Yak mari....
Masih di hari itu.
Di luar, gerimis mulai turun. Mendung sejak siang mulai menumpahkan isi perutnya.
Di dalam, hawa dingin. Karena pengatur suhu. Juga karena pengaruh hujan di luar.
Tapi perasaan kami berdua, tidak segampang itu dijelaskan.
Aku kembali ke meja kerja. Bohong kalo kubilang menyibukkan diri di urusan kerjaan.
Pikiran melayang. Jauh mengambang tak tentu arah.
Detak jantung belum kembali normal.
Tentu yang paling parah, kondisi si adik kecil.
Kasian dia. Sudah bersitegang. Sudah berpengharapan.
Namun,
Gagal dibasahi. Gagal dipuaskan.
Sari sari kehidupan masih bersemayam di dua kantong selangkangan.
Batal menghirup udara luar.
Maaf.
Aku tipe pria yang tak sembarangan membuang cairan itu.
Aku tak bisa dipuaskan oleh sabun, tisu, ataupun cairan pelicin termahal sekalipun.
Tidak oleh tanganku sendiri.
Aku, mungkin juga beberapa pria lain, butuh sentuhan wanita.
Tangan, mulut, kemaluan. Terbatas. Tidak asal asalan.
Perasaan ini masih kuingat.
Pernah kualami yang serupa. Tapi tidak sedahsyat ini.
Mbak Ais, sosok yang dipuja banyak orang itu, hari ini hampir kugauli.
Sedikit lagi. Tinggal sejengkal, tapi gagal.
Momen telah terlewat.
Kutengok sekilas satu-satunya ruang yang masih bersuara.
Suara musik. Lagu tipe kesukaan Ais. Irama pop-jazz melo yang tengah populer.
Aku membayangkan.
Seandainya di gedung ini hanya ada kami berdua, pastilah ia sudah kugauli habis-habisan.
Aku perkosa dia.
Atau aku yang diperkosanya.
Atau kami sama-sama diperkosa nafsu dua manusia kesepian.
Tapi bayangan itu tipis.
Makin tipis saat suara-suara yang kukenal mendekat.
Suara langkah sepatu.
Ah iya. Shift security malam sudah aktif.
Seorang pria umur, 40-an. Berseragam lengkap, menyapaku. Basa basi mengucap selamat malam, sambil berkelakar sesuatu yang segera kulupakan. Aku tidak ingat sama sekali apa yang ia ucapkan. Pikiranku entah dimana. Plis dong ah.
Kulihat mbak Ais tengah berkemas, tampaknya ia akan segera pulang.
Sedikit berteriak, tanpa melihat ke arahku, seakan sambil lalu, menyapa. Basa basi mengajak segera pulang.
"Ayo. Ndang bali mas, selak udan neh. (segera pulang saja mas, keburu hujan lagi)"
"Yok"
Kulirik jam tangan. Pukul delapan lewat.
Hujan di luar mereda. Suara gerimis lirih masih kudengar.
Aku reflek mengambil jaket dan helm.
Aku ingin menyusul Ais.
Entah untuk apa. Dimana pikiranku, belum nemu juga.
Agak buru-buru, kupencet tombol presensi. Segera menyusul Ais ke tempat parkir. Tidak jauh dari lobi. Dekat pos security. Dua petugas tengah besantai di dalam. Hawa dingin memang teman setia bagi rokok dan kopi.
Itu saja yang kutangkap. Tujuanku bukan di situ.
Kini aku telah duduk di atas motor tuaku. Motor yang juga kupakai sejak kuliah dan pacaran dulu. Dengan Istriku, satu-satunya wanita yang pernah kupacari.
Di sisi kiri, ujung, dekat pohon talok, Mbak Ais tengah bersiap berkendara. Memakai masker. lalu helm. Jaketnya tebal. Saat melihatnya dengan pakaian seperti itu, dia lebih mirip bantal-guling-besar-empuk-hangat yang siap dikeloni.
Kukirimkan pesan singkat.
"Langsung pulang, mba?"
Dia tak membalas.
Bodoh. Kenapa gak disapa langsung. Kan cerak to yoh.
Motor distarter. Ais keluar kantor. Menyisakan bunyi klakson. Satu bagiku. Satu bagi petugas security. Pikiranku belum terkumpul. Biarlah.
Aku putuskan tuk pulang.
...
Belum 2 km. Hujan kembali turun. Aku bergegas mencari tempat berteduh. Tidak pernah membawa jas hujan. Tidak sabaran saat membuka dan memakainya. Aku memilih untuk untung-untungan mencari tempat naungan. Ketemu.
Di depan kantor ekspedisi. Sepi. Lampunya remang-remang. Hujan makin menjadi.
Iseng kubuka hape. Ada pesan masuk.
"Iyo niate langsung pulang. Hujan lagi mas." Pesan dari Ais.
"Udah sampe rumah?"
"Belum, aku berhenti di depan tukang tambal ban. Dekat gereja."
Loh, itu kan cuma seberang jalan tempatku berteduh. Clingak clinguk kulihat sekitar.
Benar saja ada bayangan samar, di seberang jalan, tidak jelas tentunya. Bias oleh hujan deras yang masih mengguyur jalanan.
Segera kukabari Ais untuk tetap di tempat. Aku akan menyusulnya.
Bodo amat, basah, basah sudah.
Tak lama, tak ada lima belas menit sejak pertemuan terakhir di parkiran, kami bersua kembali. Lucu. Koyo crito pacaran anak sekolahan.
Seolah bertemu teman sebaya, kami berbasa basi soal kenekatanku menembus hujan.
Tidak penting Ais. Ini demi ketemu kamu. Ah, pastilah ia paham. Tak perlu pula kujelaskan panjang panjang.
Momen berikutnya aku lupa.
Kami berpelukan depan belakang. Di atas motor maticnya. Mbak Ais di depan. Aku di belakang. Kami berpelukan. Seperti kekasih yang tengah melepas rindu. Makin syahdu karena hawa dingin tak kunjung pergi. Suara hujan makin deras. Makin berisik akibat airnya menggempur atap seng tempat kami bercengkrama.
Mbak Ais diam saja. Matanya melihat jauh kedepan. Tatapan kosong. Tapi kutahu ia tersenyum. Tengah bahagia kurasa.
Tangan kami bertaut. Tepat di perut mbak Ais. Jaket basah sudah kusingkirkan.
Belakangan aku baru sadar. Jaket itu jatuh di selokan. Teles kebes. Mambu. Asu.
"Mbak" kataku.
"hmmm" balasnya.
Kucium pipi kanannya. Masih dari posisi belakang.
Dia diam saja. Pura-pura tidak tahu?
Mulutku bergerak ke leher.
Dapat kain hijab. Lembut. Wangi. Sedikit bercampur dengan bau apek helm basah.
Tapi tetap wangi. Tetap menggoda. Ingin kusetubuhi dia. Di tempat itu.
Di pinggir jalan.
Di bengkel tambal ban.
Beraroma oli dan selokan dan tanah basah.
Untuk kali ini gelora itu tertahan.
Aku lebih ingin menikmati momen romantis.
Lebih gentle.
Lebih alus.
Penjelajahan di leher memberikan hasil. Mbak Ais tampak menikmati.
The game is on.
Nafasnya tampak kacau.
Ia segera memalingkan wajah. Menyamping
Kini mata itu menatapku.
Kami berciuman. Panas.
Sama seperti beberapa jam sebelumnya.
Tangan kanannya mengincar si adik kecil. Tetap di luar celana. Ia elus elus.
Ntabs. Langsung on si adik.
Tanganku tertahan di dadanya. Kini setiap gunungnya ada di genggaman tanganku.
Kuremas lembut. Perlahan. Lalu lebih kuat.
Benar saja. Ais mendesah. Desahan hebat.
Sama seperti desahan di mimpiku.
So hot.
Area mulut masih berpesta. Lidah kami makin semrawut.
Kuulangi lagi menikmati gunung kembarnya.
Kuremas lembut. Perlahan. Lalu lebih kuat.
Ais mendesah lagi. Kali ini lebih dahsyat.
Seperti dibumbui rintihan tipis. Memelas.
Ingin minta lebih kurasa.
Tapi tidak. Belum saatnya untuk lebih.
Kulepaskan bibirku dari ciuman maut itu.
Kugigit pundaknya. Tanpa bumbu kelembutan dan keromantisan.
Seperti Kucing menggigit mangsa.
Lebih mirip gigitan manja.
Menawarkan persahabatan.
Menurunkan tensi.
Mencoba meredam gejolak nafsu, yang jika dibiarkan, entah akan membawa kami kemana.
Hap. Grrrrr..... Bagai gumam bangsa kucing besar yang tengah menikamati buruannya.
Ais tertawa. Tawa ceria
"Iiih, mas ini. Nyebeli"
Kembali kami berpelukan. Badannya menggelayut, bersandar ke aku. Berat. Tapi hangat.
Tangan kiriku ogah beranjak dari susunya yang lembut.
Aku belum bisa membayangkan senikmat apa nanti, saat kugenggam bongkahan daging surga itu.
Sensasi kulit ketemu kulit surgawi.
Entah kapan. Pasti luar biasa.
Tangan kananku yang lebih terlatih sopan santun, kini menggenggam erat tangan Ais. Memberikan ketenangan bagi kami berdua.
Kiri setan, kanan malaikat.
Seolah kami telah menjadi satu.
Bukan lagi partner kerja.
We are in love.
BONUS
Mbak Ais saat Fam Gathering sekira empat tahun yang lalu
....bersambung lagi. Apel sore.