Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 8

Akhir pekan yang luar biasa bagi Farhan. Persetubuhan kedua dengan Winda, menikmati Anne, serta lobi bisnis yang mendekati berhasil. Kehidupan Farhan benar-benar sulit ditebak. Sebagai orang yang tidak pernah berekspektasi berlebihan, semua kejutan ini terasa menyenangkan. Di semua bagian. Mulai dari pekerjaan hingga urusan selangkangan. Tidak ada dalam pikiran bahwa Ia kemudian akan bisa bersetubuh dengan istri bosnya sendiri. Lalu dengan rekan bisnis bosnya. Setelah ini siapa lagi, entahlah. Farhan tidak pernah mau berandai-andai. Ia menjalani hidupnya hanya dengan semangat bahwa esok ada yang dimakan. Sederhana.


Setelah akhir pekan yang menguras tenaga, Farhan memulai minggu ini dengan sedikit santai. Beban di kantornya mulai mereda setelah berkas-berkas untuk laporan akhir tahun selesai dikirim. Ia hanya perlu mengikuti agenda Dibyo yang tidak cukup padat. Ini baru hari Rabu, tidak ada yang mengejutkan.


"Padahal sudah kangen, tapi malah mens."


Pesan dari Winda masuk ke ponsel Farhan. Seminggu ke depan tidak ada lagi tempat menyalurkan hasrat. Ia akan kembali ke sabun-sabun di kamar mandinya. Namanya juga hidup, kadang enak kadang juga sedikit bikin sakit kepala.


RIMA

"Ngelamun terus nih perjaka."

"Eh, Bu Rima. Lagi pengangguran nih, Bu."

"Mana Bapakmu? Mau minta tanda tangan."

"Tadi diajak makan sama Pak Asisten."

"Kasihan nggak diajak."

"Katanya urusan penting, Bu."

"Lagi ngomongin jabatan itu pasti. Mau ada perputaran."

"Wah Pak Dibyo ikut gerbong, Bu?"

"Mana mungkin, Han. Bapak kita itu terlalu kuat di sini."

"Terus?"

"Kita tunggu saja. Belum dapat kisi-kisinya."

"Emang dasar infotainment."

"Akurat, tajam, terpercaya."

"Bu Rima, Farhan, ikut makan siang yuk!"

"Tadi saya itu sudah dicekoki bubur madura sama Ratih, sudah nggak muat lagi."

"Saya juga skip. Lagi malas keluar. Titip saja, deh."

"Tidak menerima penitipan. Biarin mati kelaparan."


Nampaknya hanya tersisa mereka berdua di kantor ini. Biasanya ada Pak Halim, penjaga kantor, tapi nampaknya Ia ikut menghilang juga. Minggu depan sudah natal, kantor ini mulai kekurangan kegiatan seperti biasa. Agenda outing baru akan dilakukan awal tahun depan.


"Kenapa jalan-jalannya nggak dimajukan minggu depan saja sih, Bu, biar sekalian."

"Dipikir gampang minta anggarannya."

"Namanya juga usaha, Bu."

"Menjaga kredibilitas katanya. Jangan seperti yang lain, akhir tahun malah buang-buang anggaran."

"Memang sudah habis duluan anggarannya."


Pembicaraan Rima dan Farhan terhenti setelah beberapa saat. Rima pamit ke kamar mandi sedangkan Farhan memilih ke tempat persembunyiannya, gudang arsip. Biasanya Ia akan tidur di sana tanpa ada yang mengganggu.


"Kamu di mana, Han?"


Pesan dari Rima masuk ke ponsel Farhan. Ah mengganggu saja, pikir Farhan.


"Lagi mau siap-siap tidur, Bu."

"Yee. Saya jangan ditinggalin sendirian dong. Kalau diculik setan gimana."

"Setannya mikir-mikir juga kayaknya, Bu."

"Tidur di mana kamu itu?"

"Duh. Ketahuan dong nanti tempat semedi saya."

"Saya tahu nih."


Tak lama, terdengar bunyi pintu diketuk. Sialan, ketahuan. Farhan agak lemas menuju pintu.


"Kamu lupa saya penguasa kantor ini."

"Padahal cuma saya yang tahu tempat ini."

"Kok jadi bersih dan rapi begini, Han."

"Kapan terakhir kali Bu Rima kemari?"

"Sampai lupa. Biasanya cuma nyuruh Siti atau Pak Gun untuk naruh berkas di sini."

"Saya sama Pak Gun yang sering bersihin."

"Ini kasur dapat dari mana?"

"Dari gudang. Bekas POR dulu masih bagus-bagus."

"Enak juga jadinya."


Rima malah merebahkan badannya di kasur kecil berukuran 120cm. Meski itu lebih mirip ke matras, sih. Tapi bentuknya masih bagus dan empuk. Melihat Rima rebahan, pikiran Farhan malah sedikit terganggu. Tonjolan besar dibalik seragam coklat yang dikenakan Rima agak mengganggu konsentrasinya. Mana mereka hanya berdua di ruangan ini.


"Jadi selain ngekor bapakmu, kalau hilang kamu pasti di sini?"

"Ya nggak selalu sih, Bu. Kalau lagi nganggur dan ngantuk saja."


Ruangan ini sedikit terpisah dari bangunan utama. Ada di pojokan, dekat dengan gudang penyimpanan barang bekas. Sementara Farhan sedang bingung dengan pikirannya sendiri, Rima justru makin nyaman. Ia masih rebahan sambil memainkan ponselnya.


"Kasian cuma lihat. Nggak jadi tidur ya?"

"Bu Rima, sih, pakai ke sini segala."

"Kalau mau tidur ya tidur saja, Han."

"Kan kasurnya cuma satu, Bu."

"Ya di sini, sebelah saya."


Aduh, apa lagi ini. Farhan makin salah tingkah. Ia tidak tahu harus bagaimana. Mungkin jika kondisi ini terjadi sebelum Ia kenal seks dengan Winda, tidak akan masalah. Farhan pasti akan berlalu meninggalkan Rima seperti biasa. Masalahnya, semenjak persetubuhan itu, ditambah kejadian dengan Anne, otak Farhan makin ngeres. Ia tidak bisa lagi memandang wanita seperti biasa. Selalu ada bayangan fisik yang memenuhi otaknya. Ukuran payudara, bentuk bokong, atau bagian tubuh lainnya. Farhan baru menyadari bahwa seks telah mengubahnya. Ia jadi makin cabul, tak ada beda dengan Dibyo. Hanya saja tak berani blak-blakan.


"Duh, saya takut ditembak sama Pak Tentara, Bu."


Entahlah. Kalimat itu muncul begitu saja. Bukannya menghindar, Farhan malah menangkap umpan itu dengan sempurna.


"Itu kalau ketahuan, kalau enggak kan aman."


Bukan Rima namanya jika tidak balas menggoda. Sudah lama Ia menantikan momen ini. Berdua dengan Farhan. Pemuda yang Ia yakini masih perjaka. Selain terlihat polos, Farhan juga tidak neko-neko. Beberapa kali memang Rima berusaha menggoda Farhan tapi tidak pernah berhasil. Malah Ia sering merasa ditolak. Maka ketika umpannya malah dibalas begitu oleh Farhan, kesempatan ini tidak boleh dilewatkan.


"Risikonya ngeri tapi, Bu. Lawannya bersenjata."


Farhan terus saja memancing. Ia tak mau buru-buru. Ia tahu Rima memang beberapa kali menggodanya. Tapi baru sekali ini mereka berada di momen seperti ini. Sebenarnya Farhan tidak tahan, tapi Ia masih memikirkan risiko itu. Dan, tempatnya sangat tidak aman.


"Tapi senjatanya sudah ada pawangnya, sih. Jadi bisa dijinakkan."


Rima benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan. Ia membalas umpan Farhan dengan wajah yang sangat menggoda. Wanita ini memiliki paras yang memabukkan. Ditambah bentuk tubuhnya yang bikin siapa saja menelan ludah.


"Apa buktinya?"


Farhan sudah tidak sabar. Waktu makin terbatas. Teman-teman kantornya tidak lama lagi akan kembali. Kalau tidak sekarang, belum tentu hal seperti ini akan datang lagi.


"Sejak kapan kamu jadi berani begini, Han?"


Rima bangkit. Ia berbisik pas di telinga Farhan. Bulu kuduk Farhan langsung berdiri seketika. Ia hanya tak menyangka keberaniannya dibalas dengan lebih ekstrem.


"Siapa yang bisa tahan di kondisi seperti ini dengan Bu Rima?"


Farhan membalas. Bisikannya malah lebih dekat. Dan panas. Rima sampai merinding. Suaminya terakhir pulang bulan lalu. Dan ini seminggu sebelum waktu biasanya Ia datang bulan. Birahi sedang tinggi-tingginya.


"Kalau begitu kamu harus tanggung jawab."


Posisi mereka berdua belum berubah. Farhan sedang berdiri menyender ke rak berisi arsip-arsip dokumen. Rima berada di depannya. Postur Rima yang lebih pendek membuatnya sedikit berjinjit. Mereka belum bergerak. Batas antara iya dan tidak begitu tipis. Dengan sedikit keberanian eksekusi, mereka akan memasuki babak baru dalam hubungan antar rekan kerja. Hubungan itu akan berubah selamanya. Bisa jadi ini hanya sekali saja terjadi, tapi siapa yang tahu kalau ini juga bisa berlangsung lebih lama. Otak Farhan masih berputar. Memikirkan untung dan rugi melanjutkan momen ini. Rima tidak kalah bingung. Jika terjadi, ini bukan pertama kali Ia berselingkuh dari sang suami. Kalau tidak salah, sudah tiga kali Ia merasakan penis lelaki lain memasuki vaginanya. Maklum, dengan hubungan jarak jauh seringkali hasratnya menggebu meminta dipuaskan. Rima sadar, libidonya cenderung tinggi.


"Saya tidak tahu apakah kondisinya memungkinkan, Bu."


Farhan mulai ragu. Bisa saja tiba-tiba Pak Halim masuk dan memergoki mereka. Atau Siti yang juga sering diminta Rima kemari.


"Tanggung, Han. Kita sudah nyebur."


Rima benar-benar tidak ingin kehilangan momen ini. Belum tentu Farhan akan mau di lain kesempatan. Sekarang atau tidak sama sekali.


"Saya percaya sama Bu Rima."


Seminggu ke depan, Farhan tidak bisa menyetubuhi Winda. Kini kesempatan baru ada di depan mata. Ia tahu, bisa saja semua tidak berulang. Sikat saja dulu, risiko urusan belakang.


"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?"

"Saya tidak yakin, Bu. Yang saya tahu Bu Rima sudah berpengalaman."

"Kalau begitu, kamu ikuti saya."

"Mudah-mudahan tidak mengecewakan, Bu."


Farhan mendapatkan yang ketiga. Masih dengan wanita yang jauh dari usianya. Ia tidak tahu. Apakah memang begini takdirnya atau sebenarnya Ia menyenangi yang lebih tua. Atau orang seperti dia adalah selera wanita-wanita seusia Rima? Entahlah. Farhan hanya tahu bahwa sebentar lagi Ia akan bisa menikmati tubuh Rima. Wanita yang sering jadi bahan bercanda para laki-laki baik di kantornya atau pun beberapa kantor di sekitarnya. Semua bermuara pada satu hal: tubuh Rima sangat menggairahkan. Sedikit berisi, payudara besar, dan wajah sensual. Kurang apalagi Ia sebagai wanita idaman para lelaki mata keranjang? Ah. Farhan tak menyangka justru Ia yang akan menikmati anugerah ini. Ia tak peduli sudah berapa orang yang menikmati tubuh itu selain suaminya. Tubuh itu ada di hadapan Farhan. Hanya ada satu kata: Hajar.
 
EPISODE 8

Akhir pekan yang luar biasa bagi Farhan. Persetubuhan kedua dengan Winda, menikmati Anne, serta lobi bisnis yang mendekati berhasil. Kehidupan Farhan benar-benar sulit ditebak. Sebagai orang yang tidak pernah berekspektasi berlebihan, semua kejutan ini terasa menyenangkan. Di semua bagian. Mulai dari pekerjaan hingga urusan selangkangan. Tidak ada dalam pikiran bahwa Ia kemudian akan bisa bersetubuh dengan istri bosnya sendiri. Lalu dengan rekan bisnis bosnya. Setelah ini siapa lagi, entahlah. Farhan tidak pernah mau berandai-andai. Ia menjalani hidupnya hanya dengan semangat bahwa esok ada yang dimakan. Sederhana.


Setelah akhir pekan yang menguras tenaga, Farhan memulai minggu ini dengan sedikit santai. Beban di kantornya mulai mereda setelah berkas-berkas untuk laporan akhir tahun selesai dikirim. Ia hanya perlu mengikuti agenda Dibyo yang tidak cukup padat. Ini baru hari Rabu, tidak ada yang mengejutkan.


"Padahal sudah kangen, tapi malah mens."


Pesan dari Winda masuk ke ponsel Farhan. Seminggu ke depan tidak ada lagi tempat menyalurkan hasrat. Ia akan kembali ke sabun-sabun di kamar mandinya. Namanya juga hidup, kadang enak kadang juga sedikit bikin sakit kepala.


RIMA

"Ngelamun terus nih perjaka."

"Eh, Bu Rima. Lagi pengangguran nih, Bu."

"Mana Bapakmu? Mau minta tanda tangan."

"Tadi diajak makan sama Pak Asisten."

"Kasihan nggak diajak."

"Katanya urusan penting, Bu."

"Lagi ngomongin jabatan itu pasti. Mau ada perputaran."

"Wah Pak Dibyo ikut gerbong, Bu?"

"Mana mungkin, Han. Bapak kita itu terlalu kuat di sini."

"Terus?"

"Kita tunggu saja. Belum dapat kisi-kisinya."

"Emang dasar infotainment."

"Akurat, tajam, terpercaya."

"Bu Rima, Farhan, ikut makan siang yuk!"

"Tadi saya itu sudah dicekoki bubur madura sama Ratih, sudah nggak muat lagi."

"Saya juga skip. Lagi malas keluar. Titip saja, deh."

"Tidak menerima penitipan. Biarin mati kelaparan."


Nampaknya hanya tersisa mereka berdua di kantor ini. Biasanya ada Pak Halim, penjaga kantor, tapi nampaknya Ia ikut menghilang juga. Minggu depan sudah natal, kantor ini mulai kekurangan kegiatan seperti biasa. Agenda outing baru akan dilakukan awal tahun depan.


"Kenapa jalan-jalannya nggak dimajukan minggu depan saja sih, Bu, biar sekalian."

"Dipikir gampang minta anggarannya."

"Namanya juga usaha, Bu."

"Menjaga kredibilitas katanya. Jangan seperti yang lain, akhir tahun malah buang-buang anggaran."

"Memang sudah habis duluan anggarannya."


Pembicaraan Rima dan Farhan terhenti setelah beberapa saat. Rima pamit ke kamar mandi sedangkan Farhan memilih ke tempat persembunyiannya, gudang arsip. Biasanya Ia akan tidur di sana tanpa ada yang mengganggu.


"Kamu di mana, Han?"


Pesan dari Rima masuk ke ponsel Farhan. Ah mengganggu saja, pikir Farhan.


"Lagi mau siap-siap tidur, Bu."

"Yee. Saya jangan ditinggalin sendirian dong. Kalau diculik setan gimana."

"Setannya mikir-mikir juga kayaknya, Bu."

"Tidur di mana kamu itu?"

"Duh. Ketahuan dong nanti tempat semedi saya."

"Saya tahu nih."


Tak lama, terdengar bunyi pintu diketuk. Sialan, ketahuan. Farhan agak lemas menuju pintu.


"Kamu lupa saya penguasa kantor ini."

"Padahal cuma saya yang tahu tempat ini."

"Kok jadi bersih dan rapi begini, Han."

"Kapan terakhir kali Bu Rima kemari?"

"Sampai lupa. Biasanya cuma nyuruh Siti atau Pak Gun untuk naruh berkas di sini."

"Saya sama Pak Gun yang sering bersihin."

"Ini kasur dapat dari mana?"

"Dari gudang. Bekas POR dulu masih bagus-bagus."

"Enak juga jadinya."


Rima malah merebahkan badannya di kasur kecil berukuran 120cm. Meski itu lebih mirip ke matras, sih. Tapi bentuknya masih bagus dan empuk. Melihat Rima rebahan, pikiran Farhan malah sedikit terganggu. Tonjolan besar dibalik seragam coklat yang dikenakan Rima agak mengganggu konsentrasinya. Mana mereka hanya berdua di ruangan ini.


"Jadi selain ngekor bapakmu, kalau hilang kamu pasti di sini?"

"Ya nggak selalu sih, Bu. Kalau lagi nganggur dan ngantuk saja."


Ruangan ini sedikit terpisah dari bangunan utama. Ada di pojokan, dekat dengan gudang penyimpanan barang bekas. Sementara Farhan sedang bingung dengan pikirannya sendiri, Rima justru makin nyaman. Ia masih rebahan sambil memainkan ponselnya.


"Kasian cuma lihat. Nggak jadi tidur ya?"

"Bu Rima, sih, pakai ke sini segala."

"Kalau mau tidur ya tidur saja, Han."

"Kan kasurnya cuma satu, Bu."

"Ya di sini, sebelah saya."


Aduh, apa lagi ini. Farhan makin salah tingkah. Ia tidak tahu harus bagaimana. Mungkin jika kondisi ini terjadi sebelum Ia kenal seks dengan Winda, tidak akan masalah. Farhan pasti akan berlalu meninggalkan Rima seperti biasa. Masalahnya, semenjak persetubuhan itu, ditambah kejadian dengan Anne, otak Farhan makin ngeres. Ia tidak bisa lagi memandang wanita seperti biasa. Selalu ada bayangan fisik yang memenuhi otaknya. Ukuran payudara, bentuk bokong, atau bagian tubuh lainnya. Farhan baru menyadari bahwa seks telah mengubahnya. Ia jadi makin cabul, tak ada beda dengan Dibyo. Hanya saja tak berani blak-blakan.


"Duh, saya takut ditembak sama Pak Tentara, Bu."


Entahlah. Kalimat itu muncul begitu saja. Bukannya menghindar, Farhan malah menangkap umpan itu dengan sempurna.


"Itu kalau ketahuan, kalau enggak kan aman."


Bukan Rima namanya jika tidak balas menggoda. Sudah lama Ia menantikan momen ini. Berdua dengan Farhan. Pemuda yang Ia yakini masih perjaka. Selain terlihat polos, Farhan juga tidak neko-neko. Beberapa kali memang Rima berusaha menggoda Farhan tapi tidak pernah berhasil. Malah Ia sering merasa ditolak. Maka ketika umpannya malah dibalas begitu oleh Farhan, kesempatan ini tidak boleh dilewatkan.


"Risikonya ngeri tapi, Bu. Lawannya bersenjata."


Farhan terus saja memancing. Ia tak mau buru-buru. Ia tahu Rima memang beberapa kali menggodanya. Tapi baru sekali ini mereka berada di momen seperti ini. Sebenarnya Farhan tidak tahan, tapi Ia masih memikirkan risiko itu. Dan, tempatnya sangat tidak aman.


"Tapi senjatanya sudah ada pawangnya, sih. Jadi bisa dijinakkan."


Rima benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan. Ia membalas umpan Farhan dengan wajah yang sangat menggoda. Wanita ini memiliki paras yang memabukkan. Ditambah bentuk tubuhnya yang bikin siapa saja menelan ludah.


"Apa buktinya?"


Farhan sudah tidak sabar. Waktu makin terbatas. Teman-teman kantornya tidak lama lagi akan kembali. Kalau tidak sekarang, belum tentu hal seperti ini akan datang lagi.


"Sejak kapan kamu jadi berani begini, Han?"


Rima bangkit. Ia berbisik pas di telinga Farhan. Bulu kuduk Farhan langsung berdiri seketika. Ia hanya tak menyangka keberaniannya dibalas dengan lebih ekstrem.


"Siapa yang bisa tahan di kondisi seperti ini dengan Bu Rima?"


Farhan membalas. Bisikannya malah lebih dekat. Dan panas. Rima sampai merinding. Suaminya terakhir pulang bulan lalu. Dan ini seminggu sebelum waktu biasanya Ia datang bulan. Birahi sedang tinggi-tingginya.


"Kalau begitu kamu harus tanggung jawab."


Posisi mereka berdua belum berubah. Farhan sedang berdiri menyender ke rak berisi arsip-arsip dokumen. Rima berada di depannya. Postur Rima yang lebih pendek membuatnya sedikit berjinjit. Mereka belum bergerak. Batas antara iya dan tidak begitu tipis. Dengan sedikit keberanian eksekusi, mereka akan memasuki babak baru dalam hubungan antar rekan kerja. Hubungan itu akan berubah selamanya. Bisa jadi ini hanya sekali saja terjadi, tapi siapa yang tahu kalau ini juga bisa berlangsung lebih lama. Otak Farhan masih berputar. Memikirkan untung dan rugi melanjutkan momen ini. Rima tidak kalah bingung. Jika terjadi, ini bukan pertama kali Ia berselingkuh dari sang suami. Kalau tidak salah, sudah tiga kali Ia merasakan penis lelaki lain memasuki vaginanya. Maklum, dengan hubungan jarak jauh seringkali hasratnya menggebu meminta dipuaskan. Rima sadar, libidonya cenderung tinggi.


"Saya tidak tahu apakah kondisinya memungkinkan, Bu."


Farhan mulai ragu. Bisa saja tiba-tiba Pak Halim masuk dan memergoki mereka. Atau Siti yang juga sering diminta Rima kemari.


"Tanggung, Han. Kita sudah nyebur."


Rima benar-benar tidak ingin kehilangan momen ini. Belum tentu Farhan akan mau di lain kesempatan. Sekarang atau tidak sama sekali.


"Saya percaya sama Bu Rima."


Seminggu ke depan, Farhan tidak bisa menyetubuhi Winda. Kini kesempatan baru ada di depan mata. Ia tahu, bisa saja semua tidak berulang. Sikat saja dulu, risiko urusan belakang.


"Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?"

"Saya tidak yakin, Bu. Yang saya tahu Bu Rima sudah berpengalaman."

"Kalau begitu, kamu ikuti saya."

"Mudah-mudahan tidak mengecewakan, Bu."


Farhan mendapatkan yang ketiga. Masih dengan wanita yang jauh dari usianya. Ia tidak tahu. Apakah memang begini takdirnya atau sebenarnya Ia menyenangi yang lebih tua. Atau orang seperti dia adalah selera wanita-wanita seusia Rima? Entahlah. Farhan hanya tahu bahwa sebentar lagi Ia akan bisa menikmati tubuh Rima. Wanita yang sering jadi bahan bercanda para laki-laki baik di kantornya atau pun beberapa kantor di sekitarnya. Semua bermuara pada satu hal: tubuh Rima sangat menggairahkan. Sedikit berisi, payudara besar, dan wajah sensual. Kurang apalagi Ia sebagai wanita idaman para lelaki mata keranjang? Ah. Farhan tak menyangka justru Ia yang akan menikmati anugerah ini. Ia tak peduli sudah berapa orang yang menikmati tubuh itu selain suaminya. Tubuh itu ada di hadapan Farhan. Hanya ada satu kata: Hajar.
Ayo Farhan hajar memek bu Rima....
 
itulah enaknya jd orang kepercayaan boss.. surga dunia di genggaman dan tinggal tusuk ajah.. 😅😅😅
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd