Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPIDOSE 11


WINDA

Winda tidak bisa menahan dongkol saat suaminya bilang bahwa Reynold, salah satu rekan bisnisnya, mengajak bertemu. Dan Ia sudah menuju hotel. Padahal mereka baru saja tiba. Barang-barang di koper saja belum dikeluarkan. Dengan wajah kesal, Ia berusaha tetap bilang semua akan baik-baik. Winda tidak pernah bisa melarang suaminya. Dibyo sudah melakukan banyak sekali hal yang membuat hidupnya lebih baik. Ia berutang budi untuk hal itu. Tapi perasaan kecewa tak bisa Ia sembunyikan. Liburan ini adalah inisiatif Dibyo. Sejak kejadian ini Winda berpikir bahwa ajakan liburan ke Bali adalah kedok untuk menutupi rencana bertemu koleganya. Ia tahu, keluar malam begini tujuannya untuk urusan lendir. Meski Winda sadar ini bagian dari lobi, tapi kenyataan itu tetap saja membuatnya kesal.


"Papa sampai jam berapa?"

"Tergantung Reynold, Ma. Tapi aku minta nggak sampai pagi lah."

"Ya sudah hati-hati."

"Aku janji besok akan full sama kalian."


Setelah kepergian Dibyo, Winda segera menyegarkan diri. Sudahlah, mau bagaimana lagi. Ia memilih risiko ini untuk dapat hidup lebih baik. Sambil menikmati guyuran air, Ia kemudian sadar. Bukankah ini bisa jadi kesempatan bagi dia untuk menikmati malam bersama Farhan. Tiba-tiba birahinya naik. Tangannya pelan-pelan meremas payudara sekalnya. Ahh. Ia hanya bisa mendesah membayangkan kerinduan akan persetubuhan dengan Farhan dapat terlampiaskan. Buru-buru Ia menyelesaikan mandi. Waktu terus berjalan, Ia harus segera mengajak anak-anaknya makan malam. Semakin cepat sesi makan malam selesai, Ia akan semakin cepat bisa menuntaskan birahi.


"Kita makan malam di mana, Han?"

"Saya ikut Ibu saja,"

"Bapak sudah berangkat?"

"Sudah, Bu."

"Kamu sudah mandi?"

"Sudah juga, Bu."

"Padahal mau saya ajak bareng."

"Apa saya perlu mandi lagi?"

"Nanti saja mandinya."

"Perasaan saya nggak enak, nih."

"Kalau nggak mau sih nggak apa."

"Kita jadi makan di mana?"

"Saya tanya anak-anak dulu ya."


Winda benar-benar tidak sabar. Untung saja Ia membawa beberapa koleksi baju seksinya. Membayangkan memakai baju-baju ini bersama Farhan makin membuatnya panas.


"Anak-anak minta makan di hotel aja. Katanya mau simpan tenaga buat besok."

"Siap, Bu. Kita makan di resto apa pesan antar ke kamar saja?"

"Makan di resto saja."

"Saya pesankan tempat dulu ya, Bu."

"Oke, Han."


Winda segera bersiap. Ia jadi ingin menggoda Farhan. Setelah memilih baju-baju yang dibawa, Winda memutuskan memakai baju terusan dengan model tali di leher. Hanya ada celana dalam di baliknya. Ia sengaja tidak memakai bra. Untuk menyamarkan, Winda memilih cardigan. Setidaknya agar anak-anaknya tidak terlalu protes. Meski mereka membiarkan mamanya tampil seksi, beberapa kali ada protes saat Ia sedikit kelewatan.


Farhan sudah duduk manis restoran. Mejanya ada di pojok. Sedikit terpisah dari yang lain. Libur natal membuat hotel ini ramai. Banyak meja terisi.


"Sudah mulai pesan, Han?"

"Belum, Bu. Silakan Ibu saja yang pilih."

"Anak-anak mau apa?"

"Aku spaghetti boleh."

"Mau ikan dong. Sama pizza enak kayaknya."

"Makannya banyak amat sih, Kak."

"Biarin. Orang lapar."

"Boleh pesan yang banyak kok sayang."

"Farhan?"

"Saya ikan bakar saja, Bu. Sama jus semangka."


Acara makan malam berlangsung santai dan cair. Keakraban antara Farhan dengan Dinan dan Dara membuat Winda hanya bisa tersenyum. Farhan sudah seperti sosok kakak bagi mereka berdua.


"Untuk latihan surfing besok gimana, Han?"

"Sudah saya kontak trainernya, Bu. Bisa latihan di pantai hotel."

"Hooray. Mas Farhan jadi ikut, kan?"

"Ikut dong."

"Kalau gitu udahan, yuk. Aku mau tidur. Menyimpan tenaga."

"Apaan sih, Dik. Jam segini mau tidur."

"Kalau Kakak mau keluar ajak Mas Farhan sana."

"Emang Kakak mau kemana?"

"Ya nggak ada, sih."

"Ya sudah makanya tidur."

"Aku mau ke pantai boleh, nggak?"

"Sudah jam berapa ini, Kak?"

"Ditemenin Mas Farhan, deh."

"Jangan lama-lama ya tapi."

"Siap, Bos."


Winda dan Dara segera kembali ke kamar. Farhan menemani Dinan ke area pantai. Winda sedikit kecewa. Harusnya Ia bisa segera berduaan memacu birahi bersama Farhan. Apa boleh buat, Ia harus melakukan semuanya dengan rapi. Jangan sampai ada yang curiga, termasuk anak-anaknya.


"Saya tunggu di kamar, ya."

"Saya deg-degan, Bu."

"Makanya jangan lama-lama."


Sudah 30 menit berlalu, belum ada tanda-tanda pintu kamar Winda diketuk. Ia mulai gelisah. Bisa saja suaminya tiba-tiba pulang. Meski itu kemungkinannya sangat kecil. Waktu sudah menunjukkan angka 21.30.


"Sudah tidur, Bu?"

"Kamu lama sekali, sih."

"Ini baru jalan balik. Tadi Dinan minta keliling hotel."

"Lari."

"Nanti tenaga saya habis."

"Kayaknya saya ke kamar kamu saja."

"Takut Bapak tiba-tiba pulang ya?"

"Bisa selesai kita berdua."


Winda makin tidak sabar. Ia bahkan sampai menunggu di belakang pintu kamarnya untuk memastikan Farhan sudah lewat.


"Saya sudah di kamar, Bu."


Kalimat itu bikin Winda girang bukan kepalang. Ia sudah seperti remaja tanggung yang mendapatkan pesan dari gebetannya saat dijemput pada kencan pertama. Winda sudah memakai lingerie pilihannya. Pakaian tipis yang hanya menutupi payudara dan vagina. Sisanya adalah renda transparan dengan model tali pada pundak. Siapapun yang melihat Winda dalam kondisi begini sudah pasti akan menelan ludah. Ia beranjak menuju kamar Farhan dengan memakai jaket panjang yang sengaja dibawa. Entah untuk apa saat itu.


"Kamu lama sekali buka pintunya. Kalau ada yang nyulik saya gimana?"

"Berarti rezeki orang itu nemu wanita secantik Ibu."

"Belum apa-apa rayuannya sudah keluar ya."

"Saya kangen sekali, Han."

"Kangen sama yang mana?"

"Pertama, ini. Kedua, ini. Ketiga, ini."


Winda menyentuh bibir, tangan dan penis Farhan berurutan. Farhan masih memakai busana lengkap seperti saat makan malam tadi.


"Ibu semakin nakal ya."

"Menyesuaikan dengan lawannya, dong."


Tidak tahan, Farhan membopong Winda tiba-tiba. Gerakan itu membuat Winda sedikit tersentak. Setelah merebahkan tubuh ramping berambut pirang itu ke kasur, Farhan membuka jaketnya. Betapa terkejutnya Farhan, wanita di depannya mengenakan pakaian yang membuat birahinya makin naik.


"Saya nggak nyangka Ibu menyiapkan semua ini."

"Saya tahu ini hanya kedok Bapak untuk ketemu rekannya itu. Kenapa saya nggak senang-senang juga?"

"Waktu kita nggak banyak, Bu."

"Lakukan yang harus kamu lakukan."


Dua manusia yang dilanda birahi itu sama-sama tidak sabar menuntaskannya. Dengan cepat, tubuh mereka menyatu. Jari-jemari sudah saling tahu harus bagaimana. Bibir keduanya bertaut, mencari harun yang entah di mana tempatnya. Winda benar-benar bergairah. Dengan kelihaian tangannya, Farhan tinggal mengenakan celana dalam. Cepat sekali.


"Ibu nggak bosen kan saya puji?"

"Asal itu tulus, bukan untuk menyenangkan saya."

"Ibu cantik sekali malam ini."

"Terima kasih, Han."

"Boleh, Bu?"

"Itu punya kamu sekarang."


Kepala Farhan kemudian terbenam di antara dua paha milik Winda. Tidak ada yang bisa dikatakan kecuali desahan demi desahan. Winda hanya bisa memejamkan mata sambil terus meremas dan sesekali mencengkeram kepala Farhan.


"Bu?"

"Iya, sayang?"

"Sempurna"


Winda hanya bisa tersenyum. Lalu desahan itu kembali menguasai ruangan. Farhan tidak henti-hentinya memainkan klitoris milik Winda. Kerja sama antara lidah dan jari-jarinya membuat desahan Winda tertahan, saking nikmatnya.


"Saya bisa keluar dulu, Han. Oooohhhh."


Pertahanan Winda tinggal selapis lagi. Ia tak mampu bertahan lebih lama. Farhan masih belum mau mengendurkan serangan. Lidahnya masih asyik menari-nari dan jemarinya juga menjelajah lebih lincah.


"Haaan. Oooohhh. Jangan berhenti. Teruskan. Oooh. Ohhhh."


Gelombang itu akan datang. Tidak ada yang bisa menahannya lagi. Tidak ada.


"AAAAHHHHH"


Farhan megap-megap. Winda menenggelamkan wajahnya di sana. Ada yang muncrat, Farhan tidak tahu namanya. Hampir seluruh wajahnya basah. Ia seperti lendir. Tapi lebih cair. Winda masih memejam. Nafasnya memburu. Huh. Hah. Ia benar-benar payah.


"Sorry, Han."

"Untung saja saya nggak meninggal"

"Kamu yang salah."

"Kok jadi saya?"

"Wanita mana yang bisa nahan?"

"Aduh saya disiram apa ini?"


Winda hanya bisa tertawa. Dalam kondisi begini, sempat-sempatnya Farhan bercanda. Ia membersihkan wajah Farhan dengan tisu. Lucu juga ternyata pemuda ini, pikir Winda. Kalau begini terus bukan tidak mungkin Ia bisa jatuh cinta dengan Farhan.


"Kamu makin pintar ya."

"Gurunya hebat."


Mereka memulai lagi. Dengan waktu terbatas, semua harus dimaksimalkan. Winda tidak mau hal-hal di luar dugaan bisa menimpanya. Dengan mengambil inisiatif, Ia mulai menciumi bibir favoritnya yang baru. Lembut, sedikit tebal, dan legit.


"Nanti saja. Saya mau yang ini."


Winda ditolak saat hendak memainkan penis Farhan. Ia menurut saat Farhan memintanya menungging. Pemuda ini benar-benar cepat belajar. Dengan berpegangan ranjang, Winda merasakan ada benda tegak menyentuh vaginanya. Tubuhnya bergetar. Sebentar lagi Ia hanya bisa mendesah dan berteriak keenakan.


"Ooouuuhhhh."

"Maaf ya, Bu, saya nggak tahan."

"Saya milikmu sekarang, Han."


Winda hanya bisa merem melek sambil menikmati penis gagah itu keluar masuk liang surganya. Meski tidak terlalu panjang, Ia bisa menyentuh dinding rahimnya. Ditambah dengan diameternya yang lumayan, gesekannya membuat Winda kelojotan.


"Kamu pasti siswa yang pintar ya di sekolah."

"Karena gurunya nggak seperti ini, jadi kemampuannya kurang keluar dulu."

"Awww. Haaaan. Cium saya, mana bibirmu."


Farhan makin cepat. Ia benar-benar bergairah. Gerakannya konstan dengan kecepatan di atas rata-rata. Winda tak kuat. Tubuhnya ambruk. Ia hanya bisa mendesah dan meremas sprei. Sementara Farhan makin cepat.


"Han. Han. Han. Ooohhh. Kamu liar sekali. Aaahhh."

"Maaf, Bu. Sedikit lagi. Aahh. Saya nafsu sekali malam ini."

"Teruskan, Han. Aaah. Aaah. Ayo, sedikit lagi. Aaah."

"Ibu seksi sekali. Saya nggak tahan. Ooohhhh."

"FARHAAAAAN AAAAHHHH."

"OOOOHHHH BUUU. SAYAAA OOOOHHHH."


Farhan tidak kuat menahan tubuhnya. Ia ikut ambruk. Menindih Winda yang masih ngos-ngosan. Keringat menyatukan dua insan itu. Farhan menciumi istri bosnya dengan mesra. Tangannya menggenggam jari lentik milik Winda. Penisnya pelan pelan keluar sendiri. Ada sperma bercampur lendir vagina. Farhan tidak peduli kasurnya basah. Ia hanya ingin menikmati sisa-sisa orgasmenya bersama Winda. Wanita yang telah membawanya merasakan kenikmatan ini.


"Saya harus berterima kasih lagi sama Ibu."

"Buat apa, Han?"

"Kalau Ibu tidak sedikit memaksa saya dulu, mana mungkin saya merasakan nikmatnya bercinta."

"Saya juga terima kasih. Kamu benar-benar berhasil memuaskan saya."

"Sumpah. Ibu seksi sekali. Apalagi begini."

"Duh. Lingeriku jadi berantakan begini kan. Kenapa nggak dilepas tadi?"

"Sayang, Bu. Sudah susah-susah pakai. Lagian Ibu jadi lebih seksi."

"Eits. Jangan ditambah. Kalau tiba-tiba Bapak pulang gimana?"

"Hehehe, maaf, Bu."

"Kita harus cari kesempatan terus."

"Tapi tetap hati-hati, Bu."

"Wajib kalau itu."

"Ibu mandi di sini?"

"Malah nggak jadi mandi nanti. Saya balik kamar saja ya."

"Hati-hati, Bu."

"Kamu nggak mau cium saya."


Mereka berciuman. Dalam sekali. Winda sadar pemuda ini tulus sekali. Ia hanya takut Farhan jatuh hati padanya. Begitupun sebaliknya. Ah, Ia harus segera membersihkan diri.


"Mama sudah tidur belum? Papa otw pulang lupa bawa akses kamar."

"Belum, Pa. Berapa menit lagi sampai?"

"10 menit."
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd