Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG CONGORIS (By : FigurX)

Mantap s



PART 3 : I'll GO WHEREVER YOU WILL GO
If I could...




"I'll go wherever you will go" The Calling

So lately, been wondering
Akhir-akhir ini, aku bertanya-tanya
Who will be there to take my place
Siapa kan gantikan tempatku
When I'm gone you'll need love
Saat aku tiada, kau kan butuh cinta
To light the shadows on your face
Tuk terangi bayangan di wajahmu

If a great wave shall fall
Jika gelombang besar kan menimpa
And fall upon us all
Dan menimpa kita semua
Then between the sand and stone
Maka di antara pasir dan batu
Could you make it on your own?
Bisakah kau lalui itu sendirian?

CHORUS
If I could, then I would
Andai aku bisa, pasti aku mau
I'll go wherever you will go
Aku kan pergi kemana pun kau pergi
Way up high or down low
Terbang tinggi atau terjun rendah
I'll go wherever you will go
Aku kan pergi kemana pun kau pergi

And maybe I'll find out
Dan mungkin kan kutemukan
A way to make it back someday
Jalan untuk kembali suatu hari nanti
To watch you, to guide you
Untuk melihatmu, untuk memandumu
Through the darkest of your days
Lewati hari-hari terkelammu

If a great wave shall fall
Jika gelombang raksasa akan menimpa
And fall upon us all
Dan menimpa kita semua
Well, then I hope there's someone out there
Maka kuharap ada seseorang di luar sana
Who can bring me back to you
Yang kan membawaku kembali padamu

Run away with my heart
Pergi dengan hatiku
Run away with my hope
Pergi dengan harapanmu
Run away with my love
Pergi dengan cintaku

I know now, just quite how
Kini kutahu, tahu seperti apa
My life and love might still go on
Hidup dan cintaku masih kan bertahan
In your heart, in your mind
Di hatimu, di benakmu
I'll stay with you for all of time
Aku kan bersamamu setiap waktu





Scene 1, Tetes Embun
____________________



[POV orang ketiga]



"Jika sampel itu segera mendapat respon, maka sebentar lagi aku akan ke Jakarta. Aku harus bisa mendapatkan Rani sebelum ke Jakarta!!" ucap seseorang lirih. Ia masih berpikir dan mengatur cara agar bisa segera mendapatkan hati si cantik Rani.

Pagi itu, saat perkuliahan batal dilakukan karena sang dosen terjebak hujan lebat, seorang pria diam-diam menemui Rani. Agar tak mencolok, ia menunggu hingga Rani benar-benar sedang sendiri. Nasib baik berpihak kepadanya, Ita tidak balik ke kosan karena langsung dijemput Ibunya untuk pulang ke Nganjuk. Dewi, karena hujan lebat akhirnya ia dijemput mobil oleh Hajar, istri Khusna, atas permintaan kakaknya Dewi tentunya.

Mahasiswa lain juga sepertinya disibukkan dengan urusan hujan. Dan Rani, sedang resah sendiri karena ia harus rela menunggu hujan reda agar bisa segera berangkat ke terminal. Ya, hari itu jumat dan sebagian besar mahasiswa luarkota akan pulang, tak terkecuali Rani.







"Belum pulang?" tanya si pria menyapa Rani yang sedikit kesal menunggu hujan.

"Belum Ka. Udan ngene, yopo isok budal nang bungur (hujan begini, bagaimana bisa berangkat ke bungurasih)!" jawab Rani yang ternyata sedang berbicara dengan Raka, Sang Pendekar bermata sedingin es.

"Hmm..Bareng ta?, aku nggowo mantel dobel. Yo lek gelem seh. Soale aku yo arah gedangan, onok perlu (Mau bareng?, aku bawa mantel dua. Yaa kalau mau sih. Karena aku juga arah ke gedangan, ada perlu)," lanjut Raka terkesan tak terlalu memaksa. Meski sebenarnya, itulah gaya Raka dalam memancing wanita. Gaya sok cuek tapi bikin penasaran. Penasaran pingin nabok!! Haha.

"Ooh..yowes boleh deh. Timbang ngakik nang kenas, ga jelas blas kapan terange hare. Isok-isok malah aku njahe tutuk ngalam (Daripada jamuran di sini, ga jelas kapan reda nya. Bisa-bisa aku sampai malang sambil dongkol)," balas Rani cepat.

Kedua muda-mudi tersebut akhirnya capcuss meninggalkan pelataran kampus dengan mengendarai motor matic sejuta umat, Varyo.

"Wes sarapan Ran?" teriak Raka dari balik helm yang berlapis kaca bening tertutup. Suaranya seperti tenggelam dilahap gemuruh hujan lebat yang disertai petir. Namun pendengaran Rani masih sangat normal. Ia bisa mendengar kalimat tersebut mesko sedikit samar.

"Dorong Ka, niate mari kuliah, eh tibakno malah ngeblong (Belum Ka, niatnya setelah kuliah, eh ternyata malah jam kosong)!" Rani ikut berteriak melawan gemuruh hujan. Semburat air hujan membasahi paras cantiknya saat sejenak ia membuka kaca helm demi membalas pertanyaan Raka.

Tanpa meminta jawaban, Raka segera mengarahkan motornya ke penjual nasi pecel langganannya. Harganya murah, enak, dan porsinya barbar. Menu kuli banget dah pokoknya.

"Maem sek yok," Raka menggandeng tangan Rani setelah berdua mereka melepas mantel masing-masing. Tak ada penolakan?...yesss.

"Kenapa sih Ran tiap weekend selalu pulkam?, apa ditungguin cowok kamu disana?" bahasa yang lugas, simpel, dan tidak bertele-tele. Begitulah ciri khas Raka.
---Sambil menikmati nasi pecel, mereka pun ngobrol.

"Hehe...mancing nih?. Ga, aku ga punya cowok. Yaa bete aja di kosan, semua pada pulang, masa aku bengong sendiri di kosan sih!" memang beda ya ngobrol sama cewek cerdas. Daya nalarnya tinggi. Cara jawabnya juga konstruktif.

"Ooh...jadi kalau ada temennya, ga pulang?" ucap Raka memastikan sekaligus memancing di air comberan.

"Ya gitu deeh," jawaban yang sesuai dengan keinginan Raka. Atau juga Rani yang memancing balik.

"Yaudah abis ini balik ke kosan aja," kalimat candaan yang sangat persuasif. Tentu Rani akan midah menangkapnya.

"Hehe...next deh Ka. Aku terlanjur janji mo nemenin ibuku besok belanja. Ada pesenan catering!" jawaban diplomatis Rani yang sulit untuk disangkal.

"Lho ibuk nerimo pesenan catering pisan (nerima pesanan catering juga)?. Wah sama dong kita, ibuku juga," bukan Raka namanya jika tak bisa ngeles dari jawaban diplomatis Rani.
---"Tapi next bisa ya??" kejar Raka.

"Ga janji, tapi aku usahakan!" lagi-lagi jawaban diplomatis dan terkesan ngambang. Kali ini Raka hanya mampu diam tak mampu berkomentar.

"Iih Raka, belepotan banget kalau makan hmm," tangan Rani terjulur membawa tisu dan mengusapkan lembut ke bibir Raka. Deg deg plasss..hati Raka melambung. Tapi Raka masih berusaha tenang. Karakter cool harus tetap dipertahankan.


Gandengan tangan, usapan tisu, jawaban ngambang Rani, semuanya memberikan celah jalan bagi Raka untuk bisa terus masuk mengejar hati sang dara. Namun entahlah, Rani tipenya cukup rumit untuk ditebak perasaannya. Kecerdasannya mampu menutupi setiap detail gelagat yang sekiranya akan menjurus pada respon kebaperan bagi lawan bicara.

Tentu pembaca akan sedikit bingung. Ini Rani bagaimana sih?. Inul welcome, Raka welcome. Lalu Rani akan memilih siapa?. Haha yang jelas bukan Udin. Kecuali Rani khilaf hahaha.


-----------


[POV Seno]


Malam belum terlalu larut. Aku batal pulang akhirnya pekan ini karena besok dan lusa aku harus segera merampungkan project sampel agar bisa segera dikirim ke kakaknya Yosi di Jakarta.

Udin sudah sedari pagi pulang ke Nganjuk. Sedangkan Inul baru sejam yang lalu berangkat ke Lamongan untuk berlibur di rumah saudaranya. Alhasil aku hanya tinggal seorang diri di kosan ditemani jutaan nyamuk yang haus darah.

Merasa bosan, kucoba turun ke lantai satu mencari bapak kos atau mungkin Dini. Setidaknya ada orang yang bisa diajak ngobrol menghabiskan malam hingga kantuk datang menyerang.

Kutoleh ruang tengah, tivi dalam keadaan mati. Tak ada seorangpun disana. Di teras juga tak kutemukan siapa-siapa. Merasa sia-sia akhirnya aku melangkah kembali menuju tangga. Namun baru melangkah di dua anak tangga kudengar suara gemericik air dari arah kamar mandi. Hmm.. sepertinya ada orang disana. Akupun mengurungkan langkah dan beranjak duduk diruang tengah sambil menyalakan televisi.


Cekrekk..

Kamar mandi di samping ruang tengah terbuka, muncul Dini dengan hanya berbalutkan handuk dan berjalan hendak menuju ke kamarnya. Spontan ia kaget begitu melihat aku disana.

"Lho mas...kirain pulkam!" ucap Dini heran.

"Aku tok seng ga mole (aku saja yang tidak pulang) yang lain sudah pulang. Ada latihan band besok," jawabku datar. Jujur aku jadi tidak konsen untuk menjawab pertanyaan Dini karena tersilapkan pandangan pada kemolekan tubuhnya.






"Cah iki isih SMA tapi kok mantep tenan awak e (Anak ini masih SMA tapi kok mantap banget body-nya)," batinku sambil tak lepas memandang bagian dada serta bagian pantatnya yang menonjol.

Kulitnya yang bersih ditambah handuk yang hanya melilit di sebagian dada hingga paha atasnya membuatku tak mampu berpikir jernih. Ini lebih dari sekedar nonton blue film di layar. Ini nyata dan jauh lebih indah.

"Wew..matanya rek!!" Dini mencibirkan bibirnya seolah marah, namun dengan ia tetap berdiri di tempatnya cukup mewakili bahwa ia hanya sekedar basa-basi.

"Ehh..hehe s-sori ddik. Lho bapak ibu mana?" Ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Bapak sama ibu ke Blitar, paklik (paman) di-opname!" balas Dini masih tak mau beranjak dari tempatnya.

"Yaudah deh mas, sek yo (sebentar ya) Dini ganti baju dulu!" ucap Dini lagi. Aku hanya mengangguk mempersilahkan.


"Mass.. Mas No... minta tolong sebentar sini!" Dini berteriak dari dalam kamarnya. Pintu kamar itu masih terbuka. Tanpa pikir panjang aku langsung menujj kamar Dini.

"Mas lampunya mati. Tolong mas gantiin bentar. Itu ada cadangan lampu baru diatas meja belajar!" dengan sigap aku ambil lampu di meja, kemudian beranjak naik ke atas ranjang untuk menjangkau lampu yang ada ditengah ruangan kamar.

Setelah selesai, kuminta Dini menyalakan saklar. Berhasil, lampu sudah menyala kembali. Segera ku ulurkan lampu bekas yang sudah kulepas kepada Dini. Sedikit berjinjit Dini mendongak dan menerima lampu dariku.

Tapi namanya nasib lagi mujur. Posisi Dini yang terangkat kedua tangannya menjangkau lampu pemberianku membuatnya melepaskan pegangan pada gulungan handuk di tubuhnya. Tarikan tubuhnya yang berjinjit membuat handuk itu melonggar dan lepas dari tubuh si dara cantik. Handuk cepat meluncur terjun ke lantai.


Hahh..


Baik aku maupun Dini sama-sama terkejut. Dini telanjang bulat mempertontonkan dadanya yang membulat indah berikut lekuk-lekuk serta semua bagian privasinya terekspos maksimal.

Kami sama-sama terdiam. Beberapa detik Dini belum tersadar untuk segera mengambil handuknya kembali.

"Dik.. i-itu nya ke-kelihatan!!" ucapku terbata.

Namun diluar dugaan, Dini malah tersenyum.

"Woiii.. kok malah mesem iki lho (kok malah senyum sih)!" teriakku polos.

"Udah puas mas lihatnya??. Kalau sudah, sini cepet turun. Aku ga rela kalau mas gak bayar ganti rugi!!" Dini menjawab dengan centil.
---Aku segera turun. Biar lebih jelas lihatnya hehe.

"Kok ganti rugi!!, ganti rugi opoo?" desisku tak paham arti dari ucapan Dini.

"Iya ganti rugi. Mas kudu bugil juga biar impas. Enak aja aku doang yang diliatin!!"
Dueeeerr...
---kali ini aku yang kaget. Anak ini nekad banget sih.

"Iya buruan dibukaaa!!!, atau aku teriak nih biar tetangga pada dateng!!" perintah Dini mengancam.

"Issh Dini opo seh. Iya iya aku buka!" potongku gugup. Kacau nih kalau sampai tetangga pada tahu. Bukan aku saja, bisa-bisa Udin dan Inul juga akan diusir dari kosan itu.

Dengan bergetar kulepaskan kaos oblongku, dilanjut celana pendek yang aku kenakan. Masih tersisa celana dalam, dan ini cukup meragukanku. Baru kali ini aku telanjang di depan wanita.

Mati koen lek ngene carane (mampus deh kalau begini caranya). Ajooor Jum!!!

"Issh...CD-nya ndang (buruan)!" Dini makin memaksa.

"Bukakno (bukain)," hahaha aku kerjain kamu sekalian. Ancur-ancur wes.

Dini melangkah mendekat. Buah dadanya bergoyang indah mengikuti langkahnya.


Srutt...

Mak jendul (Nah). Batang torpedoku yang sudah menegang langsung menyentak dan memukul wajah Dini. Asli dia kaget banget.

"Yaa ampun mas. Keras banget kelihatannya," ucap Dini polos.

Memang batang kejantananku bukan kelas besar dan wah. Sedang dan lumayan saja. Namun kerasnya itu yang membuat beda. Kokoh tak tertandingi. Ga ada lunak-lunaknya sedikitpun.

"Pernah lihat sih lihat pemain BF indo, meski tegang tapi kayak gembur gitu. Nah punyamu ini, ga ada dagingnya yo?. Koyok kayu (mirip kayu) hihihi..." Dini malah terkekeh. Aku bingung antara bangga dan malu.

"Ahh dik..jangan diliatin gitu ah. Maluu!" ucapku berterus terang.

"Kalau ga mau dilihatin trus mintanya apa?, diginiin..." tanpa permisi Dini mencaplok misterpop-ku. Lidahnya sibuk menjilat-jilat. Aku syoook gaess...gendeng.

"Ehh ehh jangan gituu!!!" aku seperti melarang, namun tepatnya malah membiarkan Dini melakukan ritual caplok-nya.

"Mmmbiarlin..ehhm," jawaban Dini terhalang kenyotannya. Kakiku gemetar. Aku sampai duduk di ranjang karena saking tak kuatnya.

"Mas rebahan dong!" pinta Dini. Aku nurut saja. Daripada ga jadi di kenyot, malah aku yang sengsara haha.

Dini berdiri menaiki ranjangnya. Kaki melangkah didekat kepalaku. Aku diam tak mengerti maksudnya.

Dini pun jongkok dan menelungkupkan badannya.

"Jilatin juga memek Dini mas..." ucap Dini sambil kemudian ia menyambar lagi batang purbakala-ku.

Ooh fix ini gaya 69 yang legendaris itu hahaha. Sebagai cowok polos yang berhasrat tinggi, aku mau-mau aja melakukan perintah Dini. Terlanjur basah, ya sudah masuk got sekalian. Haseeek..

"Ehhmm ssh," Dini mendesah.

Aku tak tahu bagaimana caranya. Yang jelas aku menyedot dan menjilati semua missvi Dini tanpa terkecuali. Mbuh bener opo salah..*** ngurusss. Seng penting enak.

Ada semacam kacang tanah di pojok atas liang missvi Dini. Cepat kujilat dengan semangat.

"Oooohhh," Dini melenguh keras saat kacang itu kujilat. Hmm ternyata ini pusat rangsang dia. Aku yang berotak lumayan dan ga jelek-jelek amat segera merangkai pikiran, mengambil kesimpulan.
---"Hmm..kacang ini mungkin ibarat kata seperti helm proyek misterpop laki-laki. Seng paling sensitip kan nang kunu (disitu). Pusat hulu ledak wkwkwk.." pikiranku melayang membayangkan setiap kata yang telah muncul dalam batin. Ini pengalaman pertamaku, dan wow gitu dweh.

Melihat Dini yang bergejolak ketika di sentuh bagian kacang mede, semakin kumainkan daerah itu.

"Ooshh..." yapp benar kan?!, dia semakin keenakan. Pinggulnya goyang kesono kemari tak jelas. Bukan goyang patah-patah, bukan juga goyang gergaji, tapi lebih tepat disebut goyang 'sakarepe dewe', kacau goyangannya, ga ada irama babar blas.

Tentu saja aksi kulum misterpop jadi terganggu. Dini lebih asyik menikmati sensasi atas dirinya sendiri. Tugas negara ia lupakan begitu saja, "damputt Nii Dinii. Aku malah jadi pelayan pramusaji. Barangku nganggur kuwi lho cahh..cahh!!" resah hatiku tentu tak terdengar olehnya. Wooh, jambuu!!.

"Mas aauhh akuu mo pipiss ahh!!" desah Dini kacau.

"Lho lho Din...walah, ojo mok uyuhi raiku (jangan kencingi wajahku). Walahh..!!" aku berteriak panik.

"Weeihh cek lugune pean iku (lugu banget kamu itu) mas ahhh. Bukan pipis itu.. iku ejakulasi ssshh.. cairan seks. Koyo peju-mu ngunu kae!!" dalam riuh desah, Dini masih sempat-sempatnya menjadi mentor pelatihan seks. Wkwkwk

"Aaachh..aku sampee!!!"
serr serr ceprutt ceprutt..
---cairan yang katanya mirip peju itu meleleh membasahi hidung dan sebagian pipiku. Wah kan aku yo jadi penasaran to yo, coba saja kujilat haha.. weehh, asin campur gurih. Koyo umbel campur terasi ditambah remukan ikan asin. Aneh cihuii gitu rasanya.

Sekian detik Dini kejet-kejet koyo kesetrum. Aku diam saja, cuma main lidah menikmati 'white terasi' yang bergizi tinggi.

Setelah merasa puas, Dini beranjak dari posisinya. Memutar badan dan berusaha menduduki masterpop-ku. Yo jelas aku mendelik to yoo.

"Ojo Din!!. Kamu nanti bisa ilang perawannya!!" teriakku. Meski nepsong banget, aku juga masih mikir masa depan anak SMA itu, walaupun akantetati ia sudah berumur 18 tahun lebih. Lah aku kan pria harapan bangsa, ga boleh jahat kepada sesama.

"Aku wes ga perawan mas. Wes bolak-balik tempikku ngemplok kontol!!" ketulusan ucapannya sangat mengharukan. Aku jadi ingin menangis. Rasanya ingin menangis membayangkan nasibku yang malah keduman (dapet) kimpet seken. Wasyuu!!.

Akhirnya malam itu keperjakaanku melayang direnggut kimcil kepolen. Dan apa timbal balik yang aku dapat?, barang seken hand yang masih mending hape seken. Doa-ku cuma satu. Semoga ni kimcil ga kena penyakit karatan menular kimpetnya. Sayang sekali paddlepop kebanggaanku jika mampus dikali pertama ngenthu. Semoga dia bersih lah.. mugo-mugo.

"Ooouhh..." hanya sekian detik ternyata tahu-tahu masP ku sudah amblas ditelan konokan dia.

"Hhhhmmas shh," mulut mungil Dini menganga melakukan desahan saat ia rasakan dorongan batang kekar milikku. Mungkin ini adalah kali kesekian dia bersenggama, tapi disumpel dengan kontay keras yang lebih keras daripada pentungan hansip, sepertinya baru pertama kali. Itu terlihat dari ekspresinya yang sumpahh..sangat terlena oleh rasa yang ada.

"Kerass banget mas..sshh. koyok bonggole pohong (seperti panggalnya singkong), ooohampunn!!" nah kan..nah kan..dia terkiwir-kiwir dengan pentunganku.. horayyy!!.

Tubuhnya semakin bergoyang-goyang naik turun, puter kanan, puter kiri, maju mundur. Sudah seperti seorang penunggang rodeo.

"Aaghh aghh..hhkkmm," desahnya setiap kali buah pantatnya jatuh menghempas pahaku.

Diam-diam kurasakan cairan peju yang terasa cepat sekali terpompa naik. Haduhh aku harus menahannya. Ini tak bisa dibiarkan. Bisa jatuh reputasiku jika akhirnya disebut sebagai perjaka pelcrot. Dengan segala upaya kukonsentrasikan semua pikiran untuk menahan. Namun semakin aki berkonsentrasi, malah semakin aku tak kuasa. Hahh...capek aku kalau seperti ini. Ahh mending aku bayangin aja lagi nyanyi dipanggung. Buktinya aku bisa tahan diatas panggung sampai berjam-jam kok.

Lah ternyata dengan bayangin urusan diluar konokan malah membuat aku lupa akan aliran peju. Rasa sensitif berkurang. Dan aku tak merasakan lagi keinginan untuk lekas mengecrut.

"Oooh massee ahhhmm..." wkwkwk dia yang bakal ga koat. Super Seno dilawan.

"Mass ahh..aku mo pipizz lagi..ahh ahh," bodo amat dah si Dini teriak apa. Gangguin orang lagi ngelamun konser aja. Ni aku lagi manggung, nyanyiin lagu dewa, pejantan tangguh.

Watooh salah, itu sih lagunya sela on sepen.

"Maaasss ahhhh..." dia kejang iih. Lho lho lho...arep e nggeblak (terjengkang). Woii ati-ati kejedot lemari dibelakangmu!!.

Dini orgasyong yang kedua. Matanya mendelik, merem, melek mercing-mercing hidungnya. Mulutnya mangap mengeluarkan bunyi-bunyian aneh, suaranya seperti ayam kelolodan sendok.

"Kamu kok masihh ngaceng mass?!. Kuat banget. Kapan keluarnya??. Aku wes pegel (aku sudah capek)," Dini geleng-geleng menghadapi kehebatanku yang super oye. Mana dia tahu perjuanganku sampai membayangkan konser segala.

"Aku dibawah ya mass, capek tau!!" Dini memelas.

"Wooo ya ndak bisa begitu. Wes tetep posisi ini tapi kamu yang diam saja. Biar aku yang nyodok dari bawah!!" balasku. Kadung pewe leyeh-leyeh kok disuruh pindah.

Dia mengangguk pasrah. Tanpa menunggu dia berubah pikiran, langsung aja kusodok liang memet Dini dengan sekuat tenaga dan upaya.

Plokk plok...


Suara paha beradu, kelamin bertemu. Aku sudah tidak mau melamun konser lagi. Sekarang waktunya cuci mic. Ndasku wes cemut-cemut (kepalaku sudah puyeng). Kepala atas, kepala bawah, dua-duanya puyeng. Pengen muntah.

"Mass ahhh ahh...ojo banter-banter (jangan kenceng-kenceng). Ngilu mass...aaaahh," Dini ini lagi nyanyi atau kumur-kumur sih. Males mendengarkan keluh kesahnya. Enak aja dia udah ngucrut dua kali, aku belum blas gadas, eh kok dia kakehan (kebanyakan request). Nikmati saja apa yang ada, rasah komplen.

"Oohh sshh mass..aku mo cret maneh (lagi)...!!" Lho kok malah dia yang keenakan dan mau orgasyong ketiga. Wwwooh tunggu dulu, eyke itut.

"Bentaaarr..aku juga mau muntaahh!!" teriakku kencang mirip saat menyapa para penonton di panggung.

"Didalem ajaah mass ahhh!" Dini nyuruh crot di dalem, edaan piye. Kalau hamil kan bisa runyam dunia persilatan.

"Gaa hhh..meteng engkok (nanti hamil)!" ucapku tersengal.

"Gapopo mas..lagi ga subur aahhh.. engkok yo tak ngombe seprit (nanti juga minum sprite)!!" Dini ngeyel dan malah ngajak cangkrukan minum sprite..wokeeey.

"Aaahhhh...aku sampee lagii masss!!"

"Aauuwooo akuu jugaaa aaahh!!"

Dan akhirnya malam ini aku sukses meniduri, eh ditiduri Dini. Entah apa yang merasukinya sampai segila ini memperjakai-ku. Ooh aku ternoda.

"Lagi yuk dek!!"


-----------



Sudah duluu.. lanjut ke scene berikutnya. Capek bro!!
surantap. Suhu matur nuwun sanget
 



PART 3 : I'll GO WHEREVER YOU WILL GO
Then I hope there's someone out there..




Scene 2, Cinta Yang Lain





[POV Seno]



Dikantor, meski aku cuma kerja part time ternyata cukup membuatku keteteran. Berangkatnya mas Yosa dan mas Dodo ke Lampung ternyata membawa imbas yang lumayan berarti bagi kesibukan pekerjaan. Mau tidak mau, aku dan semua rekan kerja bahu membahu menambal kekosongan amunisi agar hasil kerja tetap dapat terpenuhi.

Dalam kesibukan itu akhirnya aku mulai mengenal siapa itu mbak Hajar, siapa itu mas Khusna, mas Indra, bahkan sang komisaris yakni mbak Nada dan pak Ali juga turun membantu disamping mas Dana sebagai Direktur juga ikut terjun. Aku salut dengan perusahaan ini, solidaritasnya tinggi. Kekeluargaannya begitu kenyal, eh kental. Tapi sejujurnya aku lebih prefer kalau ada mas Yosa dan mas Dodo.

Sejujurnya aku lebih akrab dengan keduanya daripada yang lain. Itu berkaitan dengan peran mereka dalam membantuku saat dikeroyok preman slamet kala itu. Rasanya ada hutang budi yang tak bisa terbayar. Tapi ya memang peran mas Dana yang menaungi juga ga bisa dikesampingkan. Bahkan aku yang notabene hanya karyawan honorer dengan jam kerja tak teratur ternyata tak luput dari perhatian dia, terutama dalam upaya melindungi dari gangguan kawanan preman tersebut di kemudian hari.

Satu hal lain yang kurasakan ada perubahan adalah pada Dewi. Ya karena kondisi kantor yang cukup sibuk, kadangkala Dewi pun ikut membantu di saat-saat tertentu. Bisa juga memang Dewi statusnya adalah kerja part time sepertiku. Tapi hal itu memberikan efek pada komunikasi kami. Lambat laun terjalin komunikasi yang lebih baik antara aku dengannya. Dewi tak lagi cuek seperti dulu-dulu. Setidaknya kini ia lebih 'menganggap aku ada'. Ada interaksi, ada sharing, ada bagian-bagian tertentu yang membuat kami beberapa kali terlibat dalam obrolan panjang.

Aku akui, Dewi ternyata adalah pribadi yang ramah dan enak diajak ngobrol, jauh dari penilaianku di awal dulu yang menganggapnya seorang cewek belagu dan sok cakep. Meski orangnya ceplas-ceplos khas Suroboyoan dan ada karakter kaku-nya, tapi sejauh ini aku merasa nyaman saja berkomunikasi dengannya.

Obrolan-obrolan yang tentu saja dengan posisi berdekatan membuat aku lebih tahu detail pada diri Dewi. Dia cantik, tak kalah oleh Ita. Hidungnya mancung, bahkan lebih mancung daripada Ita. Tapi untuk urusan bemper depan, Ita menang telak. Mungkin sejauh ini aku baru pada taraf itu, yakni lebih mengenalnya. Belum ada gejolak cinta disana, bukan aku tak tertarik, namun aku masih merasa sedikit minder jika harus dekat dengan adiknya Direktur, disamping itu aku juga belum bisa move on sama sekali dari Ita. Apapun yang dilakukan Ita, aku tetep cinta. Edan memang aku ini.

Tapi aku sadar, setelah ber asyik masyuk bersama Dini tempo hari. Harusnya aku tahu bahwa aku tak seburuk yang dianggap Ita. Nyatanya Dini yang anak jaman now aja sampai mau tidur denganku kok. Itu artinya aku cukup laku hahaha. Hanya saja mungkin selera Ita berbeda. Tapi entahlah.

"No, langsung ke kantor abis ini?" Dewi muncul di dekatku yang sedang duduk santai bersama teman-teman di kursi panjang kampus.

"Iya..kenapa, Wi?"

"Tadi aku dianter sama mas Dana naik motor, tapi ternyata ada meeting mendadak di pabrik plastik. Akhirnya mas Dana dijemput pakai mobil oleh mas Khusna. Nanti kita ke kantor boncengan aja ya, motor cowok, aku ga bisa!"

"Oowh..ok Wi. Nanti setelah kuliah kita berangkat,"

"Ehemm ehemm...", Inul dan Udin menggodaku saat Dewi sudah melangkah pergi. Aku pura-pura cuek. Tapi jujur aku grogi, selama kuliah disini, baru kali ini aku bakal boncengin cewek. Pikiranku sudah kemana-mana tak karuan.

"Weiiss...kemajuan rek," goda Inul.

"Sama dia aja No!, aku mendukung," imbuh Udin.

"Masoook No. Sikat ae wess!!" Raka tak mau ketinggalan.

Aku cuma planga-plongo bingung. Apa untuk cinta harus diusahakan dulu ya?. Lha belu, suka tuh sama Dewi. Apa aku perlu deketin dia terus biar tumbuh cinta?. Rasanya kok aneh kalau ngedeketin cewek yang ga kita taksir, tapi niatnya biar kita naksir.

"Mbuh lah...aku belum kepikiran untuk suka sama dia. Dia juga belum tentu suka ke aku," jawabku datar.

"Witing tresno ojo karena mlendung No (tumbuhnya cinta jangan karena sudah hamil No)!!. Witing tresno jalaran soko ngglibet hehe (tumbuhnya cinta karena tempel ketat hehe)," Udin berseloroh, aku hanya memanyunkan bibir.

"Eh tapi koen itu cocok sama dia No, Asli!" Inul masih saja ngeyel.

"Woiii...yang ngejalanin aku, kok kamu yang ngeyel. Kamu aja sono yang sikat, gitu aja ribet," ucapku agak panas.

"Ssst No... ayo melok aku (ikut aku). Kita ngobrol berdua sebentar," Raka berdiri dan merangkul pundakku. Kami berjalan ke arah kantin.


----------


Di kantin, aku dan Raka memesan jus mangga. Kali ini tak tahu kenapa, tahu-tahu Raka menyodorkan rokoknya di hadapanku.

"Coba No,"

"Ga ah Ka, aku belum pernah,"

"Sekedarnya saja, buat obat suntuk!!"

Ragu kucoba menyulut satu batang. Bahkan caranya saja aku tak tahu. Payah deh aku ini.


"Uhukk uhukkk..."

kesan pertama, batuk ga berhenti-berhenti. Jancukk, ini namanya aku diracun sama Raka hahaha. Tapi sedotan-sedotan berikutnya aku mulai bisa untuk beradaptasi. Ku tiru cara Raka, ternyata ga sulit-sulit amat, meski lebih banyak asap yang kutelan dsripada yang kuhembuskan.

"Harusnya kamu ikuti saran kita-kita No!!" Raka mulai berbicara.

"Saran opoo??!!" aku tak paham apa maksud dari perkataan Raka barusan.

"Ya mendekati Dewi," jawab Raka singkat sambil menyulut rokok kedua-nya.

"Aku belum suka Ka!!" aku menggeleng, tak tahu harus berbuat apa. Kenyataannya memang aku belum merasakan benih cinta kepada Dewi.

"Tapi kamu tadi kelihatan gugup gitu pas diajak boncengan!" lanjut Raka.

"Iya aku grogi-an lek karo arek wedok (kalau dengan cewek)," jawabku polos.

"Nahh itu modal. Itu modal jika kamu sebenarnya bisa jatuh cinta ke dia," Raka ini ngeyel aja seperti Inul. Kudu tak keplak ae ndas é. Tapi aku urungkan, dia jago jiujitsu haree wkwkwk.

"Modal dengkulmu anjlok!!. Wong gemeter kok jare cinta," pitamku mulai naik. Aku tipe orang yang ga bisa diatur dan dipaksa. Inilah aku apa adanya. Kecuali untuk kebutuhan khusus misal diatur dandan pakaian oleh Yosi saat hendak manggung, itu beda urusan.

"Ga usah emosi, tak gibeng pisan koen engkok (kutonjok juga kau nanti). Renungkan dengan kepala dingin. Dewi itu cantik, ramah, sopan, adiknya Direktur, mulai dekat juga sama kamu. Harusnya kamu lebih punya inisiatif!" Raka berucap pelan, tapi aku paham jika dia mulai serius dalam berucap. Tak terlihat lagi senyuman dari bibirnya.

"Aku masih belum bisa lupakan Ita," sanggahku.

"No...kamu itu sudah seperti saudaraku sendiri. Aku ga mau kamu terus menerus seperti ini. Kamu sedih, aku juga ikut sedih. Sekali-kali kamu jangan jadi the looser kenapa sih. Jangan cuma jadi pria remeh, jadilah pria terbaik!" Raka iki ngomong opo seh. Mbulet koyok susur.

"Maksudnya gimana itu bro?" Aku garuk-garuk sela pantat.

"Misal nih, kamu yakinkan diri untuk dekati Dewi dan ternyata jadian. Kemudian sampel lagu kita diterima, kita rekaman di Jakarta. Aku pingin lihat Ita mengejar-ngejar Seno. Tunjukkan kepada semua bahwa Seno itu terbaik, rugi buat cewek yang sidah menolak Seno. Gituu!!" wow..pemikiran Raka ini emejing. Aku bahkan tak memikirkan sejauh itu. Hahaha...Ita, kamu akan terkiwir-kiwir nanti, lihatlah!!.

"Tapi tidak harus Dewi kan, Ka?" tanyaku.

"Lho terserah koen ndeng!!. Pokoke ojok Rani ae!" aku tertegun mendengar jawaban Raka.

"Wahhh...kamu suka Rani yooo!!, hayoo hayooo ngakuu!!" godaku sambil memainkan alis naik turun.

"Ssstt...jangkrikk, ojok rame-rame ndeng!!. Rahasia iki, cuma kamu yang tahu. Awas bocor!!" aku malah cengar-cengir mendengar ancaman Raka. Akhirnya kurasakan tinju seorang ahli jiujitsu menghantam lenganku. Asli, manteppp pake jleppp!!.

"Emang ada cewek selain Dewi yang kamu incar No?" Raka kembali ke pokok bahasan, fiuuuh...cape aku.

Akupun menceritakan hal ikhwal perbuatan berseronokku bersama Dini. Mulai dari awal cerita dulu saat Dini minta bantuan mengerjakan PR bahasa Inggris-nya, sampai pada ronde terakhir mendekati fajar pergumulan kami.

"Jampuuuut...temen ta iku No (benarkah itu No)??!" wajah Raka seperti menunjukkan roman tak percaya.

"Gae opo aku mbujok, Ka (buat apa aku bohong, Ka). Tapi pliss jangan diceritakan siapapun. Bahaya!!" terpaksa kusulut rokok kedua. Aku mulai berkeringat, dan rokok itu ternyata bisa sedikit menenangkanku.

"Gendeng koen Seno rek, kereng saiki hahaha (gila Seno, ganas sekarang hahaha). Aku ae kalah start. Dulu pernah sih jaman sekolah, tapi saat kuliah ini malah belum. Yihaaa...Seno wes gawul sekarang," ini pujian atau hinaan sih. Aku kok malah merasa bangga dengan permainanku.

"Sudah Ka. Jangan kenceng-kenceng, kedengeran anak lain lho!!" aku maju mencondongkan tubuh diatas meja, berbisik.

"Wes pokoke gini. Mau Dini kek, mau Dewi kek, terserah aja. Yang penting jangan Dana..hahaha, keduman silit engkok (kebagian anus malah) hehe," wah Raka kacau, mana mungkin aku naksir mas Dana. Hmm..stress.

"Lho malah disini No!!. Ayo berangkat, jam kuliah berikutnya cancel, pak Imo sakit. Lho kamu kok merokok No??!" tiba-tiba Dewi muncul. Cepat kumatikan rokok di tanganku. Aku malu sudah ketahuan merokok oleh Dewi. Eh tapi kenapa aku malu?, dia kan bukan apa-apa ku ya. Apa ini getaran yang dimaksud Raka tadi?. Ahh sudahlah.

"Iya iyaa...eh sek yo Ka, aku berangkat dulu." Aku berdiri dan memberikan selembar dua puluh ribu kepada Raka untuk membayar jus, tapi Raka menolak.

"Ehemm...yaudah berangkat sana. Jus nya biar aku yang bayar. Ati-ati dijalan yo. Ojok lali nyabuk jen ga tibo (jangan lupa pegangan perut Seno biar ga jatuh)!" Raka tersenyum menggoda. Cubitan kecil Dewi di lengan atas Raka membuatnya menjerit pilu.


----------


Badan tegak, tangan kaku, leher ga bisa noleh, kaki kesemutan. Itulah efek samping saat Dewi ada dibelakangku. Apalagi jelas aku merasakan sesekali semacam balon menekan punggungku tiap kali aku melakukan rem agak mendadak. Dan akhirnya sepanjang jalan aku rem-rem aja berulang kali, motor ajrut-ajrutan jadinya, kayak naik kuda-kuda an hahaha. Ajrut kekanan...ajrut kekiri.. tralalala lalalala.

Motor yang ku kendalikan supaya laju jalannya, sesuai permintaan Dewi mengarah ke sebuah restoran cepat saji dengan logo pak jenggot. Dia katanya laper, dan aku...banget.






"Makan apa No?" tanya Dewi saat kami dalam antrian panjang di depan pramusaji.

"Suket onok ga??" aku memasang wajah blo'on dan akhirnya mendapatkan cubitan layaknya Raka tadi. Rasanya pedes manis.

"Hiyaaaa!!!" teriakanku mengalahkan teriakan saat konser. Se-isi restoran serempak melihatku. Bahkan pegawai restoran yang ada di dalam ikut keluar, sekuriti berlarian mendekat, sirine bertalu-talu. (Seno lebay, kata TS).

Wajah kami berdua merah padam karena malu, terlebih Dewi sampai misuh-misuh tak jelas. Kesan pertama bersama Seno, sungguh memalukan dan memilukan.

Kamipun urung memesan makanan, lari tunggang langgang dikejar rasa malu yang sudah menjalar-jalar. Berhenti di dekat parkiran motor dan melipir ke warung kaki lima sebelah parkiran.

"Indomie rebus 1, pake telor, pake cabe dipotong-potong!" ucapku pada mas penjual warung.

"Aku goreng ae mas, telor setengah mateng, gausah cabe!!" Dewi ikut memesan.

Justru ditempat yang santai seperti itulah kami lebih leluasa dalam ngobrol. Style kami natural, ga perlu gaya-gaya an seperti orang-orang di dalam restoran tadi.

Dari situ akhirnya aku tahu bahwa Dewi malah lebih suka masakan umum. Nasi lodeh, sayur asem, dan sejenisnya. Daripada steak, spageti, pokoknya kebarat-baratan.

Setengah jam di warung yang cukup berarti bagi kami, mencoba memahami satu sama lain, mengenal karakter masing-masing. Berteman lebih maksimal, bukan sekedar senyum dan say hello.


Setengah jam berikutnya kami telah sampai di halaman PT. RDG. Segera kuparkir motor sesuai arahan mas Sinto, kemudian berlari menyusul Dewi yang sudah berjalan mendahului.

"Eh, tau ga No. Aku disuruh mas Dana untuk part time juga lho sekarang. Dan jam nya suruh ngikutin kamu. Katanya kasihan kamu ga ada temennya. Aku sih iya aja, lumayan dapet uang saku buat beli bedak hehe," ucap Dewi saat langkah kami memasuki pintu kaca kantor.

"Weeii...Seno rek kemajuan, bareng Dewi terosss," mas Indra berpapasan dengan kami di lobi. Dewi cuma mesam-mesem, aku melat-melet.

"Eh iya No. Bos Dana ama Khusna masih di mastrip, pabrik. Kamu dan Dewi sudah dikasih tugas belom?" ujar mas Indra.

"Waduww belum tuh mas. Apa kita minta tugas ke mbak Nada aja ya Wi?" aku jelas lumayan bingung. Induk semang lagi ga ada di tempat.

"Yaudah kalian berdua bantu aku aja, nanti aku yang lapor ke bos," saran mas Indra.

"Emang kita mau kemana mas?" sergah Dewi.

"Bikin acara kejutan untuk kedatangan Yosa. Dia kan nanti baliknya sama istri baru," jawab Indra serius.

"Trus sekarang kita ngapain?" aku bingung maksudnya.

"Kita kumpul bareng Najar, Dira, dan mbak Hera. Tim kita diberi mandat untuk menggelar acara apa gitu yang meriah untuk Yosa. Bukan kenapa-kenapa sih, sebagai keluarga besar hanya perlu memberikan perhatian. Tak harus mewah, yang penting menyenangkan. Makanya kita perlu berembug bareng. Siapa tahu kalian punya ide keren kan!!" terang mas Indra panjang lebar.

Akhirnya kami ikut mas Indra naik mobil. Katanya mau kumpul di rumah mbak Najar. Aku kurang kenal dengan yang namanya mbak Najar, mbak Dira, dan mbak Hera. Mungkin ini akan membuatku lebih mengenal mereka.

Dan satu lagi, karena Dewi juga ikut. Makanya aku jadi semangat. Entah kenapa aku mulai merasa nyaman sama dia.

Mobil mas Indra melewati pos sekuriti yang sedang di jaga oleh mas Sinto. Kami membuka kaca untuk menyapanya.

Tiiiin tiin...

Suara klakson mobil mas Indra cukup mengagetkan kami.

"Ehh iyo tin mas tin, eh ton, eh kok ton..tinton mas ton...halahhh...mas Indrooo, jampuuut ngageti aee!!" kami terbahak melihat kelatahan mas Sinto.

Hahahaha...


----------



Bersambung ke next part

Ditungguuuu...
 



PART 3 : I'll GO WHEREVER YOU WILL GO
Then I hope there's someone out there..




Scene 2, Cinta Yang Lain




[POV Seno]



Dikantor, meski aku cuma kerja part time ternyata cukup membuatku keteteran. Berangkatnya mas Yosa dan mas Dodo ke Lampung ternyata membawa imbas yang lumayan berarti bagi kesibukan pekerjaan. Mau tidak mau, aku dan semua rekan kerja bahu membahu menambal kekosongan amunisi agar hasil kerja tetap dapat terpenuhi.

Dalam kesibukan itu akhirnya aku mulai mengenal siapa itu mbak Hajar, siapa itu mas Khusna, mas Indra, bahkan sang komisaris yakni mbak Nada dan pak Ali juga turun membantu disamping mas Dana sebagai Direktur juga ikut terjun. Aku salut dengan perusahaan ini, solidaritasnya tinggi. Kekeluargaannya begitu kenyal, eh kental. Tapi sejujurnya aku lebih prefer kalau ada mas Yosa dan mas Dodo.

Sejujurnya aku lebih akrab dengan keduanya daripada yang lain. Itu berkaitan dengan peran mereka dalam membantuku saat dikeroyok preman slamet kala itu. Rasanya ada hutang budi yang tak bisa terbayar. Tapi ya memang peran mas Dana yang menaungi juga ga bisa dikesampingkan. Bahkan aku yang notabene hanya karyawan honorer dengan jam kerja tak teratur ternyata tak luput dari perhatian dia, terutama dalam upaya melindungi dari gangguan kawanan preman tersebut di kemudian hari.

Satu hal lain yang kurasakan ada perubahan adalah pada Dewi. Ya karena kondisi kantor yang cukup sibuk, kadangkala Dewi pun ikut membantu di saat-saat tertentu. Bisa juga memang Dewi statusnya adalah kerja part time sepertiku. Tapi hal itu memberikan efek pada komunikasi kami. Lambat laun terjalin komunikasi yang lebih baik antara aku dengannya. Dewi tak lagi cuek seperti dulu-dulu. Setidaknya kini ia lebih 'menganggap aku ada'. Ada interaksi, ada sharing, ada bagian-bagian tertentu yang membuat kami beberapa kali terlibat dalam obrolan panjang.

Aku akui, Dewi ternyata adalah pribadi yang ramah dan enak diajak ngobrol, jauh dari penilaianku di awal dulu yang menganggapnya seorang cewek belagu dan sok cakep. Meski orangnya ceplas-ceplos khas Suroboyoan dan ada karakter kaku-nya, tapi sejauh ini aku merasa nyaman saja berkomunikasi dengannya.

Obrolan-obrolan yang tentu saja dengan posisi berdekatan membuat aku lebih tahu detail pada diri Dewi. Dia cantik, tak kalah oleh Ita. Hidungnya mancung, bahkan lebih mancung daripada Ita. Tapi untuk urusan bemper depan, Ita menang telak. Mungkin sejauh ini aku baru pada taraf itu, yakni lebih mengenalnya. Belum ada gejolak cinta disana, bukan aku tak tertarik, namun aku masih merasa sedikit minder jika harus dekat dengan adiknya Direktur, disamping itu aku juga belum bisa move on sama sekali dari Ita. Apapun yang dilakukan Ita, aku tetep cinta. Edan memang aku ini.

Tapi aku sadar, setelah ber asyik masyuk bersama Dini tempo hari. Harusnya aku tahu bahwa aku tak seburuk yang dianggap Ita. Nyatanya Dini yang anak jaman now aja sampai mau tidur denganku kok. Itu artinya aku cukup laku hahaha. Hanya saja mungkin selera Ita berbeda. Tapi entahlah.

"No, langsung ke kantor abis ini?" Dewi muncul di dekatku yang sedang duduk santai bersama teman-teman di kursi panjang kampus.

"Iya..kenapa, Wi?"

"Tadi aku dianter sama mas Dana naik motor, tapi ternyata ada meeting mendadak di pabrik plastik. Akhirnya mas Dana dijemput pakai mobil oleh mas Khusna. Nanti kita ke kantor boncengan aja ya, motor cowok, aku ga bisa!"

"Oowh..ok Wi. Nanti setelah kuliah kita berangkat,"

"Ehemm ehemm...", Inul dan Udin menggodaku saat Dewi sudah melangkah pergi. Aku pura-pura cuek. Tapi jujur aku grogi, selama kuliah disini, baru kali ini aku bakal boncengin cewek. Pikiranku sudah kemana-mana tak karuan.

"Weiiss...kemajuan rek," goda Inul.

"Sama dia aja No!, aku mendukung," imbuh Udin.

"Masoook No. Sikat ae wess!!" Raka tak mau ketinggalan.

Aku cuma planga-plongo bingung. Apa untuk cinta harus diusahakan dulu ya?. Lha belu, suka tuh sama Dewi. Apa aku perlu deketin dia terus biar tumbuh cinta?. Rasanya kok aneh kalau ngedeketin cewek yang ga kita taksir, tapi niatnya biar kita naksir.

"Mbuh lah...aku belum kepikiran untuk suka sama dia. Dia juga belum tentu suka ke aku," jawabku datar.

"Witing tresno ojo karena mlendung No (tumbuhnya cinta jangan karena sudah hamil No)!!. Witing tresno jalaran soko ngglibet hehe (tumbuhnya cinta karena tempel ketat hehe)," Udin berseloroh, aku hanya memanyunkan bibir.

"Eh tapi koen itu cocok sama dia No, Asli!" Inul masih saja ngeyel.

"Woiii...yang ngejalanin aku, kok kamu yang ngeyel. Kamu aja sono yang sikat, gitu aja ribet," ucapku agak panas.

"Ssst No... ayo melok aku (ikut aku). Kita ngobrol berdua sebentar," Raka berdiri dan merangkul pundakku. Kami berjalan ke arah kantin.


----------


Di kantin, aku dan Raka memesan jus mangga. Kali ini tak tahu kenapa, tahu-tahu Raka menyodorkan rokoknya di hadapanku.

"Coba No,"

"Ga ah Ka, aku belum pernah,"

"Sekedarnya saja, buat obat suntuk!!"

Ragu kucoba menyulut satu batang. Bahkan caranya saja aku tak tahu. Payah deh aku ini.


"Uhukk uhukkk..."

kesan pertama, batuk ga berhenti-berhenti. Jancukk, ini namanya aku diracun sama Raka hahaha. Tapi sedotan-sedotan berikutnya aku mulai bisa untuk beradaptasi. Ku tiru cara Raka, ternyata ga sulit-sulit amat, meski lebih banyak asap yang kutelan dsripada yang kuhembuskan.

"Harusnya kamu ikuti saran kita-kita No!!" Raka mulai berbicara.

"Saran opoo??!!" aku tak paham apa maksud dari perkataan Raka barusan.

"Ya mendekati Dewi," jawab Raka singkat sambil menyulut rokok kedua-nya.

"Aku belum suka Ka!!" aku menggeleng, tak tahu harus berbuat apa. Kenyataannya memang aku belum merasakan benih cinta kepada Dewi.

"Tapi kamu tadi kelihatan gugup gitu pas diajak boncengan!" lanjut Raka.

"Iya aku grogi-an lek karo arek wedok (kalau dengan cewek)," jawabku polos.

"Nahh itu modal. Itu modal jika kamu sebenarnya bisa jatuh cinta ke dia," Raka ini ngeyel aja seperti Inul. Kudu tak keplak ae ndas é. Tapi aku urungkan, dia jago jiujitsu haree wkwkwk.

"Modal dengkulmu anjlok!!. Wong gemeter kok jare cinta," pitamku mulai naik. Aku tipe orang yang ga bisa diatur dan dipaksa. Inilah aku apa adanya. Kecuali untuk kebutuhan khusus misal diatur dandan pakaian oleh Yosi saat hendak manggung, itu beda urusan.

"Ga usah emosi, tak gibeng pisan koen engkok (kutonjok juga kau nanti). Renungkan dengan kepala dingin. Dewi itu cantik, ramah, sopan, adiknya Direktur, mulai dekat juga sama kamu. Harusnya kamu lebih punya inisiatif!" Raka berucap pelan, tapi aku paham jika dia mulai serius dalam berucap. Tak terlihat lagi senyuman dari bibirnya.

"Aku masih belum bisa lupakan Ita," sanggahku.

"No...kamu itu sudah seperti saudaraku sendiri. Aku ga mau kamu terus menerus seperti ini. Kamu sedih, aku juga ikut sedih. Sekali-kali kamu jangan jadi the looser kenapa sih. Jangan cuma jadi pria remeh, jadilah pria terbaik!" Raka iki ngomong opo seh. Mbulet koyok susur.

"Maksudnya gimana itu bro?" Aku garuk-garuk sela pantat.

"Misal nih, kamu yakinkan diri untuk dekati Dewi dan ternyata jadian. Kemudian sampel lagu kita diterima, kita rekaman di Jakarta. Aku pingin lihat Ita mengejar-ngejar Seno. Tunjukkan kepada semua bahwa Seno itu terbaik, rugi buat cewek yang sidah menolak Seno. Gituu!!" wow..pemikiran Raka ini emejing. Aku bahkan tak memikirkan sejauh itu. Hahaha...Ita, kamu akan terkiwir-kiwir nanti, lihatlah!!.

"Tapi tidak harus Dewi kan, Ka?" tanyaku.

"Lho terserah koen ndeng!!. Pokoke ojok Rani ae!" aku tertegun mendengar jawaban Raka.

"Wahhh...kamu suka Rani yooo!!, hayoo hayooo ngakuu!!" godaku sambil memainkan alis naik turun.

"Ssstt...jangkrikk, ojok rame-rame ndeng!!. Rahasia iki, cuma kamu yang tahu. Awas bocor!!" aku malah cengar-cengir mendengar ancaman Raka. Akhirnya kurasakan tinju seorang ahli jiujitsu menghantam lenganku. Asli, manteppp pake jleppp!!.

"Emang ada cewek selain Dewi yang kamu incar No?" Raka kembali ke pokok bahasan, fiuuuh...cape aku.

Akupun menceritakan hal ikhwal perbuatan berseronokku bersama Dini. Mulai dari awal cerita dulu saat Dini minta bantuan mengerjakan PR bahasa Inggris-nya, sampai pada ronde terakhir mendekati fajar pergumulan kami.

"Jampuuuut...temen ta iku No (benarkah itu No)??!" wajah Raka seperti menunjukkan roman tak percaya.

"Gae opo aku mbujok, Ka (buat apa aku bohong, Ka). Tapi pliss jangan diceritakan siapapun. Bahaya!!" terpaksa kusulut rokok kedua. Aku mulai berkeringat, dan rokok itu ternyata bisa sedikit menenangkanku.

"Gendeng koen Seno rek, kereng saiki hahaha (gila Seno, ganas sekarang hahaha). Aku ae kalah start. Dulu pernah sih jaman sekolah, tapi saat kuliah ini malah belum. Yihaaa...Seno wes gawul sekarang," ini pujian atau hinaan sih. Aku kok malah merasa bangga dengan permainanku.

"Sudah Ka. Jangan kenceng-kenceng, kedengeran anak lain lho!!" aku maju mencondongkan tubuh diatas meja, berbisik.

"Wes pokoke gini. Mau Dini kek, mau Dewi kek, terserah aja. Yang penting jangan Dana..hahaha, keduman silit engkok (kebagian anus malah) hehe," wah Raka kacau, mana mungkin aku naksir mas Dana. Hmm..stress.

"Lho malah disini No!!. Ayo berangkat, jam kuliah berikutnya cancel, pak Imo sakit. Lho kamu kok merokok No??!" tiba-tiba Dewi muncul. Cepat kumatikan rokok di tanganku. Aku malu sudah ketahuan merokok oleh Dewi. Eh tapi kenapa aku malu?, dia kan bukan apa-apa ku ya. Apa ini getaran yang dimaksud Raka tadi?. Ahh sudahlah.

"Iya iyaa...eh sek yo Ka, aku berangkat dulu." Aku berdiri dan memberikan selembar dua puluh ribu kepada Raka untuk membayar jus, tapi Raka menolak.

"Ehemm...yaudah berangkat sana. Jus nya biar aku yang bayar. Ati-ati dijalan yo. Ojok lali nyabuk jen ga tibo (jangan lupa pegangan perut Seno biar ga jatuh)!" Raka tersenyum menggoda. Cubitan kecil Dewi di lengan atas Raka membuatnya menjerit pilu.


----------


Badan tegak, tangan kaku, leher ga bisa noleh, kaki kesemutan. Itulah efek samping saat Dewi ada dibelakangku. Apalagi jelas aku merasakan sesekali semacam balon menekan punggungku tiap kali aku melakukan rem agak mendadak. Dan akhirnya sepanjang jalan aku rem-rem aja berulang kali, motor ajrut-ajrutan jadinya, kayak naik kuda-kuda an hahaha. Ajrut kekanan...ajrut kekiri.. tralalala lalalala.

Motor yang ku kendalikan supaya laju jalannya, sesuai permintaan Dewi mengarah ke sebuah restoran cepat saji dengan logo pak jenggot. Dia katanya laper, dan aku...banget.






"Makan apa No?" tanya Dewi saat kami dalam antrian panjang di depan pramusaji.

"Suket onok ga??" aku memasang wajah blo'on dan akhirnya mendapatkan cubitan layaknya Raka tadi. Rasanya pedes manis.

"Hiyaaaa!!!" teriakanku mengalahkan teriakan saat konser. Se-isi restoran serempak melihatku. Bahkan pegawai restoran yang ada di dalam ikut keluar, sekuriti berlarian mendekat, sirine bertalu-talu. (Seno lebay, kata TS).

Wajah kami berdua merah padam karena malu, terlebih Dewi sampai misuh-misuh tak jelas. Kesan pertama bersama Seno, sungguh memalukan dan memilukan.

Kamipun urung memesan makanan, lari tunggang langgang dikejar rasa malu yang sudah menjalar-jalar. Berhenti di dekat parkiran motor dan melipir ke warung kaki lima sebelah parkiran.

"Indomie rebus 1, pake telor, pake cabe dipotong-potong!" ucapku pada mas penjual warung.

"Aku goreng ae mas, telor setengah mateng, gausah cabe!!" Dewi ikut memesan.

Justru ditempat yang santai seperti itulah kami lebih leluasa dalam ngobrol. Style kami natural, ga perlu gaya-gaya an seperti orang-orang di dalam restoran tadi.

Dari situ akhirnya aku tahu bahwa Dewi malah lebih suka masakan umum. Nasi lodeh, sayur asem, dan sejenisnya. Daripada steak, spageti, pokoknya kebarat-baratan.

Setengah jam di warung yang cukup berarti bagi kami, mencoba memahami satu sama lain, mengenal karakter masing-masing. Berteman lebih maksimal, bukan sekedar senyum dan say hello.


Setengah jam berikutnya kami telah sampai di halaman PT. RDG. Segera kuparkir motor sesuai arahan mas Sinto, kemudian berlari menyusul Dewi yang sudah berjalan mendahului.

"Eh, tau ga No. Aku disuruh mas Dana untuk part time juga lho sekarang. Dan jam nya suruh ngikutin kamu. Katanya kasihan kamu ga ada temennya. Aku sih iya aja, lumayan dapet uang saku buat beli bedak hehe," ucap Dewi saat langkah kami memasuki pintu kaca kantor.

"Weeii...Seno rek kemajuan, bareng Dewi terosss," mas Indra berpapasan dengan kami di lobi. Dewi cuma mesam-mesem, aku melat-melet.

"Eh iya No. Bos Dana ama Khusna masih di mastrip, pabrik. Kamu dan Dewi sudah dikasih tugas belom?" ujar mas Indra.

"Waduww belum tuh mas. Apa kita minta tugas ke mbak Nada aja ya Wi?" aku jelas lumayan bingung. Induk semang lagi ga ada di tempat.

"Yaudah kalian berdua bantu aku aja, nanti aku yang lapor ke bos," saran mas Indra.

"Emang kita mau kemana mas?" sergah Dewi.

"Bikin acara kejutan untuk kedatangan Yosa. Dia kan nanti baliknya sama istri baru," jawab Indra serius.

"Trus sekarang kita ngapain?" aku bingung maksudnya.

"Kita kumpul bareng Najar, Dira, dan mbak Hera. Tim kita diberi mandat untuk menggelar acara apa gitu yang meriah untuk Yosa. Bukan kenapa-kenapa sih, sebagai keluarga besar hanya perlu memberikan perhatian. Tak harus mewah, yang penting menyenangkan. Makanya kita perlu berembug bareng. Siapa tahu kalian punya ide keren kan!!" terang mas Indra panjang lebar.

Akhirnya kami ikut mas Indra naik mobil. Katanya mau kumpul di rumah mbak Najar. Aku kurang kenal dengan yang namanya mbak Najar, mbak Dira, dan mbak Hera. Mungkin ini akan membuatku lebih mengenal mereka.

Dan satu lagi, karena Dewi juga ikut. Makanya aku jadi semangat. Entah kenapa aku mulai merasa nyaman sama dia.

Mobil mas Indra melewati pos sekuriti yang sedang di jaga oleh mas Sinto. Kami membuka kaca untuk menyapanya.

Tiiiin tiin...

Suara klakson mobil mas Indra cukup mengagetkan kami.

"Ehh iyo tin mas tin, eh ton, eh kok ton..tinton mas ton...halahhh...mas Indrooo, jampuuut ngageti aee!!" kami terbahak melihat kelatahan mas Sinto.

Hahahaha...


----------



Bersambung ke next part

Ditungguuuu...
Jadi Dini apa Dewi nih Hu?
Asal kagak Nessa kan Hu...
Hahahahah😂😂😂
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd