Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Wawancara [LCPI 2016]

arczre

Pendekar Semprot
Daftar
18 Jan 2014
Post
1.870
Like diterima
2.037
Lokasi
Sekarang di Indonesia
Bimabet
WAWANCARA


68d3c5472150684.jpg



Tahun 1965 merupakan tahun yang kelam bagi perjalanan republik ini. Sesuatu yang besar terjadi di tahun itu. Sesuatu peristiwa yang akan dikenang dengan dua macam cara. Cara pertama akan dikenang sebagai sebuah peristiwa besar yang akan mengakarkan kebencian membabi buta hingga beranak cucu. Cara kedua akan menjadi trauma terbesar bagi republik ini. Semuanya adalah bencana.


* * *​


Kereta api yang mengantarkanku pun tiba. Hari sudah pagi ketika itu. Stasiun Kota Kediri menyambutku dengan embun tipis yang menempel di kaca kios-kios penjual makanan. Kulihat anak-anak kecil pemungut minyak yang tumpah di sepur tanki milik pertamina sudah mulai memasang tas kresek hitam besar. Mereka adalah para penjarah cilik. Rupanya kebiasaanku dulu waktu kecil yang melakukan hal itu masih menurun hingga sekarang.

Saat aku mulai melangkah keluar dari stasiun para tukang becak langsung berebutan untuk menawarkan jasa mereka. Masih pukul 6 pagi. Kereta Matarmaja memang datang lebih awal dari biasanya. Terlebih jemputanku belum datang sekarang. Aku terpaksa menolak bapak-bapak tukang becak tersebut saat aku melihat warung nasi pecel tumpang yang tak jauh dari sana. Sudah lama, kurang lebih 15 tahun lamanya aku tidak pernah merasakan lagi sajian kuliner sambel tumpang. Belum memakannya saja aku sudah bisa memikirkan bagaimana rasanya. Ah, kangen sekali mengingat masa-masa itu.

Sepincuk nasi pecel dan sambel tumpang sudah aku pesan. Aku nikmati sarapan pagi itu setelah semalaman tidak menjamah makanan apapun di dalam kereta. Aku terlibat perbincangan dengan beberapa orang yang ikut menjadi langganan di warung ini. Mereka menceritakan tentang kota Kediri yang sudah aku tinggalkan cukup lama. Mulai dari mal-mal baru yang dibangun. Pembangunan jalan, pertokoan, dan masih banyak yang lainnya. Aku sampai berpikir bahwa kota ini sudah menjadi kota konsumtif.

Adapun tujuanku rela jauh-jauh dari Jakarta ke Kediri adalah karena satu hal. Aku sedang mencari narasumber tentang pembantaian yang terjadi saat peristiwa 1965. Menurut Andika sepupuku yang tinggal di kota ini ada saksi hidup dari peristiwa mengerikan tersebut. Andika bisa mengantarkanku ke tempat orang itu. Aku rela melakukan ini juga tuntutanku sebagai seorang wartawan media elektronik yang terkemuka di negeri ini. Menguak luka lama memang tidak mudah, tapi aku tetap berharap aku bisa mewawancarai tokoh tersebut.

Tak terasa sarapan yang aku pesan tadi sudah habis. Segelas teh hangat pun meluncur memasahi kerongkonganku. Perutku kenyang sekarang. Tinggal menunggu sepupuku itu. Kuberitahu kepada dia kalau aku sedang sarapan di warung dekat stasiun. Dia pun kemudian datang.

“Udah lama mas Kim?” sapa Andika.

“Eh, An? Iya sampe habis dua piring,” jawabku.

“Hahahaha, sepurane mas. Tadi harus bantu-bantu ibu dulu,” ujarnya.

“Yowis, ayuk! Langsung wae,” kataku.

Singkat cerita dengan diantar Andika, aku pun menuju ke rumah tempat saksi sejarah itu. Mobil yang kami tumpangi berjalan dengan santai melintasi kota kecil ini. Setelah melewati jalanan besar, kami berbelok ke sebuah jalan kampung.

“Orangnya tinggal di daerah pedesaan mas. Dulu sampeyan kan pernah main juga ke tempat ini,” terang Andika.

“Iya, tapi sudah lama An. Semenjak ibu meninggal aku sudah tidak di sini lagi. Bagaimana kabar keluargamu?” tanyaku.

“Baik koq. Ibu sehat, adik juga sehat. Sekarang aku bekerja di sebuah perusahaan travel mas,” jawabnya. “Semenjak bapak nggak ada, aku yang satu-satunya jadi tulang punggung keluarga. Mas, sendiri bagaimana kabarnya di Jakarta?”

“Yah, beginilah An. Dinikmati saja. Apalagi menjadi wartawan memang sudah jadi cita-citaku sejak dulu. Untungnya istriku pengertian. Kami satu profesi sama-sama mengejar berita, walaupun beda kantor. Hahahaha,” gelakku.

“Koq bisa? Saingan gitu ceritanya?” tanya Andika keheranan.

“Iya, tapi kami sama-sama pengertian koq. Yang seru itu kalau mengambil berita dari sumber yang sama. Kami sering berebut gitu. Tapi menyenangkan. Kalau sudah pulang ke rumah ya sudah melupakan semuanya. Di lapangan aja kami seperti musuhan. Kalau udah di rumah ya udah selesai. Urusan kerjaan ya urusan kerjaan, urusan rumah ya urusan rumah,” jelasku.

Setelah mengemudi selama satu jam, kami sampai di sebuah jalanan yang tidak beraspal. Sebuah pedesaan yang agak jauh dari jalan raya. Mobil melaju pelan melewati pemakaman yang ditumbuhi pepohonan besar yang menjorok ke tepi jalan. Pemandangan mobil masuk desa merupakan pemandangan yang tidak biasa di sana tentu saja. Berapa banyak orang yang punya mobil di desa seperti ini?

Mobil berbelok ke sebuah rumah yang mempunyai halaman yang cukup luas. Setelah mematikan mesin kami pun keluar. Andika langsung menuju ke pintu dan mengetuknya.

“Assalaamu'alaykum?” sapa Andika.

“Wa'alaykum salam,” sahut orang yang ada di dalam rumah. Seorang perempuan paruh baya dengan baju daster bercorak merah kehitaman keluar dari dalam. Melihat kami berdua sepertinya perempuan itu sudah mengetahui siapa kami. “Oh, ini yang mau mewawancarai mbah Malik?”

“Inggih bu, mbah dateng pundi (iya bu, mbah ada di mana)?” tanya Andika.

Tiba-tiba seseorang datang dari arah lain. “Weilah dalah, ini mas A'an ya?”

Kami berdua membalikkan badan melihat seorang lelaki tua yang membawa kelewang. Tampak kayu bakar ada di punggungnya pun diletakkan di halaman rumahnya.

“Sri, tulung beberen kayu iki yo nduk. Ben ora melempem pas digawe masak (Sri, tolong jemur kayu ini. Biar tidak melempem ketika digunak untuk memasak)!” perintah kakek tua ini.

Singkat cerita kami kemudian duduk di bale-bale sementara Sri perempuan tadi membuatkan kami kopi. Setelah itu dia membeber kayu-kayu yang dibawa oleh kakek ini di halaman rumahnya. Dua pak rokok Dji Sam Soe tergeletak di atas bale-bale. Di dekatnya ada sebuah asbak dan sebuah korek api.

Mbah Malik ini tinggal bersama anak dan cucunya. Sri adalah anaknya paling muda dan sudah punya empat orang anak. Sementara suaminya menjadi buruh tani yang sekarang masih macul belum balik.

“Jadi, saya ke sini ingin bertanya tentang peristiwa Gestapu yang sebenarnya mbah. Karena menurut kabar, mbah ini satu-satunya orang saksi sejarah yang masih hidup dan mengalami langsung apa yang terjadi waktu itu,” ucapku. Aku kemudian mempersiapkan ponselku untuk merekam pembicaraan kami.

Lelaki tua yang bernama asli Abdul Malik ini menghela nafas. Kerutan-kerutan di dahinya bertambah. Ia seperti konsentrasi memikirkan sesuatu, memilah-milah memori yang tersimpan di dalam otaknya selama ini.

“Jaman itu negara dalam kondisi genting. Setidaknya itu yang dikatakan oleh para petinggi. Jam malam diberlakukan. Anak-anak tidur lebih awal. Perempuan-perempuan dipingit di dalam rumah agar tidak sembarangan keluar. Orang-orang waktu itu ketakutan,” ujarnya. Tangannya mulai bergerak mengambil sebatang rokok. Kemudian dengan lihainya menyalakan korek api dan membakar ujung benda 10 cm tersebut. Asap mulai mengepul lalu ia melanjutkan ceritanya.

“Dulu saya masih tinggal di Burengan. Jaman itu ketika kami menerima kabar dari pemerintah bahwa PKI telah melakukan kudeta segera saja para kyai waktu itu memberikan fatwa jihad fi sabilillah. Saat itu saya menjadi ketua kelompok. Kami semua berkumpul di alun-alun kota untuk melakukan apel siaga terlebih dulu. Di sini semuanya diberi arahan oleh dua kyai. Saya masih ingat bagaimana Kyai Syafi'i Sulaiman berkata seperti ini, 'PKI telah menginjak-injak agama Islam dan hendak menumpas kaum muslimin di Indonesia. Atas dasar ini maka tugas kita hanya satu TUMPAS PKI!

Aku menelan ludah mendengar ceritanya. Seakan-akan seluruh bulu kudukku merinding waktu itu. Namun tenyata kengerian cerita ini tidak berhenti di situ saja.

“Sebenarnya sebelum dilakukan apel di alun-alun beberapa saat sebelumnya ada kelompok komando militer yang berada di rumah Haji Sopingi. Di sana mereka menerima perintah yang lebih tinggi agar segera dilakukan apel lebih awal. Saya kurang tahu siapa orang yang memberikan komando itu. Hanya saja yang jelas bagi kami para santri hanya patuh dan tunduk kepada apa yang diucapkan oleh Kyai,” sambung Mbah Malik.

“Perintah penumpasan PKI itu didukung oleh militer. Dalam hal ini ABRI beserta para kyai dan santri telah berupaya untuk benar-benar melakukan hal ini. Ketua Ansor waktu itu saja diberi bedil untuk latihan tembak di Gunung Klotok. Setelah apel besar itu, dimulailah apa yang kalian sebut pembantaian terbesar sepanjang sejarah. Anak-anak kami waktu itu dihantui dengan pemandangan yang mengerikan. Kalau beruntung mereka akan menemukan kepala mengapung di Kali Brantas atau usus yang mengapung di sana,” Mbah Malik menatap ke mataku melihat apa reaksiku atas ceritanya ini.

“Trus bagaimana kronologisnya mbah?” tanyaku.

“Tiap malam, mereka akan memberikan kami daftar-daftar orang yang diduga sebagai anggota PKI. Dari daftar itu para prajurit ABRI kemudian mengangkut mereka semua ke atas truk. Tua muda, laki atau pun perempuan. Kami tak pernah tahu bagaimana wajah mereka, siapa mereka. Hanya orang-orang tentara saja yang tahu siapa saja mereka. Bahkan waktu itu ada seseorang yang tidak suka dengan tetangganya saja langsung dicap PKI, maka pada waktu itu semua orang menjaga sikap mereka masing-masing takut diciduk,” ujar Mbah Malik. Matanya menoleh ke arah kelewang yang teronggok di atas bale-bale.

“Pada malam hari aku diberitahu bahwa sudah saatnya bekerja. Satu-satunya senjata yang aku punya waktu itu adalah ini!” Mbah Malik menunjukkan kelewang yang tadi dia bawa. Kelewang itu panjangnya kurang lebih 70cm.

Kembali lagi-lagi aku menelan ludah. Aku tak bisa membayangkan bahwa kelewang yang ada di atas bale-bale itu adalah yang pernah dipakai oleh beliau.

“Saat itu ada dua macam orang-orang PKI. Yang melawan dan yang tidak. Yang melawan maka mereka pasti punya kekuatan. Kami bahkan sempat terjadi perang dengan mereka. Tepatnya di Desa Batuaji. Saat itu di sana masa PKI lebih besar dari pasukan kami, sehingga dengan bantuan tentara kami pun bisa mengalahkan mereka semuanya. Anggota ABRI yang menangkap mereka pun melempar mereka ke atas truk.

“Truk-truk itu kemudian mengantarkan mereka semua ke tempat eksekusi. Tentara-tentara itu hanya menangkap mereka, namun yang jadi pengeksekusinya adalah kami. Tiap malam beragam jumlahnya. Ada empat sampai dua puluh orang. Mereka sebelumnya ditampung di mana pun kami tak tahu. Kebanyakan korban tidak ada yang melawan. Sebagaimana yang tadi saya ceritakan, kalau mereka disekap mata mereka sehingga tidak melihat kami.

“Kondisi para tawanan diikat tangannya di belakang. Mereka kemudian berlutut. Kebanyakan mereka tak bicara, entah takut atau apa. Yang jelas para santri yang sudah membawa golok, parang, kelewang sudah siap menebas leher-leher mereka. Saya sendiri mengeksekusi mereka sekali tebas. DES!” Mbah Malik memeragakan bagaimana cara dia menebas.

Aku agak tersentak melihat tingkahnya. Terlalu menghayati? Bisa saja. Karena berhadapan dengan orang yang rela membunuh demi sebuah perintah dari kyainya merupakan hal yang baru pertama kali aku alami. Apakah mereka psikopat? Bukan, mereka bukan psikopat. Mereka melakukan itu karena kecintaan mereka terhadap tanah air mereka waktu itu. Walaupun mungkin ada berbagai konspirasi dan tetek bengek lainnya. Aku tetap tak bisa mempercayainya hal ini ada dan terjadi di negara tempatku hidup.

Andika sendiri sampai menarik nafas berat ketika melihat Mbah Malik tadi memperagakan bagaimana cara dia menebas orang. Namun yang lebih menarik apa yang diceritakannya setelah ini.

“Ada satu orang yang waktu itu saya tebas nggak mempan. Mungkin dia punya pengasihan atau ilmu kebal. Lehernya saya tebas tapi kelewang malah mental. Teman saya pun menebas, mental lagi. Sampai akhirnya saya dinasehati oleh salah seorang yang ilmu kesaktiannya lebih tinggi untuk memukulnya dengan rotan yang sudah diberi asma. Akhirnya manjur. Tubuh PKI itu tersungkur, selanjutnya kami beramai-ramai membacoknya.

“Setelah itu kami beramai-ramai melemparkan mayat mereka ke atas Kali Brantas. Selama berhari-hari warna airnya merah karena darah orang-orang yang kami bantai. Itu tidak mengherankan kami ada beberapa tempat pembantaian, kemudian mayatnya dilemparkan ke atas sungai. Anak-anak dan para perempuan ketakutan waktu itu. Mereka sampai trauma,” terang Mbah Malik.

Aku beristirahat sejenak untuk menyeruput kopi yang sudah tersaji. Agaknya mentalku harus benar-benar siap untuk mendengar cerita dari Mbah Malik ini.

“Lalu apa yang terjadi mbah? Katanya ada perang antara PKI dan para santri waktu itu?” tanyaku.

“Iya, memang ada. Kami mendapatkan petunjuk dari para kyai bahwa ada sejumlah besar pasukan PKI akan menyerang Kediri. Akhirnya kami dan para santri lainnya berkumpul. Para pembesar Kyai dari Lirboyo pun kemudian berkumpul ikut serta. Bahkan dengan semangat para kyai maka kami pun yakin perbuatan kami benar yaitu kami sedang berjihad melawan PKI,” jawabnya. “Yang namanya Jihad, maka kalau saya mati maka saya mati Syahid.”

Wawancara itu pun kami hentikan setelah satu jam kemudian. Ini gila, pikirku. Aku tak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Bagaimana bisa para santri tidak merasa berdosa sama sekali ketika membantai orang-orang seperti itu? Namun seperti yang dikatakan oleh Mbah Malik tadi, semuanya karena menganggap sedang dalam jihad fi sabilillah. Oleh sebab itulah maka apapun yang mereka lakukan akan dianggap berpahala.

Tepatnya aku dan Andika pulang seusai shalat dzuhur. Kami sempat dijamu makan siang di rumah Mbah Malik. Makanannya sederhana, sayur lodeh dan tempe goreng. Sekali pun telah menceritakan kengerian tentang masa lalunya, ternyata Mbah Malik itu orang yang menyenangkan. Beliau memang sudah tua tapi tenaganya masih perkasa. Aku diberikan sebuah foto tua berwarna hitam putih. Foto itu menunjukkan bagaimana Mbah Malik memegang kelewang. Ternyata beliau juga orangnya humoris dan ramah, sangat kontras dengan apa yang menjadi dugaanku bahwa seseorang yang pernah membunuh orang akan berbeda sikapnya.


* * *​


Orang kedua yang aku temui adalah Masdoeqi Muslim. Sekarang dia tinggal di Kras, Kediri. Kras merupakan sebuah daerah dataran tinggi. Letaknya ada di sebelah barat kota Kediri, di kaki Gunung Wilis. Sekali lagi mobil kami melewati jalanan yang kini mulai panas. Untunglah AC mobil MPV yang kami kendarai cukup mengusir panasnya hari itu.

“Kediri makin panas mas, apalagi sekarang banyak mal di mana-mana,” ujar Andika. “Ibaratnya Kediri sekarang ini lebih kepada kota tempat orang-orang belanja. Lihat aja mal makin banyak bukannya makin sepi tapi makin ramai. Bahkan di alun-alun tadi sudah lihat bukan? Sebelahnya aja ada mal.”

“Aku masih ingat bagaimana dulu di alun-alun sering terjadi banjir ketika hujan sampai Kali Brantas meluap,” kenangku mengingat masa kecilku.

“Hahaha, iya mas. Tapi aku belum lahir,” kata Andika.

“Hahahaha, iya. Kamu belum lahir,” ucapku setuju.

Di radio terdengar musik pop yang mengalun. Hiburan itu cukup membuatku rileks selama perjalanan. Begitu kami memasuki gapura yang menunjukkan SELAMAT DATANG DI KRAS ponselku seketika itu berbunyi. Dari istriku. Ah, aku lupa ngasih kabar.

“Halo?” sapaku.

“Mas, sudah nyampe?” tanyanya.

“Iya, sudah. Maaf lupa ngasih kabar,” jawabku.

“Oh ya udah. Ini sama Si A'an?” tanya istriku.

“Iya nih, dia jadi sopir pribadiku sekarang,” jawabku lagi.

“Mbak, ingat lho ya ini dibayar. Kalau nggak dibayar aku nggak bakal mau nganterin,” kelakarnya.

Aku dan istriku tertawa mendengarnya. Setidaknya kami ada hiburan sebelum pergi ke orang yang perlu kami wawancarai setelah ini.

Rumah tempat Masdoeqi Moeslim ini tidak begitu besar. Paling tidak itulah pandanganku kalau dibandingkan dengan rumah-rumah sebelahnya. Di depan halaman rumahnya ada buah pepaya dan beberapa bunga yang ada di pot. Sebuah pohon mangga ada di pinggir halamannya dan dedaunannya sampai menjorok ke tempat tetangganya. Buah-buahnya berwarna merah kekuningan. Khas buah Mangga Podang yang mana bentuknya kecil-kecil.

“Assalaamu'alaykum?” sapa Andika.

“Wa'alaykum salam,” jawab seseorang dari dalam rumah.

Seorang lelaki menyambut kami. Dia kira-kira berusia kisaran 40 tahun. Begitu melihat kami dia langsung mengerti siapa kami.

“Ini pasti mas-mas yang mau mewawancarai,” tebaknya.

“Iya pak,” kataku.

“Masuk aja! Maaf lho ya, panas,” ujarnya.

“Nggak apa-apa koq pak,” ucapku.

“Mbah, ada tamu!” kata bapak-bapak ini.

Dari dalam rumah, muncullah seseorang lelaki tua. Dia memakai sarung dan kaos singlet. Mungkin karena cuaca panas. Aku bisa mengerti. Dia tersenyum ketika melihat kami berdua. Kemudian kami pun dipersilakan duduk.

Setelah berbasa-basi sebentar, beliau pun mulai menceritakan kronologis peristiwa yang dialaminya.

“Yang saya ingat waktu itu ya ngger sebelum Gestapu PKI emang bikin rusuh duluan. Mereka dan para santri bahkan punya dendam pribadi sejak lama. Dendam itu makin besar ketika adanya Gestapu. Tepatnya saya masih hafal tanggalnya. Tanggal 13 Januari 1965 di Kanigoro, saat itu saya beserta peserta pelajaran Pelatihan Mental Pelajar Islam Indonesia sedang membaca Al-Qur'an dan bersiap shalat subuh. Saat itulah kegaduhan terjadi. Kira-kira ada seribu orang anggota PKI datang, menghambur ke dalam masjid membawa berbagai macam senjata. Mereka dengan paksa mengambil Al-Qur'an kemudian measukkanya ke dalam karung, lalu dilempar ke halaman masjid dan menginjak-injaknya.

“Alasan mereka melakukan itu adalah karena apa yang terjadi pada akhir tahun 1964 ketika terjadi pembunuhan atas kader PKI yang ada di Jombang dan Madiun yang dilakukan oleh kader NU. Kata mereka, 'Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja.'” jelas Masdoeqi sambil menirukan cara bicara mereka waktu itu.

Kemudian beliau melanjutkan, “Para santri pelatihan termasuk Kyai Jauhari ditodong senjata dan digiring ke kantor polisi. Mereka diancam dibunuh sambil dicaci maki. Sebenarnya antara PKI dan santri tidak pernah ada yang sampai konflik terbuka. Memang ketika berpapasan kami saling melotot, saling ejek. Tapi tidak sampai bentrok. Seperti api dalam sekam. Peristiwa di Kanigoro itulah yang menjadi puncaknya, yang membuat para santri dan anggota Anshor Kediri membantai anggota PKI. Terlebih setelah pemerintah mengatakan bahwa PKI adalah organisasi terlarang. Kami semakin yakin bahwa tindakan kami benar.”

“Anda kenal Pak Abdul Malik?” tanyaku.

“Iya, tentu saja. Kami waktu itu pernah dalam satu tempat untuk menjagal anggota PKI yang dieksekusi,” jawabnya.

“Anda juga ikut berperan di sana sebagai penjagal?” tanyaku lagi.

“Iya. Dan sebenarnya ada peristiwa yang sedikit membuat saya trenyuh. Dia membunuh saudaranya sendiri. Ironis sekali,” ujar Masdoeqi.

“Lho? Beliau tak pernah cerita tentang hal itu,” kataku.

“Tentu saja, siapa yang tega membunuh saudara sendiri? Tapi dia pun melakukannya. Dia tidak cerita mungkin ia tak ingin orang lain mengetahui apa yang dilakukannya,” jelas Masdoeqi. “Sebab dia masih punya hati dan menganggap perbuatannya sebagai dosa yang besar.”

“Bagaimana kejadiannya?”

“Waktu itu, ketika orang-orang diturunkan dari truk. Wajah mereka ditutup sehingga tak bisa melihat. Para tentara menyuruh mereka untuk diam. Mereka sudah seperti sapi-sapi yang siap untuk disembelih. Ada satu tawanan yang waktu itu bersuara. Kemudian Abdul Malik mengenali suaranya. Seketika itu juga Abdul Malik galau karena ternyata yang ada di situ adalah saudaranya sendiri. Tapi kemudian dengan tekad bulat ia pun menebas leher saudaranya sendiri lalu membuang mayatnya di Kali Brantas. Saat itu Abdul Malik memang sempat ragu sampai kemudian saudaranya sendiri bilang, 'Lakukan saja aku sudah siap!' Aku sendiri saat itu merinding, takut kalau-kalau anak atau saudaraku sendiri yang aku tebas lehernya.”

Mendadak suasana menjadi hening. Aku mengerti situasi seperti ini. Mungkin bagiku peristiwa seperti ini adalah peristiwa yang mau tak mau harus terjadi pada masa itu. Saat itu kondisi negara sedang dalam suasana kacau. Di mana orang-orang tak bisa menahan diri. Orang-orang yang tidak bersalah pun jadi korban.

Menurut data, korban dari penjagalan PKI mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Itu yang baru bisa dihitung, padahal menurut laporan, banyak kuburan-kuburan masal yang tidak terhitung jumlahnya dari Sabang Sampai Marauke. Sebuah harga yang mahal untuk sebuah revolusi waktu itu.

Menemui dua orang narasumber membuatku mulai mencari tahu apa yang sebenarnya dicari oleh bangsa ini? Mereka sudah melewati berbagai pertumpahan darah dengan melawan penjajah hingga kemudian menjadi tumbal oleh segelintir orang yang haus akan kekuasaan.

Benar kata Pak Soekarno bahwa kita harus waspada kepada penjajahan gaya baru. Penjajahan yang tidak lagi menggunakan senjata untuk menguasai, namun menggunakan pemikiran. Perang pemikiran ini sangat halus, sekolah-sekolah bisa saja mengajarkan hal itu, kalau kita tak punya pondasi yang kuat, kita akan terjerumus ke sana.

Sayangnya waktuku tak banyak di Kediri ini. Aku masih ingin mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi waktu itu. Setelah kunjungan terakhir ke rumah Masdoeqi aku menuju ke sebuah masjid yang disebut di ceritanya. Masjid itu dulunya sebuah mushola kecil. Sekarang bentuknya sudah lebih baik dari waktu dulu mungkin. Bangunannya bercat kuning dengan sebuah kubah terbuat dari aluminium tampak membuatnya cukup indah. Aku sempatkan untuk shalat di sini setelah itu aku pulang ke rumah Andika.


* * *​


Istirahat yang cukup di rumahnya Andika membuka kenanganku masa lalu ketika aku masih tinggal di kota tempat pabrik rokok terbesar di Indonesia ini berada. Dulu aku sering bermain di sawah tepat di depan rumah. Sekarang tak ada lagi. Dulu aku sering menarik tebu dari truk pengangkut tebu, sekarang kurasa anak-anak kecil sudah tidak melakukan itu lagi. Hanya beberapa anak kecil saja kulihat bermain layang-layang. Aku sempat ijin kepada budhe untuk kemudian pergi ke Jombang, tempat aku bertemu dengan narasumber terakhir.

Catatanku sudah lengkap. Kurangkum apa yang aku dengar kemarin dari dua narasumber. Sedangkan narasumber terakhir ini konon katanya menjadi saksi bahwa ia melihat sendiri bagaimana ratusan orang yang dituduh sebagai PKI dibunuh.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah Dasuki di desa Mlancu. Desa ini berada di perbatasan Kediri-Jombang. Kenapa aku ke sini? Karena aku ingin membuktikan sendiri tulisan yang aku baca dari buku Palu Arit di Ladang Tebu. Dan narasumberku sendiri sudah pas.

Wajah Dasuki tampak sumringah melihat kami berdua. Setelah berbasa basi dan memperkenalkan diri kemudian dia mengajak kami ke sebuah tempat.

Ada sebuah tugu berwarna merah putih. Tugu peringatan. Kalau orang luar daerah yang melihat tugu tersebut akan menganggap tugu itu adalah tugu biasa. Namun, di balik dibangunnya tugu itu ada sesuatu peristiwa yang tersembunyi.

“Saat itu saya masih kecil. Sama seperti anak-anak lainnya mas. Di sini ada kejadian yang mengerikan. Waktu itu malam hari banyak yang ribut-ribut. Puluhan orang sudah bersiaga di sini beserta para tentara waktu itu. Sementara itu truk-truk terus berdatangan. Aku yang waktu siang hari bermain di luar rumah segera disuruh masuk oleh kedua orangtuaku. Orang-orang dewasa yang sudah terpilih mempersenjatai diri mereka dengan pedang, golong, kelewang. Aku tak tahu waktu itu apa yang mereka lakukan, hanya saja aku disuruh untuk tidak banyak bertanya. Pikiran anak kecil sepertiku yang ingin tahu tentu saja membuatku penasaran.

“Akhirnya malam itu saya mengendap-endap pergi dari rumah untuk mencari tahu apa sih yang terjadi. Dan di sini saya mengetahuinya. Orang-orang memakai penutup wajah dengan membawa senjata tajam. Sedangkan di depan mereka orang-orang terikat dengan kepala ditutup. Di antara mereka ada wanita juga ada lelaki. Saat itu saya terlalu gaduh sehingga segera ketahuan.

“Salah seorang dari mereka kemudian menyuruh saya untuk pulang. Akhirnya saya pun dipulangkan dari tempat ini. Orangtua saya marah besar waktu itu. Kalau saja saya tak ketahuan saya akan tahu apa yang terjadi malam itu. Yang saya lihat dengan penutup wajah seperti ninja adalah para algojo. Mereka yang bertugas menggorok leher orang-orang PKI. Paginya karena rasa penasaran saya pun keluar dari rumah dan pergi ke tempat itu.

“Bau anyir darah serta kolam darah tergenang di sana. Bahkan kaki kecil saya sampai tenggelam. Mayat tergeletak begitu saja dengan kepala mereka sudah terpisah dari badannya. Seketika itu kengerian langsung menyeruak ke dalam dada saya. Mengerikan.” jelasnya.

“Apa mayat-mayat itu tidak dikubur atau diambil keluarganya?” tanyaku.

“Nggak ada yang berani mas. Siapa yang mau berani mengambil mayat-mayat itu? Kalau ada yang berani maka mereka akan dicap sebagai keluarga PKI, bahkan mungkin akan jadi korban berikutnya. Alhasil selama beberapa hari bau busuk menyengat dari tempat ini. Kemudian atas inisiatif penduduk desa tempat ini pun dijadikan kuburan masal. Lubang tempat dikubur pun dibentuk dan mayat-mayat ditumpuk begitu saja. Untuk menandai lokasinya kemudian di sini dibangun tugu merah putih ini,” jelasnya lagi.

Tiba-tiba saja membayangkan hal itu perutku sedikit mual. Aku seolah bisa merasakan bagaimana rasanya jadi anak kecil pada waktu itu. Melihat kakinya tenggelam dalam darah. Aku jadi penasaran berapa orang-orang yang jadi korban waktu itu.

“Ada berapa orang yang dieksekusi waktu itu pak?” tanyaku.

“Ada 700-an, bahkan para algojo waktu itu mengaku kecapekan memenggal leher-leher mereka,” jawabnya. “Namun sekarang kuburan itu sudah dipindah. Kerangka mereka sudah dipindahkan ke sumur tua di hutan kakao di dekat sini.” Pak Dasuki menunjuk ke sebuah arah tempat hutan tersebut.

Jangan coba-coba, aku tak berani untuk melihat sumur itu. Andika kulihat sampai mengelus-elus tengkuknya, merinding. Kalau dulu aku pernah membaca berita tentang kuburan masal yang ada di Serbia, maka sekarang aku melihat sendiri peristiwa kuburan masal di negaraku.


* * *​


Setelah tiga hari berada di Kediri akhirnya aku pun berangkat kembali ke Jakarta. Aku sudah mengirimkan artikelku ke redaksi. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana orang-orang akan bereaksi terhadap artikel yang aku tulis. Apakah reaksi mereka terkejut? Menghujat? Atau bagaimana?

Kepada siapakah kesalahan ini akan ditujukan? Apakah kepada rezim waktu itu? Ataukah kepada sempitnya pemikiran masyarakat waktu itu? Kita sudah dijajah berabad-abad oleh para kolonial. Waktu itu mungkin masih sedikit masyarakat yang mendalami pendidikan hingga tinggi. Kedua orangtuaku sendiri saja nggak sampai tamat SMP. Keadaan negara waktu itu juga sangat memungkinkan hal ini terjadi.

Sekarang yang menjadi PR bagi bangsa ini mungkin adalah bagaimana kejadian seperti ini tak akan terulang lagi? Pertumpahan darah seperti ini. Di negara yang dikenal sebagai negara seribu pulau yang mana kekayaan alamnya tak terbatas. Haruskah keindahan alamnya dicemari oleh darah anak bangsa sendiri?

Kitalah yang memutuskan dan menggerakkan bangsa ini mau dibawa kemana. Jakarta, 30 September 2011. Abdul Hakim. Laporanku selesai.



* * THE END * *​
 
Terakhir diubah:
Ucapan Terima kasih untuk:

1. Tuhan YME.

2. Kang Jay yang selalu menjadi guruku dalam setiap tulisan.

3. Teman-teman semprot.

4. Majalah Tempo Edisi Oktober 2012 yang menjadi sumber cerita ini.
 
tandain dulu...:p
hampir sama sichh,, di berbagai daerah pada penjuru nusantara untuk kisah ini... dari cerita-cerita kakek dulu. suasana saat itu di negeri ini seperti, merah dan putih sedang terbelah. mungkin kondisi banyak di pengaruhi dua Blok Timur dan Blok Barat yang masih sama-sama kuat.

Kejadian ini sungguh fakta karena banyak sekali bukti menjadi jejaknya.

Namun karena aib bangsa sehingga orang-orang enggan untuk mengungkapnya.

Jika kisah dalam cerita ini berlokasi aliran sungai berantas. Kejadian yang sama juga di bantaran bengawan solo..

Achh:sendirian: tak kan ada habis nya bila di ceritakan..
 
Terakhir diubah:
masuk dong, udah aku post di tritnya pula koq laporannya.

:ngupil:
 
Pembantaian PKI emang termasuk kejam Dan sadis. Bahkan banyak yang gak tau menau cuma gara-gara dituduh PKI ikut di bantai.. yang paling sadis emang pembataian yang di daerah-daerah terutama jawa Timur..

:mantap: suhu arczre...
 
sejarah kelam republik ini msh banyak yg belum terkuak.siapa dalang peristiwa kup itu pun msh diperdebatkan sampe sekarang.
Top deh ceritanya.
 
Sebuah tulisan yang menguak sebuah sejarah kelam...

Ahhhhhhhhh... Ini super sekali...

:beer:
 
kh jauhari apakah gus maksum jauhari? cerita yang sangat menarik om
 
weehhh..jadi teringat liputan khusus disebuah majalah T

:cendol: ijo semangat om :adek:
 
Cerita nya menarik bgt om.. fakta sejarah yg disajikan dengan gaya bahasa yg pas.. :D
 
Ini cerita yg sangat Mengerikan! untuk wanita selembut diriku. Sangat sedih karena terjadi di Negeriku sendiri, bayangan me ke mana-mana, gimana kalau waktu itu me ada di sana dan ngalamin mencekamnya saat itu.
Jadi sangat bersyukur lahir di zaman di mana semua telah berakhir.
Me mau komentar soal Pki dan kyai tp ga di sini ah, pasti kliatan kudet. wkwkwk tar aku bbm.
Oh iyaah, tulisan senpaichi makin bagus loh.
 
Sejarah G 30 s ini lumayan lama disembunyikan Rezim Orba, dimana masyarakat di doktrin untuk membenci segala hal yang berbau PKI.. dan informasinya ditutup rapat..

Memang pada masa itu, Republik yang masih berusia muda masih belum stabil perpolitikannya.., antara PKI dan Militer konon memang sudah tidak harmonis hubungannya perihal pembentukan angkatan kelima..

Setau Nubi, Ideologi komunis yang lahir dari paham Sosialis memiliki fakta menarik dalam perjalanan sejarah kemerdekaan Bangsa..

Tan Malaka, yang di juluki Bapak Republik karna merumuskan konsep republik sewaktu memperjuangkan kemerdekaan bangsa dikenal sebagai seorang Sosialis..

Hos Tjokroaminoto, ketua SDI yang kemudian berubah menjadi SI memiliki tiga murid yang tinggal dirumahnya.. Sukarno yang Nasionalis, Semaun yang Sosialis, dan kartosuwiryo yang Memiliki cita cita negara Islam.. bersama mereka berjuang memperjuangkan kemerdekaan Republik..
Namun sayang.. sesudah kemerdekaan mereka berjalan dengan ideologi masing masing.. yang paling tragis mungkin pemberontakan Kartosoewiryo.. dimana presiden Sukarno menangis ketika menandatangani eksekusi mati Kartosoewiryo, teman masa kecilnya...

Maaf Suhu Arci.. ane berlebihan komennya... :ampun:
 
Ini cerita yg sangat Mengerikan! untuk wanita selembut diriku. Sangat sedih karena terjadi di Negeriku sendiri, bayangan me ke mana-mana, gimana kalau waktu itu me ada di sana dan ngalamin mencekamnya saat itu.
Jadi sangat bersyukur lahir di zaman di mana semua telah berakhir.
Me mau komentar soal Pki dan kyai tp ga di sini ah, pasti kliatan kudet. wkwkwk tar aku bbm.
Oh iyaah, tulisan senpaichi makin bagus loh.

Bener tuh non..., wanita selembut dirimu layaknya kubawa ke negeri bambu... :D :timpuk:

Bang Arci semakin hebat, inilah hasil dari seorang penulis yang selalu memandang kritikan dari siapapun sebagai petunjuk berharga...

Ahhhh...., ini benar-benar hebat...
:jempol:
 
di bilang mengerikan, memang benar. ada di sebuah daerah yang hampir sekampung kena dampaknya hingga tiga turunan semasa Orde Baru hanya gara-gara catatan hutang piutang dagang dari para pedagang yang terlibat organisasi bentukan dari partai komunis.
 
semoga cerita suhu arczre yg super emejing ni menang
gw gag tahu hrus komen apa hu
soalnya ilmu gw cetek bgt
gw cma bisa ngedoain aj moga suhu menang
gw dah suruh temen2 gw nyembelih ayam cemani demi kemenangan suhu arczre
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd