Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 22

Enam bulan sejak hidup bersama, hubungan Aisyah dan Farhan makin meningkat kualitasnya. Aisyah mendapatkan apa yang didambakannya selama ini. Kebebasan, keleluasaan menentukan keputusan, hingga kehidupan ranjang yang luar biasa. Hari-hari pasangan itu diisi oleh kenikmatan yang selalu ingin direngkuh. Pelan-pelan, Aisyah mulai bisa lepas saat bersenggama dengan suaminya. Ia mulai berani mengambil kendali. Sebulan terakhir, Ia juga mulai berani melakukan oral seks. Meski Aisyah tahu bahwa hal itu biasa dilakukan dalam hubungan badan, Ia selalu ragu apakah bisa. Kehebatan Farhan adalah tidak pernah memaksanya. Pria itu membuktikan ucapannya untuk selalu mengikuti kenyamanan istrinya. Terang saja sang istri mulai jatuh cinta.


Tak disangka, Farhan tumbuh menjadi sosok yang diidamkan oleh Aisyah. Rumah itu dipenuhi dengan kasih sayang. Aisyah selalu menantikan waktu kebersamaan mereka. Kejutan tiba-tiba pulang saat makan siang adalah favoritnya. Mereka bisa melakukan seks dengan panas dalam waktu yang singkat. Meski tentu saja ada waktu-waktu Ia akan ditinggal Farhan ke luar kota. Aisyah berusaha mengerti bahwa itu adalah bagian dari pekerjaan suaminya. Mereka hidup dari sana.


Satu per satu, Aisyah membuka lapisan-lapisan rahasia dalam dirinya. Ia akan selalu mengidolakan Ustad Bagir, Abahnya. Tapi fakta bahwa hampir seluruh keputusan hidupnya diambil oleh Sang Abah terkadang membuat hidupnya tertekan. Keputusan itu memang hampir selalu berhasil. Seperti pernikahannya dengan Farhan. Namun sebagai manusia dewasa, Ia merasa berhak memiliki jalan sendiri. Atau fakta lain bahwa Ia tidak terlalu senang dengan saudaranya, anak dari istri pertama Ustad Bagir, juga disampaikan kepada Farhan. Bilal, kakak pertamanya itu, selalu jadi anak kesayangan Ustad Bagir. Ada hal-hal yang selalu membuatnya iri. Aisyah tidak memungkiri bahwa Abahnya adalah orang penyayang. Meski kadarnya selalu berbeda kepada Bilal. Dan yang pasti, sedari kecil, Aisyah selalu iri atas kebebasan-kebebasan yang diberikan kepada Bilal.


Semua itu adalah bagian kecil dari rahasia yang dimiliki Aisyah. Masih banyak yang belum berani dibukanya. Kesiapan itu membutuhkan waktu. Juga keberanian yang entah kapan datangnya. Farhan selalu membuatnya nyaman mengungkapkan sesuatu. Bagian lain dari dirinya sendiri yang selalu ketakutan. Aisyah tidak ingin kebebasan ini hilang jika nanti respon suaminya tak seperti harapan. Juga ketakutan-ketakutan lain. Tetapi semua harus diungkapkan. Ia ingin Farhan tahu. Ia ingin terbuka kepada suaminya.


"Kamu jadi mengambil pekerjaan itu, Sya?"

"Insyaallah, Mas. Rasanya sudah cukup 6 bulan di rumah saja."

"Keputusanmu soal anak masih sama?"

"Belum berubah, Mas. Aku masih ingin menikmati waktu berdua."

"Aku senang sekali kalau kamu tersenyum begitu."

"Apa Mas sudah berubah pikiran?"

"Tidak. Kita butuh waktu untuk saling mengenal. Dan ini belum cukup."

"Terima kasih, Mas."

"Untuk?"

"Semuanya. Kamu sudah jadi suami yang sangat baik."

"Kamu juga. Aku merasa sudah memiliki semuanya."


Kian hari, pelukan itu kian hangat. Perasaan nyaman dan tenang selalu menyelimuti Aisyah. Farhan selalu bisa menempatkan diri. Padahal sebelum sampai di rumah hari ini, Ia bersetubuh dengan Winda. Kegiatan rutin yang tidak pernah bisa dilewatkan. Farhan menjaga semua seperti seharusnya. Sikapnya tidak pernah berubah. Ia juga tidak membandingkan apapun yang Ia dapatkan dari Winda atau istrinya. Winda juga selalu mengingatkan hal itu. Hubungan mereka sehat. Keduanya memenuhi janji bahwa ini hanya sekedar pemenuhan nafsu. Tidak kurang, tidak lebih. Dibyo juga tidak pernah sekalipun bertanya bagaimana hubungan Farhan dan istrinya, sesuai janji yang diucapkan. Meski rasa penasaran itu selalu ada, Dibyo tidak ingin merusak apapun. Istrinya adalah cinta yang tidak pernah bisa Ia lepaskan. Farhan adalah anugerah lain yang Ia temukan. Hidupnya menjadi makin menyenangkan setelah bertemu keduanya.


"Besok kita jadi ke rumah Abah, Mas?"

"Jadi, dong."

"Mau berangkat jam berapa?"

"Agak siang saja ya. Aku pagi ada janji ke pabrik sebentar."

"Baik, Mas."


Esoknya, selepas menemui calon pembeli di pabrik, Farhan dan Aisyah segera meluncur ke rumah Ustad Bagir. Sudah tiga bulan mereka tidak berkunjung. Ini adalah kunjungan kedua setelah pernikahan.


"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Ibu pikir kalian tidak jadi ke sini."

"Tadi Mas Farhan ada kerjaan dulu, Bu. Ini titipan Ibu."

"Terima kasih, nak."

"Abah di mana?"

"Sedang keluar sama Umi."

"Ibrahim mana, Bu? Titipannya saya bawa ini."

"Tadi diajak Pak Gun mengantar barang, belum pulang sepertinya, Han."

"Mas mandi dulu atau gimana?"

"Kamu dulu, deh. Aku mau leyeh-leyeh dulu."

"Istirahat dulu tidak apa-apa."

"Ya sudah aku mandi dulu ya."


Menjelang magrib, suasana rumah Ustad Bagir selalu teduh. Letak rumah ini di bagian depan kompleks pesantren. Pintu masuk ke bagian utama terpisah membuat wilayah rumah tidak ramai. Meski ada beberapa santri atau pengurus yang lalu-lalang untuk ke rumah atau kantor pengurus yang masih tergabung di area rumah. Setelah kunjungan pertama sebelumnya, Farhan mulai akrab dengan beberapa orang yang terlibat di pesantren ini. Ia juga sudah berbincang dengan Bilal, kakak iparnya. Meski mengetahui cerita soal istrinya yang tidak terlalu akrab dengan Bilal, Farhan berusaha baik. Aisyah pun mengatakan begitu. Ia memang tidak terlampau akrab tapi tidak ada yang tahu selain dirinya sendiri. Maka hubungan itu harus tetap baik.


"Kapan datang, Han?"

"Baru saja, Mas. Habis ngajar?"

"Tidak. Dari kantor ini. Mampir ke rumah, Han."

"Nanti malam saja, Mas. Mau maghrib, nanggung."

"Baiklah. Saya masuk dulu ya."


Usia Farhan memang lebih tua tapi Ia tetap memanggil Bilal dengan sebutan Mas karena aturannya begitu. Bilal yang usianya hanya berbeda 1,5 tahun dengan Aisyah telah lebih dulu menikah dan memiliki anak. Seperti mereka, Bilal menikah juga dengan proses perjodohan. Bedanya Bilal menikahi anak kyai, rekan dari Ustad Bagir. Perjodohan mereka seperti sudah direncanakan sedari lama. Sejak remaja, mereka sudah saling tahu jika akan menjadi pasangan. Marwah, istri Bilal lebih tua setahun. Wanita lulusan Oman itu sekarang juga mengajar di Pesantren. Dia menjadi salah satu pengajar andalan di sini.


"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Ada tamu dari jauh, Mas."

"Tamunya mau minta makan."

"Wah. Minta makan kok malah bawa makanan. Duduk, Han, Dik."

"Jadwal kosong, Kak?"

"Sejak ada Maryam, saya minta jadwal malam dikosongkan, Dik. Kalau Mas Bilal kan memang jarang."

"Biarlah ustad-ustad senior bagian malam. Saya fokus di rumah saja."

"Apalagi Maryam lagi lucu-lucunya ya."

"Ditambah itu, kan."

"Kalian belum ada rencana punya anak?"

"Huss. Kebiasaan tanya begitu, kurang baik."

"Maaf-maaf, kelepasan."

"Tidak apa-apa, Kak. Kami masih ingin pacaran dulu sih."

"Memang enak begitu. Kalau sudah punya anak semua pasti berubah, Dik."

"Setuju. Mau tidak mau jadi tidak sebebas dulu."

"Sampai kami siap lah, Kak. Takutnya kalau belum siap malah jadi beban."

"Maryam mana?"

"Diajak Umi sama Abah ke rumah Habib Utsman. Ada hajat katanya."

"Pantes nggak dengar suaranya dari tadi."

"Sampai jam berapa itu?"

"Acaranya saja Ba'da Maghrib. Mereka berangkat 10 menit sebelum kalian datang tadi."


Percakapan antar saudara itu berlangsung akrab. Kehadiran Farhan memang sedikit mengubah hubungan mereka. Sebelumnya, bahkan Aisyah tidak terlalu akrab dengan Marwah. Selain karena mereka jarang bertemu, kerenggangan itu tentu dipengaruhi oleh hubungan Aisyah dan Bilal yang sedikit canggung. Untungnya, Marwah orang yang supel. Ia tak seperti Aisyah yang cenderung lebih pendiam. Pertemuan malam itu selalu diselingi dengan candaan yang meramaikan suasana. Mungkin karena pengetahuan Marwah yang juga luas. Kuliah di luar negeri membuatnya memiliki hubungan dengan manusia dari berbagai latar belakang. Sedikit banyak itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.


Sejak kedatangannya di keluarga ini, Marwah jadi salah satu favorit. Pun oleh santri dan pengurus pesantren. Sikapnya adalah faktor terbesar. Selain itu, kecerdasannya disukai banyak orang. Ia membawa pandangan baru ke pesantren ini. Meski usianya masih sangat muda, pendapatnya diperhitungkan. Sikapnya juga tidak mencerminkan usia. Kedewasaannya mampu menutupi fakta bahwa usianya baru 25 tahun. Semua ditambah dengan fisik yang memang menyenangkan untuk dilihat. Kecantikan istri Bilal itu tak ada bedanya dengan Aisyah. Ia juga modis, tidak kaku jika berpakaian. Pengetahuan dan sikap yang dibawa membuatnya tidak mendapatkan protes dari pihak pesantren terkait busana yang dipakai. Marwah berhasil menunjukkan bahwa semua itu tidak ada kaitannya. Ia tetap mumpuni dan memberikan banyak khazanah baru bagi pendidikan di pesantren ini.


Satu hal yang baik dari Bilal adalah tetap membiarkan istrinya mengejar apapun yang disukai. Ia tidak pernah membatasi dan mengharuskan Marwah untuk tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga. Sejak menikah, Marwah masih aktif di berbagai forum akademik yang sebelumnya telah diikuti. Hal ini juga demi kebaikan pesantren. Buktinya, sudah dua kali Ia berhasil membawa pulang pendanaan terkait pendidikan yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi, lebih dari 10 santri telah diterima di berbagai perguruan tinggi asing semenjak kehadirannya. Salah satu faktor yang membuat Aisyah senang dengan keputusan Farhan membawanya keluar dari pesantren adalah kecemerlangan Marwah. Ia tidak ingin hidup di bawah bayang-bayang itu.


"Sebulan lalu saya itu saya ada konferensi di tempatmu, Dik."

"Loh, Kakak nggak ngasih kabar?"

"Acaranya 3 hari dan padat sekali. Tidak ada kesempatan untuk keluar. Bahkan hanya hari terakhir yang selesai jam 5."

"Makanya kakakmu tidak enak mau menghubungi. Wong ya tidak bisa mampir."

"Kan bisa saya yang mampir, Kak."

"Inginnya begitu, tapi 2 hari itu acara selalu selesai jam 10 malam."

"Acara di hotel terus?"

"Hari terakhir itu kunjungan di Pesantren Al-Munir sama Universitas. Ada forum kecil gitu di sana."


Ingatan Marwah kembali ke acara sebulan lalu. Siang itu rombongan sedang bertolak dari Pesantren Al-Munir. Mereka menuju Universitas yang menjadi destinasi berikutnya. Marwah menggunakan mobil bersama 3 rekan lain. Mereka terpisah dari rombongan yang menaiki minibus. Saat itu kondisi jalan memang sangat padat. Khawatir terjadi kemacetan yang lebih parah, supir meminta izin untuk lewat jalan alternatif. Seluruh penumpang mobil itu mengiyakan. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Marwah kemudian terjadi. Saat melalui jalan alternatif, Ia seperti melihat seorang laki-laki dan perempuan keluar dari sebuah rumah. Ia mengenal sosok itu meskipun dari kejauhan. Marwah meminta supir sedikit memelankan lajunya. Beberapa temannya heran, tapi Ia tidak menggubris. Mata Marwah berusaha dilebarkan sebisa mungkin. Dua orang itu kemudian memasuki mobil, sang perempuan berada di balik kemudi. Untungnya, mobil yang ditumpangi Marwah berada tepat di belakangnya. Perasaan wanita itu tidak enak dan detak jantungnya agak meningkat ritmenya. Sampai di satu titik, mobil itu berhenti di sebuah minimarket. Entah bagaimana, Marwah tiba-tiba meminta supirnya berhenti juga di minimarket lain yang lokasinya bersebelahan. Ia menghela nafas panjang. Setelah memutuskan turun untuk mengurangi kecurigaan, Ia memelankan langkah menuju pintu minimarket. Dengan pura-pura menelepon seseorang, Marwah sedikit mencuri pandang ke mobil itu. Ah, Ia seperti tak percaya apa yang dilihat. Laki-laki itu keluar dari mobil. Dengan samar, Ia melihat adegan berpamitan. Sesuatu yang tidak pernah diduganya. Marwah melihat laki-laki itu mencium wanitanya. Mematung sekejap, Marwah memasuki minimarket. Ia tidak ingin mengambil risiko ketahuan. Saat kembali, mobil itu sudah lenyap. Laki-laki yang tadi juga tidak ada. Jantung Marwah masih berdetak kencang. Mobil yang dinaiki segera melanjutkan perjalanan ke tujuan.


Petang ini, detak jantung Marwah tak secepat siang hari sebulan lalu. Tapi kecepatannya di luar normal. Sejak tadi, Ia berusaha bertindak senormal mungkin. Segala upaya dilakukan untuk menepis ingatan itu. Usaha yang nampaknya sia-sia. Marwah jarang sekali melempar pandangan langsung ke dua orang di sampingnya. Ada perasaan aneh yang menyelimuti. Wajah laki-laki itu masih terekam jelas. Adegan ciuman pamit itu juga masih terbayang. Marwah belum bisa lupa. Sesuatu yang hampir setiap hari memenuhi pikirannya. Ia tak mampu menceritakan ini kepada siapapun. Ia tidak ingin merusak apapun yang telah berjalan dengan baik. Tapi memori itu melekat.


"Kamu melamun, Dik?"

"Eh, Mas. Anu, kepikiran Maryam. Jangan-jangan rewel."

"Paling juga tidur dia di sana."

"Saya coba telpon Umi dulu ya."

"Ya sudah sana."


Perasaannya sedikit goyah. Marwah memilih menyingkir. Bayangan laki-laki sebulan lalu itu kini ada di hadapannya. Marwah selalu memikirkan bahwa momen ini akan terjadi. Pertemuan dengan adik ipar dan suaminya. Laki-laki yang dilihatnya sebulan lalu keluar dari mobil di sebuah minimarket. Laki-laki yang mendaratkan ciuman sebelum membuka pintu. Ia berusaha tidak percaya bahwa Farhan, suami adiknya, adalah orang yang berada di mobil itu. Tapi penglihatannya tidak mungkin keliru. Kepalanya pusing. Ia ingin merebahkan badan sebentar.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd