Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
Selamat pagi semuanya. Terima kasih masih mengikuti aksi Farhan. Bacanya jangan sambil coli ya, masih puasa. Nanti malam saja dilanjutkan.

Episode selanjutnya semoga makin menyenangkan buat para suhu semua. Selamat membaca.
 
EPISODE 6


WINDA

"Orang-orang di film porno kok bisa tahan lama sekali ya, Bu?"

"Ih. Kamu sering nonton film porno?"

"Kadang, sih, kalau lagi pengen onani."

"Dasar anak muda."

"Kan ya kadang perlu dikeluarkan juga, Bu."

"Setelah ini masih mau ngocok lagi?"

"Gimana ya. Bisa praktek langsung sih kalau sekarang"

"Dasar anak nakal."

"Aww. Pertanyaan saya belum dijawab tadi."

"Saya nggak tahu ya, Han. Tapi yang jelas itu syutingnya kan ya bisa dipotong-potong. Atau pakai obat kuat mungkin."

"Saya perlu pakai obat kuat nggak, Bu?"

"Buat apa?"

"Biar lama dan setrooong."

"Bahaya efek sampingnya ih. Gini aja sudah bikin saya melayang-layang. Kalau pakai obat kuat bisa pingsan nanti."

"Nilai saya berapa, Bu?"

"Kalau sekarang sih masih 7. Kurang pengalaman."

"Saya siap menambah pengalaman."

"Aaww. Farhaaan. Geli ah. Aduuh."


Ronde kedua akan segera dimulai. Persetubuhan pertama tadi berakhir satu sama. Farhan kembali berhasil membuat Winda meraih puncak kenikmatan, setelahnya Ia siram lubang surga itu dengan cairan sperma miliknya. Farhan masih tak percaya. Ia begitu menikmati bercinta dengan Winda. Ini memang pengalaman baru, tapi nikmatnya bisa membuat lupa diri.


"Haan. Terus. Pakai lidahmu. Agak ke atas, Haaan. Aduh. Ah. Ah. Ah."


Benda tidak bertulang itu bermain di vagina basah milik Winda. Sperma Farhan sudah bersih dari sana. Kebiasaan Winda setelah bersetubuh adalah membersihkan vaginanya. Itulah mungkin yang menjadikan mahkota Winda tetap terawat.


"Enak sekali, Han. Terus. Terus. Oooohhh."


Winda meringis, mendesah terus menerus. Farhan memang cepat belajar. Setelah pergumulan pertama tadi Winda mengarahkan bagaimana cara memainkan vaginanya dengan lidah, Farhan makin lihai.


"Aduuuh. Kamu kok malah jadi pintar, sih. Ooohhh. Terus Han. Lebih cepat. Lebih cepat."


Kenikmatan itu menuju puncaknya. Untuk pertama kalinya, Ia akan bisa orgasme dengan oral. Pemuda yang baru Ia ambil perjakanya seminggu lalu adalah pelakunya.


"Haaan. Aku oooh. Dikit lagi, Han. Terusss. Farhaaan. Saya keluar, Han. OOOOOHHHHH."


Badan Winda serasa melayang. Ia terbang ke langit yang sangat tinggi. Matanya memejam. Kenikmatan ini harus dirasakan dengan sungguh-sungguh. Winda tidak tahu harus bilang apa ke Farhan. Ia hanya ingin ini berulang, terus berulang. Winda tidak peduli lagi dengan suaminya. Ia telah menemukan Farhan.


"Kalau saya pengen ini tiap hari bagaimana?"

"Pertanyaan ini susah sekali jawabannya, Bu."

"Nggak usah dijawab. Kita cari caranya bersama-sama."

"Bu, terima kasih ya."

"Buat apa?"

"Sudah mengenalkan dan mengajari saya. Enak ternyata."

"Sama-sama, Han. Saya juga terima kasih sama kamu."

"Buat apa?"

"Sudah memuaskan kebutuhan yang selama ini tidak dipenuhi sama Bapak."

"Saya siap mengambil peran itu, Bu."


Winda hanya bisa tersenyum. Wajah pemuda ini tulus sekali. Tidak ada bedanya ketika Ia melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Totalitas, penuh dedikasi, dan mau terus belajar.


"Kamu diam ya sekarang. Giliran saya."

"Kalau Ibu sudah bilang begini saya cuma bisa pasrah."


Farhan manis sekali. Berbagai perlakuannya selama bercinta membuat Winda terkesan. Winda hanya takut, lama-lama bisa saja Ia jatuh hati jika begini. Itu urusan nanti. Yang penting Ia bisa menikmati penis dan tubuh Farhan sampai puas.


"Enak sekali, Bu. Uh."


Hanya desahan-desahan kecil yang keluar dari mulut Farhan. Juga pujian-pujian. Tidak berlebihan. Winda memang mahir. Penis itu keluar masuk mulut Winda dengan lancar. Sesekali lidahnya bermain untuk variasi. Melihat Farhan merem melek menikmati, Winda tidak sabar. Ia berdiri. Dengan tubuh telanjangnya, Farhan dinaiki.


"Haan. Ooooh"


Penis itu masuk. Pelan, pelan, lalu tenggelam. Winda berhenti sejenak untuk merasakan bentuknya.


"Eits. Kamu diam ya."


Ciuman mendarat di bibir Farhan. Winda mulai bergerak. Bokongnya meliuk-liuk mengikuti ritme yang Ia buat sendiri. Tidak terlampau cepat juga tidak lambat. Winda asyik bergoyang. Farhan hanya bisa diam melayang-layang.


"Enak, Bu. Jangan berhenti."


Makin dipuji, Winda makin tidak terkendali. Pujian kepada wanita saat bercinta adalah tindakan yang tepat. Itu akan menaikkan kepercayaan diri berlipat ganda. Farhan tidak tahu teori itu, insting saja karena keenakan.


"Oohh. Haan. Saya bisa ketagihan ini. Ooh."


Berkali-kali Winda bilang begitu. Berkali-kali juga Farhan hanya bisa tersenyum. Gerakan Winda makin cepat. Orgasme nampaknya tidak lama lagi. Farhan mulai bisa membacanya. Ia bangkit, payudara sekal itu menjadi sasaran. Dikerjainya dua bukit yang indah sekali sambil terus mengimbangi gerakan Winda.


"Sedikit lagi, Han. Aduuh"

"Aaww, Bu. Uuuhhh"

"Ouuh, sorry. Saya nggak tahan."


Sebuah gigitan mendarat di pundak Farhan. Saking tak terkendalinya kenikmatan yang didapatkan oleh Winda. Farhan merasakan spermanya sudah diujung. Goyangan Winda memang belum bisa Ia kendalikan dengan baik.


"Han. Auh. Bantu saya. Ayo Han, lebih cepat. Uh. Uh. Uh."

"Saya juga sedikit lagi, Bu. Oh. Oh."

"Han, janji ya. Ohh."

"Janji apa, Bu?"

"Ini buat saya. Ooohhh"

"Selama Ibu puas, ini akan terus buat Ibu."

"HAAAAN. AMPUUUUN OOOOH"

"IBUUUU AAAHHH"


Mereka berciuman. Lekat sekali. Tidak ada kata-kata. Ruangan itu hanya dipenuhi dengusan nafas dua manusia beda usia, beda status sosial, dan beda segalanya. Winda hanya bisa memeluk Farhan erat-erat. Ia sudah tidak sanggup untuk mengucapkan terima kasih.


***


"Kamu saya turunkan di mana, Han?"

"Di minimarket dekat gang yang mau ke rumah saja, Bu."

"Kamu makin ganteng, deh."

"Ibu sudah mulai gombal ya"

"Namanya juga usaha."


Mereka meninggalkan rumah itu dengan senyum merekah. Jamuan menuju akhir pekan yang sempurna. Ini sudah pukul delapan malam. Winda yakin Dibyo belum pulang. Ia juga sudah pamit pulang sedikit malam pada anak-anaknya.


Mereka berpamitan. Tidak ada ciuman perpisahan. Terlalu berisiko. Winda mengemudi pulang sambil berdendang. Ia tidak menyangka hidupnya akan begini. Peduli setan dengan suaminya, Ia menemukan kepingan yang selama ini hilang. Lengkap sudah, pikir Winda.


"Halo. Di mana, Han?"

"Di minimarket, Pak. Ada perintah?"

"Siap-siap ya. Setengah jam lagi saya ke rumahmu."

"Kemana ini, Pak?"

"Sudah, tenang saja."


Keberuntungan masih setia mengikuti. Selesai melayani sang istri, kini giliran mengabdi pada sang suami. Aneh memang. Tapi Farhan mulai menikmati peran ini.


***


"Si Willy bawa teman dari Banjarmasin. Bisa diprospek. Saya butuh kamu."

"Siap, Pak."

"Temannya wanita, seumuran Ibu mungkin. Atau lebih tua sedikit. Kata Willy dia suka sama anak muda,"

"Wah jadi korban ini saya"

"Hahaha. Tidak lah, Han. Ini namanya strategi. Saya percaya sama kamu."

"Latar belakang dan tujuannya gimana ini, Pak? Biar saya bisa jaga diri."

"Sudah kayak bikin skripsi ya."


Dibyo mulai menjelaskan bagaimana posisi Anne, teman yang dibawa Willy. Seorang chinese dari Banjarmasin yang merupakan pengusaha kayu jempolan. Jaringannya sampai ke Eropa. Dibyo tidak mau kehilangan momen ini. Apapun hasilnya, setidaknya kesan baik ingin Ia berikan. Oh ya, Willy adalah rekan bisnis Dibyo untuk urusan legal. Seorang pengacara. Dan Willy juga beberapa kali membantu Anne untuk urusan bisnisnya. Sudah lama Willy ingin mengenalkan mereka berdua. Kesempatan itu datang. Dan ada Farhan sebagai senjata rahasia.


"Dari mana saja kamu, Han?"

"Habis disuruh lembur sama bos ini Ko Wil"

"Disuruh kerja terus ya."

"Btw, Ini saya bukan sedang akan dijadikan gigolo, kan?"

"Hahaha sialan kamu, Han. Nggak lah. Mumpung kesempatan itu datang, Han."

"Semua ada di tanganmu, Han."

"Jadi takut saya."


Mereka tertawa. Farhan selalu bisa mencairkan suasana. Ia hanya bingung harus apa selepas ini. Mau menolak juga tidak mungkin.


ANNE

"Halo Cici Anne. Akhirnya kita ketemu di sini."

"Halo Wil. Berkat undanganmu lah ini."

"Ini Pak Dibyo yang aku ceritakan, Ci. Pak Dibyo, ini Cici Anne."

"Salam kenal Cici. Atau saya panggil apa lebih enaknya?"

"Salam kenal juga Pak Dibyo. Panggil apa saja boleh Pak."

"Kalau ini Farhan, dia tangan kanan Pak Dibyo."

"Halo Ci."

"Hai Farhan. Masih muda ya?"

"Baru 25 tahun Ci, pemuda tanggung."

"Beda sama kamu ya Wil."


Impresi pertama cukup bagus. Mereka lalu menuju meja bar yang sudah di pesan. Sesuai strategi Willy, Dibyo dan Farhan duduk di kanan dan kiri Anne. Sedangkan Willy di depan. Perbincangan dimulai dengan hal remeh seperti kabar, latar belakang, hingga kesukaan masing-masing.


"Sejak cerai sama Gabriel saya belum kepikiran nikah lagi, Wil. Kayaknya ngerepotin deh punya suami. Enak begini."

"Kalau buat Cici sih iya kayaknya. Tapi kan ya tidurnya jadi sendirian terus, Ci."

"Soal itu kan bisa diatur. Tergantung moodnya."


Semua menyambut pernyataan itu dengan tawa. Anne sudah terbiasa dengan guyonan begini. Semenjak bercerai 5 tahun lalu, Ia memutuskan sendiri. Mengurus bisnisnya yang seabrek dan anak semata wayangnya. Begini saja sudah lelah, apalagi harus mencari pasangan baru.


"Saya sudah baca profil usahanya Pak Dibyo. Kalau dibilang tertarik sih, sangat tertarik, Pak. Tapi saya perlu uji produknya dulu untuk memastikan,"

"Dengan senang hati, Ci Anne. Atau mau lihat lokasi produksinya?"

"Seberapa jauh dari sini?"

"Sekitar satu jam, Ci."

"Boleh. Besok saya longgar pagi sekali ya. Jam 1 saya ada janji sama keluarga yang lain."

"Bisa diatur, Ci. Besok pagi biar dijemput Farhan. Gimana, Han?"

"Siap, Ko. Menginap di mana Ci Anne?"

"Sekalian saya minta antar saja nanti pulangnya biar tahu hotelnya. Boleh kan Pak Dibyo?"

"Silakan, Ci. Farhan siap sedia."

"Siap, Ci."


Farhan sudah berada di kemudi untuk mengantar Anne kembali ke hotel. Pikiran Farhan kemana-mana. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.


"Saya duduk di depan ya, Han."

"Silakan, Ci."

"Ke Aston ya."

"Baik, Ci."

"Kamu kelihatan sedikit tegang, Han. Ada masalah?"

"Tidak, Ci. Mungkin karena segan, tidak enak saya."

"Normal, sih. Kita juga baru bertemu tadi, ya."

Dengan kecepatan standar, perjalanan ini hanya akan memakan waktu 10 menit. Tidak lama. Tapi terasa panjang bagi Farhan.

"Sudah berapa kali kamu dijadikan alat begini oleh bosmu, Han?"

"Maksudnya, Ci?"

"Kamu pakai pura-pura tidak tahu. Saya menjalankan bisnis lebih dari 15 tahun, Han. Trik begini sudah hafal."

"Kalau saya jawab apakah akan mempengaruhi rencana kerja sama Ci Anne dan bos saya?"

"Tidak sama sekali. Track record saya sangat fair. Kamu boleh tanya ke siapa pun."

"Baru 3 kali saya membantu bernegosiasi, Ci. Tidak banyak."

"Bentuknya seperti ini semua?"

"Tidak, Ci. Dengan wanita baru sekali."

"Apa yang kamu lakukan sebelumnya?"

"Menawarkan hal-hal favorit mereka. Sederhana."

"Kalau permintaannya tidak masuk akal?"

"Contohnya, Ci?"

"Ngajak kamu pakai narkoba, misalnya."

"Karena belum pernah menemukan seaneh itu. Saya kesulitan menjawab. Dua kejadian sebelumnya masih dalam tahap wajar."

"Kamu masih beruntung."

"Semoga seterusnya, Ci."

"Kamu pintar, Han."

"Berlebihan sepertinya, Ci."

"Saya tahu ini ide Willy. Dia tahu saya, meskipun tidak banyak."

"Bagian mana yang benar, Ci?"

"Saya suka anak-anak muda."

"Lalu yang salah?"

"Anak-anak muda yang ditawarkan bisa mempengaruhi keputusan bisnis saya."

"Saya percaya, Ci. Dari awal, itu sudah terlihat."

"Saya tahu, kamu mulai menjalankan peranmu."

"Kalau semua sudah bisa ditebak, saya bisa apa lagi."

"Kamu ikut saya dulu. Mobilnya kasih ke valet."

"Baik, Ci."
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd