Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Dilema Sebuah Hati

PART XXXIV



SAAT HATI DAN ANGAN TIDAK SEJALAN



“kok aku sepertinya selalu ditepikan saat anak-anak datang kesini?” keluhan terbuka dari Rani kali ini membuyarkan diamnya Aslan.

Rencana kedatangan anak-anak Aslan dari Bekasi malam hari ini dan akan menghabiskan waktu hingga minggu malam nanti, menjadi penyebab munculnya keluhan dari Rani kali ini.

“setiap anak-anak datang atau kalau mau ke Bekasi, aku selalu harus menepi….”

Mata indah itu agak bertelaga

“sampai kapan kita begini, Bang?”

Suara yang tadinya agak tinggi itu lalu hening, berganti dengan tarika nafas dan tangisan yang pelan-pelan mulai mengantar rasa kesal dan sedij Rani atas ketidak adilan yang dia rasakan dari Aslan

Aslan hanya bisa terdiam tanpa harus bisa bilang apa-apa.

Hari Jumat sore ini memang sudah dijadwalin dari minggu kemarin saat Aslan tidak ke Bekasi. Hari ini jam 7 malam, Ravi dan Arvind bakal mendarat di Makasar, sehingga Aslan pun kembali meminta pengertian Rani untuk tidak bisa mendampinginya dari jumat sore hingga minggu sore, karena ada anak-anak yang datang.

Dan bukan itu sebenarnya alasan utama dari Aslan untuk meminta waktunya selama akhir pekan tidak bersama Rani yang sudah punya rencana berdua menghabiskan malam minggu, kali ini kehadiran anak-anak tidak sendirian seperti sebelum-sebelumnya mereka naik pesawat dan dititip di pesawat. Ada mami mereka, Adiba juga ikut datang mendampingi mereka, dan tentu sekaligus mengunjungi kekasihnya.

“aku ngga masalah dengan anak-anak itu……” tisu jadi penyeka airmatanya Rani

“tapi kasih kesempatan aku untuk kenal mereka dong…. biar mereka juga ngga punya pikiran kalau aku akan rebut ayah mereka……”

Penegasan Rani sepertinya bagai todongan pedang ke punggung Aslan, untuk mengambil jalan tengah tanpa harus melukai siapa pun.

Namun Aslan tahu persis apa yang akan terjadi jika dia menuruti apa yang diminta Rani.

“oke, mereka anak dan ponakan kamu, Bang…. tapi kan kalau aku juga harus dapat restu dari mereka, abang bantu aku untuk kenal mereka dong…. bukan malah dibuat sepeerti makin lebar jurangnya…..”

Aslan hanya bisa berdiam diri menghadapi keluhan dan tangisan Rani kali ini. Dia sadar dia sudah menempatkan dirinya di posisi yang sangat sulit, dan akibat ketidaktegasannya ini justru membuat luka hati orang-orang yang mencintainya malah tambah ternganga lebar.

Ingin rasanya dia berkata tegas!

Namun selalu saja ada rasa galau dan bimbang kalau harus melukai perasaan wanita, meski tanpa dia sadari bahwa dengan diamnya dia dan membiarkan masalah ini makin tenggelam dalam pusaran yang tidak berujung, maka kelak bukan aliran yang lancar yang dia dapat, tapi sumbatan yang akan buat banjir dan bencana bagi semuanya.

“aku ngga masalah kalau harus berusaha rebut hati mereka……” nafasnya berderu menahan emosi dan tangisan

“tapi kasih aku ruang dan waktu untuk bisa dapatin hati mereka…..”

“ngga apa-apa, toh mereka juga anak-anak abang juga… anak-anak aku juga nantinya…. meski aku bisa lahirin anak kita sendiri, anak darah daging kita sesuai dengan berapa yang abang mau anak kita……”

“tapi kalo mereka dijadikan alasan untuk abang tetap menjaga agar kita tida melangkah lebih jauh lagi….. rasanya kok ngga adil buat aku…..”

“sampai kapan aku harus mengalah sih? Sampai kapan bang??” suara pilu Rani masih terngiang di telinga Aslan hingga saat dia meninggalkan Rani sore itu, dan bertolak ke bandara untuk menjemput anak-anaknya.

Jauh di lubuk hatinya dia tentu tidak ingin melukai hati siapa pun. Bukan tipikal Aslan menjadi seorang playboy. Namun kehadiran dan pintu kedua wanita ini terbuka mendadak dan hampir bersamaan, membuat ketidak tegasan Aslan pun dianggap sebagai signal penerimaan yang sempurna, terutama bagi Rani yang sejak awal bertemu sudah jatuh hati dengan dirinya.

Hatinya juga sebenarnya bergejolak dengan apa yang terjadi belakangan ini. Selain faktor kedekatan, adanya anak-anak dan bahkan lamanya waktu mereka bersama meski dengan situasi yang berbeda, ada sebuah rasa yang dia dapatkan dari diri seorang Adiba, selain memang ada sepenggal gumpalan darah dan kemiripan Nafia yang terdapat di diri Adiba. Namun Aslan merasa bahwa ada rasa yang sulit dia bohongi jika dia lebih nyaman dan tenang jika bersama Adiba.

Dan celakanya, meski dia ingin mengambil sikap itu, dia tetap saja sulit untuk memberi ketegasan ke Rani. Kebaikan hati dan penerimaannya yang tulus terhadap Aslan, serta faktor lain seperti dukungan keluarga dan lingkungan dan kedekatannya yang bisa dibilang hampir setiap hari bertemu, membuat Aslan tidak tega jika harus melukai hati wanita, apalagi wanita sebaik Rani.



**************************

Getaran di ponsel Aslan sedikit membuat lamunannya tersadar.

Nama mamanya Ulfa muncul di layar Samsung S23 Ultra miliknya. Aslan memasang headsetnya, sambil dia memundurkan mobilnya yang baru tiba di parkiran bandara dan menunggu kedatangan anak-anaknya yang sedikit lagi akan mendarat.

“assalamualaikum Ma….”

“wa’alaikumsalam Nak….”

Seperti biasa Ulfa berbasa basi sedikit dengan anaknya. Anak kebanggaannya yang selalu dia cintai dan sayangi.

Aslan tahu pasti ada yang akan dibicarakan sama Mama, karena ini bukan suatu kebetulan semata.

“abang di kantor atau?”

“di bandara Ma…. anak-anak kan datang…..”

“oh oke…”

“ini baru juga nyampe…”

Lalu

“ sama Diba juga ikut?”

Aslan tersenyum dalam hatinya

“iya Ma… pas hari libur juga kan….”

“iya, tadi Arvind yang bilang kalo Diba juga ikut, Diba nya sih ngga bilang pas kesini tadi…..”

Aslan bisa memaklumi kondisi psikis Adiba yang mulai serba salah dengan hubungannya ke keluarga Aslan semenjak hubungan mereka berdua makin jauh belakangan ini, meski dia juga agak menyayangkan kenapa Adiba tidak sportif saja.

“oh gitu, abang ngga tau deh kalo masalah itu Ma……”

Diam sesaat

“abang sendiri jemput?”

“iya Ma……”

Dia kenal sekali dengan ibunya ini, dan dia pun tahu akan kemana arah pembicaraan ini.

“ kenapa ngga ajak Rani jemput?”

Aslan kembali tersenyum dalam hatinya mendapat pertanyaan seperti itu

“ngag apa-apa Ma… nantilah ada waktunya…..”

Ulfa menghela nafas diujung sana……

“ mama harap abang jangan sampai menyakiti hati wanita yang sudah sangat baik dan tulus ke abang…..”

Aslan kali ini yang diam

“ Kalau abang memang tidak punya hati ke Rani…. sebaiknya abang jangan kasih harapan ke anak orang……” nasehat Ulfa lagi

“ mama sih berharap abang dapat yang terbaik…..”

“ Rani wanita yang baik Ma…. “ potong Aslan

“nah makanya itu…. anaknya sopan, cantik, jelas bibit dan bobotnya juga…. dia pun sangat cepat dan mudah beradaptasi……”

Pujian Ulfa ke Rani memang sudah diprediksi oleh Aslan

“ biar mengalirlah Ma…. nanti juga abang akan putuskan sendiri kok…..”

“ya maksud mama, kan abang sudah lama sendiri, semua syarat sebagai pria sukses pun abang sudah punya….. “

Aslan mendengar semua celoteh sang mama

“ jika sudah bertemu yang terbaik kan sebaiknya abang seriusi…..”

“abang serius Ma…..”

Ulfa terdiam sesaat

“mama ngga meragukan keseriusan hati anak mama sendiri…. tapi rasa tidak tega dihati abang itu yang kadang tanpa abang sadari bikin orang sakit…..”

Aslan mengerti apa yang akan disampaikan mamanya

“ade sama si bang Ravi dekat ke abang, itu bagus nak…. abang tahu gimana hati mama ke anak-anak itu, mereka cucu mama juga……”suara mamanya agak lirih

“ tapi bukan kemudian itu jadi halangan buat abang untuk pilih jalan abang sendiri…..”

Hanya kesunyian diantara mereka

“ atau abang ada planning lain?”

Suara klakson mobil yang hendak lalu lalang di area parkiran terdengar bersahutan

“ngga ada Ma…..”

“ kalau tidak ada jangan abang kasih kejutan lagi ke mama…..”

Ultimatum halus dari mama bagaikan melambungkan Aslan untuk kembali ke masa lalunya saat dia meminta bahkan tepatnya ‘memerintahkan’ keluarganya untuk sepakat dengan keputusannya menikahi Nafia saat itu.

“satu lagi….. mama mau nanya serius ke abang…..”

Hati Aslan agak was was jadinya

“iya Ma….”

“abang sehat-sehat saja kan dengan Adiba?”

Pertanyaan Mama yang biasa saja seketika membuat Aslan kaget. Dia sudah menduga akan muncul prasangka dan tanya seperti ini, cepat atau lambat pasti akan tiba saatnya tanya dan syak sangka ini hadir

“baik-baik aja ma… seperti biasa…..”

Shit Aslan, why don’t you just be honest?? maki dirinya sendiri ke mulutnya

Ulfa terdiam mendengarnya

“masalahnya di lingkungan keluarga di-sebelah gossipnya sudah beredar dan itu bukan dari satu orang saja yang mama dengar….”

Guliran bola kini kembali ke tengah lapangan sepertinya

“ Mama tidak mau percaya begitu saja… ade kamu juga sama, Bang… makanya mama tanya langsung…..”

Aslan masih terdiam

“ jangan anak-anak jadi alasan buat abang untuk memilih yah….”

Kata-kata lembut Mama memang terdengar datar dan tenang seperti biasanya. Namun jika itu sudah terucap, maka ada tersirat perintah, keinginan, dan juga harapan yang harus diterjemahkan sendiri oleh Aslan.

“iya Ma….”

Secara dengan gamblang kata-kata Ulfa dengan mudah dipahami oleh Aslan bahwa mamanya menyimpan harapan berbeda dengan keluarga di sebelah tentunya.

“mama berharap tidak ada beban yang harusnya bukan beban abang yang tanggung, saat abang mulai lagi nanti……”

Aslan hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Mamanya. Meski tidak pernah terucapkan, perhatian Aslan yang terlalu dalam ke anak-anak Adiba, memang kurang berkenan di mata Ulfa sebagai ibu dari Aslan

“ iya Ma…”

Aslan enggan mendebat mamanya. Dia lebih memilih untuk tetap tenang dan akan bicara pada waktunya nanti.

“ dan seharusnya jika anak-anak datang, atau bahkan Diba juga ikut, abang ajaklah Rani ikut dan kenal dengan mereka……”

Instruksi yang semakin dalam rasanya

“biar ngga jadi fitnah Bang……”

Masih terdiam Aslan

“ masalahnya di Cibanon pun sudah santer katanya masalah hubungan kalian berdua….”

Cibanon adalah sebutan untuk keluarga besar Jafar, merujuk ke tempat tinggal nenek dan kakeknya Adiba

“mama suka dengan Adiba, dengan anak-anak juga abang tahu gimana dekatnya mereka…. tapi bukan artinya anak mama harus mengabdi terus seperti ini kan?”

Lancarnya omongan mamanya menyiratkan Aslan bahwa ada uneg-uneg yang sudah lama ditutupi dan baru kali ini dibuka oleh Ulfa

“iya Ma….”

“abang harus tegas……”

“iya Ma…..”

Ulfa rasanya harus menyadarkan Aslan untuk bersikap.

Kedekatan Aslan dan Adiba memang sulit untuk disembunyikan. Jangankan keluarga dekat mereka, para tetangga yang sering melihat Aslan dan Adiba baik hanya berdua semobil atau dengan anak-anaknya, juga bertanya tanya pastinya. Ada yang diam-diam, namun banyak juga yang terang-terangan langsung bertanya ke Ulfa saat ada pengajian, atau acara bersama di lingkungan kompleks mereka.

Laporan dari beberapa keluarga besar mereka yang kebetulan Ulfa kenal memang bukan bersifat langsung, mereka lebih ke menanyakan pendapat Ulfa, karena obrolan di lingkungan kecil lalu bergeser ke lingkungan yang lebih besar lagi, akhirnya pun tiba ke telinga Ulfa yang awalnya membiarkan itu, karena dia berpikir tidak mungkin

“mama sudah lama tidak melihat pacarnya datang kesini…. “

“karena mama jarang dirumah kali…..”

“ngga juga…..”

Aslan tahu, mamanya pasti sudah bergerilya bertanya sebelum memastikan ini

“jangan sampai abang yang jadi penyebabnya yah….”

Kembali lagi Ulfa mengirim signal ke isi kepala Aslan.

Secara terbuka mamanya memang tidak mengatakan tidak jika rumor itu benar adanya. Namun kedekatan Ulfa dan Adiba baru belakangan ini terjalin dengan baik, dan ditambah Adiba memang tidak seluwes Nafia dalam mendekati siapa pun, termasuk ke keluarganya sendiri, apalagi keluarga Aslan yang dulunya bahkan berani dilawan secara langsung oleh wanita itu.

Ini yang membuat Ulfa tidak bisa ‘menerima’ Adiba seperti dia menerima ketulusan hati seorang Nafia, meski hubungan mereka juga baik, apalagi dengan masuknya anak-anak sebagai cucu dari Ulfa. Arvind bagaikan mutiara yang jadi sumber pancaran sinar indah diantara dua keluarga yang berseteru dan awalnya diperkirakan akan jalan sendiri-sendiri setelah berpulangnya Nafia.



***********************

3 misscalled yang masuk ke ponsel whatsappnya terdeteksi saat dia menutup telepon dari Mamanya. Ultra s23 miliknya merupakan pemberian dari Adiba sebetulnya, yang memaksanya menggunakan ponsel premium ini. Bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk kecepatan dan prestige sebagai seoarang direksi. Demikian alasan Adiba saat membelikan itu ke Aslan. Melihat ada misscall yang masuk, segera Aslan menelpon balik

“ayah….”suara Arvind menyapanya

“ya sayang….”

“kita sudah nyampe….”

“ayah sudah di bandara juga…”

Terdengar suara wanita dari belakang

“bilang kita sudah ambil bagasi……”

“kita sudah ambil bagasi…..”ujar Arvind lagi

“oke, ayah tunggu di pintu keluar yah….”

“oke Yah…..”

Aslan lalu dengan sedikit bergegas berjalan ke arah lobby kedatangan penumpang domestik di bandara Hasanuddin. Meski hari sudah mulai gelap, namun deru hiruk pikuk penumpang masih saja ramai dan berseliweran sana sini.

Dia dengan sedikit agak tegang menunggu datangnya belahan hatinya yang sudah dua minggu lebih tidak dilihatnya secara langsung.

“ayah…..” teriakan Arvind terdengar

Anak itu lari dan menghambur kedalam pelukan ayahnya

Disusul oleh abangnya Ravi yang juga memeluk Aslan.

Dan dibelakangnya muncul wanita yang menyita perhatiannya belakangan ini. Sejenak dia meletakkan koper yang ditariknya, lalu tenggelam dalam pelukan pria yang dirindukannya itu.

“sehat sayang?”

“sehat dong…. ketemu ayah makin sehat….” bisiknya lembut

Lalu

“ayo, kita ke parkiran…..”

“oke…..”

Jika sudah seperti ini maka Adiba harus mengalah ke anak-anaknya. Arvind sambil tangan kanannya menggandeng ayahnya, dia menggendong tas kecilnya

“aku kan baju aku ada disini, aku ngga bawa koper….” kilahnya dia saat ditanya hanya menenteng satu tas saja.

Aslan hanya tersenyum mendengar celoteh anaknya itu. Dia sementara melupakan semua percakapan dengan ibunya baru saja, kedatangan ketiga sosok yang dekat dengannya ini sudah cukup mengalihkan dunianya sesaat, termasuk laporan ke Rani di mana dan bersama siapa dia saat ini.

Sesekali Aslan menjawab celotehan anak-anaknya yang kini sibuk sambil meemgang gadgetnya masing-masing di kursi belakang

“ayah, besok kita ke pantai Losari, tapi ade jalan saja ama ayah yah…. kan sepeda ayah masih ketinggian buat ade….”

“oke….”

“kalo gitu abang sama Bunda aja yang naik sepeda…..”tukas Ravi

“ lagian ayah beli lagi lah satu yang kecilan buat Ade….”

“eh, sembarang aja main beli-beli….” potong Adiba

“iya, ade suka ngebut…” kata Ravi

“ngga….”

“itu, kemarin ade nabrak pagarnya Tante Susan…. kapan itu lagi mecahin pot Bu RT…”

Arvind terdiam sesaat

“itu kan salah potnya, kenapa di pinggir jalan….”ujarnya pelan dengan mimik lucunya

Asalan dan Adiba tertawa mendengar celotehan mereka berdua

“lapar ngga?”

“lapar…..” dengan cepat Arvind menjawab

“ade mau makan apa?”

“aku mau ikan aja…. tapi ngga pake sambal, nanti aku kepedasan….” jawabnya santai

“abang?”

“abang cumi goreng tepung aja Yah….”

“oke….”

Aslan lalu menengok ke Adiba

“seafood aja yah…”

“iya, terserah sayang….”

Senyuman Adiba sambil menengok ke arah Aslan bagai membuat Aslan semakin terpesona. Wanita ini bagai membius Aslan belakangan ini untuk selalu tetap dan tetap memandangnya, meski banyak mata yang lain yang ingin agar tatapan Aslan berpaling.

“Senyum-senyum dari tadi” ujar Adiba sambil menggandeng tangan Aslan, mengiringi langkah anak-anaknya yang berjalan di depan memasuki rumah makan seafood di kawasan jalan Lamadukelleng itu.

“yah senang lah lihat mami dan anak-anak….”

Adiba lalu sedikit menyenderkan badannya ke lengan Aslan

“kangen ayah….”

“sama dong… kangen juga sama mami….”

Adibe mengulum senyumannya

“ini kok keras….” bisik Aslan

Adiba mencubit lengan Aslan saat ketahuan nenennya yang mengeras akibat bertempelan dengan lengan Aslan

“emang ayah ngga kepengen?” bisiknya agak mendekat di telinga Aslan

“pengen dong…..”

Adiba tertawa

“disini aja yah Yah….” ujar Ravi memilih tempat duduk

“iya Bang….”

Aslan lalu menarik kursi untuk dirinya dan Adiba

“aku mau dekat ayah….” ujar Arvind

Adiba akhirnya mengalah

“ya sudah…..”

Dia senang sekali mereka berempat bisa berkumpul seperti ini.

Sambil memilih menu dan dan bertanya tanya ke pelayan restoran itu, Adiba merasa sangat senang hari ini bisa berkunjung ke Makasar. Anak-anaknya bisa happy dan bertemu dengan ayahnya, dan dia pun bisa bertemu dengan belahan jiwanya. Sayangnya ada anak-anak membuat dia harus mengerem berbicara mesra dan menumpahkan kebucinannya ke Aslan

Ping

Ya Mi, dekat aja kok pake wa

Ngaco ayah, mau anak-anak dengar apa?

Dengar apa?

Dengar kalo mami lagi pengen

Wkwkwkwkwkwk

Yah

Iya Mi

Foto terkirim

Wow… mantap

Suka ngga?

Banget

Nanti malam mami pake yah

Iya siap


Aslan tertawa dalam hatinya dan senyumnya melebar melihat foto lingerie yang dikirm oleh Adiba barusan

Aku rapihin sedikit yah

Kok dirapihin?

Ih, menjuntai aneh gitu

Hahahahahaha

Ngga apa-apa kan?

Aman lah, mau kayak gimana pun kan punya mami ini


Tiba-tiba

“mami kok senyum-senyum sendiri?” tegur Ravi

“wa an ama ayah yah?” tebaknya lagi

“ngga kok…..” bantah Adiba yang diselingi tertawa oleh Aslan

Dia agak malu karena whatsappan mereka ternyata yang disertai bahasa tubuh dan senyuman itu terlihat oleh anak-anak mereka, sehingga tudingan dari Ravi memang masuk akal jadinya

“ayo makan yuk…….” potong Adiba saat masakan mereka mulai dihidangkan diatas meja.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd