Day 2
Chapter 3 - When The Nature Presents Itself
Fajar telah tiba. Beberapa saat lalu Sandra telah bangun dari tidurnya dan masuk ke kamar mandi. Begitu muncul kembali ia langsung berjalan ke arah jendela.
"Wow!!," serunya penuh kekaguman dengan spontan ketika ia memandang ke luar.
"This is really amazing!"
Segera ia membuka pintu ke arah balkon di depan kamarnya dan berdiri disana menikmati keindahan alam yang dengan gamblang terpampang di depannya.
Matahari pagi mulai bersinar, membuat rona langit berubah menjadi kuning keemasan. Sejumlah awan yang diterpa sinar matahari pagi membuat panorama langit menjadi begitu indah semarak. Di bawahnya nampak hamparan hijau hutan pegunungan yang sambung menyambung yang sebagian darinya mulai diterangi cahaya keemasan sang fajar. Sementara di sejumlah tempat yang belum terjangkau oleh sinar matahari, sejumlah kabut nampak masih menyelimuti pepohonan hijau itu.
This is how the nature works, gumam Sandra. Dua hal yang sepertinya bertolak belakang namun ternyata bisa co-exist secara bersamaan. Bahkan perbedaan yang kontras itu membuat segala sesuatunya jadi terasa surreal dan terlihat dramatis.
Sandra menghentikan lamunannya. Ia menoleh ke arah lain. Dilihatnya hamparan lembah yang cukup luas yang sungguh kontras dengan jajaran pegunungan di dekatnya. Di lembah itu terdapat dua sungai yang kira-kira sama besarnya dan berarus cukup deras. Mata Sandra bergerak mengikuti aliran kedua sungai itu. Salah satu sungai berasal dari anak gunung di dekat lembah. Sementara sungai yang lain berasal dari posisi yang berbeda. Kedua sungai itu mengalir sejajar untuk beberapa saat sebelum akhirnya keduanya bertemu dan bergabung menjadi satu.
The Confluence.... Aku dan Ferry ibarat dua sungai itu, batinnya. Awalnya kami tidak saling kenal sebelum kemudian sempat berjalan beriringan sebelum akhirnya nanti bergabung menjadi satu. Ia terus memandang titik pertemuan kedua sungai itu cukup lama. That confluence is the day when we get married. Setelah itu kita akan bergabung menjadi satu sungai besar. "Setelah married... hidupmu, hidup kalian berdua akan berubah. Kalian bukan dua orang yang terpisah lagi, tetapi satu keluarga," kata-kata Mami-nya kemarin terngiang di dalam pikirannya.
Tapi.... aliran sungai itu terlalu deras. Pesta pernikahannya akan dilangsungkan dua minggu lagi. Semua ini berjalan terlalu cepat rasanya bagi dirinya. Ia merasa belum siap meninggalkan identitas pribadinya untuk meleburkan diri ke dalam sebuah keluarga. Tak ada yang salah dengan Ferry. Ia pemuda pilihan yang cemerlang, cerdas, keren, menyenangkan, dan berasal dari latar belakang keluarga yang kurang lebih sama dengannya. Most importantly, she loves him so much.
Ia sadar masalahnya bukan pada diri Ferry namun di dirinya. Ia masih ingin menjadi "Miss Sandra" bukan Mrs. titik-titik (nama belakang suaminya). Hmm, seandainya saja arus air itu bisa dikurangi kecepatannya, atau di-pause untuk beberapa saat.. batinnya sambil memandang lekat titik confluence itu. Atau lebih baik lagi, seandainya bisa berpindah melompat ke hutan atau pegunungan di sebelah sana untuk berpetualang sebentar sebelum kemudian kembali meneruskan perjalanan asalnya setelah puas berkelana... gumamnya.
Sandra terus melamun sambil memandangi indahnya panorama alam yang seolah disediakan untuknya itu. Ia merasa kagum dengan kejelian mata ayahnya ketika "menemukan" daerah ini dan membangun vila disini. Sehingga kini ia, sebagai putrinya, mampu menikmati pengalaman "pertemuan tatap muka langsung dengan Sang Alam" dengan sensasi multi-sensory seperti saat ini. Tak hanya indra visualnya saja yang dimanjakan dengan pemandangan indah saat itu. Namun juga indra-indranya yang lain dengan udara bersih pegunungan yang menyegarkan dengan semilir angin lembut yang terkadang memainkan sebagian rambutnya. Selain juga sekaligus membawa aroma alam yang harum alamiah. Sementara kicau merdu burung-burung yang sahut-menyahut menambah meriahnya suasana alam yang penuh dengan keceriaan itu.
Semua itu membuat dirinya betah berlama-lama untuk terus berdiri di balkon jendela kamarnya.
Satu hal yang mungkin tak disadari olehnya atau mungkin saat ini ia tak terlalu peduli akan hal itu, saat ini dirinya juga menampilkan "pemandangan alam" dengan keindahan serta sensasi yang tak kalah WOW-nya dibanding apa yang ditampilkan oleh alam sekitarnya. Ia masih memakai daster tipis menerawangnya yang kemarin, tanpa apa-apa di baliknya, juga tanpa apa-apa di luarnya. Membuat keindahan "gunung, lembah, hutan, dan rawa" pada dirinya terlihat begitu jelas dan nyata.
Saat itu memang tak ada orang yang melihat dirinya. Balkon kamarnya ini terletak di lantai dua dengan unobstructed view sejauh mata memandang. Sementara di bawahnya adalah jurang. Baik halaman, taman, maupun tempat dimana para pegawainya biasa berada terletak di sisi sebaliknya. Demikian pula dengan desa Wonoselo tempat perkampungan penduduk desa. Sehingga tempat ia berada saat ini boleh dikata cukup aman.
Namun seandainya ada yang sempat melihatnya pun, mungkin dirinya juga tak terlalu peduli. Karena baginya ia adalah majikan sekaligus pemilik tempat ini. Sementara mereka semua adalah pegawai dan pembantunya. Bukankah aturan yang ada selama ini, pembantu selalu menurut dengan majikan?
--@@@@--
Di dalam hutan lebat itu...
Sosok tubuh hitam lusuh itu menghentikan langkahnya. Ia mengambil beberapa dedaunan jenis tertentu yang kemudian digerus dengan batu dan dicampur dengan air. Kemudian campuran itu ditempelkan pada luka-luka di tubuhnya. "Aaahh!" Ia mengerang kesakitan setiap kali lukanya tertoreh oleh campuran dedaunan itu. Namun ia tak mempedulikannya. Satu-persatu seluruh lukanya dioles oleh campuran dedaunan itu.
Setelah itu ia berjalan tanpa mempedulikan luka-luka di tubuhnya. Bagian atas tubuhnya telanjang karena bajunya telah dipakai untuk membalut lukanya semalam. Sehingga memperlihatkan dadanya yang cukup banyak bertato.
Sampai akhirnya tibalah ia di sungai kecil yang arusnya cukup deras. Ia termenung sejenak. Dengan tenaganya yang luar biasa diseretnya sebuah batang pohon besar yang telah mati ke tepi sungai.
Namun, tiba-tiba... ular kobra! Seekor ular king cobra muncul di balik batang itu. Melihat adanya "si pengganggu", ular itu menegakkan dirinya sambil mendesis dengan marah. Pandangan tajam serta bahasa tubuhnya menunjukkan kalau ia siap menyerang.
Sementara itu ia juga memandang tajam ke arah ular tersebut. Sebagai orang tempaan yang telah lama hidup di dunia hitam yang setiap saat selalu mengandung unsur bahaya, ia tahu kalau dirinya lari dan menunjukkan rasa takut maka naluri pembunuh ular itu akan dengan spontan langsung bekerja.
Siapa yang kuat dia akan menang. Siapa yang lemah, ia akan jadi pecundang. Itulah hukum alam yang berlaku dimana-mana, termasuk di dunia hitam maupun di dalam rimba seperti saat ini.
Untuk beberapa saat terjadi stand off yang menegangkan antara dirinya dan ular kobra itu. Pemburu lawan pemburu. Pembunuh lawan pembunuh...
Ia menyadari bahaya fatal terhadap dirinya saat ini. Ia tak mungkin bisa melawan kecepatan ular ini seandainya ia menyerang dan mematuknya. Apabila itu terjadi, ia tak akan mampu bertahan terhadap racun bisanya. Namun satu hal yang diketahuinya pasti.. sebelum ia mati karena racun ular ini, terlebih dahulu ia akan membuat ular ini mati dengan sangat menderita. Dan pesan itu ia pancarkan dengan sangat kuat lewat pandangan mata mencorongnya kepada ular tersebut.
Sampai akhirnya... ular itu nampak surut mentalnya. Ia menurunkan tubuhnya dan segera beringsut pergi menjauhi tempat itu. Sementara dirinya membiarkan ular itu pergi dan menghilang dengan selamat.
The winner has been decided.
Chapter 3 - When The Nature Presents Itself
Fajar telah tiba. Beberapa saat lalu Sandra telah bangun dari tidurnya dan masuk ke kamar mandi. Begitu muncul kembali ia langsung berjalan ke arah jendela.
"Wow!!," serunya penuh kekaguman dengan spontan ketika ia memandang ke luar.
"This is really amazing!"
Segera ia membuka pintu ke arah balkon di depan kamarnya dan berdiri disana menikmati keindahan alam yang dengan gamblang terpampang di depannya.
Matahari pagi mulai bersinar, membuat rona langit berubah menjadi kuning keemasan. Sejumlah awan yang diterpa sinar matahari pagi membuat panorama langit menjadi begitu indah semarak. Di bawahnya nampak hamparan hijau hutan pegunungan yang sambung menyambung yang sebagian darinya mulai diterangi cahaya keemasan sang fajar. Sementara di sejumlah tempat yang belum terjangkau oleh sinar matahari, sejumlah kabut nampak masih menyelimuti pepohonan hijau itu.
This is how the nature works, gumam Sandra. Dua hal yang sepertinya bertolak belakang namun ternyata bisa co-exist secara bersamaan. Bahkan perbedaan yang kontras itu membuat segala sesuatunya jadi terasa surreal dan terlihat dramatis.
Sandra menghentikan lamunannya. Ia menoleh ke arah lain. Dilihatnya hamparan lembah yang cukup luas yang sungguh kontras dengan jajaran pegunungan di dekatnya. Di lembah itu terdapat dua sungai yang kira-kira sama besarnya dan berarus cukup deras. Mata Sandra bergerak mengikuti aliran kedua sungai itu. Salah satu sungai berasal dari anak gunung di dekat lembah. Sementara sungai yang lain berasal dari posisi yang berbeda. Kedua sungai itu mengalir sejajar untuk beberapa saat sebelum akhirnya keduanya bertemu dan bergabung menjadi satu.
The Confluence.... Aku dan Ferry ibarat dua sungai itu, batinnya. Awalnya kami tidak saling kenal sebelum kemudian sempat berjalan beriringan sebelum akhirnya nanti bergabung menjadi satu. Ia terus memandang titik pertemuan kedua sungai itu cukup lama. That confluence is the day when we get married. Setelah itu kita akan bergabung menjadi satu sungai besar. "Setelah married... hidupmu, hidup kalian berdua akan berubah. Kalian bukan dua orang yang terpisah lagi, tetapi satu keluarga," kata-kata Mami-nya kemarin terngiang di dalam pikirannya.
Tapi.... aliran sungai itu terlalu deras. Pesta pernikahannya akan dilangsungkan dua minggu lagi. Semua ini berjalan terlalu cepat rasanya bagi dirinya. Ia merasa belum siap meninggalkan identitas pribadinya untuk meleburkan diri ke dalam sebuah keluarga. Tak ada yang salah dengan Ferry. Ia pemuda pilihan yang cemerlang, cerdas, keren, menyenangkan, dan berasal dari latar belakang keluarga yang kurang lebih sama dengannya. Most importantly, she loves him so much.
Ia sadar masalahnya bukan pada diri Ferry namun di dirinya. Ia masih ingin menjadi "Miss Sandra" bukan Mrs. titik-titik (nama belakang suaminya). Hmm, seandainya saja arus air itu bisa dikurangi kecepatannya, atau di-pause untuk beberapa saat.. batinnya sambil memandang lekat titik confluence itu. Atau lebih baik lagi, seandainya bisa berpindah melompat ke hutan atau pegunungan di sebelah sana untuk berpetualang sebentar sebelum kemudian kembali meneruskan perjalanan asalnya setelah puas berkelana... gumamnya.
Sandra terus melamun sambil memandangi indahnya panorama alam yang seolah disediakan untuknya itu. Ia merasa kagum dengan kejelian mata ayahnya ketika "menemukan" daerah ini dan membangun vila disini. Sehingga kini ia, sebagai putrinya, mampu menikmati pengalaman "pertemuan tatap muka langsung dengan Sang Alam" dengan sensasi multi-sensory seperti saat ini. Tak hanya indra visualnya saja yang dimanjakan dengan pemandangan indah saat itu. Namun juga indra-indranya yang lain dengan udara bersih pegunungan yang menyegarkan dengan semilir angin lembut yang terkadang memainkan sebagian rambutnya. Selain juga sekaligus membawa aroma alam yang harum alamiah. Sementara kicau merdu burung-burung yang sahut-menyahut menambah meriahnya suasana alam yang penuh dengan keceriaan itu.
Semua itu membuat dirinya betah berlama-lama untuk terus berdiri di balkon jendela kamarnya.
Satu hal yang mungkin tak disadari olehnya atau mungkin saat ini ia tak terlalu peduli akan hal itu, saat ini dirinya juga menampilkan "pemandangan alam" dengan keindahan serta sensasi yang tak kalah WOW-nya dibanding apa yang ditampilkan oleh alam sekitarnya. Ia masih memakai daster tipis menerawangnya yang kemarin, tanpa apa-apa di baliknya, juga tanpa apa-apa di luarnya. Membuat keindahan "gunung, lembah, hutan, dan rawa" pada dirinya terlihat begitu jelas dan nyata.
Saat itu memang tak ada orang yang melihat dirinya. Balkon kamarnya ini terletak di lantai dua dengan unobstructed view sejauh mata memandang. Sementara di bawahnya adalah jurang. Baik halaman, taman, maupun tempat dimana para pegawainya biasa berada terletak di sisi sebaliknya. Demikian pula dengan desa Wonoselo tempat perkampungan penduduk desa. Sehingga tempat ia berada saat ini boleh dikata cukup aman.
Namun seandainya ada yang sempat melihatnya pun, mungkin dirinya juga tak terlalu peduli. Karena baginya ia adalah majikan sekaligus pemilik tempat ini. Sementara mereka semua adalah pegawai dan pembantunya. Bukankah aturan yang ada selama ini, pembantu selalu menurut dengan majikan?
--@@@@--
Di dalam hutan lebat itu...
Sosok tubuh hitam lusuh itu menghentikan langkahnya. Ia mengambil beberapa dedaunan jenis tertentu yang kemudian digerus dengan batu dan dicampur dengan air. Kemudian campuran itu ditempelkan pada luka-luka di tubuhnya. "Aaahh!" Ia mengerang kesakitan setiap kali lukanya tertoreh oleh campuran dedaunan itu. Namun ia tak mempedulikannya. Satu-persatu seluruh lukanya dioles oleh campuran dedaunan itu.
Setelah itu ia berjalan tanpa mempedulikan luka-luka di tubuhnya. Bagian atas tubuhnya telanjang karena bajunya telah dipakai untuk membalut lukanya semalam. Sehingga memperlihatkan dadanya yang cukup banyak bertato.
Sampai akhirnya tibalah ia di sungai kecil yang arusnya cukup deras. Ia termenung sejenak. Dengan tenaganya yang luar biasa diseretnya sebuah batang pohon besar yang telah mati ke tepi sungai.
Namun, tiba-tiba... ular kobra! Seekor ular king cobra muncul di balik batang itu. Melihat adanya "si pengganggu", ular itu menegakkan dirinya sambil mendesis dengan marah. Pandangan tajam serta bahasa tubuhnya menunjukkan kalau ia siap menyerang.
Sementara itu ia juga memandang tajam ke arah ular tersebut. Sebagai orang tempaan yang telah lama hidup di dunia hitam yang setiap saat selalu mengandung unsur bahaya, ia tahu kalau dirinya lari dan menunjukkan rasa takut maka naluri pembunuh ular itu akan dengan spontan langsung bekerja.
Siapa yang kuat dia akan menang. Siapa yang lemah, ia akan jadi pecundang. Itulah hukum alam yang berlaku dimana-mana, termasuk di dunia hitam maupun di dalam rimba seperti saat ini.
Untuk beberapa saat terjadi stand off yang menegangkan antara dirinya dan ular kobra itu. Pemburu lawan pemburu. Pembunuh lawan pembunuh...
Ia menyadari bahaya fatal terhadap dirinya saat ini. Ia tak mungkin bisa melawan kecepatan ular ini seandainya ia menyerang dan mematuknya. Apabila itu terjadi, ia tak akan mampu bertahan terhadap racun bisanya. Namun satu hal yang diketahuinya pasti.. sebelum ia mati karena racun ular ini, terlebih dahulu ia akan membuat ular ini mati dengan sangat menderita. Dan pesan itu ia pancarkan dengan sangat kuat lewat pandangan mata mencorongnya kepada ular tersebut.
Sampai akhirnya... ular itu nampak surut mentalnya. Ia menurunkan tubuhnya dan segera beringsut pergi menjauhi tempat itu. Sementara dirinya membiarkan ular itu pergi dan menghilang dengan selamat.
The winner has been decided.