BAB 31
Pada hari yang sama dua limusin diparkir di kompleks Long Beach. Salah satu mobil besar itu menunggu untuk mengantar Connie Corleone, ibunya, suaminya, dan dua anaknya ke bandara. Keluarga Carlo Rizzi akan berlibur di Las Vegas dalam persiapan pindah permanen ke kota itu.
Michael yang memerintah Carlo, meskipun Connie memprotes. Michael tidak mau bersusah payah menjelaskan bahwa ia ingin semua orang keluar dari kompleks sebelum pertemuan Keluarga Corleone-Barzini. Memang pertemuan itu sendiri sangat dirahasiakan. Hanya para capo dari kedua keluarga yang mengetahuinya.
Limusin lain untuk Kay dan anak-anaknya, yang akan diantar ke New Hampshire untuk mengunjungi orangtuanya. Michael akan tetap tinggal di kompleks. Ia punya urusan yang mendesak sehingga tidak bisa pergi.
Malam sebelumnya Michael mengirim pesan kepada Carlo Rizzi bahwa ia akan memerlukan kehadirannya di kompleks selama beberapa hari, ia bisa bergabung dengan istri dan anak-anaknya pada minggu berikutnya. Connie marah sekali, k berusaha menelepon Michael, tapi Michael sudah pergi ke kota. Sekarang pandangannya mencari-cari Michael di seluruh kompleks, tapi Michael mengurung diri bersama Tom Hagen dan tidak boleh diganggu. Connie mencium Carlo sebagai ucapan selamat tinggal sewaktu Carlo mengantarnya masuk ke limusin.
"Kalau kau tidak keluar dari sini dalam waktu dua hari, aku akan kembali untuk menjemputmu," Connie mengancam.
Carlo tersenyum sopan layaknya suami. "Aku akan segera datang," katanya.
Connie menjulurkan kepala ke luar jendela. "Menurutmu untuk apa Michael memerlukanmu?" tanyanya. Kerutan di wajahnya yang penuh kekhawatiran menyebabkan ia tampak tua dan tidak menarik.
Carlo mengangkat bahu. "Ia menjanjikan bisnis besar padaku. Mungkin itu yang ingin dibicarakannya. Itulah yang diisyaratkan padaku."
Carlo tidak tahu tentang jadwal pertemuan dengan Keluarga Barzini malam ini. Connie bertanya penuh perhatian, "Sungguh, Carlo?"
Carlo mengangguk meyakinkannya. Limusin meluncur melewati pintu gerbang kompleks ke luar.
Sesudah limusin pertama menghilang, barulah Michael keluar untuk mengucapkan selamat jalan pada Kay dan kedua anaknya. Carlo juga mendekat untuk mengucapkan selamat jalan kepada Kay dan mengharapkan liburannya menyenangkan. Akhirnya limusin kedua meluncur dan melewati pintu gerbang.
Michael berkata, "Maaf aku terpaksa menahanmu di sini, Carlo. Ini tidak lebih dari dua hari."
Carlo berkata cepat, "Aku sama sekali tidak keberatan."
"Bagus," kata Michael. "Jangan jauh-jauh dari telepon dan akan kupanggil kau sesudah aku siap menemuimu. Ada beberapa orang lain yang harus kutemui sebelum itu. Oke?"
"Tentu saja, Mike, tentu," kata Carlo. Ia pergi ke rumahnya sendiri, dan menelepon gundiknya yang disembunyikannya di Westbury, berjanji menemuinya larut malam nanti. Lalu ia duduk dengan sebotol anggur dan menunggu.
Ia menunggu lama sekali. Mobil-mobil mulai berdatangan melalui pintu gerbang tidak lama selewat tengah hari. Ia melihat Clemenza keluar dari mobil, dan tidak lama kemudian Tessio keluar dari mobil lain. Mereka berdua dipersilakan masuk ke rumah Michael oleh salah seorang pengawal pribadinya. Clemenza pergi beberapa jam kemudian, tapi Tessio tidak muncul.
Carlo mencari udara segar di sekitar kompleks, tidak lebih dari sepuluh menit. Ia sudah tidak asing lagi dengan semua penjaga yang bertugas di kompleks, bahkan bersahabat dengan beberapa di antara mereka. Ia berpikir akan mengajak mereka bercakap-cakap untuk mengisi waktu. Tapi ia sangat terkejut sewaktu mendapati tidak seorang penjaga pun yang bertugas hari ini dikenalnya. Mereka semua asing baginya. Bahkan yang lebih mengherankan, orang yang berjaga di pintu gerbang adalah Rocco Lampone, dan Carlo mengetahui kedudukan Rocco terlalu tinggi dalam Keluarga sehingga tidak mungkin diberi tugas sesepele itu -kecuali ada kejadian yang luar biasa.
Rocco melontarkan senyum ramah dan menyapanya. Carlo waspada.
Rocco berkata, "Hai, kupikir kau pergi berlibur dengan Don?"
Carlo mengangkat bahu. "Mike ingin aku tinggal di sini dulu dua hari. Ada yang harus kulakukan, katanya."
"Yeah," kata Rocco Lampone. "Aku juga. Lalu ia memerintahkan aku menjaga gerbang. Ah, persetan, ia bosnya." Nada suaranya menyatakan Michael tidaklah seperti ayahnya; agak sombong.
Carlo tidak mengacuhkan nada suara Rocco. "Mike mengetahui apa yang dilakukannya," katanya.
Rocco menerima teguran itu dengan berdiam diri. Carlo pamitan dan berjalan kembali ke rumah. Ada yang akan terjadi, tapi Rocco Lampone tidak mengetahui apa.
Michael berdiri di depan jendela ruang duduk dan mengawasi Carlo yang berjalan keliling kompleks. Hagen membawakan brendi yang keras. Michael menghirupnya dengan penuh terima kasih. Di belakangnya Hagen berkata lembut, "Mike, kau harus mulai bertindak. Sudah tiba saatnya."
Michael menghela napas. "Aku ingin ini tidak harus dilakukan secepat ini. Aku berharap Papa bertahan sedikit lebih lama lagi."
"Tidak akan ada yang kacau," kata Hagen. "Kalau aku tidak mengacau, tidak ada seorang pun yang kacau. Kau merencanakannya dengan sangat baik."
Michael berbalik dari jendela. "Papa yang banyak merencanakan. Aku tidak pernah menyadari betapa cerdik dirinya. Tapi kurasa kau mengetahuinya."
"Tidak ada yang seperti dirinya," kata Hagen. "Tapi ini indah. Ini yang terbaik. Jadi kau juga tidak terlalu buruk."
"Kita lihat saja apa yang akan terjadi," kata Michael. "Apakah Clemenza dan Tessio sudah tiba di kompleks?"
Hagen mengangguk. Michael menghabiskan brendi dalam gelasnya. "Suruh Clemenza kemari. Aku akan memberinya perintah secara pribadi. Aku sama sekali tidak ingin bertemu Tessio. Katakan saja padanya aku akan bersiap-siap pergi ke pertemuan dengan Barzini bersamanya sekitar setengah jam lagi. Orang-orang Clemenza akan membereskannya sesudah itu."
Hagen bertanya ringan, "Tidak ada cara untuk melepaskan Tessio?"
"Tidak ada," kata Michael.
***
Di tengah kota Birffalo, kedai pizza di tepi jalan ramai dikunjungi pembeli. Sesudah waktu makan siang, kesibukan akhirnya mereda dan pelayan berkeliling membawa baki seng berisi sisa-sisa pizza, meletakkannya di luar jendela, dan menaruhnya di rak tungku besar dari batu bata. Ia mengintip ke dalam oven, ada pai yang sedang dipanggang. Kejunya belum mulai menggelembung. Saat ia kembali ke meja panjang tempat ia bisa melayani orang dari jalan, ada pemuda berpenampilan tangguh berdiri di sana. Pemuda itu berkata, "Beri aku sepotong."
Si pelayan pizza mengambil sekop kayu dan memasukkan irisan pizza yang dingin ke oven untuk dipanaskan. Si pembeli, bukannya menunggu di luar, memutuskan masuk untuk dilayani. Kedai itu kosong sekarang. Pelayan membuka oven dan mengeluarkan irisan pizza yang sudah panas lalu menghidangkannya di piring kertas. Tapi si pembeli tidak memberikan uang untuk membayarnya, melainkan menatapnya tajam.
"Kudengar ada tato hebat di dadamu," kata si pembeli. "Aku bisa melihat puncaknya di balik bajumu. Bagaimana kalau kauperlihatkan semuanya padaku?"
Si pelayan terpaku. Ia kelihatan lumpuh.
"Buka bajumu," kata pembeli itu.
Si pelayan menggeleng. "Aku tidak punya tato," katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen kental. "Itu orang yang bertugas malam."
Pembelinya tertawa. Tawanya tidak menyenangkan, kasar, tegang. "Ayo, buka kancing bajumu, biar kulihat."
Pelayan itu mundur ke bagian belakang kedai, bermaksud mendekati tungku besar. Tapi pembelinya mengangkat tangan di atas meja panjang. Ada sepucuk pistol dalam genggamannya. Ia menembak. Peluru menghantam dada si pelayan dan mengempaskannya ke tungku.
Pembeli itu menembaknya sekali lagi dan si pelayan pun merosot ke lantai. Si pembeli berjalan memutari rak, mengulurkan tangan ke bawah, dan merenggut kancing-kancing bajunya. Dada si pelayan berlumuran darah, tapi tatonya terlihat, sepasang kekasih yang berpelukan dan pisau yang menikam mereka.
Si pelayan mengangkat tangan dengan susah payah seakan untuk melindungi diri. Si penembak berkata, "Fabrizzio, Michael Corleone mengirimkan salam." Ia mengacungkan pistol hingga hanya beberapa inci dari kepala si pelayan dan menarik picunya.
Lalu ia berjalan ke luar kedai. Di tepi jalan, mobil menunggu dengan pintu terbuka. Ia masuk dan mobil seketika melesat pergi.
Rocco Lampone menjawab telepon yang dipasang pada salah satu tiang besi di pintu gerbang. Ia mendengar seseorang berkata, "Paketmu sudah siap," dan terdengar bunyi klik saat orang yang menelepon meletakkan telepon.
Rocco masuk ke mobil dan menjalankannya ke luar kompleks. Ia menyeberangi Jones Beach Causeway, jalan tempat Sonny Corleone dibunuh, dan keluar menuju stasiun kereta Wantagh. Ia memarkir mobilnya di sana. Mobil lain menunggunya dengan dua pria di dalam. Mereka bermobil lagi selama sepuluh menit di Sunrise Highway dan berbelok memasuki jalan taman.
Rocco Lampone, meninggalkan kedua pria lain di mobil, berjalan ke salah satu bungalo yang ada. Satu tendangan melepaskan daun pintunya dari engsel dan Rocco menghambur masuk ke kamar.
Phillip Tattaglia, tujuh puluh tahun dan telanjang bulat seperti bayi, berdiri di samping ranjang tempat seorang gadis muda berbaring. Rambut Phillip Tattaglia hitam legam, tapi rambut di atas kemaluannya berwarna abu-abu baja. Tubuhnya montok seperti ayam negeri. Rocco menembakkan empat peluru ke tubuhnya, semuanya di perut. Lalu ia berbalik dan berlari kembali ke mobil.
Kedua pria itu menurunkannya di stasiun Wantagh. Ia mengambil mobilnya sendiri dan kembali ke kompleks. Ia masuk untuk menemui Michael Corleone sebentar lalu keluar lagi untuk menempati posisinya di pintu gerbang.
***
Albert Neri, sendirian di apartemennya, menyelesaikan pekerjaan menyiapkan pakaian seragam. Perlahan-lahan ia mengenakannya, celana, kemeja, dasi serta jas, sarung dan sabuk pistol. Ia menyerahkan senjatanya sewaktu diskors dari kesatuan; tapi, melalui upaya administratif, mereka tidak memerintahkan dirinya mengembalikan lencana. Clemenza memberinya sepucuk pistol Police Special kaliber .38 yang baru, tidak bisa dilacak asal usulnya. Neri membongkarnya, meminyakinya, memeriksa pelatuknya, dan memasangnya kembali, menarik picunya. Ia mengisi silindernya dengan peluru dan siap berangkat.
Ia memasukkan topi polisi ke kantong kertas dan memakai mantel luar sipil untuk menyembunyikan seragamnya. Ia memandang arloji. Lima belas menit sebelum mobil menunggunya di bawah. Ia melewatkan waktu lima belas menit dengan memeriksa penampilannya di cermin. Tidak ada keraguan lagi. Ia tampak seperti polisi sebenarnya.
Mobil menunggu dengan dua anak buah Rocco Lampone di kursi depan. Neri masuk dan duduk di kursi belakang. Sementara mobil mulai berjalan ke pusat kota, sesudah mereka meninggalkan lingkungan apartemen, ia menanggalkan mantel luar sipilnya dan meninggalkannya di lantai mobil. Ia merobek kantong kertas dan mengenakan topi polisi.
Di 55 th Street dan Fifth Avenue mobil berhenti di tepi jalan dan Neri keluar. Ia mulai menyusuri jalan raya. Ia merasa aneh karena bertugas kembali dengan pakaian seragam, berpatroli di jalan seperti yang dulu dilakukannya berkali-kali. Tampak kelompok-kelompok orang. Ia berjalan ke pusat kota hingga tiba di depan Rockefeller Center, di seberang Katedral St. Patrick. Di sisi jalan raya ia melihat limusin yang dicarinya. Mobil itu diparkir sendirian di antara deretan rambu DILARANG PARKIR dan DILARANG BERHENTI. Neri memperlambat langkah. Ia datang terlalu awal. Ia berhenti untuk menulis di buku tilang, lalu meneruskan perjalanan. Sekarang ia berada di sisi limusin. Ia mengetuk spatbornya dengan tongkat polisi. Sopirnya menengadah keheranan. Neri menunjuk ke rambu DILARANG BERHENTI dengan tongkat dan memberi isyarat agar sopir memindahkan mobil. Sopir itu membuang muka.
Neri bergerak ke tengah jalan agar bisa berdiri di sisi jendela sopir yang terbuka. Sopirnya bajingan yang tampak tangguh, jenis yang paling disukai Neri untuk diberi pelajaran. Neri berkata dengan sikap menghina yang disengaja. "Oke, jagoan, kau ingin kutilang atau kaupindahkan mobilmu?"
Sopir berkata datar, "Sebaiknya kauperiksa catatan di kantormu. Berikan saja surat tilangnya kalau itu membuatmu senang."
"Sialan, pergi dari sini," kata Neri, "kalau tidak, kuseret kau keluar mobil dan kuhajar hingga babak-belur."
Sopir mengeluarkan sehelai uang sepuluh dolar dengan kecepatan pesulap, melipatnya menjadi segiempat kecil dengan satu tangan, dan mencoba menjejalkannya ke balik kemeja Neri. Neri mundur ke trotoar dan menekuk telunjuknya ke arah sopir. Sopir turun dari mobil.
"Coba lihat SIM dan surat-surat mobilmu," kata Neri. Tadinya ia berharap bisa memaksa sopir mengelilingi blok, tapi sekarang tidak mungkin lagi. Dari sudut matanya, Neri melihat tiga pria pendek tegap menuruni tangga gedung Plaza, menuju ke jalan. Mereka adalah Barzini dan dua pengawal pribadinya, dalam perjalanan menemui Michael Corleone. Sementara ia melihat semua ini, salah seorang pengawal mendahului ke depan untuk melihat apa yang tidak beres dengan mobil Barzini.
Orang itu bertanya pada sopir, "Ada apa?"
Sopir berkata singkat, "Aku kena tilang, tidak usah khawatir. Rupanya ia orang baru di kantor polisi."
Saat itu Barzini tiba bersama pengawal pribadinya yang lain. Ia menggeram, "Sialan, apa lagi sekarang?"
Neri menyelesaikan menulis surat tilang dan memberikannya kepada sopir beserta SIM dan surat-surat mobil. Lalu ia memasukkan kembali buku tilang ke saku belakang celana dan bersamaan dengan gerakan tangan ke depan, mencabut pistol Special kaliber .38-nya.
Ia menyarangkan tiga peluru ke dada Barzini yang bulat seperti tong sebelum ketiga pria lain pulih dari keterkejutan mereka dan berlindung. Pada waktu itu Neri telah menghambur ke tengah keramaian dan berbelok di tikungan jalan ke tempat mobil menunggu dirinya. Mobil membawanya melaju sepanjang Ninth Avenue dan berbelok ke arah pusat kota. Dekat Chelsea Park, Neri, yang telah membuang topi polisi dan mengenakan mantel luar serta berganti pakaian, pindah ke mobil lain yang menunggu. Ia meninggalkan pistol dan seragam polisi di mobil pertama. Mobil itu akan disingkirkan. Satu jam kemudian ia telah aman di dalam kompleks Long Beach dan bercakap-cakap dengan Michael Corleone.
Tessio menunggu di dapur rumah lama Don dan minum secangkir kopi sewaktu Tom Hagen mendekatinya. "Mike siap menerimamu sekarang," kata Hagen. "Sebaiknya kauhubungi Barzini dan minta ia berangkat sekarang."
Tessio bangkit dan mendekati telepon di dinding. Ia memutar nomor kantor Barzini di New York dan berkata singkat, "Kami dalam perjalanan ke Brooklyn." Ia meletakkan telepon dan tersenyum pada Hagen. "Mudah-mudahan Mike melakukan transaksi yang baik bagi kita malam ini."
Hagen berkata muram, "Aku yakin ia akan mendapatkannya." Ia mengantar Tessio keluar dari dapur dan ke halaman kompleks.
Mereka berjalan ke rumah Michael. Di pintu mereka dihentikan salah seorang pengawal. "Kata Bos, ia akan pergi dengan mobil lain. Ia meminta kalian berdua terus saja."
Tessio mengernyit dan berpaling pada Hagen. "Sialan, ia tidak bisa berbuat begitu. Itu merusak semua rencanaku."
Pada saat itu tiga pengawal muncul di sekeliling mereka. Hagen berkata lembut, "Aku juga tidak bisa ikut bersamamu, Tessio."
Caporegime yang wajahnya seperti cerpelai itu memahami segalanya dalam sepersekian detik. Dan menerimanya. Sejenak ia merasakan kelemahan fisik, lalu pulih kembali. Ia berkata pada Hagen, "Katakan pada Mike ini bisnis semata, aku sejak dulu menyukai dirinya."
Hagen mengangguk. "Ia mengerti."
Tessio terdiam sesaat, lalu bertanya perlahan, "Tom, bisakah kau melepaskanku dari jerat ini? Demi persahabatan kita?"
Hagen menggeleng. "Tidak bisa," katanya.
Ia mengawasi Tessio yang dikelilingi pengawal dan disuruh masuk ke mobil yang menunggu. Ia agak mual. Tessio dulu prajurit paling baik dalam Keluarga Corleone. Don tua mengandalkan dirinya melebihi orang lain kecuali Luca Brasi. Sayang sekali orang begitu cerdas membuat kesalahan fatal dalam penilaian setelah berusia lanjut.
***
Carlo Rizzi masih menunggu pertemuan dengan Michael, gelisah melihat orang-orang yang datang dan pergi. Jelas sekali sesuatu yang besar sedang terjadi dan kelihatannya ia akan ditinggalkan. Dengan tidak sabar ia menelepon Michael. Salah seorang penjaga rumah menerima teleponnya, menemui Michael, dan kembali dengan pesan bahwa Michael menginginkan Carlo duduk diam dulu, gilirannya akan segera tiba.
Carlo menelepon gundiknya lagi dan mengatakan pada wanita itu bahwa ia pasti bisa mengajaknya makan malam lalu akan tidur di sana. Michael bilang akan segera memanggil dirinya. Apa pun yang direncanakannya tidak akan memakan waktu lebih dari satu atau dua jam. Lalu ia akan membutuhkan waktu empat puluh menit untuk bermobil ke Westbury. Itu bisa dilakukan. Ia berjanji akan bisa melakukannya dan dengan kata-kata manis membujuk wanita tersebut agar tidak marah. Setelah meletakkan telepon, Carlo memutuskan mengenakan pakaian yang pantas agar bisa menghemat waktu nanti. Ia baru saja mengenakan kemeja baru sewaktu terdengar ketukan di pintu.
Dengan cepat ia menarik kesimpulan bahwa Mike tadi berusaha menghubunginya lewat telepon dan mendengar nada sibuk sehingga lalu mengirim anak buahnya untuk memanggil dirinya.
Carlo pergi ke pintu dan membukanya. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas karena ketakutan setengah mati. Michael Corleone berdiri di ambang pintu, wajahnya bagai wajah malaikat maut yang sering dilihat Carlo Rizzi dalam mimpi. Di belakang Michael Corleone berdiri Hagen dan Rocco Lampone. Wajah mereka tampak muram, seperti orang yang datang dengan enggan untuk menyampaikan kabar buruk pada sahabat. Mereka bertiga masuk ke rumah dan Carlo Rizzi mengantar mereka ke ruang duduk. Sesudah pulih dari guncangan pertama yang dirasakannya, ia merasa sarafnya kacau. Kata-kata Michael menyebabkan ia sakit, perutnya mual.
"Kau harus menjelaskan kematian Santino," kata Michael.
Carlo tidak menjawab, pura-pura tidak mengerti. Hagen dan Lampone berpencar ke dinding yang berseberangan. Carlo dan Michael berhadapan.
"Kau menjebak Santino untuk anak buah Barzini," kata Michael suaranya datar. "Sandiwara kecil yang kaumainkan dengan adikku, apakah Barzini meyakinkanmu bahwa itu bisa membodohi seorang Corleone?"
Carlo Rizzi berbicara karena ketakutan yang luar biasa, tanpa martabat, tanpa harga diri apa pun. "Aku bersumpah tidak bersalah. Mike, jangan berbuat begini padaku, kumohon, Mike, jangan berbuat begini padaku."
Michael berkata pelan, "Barzini sudah mati. Begitu juga Phillip Tattaglia. Aku ingin membereskan semua perhitungan Keluarga malam ini. Jadi tidak perlu kaukatakan kau tidak bersalah. Lebih baik akui saja apa yang kaulakukan."
Hagen dan Lampone memandang takjub Michael. Mereka berpikir Michael belum setingkat ayahnya. Kenapa berusaha memaksa pengkhianat ini mengakui kesalahan? Kesalahan itu telah terbuka, semaksimal hal seperti itu bisa dibuktikan. Jawabannya sudah jelas. Michael belum yakin ia benar, masih takut ia bertindak tidak adil, masih mengkhawatirkan secuil ketidakpastian yang hanya bisa dihapus dengan pengakuan Carlo Rizzi.
Tetap belum ada jawaban. Michael berkata dengan nada yang hampir lemah lembut, "Jangan ketakutan begitu. Apakah menurutmu aku akan menjadikan adikku janda? Apakah menurutmu aku akan menjadikan para keponakanku yatim? Bagaimanapun aku ayah baptis salah satu anakmu. Tidak, hukumanmu adalah kau tidak lagi diperbolehkan bekerja untuk Keluarga. Aku akan menempatkanmu dalam pesawat ke Vegas untuk bergabung dengan istri dan anak-anakmu, sesudah itu kuminta kau tetap tinggal di sana. Akan kukirim tunjangan kesejahteraan untuk Connie. Hanya itu. Tapi jangan terus mengatakan kau tidak bersalah, jangan menghina kecerdasanku dan membuatku marah. Siapa yang menghubungimu, Tattaglia atau Barzini?"
Dalam harapan penuh penderitaan untuk tetap hidup, dalam kelegaan luar biasa karena tidak akan dibunuh, Carlo Rizzi berbisik, "Barzini."
"Bagus, bagus," kata Michael pelan. Ia memberi isyarat dengan tangan kanannya. "Kuminta kau pergi sekarang. Ada mobil yang menunggu untuk membawamu ke bandara."
Carlo keluar lebih dulu dari pintu, dan tiga pria lainnya dekat sekali di belakangnya. Sekarang sudah malam, tapi kompleks seperti biasa terang benderang oleh cahaya lampu sorot. Mobil berhenti. Carlo melihat itu mobilnya sendiri. Ia tidak mengenali pengemudinya. Ada seseorang duduk di belakang, tapi pada sisi yang jauh. Lampone membuka pintu depan dan memberi isyarat memerintahkan Carlo masuk.
Michael berkata, "Akan kutelepon istrimu dan memberitahukan kau dalam perjalanan ke sana."
Carlo masuk ke mobil. Kemeja sutranya basah kuyup oleh keringat. Mobil meluncur, melaju ke pintu gerbang. Carlo hendak berpaling untuk melihat apakah ia mengenal pria yang duduk di belakang. Saat itu Clemenza, dengan kelincahan gadis cilik yang mengalungkan pita di kepala kucing, melilitkan tali di leher Carlo Rizzi. Tali yang licin itu menancap ke kulit leher akibat tarikan Clemenza yang kuat. Tubuh Carlo Rizzi terlonjak ke atas seperti ikan di ujung tali pancing. Tapi Clemenza memeganginya erat-erat, menarik tali hingga tubuh Carlo lemas. Tiba-tiba tercium bau busuk yang menusuk hidung dalam mobil. Saat ia menjelang ajal, dubur Carlo membuka dan mengeluarkan isi perutnya. Clemenza tetap menarik tali sekuat tenaga selama beberapa menit lagi untuk meyakinkan, lalu melepaskan talinya dan mengantonginya kembali. Ia menyandar ke kursi mobil sementara tubuh Carlo merosot ke pintu. Beberapa saat kemudian Clemenza menurunkan kaca jendela untuk menghilangkan bau busuk.
Kemenangan Keluarga Corleone telah lengkap. Dalam waktu 24 jam itu juga, Clemenza dan Lampone melepaskan regime mereka dan menghukum para penyusup ke dalam wilayah kekuasaan Corleone. Neri dikirim untuk mengambil alih komando regime Tessio. Para penjual kupon taruhan Barzini dihentikan bisnisnya. Dua diantara para prajurit tingkat tinggi Barzini ditembak mati sewaktu mereka dengan tenang mencungkili gigi sesudah makan malam di restoran Italia di Mulberry Street. Manipulator pacuan kuda yang terkenal jahatnya juga dibunuh dalam perjalanan pulang ke rumah membawa kemenangannya malam itu. Dua lintah darat terbesar di kawasan pelabuhan menghilang, dan ditemukan berbulan-bulan kemudian di rawa New Jersey.
Dengan satu serangan keji ini Michael Corleone memperoleh reputasi sekaligus memulihkan Keluarga Corleone ke tempat pertama di antara Keluarga-Keluarga New York. Ia dihormati bukan hanya karena taktiknya yang cemerlang, tapi juga karena beberapa caporegime paling penting dalam Keluarga Barzini maupun Keluarga Tattaglia segera berpindah ke pihaknya. Kemenangan itu seharusnya sempurna bagi Michael Corleone, kalau saja adiknya Connie tidak histeris.
Connie terbang pulang bersama ibunya, dan anak-anaknya ditinggalkan di Las Vegas. Ia menahan kesedihannya sebagai janda hingga limusin berhenti di kompleks. Lalu, sebelum ibunya sempat mencegah, ia berlari menyeberangi jalan ke rumah Michael Corleone. Ia menghambur menerobos pintu dan mendapatkan Michael Corleone bersama Kay di ruang duduk. Kay menyambut hendak menghibur dan memeluknya dengan kasih sayang kakak, tapi seketika berhenti begitu Connie mulai menjerit-jerit pada Michael, menghamburkan kutukan dan ancaman. "Dasar keparat sialan," jeritnya. "Kau membunuh suamiku. Kau menunggu hingga Papa meninggal dan tidak ada yang menghalangimu untuk membunuhnya. Kau membunuhnya. Kau menyalahkan dia atas kematian Sonny, kau selalu begitu, semua orang begitu. Tapi kau tidak pernah memikirkan diriku. Apa yang akan kulakukan sekarang, apa yang akan kulakukan?" Ia terus menjerit dan meratap. Dua pengawal pribadi Michael datang di belakangnya dan menunggu perintah dari Michael.
Tapi Michael hanya berdiri diam hingga adiknya selesai.
Kay berkata dengan suara terguncang, "Connie, kau kalut, jangan mengucapkan kata-kata seperti itu."
Connie pulih dari histerianya. Suaranya mengandung racun mematikan. "Menurutmu kenapa ia selalu bersikap dingin padaku? Menurutmu kenapa ia mempertahankan Carlo di kompleks sini? Selama ini ia tahu akan membunuh suamiku. Tapi ia tidak berani waktu ayahku masih hidup. Papa pasti mencegahnya. Ia mengetahuinya. Ia hanya menunggu. Lalu ia menjadi ayah baptis anakku hanya untuk mengalihkan perhatian. Keparat berhati dingin. Menurutmu kau mengenal suamimu? Kau tahu berapa banyak orang yang dibunuhnya selain Carlo? Baca saja koran. Barzini, Tattaglia, dan yang lainnya. Kakakku membunuh mereka semua."
Connie kembali histeris. Ia berusaha meludahi wajah Michael tapi mulutnya kering.
"Bawa ia pulang dan panggilkan dokter," kata Michael. Seketika kedua pengawalnya menangkap lengan Connie dan menariknya ke luar rumah.
Kay masih terguncang, masih ngeri. Ia bertanya pada suaminya. "Apa yang membuatnya mengatakan semua itu, Michael, apa yang menyebabkan ia percaya begitu?"
Michael mengangkat bahu. "Ia histeris."
Kay memandang lurus ke matanya. "Michael, itu tidak benar, bukan? Tolong katakan ini tidak benar."
Michael menggeleng jengkel. "Tentu saja tidak. Tapi percayalah padaku, sekali ini saja kau kuizinkan bertanya mengenai urusanku, dan aku akan menjawabnya. Itu tidak benar."
Michael tidak bisa lebih meyakinkan lagi. Ia memandang lurus ke mata Kay. Ia menggunakan rasa saling percaya yang telah mereka bina sejak menikah agar Kay mempercayainya. Dan Kay tidak meragukannya lagi. Ia tersenyum malu-malu kepada Michael dan masuk ke pelukan Michael untuk dicium.
"Kita berdua perlu minum," kata Kay. Ia pergi ke dapur untuk mengambil es dan sementara berada di sana, mendengar suara pintu depan dibuka. Ia keluar dari dapur dan melihat Clemenza, Neri, dan Rocco Lampone masuk bersama para pengawal. Michael memunggungi dirinya, tapi Kay berpindah tempat sehingga bisa melihat sosoknya. Saat itu Clemenza memanggil suaminya, menyapanya secara resmi.
"Don Michael," kata Clemenza.
Kay bisa melihat bagaimana Michael berdiri menerima penghormatan mereka. Michael mengingatkan Kay pada patung-patung di Roma, patung-patung kaisar Romawi kuno, yang dengan hak surgawi berkuasa atas hidup dan mati sesama manusia. Satu tangan Michael diletakkan di pinggul, profil wajahnya memperlihatkan kekuasaan yang penuh kebanggaan dan dingin, tubuhnya santai dengan sikap angkuh, berat tubuhnya bertumpu pada satu kaki yang diletakkan agak di belakang kakinya yang lain. Para caporegime berdiri di depannya. Saat itu Kay mengetahui segala yang dituduhkan Connie pada Michael memang benar. Kay kembali ke dapur dan menangis.
***