Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 15


RIMA

"Silakan masuk, Bu."

"Kamu tinggal sendirian, Han?"

"Iya, Bu. Jadi maaf kalau sangat berantakan."

"Untuk ukuran bujangan yang tinggal sendirian sih ini lumayan."

"Aduh jadi besar kepala ini."

"Minimal nggak ada handuk sama celana dalam kotor berserakan, lah."

"Untung tadi sudah dibereskan."

"Sebentar, ini nggak akan tiba-tiba digrebek sama tetanggamu?"

"Nggak janji sih, Bu."

"Tapi paling tidak kalau digrebek bukan di kantor sih."

"Maaf ya, Bu. Habisnya tadi saya nggak tahan lihat Ibu."

"Kamu kan sudah hampir setahun lihat saya terus. Kenapa baru sekarang?"

"Sejak kejadian itu pandangan saya ke Bu Rima jadi lain."

"Sebelumnya?"

"Segan lah, Bu. Mana berani saya berpikiran begitu."

"Sekarang sudah berani ya?"

"Kalau ibarat tamu, sudah dipersilakan masuk."

"Kamu sudah nggak takut ditembak sama tentara lagi?"

"Kata yang punya, tentaranya lagi jauh. Pulangnya tahun depan."

"Sama anak muda selalu begini, pemberani."

"Mau gimana lagi, uang nggak punya, pengalaman juga minim."


Tidak tahan, Rima menyergap tubuh Farhan yang masih mengenakan seragam lengkap. Ia juga sama. Mereka berciuman panas sekali. Nafsu Rima sudah di ubun-ubun. Suaminya berangkat minggu lalu. Ini juga hari-hari menjelang mensnya datang. Apalagi, Ia sudah mendapat izin untuk memuaskan birahi dengan orang lain. Bagai singa betina yang lepas dari kandang, Ia meraung mencari pejantan. Ini sudah waktunya kawin. Hasratnya tak bisa dibendung lagi.


"Kamu tahu nggak, saya sudah membayangkan ini sejak lama."

"Saya terkejut, Bu."

"Tubuh kamu bagus, sesuai selera saya. Meski nggak tampan-tampan banget, saya nafsu lihat muka kamu."

"Kalau saya jangan ditanya lagi, Bu."


Masih dengan seragam yang menempel, Rima pelan-pelan melucuti pakaian Farhan. Tak membutuhkan waktu lama, tinggal baju seragam kerja yang membungkus tubuh Farhan. Ia sengaja membiarkan Rima memegang kendali.


"Ereksinya anak muda itu memang beda ya."


Tanpa babibu, Rima mengerjai penis Farhan yang sudah tegak sempurna. Ia benar-benar seperti wanita haus seks. Gerakan bibir dan lidahnya lincah. Ditambah dengan jari-jarinya yang ikut bermain, Farhan dibuat bergidik. Rima tak peduli, fokusnya hanya memainkan senjata milik Farhan.


"Saya nggak menyangka, Bu Rima sebuas ini."


Hanya sebuah senyuman dari bibir yang sedang asyik dengan mainan barunya. Rima belum selesai, Ia terus saja maju-mundur mencari titik lemah di penis Farhan.


"Buu. Aahhhh."


Farhan melepas kepala Rima dengan sedikit paksaan. Kalau tidak, Ia bisa orgasme lebih dulu. Reputasinya akan jatuh jika itu sampai terjadi.


"Maaf, Bu. Saya nggak tahan."

"Kamu tahu kan hukumannya apa?"

"Saya siap menerima hukuman."


Birahi Rima sudah menumpuk, semua ingin segera dituntaskan. Ia duduk di sofa, di ruang tengah rumah Farhan. Tanpa di komando, Farhan sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia melepas kancing kemeja yang dikenakan Rima. Terpampang dua buah gunung yang masih terbungkus penutup tipis. Seksi sekali, pikir Farhan. Rima mengenakan bra tipis berenda yang tak menutupi seluruh bagian payudaranya. Ia memang senang mengenakan pakaian dalam seksi, walaupun ke kantor. Dan kini semua itu ada gunanya.


"Kamu pintar ya ternyata. Jangan-jangan jam terbangnya sudah tinggi."

"Di internet, semua pelajaran itu tersedia, Bu."


Tanpa melepaskan satu helai pakaian, Farhan menikmati payudara Rima. Ada sensasi tersendiri mengerjai salah satu pejabat di kantornya ini dengan masih mengenakan seragam lengkap. Tapi itu tidak berlangsung lama. Farhan melepas bagian bawah setelah yang dipakai Rima. Rok panjang itu lepas menyisakan celana dalam dengan warna dan corak senada. Ini sepertinya satu stel.


"Bu Rima seksi sekali."

"Saya sudah tua, Han."

"Tapi tubuh Bu Rima tidak mengatakan itu."


Rima senang bukan kepalang mendapatkan pujian dari Farhan. Ia hanya tersenyum, lalu mengarahkan kepala Farhan ke tempat yang seharusnya.


"Teruss Han. Agak naik sedikit. Iya, di situ. Aahhh."


Dengan sedikit arahan, Farhan berhasil membuatnya mendesah tak henti-henti. Tipe vagina Rima berbeda dari Winda dan Anne. Dua wanita yang telah disetubuhi Farhan. Sedikit tembam dan bulunya lebat meski Rima merapikannya dengan baik. Untungnya Farhan memiliki lidah yang cukup panjang. Ia berhasil menemukan klitoris yang tersembunyi itu dengan usaha dan panduan dari si empunya.


"Please. Jangan berhenti, Han. Ah. Ah. Ah."

"Mulai hari ini, tugasmu bertambah. Aduuuh Farhaaaaaan."

"Ooohhh. Gila. Aahhh. Kamu berhasil. Ooohhhh."


Farhan berhasil. Ia akan segera jadi favorit Rima dalam memuaskan birahi. Permainan lidahnya saja begini, Ia makin tak sabar merasakan penis itu masuk ke vaginanya.


"Sekarang, Han. Saya sudah nggak tahan."


Blesssss.


Rima hanya bisa mendesah tertahan. Ia hampir saja teriak. Farhan dengan cepat menutup mulutnya. Kini, Ia hanya bisa mendesah, melenguh, juga berpegangan pada apapun di dekatnya. Kenikmatan ini terlalu susah dibayangkan. Rima hanya bisa menikmati setiap detiknya.


"Haaan. Kenapa kamu nggak bilang dari dulu. Oohhhh."


Farhan tidak ingin merespon omongan Rima. Ia hanya fokus pada gerakan penisnya. Seperti tenggelam dan dihisap oleh lubang yang teramat dalam. Rima seperti bukan wanita berusia 40 tahun dan beranak dua. Semuanya masih memabukkan. Farhan tak akan bertahan lama dengan posisi begini.


"Aaahhhh. Kan lagi enak, Han."


Rima tahu apa yang diinginkan Farhan. Ia berdiri, Farhan ganti duduk. Dengan cepat, Ia mengarahkan penis jagoan itu ke vaginanya, lagi.


"Aaaaahhhh. Sedaaaap."


Farhan hanya bisa memejamkan mata. Bodi Rima yang sedikit berisi membuat penisnya makin tenggelam. Ini pengalaman baru. Dua wanita sebelumnya memiliki bentuk tubuh sedikit ramping. Rasanya lain sekali.


"Haaan. Enaaaak."


Rima meracau. Tubuhnya masih naik-turun, meliuk-liuk mengerjai penis Farhan. Sementara laki-laki itu asyik memainkan payudara. Digigiti puting Rima yang sudah mengeras. Bagaimana Rima bisa tahan, kenikmatan ini tak ada duanya.


"Ayoo Haaaan. Cepaaat. Cepaaat."


Farhan ikut berperan. Gerakan mereka berdua kompak. Pertemuan dua kelamin itu menimbulkan suara-suara yang menggairahkan. Kecipak. Kecipak.


"Bu, saya sebentar lagi kayaknya."

"Ayo kita bareeeng. Kamu pikir saya kuat. Ah. Ah."

"Keluar di mana ini, Bu?"

"Keluarin saja, nggak usah tanya."

"Bu. Aaah. Aaah."

"Enak sekali, Han. Aduuuh. Oohhh."


Tubuh mereka menyatu. Terdengar desahan panjang dari keduanya. Pandangan Farhan gelap. Rima menggigit pundak brondongnya. Ia tak kuasa menahan gelombang kenikmatan yang baru saja datang.


"Ini yang terbaik selama beberapa tahun ini."

"Enak sekali, Bu."

"Sudah lama saya tidak merasakan sensasi ini dari suami saya."

"Asalkan Bu Rima puas, saya hanya bisa tersenyum."

"KPI-mu tambah satu ya, Han."

"Indikatornya apa ini?"

"Kepuasan pelanggan."


Mereka tertawa. Rima masih mengenakan kemeja seragamnya meski bentuknya sudah tak karuan. Sensasi yang luar biasa. Seharusnya ini akan menjadi jatah rutin. Selama situasi dan kondisi memungkinkan.


"Saya harus segera pulang, Han. Sudah gelap."

"Bu Rima nggak mandi dulu."

"Di rumah saja."

"Terima kasih ya, Bu."

"Harusnya saya yang bilang begitu."

"Hati-hati di jalan, Bu."

"Sampai jumpa besok ya, Han."


Rima segera hilang dari pandangan. Rumah Farhan memang berada di pinggir jalan. Jadi, tidak ada tetangga-tetangga doyan gosip yang akan mengganggunya. Ini sebenarnya bukan rumah milik dia sendiri. Ya, ini rumah milik Dibyo. Rumah ini sudah lama tidak terpakai. Kecil tersembunyi diantara rumah-rumah besar dan beberapa toko. Dibyo meminta Farhan menempati sekaligus mengurusnya agar tidak terbengkalai. Tidak ada yang tahu kecuali mereka berdua. Kalian tahu, Farhan tidak mungkin memiliki rumah begini. Tadi sebenarnya persetubuhan itu akan dilakukan di ruang arsip. Rima merasa keamanannya tidak terjamin. Karena sudah kepalang nafsu, Farhan mengajukan di rumahnya. Selama ini Ia memang menghindari menggunakan rumah ini untuk kegiatan pemenuhan birahinya. Ia menahan sekuat mungkin agar tidak memakai tempat ini, terutama dengan Winda. Hari ini tidak berlaku lagi. Nafsu mengalahkan segalanya. Kalau begini, jatah dari Rima akan terus Ia pergunakan di sini.


***


Dibyo sedang memegangi kepalanya. Dua gelas kopi semalam ini tidak cukup meredakan apa yang sedang dialami. Ia sudah senang berhasil memaksa Farhan menjalankan idenya. Tinggal selangkah lagi, sang istri malah membuatnya jadi berat. Winda, istrinya, mengajukan sebuah syarat untuk menerima ide Dibyo yang gila itu. Idenya, bukan Dibyo-nya. Syarat itu sebenarnya tidak aneh, juga tidak membutuhkan biaya besar. Hanya saja cukup menyita pikiran untuk mencari jalan keluarnya.


"Han, besok agendamu ke mana?"

"Saya mau ketemu vendor buat Raker, Pak. Ada perintah?"

"Setelah kamu agak senggang saja. Ada yang perlu saya bicarakan."

"Ini soal apa, Pak?"

"Besok saja biar lengkap."

"Baik, Pak. Mungkin setelah istirahat bisa."

"Kalau begitu kita bicara di luar saja."

"Siap, Pak."


Ada berbagai alternatif yang bisa menjadi solusi. Dibyo sedang mencatatnya baik-baik, di dalam otak. Besok adalah langkah pertama, lebih cepat lebih baik.
 
EPISODE 15


RIMA

"Silakan masuk, Bu."

"Kamu tinggal sendirian, Han?"

"Iya, Bu. Jadi maaf kalau sangat berantakan."

"Untuk ukuran bujangan yang tinggal sendirian sih ini lumayan."

"Aduh jadi besar kepala ini."

"Minimal nggak ada handuk sama celana dalam kotor berserakan, lah."

"Untung tadi sudah dibereskan."

"Sebentar, ini nggak akan tiba-tiba digrebek sama tetanggamu?"

"Nggak janji sih, Bu."

"Tapi paling tidak kalau digrebek bukan di kantor sih."

"Maaf ya, Bu. Habisnya tadi saya nggak tahan lihat Ibu."

"Kamu kan sudah hampir setahun lihat saya terus. Kenapa baru sekarang?"

"Sejak kejadian itu pandangan saya ke Bu Rima jadi lain."

"Sebelumnya?"

"Segan lah, Bu. Mana berani saya berpikiran begitu."

"Sekarang sudah berani ya?"

"Kalau ibarat tamu, sudah dipersilakan masuk."

"Kamu sudah nggak takut ditembak sama tentara lagi?"

"Kata yang punya, tentaranya lagi jauh. Pulangnya tahun depan."

"Sama anak muda selalu begini, pemberani."

"Mau gimana lagi, uang nggak punya, pengalaman juga minim."


Tidak tahan, Rima menyergap tubuh Farhan yang masih mengenakan seragam lengkap. Ia juga sama. Mereka berciuman panas sekali. Nafsu Rima sudah di ubun-ubun. Suaminya berangkat minggu lalu. Ini juga hari-hari menjelang mensnya datang. Apalagi, Ia sudah mendapat izin untuk memuaskan birahi dengan orang lain. Bagai singa betina yang lepas dari kandang, Ia meraung mencari pejantan. Ini sudah waktunya kawin. Hasratnya tak bisa dibendung lagi.


"Kamu tahu nggak, saya sudah membayangkan ini sejak lama."

"Saya terkejut, Bu."

"Tubuh kamu bagus, sesuai selera saya. Meski nggak tampan-tampan banget, saya nafsu lihat muka kamu."

"Kalau saya jangan ditanya lagi, Bu."


Masih dengan seragam yang menempel, Rima pelan-pelan melucuti pakaian Farhan. Tak membutuhkan waktu lama, tinggal baju seragam kerja yang membungkus tubuh Farhan. Ia sengaja membiarkan Rima memegang kendali.


"Ereksinya anak muda itu memang beda ya."


Tanpa babibu, Rima mengerjai penis Farhan yang sudah tegak sempurna. Ia benar-benar seperti wanita haus seks. Gerakan bibir dan lidahnya lincah. Ditambah dengan jari-jarinya yang ikut bermain, Farhan dibuat bergidik. Rima tak peduli, fokusnya hanya memainkan senjata milik Farhan.


"Saya nggak menyangka, Bu Rima sebuas ini."


Hanya sebuah senyuman dari bibir yang sedang asyik dengan mainan barunya. Rima belum selesai, Ia terus saja maju-mundur mencari titik lemah di penis Farhan.


"Buu. Aahhhh."


Farhan melepas kepala Rima dengan sedikit paksaan. Kalau tidak, Ia bisa orgasme lebih dulu. Reputasinya akan jatuh jika itu sampai terjadi.


"Maaf, Bu. Saya nggak tahan."

"Kamu tahu kan hukumannya apa?"

"Saya siap menerima hukuman."


Birahi Rima sudah menumpuk, semua ingin segera dituntaskan. Ia duduk di sofa, di ruang tengah rumah Farhan. Tanpa di komando, Farhan sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia melepas kancing kemeja yang dikenakan Rima. Terpampang dua buah gunung yang masih terbungkus penutup tipis. Seksi sekali, pikir Farhan. Rima mengenakan bra tipis berenda yang tak menutupi seluruh bagian payudaranya. Ia memang senang mengenakan pakaian dalam seksi, walaupun ke kantor. Dan kini semua itu ada gunanya.


"Kamu pintar ya ternyata. Jangan-jangan jam terbangnya sudah tinggi."

"Di internet, semua pelajaran itu tersedia, Bu."


Tanpa melepaskan satu helai pakaian, Farhan menikmati payudara Rima. Ada sensasi tersendiri mengerjai salah satu pejabat di kantornya ini dengan masih mengenakan seragam lengkap. Tapi itu tidak berlangsung lama. Farhan melepas bagian bawah setelah yang dipakai Rima. Rok panjang itu lepas menyisakan celana dalam dengan warna dan corak senada. Ini sepertinya satu stel.


"Bu Rima seksi sekali."

"Saya sudah tua, Han."

"Tapi tubuh Bu Rima tidak mengatakan itu."


Rima senang bukan kepalang mendapatkan pujian dari Farhan. Ia hanya tersenyum, lalu mengarahkan kepala Farhan ke tempat yang seharusnya.


"Teruss Han. Agak naik sedikit. Iya, di situ. Aahhh."


Dengan sedikit arahan, Farhan berhasil membuatnya mendesah tak henti-henti. Tipe vagina Rima berbeda dari Winda dan Anne. Dua wanita yang telah disetubuhi Farhan. Sedikit tembam dan bulunya lebat meski Rima merapikannya dengan baik. Untungnya Farhan memiliki lidah yang cukup panjang. Ia berhasil menemukan klitoris yang tersembunyi itu dengan usaha dan panduan dari si empunya.


"Please. Jangan berhenti, Han. Ah. Ah. Ah."

"Mulai hari ini, tugasmu bertambah. Aduuuh Farhaaaaaan."

"Ooohhh. Gila. Aahhh. Kamu berhasil. Ooohhhh."


Farhan berhasil. Ia akan segera jadi favorit Rima dalam memuaskan birahi. Permainan lidahnya saja begini, Ia makin tak sabar merasakan penis itu masuk ke vaginanya.


"Sekarang, Han. Saya sudah nggak tahan."


Blesssss.


Rima hanya bisa mendesah tertahan. Ia hampir saja teriak. Farhan dengan cepat menutup mulutnya. Kini, Ia hanya bisa mendesah, melenguh, juga berpegangan pada apapun di dekatnya. Kenikmatan ini terlalu susah dibayangkan. Rima hanya bisa menikmati setiap detiknya.


"Haaan. Kenapa kamu nggak bilang dari dulu. Oohhhh."


Farhan tidak ingin merespon omongan Rima. Ia hanya fokus pada gerakan penisnya. Seperti tenggelam dan dihisap oleh lubang yang teramat dalam. Rima seperti bukan wanita berusia 40 tahun dan beranak dua. Semuanya masih memabukkan. Farhan tak akan bertahan lama dengan posisi begini.


"Aaahhhh. Kan lagi enak, Han."


Rima tahu apa yang diinginkan Farhan. Ia berdiri, Farhan ganti duduk. Dengan cepat, Ia mengarahkan penis jagoan itu ke vaginanya, lagi.


"Aaaaahhhh. Sedaaaap."


Farhan hanya bisa memejamkan mata. Bodi Rima yang sedikit berisi membuat penisnya makin tenggelam. Ini pengalaman baru. Dua wanita sebelumnya memiliki bentuk tubuh sedikit ramping. Rasanya lain sekali.


"Haaan. Enaaaak."


Rima meracau. Tubuhnya masih naik-turun, meliuk-liuk mengerjai penis Farhan. Sementara laki-laki itu asyik memainkan payudara. Digigiti puting Rima yang sudah mengeras. Bagaimana Rima bisa tahan, kenikmatan ini tak ada duanya.


"Ayoo Haaaan. Cepaaat. Cepaaat."


Farhan ikut berperan. Gerakan mereka berdua kompak. Pertemuan dua kelamin itu menimbulkan suara-suara yang menggairahkan. Kecipak. Kecipak.


"Bu, saya sebentar lagi kayaknya."

"Ayo kita bareeeng. Kamu pikir saya kuat. Ah. Ah."

"Keluar di mana ini, Bu?"

"Keluarin saja, nggak usah tanya."

"Bu. Aaah. Aaah."

"Enak sekali, Han. Aduuuh. Oohhh."


Tubuh mereka menyatu. Terdengar desahan panjang dari keduanya. Pandangan Farhan gelap. Rima menggigit pundak brondongnya. Ia tak kuasa menahan gelombang kenikmatan yang baru saja datang.


"Ini yang terbaik selama beberapa tahun ini."

"Enak sekali, Bu."

"Sudah lama saya tidak merasakan sensasi ini dari suami saya."

"Asalkan Bu Rima puas, saya hanya bisa tersenyum."

"KPI-mu tambah satu ya, Han."

"Indikatornya apa ini?"

"Kepuasan pelanggan."


Mereka tertawa. Rima masih mengenakan kemeja seragamnya meski bentuknya sudah tak karuan. Sensasi yang luar biasa. Seharusnya ini akan menjadi jatah rutin. Selama situasi dan kondisi memungkinkan.


"Saya harus segera pulang, Han. Sudah gelap."

"Bu Rima nggak mandi dulu."

"Di rumah saja."

"Terima kasih ya, Bu."

"Harusnya saya yang bilang begitu."

"Hati-hati di jalan, Bu."

"Sampai jumpa besok ya, Han."


Rima segera hilang dari pandangan. Rumah Farhan memang berada di pinggir jalan. Jadi, tidak ada tetangga-tetangga doyan gosip yang akan mengganggunya. Ini sebenarnya bukan rumah milik dia sendiri. Ya, ini rumah milik Dibyo. Rumah ini sudah lama tidak terpakai. Kecil tersembunyi diantara rumah-rumah besar dan beberapa toko. Dibyo meminta Farhan menempati sekaligus mengurusnya agar tidak terbengkalai. Tidak ada yang tahu kecuali mereka berdua. Kalian tahu, Farhan tidak mungkin memiliki rumah begini. Tadi sebenarnya persetubuhan itu akan dilakukan di ruang arsip. Rima merasa keamanannya tidak terjamin. Karena sudah kepalang nafsu, Farhan mengajukan di rumahnya. Selama ini Ia memang menghindari menggunakan rumah ini untuk kegiatan pemenuhan birahinya. Ia menahan sekuat mungkin agar tidak memakai tempat ini, terutama dengan Winda. Hari ini tidak berlaku lagi. Nafsu mengalahkan segalanya. Kalau begini, jatah dari Rima akan terus Ia pergunakan di sini.


***


Dibyo sedang memegangi kepalanya. Dua gelas kopi semalam ini tidak cukup meredakan apa yang sedang dialami. Ia sudah senang berhasil memaksa Farhan menjalankan idenya. Tinggal selangkah lagi, sang istri malah membuatnya jadi berat. Winda, istrinya, mengajukan sebuah syarat untuk menerima ide Dibyo yang gila itu. Idenya, bukan Dibyo-nya. Syarat itu sebenarnya tidak aneh, juga tidak membutuhkan biaya besar. Hanya saja cukup menyita pikiran untuk mencari jalan keluarnya.


"Han, besok agendamu ke mana?"

"Saya mau ketemu vendor buat Raker, Pak. Ada perintah?"

"Setelah kamu agak senggang saja. Ada yang perlu saya bicarakan."

"Ini soal apa, Pak?"

"Besok saja biar lengkap."

"Baik, Pak. Mungkin setelah istirahat bisa."

"Kalau begitu kita bicara di luar saja."

"Siap, Pak."


Ada berbagai alternatif yang bisa menjadi solusi. Dibyo sedang mencatatnya baik-baik, di dalam otak. Besok adalah langkah pertama, lebih cepat lebih baik.
Beruntungnya konti farhan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd