Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
EPISODE 5.


WINDA

Tidak
ada yang bisa mengalahkan manisnya senyum Winda pagi ini. Badannya segar sekali. Menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk bertemu kawan-kawan arisannya tidak berpengaruh. Ia bahkan telah selesai olahraga sepagi ini. Benar memang tidak hanya kesehatan fisik yang membuat seseorang menjadi prima. Psikis yang bagus juga menjadi faktor penentu. Winda seperti remaja yang baru saja menemukan kesenangan. Ia tahu, kesenangan itu masih bisa dinikmati dalam waktu yang lama. Tidak, tidak. Ia tidak sedang jatuh cinta. Masih jauh. Ia hanya sedang bahagia. Kebutuhan yang selama ini tidak terpenuhi akhirnya menemukan penawar. Belum sempurna memang, tapi semalam adalah langkah yang luar biasa hebat. Ia masih heran bisa seberani itu. Di rumah sendiri, di mobil yang dibeli suaminya. Ah, mana Winda peduli lagi sekarang. Toh semalam suaminya asyik memuaskan birahi bersama teman-temannya, di rumahnya sendiri. Impas.


"Mama habis dapat arisan ya kemarin? Senang sekali kelihatannya"

"Nggak, sih. Cuma kemarin dapat rezeki"

"Ih habis ngapain, Mama? Bagi dong"

"Kamu mau apa? Mama belikan."

"Sebentar. Aku cek keranjang dulu."


Ya. Winda habis dapat rezeki. Suasana hatinya riang sekali. Ia sudah tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan suaminya. Paling tidak, untuk urusan kepuasan batin, Ia telah menemukan solusinya. Apalagi, solusi itu adalah orang kepercayaan sang suami. Meski Ia tahu risikonya besar, tapi jaminan keamanannya juga sama besarnya.


Hari minggu adalah hari keluarga. Begitu tradisi di keluarga Dibyo dan Winda. Ia tak mau mengusik itu. Hari ini mereka pergi sekeluarga untuk sekedar makan siang dan jalan-jalan di dalam kota. Dibyo menyadari jika istrinya lebih ceria dari biasanya.


"Mama habis dapat arisan kemarin?"

"Nggak, Pa. Kenapa?"

"Kayaknya dari tadi ceria sekali. Lebih fresh juga kelihatannya"

"Katanya Mama habis dapat rezeki, Pa."

"Wah habis dapat apa ini?"


Winda agak bingung mau menjawab apa. Ia tak mau ada kecurigaan sedikit pun dari Dibyo. Otaknya berputar cepat.


"Berlian yang dulu Mama beli dari istrinya teman papa itu ada yang beli kemarin."

"Alhamdulillah. Kejual berapa, Ma?"

"Lumayan lah. Untung 20%. Mama juga nggak nawarin. Waktu Mama pakai, eh ditawar."

"Aku tadi sudah dapat hadiah lo, Pa. Adik juga"

"Hadiah buat papa mana?"

"Nih buat papa"


Winda memberikan ciuman kepada suaminya. Anaknya tertawa lebar. Suaminya hanya tersenyum. Berlaku sewajar mungkin adalah pilihan terbaik. Tidak boleh ada jejak sedikit pun yang bisa menimbulkan kecurigaan. Ia masih ingin keluarganya utuh. Tapi kebutuhan batinnya juga harus terpenuhi. Kita lihat saja sampai sejauh mana, kata Winda dalam hati.


***


"Materi untuk Pak Asisten sudah siap, Han?"

"Saya dan Mas Bimo sudah bikin tadi, Pak. Sedang dikoreksi Bu Sekdin."

"Panggil Bu Sekdin ke ruangan saya. Kalian berdua juga ikut ya"

"Baik, Pak."


***


"Sudah siap semua, Bu?"

"Ada sedikit yang perlu diperbaiki, Pak. Data pengiriman uji coba atlet sepeda dengan pengeluarannya tidak sinkron. Angkanya cukup mencolok, Pak."

"Kita perbaiki sekarang. Tolong saya disajikan kedua datanya, Han."

"Ini Pak. Memang biaya bulan 4 itu besar karena kita nombok di transportasi. Beberapa pengurus dan orang dinas ikut, Pak"

"Benar, Pak. Sedang di 2 uji coba lain yang berangkat hanya atlet dan ofisial."

"Anggarannya tidak bisa dipisah?"

"Kesalahannya di situ, Pak. Laporan sudah masuk dan kwitansinya jadi 1."

"Ada solusi Bu Sekdin?"

"Kita tampilkan apa adanya kalau begitu, Pak. Seingat saya, Pak Asisten adalah salah satu yang ikut rombongan."

"Apa tidak terkesan kita memukul beliau?"

"Saya rasa tidak, Pak. Kita belum rapat dengan bagian anggaran, kan? Kita minta solusi saja ke Pak Asisten."

"Bimo? Farhan?"

"Setuju, Pak. Karena laporan sudah masuk dan ada tanda tangan Pak Asisten."

"Idem, Pak."

"Oke eksekusi. Bu Sekdin nanti minta tolong dirapikan ya sama Farhan. Bimo ikut saya rapat sama orang KONI ya jam 1."

"Baik, Pak, laksanakan."


***


"Ini yakin kita sajikan begini, Bu?"

"Sangat yakin. Tenang saja, kita tidak mungkin disalahkan. Saya punya memo pemakaian anggaran yang ada tanda tangan Pak Asisten."

"Bu Sekdin memang selalu siap sedia. Saya boleh tepuk tangan nggak, Bu?"

"Setengah jam ya tidak boleh berhenti."

"Wah bisa lepas ini tangannya, Bu"

"Tapi kamu juga keren, Han. Penyajian datanya runtut dan jelas. Saya suka"

"Semua berkat Mas Bimo, Bu. Saya kan cuma juru ketik"

"Juru ketik yang jadi tangan kanan Kepala Dinas ya?"

"Bu Sekdin bisa saja. Namanya juga anak buah, Bu. Disuruh kemana juga jalan"

"Kalau saya yang nyuruh?"

"Asalkan Pak Kadis mengizinkan saya cuma bisa bilang siap, Bu"

"Siap siap terus. Saya jewer kamu"


***


Ini sudah menjelang akhir pekan lagi. Load pekerjaan yang cukup tinggi di minggu ini membuat Farhan sangat sibuk. Menjelang akhir tahun memang semua seperti dikejar setoran. Tahu sendiri bagaimana pola kerja pada instansi pemerintahan. Jumat ini pun Ia masih berkutat pada data-data penyerapan anggaran. Tidak ada habisnya.


"Gimana, Han? Aman?"

"Sementara aman, Pak. Tadi Bu Sekdin juga menitipkan beberapa kegiatan untuk memaksimalkan serapan."

"Kalian atur ya. Saya percaya sama Bu Sekdin dan kalian semua."

"Beres, Pak."

"Kamu selesai jam berapa ini kira-kira?"

"Belum tahu, Pak. Tapi minimal jam 5 sih kelihatannya, Pak."

"Saya ada janji sama Ko Willy,"

"Saya nggak enak sama Mas Bimo dan teman-teman lain, Pak. Bu Sekdin juga izin pulang tepat waktu, suaminya sedang di rumah katanya."

"Ya sudah kamu selesaikan dulu. Nanti biar Pak Slamet yang antar saya."

"Kalau Ibu tanya saya jawab bagaimana, Pak?"

"Seperti biasa aja. Nggak lama juga kok ini."

"Nggak lamanya Bapak itu ya minimal jam 1 kan, Pak?"

"Kamu atur lah, Han. Oh ya, kalau anak-anak butuh sesuatu kamu layani ya, yang penting jangan dibuat tempat pesta saja lah"

"Kalau yang itu semua sungkan sama kepalanya, Pak."

"Hahaha. Sialan kamu memang"


Pukul 6 sore, pekerjaan Farhan dan kawan-kawannya selesai. Payah sekali badan Farhan. Seharian menghadap komputer membuatnya ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan. Ia memikirkan sesuatu, tapi tidak yakin. Tapi, sepertinya akan sangat menyenangkan. Tapi, Ia ragu.


"Han, Bapak masih di kantor?"

"Tadi ada janji ketemu Ko Willy, Bu."

"Kamu di mana?"

"Saya masih di kantor, Bu"

"Kamu bisa jemput saya?"

"Di mana, Bu?"

"Saya kirimkan alamatnya."

"Baik, Bu."

"Saya bawa mobil."

"Baik, Bu."


Farhan memukul kepalanya berulang kali. Kok ya bisa apa yang sedang ada di pikirannya tiba-tiba terhubung. Sialan. Kenapa Ia jadi mengharapkan peristiwa minggu lalu itu terulang? Ya begini kalau anak muda menemukan mainan baru. Penasaran untuk mengeksplorasi lebih lanjut.


Setelah berpamitan, Farhan naik ojek untuk menuju alamat yang sudah diberikan Winda. Ia tahu benar, peristiwa minggu lalu akan terulang. Ada perasaan tidak sabar untuk dapat menikmati tubuh Winda lagi. Ia masih ingat bagaimana Winda memainkan kelaminnya seperti bocah kegirangan. Dahaga seksual yang dimiliki Winda ternyata begitu besar. Tak habis pikir Farhan dengan Dibyo. Lalu apa yang dilakukan Dibyo ke wanita-wanita yang dibayarnya, sementara ada bidadari di rumah yang sangat haus belaian. Entahlah. Meski masih diselimuti perasaan bersalah, nafsunya berusaha mempengaruhi untuk memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin.


"Saya sudah di depan, Bu. Benar ini kan ya?"


Farhan mengirimkan foto rumah di hadapannya, lalu menyingkir sedikit jauh.


"Benar, Han. Kamu tunggu sebentar ya. Agak jauh saja, nanti saya susul"

"Saya di sini ya, Bu"


Farhan kembali mengirimkan foto lokasi Ia menunggu. Setelah persetubuhan perdana itu, Farhan dan Winda hanya dua kali berkomunikasi. Keduanya tentang posisi Dibyo. Tidak ada yang lain. Tidak ada yang tahu juga kenapa. Mungkin Farhan segan dan Winda belum yakin benar untuk menghubungi Farhan pada waktu-waktu kerja. Winda tahu, seringkali pemuda itu berada di samping suaminya dalam berbagai kesempatan.


"Masuk saja, Han. Saya yang nyetir."


Farhan memasuki sedan mewah itu. Ia tak tahu akan dibawa ke mana.


"Kamu kok langsung mengiyakan ajakan saya?"

"Tidak tahu, Bu. 5 menit sebelum Ibu menghubungi, saya tiba-tiba kepikiran untuk mengontak Ibu."

"Apakah ini sebuah pertanda?"

"Saya kurang yakin, Bu"

"Kamu kok masih kaku gitu sih, Han. Kamu lupa minggu lalu kita ngapain di mobil ini?"

"Justru itu, Bu. Saya masih suka berpikir kalau kemarin itu mimpi atau halusinasi"

"Dasar bocah ingusan. Apa saya perlu buka baju sekarang biar kerasa nyata?"

"Ya jangan, Bu. Kita sedang di jalan."

"Kamu ketagihan ya sama saya?"

"Duh, gimana ngomongnya ya."

"Tenang. Kita punya waktu agak panjang hari ini,"

"Lalu, Bu?"

"Kamu mau saya makan."


Mobil terus melaju. Farhan masih belum tahu akan ke mana. Winda menolak memberi tahu. Sampai kemudian, Winda mengarahkan sedan itu ke sebuah rumah kecil di tengah sawah. Hanya ada beberapa rumah di sana. Jaraknya pun tidak terlalu dekat. Winda melarang Farhan turun. Ia membuka sendiri pagar, lalu mobil diparkir.


"Ini rumah orang tua saya dulu. Sekarang kan sudah meninggal semua. Dua tahun lalu ditinggali kakak, tapi dia sudah pindah ke luar kota."


Winda menerangkan tanpa sempat Farhan bertanya. Rumah kecil yang asri. Halamannya tidak terlalu luas. Tapi di kanan, kiri, dan belakang masih berbentuk sawah. Dulu, Ia belikan rumah ini untuk orang tuanya menikmati masa tua. Dengan beberapa petak sawah di kelilingnya untuk diolah Ayahnya. Eh bukan Winda yang beli tapi Dibyo. Tentu saja semua atas nama Winda.


"Rumah ini masih rutin dibersihkan dua minggu sekali. Sayang kalau sampai rusak."

"Masih bagus sekali ya, Bu."

"Kamu pernah ke daerah ini?"

"Belum, Bu. Mentok di perempatan tadi. Rumah teman saya dekat situ."

"Saya ke kamar mandi dulu, Han. Kalau mau minum ada itu air putih,"


Farhan masih bingung apa yang akan terjadi setelah ini. Sebenarnya Ia tahu, tapi bagaimana memulainya. Farhan mulai memikirkan berbagai alternatif. Sambil bersandar di sofa, matanya menerawang. Bayangan tubuh Winda yang seksi memenuhi otaknya. Kenikmatan bersenggama yang ternyata menakjubkan tak lepas dari otak kotornya. Pengabdian pada Dibyo sudah tak ada dalam pikirannya. Rasa segan itu sudah dibuang jauh semenjak Ia menikmati persetubuhan itu.


"Kamu mau duduk di situ terus atau ikut saya ke sini?"


Farhan menoleh ke arah suara tersebut. Tidak ada pilihan lain. Kenikmatan kedua sudah tersaji di depan mata. Apa boleh buat, dengan sedikit malu-malu, Ia beranjak. Di ujung sana, ada wanita yang tersenyum lebar. Farhan masih tidak percaya. Tapi, dia laki-laki normal.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd