dan taman bermain yang cukup ramai. Mayoritas diisi keluarga dan anak-anaknya. Sementara area cafe, masih sepi pengunjung. Sebagian meja bahkan belum disiapkan. Sempurna.
.
..
...
"Dia ngajak nikah mas." kata Ais
Aku tersedak. Memuntahkan sebagian latte dingin yang barusan kusesap.
Kaget luar biasa.
Cerita Ais yang ini, sungguh mengagetkan. Aneh, berlebihan, di luar dugaan.
Ais sebelumnya bercerita banyak hal tentang kerjaan, lalu merembet ke teman kerjanya yang sebagian besar adalah anak-anak muda di awal 20-an, brondong. Semua tampak biasa, hingga beberapa bulan terakhir ini ada satu anak muda yang, bagaimana istilahnya ya, mungkin istilah yang mendekati adalah 'terbosesi', atau 'tergila-gila' dengan Ais. Berkali-kali menyatakan cinta. Berkali memberi hadiah, yang kubilang sih cukup mewah, perhiasan emas dan jam tangan mewah. Bahkan saat ini, pemuda itu tengah membangun rumah, tidak jauh dari tempat tinggal Ais, disiapkan untuk dia dan Ais.
Bobby, sebut saja nama pemuda itu Bobby. Pegawai kontrak yang sebenarnya punya sambilan mroyek di beberapa tempat lain bahkan sebelum bekerja bersama Ais.
Yang lebih gila, minggu lalu sang pemuda mengajak Ais menikah. Memintanya untuk meninggalkan sang suami, bercerai untuk kemudian menikah dengannya. Gila.
Ais sempat menunjukkan beberapa skrinsyut percakapan.
Nggilani.
Dihiasi kata-kata lebay yang alamaaaaak, cupu kali.
"Aku nggak bisa hidup tanpamu"
"Kamu selalu hadir di mimpi-mimpiku"
"Ada kamu di setiap doaku"
"Aku rela melakukan apapun demi kamu"
"Beri Aku kesempatan untuk membahagiakanmu"
Cuiiihhh.
Lebih mirip tulisan di bak truk.
Ada satu bagian yang paling aneh. Satu kali, pernah Ais menolaknya, dengan bahasa yang kasar. Bobby mengancam akan pergi dari hidup Ais. Yang terjadi kemudian, Bobby bolos kantor seminggu tanpa kabar, untuk kemudian masuk lagi, seakan-akan menjauh dari Ais, tak mengganggu Ais lagi. Tapi hanya sebentar, lalu kambuh lagi, lengkap dengan rayuan dan SSI-nya.
Coeg.
Norak dan kekanak-kanakan.
Aku tidak terlalu heran dengan kehadiran orang semacam Bobby, mungkin juga bajingan-bajingan lain yang tak kuketahui siapa. Kumaklumi sekaligus kuapresiasi upaya setiap orang yang mendekati Ais. Sah-sah saja. Ais memang punya pesona perempuan dewasa yang menggoda, bahkan sekalipun ditutup dengan penampilan anggun dan serba tertutup. Wajar jika banyak pria tertarik. Wajar mereka berusaha mendapatkannya.
Setiap hubungan percintaan, atau dalam hal ini perselingkuhan, selalu melibatkan setidaknya dua pihak. Dalam kasus Ais, tentunya Ais dengan makhluk lain, serigala berbulu domba. Biarkan saja serigala dengan manuver dan aksinya masing-masing. Yang penting Ais tidak menanggapi. Nyatanya, tidak sesederhana itu. Tidak sesederhana transaksi jual beli. Serigala berusaha keras menjual, Ais tidak melengos pergi, dia melihat situasi, seakan menimbang-nimbang opsi, terkesan akan membeli.
Aku jadi ingat belasan tahun lalu, saat istriku masih di bangku sekolah. Ada seorang teman (aku lupa senior atau seangkatan) yang serius ingin meminangnya. Istriku tidak menolak dengan tegas waktu itu. Alih alih memberi keputusan dengan pilihan ya atau tidak, dia justru memberikan jawaban multitafsir. Jawaban menggantung yang bagi kami kaum pria, bisa diartikan begini: dia menolak untuk saat ini, tapi masih ada kesempatan di waktu mendatang. Jadilah sang pria itu berusaha keras, tamat sekolah, lanjut pendidikan tinggi, dan ketika kariernya cukup mapan meminang istriku kembali. Timingnya salah, karena waktu itu kami sudah merencanakan pernikahan.
Aku tak bisa membandingkan secara setara kedua situasi di atas. Tentu banyak perbedaan, kondisi wanita yang belum menikah dan sudah menikah. Tapi tetap saja, bagiku langkah penolakan Ais untuk Bobby terasa kurang tegas. Mungkin memang begitulah perempuan, selalu memberi harapan, selalu menawarkan kesempatan. Mereka merasa berhak memilih. Saat satu pria tak bisa mencukupi kebutuhan, mudah saja beralih pada pilihan lain, para pemain cadangan yang sedari awal menunggu kesempatan.
Tunggu dulu, mungkin tidak hanya perempuan. Mungkin begitulah fitrah setiap manusia. Selalu bersiap dengan rencana cadangan.
Bagiku, Ais adalah pemain cadangan. Pemain yang bisa memberikan opsi lain yang tidak bisa diberikan pemain utama.
Bagi Ais, aku mungkin juga demikian. Lalu Bobby, mungkin cadangan selanjutnya. Darah muda potensial yang sengaja dipertahankan, tak rela dilepas ke tim lain. Jaga-jaga jika pemain lain memang tak bisa digunakan.
Sepertinya kehidupan memang tak pernah berhenti memberi kejutan, sekaligus memberi pelajaran.
...bersambung...
Akhir tahun ketujuh.
Tahun ini terasa berat. Unit kerja baruku ternyata memang butuh momentum dan bentuk baru. Bagi para pembaca yang banyak terlibat di urusan pemerintahan khususnya di daerah, pastinya paham betul betapa bobroknya pola dan budaya kerja di sini. Bagi yang mendalami di bagian budgeting, masalahnya lebih runyam lagi, belibet dengan rantai birokrasi yang naudzubillah panjangnya. Ruwet karena beririsan dengan begitu banyak urusan dan kepentingan kanan-kiri, atas-bawah. Terlebih yang kukelola ini adalah unit baru, divisi yang belum ada jejak dan contoh di masa lalu. Ini divisi rintisan, dengan masa depan yang sebenranya juga tak pasti.
Terbatasnya anggaran di tahun ini, memaksaku berkreasi, mencoba cara-cara baru. Salah satunya dengan menggandeng mitra baru. Beruntung, beberapa kolegaku cukup aktif di gerakan sosial, organisasi profesi, dan sebagian lain berasal dari kalangan akademisi. Khusus poin terakhir, kudapatkan beberapa mitra penting dari satu kampus swasta di kota pelajar. Sebagian pengajar di sana kebetulan adalah teman kuliahku dulu, bahkan seorang di antaranya adalah kakak angkatan saat studi lanjut, sebut saja Bung Yona. Jadilah kampus itu kusasar sebagai pilihan utama. Nota kerjasama segera kami susun. Dalam masa yang tak terlalu lama, kami telah berstatus mitra kerja. Untuk kelancaran urusan, beberapa kali pejabat pemerintah dan pengurus kampus bertemu, tentu saja aku yang mengatur. Sedangkan dari pihak kampus, beruntung kutemukan (lebih tepatnya atas rekomendasi Yona) seorang pengurus fakultas yang bisa kuandalkan, dosen muda jelang 30, cerdas dan visioner, lulusan program doktoral dari luar negeri, cantik, berambut pendek, panggil saja Yuni. Kuberi nama Yuni karena perawakannya memang tak beda jauh dengan Yuni Shara, versi muda ya, yang masih mirip-mirip KD.
Kisah dengan Yuni?
Ada.
Sementara kusimpan dulu. Masih belum kuputuskan apakah akan kutulis di sini atau di tempat lain. Mungkin pembaca bisa memberi masukan?
Tidak hanya dengan satu kampus itu, beberapa kerjasama lain sempat pula aku jajaki. Kesibukanku berkeliling jawa, menjadi rutinitas baru yang harus aku dan Ais terima. Waktuku bersama Ais terhimpit di kondisi yang makin sulit. Kami praktis hanya bisa bertemu sebulan sekali, saat reuni bulanan dengan teman-teman ex-kantor lama. Tawaran Ais untuk liburan kemarin, akhirnya tak pernah bisa kami wujudkan. Setidaknya untuk tahun ini.
Suami Ais tampak lebih protektif beberapa waktu belakangan. Jam edar perempuan berkerudung itu diatur betul-betul. Jam lima sudah harus sampai rumah. Telat sedikit saja, siap-siap ditelepon dengan penuh nada curiga. Hal yang makin menyulitkan kami untuk mencari waktu. Satu yang agak mengkhawatirkan, sang suami tak segan mencari info tentang teman sekantor Ais. Mungkin takut kecolongan seperti kejadian yang lalu. Di satu waktu, Ais pernah bercerita, suaminya tau semua nama teman laki-laki sekantor Ais. Dan semua pria itu dicurigainya sebagai 'buaya' yang siap menerkam Ais. Berlebihan.
Waktu Ais nyaris tak tersisa lantaran ibunya diagnosa mengidap penyakit berbahaya. Satu penyakit yang butuh perawatan intensif. Satu perkara yang secara sadar atau tidak, berpengaruh ke psikis Ais. Di pesan singkatnya, sering kali wanita itu berbagi soal rasa sayangnya untuk ibunda, juga letihnya saat harus merawat beliau yang makin renta. Bahkan, tidak jarag Ais harus izin kantor untuk mengantar ibunda kontrol atau periksa lanjutan. Alasan tak terbantahkan yang mempersempit kesempatan kami bertemu.
Waktu pertemuan terbatas.
Kesibukan tak berjeda.
Suami posesif.
Lengkap sudah derita Ais. Derita Kami.
.
..
...
Bulan Desember tahun ketujuh.
"Dia ngajak nikah mas." kata Ais
Aku tersedak. Memuntahkan sebagian latte dingin yang barusan kusesap.
...
..
.
Beberapa Jam sebelumnya.
Di akhir tahun ini, aku mendapat tugas, mengikuti sebuah workshop lima hari tentang pengelolaan keuangan, di salah satu hotel terkenal di kotaku. Seperti biasa, jadwal workshop bisa dinego. Panitia kegiatan berhasil kami yakinkan untuk memadatkan jadwal. Di hari ke empat, semua agenda sudah terlaksana. Sebagian besar peserta workshop berasal dari luar kota, memilih untuk berkeliling mencari oleh-oleh. Jalan-jalan sekaligus liburan. Aku memilih stay di hotel, menunggu kabar dari Ais.
Pagi tadi kukirimkan pesan itu, pesan ajakan untuk berbuat 'sesuatu' siang ini. Jadwalku kosong seharian, kamarpun tersedia. Situasi yang nyaris sempurna. Tinggal menunggu kesediaan Ais.
Satu pesan darinya akhirnya masuk, jelang tengah hari.
"Aku bisa mas. Aku langsung ke situ ya? Ruang berapa?"
Ah. Sip.
Segera kukirimkan nomor kamar yang akan jadi saksi pertarungan kami.
Sejam kemudian aku dan Ais sudah di kamar itu. Kami berpelukan.
Lama.
Sekian waktu kami berjauhan. Nyaris tiga bulan kami tak bersentuhan. Aku merindukan hangat dan wangi tubuhnya yang sedemikian familiar dan memabukkan.
"Aku kangen," ucapnya. Masih dalam posisi berpeluk.
"Aku nggak," godaku.
Dilepaskannya pelukan itu.
Bibirnya manyun. Tampang bete.
Segera kusosor bibir itu. Kulumat permukaannya yang hangat dan lembut, juga basah, tanpa ampun. Ais membalas, tak kalah liar. Kami nikmati momen itu dalam-dalam. Berusaha mencari kenikmatan yang lama tak kami jangkau.
Cukup lama, hingga akhirnya kurasa cukup. Ada yang menginginkan Ais, lebih dariku.
Segera kuturunkan celana boxer warna merah yang kupakai.
Batang penisku terpampang. Tegang menantang.
"Dia yang kangen," kataku.
Ais tersipu. Wajahnya manis sekali.
"Kok udah tegang sih? Belum diapa-apain juga"
"Udah sedari pagi itu. Mbak lama sih"
"Aiihh, susah nyari alasan buat kabur jam kerja gini". Tangan Ais mulai mengelus penisku. Elusan gemas, makin lama makin kasar.
"Suka mbak?"
"Banget".
"Kok cuma dielus?"
Ais tersenyum genit, sepertinya paham apa yang kuinginkan. Segera dia berlutut, bersimpuh, masih dengan pakaian kerja lengkap.
Batang itu digenggamnya, dielus perlahan. Lembut, matanya tampak mengamati benda kaku itu. Entah apa yang sedang dipikirkan Ais. Mungkin mencari titik pendaratan, awal mula serangan pertama.
Ais memilih area bawah, dekat bola naga. Dijilatinya kulit kisut di area itu, telaten, dengan tempo sedang.
Aku bergidik. Nuansa geli segera menjalar ke sekujur badan.
"Hmmmm.... Sssshhh..."
Sesekali kubelai rambut Ais, masih dari luar hijabnya. Satu sikap memuji, mengapresiasi, sekaligus pendorong yang membuat Ais makin bersemangat. Aksi pujian yang sekali lagi membuktikan bahwa perempuan lebih pandai menangkap sinyal-sinyal tersembunyi.
Benar saja, segera dikeluarkan ajian sakti dari wanita bersuami itu: menyapu seluruh batang, dari bawah hingga ujung kepala penis. Pelan, sensual, penuh hayat. Kontolku berkedut, membuatnya kaku seketika, ngaceng maksimal. Satu lumatan Ais, membenamkan penisku dalam mulut hangat dan basah. Tandas. Ludes kontolku dicaplok perempuan laknat itu.
"OOhhhhhh... Sayang..... aaahhh... shit...."
Aku mengerang hebat.
Menjamah kenikmatan yang selalu berhasil membuatku menggila. Tidak hanya aku, kupikir Ais sudah menggila sejak tadi.
Lidah Ais bergerak-gerak saat mengulum, seakan-akan memijat dan meremas batang kakuku.
Ah, asu tenan.
Tanganku reflek menahan kepala Ais, mencengkeram bagian belakang kepalanya agar setia menyervis penis. Gerakan halus mulut Ais, maju-mundur, mengocok pusaka itu perlahan, makin membuat birahiku tak terbendung.
"Aduh, gak kuat aku mbak...keluar duluan gapapa ya..."
"Hmmm...hemmmm" jawab Ais.
Aku kira Ais bakal menolak.
Kupikir ia bakal menghentikan aksi persepongan itu.
Aku, nomor sebelas Liverpool. Aku salah.
Ais justru makin kalap.
Dikocoknya kontol tegang itu. Mulutnya makin heboh memompa. Maju-mundur, kadang sedikit dipelintir, ada sensasi diputar. Ah gak ngerti lagi sudah.
"Cplokkk.... cplokkkk...clokkkks....cplokssss..."
Kedua tanganku tak terkontrol. Gearakannya random. Kadang menjewer kuping Ais. Kadang membelai hijab. Kadang meremas, memijat kepala sampai leher. Kadang pasrah saja, bertumpu di pundak dan sekitaran bahu.
Sesekali kupandangi aksi Ais di bawah sana. Perempuan dengan pakaian muslimah lengkap, wajahnya cantik, kacamata yang masih dikenakannya tidakmengurangi sedikitpun aura elegan dan anggun yang dimiliki Ais. Wajah itu memerah karena birahi, juga karena antusias, semangat bergelora. Ais tengah mengoralku, didera nafsu.
Sensasi saat mulut nakalnya menghisap penisku kuat-kuat. Enak. Nikmat. Membahagiakan.
Aduh, mati aja sudah.
Sensasi itu memuncak. Maksimal. Di ujung.
"Aku mau keluar... " ucapku, spontan.
Ais mempercepat pompaan mulutnya. Tepat sesaat sebelum puncak, Aku mengerang.
"Oooohhhhhh....."
Ais segera melepaskan sergapan, berganti peran, kali ini tangannya yang menahan penisku di ujung perjuangan. Wajah manisnya mendongak, matanya terpejam, seolah penuh harap. Sang pusaka diarahkannya ke wajah itu, tepat beberapa centi di atas hidung, mengarah di antara kedua mata. Mulut Ais juga menutup, ada seberkas senyum tipis yang kutemui, sekilas.
Aku sampai.
Crrrotttt......cruuuttt.....crrrrrotttttt....."
Sperma menyembur, cipratan terbesar mendarat di jidat, sedikit mengenai alis, aku hapal betul bagian ini.
Sebagian lain muncrat di berbagai sudut, akibat wajah Ais yang terus bergerak, menyambut semprotanku. Sebagian acak mengenai kelopak mata, hidung, pipi, juga menyasar ke ujung hijab biru Ais.
Aku terkulai, ambruk di bed, tepat di belakangku.
Lemah.
Tidak sampai sepuluh menit, aku kalah.
Tapi nikmatnya luar biasa.
Boleh jadi ada perasaan yang terlibat di sana, tetap harus kuakui ada perasaan yang tertinggal, mungkin karena rinduku telah terbalas.
...
Pasca pertempuran, berita buruk datang.
Ais tengah mens.
Oh, shit.
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hari ini?
"Baru mulai pagi ini," kata Ais.
Sedikit kecewa. Satu hal yang nanti akan kuceritakan di bagian-bagian lain. Ada yang unik soal itu. Tunggu saja.
Tak apa, aku menghibur diri. Setidaknya hari ini kami bisa menghabiskan waktu berdua. Toh badanku lemas sekali selepas permuncratan tadi. Mungkin karena faktor U, staminaku tak bisa lagi diandalkan. Soalan ini, nanti juga akan kuceritakan di bagian lain.
Menjelang sore, setelah pillow talk dan cuddling manja sesiang tadi, kami memutuskan mencari makanan kecil di resto atas, bagian rooftop.
Hotel ini tergolong mewah. Jika bukan karena acara negara, kurasa tak mungkin aku menyempatkan diri ke sini. Berbagai ornamen kemewahan bercita rasa seni tinggi menghiasi sudut-sudutnya. Bagian rooftop memberi nuansa lain, lebih adem sekaligus intens. Dilengkapi taman-taman indah, dan area bermain anak di satu sisi, dan kolam renang di sisi yang lain. Di bagian ujung ada semacam cafe yang cukup luas, dilengkapi meja bar dan panggung kecil di mana terdapat beberapa instrumen alat musik akustik. Cocok untuk acara makan malam bersama keluarga, pasangan atau rekan sejawat. Kuduga, pasti ramai saat malam.
Karena masih kuatir ada yang memergoki, kami memilih datang ke tempat itu sekitar jam empat, waktu di mana bagian tempat itu relatif sepi. Sebelum Maghrib, aku berharap kami sudah kembali ke kamar.
Benar saja, begitu sampai di lokasi, kulihat hanya area kolam renang dan taman bermain yang cukup ramai. Mayoritas diisi keluarga dan anak-anaknya. Sementara area cafe, masih sepi pengunjung. Sebagian meja bahkan belum disiapkan. Sempurna.
.
..
...
"Dia ngajak nikah mas." kata Ais
Aku tersedak. Memuntahkan sebagian latte dingin yang barusan kusesap.
Kaget luar biasa.
Cerita Ais yang ini, sungguh mengagetkan. Aneh, berlebihan, di luar dugaan.
Ais sebelumnya bercerita banyak hal tentang kerjaan, lalu merembet ke teman kerjanya yang sebagian besar adalah anak-anak muda di awal 20-an, brondong. Semua tampak biasa, hingga beberapa bulan terakhir ini ada satu anak muda yang, bagaimana istilahnya ya, mungkin istilah yang mendekati adalah 'terbosesi', atau 'tergila-gila' dengan Ais. Berkali-kali menyatakan cinta. Berkali memberi hadiah, yang kubilang sih cukup mewah, perhiasan emas dan jam tangan mewah. Bahkan saat ini, pemuda itu tengah membangun rumah, tidak jauh dari tempat tinggal Ais, disiapkan untuk dia dan Ais.
Bobby, sebut saja nama pemuda itu Bobby. Pegawai kontrak yang sebenarnya punya sambilan mroyek di beberapa tempat lain bahkan sebelum bekerja bersama Ais.
Yang lebih gila, minggu lalu sang pemuda mengajak Ais menikah. Memintanya untuk meninggalkan sang suami, bercerai untuk kemudian menikah dengannya. Gila.
Ais sempat menunjukkan beberapa skrinsyut percakapan.
Nggilani.
Dihiasi kata-kata lebay yang alamaaaaak, cupu kali.
"Aku nggak bisa hidup tanpamu"
"Kamu selalu hadir di mimpi-mimpiku"
"Ada kamu di setiap doaku"
"Aku rela melakukan apapun demi kamu"
"Beri Aku kesempatan untuk membahagiakanmu"
Cuiiihhh.
Lebih mirip tulisan di bak truk.
Ada satu bagian yang paling aneh. Satu kali, pernah Ais menolaknya, dengan bahasa yang kasar. Bobby mengancam akan pergi dari hidup Ais. Yang terjadi kemudian, Bobby bolos kantor seminggu tanpa kabar, untuk kemudian masuk lagi, seakan-akan menjauh dari Ais, tak mengganggu Ais lagi. Tapi hanya sebentar, lalu kambuh lagi, lengkap dengan rayuan dan SSI-nya.
Coeg.
Norak dan kekanak-kanakan.
Aku tidak terlalu heran dengan kehadiran orang semacam Bobby, mungkin juga bajingan-bajingan lain yang tak kuketahui siapa. Kumaklumi sekaligus kuapresiasi upaya setiap orang yang mendekati Ais. Sah-sah saja. Ais memang punya pesona perempuan dewasa yang menggoda, bahkan sekalipun ditutup dengan penampilan anggun dan serba tertutup. Wajar jika banyak pria tertarik. Wajar mereka berusaha mendapatkannya.
Setiap hubungan percintaan, atau dalam hal ini perselingkuhan, selalu melibatkan setidaknya dua pihak. Dalam kasus Ais, tentunya Ais dengan makhluk lain, serigala berbulu domba. Biarkan saja serigala dengan manuver dan aksinya masing-masing. Yang penting Ais tidak menanggapi. Nyatanya, tidak sesederhana itu. Tidak sesederhana transaksi jual beli. Serigala berusaha keras menjual, Ais tidak melengos pergi, dia melihat situasi, seakan menimbang-nimbang opsi, terkesan akan membeli.
Aku jadi ingat belasan tahun lalu, saat istriku masih di bangku sekolah. Ada seorang teman (aku lupa senior atau seangkatan) yang serius ingin meminangnya. Istriku tidak menolak dengan tegas waktu itu. Alih alih memberi keputusan dengan pilihan ya atau tidak, dia justru memberikan jawaban multitafsir. Jawaban menggantung yang bagi kami kaum pria, bisa diartikan begini: dia menolak untuk saat ini, tapi masih ada kesempatan di waktu mendatang. Jadilah sang pria itu berusaha keras, tamat sekolah, lanjut pendidikan tinggi, dan ketika kariernya cukup mapan meminang istriku kembali. Timingnya salah, karena waktu itu kami sudah merencanakan pernikahan.
Aku tak bisa membandingkan secara setara kedua situasi di atas. Tentu banyak perbedaan, kondisi wanita yang belum menikah dan sudah menikah. Tapi tetap saja, bagiku langkah penolakan Ais untuk Bobby terasa kurang tegas. Mungkin memang begitulah perempuan, selalu memberi harapan, selalu menawarkan kesempatan. Mereka merasa berhak memilih. Saat satu pria tak bisa mencukupi kebutuhan, mudah saja beralih pada pilihan lain, para pemain cadangan yang sedari awal menunggu kesempatan.
Tunggu dulu, mungkin tidak hanya perempuan. Mungkin begitulah fitrah setiap manusia. Selalu bersiap dengan rencana cadangan.
Bagiku, Ais adalah pemain cadangan. Pemain yang bisa memberikan opsi lain yang tidak bisa diberikan pemain utama.
Bagi Ais, aku mungkin juga demikian. Lalu Bobby, mungkin cadangan selanjutnya. Darah muda potensial yang sengaja dipertahankan, tak rela dilepas ke tim lain. Jaga-jaga jika pemain lain memang tak bisa digunakan.
Sepertinya kehidupan memang tak pernah berhenti memberi kejutan, sekaligus memberi pelajaran.
...bersambung...
Terakhir diubah: