Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
Wah responnya sangat luar biasa. Terima kasih suhu-suhu semua. Bagi yang pernah membaca cerita saya mungkin familiar dengan gaya kepenulisan yang saya pilih. Di cerita kali ini dialog memang saya buat agak berbeda. Jadi, dinikmati saja ya. Hehehe

Upload cerita dilakukan sebisanya. Diingatkan saja jika nanti terlalu lama jedanya. Selamat membaca. Pelan-pelan, ya.
 
EPISODE 3.


Winda

"Masuk, Han. Makan dulu di sini"

"Tidak usah, Bu. Saya sudah makan barusan di depan villa"

"Ya sudah nanti kalau selesai saya telepon ya"

"Baik, Bu"

Panggilan berhenti. Farhan membetulkan posisi tidurnya. Matanya masih agak pedas. Untung saja Ia langsung sadar dengan panggilan telepon dari Winda. Sebenarnya perut Farhan cukup kosong. Ia juga hanya sempat makan gorengan dan kopi pagi tadi. Tapi ya tidak enak juga bergabung dengan wanita-wanita sosialita yang ada di dalam sana. Bahkan untuk tampil sebagai gigolo saja belum pantas rasanya.

Farhan memutuskan keluar untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Tak jauh dari villa memang ada warung kecil yang menjual makanan rumahan. Ia harus segera. Siapa tahu Sang Juragan sudah waktunya pulang.

"Han kayaknya setengah jam lagi selesai"

"Baik, Bu"

"Kamu masih di depan?"

"Ini saya sudah di villa, Bu"

Setengah jam kemudian acara memang benar-benar selesai. Ini sudah pukul 16.30. Terlihat Winda sedang bercakap-cakap dengan rekan-rekannya. Ya memang wanita kaya semua. Pakaiannya terasa mewah dengan berbagai perhiasan mahal yang tersemat. Ia hanya melihat beberapa mobil yang ada supirnya.

"Maaf ya, Han, sampai sore begini"

"Kan memang sudah pekerjaan saya, Bu"

"Harusnya pekerjaan kamu tidak mengantarkan saya arisan, kan?"

"Ini pekerjaan tambahan, Bu"

"Acaranya sebenarnya memang cuma sehari, tapi banyak yang menginap"

"Ibu tidak ikut menginap?"

"Tadi dipaksa. Tapi kan Bapak cuma mengizinkan sehari ini"

"Begitu ya, Bu"

"Mereka mau party katanya nanti malam"

"Tadi bukan party, Bu?"

"Kan arisan, Han, judulnya. Apa saya perlu jelasin ke kamu party yang dimaksud itu apa?"

"Tidak usah, Bu. Maaf kebablasan"

"Kamu itu memang polos atau pura-pura polos, sih?"

"Saya polos kok, Bu. Beneran."

"Mana saya percaya. Lalu siapa yang handle urusan entertainment Bapak selama ini?"

"Kita langsung pulang ya Bu?"

"Jawab dulu jangan mengalihkan pembicaraan"

"Tugas saya kan cuma menyiapkan kebutuhan Bapak, Bu. Di luar itu saya tidak tahu"

"Lama-lama ilmu ngelesnya Bapak diwariskan ke kamu semua ini"

"Jadi, langsung pulang, Bu?"

"Nggak. Saya pengen makan yang hangat-hangat dulu"

"Mau apa Bu?"

"Di dekat mal besar itu kayaknya ada warung ronde"

"Baik, Bu"

Mereka berhenti di sebuah warung tenda yang baru mulai buka. Cuaca memang cukup dingin. Masih sore padahal. Langit sedari siang tadi mendung.

"Kamu tidak usah berusaha menutupi kelakuan Bapak di depan saya, Han"

"Saya hanya berusaha jadi anak buah yang baik, Bu."

"Kami sudah sama-sama tahu. Hanya tidak dibahas saja. Mulai dari beberapa orang yang lapor ketemu Bapak di tempat pijat, di diskotik, dan tempat hiburan lainnya. Ya itu memang tabiatnya dari dulu"

Farhan hanya bisa memasang telinga. Tidak elok rasanya jika Ia memberi komentar yang bisa saja merusak suasana.

"Saya merasa perlu tanya ke kamu karena saya lihat kamu anaknya jujur dan nggak neko-neko. Bapak juga percaya sekali sama kamu. Padahal belum lama juga kan kamu ikut dia"

"Kenapa Ibu merasa perlu?"

"Hanya ingin memastikan Bapak melakukan semua itu dengan aman. Saya tidak mungkin protes, melarang, atau mengancam minta cerai karena kelakuan Bapak itu"

Farhan hanya manggut-manggut. Ia tidak banyak menatap Winda sedari tadi.

"Saya terlalu membutuhkan Bapak, Han. Nyaman sekali hidup seperti ini. Yang penting Dia masih tetap baik dan peduli sama keluarga, cukup rasanya"

Winda berkaca-kaca. Semua orang tahu kehidupannya sangat berkecukupan, menyenangkan. Tidak ada yang tahu bahwa Ia memendam berbagai gejolak. Tapi, memang Winda sudah terlampau nyaman. Pada usia seperti ini, dengan dua anak yang masih punya masa depan, Ia tak ingin melakukan hal-hal ceroboh. Waktu hidupnya mungkin sisa sedikit, tapi anak-anaknya tidak. Mereka pantas mendapatkan keluarga utuh hingga kapanpun.

"Saya mungkin hanya bisa bilang kalau akan berusaha sebaik mungkin, Bu. Kebetulan Bapak memang selalu meminta pendapat saya. Tapi untuk hal-hal seperti itu, saya belum berani mengintervensi"

"Saya cuma minta tolong itu ya. Mungkin kamu akan lebih didengarkan"

"Saya usahakan ya, Bu."

Mereka kemudian hanya diam menikmati pikiran masing-masing. Farhan merasa berada pada situasi yang aneh. Otaknya berputar bagaimana memenuhi permintaan Winda. Urusan-urusan lendir memang tak pernah coba disentuh oleh Farhan. Selain pengalaman tidak ada, Ia tak mau mengganggu kesenangan majikan. Kalau bisnis, Ia merasa perlu ambil bagian. Setidaknya memberikan pendapat. Itu pun semenjak Ia mulai dipercaya.

Kehidupan rumah tangga ada-ada saja ceritanya, pikir Farhan. Ia pikir, dengan kehidupan serba kecukupan dan komunikasi yang Ia lihat cukup bagus, rumah tangga Dibyo dan Winda adalah idaman. Meski akhir-akhir ini perasaannya dibuat bingung oleh kelakuan Dibyo dalam menyenangkan diri. Kurang apa Winda sebagai istri. Sudahlah cantik, body menggiurkan, sabar, dan sangat peduli. Pernah Ia lihat bagaimana Winda menyiapkan kebutuhan Dibyo ketika hendak dinas ke luar kota. Telaten sekali. Ia sempat membayangkan betapa beruntungnya memiliki istri seperti Winda. Sempat juga Ia ikut makan malam bersama keluarga itu. Winda sangat sabar melayani setiap anggota keluarga. Padahal, jelas-jelas ada asisten rumah tangga yang bisa melakukan itu semua. Winda tinggal tunjuk apa yang dimau. Tapi ternyata itu tidak dilakukan. Kesan positif juga Ia dapatkan dari orang-orang yang bekerja untuk keluarga Dibyo. Winda orang baik. Tidak pemarah dan tidak suka seenaknya. Imaji majikan kaya jahat sangat jauh dari Winda, juga Dibyo.

"Kita balik, Han. Nanti kemalaman sampai rumah"

"Baik, Bu"

"Tapi tidak usah ngebut ya, santai saja"

"Siap laksanakan, Bu. Ibu kalau mau istirahat bisa tidur saja"

"Tidak usah. Saya mau menemani kamu nyetir. Saya duduk di depan ya"

"Ehhh. Baik, Bu."

Farhan kikuk. Ia tidak menyangka dengan keputusan Winda. Bisa-bisa Ia makin grogi. Duh, bahaya ini.

"Sudah tidak usah tegang. Santai saja, Han. Kamu takut saya gigit?"

"Eh, tidak begitu, Bu. Tidak enak saja kalau Ibu duduk di depan. Kok kayak nggak sopan saya ini"

"Kamu kan bukan supir saya. Lagian saya tidak terlalu suka duduk di belakang. Bikin ngantuk"

Farhan mencoba menghilangkan segala perasaan canggung. Selain Istri bosnya, Ia juga sedikit mengagumi Winda.

"Tipe Bapak kalau sedang di tempat hiburan kayak gimana sih, Han?"

"Duh, gimana ya, Bu. Saya tidak terlalu memperhatikan"

"Sudah jangan pura-pura kamu. Saya tidak akan melaporkan ke Bapak. Kamu sudah tahu kan posisi saya seperti apa?"

Mulut Farhan masih kaku untuk mengeluarkan jawaban atas pertanyaan Winda tadi.

"Loh. Malah diam"

"Eh. Anu. Biasanya sih Bapak minta yang kecil, langsing, dan agak imut-imut gitu, Bu. Duh, gimana ya"

"Oh pantes"

"Saya salah jawab ya Bu?"

"Enggak. Tapi, Bapak nggak punya simpanan kan, Han? Atau istri lain?"

"Saya cuma pernah dengar Bapak bilang begini, Bu: Saya memang nakal dan bajingan Han, tapi sampai sekarang tidak ada itu pikiran buat pelihara cewek, apalagi nambah istri"

"Saya percaya kalau kamu yang bilang"

"Mungkin Bapak adalah tipe orang yang mencari kesenangannya seperti itu, Bu"

"Paling tidak Ia masih memikirkan keutuhan keluarga"

"Sepertinya begitu, Bu"

"Kamu belum kepikiran buat nikah, Han?"

"Belum, Bu. Saya saja grogi tiap dekat dengan perempuan"

"Saya pikir karena sama saya saja kamu begitu"

"Bapak sampai sering menggoda saya untuk urusan ini"

"Tapi kamu masih suka sama perempuan kan?"

"Tiap nemenin Bapak sih masih ada pikiran buat ikutan sih, Bu. Tapi tidak berani"

"Kalau sama saya?"

"Hah? Gimana Bu?"

Mobil masih melaju kencang di jalan tol dengan kecepatan 120 km/jam. Dengan penerangan yang minim, suasana sangat gelap. Perjalanan masih sekitar satu jam lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd