brokencoffee
Kakak Semprot
SORE HARI DI WARUNG KOPI DEPAN TERMINAL
28 Maret 2017.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat lewat, tapi sosok yang kutunggu belum datang juga. Padahal sudah lebih dari dua jam aku menunggu di warung kopi ini. Tempat dimana kami berjanji untuk bertemu, sebelum bersama-sama melanjutkan perjalalan ke kampung halaman kami.
Dihadapanku sudah tergeletak 3 kelas kopi yang sudah kosong. Yah, mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan sambil menunggu si tengil itu. Selain samping menikmati rokok dan mendengarkan obrolan simpang siur para penghuni warung kopi ini tentu aja.
Nde, satu lagi kopi nya. kataku kepada ibu pemilik warung.
Ibu itu hanya tersenyum dan langsung beranjak saat mendengar pesananku, seakan dia sudah hapal kebiasaanku. Tidak seperti dulu di awal aku rutin mengunjungi warung kopi ini, dimana dia selalu menatapku heran sambil mengernyitkan dahi saat lagi-lagi aku memesan kopi.
***
28 Maret 2014.
Taik, suka-suka kau aja nokok kepalaku ya. Masih dipake ini. katanya mengoceh saat aku menoyor kepalanya.
Aku hanya tersenyum sinis mendengar Guna mengoceh, karena memang aku sengaja. Wajar saja, siapa yang tidak kesal disuruh menunggu lebih dari tiga jam dengan kondisi perut keroncongan. Lagipula, seharusnya yang marah aku.
Jujur saja, kalau bukan karena dia, aku akan berpikir seribu kali untuk kembali menginjakkan kaki ke tanah aku lahir, besar dan mulai mengenal dunia.
Jadi, berangkat kita? tanyaku segera.
Santailah, habiskan dulu kopimu itu. Dia nyengir sebentar, tapi setelah itu raut wajahnya berubah sendu seketika.
Nde, kopinya dua lagi. kataku kepada ibu pemilik warung. Sesaat ibu itu menatapku heran. Bagaimana tidak, di depanku sudah ada 4 gelas kopi kosong. Gelas besar pula.
Sebenarnya aku sudah merasa cukup, tapi melihat raut wajah Guna aku jadi sadar.
Ini memang sulit untuknya. Bagaimana tidak, setelah sekian banyak perjuangan yang dia lakukan, Rinta- wanita yang amat sangat dia cintai, jam 3 tadi sore sudah melakukan pemberkatan di gereja. Pesta adatnya dilakukan besok, dan nanti malam diadakan keyboard untuk merayakan itu.
Yah, kami memang pulang untuk menghadiri pesta pernikahan Wari. Dan aku tau dia masih butuh waktu untuk menenangkan diri. Cara satu-satunya ya apalagi kalau bukan mengobrol sambil ditemani kopi.
Kerjaanmu gimana bro? tanyaku mencoba mengalihkan pikirannya.
Udah berapa kali kubilang sama kau, panggil aku monyet, anjing, atau babi sekalian. Tapi aku nggak suka dipanggil bray, bre, bro atau apa segala macam. rutuknya kesal. Yah, dia selalu protes saat dipanggil bro. Merasa jiwa nasionalis yang dia jaga dan pelihara ternoda karena sapaan sederhana yang berasal dari negeri antah berantah itu.
Lagi-lagi aku cuma tersenyum, sudah hapal dengan tingkah lagu sahabat sekaligus sepupuku ini.
Obrolan kami terhenti saat beberapa anak muda yang duduk di depan warung kopi memainkan gitar sambil mendendangkan sebuah lagu berbahasa daerah yang cukup akrab di telinga kami. Kami saling melirik. Aku tersenyum dan dia nyengir.
Masih nggak ada niat juga? tanyaku.
Yah, kami memang cukup mengenal lagu itu. Cukup tau kalau penciptanya adalah sosok yang sekarang duduk di hadapanku ini, dengan sedikit bantuanku. Dari kegiatan iseng di masa SMA, kemudian sering kami nyanyikan kalau lagi ngumpul sama teman-teman atau ada acara di kampung.
Entah kenapa lagu ini bisa terkenal, bahkan sekarang sudah ada beberapa penyanyi daerah yang membawakannya di dapur rekaman dalam beberapa versi. Tanpa pernah tau siapa pengarang aslinya.
Karena kepedulianku padanya, entah berapa kali aku pernah mencoba mendesak dia untuk memperjuangkan hak cipta lagu itu. Dulu bahkan aku pernah ngamuk saat ada yang membawakan lagu itu di radio dengan mengubah sedikit liriknya dan mengaku kalau itu ciptaannya. Tapi Guna selalu saja menolak dengan seribu satu alasan. Sampai akhirnya aku menyerah sendiri.
Untuk apa? tanyanya acuh tak acuh.
Siapa tau bisa jadi tambahan penghasilan mungkin. Dia hanya nyengir mendengar jawabanku yang asal.
Aku sudah cukup senang mendegar lagu itu cukup diterima kok. katanya santai.
Ya paling nggak mereka tau dong siapa pengarang aslinya.
Dia terdiam sejenak sambil menarik rokoknya.
Ingat saat aku marah waktu kau mukulin terkelin saat dia ngaku-ngaku kalau ini lagu dia?
Aku hanya mengangguk.
Tau nggak apa alasanku marah sama kau?
Aku menggeleng.
Gini ya Di, kalau ada orang yang membawakan laguku, entah itu murni, atau liriknya digubah, itu tandanya lagu ciptaanku benar-benar diterima dan disenangi khalayak. Terus, apa aku mesti marah untuk itu?
Jawaban yang benar-benar membuatku terdiam.
Lagi pula, apalah artinya memperjuangkan sebuah lagu dari seorang yang bahkan tidak bisa memperjuangkan orang yang dia cintai katanya dengan raut sendu.
Aku semakin terdiam.
***
28 November 2013.
Gila Jadi kau mau ngelariin Rinta gitu? kataku kaget setelah Guna menceritakan masalahnya. Aku benar-benar tidak percaya dia berani mengambil langkah senekat ini.
Ya gimana lagi, cuma ini jalan satu-satunya.
Kau pikir segampang itu?
Aku sudah kehabisan akal. Kalau tidak begini Rinta akan segera dinikahkan. Aku nggak mau itu terjadi. Katanya pasti.
Rehulina Warinta Barus, yang biasa kami panggil Rinta, adalah sahabat kecilku bersama Guna. Dari SD sampai SMA kami selalu bersama. Wajar saja sih kalau akhirnya mereka saling jatuh cinta. Karena dari dulu pun mereka memang lebih akrab dibandingkan dengan ku.
Apalagi Rinta memang sosok wanita idaman masa kini. Cantik, pintar, baik, semua nilau plus seorang wanita ada padanya. Yang membuat tidak wajar adalah embel-bembel di belakang nama kami. Aku, Guna dan Rinta sama-sama menyandang titel marga Barus.
Karena embel-embel itu mereka yang tidak mungkin untuk mereka bersatu. Yah, kami hidup dalam masyarakat yang sangat amat mengharamkan perkawinan satu marga. Meskipun kalau dirunut, aku dan Guna sama sekali tidak ada hubugan keluarga dengan Rinta. Karena orang tua Rinta hanya pendatang di kampung kami. Beda dengan aku dan Guna yang memang penduduk asli
Kalau dipikir memang tidak masuk akal, bagaimana bisa perkawinan antar satu marga dilarang, tapi perjodohan dengan impal kandung (kalau di Batak Toba disebut pariban) justru sangat dianjurkan. Padahal hubungan keluarga dengan impal itu jelas memiliki hubungan keluarga yang jelas-jelas masih sangat dekat.
Tapi mau bagaimana lagi, begitulah adat istiadat di tempat kami tinggal ini, atau pada masyarakat Batak pada umumnya.
***
28 Februari 2014.
Lagi-lagi kami duduk di warung kopi ini, setelah mengantarkan Rinta ke terminal barusan. Sama-sama terdiam, asik dengan pemikiran masing-masing. Guna terlihat begitu tidak bersemangat.
Bagaimana tidak, hari-hari ke depannya akan terasa sangat berbeda dengan tidak adanya Rinta di dekat dia. Setelah tiga bulan yang penuh perjuangan, akhirnya mereka memilih untuk menyerah dengan keadaan.
Semuanya berawal dari SMS guna semalam.
Besok kawani aku ngantar Rinta ya. Dia mau pulang kampung. Begitulah SMS guna yang membuatku segera menelponnya.
Dari pembicaraan kami aku tahu kalau Rinta pulang karena tidak sanggup memikirkan adiknya menjadi korban. Yah, akibat pelariannya tempo hari, perjodohannya dengan impalnya akhirnya dibatalkan. Dan sebagai gantinya keluarga impalnya meminta adiknya yang masih kelas 2 SMA sebagai penggantinya.
Gila, di era modern ini masih ada yang punya pikiran kolot seperti itu. Pikirku.
***
28 Maret 2014.
Udah bisa kita berangkat? Udah jam setengah enam ini. tegurku membuyarkan lamunan Guna.
Mau ditunggu sampa berapa lama pun, toh akhirnya kami harus pergi juga.
Ya sudah ayok. Katanya segera berdiri.
Aku pun menemui pemilik warung untuk membayar kopi yang kami nikmati tadi. Kukeluarkan uang kertas 50 ribu.
Ambil saja kembaliannya Nde. kataku.
Kami pun berangkat melanjutkan perjalanan ke kampung halaman kami. Tepat di bawah kaki gunung Sinabung, yang sudah amat tersohor dengan keindahan dan keasrian alamnya, juga dengan kesejukan hawanya.
***
Kami benar-benar terkejut saat mendengar suara letusan gunung. Suaranya benar-benar menggelegar. Sampai kedengaran ke lapo tuak tempat ku duduk yang berjarak 5 kilo dari kampung kami.
Saat kami menoleh, aku melihat lahar merah keluar dari puncaknya, tepat menuju ke kampung kami.
Guna segera berlari ke sepeda motor dan mengengkolnya.
Mau kemana kau woy! Bahaya! seruku.
Tapi dia langsung menggeber sepeda motor itu tanpa mempedulikan seruanku. Dan aku ditinggal sendirian di lapo ini.
Padahal tadinya aku yang membawa dia kesini, karena aku tau dia tidak sanggup melihat Rinta dan pasangan nya duduk di pelaminan.
Tapi sekarang, malah dia yang meninggalkan aku.
***
28 Maret 2017.
Aku melirik jam ditanganku. Sudah menunjukkan pukul setengah enam. Sudah waktunya untuk pulang. Toh sampai seberapa lama pun aku menunggu, dia tidak akan datang. Yang duduk di hadapanku ini hanyalah sosok semu. Yang hanya bisa diam dan terenyum tanpa pernah membalas omonganku. Bukan sosok guna yang ku kenal selama ini.
Aku beranjak menemui ibu pemilik warung untuk membayar kopi yang kunikmati dari tadi dalam meniikmati lamunanku. Kukeluarkan uang kertas 50 ribu.
Ambil saja kembaliannya Nde. kataku.
Lagi-lagi ibu itu hanya tersenyum. Seolah hal yang kulakukan sudah lumrah untuknya.
***
Udah pergi orang gila tadi mak? tanya Lia kepada ibunya.
Orang gila yang mana?
Itu lho, yang biasa duduk di dekat jendela.
Hush, sembarangan aja kalu ngomong.
Loh, memang iyakan? Cobalah mamak pikir, duduk sendiri, nggak punya teman. Tapi bisa ngomong sendiri.
Memang nyatanya gitu mak. Coba deh, datang sekitar jam 2 lewat. Terus duduk di bangku yang dekat jendela itu, pesan kopi itam satu gelas tanpa gula, sampai jam setengah lima kurang pasti sudah memesan 4 gelas. Terus pas jam setengah lima pesan dua gelas kopi, yang satu ditaruh di hadapannya, sementara yang satu lagi ditaruh di seberang. Seolah-olah ada orang yang duduk diseberangnya. Jam setengah enam bayar minumannya pakai uang 50 ribu, dan bilang ambil saja kembaliannya. Habis itu pergi.
Sejak kapan kau perhatikan dia? Sampai hapal gitu. tanya ibunya heran.
Gimana nggak hapal, kalau tiga tahun bertururt-turut seperti itu terus. Sekali sebulan, setiap tanggal 28.
Ibunya pun hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ingin membantah putrinya, tapi semua yang dikatakan Lia memang benar.
Tapi abang itu tadi nggak sendirian kok. Lina dan ibunya menoleh saat adik Lia yang baru berumur 7 tahun menimpali obrolan mereka.
Nggak sendirian gimana nak? tanya ibunya heran.
Iya loh mak. Ada abang-abang duduk di depannya, sediit lebih gemuk dan lebih pendek dari abang itu. Wajahnya mirip sama yang di foto itu. Kata Lina menunjuk ke sebuah potongan artikel koran yang di pajang di dinding, tepat di atas jendela tempat orang yang mereka bicarakan tadi duduk.
Artikel itu berisi sebuah foto, dan di bawahnya ditulis keterangan :
Ergunanta Barus, Seniman Tanah Karo yang jadi korban letusan gunung Sinabung, 28 Maret 2014.
Seketika itu juga Lia dan ibunya merasakan bulu kuduk mereka berdiri.
END