Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
Wah wah ramai sekali. Terima kasih komen, kritik, dan sarannya ya suhu sekalian. Satu per satu dibaca kok meskipun saya jarang balas komen. Sekali lagi terima kasih apresiasinya.

Kita lanjut ke episode berikutnya ya. Selamat membaca.
 
Bimabet
EPISODE 4


WINDA




"Kita seharusnya tidak begini, Bu"

"Saya tahu, Han"

"Saya minta maaf, Bu. Saya merasa sudah mengkhianati Bapak"

"Tidak. Ini bukan salah kamu"

"Saya tidak tahu harus bagaimana, Bu"

"Kita sudah sama-sama dewasa, Han"

"Itulah kenapa seharusnya ini tidak terjadi, Bu"

"Ya, saya yang salah"

"Ini tidak akan terjadi kalau saya tidak terpancing"

"Ini tidak terjadi kalau saya tidak memancing"

"Saya tidak fokus, Bu"

"Berhenti dulu saja"

***

"Halo. Iya pak?"

"Sampai mana kamu, Han?"

"Setengah jam lagi sampai, Pak"

"Saya sama Pak Kuncoro ini. Kamu bilang ke Ibu ya. Tadi saya hubungi belum respon"

"Baik, Pak. Ibu tidur ini Pak"

"Oh ya sudah. Kamu kalau tidak capek nyusul ke sini saja. Nanti saya kirimi lokasinya"

"Saya izin langsung pulang ya, Pak"

"Okelah istirahat saja"

"Terima kasih, Pak"

"Hati-hati, Han"

***

"Kamu seharusnya tahu kan kenapa tadi sampai terjadi."

"Maksudnya bagaimana, Bu?"

"Lihat saja. Pasti dia sekarang sedang minum-minum, karaoke, ada banyak wanita-wanita yang dia jadikan mainan. Kamu tahu kan itu terjadi berkali-kali dan tidak pernah berubah?"

"Bu, tenang dulu."

"Saya sudah mengalami ini 15 tahun, Han. Tidak ada perubahan. Sama sekali. Malah tiap hari makin parah. Saya harus apa? Saya tidak punya kekuatan apa-apa, Han. Kamu tahu itu"

"Bu, saya minta maaf"

"Nggak usah. Ini bukan salah kamu. Ini semua salah saya. Salah saya. Saya yang memilih hidup ini."

"Bu…"

"Meskipun dia nggak pernah bilang. Kamu juga nggak bilang. Saya tahu, Han. Saya tahu. Saya bukan wanita bodoh polos yang kalian anggap tidak akan tahu dan tidak mencari tahu. Saya cuma diam. Saya masih ingin hidup enak. Saya masih mau anak-anak saya hidup enak. Iya, saya yang bodoh. Saya yang lemah."

"....."

"Sudah, Han. Lupakan. Kamu kalau mau jalan tidak apa-apa. Biar kita cepat sampai rumah"

"Kalau masih belum selesai tidak apa-apa, Bu. Saya minta maaf."

"Jalan saja dulu, Han. Saya butuh ke toilet"

***

"Kita tidak langsung pulang saja, Bu?"

"Tidak apa-apa. Bapak masih subuh nanti kan pulangnya?"

"Ini kemana, Bu?"

"Kita ke Rumah Bale"

"Kalau nanti Bapak tanya gimana, Bu?"

"Kalau kamu nggak mau, saya antar kamu pulang. Saya sendiri saja ke sana"

"Baik, Bu. Saya antar saja"

***

"Loh kok lampu nyala semua, Han?"

"Saya buka dulu gerbangnya ya, Bu"

"Itu bukannya mobil Bapak?"

"Ehh. Sepertinya iya, Bu"

"Sebentar saya turun dulu. Kamu di sini saja"

"Bu, lebih baik kita langsung pulang"

"Lepaskan, Han. Saya mau turun"

"Bu, saya minta tolong"

"Han. Saya mau turun"

***

"Antar saya pulang"

"Baik, Bu"

"AAAARRRRRRGGGH! BAJINGAAAAN

"......"

"Selama 15 tahun saya hanya mencari tahu. Saya tidak pernah ada niat untuk melabrak, menggrebek, atau apapun itu. Saya memang tahu, Han. Tapi tidak pernah dengan mata kepala sendiri. Sekarang dia malah pakai rumah yang katanya rumah saya buat kelakuan binatangnya. ANJIIIIING"

"......"

"Kamu jangan sampai dapat wanita bodoh kayak saya, Han"

"....."

"Cari wanita yang kamu cintai, dan cinta sama kamu. Jangan cuma wanita yang numpang hidup. Yang hanya bisa merepotkanmu."

"Bu…"

"Sudah, Han. Antar saya pulang"

"Baik, Bu"

***

"Saya langsung pulang ya, Bu. Mobilnya besok saja saya cuci"

"Sebentar tunggu dulu. Saya ke dalam dulu"

"Baik, Bu."

"Masuk mobil dulu, Han. Ada yang mau saya omongin"


"Bagaimana, Bu?"

Cup.

"Bu, tidak. Sudah cukup saya kelepasan yang tadi, Bu."

"Tolong saya, Han. Kamu tahu saya butuh pertolongan."

"Jangan saya, Bu. Tolong."

"Saya cuma mau sama kamu"


"Tidak, Bu. Saya mohon"

"Terpaksa saya harus ancam kamu."

"Jangan, Bu."

"Saya tahu kamu bisa pergi tapi kamu takut. Jadi sekali ini tolong saya"

"Tolong, Bu. Kita tidak seharusnya begini"

"Kamu diam saja"

Seharusnya, ini masuk kategori pemerkosaan. Farhan dalam tekanan. Tapi penolakan itu tidak datang sepenuhnya. Sejak kejadian Ia dan Winda berciuman di jalan tadi, imajinasinya sudah berubah. Ada dorongan nafsu yang memenuhi otaknya. Dalam perjalanan selanjutnya, semua Ia buang jauh. Rasa hormatnya kepada Dibyo dan Winda masih jauh lebih besar. Tapi, rasanya kali ini semua runtuh. Ia tidak bisa keluar. Dorongan nafsu dan bayangan tubuh Winda jauh lebih besar. Ia tidak benar-benar ingin menolak.


Jangan tanyakan apa yang ada di pikiran Winda. Setelah menemukan suaminya berpesta di rumahnya sendiri, Winda sudah habis akal. Meski pernah ada pikiran untuk main serong atau sekedar sewa gigolo, Winda seringkali membuangnya jauh-jauh. Ia masih hormat pada Dibyo. Orang yang menghidupi dan membuat hidupnya pantas dipertahankan. Tapi tidak malam ini. Kepalanya panas. Pikiran balas dendam itu kembali muncul. Aku juga berhak bersenang-senang, pikirnya.

Setelah berciuman singkat tadi, Winda merasa semua harus dituntaskan. Ia lupa kapan terakhir kali menikmati persetubuhan. Melayani Dibyo hanya kewajiban. Apalagi akhir-akhir ini, sudah jarang Ia merasakan disentuh dengan mesra. Jangan tanyakan lagi soal kepuasan. Jauh panggang dari api.

"Bu, saya masih minta tolong ini segera diakhiri"

Winda tidak peduli apa kata Farhan. Toh, respon tubuh Farhan terasa menikmati. Sudah lama Ia tak menikmati benda seperti ini. Benda itu mengacung keras. Rasanya tidak terlalu panjang, tidak juga terlalu besar, standar saja. Winda tidak peduli.

"Bu, sudah, Bu"

Tangan Farhan mencoba mengangkat kepalanya yang sedari tadi tenggelam di bawah sana. Tentu saja tangan itu ditepis secepat mungkin. Winda mulai menyukai benda ini. Aromanya tidak menyengat. Padahal si empunya belum mengganti pembungkusnya sedari pagi. Winda seperti bocah yang mendapat mainan baru. Tangannya tidak lepas dari sana, sedang kepalanya naik turun. Benda itu lancar keluar masuk mulutnya yang seksi.

Farhan merasa harus lepas dari kenikmatan ini, tapi tubuhnya menolak. Entah apa namanya, Ia merasa terbang. Seumur-umur, ini pertama kali kejantanannya mendapat sentuhan wanita. Biasanya ya tangannya sendiri, dengan bantuan sabun atau lotion. Sensasi menegangkan tapi menyenangkan menguasai otaknya. Desahan perlahan keluar dari mulut Farhan. Setelah beberapa kali ditepis saat hendak berusaha melepaskan diri, Farhan tak kuasa melawan. Kini tangan itu malah membelai rambut Winda. Lembut sekali. Sama seperti apa yang dirasakan penisnya. Lembut sekali.

"Aku tau kamu menikmatinya, Han"

"Saya tidak tahu harus menjawab apa, Bu."

"Kalau gitu kamu diam saja"

"Kita sedang di mobil, Bu. Siapa pun bisa ke sini"

"Kecuali Dibyo pulang, tidak akan ada yang ke sini. Saya yang punya rumah ini"

Dibyo tidak mungkin pulang sebelum subuh, apalagi ini malam minggu. Waktunya masih panjang. Ia tidak berharap kepuasan malam ini setelah menyadari dihadapannya adalah seorang perjaka. Tapi, badannya terlanjur panas. Lagi pula, Ia sudah lupa bagaimana kepuasan itu.

Winda menduduki tubuh setengah telanjang milik Farhan. Celana panjang dan celana dalam sudah berhasil dilepaskan Winda. Tanpa permisi, bibir Farhan menjadi santapannya. Ia mengajak Farhan menyusuri bibir tebalnya. Ah, Farhan mulai merespon. Ia tahu, cepat atau lambat pemuda ini akan mengikuti instingnya. Pelan tapi pasti ritme pertarungan dua bibir manusia ini makin meningkat. Ditambah, Winda mulai memainkan lidahnya. Ia selami tiap inchi bibir Farhan, lalu masuk lebih dalam. Lidahnya mencari lawan. Setelah ketemu, Ia mencoba mengajak bertarung. Farhan tahu harus bagaimana. Meski agak kaku, responnya mengejutkan. Winda senang bukan main. Ia makin panas. Tubuhnya merinding. Tidak menyangka pertarungannya akan sengit.

"Saya tahu kamu akan cepat mengikuti"

"Belum ada wanita yang menyentuh bibir saya, Bu
"Saya akan jadi yang pertama. Yang akan menyentuh semua bagian tubuhmu"

Nafsu Winda sudah tak bisa dibendung. Ia sudah mendapatkan Farhan. Malam ini perjaka itu akan Ia nikmati. Sekali lagi tidak ada ekspektasi apapun dari Winda. Ia hanya ingin memenuhi hasrat nafsu yang sudah di ubun-ubun. Dengan lembut, Winda mulai menjilati setiap bagian tubuh Farhan. Mulai dari pipi, telinga, tengkuk, leher, hingga dada. Satu-satunya penutup badan milik Farhan sudah tanggal. Winda mulai bermain di dada bidang itu. Sebagai seorang pelari, Farhan memiliki postur ideal. Tidak terlampau kekar tapi jelas ototnya patut dibanggakan. Winda berkali-kali membelai lalu mendaratkan bibirnya ke dua puting yang sudah mengeras itu. Lalu bagian-bagian lain di sekitarnya. Tangannya perlahan turun dan menemukan lagi benda tumpul yang masih gagah mengacung.

"Kamu nggak mau sama tubuhku?"

"Saya takut kurang ajar, Bu"

Winda gemas. Masih sempat-sempatnya pria ini bertingkah begitu.

"Aaaww. Kalau patah gimana, Bu?"


"Biar masa depanmu sampai di sini saja"

"Jangan dong, Bu. Saya belum pernah pakai itu"

"Sekarang atau tidak sama sekali"

Mereka kembali berciuman. Kali ini lebih mesra. Tangan milik Farhan mulai bekerja. Dengan arahan, Farhan mulai melepas terusan milik Winda. Tidak susah, sekali tarik terpampang payudara terbungkus bra warna putih. Senada dengan kulit Winda yang aduhai mulusnya. Di bawah sana, hanya ada celana dalam putih yang menutupi harta yang selama ini dijaga Winda untuk suaminya. Apa lacur, Sang Suami sering membuatnya menganggur.

Pergumulan dua anak manusia itu makin panas. Farhan mulai memainkan tangannya di payudara sekal milik Winda. Tidak terlalu besar, tapi sangat ideal. Setidaknya, pas di genggaman. Masih dengan arahan dari Winda, Farhan mulai mendaratkan bibirnya di sana. Sementara hanya satu yang dikerjai bibirnya, tangannya bertugas memainkan satunya. Winda tak mampu menahan enak. Ia mulai menggelinjang dengan terus meremas rambut Farhan.

"Ssshhh. Saya sudah siap, Han. Ayo. Jangan lama-lama"

Farhan belum ingin beranjak. Dua bukit kembar ini masih menarik perhatiannya. Bergantian, keduanya mendapat jatah untuk dikerjai mulut dan tangan.

"Farhaaaan. Pleasee."

Suara Winda makin melas. Nafsu sudah menguasai seluruh bagian tubuhnya. Ia ingin segera menuntaskan. Merasakan penis gagah milik Farhan menghujami vaginanya. Tubuhnya makin panas. Keringat mulai muncul pelan-pelan.

"Kamu diam. Ikuti saya"

Perlahan, Winda mengarahkan penis Farhan menuju ke tempat yang seharusnya. Lubang itu basah sekali. Winda menahan nafas. Pelan-pelan, ada benda asing memasuki tubuhnya.

"OOOHHHH"

"AAAAAHHH"

Desahan lembut mereka berdua sedikit tertahan. Mungkin masih sadar bahwa apapun bisa terjadi. Termasuk kemungkinan ada yang mendengar aksi mereka berdua.

"Kamu diam dulu ya,"

Farhan manut. Ia tahu, Winda sangat berpengalaman dalam hal ini. Mata Farhan merem melek menikmati gerakan yang dibikin Winda. Pelan, naik-turun. Gesekan anta ra dua benda yang rasanya tak bisa dilukiskan dengan apapun. Ternyata, senggama bisa senikmat ini. Farhan takut ketagihan. Pantas saja Dibyo begitu senang wisata lendir.?"

"Han, enak"

"Iya, Bu. Enak sekali ternyata"

Winda tak mau terburu-buru meski nafsunya ingin segera tertuntaskan. Ia menghadapi perjaka yang belum tahu kapan harus jalan, kapan harus berhenti. Kalau soal stamina, Winda yakin Farhan sangat mumpuni.

"Kalau mau keluar, ditahan dulu ya, Han. Ini enak sekali"

"Saya usahakan, Bu. Saya tidak mau ini cepat selesai"

Dua kelamin itu makin cepat saja beradu. Gerakan Winda makin liar. Sesekali, Ia menyergap mulut Farhan yang bebas. Atau Ia bawa kedua tangan Farhan mengerjai payudaranya. Winda makin panas. Gerakannya juga makin intens.

"Untuk ukuran perjaka, kamu sudah lulus tes"

"Saya siap dikasih tes berikutnya, Bu"

Orgasme Winda nampaknya sudah dekat. Ia tak menyangka secepat ini. Entah karena nafsu balas dendam dengan Dibyo, atau penis Farhan benar-benar enak. Harus dibuktikan lagi lain kali. Itu artinya, harus ada yang kedua, ketiga, dan keringat-keringat lainnya.

"Han. Oohh. Jangan-jangan kamu sudah sering ya"

"Tidak, Bu. Uuhhh. Beneran, Ibu yang pertama kali"

"Aahh. Tapi kamu kok bisa lama. Oh. Oh. Ah"

"Tidak tahu, Bu. Ah. Bu, Oh. Sepertinya. Aduh. Aahh."

"Terus, Han. Jangan ditahan. Oh. Lepaskan. Ah. Ah. Ah."

"Bu, ah. Saya minta maaf, Bu. Oh."

"Haaan. Ooooh. Yessss"

"AAAAHHHHH"

"OOOOOUUUUUUH"

Winda ambruk. Farhan lemas. Persetubuhan pertama yang sangat sulit digambarkan. Farhan menikmatinya. Jangan tanya Winda bagaimana. Ini oase. Winda harus menjaganya. Ia tak mau lagi jadi unta di padang pasir.

"Kamu hebat, Han."

"Terima kasih sudah mengajari saya, Bu"

"Kamu masih mau tahu pelajaran lainnya"

"Pertanyaan susah, Bu. Jawabnya boleh nanti setelah selesai mandi, nggak?"

Mereka tertawa. Winda puas. Puas sekali. Farhan sudah lupa dengan Dibyo dan apa tugas seharusnya. Ini enak. Farhan mulai punya pikiran lain.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd