Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BENANG MERAH TAKDIR

Padahal cuman berandai2

Cross-universe itu perlu kerjasama dan persetujuan dari dua atau lebih penulis, hu
Jadi sebelum spekulasi semakin berkembang lebih baik ane klarifikasi sekarang aja, supaya sama2 enak.

Takutnya ntar ada yang merasa namanya tercatut.
 
Iya hu saya juga minta maaf sudah salah berkata saya cuman penikmat
 
Wah you're back huu!! Nyaris aja ketinggalan
 
GW GK SETUJU KALO META AKHIRNYA BAHAGIA AMA ERIK. WANITA SETAN ITU HARUS MATI KARENA GARA2 DIALAH SEMUA KEKACAUAN INI TERJADI. LEBIH BAIK RINI SAMA ERIK SAJA.

Mungkin ini maksud dari orang tua yg memberi kopi pada Erik awal2 mula cerita. Bahwasanya apa yg sudah di gariskan dari awal itu lebih baik, di banding jika dia sendiri ingin mengubah garis takdirnya sendiri yg akan memberi dampak yg lebih buruk bagi Erik.
 
Chapter 2:

It's All About Nightmares...



Location Unknown
Timeline Unknown



Aku membuka mata tiba-tiba pagi ini, seolah ada yang membangunkan aku. Kulihat rasanya seperti sedang berada di dalam air, semuanya membayang, dan suara terasa teredam. Apa ini? Di mana aku? Sayup-sayup aku mulai mengingat dan ternyata ini adalah rumahku, namun bukan seperti yang kukenal. Seperti berasal dari masa yang jauh lebih lama, masa yang tak kuingat. Kapan terakhir kali aku menata kamarku dengan cara seperti ini? Aku kembali memejamkan mata, sepertinya ada sesuatu yang mengerikan yang baru saja terjadi...

Kecelakaan...

Kecelakaan...

Erik...

Ya, terakhir kali aku ingat adalah tubuh Erik yang tergeletak bersimbah darah di jalanan...

Namun ada satu ingatan lagi yang muncul, ingatan aku tengah bersandar di bahu Erik di dalam sebuah rumah sakit. Aku menangis, menangisi seseorang...

Kecelakaan...

Erik yang dimarahi oleh seorang wanita via telepon, mengenai bahwa Erik tidak bisa datang menemuinya. Aku merasa bersalah, karena dia tak bisa menemui wanita itu akibat menemaniku, namun entah kenapa aku senang dia menemaniku. Aku senang karena ini adalah hari terberat dalam hidupku, dan dia ada untukku. Dia yang bukan siapa-siapa, tapi saat itu amat dekat bagiku melebihi keluargaku sendiri. Karena dia yang selalu ada dalam dekapanku saat kecelakaan itu...

Kecelakaan...

Ya, kecelakaan itu...

Ayahku terbaring di jalanan, sebagaimana aku mengingat Erik...

Ayahku? Mustahil...

Ayahku tak pernah mengalami kecelakaan, dia meninggal karena sakit liver pada tahun 2011. Aku tahu itu, karena aku menungguinya saat dia di rumah sakit. Bahkan saat sakit pun ayahku menyempatkan diri hadir dalam wisudaku, dan itu jadi kenangan terakhir terbaikku darinya. Tapi meninggal karena kecelakaan? Kenapa aku seolah bisa mengingat itu padahal bukan itu yang terjadi?

Suara tangisan itu terdengar memilukan, tangisan yang menyayat hati seolah ada yang berpisah untuk selamanya. Siapa itu? Aku pun terbangun, namun aku tak mengendalikan tubuhku, seolah segala sesuatunya sudah pernah terjadi dan aku tengah menjalaninya kembali.

Ibu? Itu suara ibuku?

Kenapa dia menangis?

Ada apa?


Aku terus berjalan seolah ada yang membimbingku. Orang sudah pada ramai, mereka mengerubungi ibuku yang menangis hingga menghentakkan kaki dan badannya di lantai. Saat aku ingin bertanya apa yang terjadi, tiba-tiba seseorang memelukku sambil menangis. Itu adalah tanteku, Tante Sarah...


"Yang sabar ya, Rin..."


Aku tidak menjawab, sebagian bingung, sebagian tak tahu apa yang terjadi, ataukah aku masih linglung karena baru bangun? Kulirik kalender di dinding yang menunjukkan tanggal 1 Agustus 2009. Ibuku meraung-raung memanggil-manggil nama ayahku, seolah tak menghiraukan bahwa aku ada di sini. Jam menunjukkan pukul 07.00 pagi, bukankah seharusnya saat ini Ayah sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kantor?


"Ayah kenapa?"

"Ayah kamu udah nggak ada, Nak... Sekarang lagi dibawa ama ambulans dari rumah sakit."



Hah? Me-Meninggal?? Dari rumah sakit??


"Enggak mungkin, koq Ayah di rumah sakit? Ayah kan masih di sini semalam?? Ayah masih sehat semalam... Ayah nggak mungkin meninggal... Enggak, Tante, nggak mungkin..."


Semua orang lalu melihatku dengan pandangan mata sedih. Perabotan di ruang tengah digeser-geser oleh para bapak-bapak sekitar, sehingga kini ruangan itu kosong. Sebuah dipan tanpa kasur diletakkan di atas karpet dan tikar yang dipasang menyambung-nyambung. Beberapa orang menyiapkan bendera kuning, lainnya duduk melingkar, dan foto ayahku diturunkan dari tembok, diletakkan dekat dipan.


"Enggak... Nggak mungkin! Ayah nggak meninggal!! Ayah masih hidup!! Ayah nggak meninggal!!!"


Namun semua hanya melihatku sambil menangis.

Ayah...

Ayah...

AYAAAAHHHH!!!


==========


Tiba-tiba aku terbangun dan langsung seperti melompat dari tempat tidur. Nafasku terengah-engah, jantungku berdetak amat kencang, dan aku bersimbah keringat, seolah aku baru saja lari jauh. Kulihat suasananya, sama seperti ketika tadi aku terbangun, jam menunjukkan pukul 07.00 pagi, tapi kali ini tak ada suara ramai yang terdengar, hanya suara burung prenjak piaraan ayahku seperti biasa.

Ayahku!!

Secara refleks aku melihat ke kalender pada meja dan hapeku: 1 Agustus 2009!

Tidak...

Buru-buru aku langsung bangun dan menghambur keluar dari kamar.

Ayaaah!


"AYAAAAHHH!!"

"Heh! Ada apa, Neng, pagi-pagi udah teriak-teriak!!?"



Suara itu amat familiar, suara ayahku. Dia sedang membaca koran pagi di dekat meja makan, sebagaimana biasa. Langsung saja aku menubruk dan memeluknya sambil menangis, dan tak mau melepasnya.


"Duh, anak cewek, pagi-pagi tumben banget udah melukin ayahnya," tukas ibuku yang baru keluar dari dapur, "kamu kenapa, Neng? Ayahmu aja belum berangkat."

"Aku mimpi buruk tadi, Bu. Aku mimpi kalau Ayah kecelakaan lalu..."



Ayah tiba-tiba tertawa mendengar perkataanku itu. Dia lalu mengelus dan mencium keningku. Rasanya sungguh menenangkan.


"Kalau ayahmu bisa sampai kecelakaan berarti luar biasa, Neng, soalnya kan ayahmu itu kalau nyetir selalu ati-ati banget."

"Tapi..."

"Heh, sudah, nggak usah dipikirin, Neng,"
kata ayahku dengan bijak, "gak apa-apa, berarti Neng lagi ingetin Ayah biar lebih ati-ati lagi."


Perkataan ayahku itu membuatku tenang. Oh ya, ini ayahku, namanya Nur Handi, biasa dipanggil Pak Handi, usia 45 tahun. Sementara di dapur adalah ibuku, Nurmalasari, atau dipanggil Bu Mala, atau sekarang ya Bu Handi, usia 40 tahun. Konon waktu menikah, banyak yang bilang mereka akan langgeng karena "Nur ketemu Nur", Nur Handi ketemu Nurmalasari. They're the most beloved person in the world.


"Oh ya, Ayah udah ngopi?" tanyaku.

"Belum tuh, ayah kamu mana mau ngopi kalau bukan bikinan kamu, Neng." kata ibuku.

"Soalnya kopi bikinan Rini itu paling enak sedunia, Bu, hahaha!" kata ayahku.

"Iyaa, Neng bikinin bentar, ya."


Aku segera pergi ke dapur dan meracik kopi andalanku, yang awalnya kutemukan secara tak sengaja, tapi banyak yang bilang enak. Sampai-sampai ayahku wanti-wanti supaya aku nggak boleh bikin kopi buat cowok lain kecuali cowok itu siap nikahin aku. Soalnya katanya kopi aku itu bikin hati orang terpikat.


"Nih, kopinya..."


Aku meletakkan kopi itu di dekat ayahku, yang langsung mengambil dan menyesapnya dengan gembira, membuat ekspresi wajah seperti dalam iklan kopi.


"Mantap! Kopi Neng Rini emang paling mantap!"

"Apaan sih, itu kan cuman kopi instan dicampur-campur doang, Ayah."

"Tetep aja nyampurnya itu yang bikin beda. Oh ya, duduk sini bentar, Neng."



Ayah menunjuk ke kursi di depannya, dan aku langsung menurut. Biasanya kalau begini artinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh Ayah. Ibuku entah bagaimana sepertinya sudah tahu Ayah ingin bicara apa, sehingga dia mengambil sebuah amplop folio dan meletakkannya di dekat ayahku. Pada amplop besar warna putih itu ada sebuah tulisan header yang cukup mencolok: "Jakarta Business College University".


"Orang bilang kan mimpi itu kebalikan di dunia nyata ya, Neng. Kayaknya kamu mimpi buruk itu beneran pertanda kalau bakal dapat rezeki."


Ayah lalu menggeser amplop itu hingga berada tepat di depanku.


"Ini apa, Yah?"

"Kamu mau nerusin S1, kan? Berhubung lamaran kamu di RBTV belum diterima, sekarang kamu lanjutin kuliah kamu aja ya, di sini."

"JBC University? Nggak salah nih, Ayah?? Kuliah di sono kan mahal??"

"Ini formulir buat daftar beasiswa prestasi di JBC. Nilai-nilai kamu di SMP, SMA, ama D3 kan bagus-bagus semua, jadi pasti bisa tembus beasiswa di sini. Ini dari temen kantor Ayah, istrinya kan staf urusan beasiswa di JBC, udah Ayah liatin transkrip nilai-nilai kamu ama mereka, dan bilangnya udah pasti bakal dapet beasiswanya kalau kamu daftar."

"Ih, tapi kan..."

"JBC itu nggak sembarangan ngasih beasiswa lho. Dalam setahun aja belum tentu ada satu orang yang lolos. Kalau kamu bisa lolos, itu sebuah kebanggaan. Ayah juga ngasih ini karena yakin kamu bakal lolos. Kalau kamu lolos, kuliahmu bisa gratis asalkan bisa lulus tepat waktu dan memenuhi persyaratan nilai minimum per semester."



Aku diam. Apakah aku nggak mau? Tentu saja bukan seperti itu. JBC itu salah satu kampus swasta bergengsi di Jakarta yang punya koneksi secara internasional. Lulus dari sini saja hampir bisa dipastikan masa depan cerah, karena sistem mereka benar-benar ketat. Aku hanya tidak bisa memastikan apakah itu yang kuinginkan sekarang, karena aku hanya berniat melanjutkan di universitas negeri. Walau begitu, keyakinan ayahku akan kemampuanku membuat aku pun akhirnya mengangguk dan setuju.






Timeline 2020

Rumah Sakit di Utara Jakarta



"Minum nih..."


Aku membuka mata, dan Anin menyodorkan segelas es kopi dari salah satu waralaba kopi terkenal, lengkap dengan sandwich yang menjadi ciri khas mereka.


"Thank's..."

"Lagian tidur koq berasa rame banget sih, mimpi apa?"

"Emang aku tadi ngapain?"

"Kayak nggak tenang gitu, tenang aja, nggak sampai ngomong yang enggak-enggak koq."

"Iya, I'm having a nightmare..."



Anin lalu pindah tempat duduk ke sebelahku.


"Nightmare yang dulu? About your dad?"


Aku mengangguk...


"Tapi ayah kamu nggak pernah kecelakaan, kan? Meninggalnya karena sakit kan? I was there, you know, on his funeral."

"Makanya aku nggak tahu, but it seems so real, like I was there..."



Anin mendengus, tapi dia tak berkata apa-apa. Ya, ini memang bukan mimpi buruk pertamaku soal ayahku yang di situ meninggal karena kecelakaan. Kalau aku ingat-ingat kembali, awalnya adalah pada hari itu, tanggal 1 Agustus 2009, dua hari setelah aku bertemu dengan Erik ketika kami sama-sama gagal di RBTV. Selalu sama, aku menyaksikan kecelakaan ayahku bersama dengan Erik, lalu Erik menemaniku di rumah sakit, lalu diakhiri dengan ayahku meninggal karena luka-lukanya. Namun ayahku tidak meninggal. Dia masih hidup pada saat itu, dan baru meninggal pada tahun 2011, atau dua tahun kemudian. Anin bahkan menemaniku saat ayahku anfal hingga meninggalnya. Walau begitu, tiap aku bercerita soal mimpi ini, Anin sama sekali tak pernah menghakimiku dan mendengarkan dengan baik.


"Is that even make sense?" tanyaku.

"Hei, aku ada lho waktu kamu mimpi itu, saat aku tinggal di rumah kamu. Juga waktu mimpi apa itu... Kamu pernah cerita kan kalau kamu juga pernah mimpi buruk soal Erik?"

"Yes, dua mimpi... Aku masih beberapa kali ngimpiin itu juga. Dan saat sekarang Erik berada di antara hidup dan mati, aku keinget kembali ama mimpi itu."

"Ah... I'm sorry, I don't mean to..."

"Nggak apa-apa, don't worry."



Kami terdiam. Aku memakan sandwich dan menyesap sedikit kopi. Rasanya perutku seperti mendesah lega begitu diisi sesuatu setelah agak lama kosong, karena aku terakhir kali makan adalah saat siang tadi. Seperti tadi kubilang pada Anin, ada dua mimpi buruk lagi yang terasa nyata bagiku. Aku tak membicarakannya karena, ehm, jujur saja ini berkaitan dengan Erik. Mimpi pertama adalah aku sedang menggendong seorang anak, entah siapa, tapi aku merasa amat familiar dan sayang dengan anak itu, seolah itu adalah anakku sendiri. Kejadiannya pagi, dan saat aku melihat tanggalnya adalah tahun 2021. Saat itu aku merasa amat sedih dan khawatir entah kenapa, seperti aku baru saja bertengkar hebat dan efek bersalahnya baru terasa pagi harinya.

Saat itu ada yang mengetuk pintu, dan ternyata polisi yang mengatakan bahwa ada yang meninggal. Aku tak bisa mendengar jelas siapa yang meninggal, tapi entah kenapa hatiku langsung berpikir bahwa itu adalah Erik, ditemukan meninggal di sebuah hotel kapsul, dengan pendarahan pada kepalanya. Namun pada saat mengalami mimpi itu untuk pertama kalinya, aku tidak paham, karena pada saat itu aku masih belum bertemu dengan Erik kembali. Pertemuanku dengan Erik di ASV pada tahun 2011 itu adalah yang pertama kali membuatku memahami konteks dari mimpiku itu, karena terjadi beberapa kali lagi setelahnya. Hanya saja aku tak mengerti kenapa Erik ada di sana, dan kenapa aku memimpikan Erik, karena bagiku saat itu Erik masih menjadi atasanku saja. Ya, aku memang suka padanya semenjak pertama, namun saat itu rasa suka itu belum sekuat sekarang.

Kalau mimpi itu membingungkan bagiku, mimpi yang lainnya malah lebih membuatku bingung lagi, karena selain berkaitan dengan kematian seorang pria, yang sekali lagi kurasakan bahwa itu Erik, juga karena itu menyangkut kematianku sendiri. Ya, selain Erik, aku pun mati dalam mimpi itu. Kematianku sebenarnya mengerikan, rasanya sakit dan bersimbah darah, dan Erik pun ketakutan saat melihatku. Namun saat itu justru bukan kematianku sendiri yang kupikirkan, tapi Erik. Beberapa saat setelah Erik pergi, sebuah suara kendaraan yang mengerikan terdengar disertai suara tabrakan keras dan orang-orang pun berteriak. Suara tabrakan yang entah bagaimana seolah membangkitkan sebuah trauma. Erik mati... Ya, hanya itu yang ada di pikiranku saat kurasakan nyawaku semakin lepas dari tubuhku. Tidak, Erik tidak boleh mati... Erik tidak boleh mati... Biarlah aku saja yang mati, tapi jangan Erik juga...

Aku menggeleng dan kembali meminum kopiku.


"Aku cuman nggak habis pikir soal satu hal..." kata Anin.

"Yang mana?"

"Kamu kan bilang waktu yang kamu mati itu, karena kamu ngelihat seorang cowok, yang kamu rasa dia pacar atau suami kamu, padahal kamu belum nikah, lalu dia lagi foto di akun Inst*gram ama cewek, yang kamu bilang tampangnya mirip sama aku... Dan gara-gara itu, ampe 2 hari kamu ngediemin aku, nggak mau bicara ama aku... Aku ajakin bicara juga nggak mau... Gimana nggak awkward coba, mana aku masih ngekos lagi di rumahmu, tidur sekamar pula."

"Hehehe, iya, sorry, Nin... It somehow felt real, aku sampai kayak bisa ngerasain dan perasaan cemburunya bisa ampe terngiang terus setelah aku bangun... Padahal aku pas itu nggak kenal itu cowok siapa, baru pas masuk ASV aku lagi kayak ngeh, jangan-jangan ini Erik..."

"Tetep aja, kamu kan jomblo, Rin. I know you've met Erik before, tapi koq bisa kamu langsung ambil kesimpulan begitu pas ketemu dia lagi?"

"Entah... Molla-yo. It's just that the dreams are very real, sampai pas bangun pun aku bisa ngira kalau yang tadi itu nyata."

"Huh..."



Anin tampak mengangguk-angguk. Dia menepuk pahaku sambil tersenyum, tampaknya tak mengambil hati kejadian yang memang sudah cukup lama berlalu itu.


"Ya, gak apa-apa sih, soalnya aku juga pernah mimpi kayak gitu juga, yang somehow felt real hingga pas bangun aku ngerasa itu kejadian beneran."

"Oh? Kapan? Koq kamu nggak pernah cerita ke aku?"

"Cuman sekali, ya ampun. Itu juga pas aku mau lulus terus nerusin ke Perth. Aku aja baru inget itu pas kita ngomong ini, Kak."

"Gimana, gimana?"

"Umm, jadi gini, Kak Rini inget kan, waktu dulu aku cerita soal how, well, you know what..."

"Iya, iya, yang pas kamu katanya ke Semarang nonton konser itu?"

"Nah, kejadiannya kayak remaking kejadian itu, bedanya aku ke Semarang saat itu bukan buat nonton konser, tapi ndatengin rumah Papa aku..."

"Eh, wait. Maksudnya ndatengin? Itu kamu masih SMA kan? Bukannya seharusnya Papa kamu udah..."

"Iya, I know, ya persis kayak yang kamu bilang, Om Handi meninggal pas kecelakaan, padahal aku ikut nungguin di rumah sakit pas Om Handi anfal karena liver."

"Oh ya?"

"Yes, dalam mimpi itu aku ingetnya Papa jadi nggak meninggal, tapi pindah rumah ke Semarang."

"Nggak sama mama kamu?"

"Enggak. Jadi dia kayak udah nikah ama cewek lain gitu di sana, makanya aku nyusulin. Eh, aku malah diusir ama orang-orangnya Nyonya Ang, nggak boleh lagi ketemu ama Papa. Mana itu malem-malem pula."

"Hah? Lalu gimana?"

"Kejadian berikutnya sama kayak yang aku ceritain, you know, aku ke hotel, got raped, got robbed, nyaris luntang-lantung di Semarang, sampai ada orang baik yang mbantuin aku biar bisa balik ke Jakarta saat itu juga."

"Ooh, jadi gitu... Eh, tapi kamu kayaknya nggak pernah kasih tahu deh siapa orang baik itu."

"Eh, masa sih? Hmm, aku juga nggak tahu sih, jujur. Sebelumnya aku nggak kenal sama dia tapi tahu-tahu aja dia ngasihin tiketnya sama aku biar aku bisa pulang. You know, pas tahun itu kita masih bisa berangkat walau nama di tiket nggak sama dengan nama kita."

"Oh? Lalu tiketnya kamu buang?"

"Ada, Kak, aku simpen."

"Terus namanya dia siapa?"

"Wah, siapa ya? Lupa aku... Kudu lihat dulu, kalau inget kotak nyimpennya di mana."

"Yeee! Gimana sih, kan kalau tahu namanya bisa dicari. Emang kamu gak pengen nemuin dia buat terima kasih?"

"Ya, pengen sih, tapi, ah sudahlah, cuman satu kali itu aja, walau aku nyari pun kayak needle in a haystack, itupun belum tentu dia orang Jakarta, bisa aja dia orang Semarang yang mau ke Jakarta lalu sekarang udah di Semarang lagi."



Aku manggut-manggut. Kami diam sejenak dan menyesap kopi masing-masing.


"Ko Erik masih belum keluar?"

"Belum, masih dioperasi. Metta gimana?"

"Udah agak mendingan, dia dikasih obat tidur ama dokter, agak shock katanya."

"Aku nggak nyalahin sih, menyaksikan kecelakaan kayak gitu."

"Ci Metta katanya harus dirawat dulu sampai dokter yakin kandungannya aman. Ko Erik kecelakaan, Ci Metta shock, kasihan anaknya kalau Ko Erik kenapa-kenapa..."

"Itu kalau beneran anaknya..."

"Maksudnya?"

"Ah sudahlah, forget it."



Aku mendengus.


"Eh, btw, kamu bisa kenal Metta dari mana?"

"Umm..."



Anin berdehem sejenak sebelum akhirnya tersenyum.


"Kak Rini inget gak waktu pertama kali kita ketemu?"

"Iya, yang kamu cerita soal... Wait a minute, jangan bilang kalau dia..."

"Yes, she's the one. Tapi seingatku dia nggak sama Ko Erik tapi orang yang namanya... Hmm, lupa aku, yang aku inget dia punya tato ular di dada nyambung ke lengan."

"Tato ular? Adam?"

"Ah iya, Adam. Lho, koq Kak Rini tahu?"

"Erik pernah cerita soal ini ke aku. Namanya Adam Gabriel Hanggono, dia itu selingkuhannya Metta waktu Erik ama Metta belum nikah."

"Hah? Jadi Ko Erik tahu kalau Ci Metta itu..."

"Iya. Kalau nggak salah itu kejadiannya pas Erik lagi jalan-jalan sama temen-temen kosnya ke Pulau Harapan."

"Jadi Ci Metta ditinggal Ko Erik liburan ke pulau, gitu?"

"Bukan, Erik udah ngajakin Metta, dan Metta udah setuju, tapi pas H-1 di-cancel ama Metta, ngomongnya ada seminar dadakan."

"Lha? Koq gitu? Kirain..."

"Emang dia bilang apa?"

"Enggak bilang sih, tapi si Adam itu ngakunya dia ama Ci Metta suami-istri. Tapi aku bilang ama Ci Metta kalau aku tahu mereka bukan suami-istri. Ci Metta juga yang nyuruh aku pergi malam-malam pas si Adam lagi tepar, soalnya dia nggak mau aku dikasarin ama si Adam."

"Emang kasar ya dia mainnya?"

"Mbanget... Aku nggak bilang nggak enak sih, tapi kasar, jadinya aku nggak kuat. Lagian deal-nya itu cuman buat CC/LC, walau kalau nambah bayar boleh sekalian HS, tapi nggak sekasar itu juga. She offered me more money as compensation, but I only took what have been dealed."

"Cukup buat taksi?"

"More than enough, di situ gobloknya. Coba aku naik taksi resmi dan bukan Gr*bcar, then it won't happened."

"Kalau kamu naik taksi resmi dan bukan Gr*bcar, kita nggak bakal ketemu, Nin."



Kami pun tertawa. Ya, cerita ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku bertemu Anin, pada suatu malam bulan Januari tahun 2011.


==========


Saat itu tengah malam dan situasi jalanan Jakarta sudah lumayan sepi. Aku sedang pulang dari kegiatan Open Campus bersama teman-temanku sehingga harus pulang malam-malam. Di sini aku mengendarai motorku yang terpercaya, sebuah H*nda CS-1. Ya, walau aku ini cewek, waktu itu karena suka dengan bentuk CS-1, maka ayahku membelikanku motor ini. Sebenarnya aku lebih sering menggunakan H*nda Scoopy untuk operasional ke kampus atau main, dan CS-1 ini biasanya ayahku yang pakai, tapi bila harus pergi dan pulangnya terindikasi tengah malam begini, aku lebih suka pakai ini karena aku bisa langsung tancap gas bila ada sesuatu yang tidak beres. So, singkat cerita, aku bertemu dengan Anin yang saat itu tengah duduk di trotoar dengan penuh luka. Dia memakai baju minim yang flashy, dan biasanya orang tak akan menggubrisnya karena hampir dipastikan dia "perempuan tidak benar". Namun entah kenapa aku malah berhenti, menyapa, dan bertanya kepadanya. Saat itu ada sesuatu dari matanya yang membuatku merasa gadis ini sepertinya perlu bantuan.


"Hei..." begitu aku menyapa Anin.

"Ngapain lo pake nyapa-nyapa segala? Kurang kerjaan banget."

"Hmm, oke..."



This meeting start with the wrong foot, sepertinya dia tampak amat kesal. Ah, salah sepertinya aku menyapanya.


"Lo perlu sesuatu? Gue ada makanan ama minuman..."

"Emang gue kelihatan kayak gembel ya, sampe lo nawarin makanan segala??"

"Oh okay, ya nggak apa-apa sih kalau lo gak perlu apa-apa."

"Enggak, lo mending pergi aja."

"Oke..."



Namun baru aku berjalan kembali ke motorku...


"Eh, lo punya rokok gak?"

"Gue nggak ngerokok..."

"Damn! Gak guna lo..."

"Ya, emang gue gak ngerokok. So, kalau lo gak ada yang mau diperluin..."

"Duit deh, duit, buat ongkos gue pulang."

"Hah? Pulang? Kirain lo lagi nyari mangsa."

"Kampret... Lo pikir gue lonte??"

"Emangnya bukan?"



Aku melihatnya dari atas ke bawah, dan semuanya memang menyiratkan bahwa cewek ini adalah seorang lonte.


"Lonte pun juga gue nggak bakal nyari mangsa di pinggir jalan. Dapet duit kagak malah ilang ginjal iya."

"Wow, high-class gitu ya? Tapi lo itu bukannya..."

"Apa? Chinese? Lo pikir semua orang Chinese itu kaya raya semua, hah?? Resek banget deh."

"Terus berarti lo belum dapet dong?"

"Udah dapet, tapi gara-gara sopir Gr*b berengsek itu tas gue yang isinya duit ama baju ketinggalan di mobilnya."

"Lha? Gak lo suruh balik aja tuh sopir?"

"Gue aja kabur dari dia!"

"Napa? Dia bayar tapi lo gak mau kasih servis?"

"EH, BABI! Mulut lo bisa dijaga gak sih!??"

"Napa? Emang gue salah?"

"BACOT!!"



Anin langsung berdiri terhuyung lalu dengan pincang merangsek untuk memukulku, tapi dengan cepat aku menghindar dan mendorongnya hingga terjatuh di trotoar. Aku memang tidak pandai bela diri, tapi dengan Anin yang pincang serta terhuyung-huyung, aku bisa dengan mudah menghindar dan membalas serangannya. Awalnya kukira dia begitu karena mabuk, tapi saat itulah kulihat kakinya tampak memerah terutama pada bagian engkel, dan luka-luka gores tampak memenuhi paha serta betisnya. Anin mengerang kesakitan saat berusaha bangun kembali. Baru setengah berdiri, dia kembali terjatuh karena engkelnya tampak gemetaran dan tidak stabil dalam menopang tubuhnya. Akhirnya dia hanya bisa terduduk sambil menangis, entah karena kesal atau sudah tak kuat lagi menahan sakit, karena aku pernah mengalami keseleo dan itu sakitnya luar biasa bila tak ditangani. Aku pun menghela nafas, kemudian menghampirinya dan mengulurkan tanganku.


"Ngapain lo?"

"Gak usah banyak bacot, lo ikut gue sekarang."



Anin hanya menatapku dengan pandangan mata kesal, namun begitu, dia tahu bahwa untuk saat ini dia tak punya pilihan lain. Tanpa ada uang, dia bisa di sini semalaman dan itu berbahaya baginya, karena bahkan saat itu pun aku bisa melihat bahwa Anin tidak familiar dengan bagian Jakarta ini. Jadi, ya, dia menyambut uluran tanganku. Namun saat kutarik, tasnya terjatuh dan karena terbuka, isinya berhamburan ke mana-mana, lipstik, makeup, hape lipat, cologne, kondom, dompet tanpa uang, dan salah satu benda yang tampak menonjol bagiku saat itu adalah kartu mahasiswa JBC. Aku hanya menatap mata Anin, lalu tanpa bicara apa-apa, kubantu membereskan kembali semua barang-barangnya dan memapah Anin ke motorku.


"Oh iya, nama gue Rini. Lo siapa?"

"Dit... Maksud gue, Anin, ya, nama gue Anin."

"Anin? Okay, nice to meet you. Pegangan ya."



Kami pun meninggalkan tempat itu. Dia tak banyak bicara sepanjang perjalanan, pun tak bertanya juga ke mana aku akan membawanya. Mungkin bukan karena dia percaya padaku, ya, simpelnya dia memang tak punya pilihan, jadi ya terpaksa ikut saja walau nggak tahu ke mana tujuannya. Akhirnya aku pun membawanya ke rumahku, dan Anin masuk dengan agak canggung.


"Kamu bawa siapa, Neng?" tanya ayahku yang masih menonton TV.

"Ini temen, Yah, namanya Anin, dia adik kelas aku di JBC. Karena kemaleman, aku ajakin nginep aja di sini."

"Oh, gitu. Eh, tapi koq jalannya bisa pincang gitu?"

"Tadi jatuh, jadi kakinya keseleo."

"Wah, nggak bisa dibiarin, bentar, Ayah panggil si Embah dulu ya."

"Hah? Emang Embah masih belum tidur?"

"Belum, nungguin bola dia. Bentar, si Anin suruh ke kamarmu terus ganti pakaian dulu aja, biar enak ngurutnya."



Aku lalu mengajak Anin masuk ke kamarku yang ukurannya lumayan besar untuk rumah sederhana macam ini. Dia duduk di tempat tidurku, yang ada kasur cadangan di kolong, kemudian aku mengambil beberapa bajuku dan meletakkan di dekatnya.


"Lo bilang tas lo yang isi baju dibawa Gr*b kan? Pakai aja dulu nih, buat malem ini."

"Makasih..."



Aku lalu mengambil air dingin saat Anin ganti baju. Buat orang yang katanya ngelonte elite, Anin tidak memakai underwear yang terlalu seksi, hanya minim saja, tapi tidak super seksi.


"So, lo anak JBC juga?" tanya Anin begitu dia selesai pakai baju.

"Mm-hmm, Senior semester 8, tahun ini lulus. Lo angkatan berapa?"

"Baru juga Freshman. Jurusan apa lo... Eh, harusnya lo gue panggil 'kakak', ya?"

"Gak apa-apa. Suit yourself aja. Gue ambil Manajemen Strategis. Ya, yang sejalan ama beasiswa gue."

"Anjir, lo anak beasiswa juga? Kirain diem-diem lo tajir."

"Iyaa, gue anak beasiswa. Kenapa? Gak kelihatan emang dari rumah gue?"

"Hei, santai, Kak. Gue juga anak beasiswa. Dan lo harus cek rumah gue kalau mau adu nasib. Kamar gue aja kudu empet-empetan ama tiga orang."

"Oh? Masa sih?"

"Iya, kan gue udah bilang tadi, gak semua Chinese itu kaya raya. But unfortunately, di JBC mau gak mau kita kudu nunjukin seperti itu biar gak dibuang dari pergaulan."

"Yeah, tell me about that, dan Freshman ama Sophomore itu tahun-tahun paling parah buat anak beasiswa."



Anin hanya mengangguk dengan raut muka yang turut merasa prihatin. Aku secara refleks memegang tangannya, sambil mengingat beratnya saat tahun Freshman dan Sophomore di JBC, alias tahun pertama dan kedua. JBC itu karena masuknya adalah universitas elite, sehingga rata-rata yang masuk ke sana pasti tajir, sehingga otomatis ada standar dari penampilan dan kekayaan yang harus dipenuhi apabila ingin eksis. Banyak anak beasiswa yang menyerah dan pindah ke tempat lain bukan karena tidak bisa mengikuti pelajarannya, namun karena tekanan dari lingkar pergaulan di sana. Aku sendiri cukup beruntung, karena dalam tahun Freshman, aku bergabung ke komunitas Otaku no JBC, yang ternyata anggota-anggotanya banyak anak-anak dari Old Money yang cenderung tidak seresek anak-anak OKB. So, meski tidak bisa 100 persen, komunitas Otaku no JBC pun menjadi safe haven-ku dalam melalui masa-masa itu. Pada tahun Junior dan Senior, tugas akan sangat banyak dan bejibun serta tambah sulit sehingga semua orang nggak punya waktu bahkan untuk mem-bully yang lain, dan di tahun-tahun inilah anak-anak beasiswa (yang masih bertahan) akan berbalik memiliki posisi tawar besar karena pasti akan dimintai bantuan oleh semua orang. Hal ini kupelajari dari para senpai-ku di Otaku no JBC, yang menyuruhku untuk tetap bertahan bagaimana pun caranya.


"Don't worry," kataku, "karena di tahun Junior dan Senior, kita akan balik berjaya."

"You think so?"

"I know I do."

"Yah, lo enak, Kak, udah Senior. Kalau gue masih Freshman."

"Gue dulu juga Freshman, Nin. Wait, apa itu sebabnya lalu lo jadi... You know?"

"What? Lonte? Hahaha, ngomong biasa aja lah, gue gak masalah koq. Ya, sedikit banyak, cuman gue nggak nge-lonte ya, cuman buka jasa GF-rent ama CC/LC."

"Apa bedanya?"

"Bedanya, GF rent ama CC/LC nggak ampe masuk. Ya, kalau mau charge-nya beda lah."

"Oh, tapi pernah?"

"Pernah apa?"

"You know..."



Aku memberi isyarat dengan jari jempol dan telunjuk kiri membuat lingkaran sementara telunjuk kanan masuk ke dalam lingkaran itu. Anin hanya tertawa saja melihatnya.


"Ya pernah lah... Tadi contohnya."

"Oh ya? Yang tadi lo bilang dapet duit..."

"Iya... Kampret banget tuh sopir Gr*b. Bukannya nganterin balik malah grepe-grepe gue, ngira gue udah tidur. Jadi ya gue langsung aja buka pintu terus lompat padahal mobil masih jalan. Dan yes, lupa bawa tas yang isinya duit ama baju... Hufft..."

"Gitu ya..."

"Ih, jangan gitu napa mukanya, Kak? I'm cool with that, it's not like I still have virginity to keep anyway."

"Heh? Why..."



Kami berhenti mengobrol karena si Embah sudah datang. Embah ini sebenarnya masih saudara, dan masih terhitung nenekku. Dia ini boleh dibilang punya kemampuan urut, dan walau sudah tua, urutannya masih amat mantap. So, Embah pun langsung mengurut Anin yang berteriak-teriak kesakitan sambil memegangi tanganku. Baru setelah Embah selesai mengurut, kami pun bisa melanjutkan mengobrol di ranjang.


"So, how do you lose your..."

"Virginity?"

"Iya, eh, tapi kalau lo nggak mau cerita ya gak apa-apa sih."

"Oh, gak apa-apa koq, Kak. Jadi ceritanya itu gue ama temen-temen gue lagi pengen nonton konser di Semarang, kami berlima, tapi ceweknya cuman dua. Abis nonton kan balik malem ya, biar hemat kami sewa satu kamar buat rame-rame, eh pas lagi kecapekan gitu, si cewek satunya, dia kan pacaran nih ama salah satu cowok, nggak tahu mabok apa gimana, mulai deh ML ama pacarnya. Ya otomatis cowok yang lainnya mupeng dong, dan cuman ada gue satu-satunya cewek lain di kamar itu."

"So mereka..."

"Yes, they rape me."



Muka Anin agak sendu saat dia mengatakan itu. Aku menepuk pundaknya, dan dia memegang tanganku. Kami diam selama beberapa saat karena aku tahu Anin sedang menitikkan air mata. Baru setelah dia mendengus, dia melanjutkan ceritanya.


"Pas si cewek ini mau ML ama pacarnya gue udah ada perasaan gak enak sih, jadi gue mau keluar kamar, eh, ditahan ama yang lain, lalu... Yah... Ama dua cowok yang lain itu gue dipakai bergiliran. It was a horrible feeling, ampe tiap detiknya berlalunya berasa lamaaaaa banget, dan akhirnya gue pingsan. Begitu bangun ternyata semua udah pada pergi, nggak tahu ke mana. Gue diiket pake bed sheet dan baju-baju gue sendiri di tempat tidur, naked, ampe ditemuin ama cleaning service. Parahnya lagi, pihak hotel nggak bisa bantu gue buat lapor ke polisi kalau gue udah diperkosa, soalnya jelek buat reputasi hotel. Ya udah gue yang emang udah kalut saat itu minta langsung pulang aja, untungnya gak di-charge ama hotelnya. Masalahnya itu temen-temen gue juga ngambil duit gue, Kak, dan gue baru nyadar pas nyampe stasiun mau beli tiket, lho duit ke mana, mana nggak ada pulsa pula..."

"Ih jahat banget temen-temen lo, sumpah. Tapi terus bisa pulang gimana?"

"Ya, ada lah orang baik nolongin. Kalau bukan karena dia ya gue mungkin udah luntang-lantung di sono."

"Terus temen-temen lo akhirnya gimana?"

"Dunno, pada pindah sekolah ama tongkrongan. Takut kayaknya pas tahu gue bisa balik ke Jakarta. Gak pernah ketemu lagi ampe sekarang."

"Jangan sampai deh... Udah biarin aja lah mereka, ntar juga bakal ada karmanya."



Anin tersenyum. Kami terdiam sesaat sambil mendengarkan suara jalanan di tengah malam.


"Btw, rumah lo di mana, Nin?"

"Kamal, Kak."

"Hah? Bukannya jauh banget, ya? Gak ada kendaraan langsung kan kalau ke kampus?"



Anin menggeleng.


"Biasanya sih gue jalan dulu setengah jam ke PIK, jadi bisa bareng ama temen yang naik mobil dari sono."

"Jauh banget jalan kakinya, napa gak minta temennya jemput di tempat lo aja? Bukannya ngelewatin ya?"

"Gue nggak mau ada orang kampus yang tahu rumah gue, Kak. Ya, alasannya sama kenapa gue lebih milih jalan kaki ke PIK daripada ngebiarin temen tahu kalau gue punya rumah di ghetto macem Kamal."

"Oh, I see..."

"Makanya gue kalau sampai rumah pasti malem banget, Kak."

"Lo tinggal di sini aja deh, ngekos gitu, nemenin gue."

"Hah? Tinggal di sini?"



Aku mengangguk.


"Gue gak ada temennya tiap kali masuk rumah, ya itung-itung biar lo juga bisa lebih deket dari kampus, biar nggak terlalu capek di jalanan. Ntar kita berangkatnya bisa bareng deh. Gimana, mau?"

"Tapi ntar gue mbayarnya gimana, Kak?"

"Udah, perkara itu santai aja. Gue bukan mata duitan koq. Tugas di Freshman ama Sophomore bakalan ribet, dan lo nggak bisa ngerjain kalo lo kudu berjam-jam di jalan cuman buat sampai rumah. Lebih murah gini juga lagian daripada lo ngekos. Soal makan gampang, Ibu gue kalau masak pasti banyak, ampe bingung ngabisinnya gimana, ya, asal lo doyan makanan tradisional aja sih..."

"Oh, makan gak masalah sih, yang penting ada."

"So, gimana? Deal? Kalo deal besok kita ke rumah lo, gue bantuin packing."

"Boleh deh, Kak, eh, tapi lo gak lakuin ini karena kasihan ama gue, kan?"

"Enggak, gue cuman nyari temen doang, gue juga bingung soalnya ngapain ya gue berhenti deket lo tadi lalu bawa lo ke sini..."

"Takdir kali, Kak?"



Kami berdua pun tertawa. Aku sendiri jujur tak paham mengapa aku mengajukan hal semacam itu pada Anin. Mungkin ini sama juga dengan kenapa aku bisa berhenti pada Anin, padahal dia bukan satu-satunya orang yang duduk di pinggir jalan yang kutemui sepanjang malam ini. Seperti yang dikatakan oleh Anin, ini adalah takdir. Anin tinggal di rumahku selama 3 tahun, dia pindah pada tahun Junior kuliahnya, bertepatan dengan saat aku mulai merenovasi rumah, dan mulai ngekos di dekat kampus. Hubungan kami masih tetap baik, karena aku pun sering mampir dan menginap di tempatnya, begitu pun dia sering mampir dan menginap di tempatku, sampai-sampai selama renovasi aku membuat kamar khusus untuk dia. Anin juga ada dan turut mendampingiku selama Ayah anfal dan masuk rumah sakit, bahkan dia turut bantu-bantu saat ayahku meninggal. Saat itu dia bilang bahwa rasanya seperti kehilangan ayah untuk kali kedua, karena ayah Anin sudah meninggal ketika Anin masih SMP.

Ada sebuah cerita unik dari Anin dan ayahku, yaitu ketika itu aku mengajari Anin cara membuat kopi instan seduhan khasku. Ayahku pun sampai tak sengaja minum kopi buatannya saat aku masih membuatkan kopi bagi Ayah, karena menurutnya aroma dan rasanya mirip sekali. Perlu beberapa kali untuk meyakinkannya bahwa itu bukan buatanku tapi buatan Anin. Entah, bisa saja itu benar, tapi bisa saja itu cara ayahku untuk mengatakan bahwa dia menerima Anin sebagaimana putrinya sendiri. Orang tuaku bahkan saking terbiasanya ada Anin di rumah hingga saat dia sedang di rumahnya sendiri atau pulang terlambat dari kampus, mereka selalu memintaku meneleponnya, bertanya kapan pulang. Kami baru benar-benar berpisah saat Anin mendapat beasiswa S2 ke Australia. Dia sebenarnya ragu saat hendak berangkat, namun aku meyakinkannya, karena aku ingin dia meraih mimpi yang belum bisa kuraih dulu.

Sebuah pertemuan tak sengaja di waktu malam itu akhirnya membuatku mendapatkan seorang sahabat sejati dalam suka dan duka.


==========


Timeline 2020

Rumah Sakit di Utara Jakarta



Setengah jam berlalu, aku sudah menghabiskan sandwich dan kopi, dan Erik masih di dalam sementara para dokter berusaha menyelamatkannya. Aku tidak tahu separah apa Erik hingga mereka perlu waktu lama sekali untuk menanganinya. Anin sedang tak di sini karena gantian menunggui Metta yang ada di tempat lain. Metta pingsan tak lama setelah ambulans datang, mungkin tak kuat melihat keadaan Erik, sehingga dia sekalian dibawa, jadi aku pun berbagi tugas dengan Anin: aku menunggui Erik dan dia menunggui Metta. Aku benar-benar berharap keduanya selamat, juga janin pada kandungan Metta. Bagaimana pun bencinya aku pada Metta, aku tetap tak ingin dia kenapa-kenapa, karena sebagaimana Anin, Metta pun adalah sahabatku, meski kami menyukai lelaki yang sama.

Situasi saat ini sebenarnya cukup ramai, terutama di luar, karena orang-orang gempar saat mereka tak bisa menarik uang dari ATM atau melakukan transaksi secara online. Ini semua gara-gara virus yang disebar oleh Erik di KSI dan membuat semua badan keuangan harus mematikan sistem mereka untuk mencegah penyebaran. KSI sendiri aku yakin akan hancur, karena sistemnya yang sudah sepenuhnya online. Semua orang yang uangnya ada di KSI akan kehilangan semuanya, termasuk juga Steven, yang sampai sekarang keberadaannya masih belum diketahui. Untungnya Erik sudah membekali kami uang tunai dengan jumlah banyak, dan pagi ini pun Abang sudah meneleponku agar mengambil uang tunai sebanyak mungkin serta jangan menggunakan transaksi online apa-apa hari ini. Mungkin Abang memang sudah tahu apa rencana Erik, sehingga dia memperingatkanku.


"GREDEEEKK!!"


Suara pintu pun kembali berbunyi dan seseorang keluar dari ruangan itu. Kali ini seorang dokter yang tampaknya dokter senior. Aku kembali berdiri, dan dia langsung melihat ke arahku, menatapku dari atas ke bawah.


"Keluarganya Pasien Erik, ya?"

"Iya, saya keluarganya Pak Erik."

"Oh, maaf, Ibu ini siapanya Pasien Erik, ya?"

"Saya istrinya, Dok."

"Oh, maafkan saya, Bu. Tapi Ibu menunggu di sini sendirian, tak ada anggota keluarga lain?"

"Kami cuman berdua saja, Dok."



Dokter itu hanya mengangguk-angguk saja.


"Bagaimana Pak Erik, Dok? Apa operasinya berhasil?"

"Ya, Ibu boleh tenang. Operasi suami Ibu berhasil. Kami berhasil menstabilkan kondisinya, tapi lukanya cukup parah, Bu. Dia juga belum lewat dari masa kritis, jadi kita tunggu saja, ya. Semoga saja besok pagi Pak Erik masih bisa bertahan. Walau..."

"Walau apa, Dok?"

"Mungkin dia kalaupun selamat pun bakal cacat, Bu. Kecelakaan itu lebih parah dari dugaan kami, banyak tulangnya yang remuk dan organnya yang terluka."



Vonis dokter itu bagaikan petir yang menyambar. Erik... Erik yang kukenal tegap, pintar, kuat, dan pemberani, kini terancam cacat, mungkin akan selamanya berada di kursi roda, atau kruk, atau mungkin buta, atau tuli, atau paraplegia. Membayangkan itu saja aku hampir saja menangis. Namun tidak, aku harus kuat... Ya, bila aku akan menjalani kehidupan itu, maka aku tak boleh cengeng. Aku harus kuat, demi Erik...


"Tapi dia bakal selamat kan, Dok?"


Dokter itu mendesah dan menggelengkan kepala.


"Untuk urusan itu, kita serahkan pada Yang Maha Kuasa. Kami sudah berusaha dengan sekuat tenaga."


Setelah dokter itu berlalu, aku langsung jatuh bersimpuh dan menangis.


"Erik... Kenapa kamu tega begini, Erik... Jangan tinggalkan aku!!"


Aku menangis dengan amat keras hingga tak peduli apakah ada orang yang mendengarnya. Bagaimana pun, Erik mengalami kecelakaan seperti ini karena berusaha menyelamatkan kami. Kalaupun Erik selamat malam ini, ada kemungkinan dia akan cacat, dan kudengar polisi akan segera menangkapnya karena virus itu berhasil dilacak hingga ke hape Erik, belum lagi ada tuduhan pembunuhan karena ditemukan mayat Surya pada rumahnya. Sementara, Steven tidak diketahui rimbanya karena berhasil kabur dari negara ini sebelum situasinya menjadi amat kacau balau.

Entah berapa lama aku menangis hingga akhirnya aku pun capek sendiri. Aku masih terisak namun air mataku sudah mengering. Mata dan pipiku membengkak, karena semua ini terasa amat berat bagiku. Aku duduk sambil memeluk lututku.

Andai saja ada yang bisa kulakukan untuk membantu...

Andai saja aku bisa melakukan hal yang berbeda...

Andai saja aku bisa menukar nyawaku untuk Erik...

Bila aku bisa melakukan hal itu, maka aku akan rela melakukannya, walau itu berarti aku harus mati.

Oh Tuhan, Dewa, Iblis, atau siapa pun yang ada di sana! Tolong aku! Tolong bantu aku untuk menyelamatkan Erik! Dia adalah orang baik yang seluruh hidupnya didedikasikan hanya untuk menolong orang lain, bahkan walau itu membahayakan keselamatannya sendiri. Dia selalu membantu tanpa pamrih, dan bagiku Erik adalah berkat bagi dunia. Tolong selamatkanlah dia! Tolong biarkan dia bisa hidup dan berbuat kebaikan di dunia ini walau aku harus bertukar tempat di sana.

Namun hanya ada keheningan dan dinginnya dinding rumah sakit. Tak ada suara atau cahaya yang menjawab doaku. Yah, mau bagaimana pun juga, ini merupakan permintaan yang mustahil. Tak mungkin bisa terjadi...


"Erik... Aku nggak mau kehilangan dirimu... Biar aku aja yang mati, tapi jangan kamu, Erik!"


Kembali aku membenamkan mukaku ke dalam kedua lututku dan menangis tersedu-sedu. Namun saat itulah kurasakan sesuatu yang hangat berada di dekatku. Saat kulirik, ada semacam cahaya aneh berwarna merah. Rupanya cahaya itu berasal dari benda aneh semacam benang dari cahaya yang terikat pada jari manisku. Saat ingin memegangnya, benang cahaya itu hanya menembus tanganku begitu saja bagaikan hantu. Lalu muncul pula sebuah aroma harum yang khas. Kopi instant! Ya, jelas bahwa ini kopi instant G**d Day Vanilla Latte! Eh, apa ini mimpi?

Aku mendongak dan tampaklah olehku seorang nenek-nenek dengan muka ramah tersenyum. Dia membawa semacam rombong berisi sachet kopi instant dan termos air panas, dan mengulurkan segelas kopi hangat yang harum kepadaku. Aku tertegun melihatnya, kenapa bisa ada penjual kopi di dalam rumah sakit ini? Lalu kenapa orang ini berasa tidak asing, tapi siapa sebenarnya dia?


"Nenek..."

"De'remmah khabare, Ning Rini? Lama ya kita ndak ketemu, ta'ye? Sampeyan mau kopi?"

"Tapi nenek ini siapa? Kenapa bisa tiba-tiba ada di sini?"

"Sampeyan ndak inget ya? Ndak apa-apa, aneh malah kalau sampeyan bisa ingat..."

"Maksudnya?"



Nenek itu hanya terkekeh saja. Tiba-tiba gelas kopi yang ada di tangannya seperti mendidih dan mengeluarkan uap warna putih seperti uap air yang sedang dimasak. Nenek itu meniupkan uapnya langsung ke arah wajahku, dan saat itulah aku merasa amat mengantuk dan mengantuk, dan pandanganku pun akhirnya menjadi gelap.


Next >>> Reasons
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd