Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BENANG MERAH TAKDIR

Chapter 3:

It's All About Reasons...


Location Unknown
Timeline Unknown



"Kecelakaan!!"

"Ada orang ketabrak truk!!"

"Orangnya mecedel, Pak!! Tolong!! Tolong!!"



Suara-suara itu terdengar keras hingga sampai di dalam rumahku. Orang-orang pun gempar, dan biasanya aku akan langsung turut keluar untuk melihat, namun kali ini tidak bisa. Ya, karena saat ini nyawaku pun sedang ada di ujung tanduk, dan tiap detik bisa terlepas begitu saja.

Pisau masih tertancap bersimbah darah di badanku, dan membuat tubuhku benar-benar berbaring di atas kubangan darahku sendiri. Jakarta hari ini panas sekali, namun bagiku suhunya dingin, hampir sedingin es, ketika darah yang memberiku kehangatan semakin banyak mengalir keluar. Rasanya juga sudah tidak sakit lagi, bahkan sudah tak terasa apa-apa pada badanku. Pengelihatanku sudah makin kabur dan gelap, hanya telingaku saja yang masih bisa mendengar. Aku bernafas keras, amat keras hingga seperti mengorok melewati tenggorokanku yang penuh darah. Entah aku akan mati karena kehabisan darah atau tenggelam karena tersedak darahku sendiri, bagiku sudah tidak penting, karena yang kupikirkan sekarang sudah bukan kematianku sendiri.


"Orangnya tadi lari dari rumah sono terus ketabrak!"

"Mati ya, Pak?"

"Ya mati lah, bego! Udah nggak berbentuk gitu!"

"Ade keluarganye nggak ye, di rumah itu?"

"Kayaknya sih ada, Pak, seharusnya ada istri ama anaknya di sono. Tapi koq istrinya nggak keluar?"

"Wah, feeling ane nggak enak nih, ayo Bapak-bapak, kite periksa ke rumahnye dulu, sambil tolong jalanan diatur biar nggak macet, ama tolong ini jenazah ditutupin, kasihan kalau dilihat orang kayak gini."



Air mataku pun mengalir mendengarnya. Erik mati... Mati dengan tragis, dan dalam beberapa detik lagi aku akan menyusulnya. Aku nggak mau Erik mati... Sementara Vino menangis, dan tangisannya terdengar semakin redup saat kurasakan nyawaku mulai bergerak meninggalkan badan.

Selamat tinggal, Vino... Maaf karena Ibu membuat kamu kehilangan orang tua... Seharusnya Ibu bersikap biasa aja lihat ayah kamu masuk postingan Inst*gram cewek, toh dia juga anak buah ayah kamu di kantor...

Aku nggak tahu kenapa bisa semarah itu ama dia, padahal fotonya pun biasa-biasa saja, dan nggak mesra-mesra amat. Aku marah karena dalam pikiranku terbentuk bayangan seolah-olah Erik dan wanita itu mengejekku dan membuat rencana untuk berselingkuh di belakangku. Kenapa aku semarah itu dan menuduhnya, padahal aku tahu Erik tak pernah macam-macam. Aku juga tahu dia benci jika dituduh melakukan sesuatu yang tak dia lakukan. Mungkin karena aku bersikap secemburu dan semarah itu, akhirnya dia pun kalap... Lagi pula akulah yang pertama kali mengacungkan pisau padanya, dan menyabetkannya saat dia berjalan ke arahku...

Saat aku meratap itulah sebuah bayangan muncul di hadapanku. Mataku sudah amat kabur untuk melihat siapa itu, kuduga itu salah satu dari orang-orang di luar yang memeriksa keadaan di rumah ini. Dia pasti akan menemukanku bersimbah darah di sini dan membawaku ke rumah sakit. Tidak, aku tak akan selamat, tidak dalam keadaan seperti ini. Rumah sakit terdekat pun berjarak setengah jam perjalanan, itu dengan catatan ambulans sudah ada di depan rumah. So, aku pasti mati apa pun yang terjadi, mati dan menyusul Erik.

Aku berharap semua itu tak terjadi...

Aku berharap bisa lebih bersabar dan menahan emosi untuk tidak bicara begitu pada Erik...

Mungkin dengan begitu, tragedi bisa dihindarkan.

Mungkin dengan begitu Erik dan aku akan masih hidup, sehingga Vino tak perlu harus jadi anak yatim piatu pada usia yang sekecil ini.

Aku pun pasrah saat bayangan itu berubah makin lama makin jelas menjadi sesosok manusia...

Lebih tepatnya lagi, sesosok nenek-nenek, yang membawa bunga berwarna putih, awalnya kukira itu bakung, namun setelah dekat, ternyata itu seruni. Nenek-nenek itu memiliki wajah yang teduh, namun raut mukanya sendu dan penuh kesedihan. Aku tak pernah melihat nenek-nenek ini sebelumnya di lingkungan ini, siapa dia? Dia berlutut di atas kubangan darah di dekat tubuhku, namun anehnya gaun jarik yang dia pakai sama sekali tak kotor atau basah oleh darahku. Siapa sebenarnya dia? Atau apa sebenarnya dia?


"Apa kamu malaikat maut?"


Aku terkejut bisa berkata seperti itu, karena bahkan dari tadi bernafas saja aku sulit mengingat darah mulai membanjiri dan mengalir keluar dari mulutku. Namun sekarang rasanya berbeda, seperti hangat, dan tak ada lagi rasa sakit. Apakah ini bukan ragaku tapi arwahku saja yang berbicara? Namun aku masih terikat pada badanku, masih tidak bisa terbang seperti arwah-arwah yang kulihat di film-film. Tanganku dan seluruh anggota tubuhku pun bahkan tak bisa kugerakkan.


"Bukan, tapi itu salah satu tugasku..."


Nenek itu berkata dengan nada yang lembut namun tegas, dan seketika membuatku tenang dalam kondisi sekaratku.


"Jadi aku sudah mati?"

"Belum, tapi kamu juga tidak bisa dibilang masih hidup."



Dia lalu meletakkan tangannya pada dadaku, dan seketika itu pula muncul cahaya putih yang walau teramat terang namun tidak menyilaukan. Cahaya yang terasa hangat dan menyelimutiku dengan lembut. Tiba-tiba saja dingin yang tadi terasa membekukan tulang pun sirna. Apakah ini artinya aku akan dibawa ke alam baka? Ke tempat yang hanya kudengar dalam dongeng atau saat pelajaran agama saja? Nenek tadi mendendangkan sebuah tembang Jawa, yang walau aku tak tahu apa yang dia katakan aku seolah bisa memahaminya:


"Kehendak manusia yang teramat kuat;
Bahkan dewa dan iblis pun akan tunduk di hadapannya;
Pada saat itu waktu akan bisa berbalik;
Dan bahkan kematian pun bisa diubah kembali."



Dia mengambil bunga seruni itu lalu meletakkannya pada dadaku, kemudian dengan tangannya dia meremas bunga itu hingga seluruh kelopak bunganya berguguran, kemudian dia melepasnya hingga kelopak-kelopak itu terbang ke udara. Awalnya aku tak sadar, tapi kelopak-kelopak bunga warna putih itu terlihat menjadi semakin banyak dan semakin banyak, dan terbang melingkar seperti tengah ditiup oleh angin puting beliung. Aku ketakutan, namun nenek itu meletakkan tangannya pada dadaku kembali dan aku pun kembali tenang.


"Cah Ayu, jangan takut, jangan resah. Saat nanti kamu membuka mata, semua ini akan berlalu seperti mimpi, ingatan yang kabur bagaikan bayangan, tidak pernah terjadi, juga tidak nyata. Hanya ingatlah apa yang membawamu ke sini, tolong jangan kamu ulangi lagi, berbaik-baiklah pada suamimu, dan jangan kamu jatuh pada perangkap yang dibuat oleh pikiranmu. Ngerti ya, Nduk?"


Mataku membelalak saat si Nenek kembali menyenandungkan tembang yang kini terasa amat mistis bagiku. Kelopak seruni itu kini terbang berputar di sekitarku, amat banyak hingga seperti membentuk sebuah tembok, yang makin lama makin menyempit. Aku tak bisa berteriak, bicara, bahkan tak bisa merasakan apa-apa, karena pikiranku serasa mati. Bukan, bukan mati, lebih tepatnya adalah terdiam, bagai video yang tengah di-pause. Aku kembali merasakan nafasku tersengal-sengal, ketakutan saat semua kelopak itu mulai membungkus diriku, semakin rapat, semakin rapat, hingga akhirnya semua pun gelap...


==========


Timeline 2021


Aku terbangun dan membuka mata dalam keadaan yang amat terkejut, saking terkejutnya hingga aku menarik nafas teramat dalam dan terbatuk-batuk. Suasana sepi, tak ada darah atau air mata, atau TKP pembunuhan. Aku berada di atas kasurku yang nyaman, dalam kamarku yang walau ditata dengan rapi, namun terasa mengimpit dan menyiksa selama bertahun-tahun ini. Bagaimana pun, untuk pertama kalinya aku senang melihat kamar ini, karena ini jauh lebih baik daripada mimpi burukku yang penuh dengan darah. Aku lega bahwa semua tadi ternyata hanya mimpi...

Vino masih tidur di tempatnya, tampaknya damai sekali. Jam di dinding menunjukkan pukul 04.00, Vino baru akan bangun 3 jam lagi. Eh, tapi ke mana Erik, ya? Bukannya seharusnya dia ada di tempat tidur?

Aku pelan-pelan pun turun ke lantai bawah. Sayup-sayup terdengar suara TV yang disetel dengan suara amat minim hingga nyaris tak terdengar. Saat kulongok, Erik ternyata ada di sana, tertidur di sofa dengan tangannya masih memegang remote. Segelas kopi yang baru setengah habis tampak ada di meja, bersama sekaleng biskuit malkist. Dari acara TV yang dihadapinya, sepertinya Erik ketiduran setelah menonton sepakbola. Biasanya aku selalu kesal bila dia ketiduran begini dan makanan serta minuman dibiarkan terbuka karena pasti akan mengundang semut dan ujung-ujungnya aku juga yang harus membersihkan, namun kali ini tidak.

Dengan lembut, kututup semua makanan dan minumannya (yang untungnya belum disemutin), lalu aku duduk di sebelah Erik, berhati-hati agar dia tak terbangun. Lalu kupandangi muka Erik, orang yang sudah 10 tahun ini menjadi suamiku. Jenggot dan kumisnya sudah mulai panjang lagi, aku selalu mengingatkannya agar bercukur tak hanya seminggu sekali, namun dia bilang agak susah bila harus bercukur saat mandi di hari kerja, karena pasti terburu-buru. Hmm, mungkin untuk ulang tahunnya nanti aku beliin alat cukur mekanis saja kali ya, jadi dia cukur sambil siap-siap?

Hmm, aku menyentuh wajahnya, merapikan rambutnya yang berantakan. Erik selalu terlihat tampan saat tidur, entah kenapa. Dia selalu tampak lugu dan damai pada saat ini, bukan Erik yang terburu-buru di pagi hari, atau Erik yang lelah dan kuyu di malam hari. Aku memang selalu meminta Erik supaya tidak tidur sebelum aku, namun terkadang, bila dia sedang amat lelah, dia tidur, dan itulah saat aku bisa melihatnya tidur. Entah kenapa bagiku ini menenangkan.

Lalu kupegang dadanya yang bidang, merasakan detak jantungnya saat dia tidur. Dulu sekali detak jantung ini pernah menjadi musik yang mengantarku tidur. Amat nyaman tertidur di dada Erik, seolah semua beban dunia pun terangkat. Aku jadi lupa akan mimpi burukku, yang aku sendiri tak tahu apa. Aku hanya ingat tadi terbangun karena mimpi yang amat buruk, dan biasanya kalau begitu aku selalu memeluk Erik supaya aku sendiri tenang, apalagi bila hal itu kulakukan setelah...

Hmm, tiba-tiba jantungku terasa berdetak kencang dan darahku seolah terpompa dengan lebih cepat. Apa ini? Aku mengenali yang kurasakan ini sebagai tanda bahwa aku sedang horny, sedang birahi. Apa aku horny karena suamiku sendiri? Kenapa tiba-tiba aku merasa ingin sekali menempelkan badanku padanya? Sudah lama sejak terakhir kali kami bercinta, mungkin sebelum hamil Vino.

Aku merinding, bulu kudukku pun berdiri saat aku menyentuh tubuh Erik. Kuletakkan kepalaku di dadanya, bersandar pada man-boob-nya yang terasa empuk pada pipiku. Pikiranku pun menggila, dan pada rahimku terasa muncul sebuah rasa hangat, dan tak sadar otot-ototnya pun terasa berkontraksi, membuka dan menutup, membuat bagian bawahku terasa lembap namun hangat.

Kumasukkan tanganku ke dalam baju Erik dan memegang dada serta putingnya secara langsung. Ooh... Rasanya nyaman sekali saat kupegang, dan perlahan-lahan putingnya terasa mengeras pada jari-jariku. Aku pun menggigit bibir bawahku, dan aku yakin pasti pandangan mataku amat sayu. Bau feromon yang muncul dari badan Erik cukup kuat dan membuatku mabuk, dan kini yang kupikirkan hanyalah satu...


"Kontol... Kontol... Kontol..."


Kata-kata itu terus terngiang dalam kepalaku. Tubuh Erik terasa hangat, empuk namun perkasa, dan wangi aneh yang membuatku semakin bergairah, dan kini aku merasakan gerah. Bukan, ini bukan karena suhu udara, tapi gerah karena terbakar oleh birahi. Dan sepertinya Erik pun merasakannya karena kulihat bagian bawah celananya menggembung.

Kuelus-elus gundukan itu dari luar celananya. Jari-jariku terasa gemetaran dan nafasku pun memburu. Rasa ini, kontol yang setengah besar, seolah memancingku untuk bertindak lebih jauh. Wajah Erik masih terlihat damai, tapi dari perubahan raut mukanya, aku yakin dia merasakannya juga. Pelan-pelan tanganku menyusup ke dalam kolornya dan menemukan sebuah benda dengan tekstur yang aneh, empuk di ujung tapi agak mengeras di batang.


"Aah... Iyaah... Ini kontol Erik..."


Kuelus berkali-kali sambil merasakannya membesar dan mengeras, lalu semacam cairan lengket pun muncul dan melekat di jari-jari tanganku.


"Hihihi... Kamu udah basah juga ya, Erik?"


Kuelus lagi, tapi kali ini dengan sedikit tekanan, juga remasan yang lebih kuat, urut bagian batangnya, kemudian remas sedikit zakarnya. Erik tampak agak sedikit mengerang, jadi aku menghentikannya. Tidak, dia tidak terbangun, mungkin hanya mimpi... Mimpi lagi dienakin oleh bidadari, hihihi. Kuelus kembali sambil pelan-pelan kugeser celana kolornya hingga akhirnya kontolnya pun terbebas keluar. Aku tersenyum geli melihatnya. Kontol Erik bukanlah kontol terbesar yang pernah kulihat. Selain dari bokep, pernah ada di SMA anak cowok sableng yang sukanya ngelihatin kontol waktu anak-anak cewek sedang ganti baju saat jam pelajaran olahraga. Dan, kontolnya saat itu jauh lebih besar daripada Erik, tapi karena aku tidak suka dia ya, jadinya biasa aja gitu kalau ngelihat. Beda dengan Erik, entah kenapa, walau bukan yang terbesar atau yang terbagus, aku tetap lebih suka melihatnya. Ya, mungkin aku satu-satunya wanitanya jadi ya aku satu-satunya yang pernah melihat kontol ini, selain Erik, tentunya.

Tanpa sadar, aku pun meloloskan celana dalamku sendiri. Inilah enaknya menggunakan daster, tak perlu repot melepas, tinggal angkat saja bila memang perlu. Damn, basah mbanget di bawah, kapan ya terakhir aku sebasah ini?

Aku kemudian berlutut di depan Erik sambil masih memegang kontolnya. Kini benda itu sudah terasa makin keras di dalam genggamanku, dan aroma saat precumnya keluar benar-benar luar biasa, bagaikan candu. Yang kupikirkan kali ini hanyalah untuk menjilat dan melahap kepala pink yang mengkilat itu.

Kujulurkan lidahku dan mencucup kepalanya. Asin... Hahaha. Bukan asin saja tapi ada rasa yang cukup kompleks, lebih ke gurih, atau kalau orang dulu biasa bilang, rasanya nano-nano. Kujilati dari bawah ke atas, merasakan tekstur corpus spongium yang kenyal seperti jeroan. Agak sepat, dan beberapa helai jembut Erik pun masuk ke mulutku. Namun bukan rasa yang membuatku tertarik, lebih pada teksturnya yang kenyal, mirip seperti es krim pada tingkat kebekuan tertentu yang tak terlalu keras namun juga tak terlalu lembek. Sekejap saja kontol Erik sudah mengkilat karena usapan lidahku, dan aku yang masih gemas pun menyedot bola zakarnya.


"Aahhhhhh... Eh, Mama..."


Aku melirik ke atas, dan Erik terbangun, tampak kaget dengan aku ada di bawah, mengelamuti zakarnya. Dari pandanganku sekarang, kontol Erik terlihat seperti mercusuar raksasa dengan kepala mengkilat yang aneh, tapi entah kenapa aku suka.

Melihat itu, Erik berusaha bangkit, tapi aku segera menahan agar dia tetap duduk.


"Udah, diem aja di situ."


Tangannya lalu bergerak hendak meraih susuku, namun kutepis.


"Mas diem aja, biar Mama yang kerja, oke?"


Erik mengangguk, lalu dia merebahkan diri di sandaran sofa, pasrah dan hanya mendesah berat saat aku semakin kencang mengisap kontolnya, sambil sesekali mengocok dan mengusap kepalanya.


"Enak, Ma... Aahhh..."

"Mau lagi?"

"Mau..."



Aku tersenyum, lalu dengan gaya manja, aku naik ke tubuh Erik, sambil tangan kiriku masih membetot kontolnya. Daster sengaja kunaikkan hingga pinggang, sehingga perutku yang penuh lipatan lemak dan tak lagi memakai celana dalam ini terlihat jelas. Kemudian kubuka kancing dasterku yang cukup mudah untuk dilakukan walau hanya dengan satu tangan saja dan kukeluarkan susuku yang memang sudah agak mengondoy ini, karena memang aku jarang olahraga dan habis menyusui.


"Mas, susuku bantu keluarin dong. Tanganmu kan bebas."


Tanpa menjawab, Erik langsung membuka belahan pada daster kemudian menyibakkannya, sehingga kedua susuku keluar dengan bebas. Saat dia ingin menurunkan dasterku, aku menghentikannya.


"Jangan diturunin, dibuka aja."


Erik mengangguk kemudian dia menyibakkan dasterku lebih jauh dan menyangkutkannya pada kanan kiri susuku. Sejenak dia memainkan kedua putingku yang menghitam dengan jari-jarinya sebelum memasukkan salah satunya ke mulutnya.


"Aaaahhhhh... Massss..."


"CEPOKK!!"



Suara cepokan ketika Erik mengisap susuku kemudian melepaskannya benar-benar membuatku merinding. Rasanya seperti tersengat listrik dari puting menuju ke seluruh tubuh bagian atas. Putingku sendiri kini sudah tampak membesar, mengeras, dan mengkilat kehitaman akibat ludah Erik.


"Aaahhhh... Yesss... Teruuuussss..."


Dia kembali mencucup dan mengulum putingku, memainkannya dengan lidah, memberikan sensasi rasa geli ke seluruh tubuh, geli setengah gatal yang tak bisa digaruk, apalagi tangan satunya juga tak luput meremas serta mencubiti susuku yang satunya.

Karena gemas, aku pun menarik kaus yang dia pakai dan menyangkutkannya pada kepalanya sehingga matanya tertutup kaus tapi mulutnya bebas. Kedua tangan Erik kemudian aku tarik dan tahan di atas kepalanya sehingga suasananya mirip seperti film-film BDSM yang pernah aku tonton. Erik tak memberontak, tampaknya dia pun penasaran. Sudah lama sekali kami tak melakukan seks secara roleplay semacam ini. Kami hanya melakukannya secara vanilla.


"Mas, tanganku gak bisa ngapa-ngapain nih, kamu sedotin susuku ya..."


Erik tidak menjawab, hanya menggeram seperti anjing lapar, dan entah kenapa aku pun semakin bergairah mendengarnya. Mulutnya membuka dan menutup dengan bibirnya disorongkan ke depan dan lidahnya bergoyang-goyang, mirip anjing yang hendak menyambut makanan. Aku hanya tertawa saja, sebelum kemudian menyorongkan susuku ke mulutnya yang tengah monyong itu.


"Aahhh... Yess... Good boy, Erik... Aaah..."


Sensasi bak sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku itu membuatku merem melek dan tubuhku pun mulai bergerak dengan sendirinya. Aku semakin menekankan susuku pada wajah Erik yang tertutup kaus sambil mendesah kencang saat Erik mengisap dan memainkannya dengan brutal. Kami jauh dari kamar tidurku, jadi aku berani mendesah kencang, lagi pula ada baby monitor yang menyala supaya saat Vino bangun, aku bisa tahu.


"Aaahhh... Yesss... Aaahhhh... Hmmmppph..."


Aku menggeram saat kontol Erik yang terasa keras bagaikan kayu itu kugesekkan di mekiku. Rasa saat kepalanya yang bulat membelah bibir mekiku dan menggesek klitorisnya sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seolah mekiku turut menegang saat kepala kontol itu menjelajahinya, dan pelan-pelan aku semakin menekankan kontolnya masuk ke dalam mekiku.


"Hggghhh... Aaahhhh..."

"Masukin, Sayang, masukin... Aaahhhh..."



Aku kembali menyumpal mulut Erik dengan susuku. Tiba-tiba saja badanku terasa gemetaran dengen mekiku membuka dan menutup, bagai memijat kontol Erik yang terasa keras di dalam tubuhku. Sebuah benda asing yang seolah berusaha untuk terus dikeluarkan oleh otot otonomku, tapi entah kenapa pikiranku justru ingin memasukkannya lebih dalam. Kaki dan tanganku mendadak lemas hingga aku pun terjatuh bersimpuh dan memasukkan kontol Erik lebih ke dalam lagi. Aku menarik nafas kencang sekali hingga berbunyi, karena saat kontol itu masuk mentok, bagaikan mortir tubuhku terasa melonjak dengan batang kontol Erik pada pusatnya. Getaran itu terasa makin lama makin kencang, dan rasanya seperti pipis, namun tak ada air yang keluar. Aku mencengkeram badan Erik sebagai tumpuan, dengan susuku masih berada pada mulutnya, sambil aku berusaha bertahan dari badai ini. Ya, aku orgasme, setelah beberapa lama.

Mekiku sebenarnya sudah tidak sekesat waktu kami masih belum punya anak, dan jujur aku pun merasakannya. Bayi itu lebih besar daripada kontol, dan saat terowongan meki ini dilewati benda sebesar itu, terjadi deformasi sehingga tak bisa lagi serapat seperti dulu. Akibatnya, beberapa kali ketika aku bersetubuh dengan Erik pascakelahiran Vino, aku merasa kontolnya bisa keluar masuk mekiku dengan lebih mudah. Jangan salah, masih menggigit, hanya saja sudah lebih los.

Di satu sisi, aku lebih senang begini, karena kontol Erik jadi lebih mudah keluar masuk dan tak lagi begitu sakit. Namun di sisi lain, ya perlu teknik khusus untuk bisa sama-sama puas. Lagi pula aku pun harus bekerja lebih ekstra untuk bisa menjepit kontol Erik, begitu pula Erik untuk bisa memberiku sensasi itu. Hal ini bisa diatasi sebenarnya dengan latihan kegel atau semacamnya, namun sebagai ibu rumah tangga tanpa ART dan juga teman-teman yang sebaya dan senasib (sama-sama habis melahirkan dan punya anak) maka aku pun lama-lama malas.

Namun begitu, pada posisi ini entah kenapa aku bisa menekan lubang mekiku dengan lebih rapat, sehingga kontol Erik bisa memberi sensasi setruman yang keras, nyaris seperti sebelum kami punya anak. Tidak 100 persen sama, tapi cukup mirip.


"Meki kamu kerasa ngejepit, Ma..."

"Iyaa, Mas... Aaahh... Aku bisa ngerasain kontol kamu di dalem... Aaahhh... Yess... Oh God... Terus, Mas, terusssshh..."



Erik pun menyamai irama goyanganku, dan lama-lama, walau dia di bawah, namun kini dia bisa mengendalikan tempo. Aku hanya bisa pasrah mengikuti temponya sambil berpegangan. Duh, dulu aku bisa menahan posisi ini lebih lama tanpa harus bersandar atau pegangan, namun sepertinya aku sudah tak sekuat dulu lagi. Aku menggigit bibirku, karena setiap tusukan Erik terasa seperti mengirimkan shockwave hingga ke ubun-ubun, dan rasanya seperti sedang mengarungi lautan birahi yang penuh ombak. Oh, aku benar-benar tak bisa berpikir, karena aku tak ingin tusukan Erik ini berhenti. Aku ingin kenikmatan ini terus bisa kurasakan... Terus bisa mengalir menjalar melalui tubuhku, bagaikan menuang air pada relung-relung tubuhku yang dahaga.

Aku membuka mata sejenak dan jam besar di ruang tengah menunjukkan sekitar pukul 04.30 pagi. Sial, aku harus mempersiapkan bekal dan lain-lain bagi Erik, lalu bersiap seandainya Vino bangun. Tapi aku masih belum mau melepas genjotan Erik, yang memuaskan tubuhku dari kemarau birahi. Entah bagaimana, gerakan Erik kurasakan tak lagi selancar tadi. Sepertinya kegalauan sejenak ini membuat sekresi pelumas dalam mekiku berkurang. Erik sepertinya bisa membaca hal ini.


"Ma, udah mau siap-siap, ya?"

"Iyaaah... Jangan lama-lama ya, Mas, cepetin aja..."

"Okay, Ma..."



Dengan sisa-sisa pelumas yang ada, Erik kembali menggenjot dengan lebih kencang. Amat kencang hingga pinggulku pun terangkat naik, bukan karena dia mengangkatnya, tapi pada suatu titik kontolnya seperti memicu sarafku untuk secara otomatis mengangkatnya. Gelombang birahi yang kembali datang membuatku mabuk, aku hanya ingin bisa menuntaskannya, menjemput orgasmeku yang kedua.


"Oh fuck..."


Aku mengumpat karena build-up itu terjadi juga, rasanya seperti mangkuk yang makin terisi setiap lama kontol Erik menghujamku. Otot-otot pada panggulku mulai menegang dan mengirimkan sinyal yang menuju ke satu arah. Sementara peristaltik mekiku semakin kencang meremas kontol Erik. Paha, perut, dada, semuanya mengejang, dan aku tak ingin terlalu lama menahan lonjakan birahi ini, simply because I don't have many time... Kurelakskan semua ototku, membiarkan aliran saraf melakukan yang seharusnya dia lakukan, dan...


"AAAAHHHHHHHHH... YEEESSSSSSS!!!"


Aku berteriak kencang saat menjemput badai orgasmeku, yang membuat pikiranku melayang selama sedetik. Dalam sedetik itu aku merasakan euforia yang memuncak, tidak mendengar apa-apa, tidak melihat apa-apa, seolah aku terputus dari dunia, seolah nyawaku keluar dari tubuhku selama sedetik itu. Barulah kemudian aku merasakan fisikku kembali, dan guncangan pada tubuhku tak terkendali hingga aku nyaris jatuh. Untunglah Erik segera menangkap dan memelukku dalam menjalani badai orgasme ini. Saat itulah kurasakan seperti ada yang memompa cairan hangat yang memenuhi rahimku. Aah, Erik ejakulasi juga di dalam rahimku. Rasa hangat ini benar-benar menenangkan tubuhku yang tengah berguncang hebat, dan perlahan-lahan guncangan itu mereda, hanya ada aku dan Erik yang berpelukan. Kurasakan spermanya pun menetes keluar dari sela-sela mekiku yang masih ditancapi kontol Erik, yang perlahan-lahan semakin mengecil dan melembut, lalu tiba-tiba keluar sendiri. Mekiku sendiri masih terasa berkedut, mengeluarkan sisa-sisa sperma yang tak tertampung di dalam rahim, membasahi celana Erik dan juga dasterku. Lalu cairan hangat itu perlahan-lahan mendingin, namun aku masih memeluk Erik dengan erat.


"Terima kasih ya, Sayang..." kata Erik sambil mencium keningku.


Ciuman itu bagiku terasa hangat dan nyaman, membuatku merasa seolah menjadi orang yang paling dicintai di dunia. Aku memeluk Erik setelah mencium bibirnya beberapa kali. Dalam hati aku ingin setiap hari bisa seperti ini.


"Kapan-kapan lagi yuk, Mas..."

"Ya, harus lah, Ma, lagi..."

"Entar malem gimana?"

"Siap! Ntar aku beliin sate kambing dulu."

"Cokelat aja, Mas, kalau sate kambing takut kolesterol."

"Iyaa, ntar aku beliin ya..."



Kami kembali berpelukan, sambil menantikan janji kami nanti malam. Namun, apakah seindah itu kenyataannya? Tentu saja tidak.

Aku tadi sudah bilang bahwa setelah melahirkan, kami memang jarang hingga tak pernah bercinta lagi, dan itu ada alasannya. Erik sedang berupaya mengejar promosinya sehingga dia sering balik larut malam. Aku pun juga sudah lelah setelah seharian mengurus rumah dan juga Vino, hingga akhirnya begitu kami bertemu malam itu, bukannya kembali bercinta, kami malah langsung tertidur hingga pagi. Hari demi hari berlalu, dan euforia dari percintaan waktu subuh itu semakin menghilang. Kami kembali ke rutinitas biasa, saling berkabar hanya sebagai formalitas. Aku yang awalnya senang hati dalam mengerjakan pekerjaan rumah sambil menanti Erik pulang, makin lama makin jemu, dan rumah yang seharusnya luas ini terasa amat sempit bagiku, hingga akhirnya rumahku pun menjadi penjaraku.

Aku sering iri bila melihat Inst*gram dari teman-temanku, mereka bisa pergi ke mana-mana, diajak ke mana-mana, walau hanya jalan-jalan receh, sementara aku? Erik selalu pulang malam dan kelelahan setiap malam. Aku memang sadar bahwa dia sedang mengusahakan untuk mendapatkan promosi di tempat kerjanya, sehingga tak bisa sering-sering cuti atau pulang cepat, namun lama-lama aku pun lelah. Dia bukan aku yang harus terkurung di rumah seharian penuh dengan anak yang selalu menuntut atensiku 100 persen. Bayangkan, aku harus mengurus anak saat dia bangun, memberi makan, menjaganya, memandikannya, lalu kesempatanku mengurus rumah hanya saat dia tidur siang, kemudian setelah selesai dan aku ingin istirahat, Vino bangun sehingga aku harus mengurusnya lagi. Selalu begitu, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, tiada hentinya. Keadaan ini, kelelahan, keterkungkungan, menumbuhkan racun dalam pikiranku, atau sebagaimana dengan masyhur dikatakan oleh Macbeth, "ada kalajengking di dalam kepalaku".

Ya, memang Erik sibuk karena dia mengejar promosinya. Namun, dari mana aku tahu dia benar-benar bekerja di kantornya? Dari mana aku tahu bahwa dia benar-benar harus pulang terlambat karena pekerjaan? Bagaimana kalau dia memang lebih betah di kantornya daripada bersamaku? Ya, apalagi di kantornya sekarang banyak cewek-cewek cantik, terutama satu yang bernama si Bella itu, yang kini menjadi asisten Erik. Dari mana aku tahu bahwa Bella dan Erik benar-benar hanya bekerja bersama? Dua orang cewek dan cowok bekerja dan menghabiskan waktu di ruangan yang sama dan saling berinteraksi, tidak mungkin bila lalu tak ada apa-apa di antara mereka. Pikiranku mulai teracuni dengan prasangka Erik dan Bella mungkin sering bersama-sama berkencan, makan bersama, atau bahkan tidur bersama, sambil mengejekku di belakangku. Apalagi Bella itu masih muda, cantik, terpelajar, dan masih etnis Tionghoa, semua kualitas yang aku tahu amat disukai oleh Erik. Racun ini terus berkembang sehingga semakin lama aku tak lagi menyambut kepulangan Erik dengan senyuman, namun dengan raut muka merengut. Hingga akhirnya hari itu pun tiba...


==========


Dimulai dari Erik yang lupa membeli lampu, dan malah membeli martabak manis, padahal aku sudah memberitahunya bahwa aku sedang diet. Lalu malamnya, Erik berusaha untuk bercinta denganku, dan walau ide bercinta di kamar itu tak kusukai, karena Vino sedang tidur, tubuhku yang memang sudah lama tak disentuh, meresponsnya dengan baik. Amat baik hingga kami kelepasan kendali dan berteriak kencang, membuat Vino bangun. Aku yang kesal dan kentang pun kemudian mengusir Erik untuk tidur di luar.

Saat subuh, aku bangun dan mengecek keadaan Erik. Aku sudah agak lebih tenang walau mendongkol, dan melihat ke bawah, kalau-kalau Erik sudah bangun. Namun yang kulihat justru sebaliknya, Erik tertidur dengan celana melorot dan tangannya memegang kontolnya yang mengkerut dan sepertinya dia baru saja coli malam tadi. Aku kesal dan semakin tersulut karena hape Erik masih menyala memperlihatkan film JAV yang aku tak tahu siapa bintangnya, diputar dengan suara yang lirih namun tetap terdengar. Aku sejak lama memang sudah tak suka dengan Erik yang menyimpan film bokep di hapenya, namun ini kombinasi dari semuanya membuatku murka, apalagi aku sudah berulang kali menyuruhnya menghapus semuanya, karena bagiku semua itu tak ada gunanya. Dalam kemurkaanku itu, aku menghapus semua konten dalam hape Erik dengan cara melakukan factory reset. Ini membuat Erik marah besar saat terbangun. Kami pun bertengkar hebat pagi itu, dan Erik, sebagaimana biasa, memilih untuk mundur daripada meladeniku, dan ini membuatku semakin kesal.

Kenapa kesal? Well, saat kamu lagi pengen melampiaskan kekesalan dan orang yang kamu jadikan tempat sampah tiba-tiba menutup diri sementara kamu nggak punya pelarian lain, maka satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah memendamnya. Dan kekesalan yang dipendam itu bagaikan bara api yang ditutup sekam, makin lama makin membesar dan saat sekam dibuka, maka api sudah terlanjur berkobar amat besar. Seperti itulah yang kurasakan sekarang. Rasa frustrasiku tidak bisa kulampiaskan pada Erik, karena memang dia tak meladeninya. Padahal aku sedang ingin berteriak dan memaki, tapi tidak bisa. Mungkin dia mengira ini hal yang baik, menahan kemarahan supaya tak meledak, dan dari dulu Erik memang jenis orang yang sebisa mungkin akan menghindari konfrontasi. Namun bukan orang macam itu yang kubutuhkan untuk saat ini.

Jadi kenapa aku tak mencari orang lain saja? Pria lain khusus untuk menyalurkan rasa frustrasiku? Banyak orang yang mau denganku, bahkan saat ke pasar saja tidak satu dua kali saja aku disiuti, begitu pula di akun IG atau FB, ada saja yang iseng DM untuk berkenalan. Tidak, tidak sepadan untuk itu. Erik terlalu berharga dan terlalu kuhormati untuk kuselingkuhi. Kadang aku berharap bahwa Erik juga benar berselingkuh, agar aku punya alasan untuk bisa berinteraksi dengan orang baru, mengobrol dengan orang baru, atau bercinta dengan orang baru, yang berbeda dari Erik. Masalahnya semua yang kutemukan tak menunjukkan indikasi bahwa Erik melakukan itu. Ya, dia memang dekat dengan Bella, Nindy, atau cewek lainnya di kantornya, tapi saat kucermati dengan lebih baik, saat pikiranku sedang lebih jernih, tidak ada yang menunjukkan bahwa mereka berselingkuh dengan Erik, bahkan Bella yang kulihat amat dekat dengan Erik pun masih cukup menjaga jaraknya. Lagi pula Erik juga bukan jenis orang yang akan membeli hape baru khusus untuk berselingkuh. Dia tak punya waktu untuk itu, juga tak punya uang, karena aku mengontrol pengeluarannya dengan ketat. Mungkin semuanya terlihat bagus, tapi bila terus begini, aku yang semakin stres. Yang bisa kuharapkan kini hanyalah semoga Erik bisa dapat promosinya dan semua akan bisa normal kembali, lebih banyak uang dan lebih banyak waktu untuk kami.


"PING!!"


Aku dengan malas melihat ke hape dan melihat notifikasinya. Tampaknya Erik berada di sebuah hotel, dan saat ku-cross check dengan Bella, tampaknya mereka berdua di hotel yang sama untuk rapat dengan klien. Sejauh ini cocok dengan Erik yang baru memberitahuku bahwa dia ada rapat penting dengan klien. Ya, aku memang menyambungkan maps Erik ke hapeku untuk memantaunya, dan Erik memang selalu bila rapat dengan klien mengadakannya di hotel yang ada restorannya. Saking seringnya hingga aku menjadi terbiasa dan tak lagi curiga. Huft, tapi kapan ya aku bisa diajak Erik untuk menginap dan makan di salah satu hotel berbintang itu? Erik jelas tak akan punya sisa uang banyak bila dia memaksakan itu, beda dengan bila menjamu klien, karena pasti pakai kartu kredit kantor. Nah, bila aku sedang normal, aku bisa saja berpikir rasional semacam ini, tapi bila overthinking-ku sedang kambuh... Jangankan hotel, dia berhenti sebentar di tempat yang nggak biasa, meski itu cuman minimarket, bisa saja langsung kucurigai.

Tapi kalau dipikir-pikir, aku parah juga ya, sampai factory reset hapenya Erik. Apalagi tadi Erik sampai marah-marah bahwa data-data kantornya pada hilang. Saat itu aku memang tak peduli karena memang sedang teramat kesal, tapi saat kupikirkan kembali, ya seharusnya kuhapus isi galerinya saja atau film itu saja, atau uninstall T*legram tempat dia sering men-download film bokep, tapi tidak, aku malah factory reset, karena dalam pikiranku, itu cara tercepat melakukan semuanya, juga untuk memberi efek jera bagi Erik bahwa aku nggak main-main. Ya, begitulah pembelaanku. Tapi kalau sampai akhirnya data pentingnya benar-benar hilang, lalu Erik gagal promosi, yah, itu berarti salahku. Mungkin aku kudu bikinin dia sesuatu yang lezat ntar malem. Kalau dipikir-pikir, udah lama juga aku nggak bikinin makan malam buat Erik. As an apology, ya sudahlah nggak apa-apa, hitung-hitung nyenengin suami juga. Rumah udah beres, setelah itu tinggal menidurkan Vino, kesempatan langka nih, pas Vino tidur, aku bisa istirahat dulu, tidur juga sebelum ntar malem bangun lalu masak, yeah, I should do that...


==========


Pisau...

Darah...

Pisau...

Aku mati...

Erik...

Erik juga mati...

Tidak, jangan kecelakaan...

Jangan ditabrak mobil...

Ayahku juga ditabrak mobil, jangan...


"JANGAAANN!!"


Aku langsung terbangun dengan nafas terengah-engah dan tubuh yang bersimbah keringat. Mimpi, ya, itu mimpi... Mimpi aneh itu lagi, di mana aku ditusuk dengan pisau, lalu aku tahu bahwa Erik mati...

Kulihat sekitarku dan Vino masih tidur sambil mendengkur halus. Sudah jam berapa ini? Koq sudah gelap saja. Hmm, kuat juga ya Vino bisa tidur selama ini. Biasanya kalau tidur empat jam dia selalu terbangun. Kuperiksa dia tapi tidak ada apa-apa, tidak panas atau dingin, normal-normal saja, hanya sedang tidur dengan pulas, itu saja. Aku mencium keningnya pelan-pelan, dan dia sedikit beringsut karena kaget, tapi tidak terbangun. Sudahlah, aku juga tak ingin dia bangun sekarang, karena aku harus masak... Duh, mana pengen pipis pula... Aku kemudian mengambil hapeku dan melihat jamnya.


"Oh, my God! Koq udah jam 9 aja??"


Aku panik, karena yang kukira masih jam sekitaran maghrib, ternyata sudah cukup malam. Kalau begini aku gak bakal punya waktu buat masak, dan dari suara yang kudengar, sepertinya Erik sudah pulang dan ada di dapur. Suara sendok beradu dengan panci, pasti dia sudah membuat mie instan dan makan langsung dari panci sebagaimana kesukaannya. Baru aku akan menyambutnya saat tiba-tiba kulihat notifikasi di hapeku, sebuah notifikasi yang dari tadi belum kulihat karena masih sibuk dengan Vino. Namun karena sudah kebelet pipis, aku segera keluar dan menuju ke kamar mandi. Dalam perjalanan aku melirik pada Erik yang tengah makan mie instan. Dia tersenyum padaku, namun tak kuhiraukan dan langsung masuk ke kamar mandi. Saat itulah aku baru membuka notifikasi yang belum sempat kulihat itu.


"Apartemen A? Ngapain Erik ke sono?"


Seketika itu aku galau dan hatiku rasanya dicengkeram oleh cakar kegelapan yang tak terlihat. Mana mungkin rapat bisnis bisa ada di dua tempat yang berbeda. Lebih parah lagi karena Bella hanya memposting foto saat di restoran hotel itu saja, bukan di apartemen. Apa Bella memang sengaja tak mempostingnya? Tapi dia itu kan FOMO, mustahil lah kalau nggak posting. Saat itulah aku melihat baju bekas dipakai Erik ke kantor masih tergantung di gantungan baju. Hmm, Erik selalu saja lupa memasukkannya ke keranjang baju kotor. Aku pun bangkit dan mengambilnya saat...

Aku segera mencium baju Erik, dan semerbak parfumnya dari kantor tercium amat kuat bersama dengan aroma keringat dan bau asap, entah kendaraan atau rokok. Erik memang biasa memakai parfum saat akan rapat bisnis, namun biasanya baunya nggak pernah kecium lagi pas balik. Aku mencium baju itu dalam-dalam dan kurasakan ada wangi lain. Ya, ini jelas bukan bau parfum Erik atau asap vape atau semacamnya. Ini bau parfum wanita! Bukan parfum sembarangan, karena aroma manisnya amat khas, pastinya ini jenis parfum yang mahal. Tapi siapa yang punya parfum mahal? Di kantor satu-satunya wanita yang dekat dengan Erik ya hanya Bella, tapi aku pernah bertemu Bella, dan tahu parfum yang dipakainya. Ini mirip namun berbeda. Seketika itu pula, bau itu memicu racun kegelapan untuk menyebar dalam pikiranku. Erik selingkuh... Ya, tidak diragukan lagi, Erik pasti selingkuh. Tiba-tiba saja sebuah perasaan panas terasa meluap-luap di dada. Apa ini? Apa aku cemburu?? Aku harus tahu, dan aku harus tahu malam ini juga!

Aku langsung keluar kamar mandi dalam situasi emosi yang kalut, lalu duduk di hadapan Erik di meja makan. Erik tersenyum, mungkin dia mengira aku akan menemaninya makan.


"Mau makan juga?" tanya Erik.

"Enggak..."

"Ntar aku bikinin kalau..."

"Dibilangin enggak..."



Erik terdiam, begitu pula diriku. Darahku yang mendidih karena kemungkinan Erik berselingkuh membuatku menatap Erik dengan pandangan mata yang sinis. Sepertinya dia pun merasakan hal itu, karena kulihat bahasa tubuhnya mulai serasa resah.


"Kenapa diem gitu?" tanya Erik.

"Hmph..."



Lalu entah bagaimana, mungkin karena Erik teramat gugup aku memperhatikannya seperti itu, sumpitnya jatuh dan membentur panci. Karena sumpitnya terbuat dari logam, maka suaranya berdenting amat kencang. Baiklah, saatnya untuk membuka pembicaraan.


"Ih, berisik banget, sih!? Bisa nggak sih lo makan nggak berisik!?"

"Iya, maaf..."

"Lo ngapain emangnya? Biasanya juga lo jago pegang sumpit. Gugup ya? Kenapa? Lo ngerasa salah gue liatin?"

"Enggak, apaan sih? Meleset aja, panas soalnya."

"Halah, alesan. Udah pulang telat, sampe rumah berisik banget tinggal makan doang."

"Kan aku udah bilang kalau aku balik telat, Ma, soalnya ada kerjaan kudu diselesaiin."

"Yakin ada kerjaan? Atau ada kencan? Parfumnya koq kenceng banget baunya?"

"Ada meeting juga tadi, jadi ya aku pake parfum."

"Nggak biasanya lo pake parfum sebanyak itu? Napa? Bella kebauan ya ama lo?"

"Ih apaan sih, Ma, orang nggak ada apa-apa. Aku kan emang biasa kalau mau meeting selalu pake parfum, apalagi ini tadi meeting di luar."

"Di luar mana? Hotel H? Atau Apartemen A?"



Erik tampak terkejut aku mengetahui ke mana dia pergi hari ini.


"Kenapa? Kaget ya, koq gue bisa tahu? Gue konekin maps lo ke hape gue, jadi gue tahu lo ke mana aja."

"Ya, emang meetingnya ke dua tempat."

"Lama ya, tapi?"

"Namanya juga meeting, ya mana tahu waktunya bakal lama."



Aku tidak suka dengan nada suaranya sekarang. Nadanya meninggi, jangan-jangan benar bahwa dia sedang menutupi sesuatu.


"Heh, biasa aja dong njawabnya, mau ampe si Vino bangun? Kan gue cuman nanya gitu doang."

"Ya, nadanya kalau nanya jangan gitu dong. Aku tadi ada rapat buat closing klien baru, makanya lama."

"Ditemenin ama Bella?"

"Y-Ya iyalah, kan dia anak buah aku, yang pegang semua datanya."

"Pantesan betah ya."

"Ma, ini tu profesional doang, nggak ada apa-apa."

"Ya, emang gue nuduh lo ada apa-apa? Koq malah lo yang kebakaran jenggot? Hayo, ada apa, coba ngaku?"

"Kagak ada apa-apa, itu cuman..."



Hape Erik yang terletak di meja tiba-tiba berbunyi, ada notifikasi pesan yang masuk secara push. Itu adalah pemberitahuan email dan kulihat nama pengirim yang terpampang jelas. "Metta Prameswari Liunata". Jantungku serasa berhenti karena aku benar-benar kenal nama itu. Itu adalah mantan gebetan Erik pada tahun 2009 lalu. Kenapa bisa ada email dari orang itu?? Kapan mereka berdua bertemu?? Erik berusaha mengambil hapenya lagi, namun aku lebih cepat meraihnya karena memang lebih dekat.


"Dear, Erik. The board are glad with the result of our meeting today and have decided to expedite the process of forging our cooperation..."

"Mana, sini, kasihin ke aku!"



Erik kembali berusaha mengambil hapenya, namun aku mengelakkannya dan terus membacanya. Meski itu sebuah email bisnis biasa, membaca nama itu saja membuat dadaku semakin panas dan bergejolak.


"Tunggu, Metta Prameswari Liunata, ini Metta yang itu, kan? Mantan pacar lo?"

"Iya, emang. Dia jadi representative dari perusahaan..."

"Koq lo nggak bilang kalau ketemuan ama mantan pacar lo? Lo nyembunyiin apa lagi dari gue?"

"Nggak ada apa-apa, kita juga baru ketemu hari ini, aku juga baru tahu..."

"Bohong, pasti ada kontak sebelumnya, mana mungkin meeting cuman sekali bisa langsung gol?"



Aku menggeser-geser inbox email, berusaha untuk menemukan mencari bukti email lain dari Metta. Kesepakatan sebesar ini nggak mungkin dibuat hanya dalam sekali korespondensi doang. Seraya jariku menggeser inbox, aku pun berdoa. Please, tolong ada, tolong ada, aku tidak mau apa yang aku takutkan ini benar. Namun semakin aku tak menemukannya, semakin pula aku marah. Pasti ada sesuatu... Pasti semua email itu dihapus... Kenapa kalau email bisnis biasa dia harus menghapusnya?? Pasti ada apa-apa...


"Koq nggak ada? Lo pasti udah hapus-hapusin, ya? Ngaku lo."

"Kagak ada, ya emang sekali ketemu itu langsung gol, Ma."

"Bohong banget, terus abis ini gol, lo yang pegang kerjasamanya, gitu?"

"Iya, buat jadi..."

"Enggak, enggak, gak ada cerita. Tolak sekarang juga kerjasamanya."

"Ya nggak bisa lah, ini kan buat perusahaan, lagian kalau aku nggak pegang, credit-nya ntar..."

"Gue gak peduli, itu bukan masalah gue. Tolak kerjasamanya, SEKARANG!"

"Enggak!"



Erik dengan sengit menolak. Aku semakin gusar dan kemarahanku semakin memuncak, dan tiba-tiba saja aku tak bisa melihat dengan jernih karena mataku sudah terbutakan oleh kemarahan. Bagiku, Erik kini adalah sasaranku, sasaran untuk melampiaskan amarahku beserta semua emosi negatif yang tertahan.


"Lo rupanya lebih milih mantan lo itu daripada istri lo sendiri..."

"Bukan gitu, Rin, biar kujelasin, kalau aku gak pegang..."


"BRAAAKKKK!!!!"



Aku sendiri tak ingat dengan jelas apa yang terjadi saat itu. Tanganku seolah bergerak dengan sendirinya dan menghantam kepala Erik dengan amat keras menggunakan hapenya. Terdengar seperti bunyi sesuatu yang pecah, dan Erik pun langsung terjatuh dari kursi ke lantai. Aku syok, karena pada saat itulah kusadari bahwa kepala Erik berdarah akibat pukulanku. Kulihat pada hapenya yang ada di tanganku, layarnya sudah pecah, dan ada bercak darah di sana. Muka Erik tampak merah menghitam, astaga... Aku pernah melihat muka itu... Muka yang amat kutakuti melebihi setan atau hantu... Baru aku berpikir begitu Erik langsung bangkit dan menerjang ke arahku.


"KYAAA!!!"


Aku berteriak kencang saat Erik dengan paksa merebut hape itu dari tanganku. Jariku berdarah, mungkin tak sengaja tergores oleh pecahan kaca pada layarnya.


"Erik! Lo kenapa, sih?? Sakit ini..."


"BRAANNGG!!! KLONTAAAANG!!!"



Aku kembali berteriak karena Erik membanting panci berisi mie kuah ke meja. Kuahnya masih panas, namun entah kenapa dia memegangnya tanpa merasa sakit. Sebagian kuah itu sepertinya memercik ke arahku, hingga aku menjerit kepanasan.


"Erik! Nyebut, Erik!! Erik!"


"BRAAAKKK!!!!"



Kali ini giliran kursi makan yang tidak tahu apa-apa dia banting hingga hancur. Aku berteriak histeris melihat Erik mengamuk, apabila tadinya aku marah, kini aku menjadi ketakutan melihatnya menjadi seorang monster yang mengamuk. Patahan kaki kursi yang dia pegang dia gunakan sebagai gada untuk memukuli barang-barang yang ada di dekatnya. Aku takut jangan-jangan dia juga akan melampiaskan amarahnya kepadaku. Aku bahkan melirik ke tempat pisau dapur dan bersiap untuk menghunusnya dan mempertahankan diri, namun ada sesuatu yang mencegahku...

Sebuah deja vu yang mengatakan bahwa bila aku melakukan itu, hasilnya akan lebih parah lagi, seolah hal ini pernah terjadi sebelumnya. Terdengar suara tangisan Vino dari dalam kamar, mungkin dia terbangun akibat suara ribut itu. Mendengar itu, Erik berhenti sejenak, dan tanpa pikir panjang aku pun segera beringsut ke arahnya dan memegang kakinya sambil menangis, berusaha menenangkannya.


"Iya, Mas, aku minta maaf, Mas, tolong tenang, Mas, nyebut, Mas..."


Namun bukannya tenang, aku tiba-tiba saja terlempar hingga membentur dinding. Rasanya sakit sekali, dan Vino pun menangis semakin kencang. Mendengar itu, sepertinya Erik bisa sedikit tenang. Dia sudah tak lagi merusak barang-barang dan melemparkan kaki kursi itu ke lantai. Dengan kasar, dia menuju ke arah jemuran dan mengambil beberapa baju dari sana, lalu memasukkannya ke dalam ransel kerjaknya. Aku berlari ke arahnya dan berusaha mengeluarkannya lagi, namun dia endorongku hingga terlempar dan tersungkur di lantai. Sakit sekali, kepala dan badanku sakit dan untuk sejenak, pandanganku seperti berkunang-kunang. Sepertinya aku pingsan selama beberapa detik, karena selanjutnya yang kutahu, Erik sudah mengambil kunci motor.

Aku lalu berusaha menghalanginya untuk keluar. Tidak, apa pun yang terjadi, Erik tidak boleh pergi. Walau harus berteriak-teriak, aku ingin Erik selesaikan masalah ini di sini. Aku bahkan sudah melupakan pemikiran bahwa Erik berselingkuh dengan Metta, yang aku inginkan hanyalah supaya Erik tidak pergi.


"Jangan pergi, Mas..."

"MINGGIR!!"

"Mas, jangan..."



Sekali lagi aku pun terlempar dan untungnya jatuh di atas sofa yang lebih empuk, namun tetap saja tak mengurangi rasa sakit saat jatuh. Hujan turun dengan deras di luar, tapi Erik tampak tak peduli. Dia mengambil jaket kulit, letakkan ransel pada bagasi motor, ambil helm, kemudian menyalakan motor. Oh ya, mungkin dia akan melunak saat melihat Vino. Buru-buru aku kembali ke kamarku, kuambil dan kugendong Vino yang menangis, lalu segera ke pintu keluar, tepat saat Erik hampir memacu motornya. Dia melirikku dan Vino sesaat, dan untuk sesaat itu kupikir dia akan berbalik dan kembali. Namun sia-sia, dia langsung memacu motornya.


"Mas, mau ke mana? Hujan! Jangan pergi!"


Terlambat, Erik sudah pergi menembus hujan. Aku pun menangis dan jatuh tersimpuh sambil memeluk Vino yang juga masih menangis. Erik akhirnya pergi, dan entah kenapa aku merasa amat bersalah.


"Maafin Mama, Vino, Mama gagal mencegah papa kamu pergi..."


Saat itulah tiba-tiba suasana menjadi gelap dan semakin gelap.


==========


Timeline 2020


Aku membuka mata dan tiba-tiba saja aku sudah kembali di rumah sakit dan menunggui Erik yang tengah dioperasi. Aku gemetaran dan air mataku keluar banyak, seolah aku menangis menyaksikan apa yang baru saja aku saksikan itu. Tahu-tahu saja tanganku sudah menggenggam gelas kopi, dan si Nenek Penjual Kopi tersenyum di hadapanku.


"Itu tadi apa? Mimpi?" tanyaku.

"Kalo boleh bilang sih, Dek, rang-orang jaman sekarang nyebutnya 'deja vu', ta'ye."

"Deja vu? Jadi... Tunggu Erik bilang kalau..."



Tiba-tiba saja aku teringat cerita Erik saat aku sedang mabuk di resort di Puncak, cerita soal bagaimana dia kembali ke masa lalu untuk menghindari bertemu denganku dan memilih untuk bersama dengan Metta. Apakah ini adalah...


"Separah itukah aku dalam kehidupan sebelumnya?"

"Ya coba sampeyan pikir lah, Dek, sampeyan punya suami macem Cak Erik, sampeyan tahu tabiat dia gimana, kira-kira gimana ceritanya sampai Cak Erik milih balik ke masa lalu buat ndak sama sampeyan, ta'ye?"

"Nggak mungkin... Ini mimpi, kan??"

"Apa saya bakal ada di sini kalau sampeyan mimpi? Coba rasakan kopinya, panas, kan?"



Si Nenek Penjual Kopi tertawa, dan saat itulah aku baru sadar apa yang sebenarnya terjadi.


"Erik lagi sekarat sekarang..."

"Bener, dan kalau saya boleh bilang, ndak mungkin Cak Erik bisa selamat hari ini, ta'ye."

"Dari mana kamu tahu?"

"Sampeyan ndak bisa lihat, tapi saya udah lihat rohnya Cak Erik ngambang di langit-langit. Lagian, coba sampeyan lihat jari sampeyan."



Aku mengikuti kata si Nenek Penjual Kopi dan melihat jariku. Aku terkejut karena benang cahaya itu ada lagi, namun kali ini cahayanya semakin meredup dan meredup, bagai api yang akan padam.


"Benangnya... Cahayanya..."

"Bener..."

"Kalau cahayanya mati berarti..."

"Ya, Cak Erik mati, ta'ye."



Jantungku serasa berhenti mendengarnya.


"Apa ada yang bisa aku lakuin buat mencegah itu?"


Si Nenek tersenyum dengan senyuman yang licik dan mengerikan, lalu dia menunjuk pada gelas kopi yang kupegang.


"Aku harus minum kopi ini?"

"Kalau sampeyan beneran pengen selametin Cak Erik."

"Lalu kayak Erik, aku bakal balik ke masa lalu?"

"Mungkin..."

"Mungkin? Memangnya kenapa?"

"Pertanyaannya, apa sampeyan bener-bener pengen selametin Cak Erik? Kalau bener sampeyan pengen, minum kopinya."



Aku mendekatkan kopi itu ke mulutku, namun Si Nenek memegangi tanganku mencegahnya.


"Tapi sebelum minum saya peringatkan, sekali sampeyan minum ini, nggak bakal ada jalan kembali, dan bila ternyata sampeyan nyesel atau nggak sekuat itu pengen selametin Cak Erik, maka malah sampeyan yang bakal mati. Apa sampeyan sudah siap buat mati demi Cak Erik?"


Aku diam sejenak. Mati? Dalam keadaan normal, mungkin aku akan langsung membuang kopi itu, namun pemikiranku untuk saat ini hanya terpaku pada bagaimana cara untuk menyelamatkan Erik. Untuk sejenak aku hanya melihat pada kopi dengan buih yang tampak menggiurkan di mataku itu.


"Bila memang hanya ini satu-satunya cara..."

"Memang hanya ini, hahaha..."



Si Nenek tertawa dengan seringai mengerikan. Sumpah, aku seperti pernah melihat nenek ini, tapi aku tak tahu di mana aku pernah melihatnya. Wajahnya nampak tak asing, namun aku seperti mengingatnya dengan cara berbeda. Nenek yang ada di hadapanku ini punya tatapan mata dan senyum yang seperti iblis, namun bila memang hanya ini caranya...

Aku langsung mendekatkan kopi itu ke mulutku, dan dengan keyakinan penuh, aku meminumnya. Itu seperti kopi biasa, dan rasanya pun nikmat, hangat saat melalui tenggorokanku, hingga...


"HUUGHHGG!!"


Aku menahan rasa mual yang tiba-tiba muncul, seolah perutku ingin mengeluarkan isinya saat ini juga. Tenggorokanku kini terasa panas dan membakar. Dorongan dari dalam itu semakin keras dan parah, hingga air mataku keluar. Perutku terasa amat sakit seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan pisau, dan semua organ dalam tubuhku seperti terbakar. Karena sudah tidak kuat, aku pun muntah, dan ternyata yang kumuntahkan adalah segumpalan darah segar. Si Nenek hanya tertawa terkekeh saja melihatnya, seolah sudah menduga hal itu akan terjadi.


"A... Apa ini..."

"Racun... Racun yang amat kuat, hehehe..."

"Ke... Kenapa..."

"Memangnya sampeyan pikir gampang bisa kembali ke masa lalu? Kalau segampang itu, semua juga bisa... HAHAHAHA!!"



Aku terjatuh ke lantai, masih memuntahkan darah. Badanku terasa sakit dan terbakar, seolah tengah ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum berapi. Lambung dan ususku pun seperti tengah diiris-iris, sementara jantungku berdetak amat kencang seolah memberontak supaya tidak mati. Si Nenek masih duduk berjongkok di depanku dan tertawa, seolah-olah aku yang sekarat adalah hal yang lucu dan menghibur.


"KAK RINI!!"


Kudengar Anin memanggilku dan dia langsung menghampiri dan memelukku. Aku sudah tidak bisa bicara, sepertinya pita suaraku sudah putus. Pandanganku pun makin lama makin kabur, aku hanya bisa melihat bayangan Anin saja. Aneh sekali, Anin melewati si Nenek begitu saja seolah dia tidak ada di sana.


"KAK RINI!! Kamu kenapa, Kak!!??? DOKTER!! DOKTER!! TOLONG!! TOLONG!!"


Anehnya aku tak berusaha meminta tolong pada Anin, aku hanya melihatnya sambil terkulai lemas. Pandangan mata dan pendengaranku makin kabur, dan darah mulai mengalir dari mata dan hidungku juga. Tiba-tiba saja, saat itu si Nenek mendekatiku seolah berbisik padaku, dan hanya suara si Nenek itu saja yang jelas kudengar...


"Biasanya saya lakuin ini pada orang yang baru mati atau hampir mati, karena sampeyan masih sehat dan sudah pernah jalan sebelumnya, cara mainnya bakal agak beda... Nanti kalau sampeyan ternyata hidup dan berhasil, sampeyan nggak bakal inget apa-apa soal yang terjadi hari ini, kalau memang sampeyan pengen tahu, sampeyan harus temuin kakek buta. Saya sudah ndak bisa lagi mbantu sampeyan di sana, cuman si kakek buta yang bisa. Tapi, ya itu kalau sampeyan berhasil, ta'ye. Kalau gagal, ya, sampai jumpa di akhirat, Ning Rini, toh nggak ada ruginya kan buat sampeyan? Yang mana pun sampeyan bakal tetep ketemu sama Cak Erik. Sama-sama untung, hahahaha!!"


Pandanganku pun semakin kabur hingga akhirnya gelap sama sekali, hanya tangis Anin yang terdengar disertai langkah kaki panik dari orang-orang, sebelum perlahan semua suara pun juga menghilang...

Next >>> Heartbreak
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd