Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Alkisah Di Desa Permai

Cerita manakah yang akan diterbitkan selanjutnya

  • Majlis Budak ( MC Nur )

    Votes: 388 58,4%
  • Sekolah Budak ( MC Intan )

    Votes: 220 33,1%
  • Serikan Budak ( MC Syifa )

    Votes: 56 8,4%

  • Total voters
    664
Perangkap Untuk Ustazah

"Bagaimana hasil kerjamu, Nur ?"tanya Tuanku, Haris. Aku yang sedang berlutut di depannya dan dengan nikmat mengulum kontol miliknya. Suasana rumah sedang sepi sebab Syifa dan Intan sedang ke kota untuk bekerja memperdagangkan tubuh mereka.

"Sesuai dengan arahan, saya sudah berhasil membuat 2 orang yaitu Bu Riska dan Bu Lail menjadi budak bagi keluarga mereka. "

"Begitu ya,"Tuan Haris manggut-manggut mendengar laporanku. "Aku sudah berbicara dengan Tuk Siamang, dia memberiku perintah agar Bu Jannah langsung menjadi budakku."

"Tapi bagaimana caranya ?"

"Itu dia. Jannah punya perisai agama yang kuat. Gendhing Abira Abilasa saat ini mungkin tidak akan bisa menembusnya. Kita butuh strategi baru untuk menaklukkan ustazah satu ini."

"Apakah Tuan sudah punya rencana ?"tanyaku penuh harap. Sebab aku tidak tahu lagi bagaimana cara menaklukkan Bu Jannah tanpa menggunakan Gendhing Abira Abilasa.

"Tenang saja. Aku udah punya cara yang hebat."Tuan Haris tersenyum licik sambil memandang tubuhku."Dan aku butuh bantuanmu untuk melaksanakannya."





Hujan deras mengguyur Desa Permai sore hari itu. Suasana desa yang biasanya ramai karena orang-orang yang beranjak kembali dari ladang mereka sekarang begtu lengang karena orang-orang lebih memilih untuk berteduh daripada harus menerobos lebatnya hujan.

Namun itu tak berlaku buatku. Dengan sebuah payung aku berjalan cepat menembus derasnya hujan. Langkahku cepat melewati jalan-jalan yang becek dan licin dan tidak mempedulikan juga gamisku beranjak kotor. Tujuanku hanya satu. Mencapai rumah Bu Jannah.

Setelah perjelanan yang bisa dibilang cukup melelahkan itu, aku akhirnya tiba di rumah Bu Jannah. Rumah itu terkesan sederhana namun sejuk oleh beberapa pohon yang di tanam di halaman. Rumah itu punya teras yang luas serta beberapa meja dan kursi tamu untuk menjamu orang yang sering datang ke rumah untuk meminta nasihat dari suami Bu Jannah yang merupakan seorang kyai kondang.

"Assalamualaikum,"seruku berusaha mengalahkan suara derasnya hujan.

"Wa'alaikum salam."Tak selang lama sejak aku salam, Bu Jannah telah keluar dengan gamis polos berwarna merah dan jilbab senada. Wajahnya yang teduh terlihat cantik meski usianya berkepala empat. Karismanya yang merupakan seorang dengan pengetahuan agama yang tinggi semakin menambah kesan kecantikan yang terpancar dari dirinya.

"Bu, ada hal penting yang harus saya sampaikan."Sejenak aku menjeda kalimatku dan memasang wajah ragu."Ini tentang anak ibu, Jamilah."

Mendengar nama anaknya disebut, sontak saja Bu Jannah membelalak terkejut,"kenapa dengan Jamilah ?"tanyanya. Rasa cemas terlihat sekali tak terhankan dari wajahnya yang biasanya tenang.

"Dia kecalakaan, bu."

"Apa ? Kecelakaan ?"tanya Bu Jannah berusaha mempercayai pendengarannya.

"Iya bu. Dia kepeleset pas lagi jalan pulang."

"Terus, sekarang dia ada di mana ?"

"Kebetulan anak saya temuin dia. Sekarang dia ada di rumah saya."

"Kalau begitu biar saya langsung kesana,"cetus Bu Jannah dengan wajah khawatir.

"Suami ibu gimana ?"

"Gampanglah ngurusnya."jawab Bu Jannah yang beranjak mengambil payung dan mengunci rumah."Sekarang sebaiknya saya ke rumah ibu dulu."

"Baik bu."

Akhirnya kami berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan desa yang becek kembali ke rumahku. Terlihat sekali Bu Jannah yang begitu khawatir dengan keselamatan putrinya hingga langkahnya menjadi begitu cepat tanpa mempedulikan kalau air hujan sudah begitu membasahi ujung jubahnya.

Akhirnya kami sampai ke rumahku. Segera saja kubuka pintu rumah dan tanpa bisa kucegah, Bu Jannah sudah menghambur masuk dengan pandangan celingukan.

"Dimana Jamilah ?"tanya Bu Jannah cemas.

"Tenanglah bu. Jamilah baik-baik saja. Mending ibu sekarang duduk dulu."

"Mana Jamilah ?"Tanya Bu Jannah lagi kali ini lebih mendesak.

"Dia sekarang sedang istirahat di kamar."

Menanggapi jawabanku, Bu Jannah langsung saja hendak menerobos masuk lebih dalam ke rumahku. Namun aku segara memalanginya dengan tubuhku serta memberinya senyuman.

"Minggir, bu."ketus Bu Jannah kasar."Saya pengen ketemu Jamilah."

"Gak usah buru-buru,"tukasku pelan."Lihat, baju ibu basah. Kenapa gak dibuka dulu."

"Maksud ibu apa ?"tanya BU Jannah dengan pandangan mengancam.

"Sebaiknya Anda melakukannya, Ustazah,"ujar Tuan Haris dari belakangku.

"Kalian kenapa sih ?"Tanya Bu Jannah tak mampu mengatur emosinya."Mana Jamilah !"

"ibu sabar dululah,"

"Kamu jangan main-main ya !"seru Bu Jannah makin tak terkendali."Mana anak saya !

"Okelah kalau ibu maksa. Ayo ikut."ajak Tuan Haris ke dalam dan membuka kamarnya dan sontak saja Bu Jannah seolah tak mampu bergerak atau bahkan berbicara melihat pemandangan di depannya.

Jamilah dengan kondisi telanjang menyisahkan kerudung putih seragam sekolahnya sedang terikat dengan kaki mengakang memperlihatkan semua memeknya yang ditumbuhi sedikit bulu. Kedua lengannya terikat kuat ke belakang sementara paha dan kakinya juga terikat sehingga dia hanya bisa terus begitu dalam posisi mengakang. Kepalanya ditupupi sehelai kain yang membuatnya tak dapat melihat sedangkan mulutnya tersumpal rapat oleh lakban.

"Apa-"Bu Jannah serasa tak percaya memandang kondisi putrinya.

"Gimana, bu. Bagus gak karya saya ?"Tanya Tuan Haris sinis.

"Bajingan !"umpat Bu Jannah yang langsung saja menampar Tuan Haris sampai terjengkang. Aku sontak ingin mendekat tapi tangan Tuan Haris keburu terangkat mencegah langkahku.

"Ibu tenang dulu..."

"Diam. Apa yang sudah kau lakukan pada jamilah !"

"Waduh, sepertinya bakalan susah kalau jelasin sama orang yang ngamuk. Kalau gitu..."Dengan sebuah isyarat mata Tuan Haris memberi titah. Segera saju aku menyergap Bu Jannah dari belakang dan menelikung tangannya ke belakang punggung dan mengaitkannya dengan tanganku.

"Apa-apaan ini bu Nur ?"tanya Bu jannah marah.

"Ini belum seberapa bu."Tuan Haris menepukkan tangannya dan muncullah 3 sosok yaitu Bu Salma, Bu Riska, dan Bu Lail. Ketiganya punya penampilan yang sama yaitu telanjang menyisahkan jilbab lebar yang tersampir ke belakang sehingga bentuk tubuhnya yang indah dapat terlihat jelas. Mereka bertiga datang dengan kondisi merangkak seperti anjing. Dengan santainya Tuan Haris duduk di atas punggung Bu Salma dan menatap Bu Jannah yang kini tak berdaya dalam telingkunganku.

"Apa yang kalian lakukan dasar najis !"umpat Bu Jannah marah. Hilang sudah sosoknya yang berpembawaan tenang. Semua digantikan oleh sosok pemarah usai melihat kebejatan di depan matanya.

"Mereka cuma melayani sebagaimana seharusnya mereka melayani. Sebagai budak."

"Itu benar Bu Jannah,"jawab Bu Riska."Bu Nur sudah menunjukkan pada saya bagaimana seharusnya saya berbakti pada ayah saya. Maka sebagai balas budi, saya juga akan melayani tuan dari Bu Nus."

"Saya juga. Saya sudah belajar bagaimana menjadi ibu yang baik. Karena itulah saya mengabdi pada Tuan dari Bu Nur, yaitu Tuan Haris."

"Kalian semua udah kelewatan. Ini gak bermoral."

"Sudahlah, kita sekarang bukan ingin bahas moral. Saya cuma ingin memberi penawaran, ibu ingin supaya anak ibu selamat kan ?"tanya Tuan Haris sinis.

"Tentu saja !"

"Kalau begitu, saya punya permainan. Kalau ibu bisa menyelesaikan permainan dengan mengalahkan budak-budak saya, maka ibu dan anak ibu akan saya lepaskan. Tapi kalau ibu kalah, maka Jamilah akan saya perkosa."

"Enak saja. Lebih baik saya teriak sekarang. Kalian pasti akan mati dikeroyok warga."

"Coba saja bu. Budak saya pasti akan segera membekap ibu."

Bu Jannah mulai berpikir sejenak. Itu benar. Dia akan langsung diringkus sebelum sempat berteriak. Dia tak akan punya kesempatan menang melawan lima orang sekaligus.

"Baiklah, apa permaiannnya ?"

"Gitu dong. Nah sebelum itu, mending ibu telanjang deh. Tapi jilbab disampirin ke belakang aja. Muslimah harus berhijab kan."

"Apa-apaan kamu ! Jangan kurang ajar !"

"Lebih baik ibu nurut deh. Jika tidak,"sekilas Tuan Haris menoleh pada Jamilah dan kembali menatap Bu jannah."foto-foto anak ibu akan tersebar dengan cepat. Saya yakin bakalan banyak yang pengen melihatnya."

Bu Jannah bimbang sejenak. Dia sekilas melihat Jamilah dengan rasa tak tega. Dilema segera melanda hatinya. Tentu saja dia tak akan mau merendahkan dirinya dengan membuka bajunya. Namun demi sang anak, dia harus melakukannya.

Dengan tangan bergetar, Bu Jannah membuka gamisnya yang memiliki kancing di depan hingga gamisnya lolos ke bawah. Memperlihatkan tubuhnya yang meski sudah berumur namun tetap terlihat indah dibungkus bh berwarna ungu dan cd senada

"Ayo bu, buka semuanya."

Dengan muka masam Bu Jannah meraih kaitan bh nya di belakang kemudian dengan cepat tokednya yang besar segera ditupi dengan lengan yang melingkar. Dengan cara yang sama Bu Jannah juga meloloskan celana dalamnya.

"Jangan disembunyiin dong, kita kan pengen liat tubuh ibu."perintah Tuan Haris. Akhirnya dengan gerakan patah-patah Bu Jannah membuka tangannya dan meletakannya di samping. Pandangannya menunduk kebawah menahan malu yang membakar.

"Ok waktunya lomba. Nur, bawa barangnya ke sini."Aku segera beranjak ke kamar dan kembali dengan beberapa jepit jemuran dan untaian benang. Bu Salma, Bu Riska, dan Bu Lail serempak berdiri mengambil posisi di sebrang Bu Jannah. Aku menjepit toked kanan Bu Salma, toked kiri Bu Lail, dan memek Bu Riska

Usai menjepit ketiganya, aku kemudian beralih ke Bu Jannah. Kujepit kedua putingnya sekaligus kloritisnya. Terlihat sekali kalau Bu Jannah sangat kesekitan karena bagian paling sensitifnya dijepit dengan keras oleh jepit jemuran. Namun rasa cinta yang besar terhadap anaknya membuatnya hanya bisa diam sambil meringis. Setelah itu, kuikatkan benang ke masing jepit jemuran Bu Jannah dan kusambungkan masing masing benang ke jepitan di Bu Salma, Bu Riski, dan Bu Lail. Setelah persiapan selesai, aku juga ikut membuka bajuku dan menyisahkan jilbabku kemudian merangkak dan menyediakan tubuhku menjadi kursi untuk Tuan Haris.

"Baik, aturannya sederhana. Kalian berempat akan memainkan tarik benang tapi gak boleh pake tangan. Kalau misalnya Bu Jannah bisa ngelepas 2 jepit jemuran aja, ibu menang. Tapi kalau sampai jepitan di ibu lepas 2, maka ibu akan kalah dan Jamilah bakalan kuperkosa."

Bu Jannah hanya bisa mengangguk pasrah mendengar aturan main yang Tuan Haris berikan. Dia sebenarnya sangat malu untuk melakukannya apalagi jika harus membayangkan rasa sakit dijepit jemuran itu. Namun demi anaknya Bu Jannah harus melakukannya.

"Bersiap, mulai !"seru Tuan Haris memberi aba-aba. Serentak mereka berdua mulai berjalan mundur sambil meringis menahan sakit dari jepitan jemuran di bagian sensisitf mereka.

Bu Riska dengan semangat dan mengabaikan rasa sakit dan tancap gas langsung mundur kebelakang hingga jepitan yang ada di klirotis Bu Jannah terlepas disambut jeri kesakitan darinya.

Tak mau kalah, Bu Jannah berusaha balik melawan dengan memundurkan tubuhnya dengan meringis sakit. Bahkan matanya mulai menitikkan air mata menahan sakit. Namun perjuangan itu berbuah hasil. Jepitan di toked kanan Bu Salma terlepas.

Namun Bu Jannah yang sudah kehabisan tenaga akhirnya harus menyerah. Dia tak kuat menahan sakit yang ada diputing kirinya akibat tarikan keras diputingnya hingga jepitan itu akhirnya terlepas diiringi jeritan sakit Bu Jannah yang juga tersungkur jatuh.

"Yah, jadi sudah jelas siapa pemenangnya sekarang."ujar Tuan Haris beranjak berdiri."Dan sekarang waktunya mencicipi memek anakmu."

"Tolong jangan."reflek Bu Jannah mencegah dengan memeluk kaki Tuan Haris."Tolong jangan perkosa anak saya."

"Boleh aja asalakan ibu bersedia jadi budakku."

"Baiklah asalakan jangan perkosa anak saya."

"Kalau begitu, ibu bersumpah akan melayaniku dan akan menuruti semua perintahku."

Dengan bersimpuh pasrah, Bu Jannah akhirnya mengucapkan sumpah itu."Saya Jannah dengan ini menyatakan kalau saya akan menjadi budak dari Tuan Haris dan akan melayaninya serta mematuhi semua keinginannya."

"Bagus. Kalau begitu sesuai perjanjian, akan kubebaskan anakmu."Tuan Haris memberi isyarat padaku. Aku dengan bergegas bangkit dari posisiku kemudian melangkah ke arah Jamilah dan melepaskan ikatan sekaligus juga penutup mata dan mulut. Jamilah terlihat begitu kelelahan dan kebas karena diikat dalam waktu yang lama.

"Jamilah..."panggil Bu Jannah lirih. Dia senang melihat anaknya terbebas meski itu berarti dia harus merelakan tubuhnya.

Namun Jamilah tidak menghampiri Bu Jannah. Dia justru mengambil posisi merangkak dan mengarah pada Tuan Haris. Kemudian dengan takzim Jamilah mencium kaki Tuan Haris tanda hormat dan berujar,"saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan."

"Apa-apaan ini ?"tanya Bu Jannah seakan tak percaya dengan pemandangan di depannya.

"Seperti yang ibu lihat, saya sudah menepati janji dengan melepaskannya dan tidak akan memperkosanya. Tapi sayangnya sekarang dia sudah menjadi budak saya dan akan selalu haus kenikmatan yang diberikan kontol saya."jawab Tuan Haris sambil tertawa panjang mengabaikan Bu Jannah yang hanya bisa terpana.

"Dasar bajingan !"seru Bu Jannah murka namun tubuhnya serasa dipaku ke bumi.

"Ibu gak akan bisa melawan lagi. Ibu sudah bersumpah dan sepenuhnya akan menjadi budakku dan akan terus terikat selamanya."tawa Tuan Haris panjang sebab akhirnya dia berhasil menanamkan Gendhing Abira Abilasa tepat ketika sumpah telah diucapkan oleh Bu Jannah. Dengan begitu, Bu Jannah telah sepenuhnya tunduk menjadi budak Tuan Haris tanpa bisa melawan perintahnya.

"Dasar kamu ya,"geram Bu Jannah.

"Ibu gak perlu khawatir."Dengan langkah pelan Tuan Haris menghampiri Bu Jannah dan mengelus pelan wajahnya."Ibu akan segera menikmati ini."
 
Perangkap Untuk Ustazah

"Bagaimana hasil kerjamu, Nur ?"tanya Tuanku, Haris. Aku yang sedang berlutut di depannya dan dengan nikmat mengulum kontol miliknya. Suasana rumah sedang sepi sebab Syifa dan Intan sedang ke kota untuk bekerja memperdagangkan tubuh mereka.

"Sesuai dengan arahan, saya sudah berhasil membuat 2 orang yaitu Bu Riska dan Bu Lail menjadi budak bagi keluarga mereka. "

"Begitu ya,"Tuan Haris manggut-manggut mendengar laporanku. "Aku sudah berbicara dengan Tuk Siamang, dia memberiku perintah agar Bu Jannah langsung menjadi budakku."

"Tapi bagaimana caranya ?"

"Itu dia. Jannah punya perisai agama yang kuat. Gendhing Abira Abilasa saat ini mungkin tidak akan bisa menembusnya. Kita butuh strategi baru untuk menaklukkan ustazah satu ini."

"Apakah Tuan sudah punya rencana ?"tanyaku penuh harap. Sebab aku tidak tahu lagi bagaimana cara menaklukkan Bu Jannah tanpa menggunakan Gendhing Abira Abilasa.

"Tenang saja. Aku udah punya cara yang hebat."Tuan Haris tersenyum licik sambil memandang tubuhku."Dan aku butuh bantuanmu untuk melaksanakannya."





Hujan deras mengguyur Desa Permai sore hari itu. Suasana desa yang biasanya ramai karena orang-orang yang beranjak kembali dari ladang mereka sekarang begtu lengang karena orang-orang lebih memilih untuk berteduh daripada harus menerobos lebatnya hujan.

Namun itu tak berlaku buatku. Dengan sebuah payung aku berjalan cepat menembus derasnya hujan. Langkahku cepat melewati jalan-jalan yang becek dan licin dan tidak mempedulikan juga gamisku beranjak kotor. Tujuanku hanya satu. Mencapai rumah Bu Jannah.

Setelah perjelanan yang bisa dibilang cukup melelahkan itu, aku akhirnya tiba di rumah Bu Jannah. Rumah itu terkesan sederhana namun sejuk oleh beberapa pohon yang di tanam di halaman. Rumah itu punya teras yang luas serta beberapa meja dan kursi tamu untuk menjamu orang yang sering datang ke rumah untuk meminta nasihat dari suami Bu Jannah yang merupakan seorang kyai kondang.

"Assalamualaikum,"seruku berusaha mengalahkan suara derasnya hujan.

"Wa'alaikum salam."Tak selang lama sejak aku salam, Bu Jannah telah keluar dengan gamis polos berwarna merah dan jilbab senada. Wajahnya yang teduh terlihat cantik meski usianya berkepala empat. Karismanya yang merupakan seorang dengan pengetahuan agama yang tinggi semakin menambah kesan kecantikan yang terpancar dari dirinya.

"Bu, ada hal penting yang harus saya sampaikan."Sejenak aku menjeda kalimatku dan memasang wajah ragu."Ini tentang anak ibu, Jamilah."

Mendengar nama anaknya disebut, sontak saja Bu Jannah membelalak terkejut,"kenapa dengan Jamilah ?"tanyanya. Rasa cemas terlihat sekali tak terhankan dari wajahnya yang biasanya tenang.

"Dia kecalakaan, bu."

"Apa ? Kecelakaan ?"tanya Bu Jannah berusaha mempercayai pendengarannya.

"Iya bu. Dia kepeleset pas lagi jalan pulang."

"Terus, sekarang dia ada di mana ?"

"Kebetulan anak saya temuin dia. Sekarang dia ada di rumah saya."

"Kalau begitu biar saya langsung kesana,"cetus Bu Jannah dengan wajah khawatir.

"Suami ibu gimana ?"

"Gampanglah ngurusnya."jawab Bu Jannah yang beranjak mengambil payung dan mengunci rumah."Sekarang sebaiknya saya ke rumah ibu dulu."

"Baik bu."

Akhirnya kami berdua berjalan beriringan menyusuri jalanan desa yang becek kembali ke rumahku. Terlihat sekali Bu Jannah yang begitu khawatir dengan keselamatan putrinya hingga langkahnya menjadi begitu cepat tanpa mempedulikan kalau air hujan sudah begitu membasahi ujung jubahnya.

Akhirnya kami sampai ke rumahku. Segera saja kubuka pintu rumah dan tanpa bisa kucegah, Bu Jannah sudah menghambur masuk dengan pandangan celingukan.

"Dimana Jamilah ?"tanya Bu Jannah cemas.

"Tenanglah bu. Jamilah baik-baik saja. Mending ibu sekarang duduk dulu."

"Mana Jamilah ?"Tanya Bu Jannah lagi kali ini lebih mendesak.

"Dia sekarang sedang istirahat di kamar."

Menanggapi jawabanku, Bu Jannah langsung saja hendak menerobos masuk lebih dalam ke rumahku. Namun aku segara memalanginya dengan tubuhku serta memberinya senyuman.

"Minggir, bu."ketus Bu Jannah kasar."Saya pengen ketemu Jamilah."

"Gak usah buru-buru,"tukasku pelan."Lihat, baju ibu basah. Kenapa gak dibuka dulu."

"Maksud ibu apa ?"tanya BU Jannah dengan pandangan mengancam.

"Sebaiknya Anda melakukannya, Ustazah,"ujar Tuan Haris dari belakangku.

"Kalian kenapa sih ?"Tanya Bu Jannah tak mampu mengatur emosinya."Mana Jamilah !"

"ibu sabar dululah,"

"Kamu jangan main-main ya !"seru Bu Jannah makin tak terkendali."Mana anak saya !

"Okelah kalau ibu maksa. Ayo ikut."ajak Tuan Haris ke dalam dan membuka kamarnya dan sontak saja Bu Jannah seolah tak mampu bergerak atau bahkan berbicara melihat pemandangan di depannya.

Jamilah dengan kondisi telanjang menyisahkan kerudung putih seragam sekolahnya sedang terikat dengan kaki mengakang memperlihatkan semua memeknya yang ditumbuhi sedikit bulu. Kedua lengannya terikat kuat ke belakang sementara paha dan kakinya juga terikat sehingga dia hanya bisa terus begitu dalam posisi mengakang. Kepalanya ditupupi sehelai kain yang membuatnya tak dapat melihat sedangkan mulutnya tersumpal rapat oleh lakban.

"Apa-"Bu Jannah serasa tak percaya memandang kondisi putrinya.

"Gimana, bu. Bagus gak karya saya ?"Tanya Tuan Haris sinis.

"Bajingan !"umpat Bu Jannah yang langsung saja menampar Tuan Haris sampai terjengkang. Aku sontak ingin mendekat tapi tangan Tuan Haris keburu terangkat mencegah langkahku.

"Ibu tenang dulu..."

"Diam. Apa yang sudah kau lakukan pada jamilah !"

"Waduh, sepertinya bakalan susah kalau jelasin sama orang yang ngamuk. Kalau gitu..."Dengan sebuah isyarat mata Tuan Haris memberi titah. Segera saju aku menyergap Bu Jannah dari belakang dan menelikung tangannya ke belakang punggung dan mengaitkannya dengan tanganku.

"Apa-apaan ini bu Nur ?"tanya Bu jannah marah.

"Ini belum seberapa bu."Tuan Haris menepukkan tangannya dan muncullah 3 sosok yaitu Bu Salma, Bu Riska, dan Bu Lail. Ketiganya punya penampilan yang sama yaitu telanjang menyisahkan jilbab lebar yang tersampir ke belakang sehingga bentuk tubuhnya yang indah dapat terlihat jelas. Mereka bertiga datang dengan kondisi merangkak seperti anjing. Dengan santainya Tuan Haris duduk di atas punggung Bu Salma dan menatap Bu Jannah yang kini tak berdaya dalam telingkunganku.

"Apa yang kalian lakukan dasar najis !"umpat Bu Jannah marah. Hilang sudah sosoknya yang berpembawaan tenang. Semua digantikan oleh sosok pemarah usai melihat kebejatan di depan matanya.

"Mereka cuma melayani sebagaimana seharusnya mereka melayani. Sebagai budak."

"Itu benar Bu Jannah,"jawab Bu Riska."Bu Nur sudah menunjukkan pada saya bagaimana seharusnya saya berbakti pada ayah saya. Maka sebagai balas budi, saya juga akan melayani tuan dari Bu Nus."

"Saya juga. Saya sudah belajar bagaimana menjadi ibu yang baik. Karena itulah saya mengabdi pada Tuan dari Bu Nur, yaitu Tuan Haris."

"Kalian semua udah kelewatan. Ini gak bermoral."

"Sudahlah, kita sekarang bukan ingin bahas moral. Saya cuma ingin memberi penawaran, ibu ingin supaya anak ibu selamat kan ?"tanya Tuan Haris sinis.

"Tentu saja !"

"Kalau begitu, saya punya permainan. Kalau ibu bisa menyelesaikan permainan dengan mengalahkan budak-budak saya, maka ibu dan anak ibu akan saya lepaskan. Tapi kalau ibu kalah, maka Jamilah akan saya perkosa."

"Enak saja. Lebih baik saya teriak sekarang. Kalian pasti akan mati dikeroyok warga."

"Coba saja bu. Budak saya pasti akan segera membekap ibu."

Bu Jannah mulai berpikir sejenak. Itu benar. Dia akan langsung diringkus sebelum sempat berteriak. Dia tak akan punya kesempatan menang melawan lima orang sekaligus.

"Baiklah, apa permaiannnya ?"

"Gitu dong. Nah sebelum itu, mending ibu telanjang deh. Tapi jilbab disampirin ke belakang aja. Muslimah harus berhijab kan."

"Apa-apaan kamu ! Jangan kurang ajar !"

"Lebih baik ibu nurut deh. Jika tidak,"sekilas Tuan Haris menoleh pada Jamilah dan kembali menatap Bu jannah."foto-foto anak ibu akan tersebar dengan cepat. Saya yakin bakalan banyak yang pengen melihatnya."

Bu Jannah bimbang sejenak. Dia sekilas melihat Jamilah dengan rasa tak tega. Dilema segera melanda hatinya. Tentu saja dia tak akan mau merendahkan dirinya dengan membuka bajunya. Namun demi sang anak, dia harus melakukannya.

Dengan tangan bergetar, Bu Jannah membuka gamisnya yang memiliki kancing di depan hingga gamisnya lolos ke bawah. Memperlihatkan tubuhnya yang meski sudah berumur namun tetap terlihat indah dibungkus bh berwarna ungu dan cd senada

"Ayo bu, buka semuanya."

Dengan muka masam Bu Jannah meraih kaitan bh nya di belakang kemudian dengan cepat tokednya yang besar segera ditupi dengan lengan yang melingkar. Dengan cara yang sama Bu Jannah juga meloloskan celana dalamnya.

"Jangan disembunyiin dong, kita kan pengen liat tubuh ibu."perintah Tuan Haris. Akhirnya dengan gerakan patah-patah Bu Jannah membuka tangannya dan meletakannya di samping. Pandangannya menunduk kebawah menahan malu yang membakar.

"Ok waktunya lomba. Nur, bawa barangnya ke sini."Aku segera beranjak ke kamar dan kembali dengan beberapa jepit jemuran dan untaian benang. Bu Salma, Bu Riska, dan Bu Lail serempak berdiri mengambil posisi di sebrang Bu Jannah. Aku menjepit toked kanan Bu Salma, toked kiri Bu Lail, dan memek Bu Riska

Usai menjepit ketiganya, aku kemudian beralih ke Bu Jannah. Kujepit kedua putingnya sekaligus kloritisnya. Terlihat sekali kalau Bu Jannah sangat kesekitan karena bagian paling sensitifnya dijepit dengan keras oleh jepit jemuran. Namun rasa cinta yang besar terhadap anaknya membuatnya hanya bisa diam sambil meringis. Setelah itu, kuikatkan benang ke masing jepit jemuran Bu Jannah dan kusambungkan masing masing benang ke jepitan di Bu Salma, Bu Riski, dan Bu Lail. Setelah persiapan selesai, aku juga ikut membuka bajuku dan menyisahkan jilbabku kemudian merangkak dan menyediakan tubuhku menjadi kursi untuk Tuan Haris.

"Baik, aturannya sederhana. Kalian berempat akan memainkan tarik benang tapi gak boleh pake tangan. Kalau misalnya Bu Jannah bisa ngelepas 2 jepit jemuran aja, ibu menang. Tapi kalau sampai jepitan di ibu lepas 2, maka ibu akan kalah dan Jamilah bakalan kuperkosa."

Bu Jannah hanya bisa mengangguk pasrah mendengar aturan main yang Tuan Haris berikan. Dia sebenarnya sangat malu untuk melakukannya apalagi jika harus membayangkan rasa sakit dijepit jemuran itu. Namun demi anaknya Bu Jannah harus melakukannya.

"Bersiap, mulai !"seru Tuan Haris memberi aba-aba. Serentak mereka berdua mulai berjalan mundur sambil meringis menahan sakit dari jepitan jemuran di bagian sensisitf mereka.

Bu Riska dengan semangat dan mengabaikan rasa sakit dan tancap gas langsung mundur kebelakang hingga jepitan yang ada di klirotis Bu Jannah terlepas disambut jeri kesakitan darinya.

Tak mau kalah, Bu Jannah berusaha balik melawan dengan memundurkan tubuhnya dengan meringis sakit. Bahkan matanya mulai menitikkan air mata menahan sakit. Namun perjuangan itu berbuah hasil. Jepitan di toked kanan Bu Salma terlepas.

Namun Bu Jannah yang sudah kehabisan tenaga akhirnya harus menyerah. Dia tak kuat menahan sakit yang ada diputing kirinya akibat tarikan keras diputingnya hingga jepitan itu akhirnya terlepas diiringi jeritan sakit Bu Jannah yang juga tersungkur jatuh.

"Yah, jadi sudah jelas siapa pemenangnya sekarang."ujar Tuan Haris beranjak berdiri."Dan sekarang waktunya mencicipi memek anakmu."

"Tolong jangan."reflek Bu Jannah mencegah dengan memeluk kaki Tuan Haris."Tolong jangan perkosa anak saya."

"Boleh aja asalakan ibu bersedia jadi budakku."

"Baiklah asalakan jangan perkosa anak saya."

"Kalau begitu, ibu bersumpah akan melayaniku dan akan menuruti semua perintahku."

Dengan bersimpuh pasrah, Bu Jannah akhirnya mengucapkan sumpah itu."Saya Jannah dengan ini menyatakan kalau saya akan menjadi budak dari Tuan Haris dan akan melayaninya serta mematuhi semua keinginannya."

"Bagus. Kalau begitu sesuai perjanjian, akan kubebaskan anakmu."Tuan Haris memberi isyarat padaku. Aku dengan bergegas bangkit dari posisiku kemudian melangkah ke arah Jamilah dan melepaskan ikatan sekaligus juga penutup mata dan mulut. Jamilah terlihat begitu kelelahan dan kebas karena diikat dalam waktu yang lama.

"Jamilah..."panggil Bu Jannah lirih. Dia senang melihat anaknya terbebas meski itu berarti dia harus merelakan tubuhnya.

Namun Jamilah tidak menghampiri Bu Jannah. Dia justru mengambil posisi merangkak dan mengarah pada Tuan Haris. Kemudian dengan takzim Jamilah mencium kaki Tuan Haris tanda hormat dan berujar,"saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan."

"Apa-apaan ini ?"tanya Bu Jannah seakan tak percaya dengan pemandangan di depannya.

"Seperti yang ibu lihat, saya sudah menepati janji dengan melepaskannya dan tidak akan memperkosanya. Tapi sayangnya sekarang dia sudah menjadi budak saya dan akan selalu haus kenikmatan yang diberikan kontol saya."jawab Tuan Haris sambil tertawa panjang mengabaikan Bu Jannah yang hanya bisa terpana.

"Dasar bajingan !"seru Bu Jannah murka namun tubuhnya serasa dipaku ke bumi.

"Ibu gak akan bisa melawan lagi. Ibu sudah bersumpah dan sepenuhnya akan menjadi budakku dan akan terus terikat selamanya."tawa Tuan Haris panjang sebab akhirnya dia berhasil menanamkan Gendhing Abira Abilasa tepat ketika sumpah telah diucapkan oleh Bu Jannah. Dengan begitu, Bu Jannah telah sepenuhnya tunduk menjadi budak Tuan Haris tanpa bisa melawan perintahnya.

"Dasar kamu ya,"geram Bu Jannah.

"Ibu gak perlu khawatir."Dengan langkah pelan Tuan Haris menghampiri Bu Jannah dan mengelus pelan wajahnya."Ibu akan segera menikmati ini."
Gak sabar pengen tau Bu Jannah teriak² digagahi Haris karena terlalu nikmat
Haris memberikan kenikmatan yang jauh lebih baik dari suaminya

Udah pimpinan ibu² kampung, omongannya selalu diikuti wanita sekampung, eh.. masih pake jilbab kehausan sama peju Haris

Hahahaha
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd