Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
Hmmmmmmmmmmmmm......

Itulah mengapa ane ga suka cerbung.
Suka bikin penasaran lanjutan ceritanya.
Apalagi kalau gaya bahasa & tulisannya enak dibaca & kena banget sama feel.
Mantep wes pokok e
 
Bimabet
EPISODE 10

"Mas Farhan bisa surfing, nggak?"

"Nggak bisa, Dar."

"Aku mau belajar surfing dong besok. Boleh ya, Ma, Pa?"

"Boleh. Ajak kakakmu sekalian."

"Yuk, Kak. Nanti kita taruhan siapa yang paling jago."

"Deal. Mas Farhan juga ikut taruhan ya."

"Oke, siapa takut. Hadiahnya apa, nih?"

"Nanti kita bahas."

"Salaman dulu."


Semenjak kedatangan Farhan dalam hidupnya, Dibyo seperti punya anak tambahan. Ia memang telah memiliki anak dari pernikahan sebelumnya. Tapi mereka tidak terlampau akrab. Sejak bercerai, anak pertamanya ikut dengan mantan istrinya. Sesekali sang anak memang datang. Ia juga tidak melupakan tanggung jawab untuk memberikan biaya hidup hingga dua tahun lalu sang anak mulai bekerja. Maka kehadiran Farhan adalah salah satu rezeki. Anak-anaknya juga menerima dengan tangan terbuka. Mereka malah akrab sekali dengan Farhan seperti kakak mereka sendiri. Dua anak Dibyo dengan Winda bernama Dinan dan Dara. Dinan tumbuh menjadi remaja laki-laki di usia 13 tahun. Sedangkan Dara sedang aktif-aktifnya di usia 10 tahun.


"Berarti agenda ke Bali cuma belajar surfing, nih?"

"Ya tidak dong, Ma. Masak seharian mau surfing terus."

"Tau nih, Mama. Semua harus dicoba dong."

"Dih, Mama nggak mau nemenin ah kalau panas-panasan."

"Biarin. Masih ada Mas Farhan."

"Kalau Mas nggak diajak Papa sih mau-mau aja."

"Oke berarti kita paksa Papa. Sudah liburan begini kok ya masih mau kerja terus."

"Marahin tuh Papa."

"Tugasmu nambah nih, Han."

"Bayarannya dobel ya Pak berarti?"


Mereka tertawa. Farhan sudah seperti bagian dari keluarga itu. Teman-teman di kantornya menjuluki Farhan sebagai anak pertama Dibyo. Tidak salah jika melihat bagaimana Ia melebur ke keluarga Dibyo. Ia sendiri menolak panggilan Om dari Dinan dan Dara ketika pertama kali berkenalan. Ia merasa panggilan itu membuatnya nampak tua. Kedekatan dengan kedua anaknya juga menjadi alasan kepercayaan yang diberikan Dibyo kepada Farhan. Sesuatu yang tidak bisa Ia lakukan. Dibyo merasa jarak usia dengan anak-anaknya terlampau jauh. Ia tidak bisa seperti Farhan. Dibyo memaksimalkan saja apa yang Ia bisa. Soal lain biar menjadi urusan Winda. Dan kini Farhan ikut berperan. Farhan juga asyik-asyik saja. Hidup sendiri membuatnya merindukan sosok keluarga. Dan puzzle itu bisa Ia temukan di keluarga Dibyo. Itu di luar hubungan spesial dengan Winda ya.


***


Rombongan itu tiba di hotel menjelang malam. Di Bali sudah pukul 6 sore. Langit sudah mulai gelap. Masing-masing masuk ke kamarnya. Dinan dan Dara yang terbiasa menginap terpisah dengan orang tuanya saat bepergian santai saja masuk ke kamarnya. Ada jarak satu kamar memang antara Winda dengan anak-anaknya. Sementara Farhan menempati kamar suite yang berada di depan area villa.


"Halo, Han."

"Iya, Pak. Bagaimana?"

"Si Reynold malah bilang ngajak keluarnya malam ini. Dia sudah otw ke hotel."

"Bapak sudah bilang Ibu?"

"Sudah. Ya agak cemberut, sih. Kamu handle ya."

"Duh saya yang kena batunya."

"Tapi kita temui Reynold dulu lah di depan."

"Saya bersih-bersih dulu ya, Pak."

"Nanti saya kabari saja kalau di sampai."

"Siap, Pak."


Farhan jadi deg-degan. Bisa jadi kerinduannya akan tubuh Winda tersalurkan malam ini. Tapi ya sungkan juga kalau Ia mau memulai.


"Sebulan nggak ketemu makin ganteng saja kamu, Han."

"Ini semua berkat Dibyo Foundation, Pak Rey."

"Hahaha. Kamu ini selalu ada saja."

"Kita ngopi dulu di sini?"

"Sudah jam berapa ini, Pak Dib. Katanya jangan pagi-pagi pulangnya."

"Susah ini. Baru datang kok sudah dijemput."

"Farhan nggak ikut? Mumpung di Bali lho ini, Han."

"Saya jadi tumbal ini, Pak Rey. Siapa yang jadi baby sitternya dua bocah itu."

"Ah iya, saya lupa. Saya pikir kalian cuma berdua ke sini."

"Inilah fungsinya Farhan, Pak Rey."

"Mau gimana lagi ya, Han. Namanya juga nasib."

"Nggak apa Pak Rey, bayaran dobel katanya."


Dibyo dan Reynold pamit. Paling cepat mungkin pukul 2 dini hari mereka akan selesai.


"Saya itu sering heran sama Pak Dibyo. Istri cantik dan muda begitu malah sering ditinggal begini. Memang hobi atau gimana sih, Pak?"

"Saya itu dari muda memang suka begini Pak. Makanya waktu Pak Reynold pertama kali nawari saya, langsung gas kan."

"Kita punya hobi yang sama ternyata."

"Sama seperti orang makan lah, Pak. Di rumah makan ayam betutu terus kan ya bosen. Harus ada variasi ayam taliwang, ayam krispi, ayam hainan, atau ayam-ayam yang lain. Pak Reynold pasti merasa begitu, kan?"


"Perumpamaan yang tepat. Tapi bedanya, istri saya itu usianya nggak jauh dari saya, Pak Dib. Lah istri Bapak masih muda begitu. Apa nggak sayang gitu lho."

"Namanya juga kesenangan, Pak. Susah buat menghilangkan."

"Iya juga, sih. Saya juga begitu."

"Ada kenikmatan tersendiri kan setiap kali dapat yang sesuai kriteria?"

"Ah. Itu benar sekali. Apalagi ternyata servisnya luar biasa. Nggak pengen pulang kadang."

"Tapi kembali ke prinsip awal, Pak Rey. Selalu ingat rumah. Jadi kita nggak kelepasan dan kebablasan."

"Ini yang saya suka dari Pak Dibyo. Selalu pulang."

"Pak Reynold nggak punya rumah lain, kan?"

"Jujur nih, Pak. Saya sempat punya sekali dulu. 10 tahun yang lalu sepertinya. Tapi ternyata nggak enak. Wong saya itu sukanya nyoba berbagai jenis rasa ayam. Kan ya sama saja kalau memelihara 1 ayam. Apa bedanya?"

"Tepat sekali, Pak. Kalau kebanyakan main, pas nyoba yang di rumah itu rasanya. Beh. Nikmat, Pak."

"Tapi ini pertanyaan serius. Pak Dib pernah mencoba dengan teman atau orang-orang dekat lain?"

"Jujur pernah, Pak. Tapi ternyata saya nggak suka. Dan lagi risikonya besar. Reputasi saya dan keluarga bisa hancur kalau ketahuan, Pak. Saya bukan orang yang pintar sembunyi-sembunyi begitu."

"Sudahlah. Kita itu memang klop, Pak Dib. Setipe. Cocok 100% lah."

"Itu mungkin yang bikin bisnis kita lancar."

"Kalau itu jelas. Wong ya sudah tahu kelakuan masing-masing."


Dua lelaki paruh baya itu tidak berhenti tertawa. Selalu ada alasan atas kelakuan seseorang. Entah itu dalam hal positif maupun negatif. Atau ya itu pembenaran saja atas tindakan-tindakan tidak wajar yang telah dilakukan. Kalau sudah begini, Dibyo akan lupa segalanya. Ia hanya fokus pada wanita-wanita yang ada di hadapannya. Tidak ada dalam pikirannya, Winda, istrinya yang cantik dan menggairahkan itu. Semua hilang berganti dengan kenikmatan sesaat dari wanita muda yang menjual tubuhnya dalam balutan pijat, karaoke, atau lainnya.


"Pak Dib, saya punya pertanyaan lagi."

"Apa itu, Pak Rey?"


Reynold benar-benar belum puas mengorek kelakuan Dibyo dan bagaimana kondisi keluarganya. Mereka sedang tengkurap dan dipijat oleh dua gadis yang masing-masing sesuai selera.


"Pak Dibyo pernah mikir bagaimana istri Bapak mendapatkan kepuasan? Saya bisa taruhan Bapak jarang main sama istri, kan."

"Bapak selalu bisa menebak kebiasaan saya. Kalau mikir ya pasti, Pak. Bahkan akhir-akhir ini intensitasnya sering."

"Cerita pengalaman saya ya Pak Dib. Dulu waktu saya dan istri masih seusia istri Pak Dibyo, saya terang-terangan mempersilakan istri saya nyari laki-laki lain buat memenuhi kebutuhannya."

"Apa istri Pak Reynold nggak tersinggung?"

"Awalnya bertengkar, Pak. Suami mana yang begitu bodoh nyuruh istrinya ngentot sama orang lain."

"Lah itu, Pak. Mau ditaruh mana mukanya."

"Tapi saya mikir lagi, Pak. Kelakuan saya juga begitu. Persis dengan sekarang ini. Belum berubah. Semakin jahat jika saya membiarkan istri tidak terpuaskan secara batin."

"Bagaimana akhirnya istri Pak Reynold menerima?"

"2 bulan kemudian kami bikin kesepakatan, Pak. Kalau kata anak sekarang, namanya open relationship."

"Istilah apa lagi itu, Pak."

"Kami bebas berhubungan dengan siapapun. Asal dilakukan dengan aman, bersih, dan tidak ada yang tahu. Ya artinya jangan sampai merusak nama baik keluarga."

"Lalu, Pak?"

"Istri saya melakukan itu. Awalnya saya tidak tahu bagaimana dan dengan siapa. Tapi namanya penasaran."

"Pak Reynold cari tahu?"

"Sedikit. Dia ternyata main dengan semacam gigolo gitu. Biasalah, kumpulan ibu-ibu pasti ada yang seperti itu."

"Sampai sekarang, Pak?"

"Istri saya sudah menopause. Katanya nggak kepikiran soal seks lagi. Makin enak di saya akhirnya."

"Tidak ada beban lagi ya, Pak Rey."

"Benar. Dia tahu kelakuan saya masih begini. Pesannya cuma satu, jangan sampai punya simpanan, selingkuhan, gadun, atau apalah itu namanya. Harus pulang."

"Saya belum seberani itu, Pak Rey. Masih belum ada bayangan rasanya."

"Saya tidak memaksa dan menyarankan Pak Dibyo melakukan hal seperti saya. Kan cuma cerita pengalaman."

"Saya belajar banyak dari Pak Reynold."

"Kata kuncinya itu tadi, Pak: pulang. Ya karena rumah tangga kita adalah salah satu hal yang membawa kita sampai di sini. Benar, kan?"

"Saya setuju poin itu, Pak."

"Kayaknya saya duluan, Pak Dib. Anak cantik ini kok mulai nakal tangannya."

"Sikat, Pak Rey. Jangan kasih ampun."


Dibyo jadi ikutan panas dipamiti oleh Reynold. Ia mulai menggoda terapisnya. Dan wanita berusia 25 tahun ini tahu apa yang harus dilakukan. Yang terjadi berikutnya adalah desahan dua manusia yang sedang bermain alat kelamin. Seperti biasa, meski tidak masuk dalam kategori ejakulasi dini, tidak butuh waktu lama untuk membuat Dibyo mengeluarkan sperma.


"Saya masih kepikiran omongan Pak Reynold tadi. Menurutmu gimana pendapatnya?"


Dibyo malah mengajak terapisnya berbincang dan memintainya pendapat. Mereka masih berpelukan, tanpa busana.


"Kalau saya sih setuju-setuju saja, Pak. Wanita kan juga butuh yang begitu, nggak cuma laki-laki saja."

"Duh, tapi mana ikhlas saya lihat istri saya main sama orang lain."

"Istri Bapak kira-kira ikhlas nggak lihat Bapak begini?"

"Belum tahu, sih. Tapi ya kayaknya marah juga. Meski saya yakin dia sudah tahu. Belum lihat langsung saja."

"Berarti kan mending terus terang, Pak. Sama-sama enak."

"Masuk akal sih."

"Benar Pak Reynold tadi. Kuncinya adalah pulang."

"Kamu pintar juga."

"Gini-gini saya sarjana, Pak."

"Oh ya. Kok jadi begini?"

"Namanya butuh uang, Pak. Gaya hidup di Bali mahal."

"Kalau begitu saya mau satu kali lagi."

"Kalau Bapak masih kuat sih ayok. Tambahin ya tapi."

"Sebutkan kamu mau berapa."
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd