Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar

Bimabet
Keramaian masih terdengar. Aku yang berada di kamar tidur itu, coba mengintip dari balik pintu kamar. Untung saja anak gadis kecilnya tetap tidur di tengah kehebohan. Tapi, siapakah orang-orang yang menggeruduk kami malam ini? Apakah ada yang mengetahui kehadiranku di rumah ini? Akankah hubungan terlarang ini telah diketahui orang dan malam ini adalah kesempatan mereka melakukan penggerebekan? Aku tidak tahu. Yang pasti aku harus bersiap menyelamatkan diri agar tidak tertangkap oleh massa.

Ketukan di pintu semakin kuat dan tambah ramai. Istri kakak iparku terlihat bingung. Di ruang tengah rumahnya yang lapang, serba salah dia berdiri. Untung saja dia masih sadar untuk menutupi tubuh telanjangnya. Dipakainya kembali mukenanya.

"Wak! Wak Ningsih,"terdengar suara dari luar dan pintu pun tetap diketuk-ketuk.

Istri kakak iparku yang telah rapi memakai mukena, berjalan menuju pintu. Matanya menatap ke pintu kamar tidur, barangkali untuk memastikan kalau aku sudah tidak ada lagi, lalu, dengan muka tegang, dia menghela nafas panjang dan mulai menggeser kunci pintu.

Saat pintu terbuka, dari tempatku mengintip, dapat aku lihat raut muka istri kakak iparku yang berubah cerah. Ada rasa lega di wajah manis itu. Senyumnya pun terbit. Alhamdulilah!

Istri kakak iparku mundur dua langkah, menjauhi pintu, dan seorang anak lelaki kecil berkopiah melangkah masuk, dan disusul seorang perempuan muda yang mengenakan mukena ikut masuk, sedang di ambang pintu ada beberapa kepala yang juga tertutup mukena. Mereka terlibat percakapan. Ada tawa di antara mereka. Tak lama kemudian, perempuan bermukena itu mencium tangan istri kakak iparku, begitu pula mereka yang berdiri di ambang pintu, lalu mereka melangkah keluar rumah. Sambil mengelus kepala anak lelaki tadi, isteri kakak iparku melepas kepergian gerombolan yang menggeruduk rumahnya. Istri kakak iparku melambaikan tangan dan segera menutup kembali pintu.

Aku mundur ke pintu belakang saat istri kakak iparku mendekati pintu kamar tidur. Aku tidak mau anak lelaki itu melihat keberadaanku di rumahnya. Aku takut anak lelaki itu akan menceritakannya ke banyak orang. Siapa tahu.

Ruang belakang rumah istri kakak iparku lebih luas daripada ruang tengahnya. Ruang belakang ini terdiri dari tiga ruang. Satu kamar tidur merangkap gudang, satu dapur di ujung sana tempat aku keluar, dan ruang belakang utama yang paling besar dimana meja makan berada beserta lemari makan dan pernak-pernik makan lainnya. Sambil menunggu istri kakak iparku yang sedang menidurkan anaknya, aku duduk di kursi meja makan itu.

Aku buka tudung saji. Ada sepiring kolak pisang. Kolak pisang yang disediakan khusus untukku oleh sang kekasih, seperti yang tadi dia tawarkan, barangkali. Kulahap kolak pisang itu.

Ada bayangan keluar dari kamar tidur. Aku menoleh. Ternyata istri kakak iparku yang muncul. Berjalan dia mendekat. Mukenanya telah berganti daster. Dasternya biru muda yukensi.

"Saya kira Amir pulang,"ucapnya setelah berada disampingku.

Kulingkarkan tangan ke pinggangnya dan aku tarik melekat denganku. Aroma harum tubuhnya menyergap hidungku. Aku dudukkan dia di pangkuanku.

Tangan Istri kakak iparku melingkar di leherku, menyandarkan dirinya ke tubuhku. Buah dadanya yang kenyal menempel erat, membangkitkan kembali birahi.

"Dadan minta pulang dari langgar,"tanpa diminta istri kakak iparku bercerita tentang kehebohan tadi."Langsung tidur dia."

"Tapi, kan tidak perlu sampai seramai tadi,"jawabku sambil menggelitiki pahanya.

"Anak Amirlah yang punya gawe,"ujar istri kakak iparku seraya menahan jari-jariku."Dadan tadi minta pulang. Karena bapaknya tidak bisa meninggalkan langgar, dia menyuruh Eti, anak Amir, untuk mengantarkan Dadan pulang. Tapi, karena Eti takut, dia mengajak kawan-kawannya untuk mengantar Dadan. Rupanya, meskipun sudah beramai-ramai, mereka pun masih ketakutan. Mereka saling dorong, saling jalan cepat, takut ditinggal."

"Tapi, 'kan kita yang tegang, Ceu,"ujarku.

"Apalagi burung Amir. Sudah tegang dari tadi. Sudah naik turun lagi."Senyum istri kakak iparku mengembang. Pantatnya, lalu, ditekan-tekannya ke selangkanganku.

"Nakal, ya."Jemariku menggelitiki pinggangnya. Tawa istri kakak iparku terdengar manja, diselingi jerit genitnya.

Dan, akhirnya, di ruang belakang rumahnya itu, aku ambil bibirnya. Berpagutan kami, melanjutkan permainan yang tak tertuntaskan. Liar bibir kami bergerak, seliar jemariku yang mengobok-obok kemaluannya.

Istri kakak iparku menghentikan pagutan bibir kami. Didorongmya wajahku menjauh. Lalu,"Jam berapa sekarang?"

Istri kakak iparku mengambil tanganku, melihat arloji yang melingkar di lenganku."Hampir jam sembilan, Amir."

"Suami Eceu pulang jam berapa dari langgar?"tukasku.

"Jam sepuluhan,"jawabnya."Warung Amir belum tutup?"

"Juju yang jaga warung."Aku turunkan istri kakak dari pangkuan."Tadi aku minta Juju yang ganti aku karena aku izin pulang. Alasannya, sakit perut."

Senyumnya terbit."Awas, nanti kualat."

"Demi bertemu sang pujaan hati, apa pun akan aku lakukan, Ceu."Sambil meremas buah dadanya yang kenyal, yang masih terhalang dasternya, aku berdiri dari dudukku. Kaos aku tarik lepaskan dan menurunkan kain sarung. Bugil aku kini.

Daster yang istri kakak iparku pakai, aku angkat. Dia meninggikan kedua tangannya untuk memudahkan daster melewati kepalanya. Setelah sama-sama telanjang, aku dorong dia ke meja makan. Berpegangan dia ke meja makan saat pantatnya aku tunggingkan meninggi.

Dari arah bawah pantatnya, aku sentuh kemaluannya. Sudah basah lubang kenikmatan itu. Terdengar lenguhan saat dua jariku menusuk ke dalam lubang basah itu sementara satu tangan lagi menggapai buah dadanya, memainkan bola yang ada di atas gunung itu.

Tanpa mau membuang waktu lagi, aku tarik dua kakinya melebar. Lalu, aku selipkan kontolku di antara dua pahanya. Istri kakak iparku menyambut batang daging mengeras itu dan mengarahkannya ke lubang kenikmatan miliknya. Ada rasa hangat aku rasakan saat kepala kontolku menyentuh lubang kemaluannya.

Kupegang pinggangnya dan lenguhan panjang terdengar karena aku benamkan kontolku ke lubang kemaluannya. Pantatku aku tarik lagi untuk kemudian kudorong maju sehingga lenguhan kembali terdengar. Begitu kontolku total menghilang dalam kedalaman lubang itu, aku mulai tarik kembali untuk kutenggelamkan lagi. Semakin lama semakin cepat kontolku aku tarik dan tekan dalam lubang kemaluannya. Desahannya terdengar deras.

Meja makan tempat kami ber-doggy style dimana istri kakak iparku tertelungkup berderit berisik. Piring-piring kotor yang tergeletak di atas meja beradu berdenting ramai. Sendok-sendok bergoyang, menimbulkan bunyi, dalam gelas-gelas kosong yang belum sempat di cuci. Istri kakak iparku sepertinya menikmati keriuhan yang kami buat dan aku meneruskan aksiku menggagahinya.

Tubuh telanjang kami meninggalkan meja makan, keriuhan di ruang belakang pun berhenti.

"Pindah ke kamar, ya, Ceu?"ajakku.

Mengangguk dia. Pasrah dia saat kubopong dia dan membawanya masuk ke kamar. Tapi, tertegun kami saat melihat ke tempat tidur.

"Kasur penuh, nih,"ujarku kepada istri kakak iparku.

Bertatapan kami dan senyum merebak karena kedua anak istri kakak iparku tidak memberi ruang bagi kami untuk berbaring di kasur.

Istri kakak iparku meminta aku menurunkannya. Saat dia hendak memindahkan anaknya, kutahan dia."Kelamaan, Ceu. Nanti orang keburu datang."

Istri kakak iparku membatalkan niatnya. Dia berdiri menatap aku yang mengambil dua bantal yang tak terpakai dari tempat tidur. Bantal-bantal tadi kulempar ke lantai. Istri kakak iparku menatap heran ke arahku. Kupersembahkan satu senyumannya untuknya.

"Silakan berbaring, Ceu,"ujarku."Satu untuk kepala, satunya lagi untuk mengganjal pantat Eceu."

Istri kakak iparku mengikuti instruksiku. Dia berbaring dengan meletakkan kepalanya di bantal. Aku menyusul duduk di sampingnya. Kuambil dua pahanya dan kuangkat tinggi, lalu aku sorongkan bantal tepat dibawah pantatnya.

Sedap sekali melihat alat kelaminnya yang mengembung meninggi itu. Dua pahanya aku tarik melebar dan dengan segera aku datangi area kenikmatan itu. Saat aku cium memeknya, pantatnya meninggi, seperti menyambut kedatanganku.

Aku naik di atas tubuh istri kakak iparku. Dengan posisi 69, bertubi-tubi pahanya kuciumi dan istri kakak iparku menggeliat-geliat geli. Tawanya terdengar genit kala lidahku menjilat belahan memanjang yang berselimutkan bulu-bulu halus.

Kutempelkan kontolku di mulutnya dan dia menyambutnya. Hangat kurasa saat kontolku berada dalam mulutnya. Dikulumnya kontolku, disedotnya, dan mulutnya, dengan perlahan, maju mundur menelan kontolku. Nikmat sekali.

Sayang konsentrasi kami buyar karena terdengar panggilan dari arah depan. Istri kakak iparku melepaskan kontolku. Segera aku meninggalkan tubuhnya. Dengan terburu-buru pula istri kakak iparku bangkit. Karena dasternya tertinggal di ruang belakang, maka ditujunya lemari yang ada di pojok kamar, membuka pintunya dan mengambil pakaian.

Dari arah depan terdengar lagi panggilan di pintu. Aku mengenakan pakaian, begitu pula istri kakak iparku.

"Cepat pulang, Amir,"ucapnya was-was.

Aku mengangguk dan cepat-cepat menghilang keluar kamar. Dengan hati-hati aku mengintip keluar rumah. Setelah yakin tidak ada orang, aku pun melangkah keluar. Kutuju rumahku. Masih sepi rumahku saat aku masuk. Anak-anak belum pulang dari langgar. Istriku pun belum datang dari warung.

Berbaring aku di tempat tidur. Pikiranku kacau. Senjataku masih keras dibalik sarung. Tidak tuntasnya permainan tadi, membuat aku pusing kepala. Seandainya tadi tidak ada gangguan-gangguan, senjataku pasti sudah memuntahkan sperma sehingga libidoku tak menumpuk seperti sekarang.

Kusingkapkan kain sarung meninggi meninggalkan selangkanganku. Kontolku yang masih tegang, aku ambil dalam rangkulan jemariku. Sambil meremas daging panjang itu, memainkan kepala kontolku, aku membayangkan tubuh telanjang istri kakak iparku, membayangkan ekspresi wajahnya saat aku setubuhi, mengingat desahannya saat dia orgasme.

Kutinggalkan kontolku, kututupkan kembali selangkangan dengan kain sarung, saat pintu luar terdengar terbuka dan terdengar suara-suara perempuan. Aku pejamkan mata agar istriku mengira aku telah tertidur.
 
Aku masih memejamkan mata saat pintu kamar berderit membuka. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki mendekat dan jemari tangan menempel di dahiku. Kubuka mataku, pura-pura terbangun dari tidur.

Kutatap dia dan dengan nada lemah aku bertanya."Juju sudah pulang? Warung sudah tutup?"

"Masih sakit perutnya?"Istriku balik bertanya.

"Tidak lagi."

Juju, istriku, tersenyum."Kalau masih sakit, minum obat."

"Iya."Aku bangkit dari tidurku. Bersila di tempat tidur.

"Ini dompet hasil jualan hari ini, Bang."Aku sambut dompet yang diserahkan oleh istriku itu.

"Juju mau mandi. Gerah."Didepanku, istriku melepaskan pakaiannya. Tubuhnya montok berisi, proporsional dengan postur tubuhnya yang tinggi besar. Putih bersih badannya dan buah dadanya menggelembung penuh dibalik beha.

"Anak-anak sudah balik semua dari langgar?"tanyaku sambil menikmati keindahan tubuh setengah telanjang itu.

"Sudah."Istriku melepaskan behanya. Buah dada itu menggantung bak pepaya. Puting susunya coklat memanjang. Menggiurkan sangat tubuh istriku malam ini. Mataku seperti tak mau lepas menikmati buah dada itu.

"Selesai tarawih, mereka langsung ke warung, bantu-bantu menutup warung,"suara istriku membuyarkan pandanganku dari dua pepaya itu."Sekarang mereka sedang menonton televisi."

Tak ada rotan, akar pun jadi, tak dapat kepuasan dari istri kakak iparku, kini aku harus dapat memuaskan diri bersama istriku. Jantungku mulai berdetak cepat. Si otong pun menegang kuat. Aku ubah duduk menghadap ke arah istriku. Dengan kaki menjuntai ke bawah, aku raih tubuh telanjang itu mendekat.

Wajah kami begitu dekat, saling bertatapan. Ada sirat keterkejutan di wajah istriku saat aku ambil dua buah dadanya. Ditahannya tanganku, berusaha menghentikan aksi tanganku, tapi aku tetap melanjutkan meremas buah dadanya.

Tangan kananku aku pindahkan dari buah dadanya untuk menyentuh celana dalamnya. Ada kain yang menutupi kemaluannya. Maklum saja, di era 70-an akhir ini, pembalut wanita masih barang mewah, kalau tidak disebut langka.

"Jangan."Lemah suara istriku terdengar saat dia menahan tanganku yang hendak masuk ke dalam celana dalamnya."Juju masih kotor. Belum mandi."

Sambil menatapnya, aku berkata."Tapi, sudah tidak keluar darah lagi, kan?"

"Sudah seminggu haidnya, tinggal mandi saja."Istriku mundur, menjauhi aku. Dengan membelakangiku, istriku menurunkan celana dalamnya. Pantatnya yang putih montok menampang jelas. Kulihat dia menarik kain dari dalam celana dalamnya. Diamatinya kain itu,"Tidak keluar lagi darahnya."

Senyumku timbul. Birahi pun melonjak-lonjak mendengar ucapan istriku. Lalu,"Sudah, cepat mandi. Nanti keburu malam, keburu dingin."

Tanpa menunggu perintahku sekali lagi, Juju mengambil handuk dari hangger yang berada di belakang pintu. Dililitkannya handuk ke tubuh telanjangnya yang aduhai itu. Dia menghadap ke cermin kaca, mengambil sisir dan menyisir rambut ikalnya yang panjang sebahu. Cantik.

"Eh, malah berhias,"ucapku kesal."Cepat mandi."

Istriku menatap aku, melempar satu senyum genit yang mengundang. Lalu, ini yang menyakitkan, istriku membuka lilitan handuk yang menutupi tubuhnya, sehingga dapat aku melihat dua pepayanya dan selangkangannya yang menghitam. Seperti tanpa bersalah, handuk dia lilitkan kembali dan dia pun berjalan menuju pintu.

Mataku melotot, menatap dia yang menjauh."Jangan lama-lama mandinya!"

Istriku membuka pintu dan sebelum menghilang dibalik pintu, kembali dia menebarkan senyum genitnya. Kamar kembali sepi. Kembali aku berbaring. Menatap langit-langit, membayangkan eloknya tubuh telanjang istriku, seelok tubuh mungil istri kakak iparku yang secara rutin aku setubuhi. Lalu, kemudian semua gelap.

Tersadar aku kala pintu kamar berderit. Masih dengan berlilitkan handuk, aku lihat istriku masuk. Segar sekali melihat istriku setelah mandi. Rambutnya basah menjuntai di pundak. Titik-titik air masih menempel di kulit putih mulusnya. Sensual.

Istriku membuka lemari pakaian. Sibuk dia memilih pakaian yang ada di lemari itu. Dengan beberapa helai pakaian di tangan, dia menutup kembali pintu lemarinya. Lalu, diletakkannya pakaian yang dipegangnya ke atas kasur, disamping aku yang duduk menonton dia.

"Garuk, Bang."Di atas kasur, istriku duduk membelakangiku."Gatal punggungnya."

Dibelakangnya aku manut saja mengikuti perintahnya. Aku duduk dan istriku membiarkan handuk yang melilit tubuhnya terlepas saat handuk itu aku tarik turun agar aku bisa menggaruk punggungnya. Sambil menggaruk punggungnya, kutatap istriku dari cermin yang terpasang di lemari didepan kami. Cantik istriku. Biarpun gemuk, tapi proporsional dengan tinggi tubuhnya. Apalagi buah dadanya yang menggantung indah itu.

"Ke bawah dikit,"perintah istriku."Dekat pinggang."

Mengikuti ucapannya, jemari tanganku bergeser ke bawah, menyelusup ke dalam handuk untuk menggaruk areal sekitar pinggangnya. Dari cermin, kutatap dia yang memejamkan mata menikmati garukan tanganku.

"Ada apa?"tanya istriku saat mendapati aku, suaminya, melalui cermin kaca dari lemari yang ada didepan kami, menatap ke arahnya.
Tak ada jawaban dariku. Aku malah memberikan dia satu senyuman, lalu tangan kananku menyelusup masuk ke dalam handuk, menggapai selangkangannya, sementara tangan satuku meraih buah dadanya, meremasnya dengan nafsu.

"Anak-anak belum tidur,"ingatnya kepadaku sambil menahan aksiku di selangkangannya.

"Hei, geli, Abang."Mengabaikan kekhawatirannya, aku gelitiki pinggangnya. Teriakan istriku terdengar tertahan sementara aku terus menggelitikinya.

"Sudah, Abang, sudah."Istriku memegang tanganku, menjauhkannya dari pinggangnya."Nanti anak-anak dengar."

Kubiarkan tanganku tetap dalam genggamannya, tapi, kali ini, bibirku yang bermain. Kucium pundaknya, istriku menggeliat. Bibirku berpindah untuk naik mencecapi lehernya. Tubuh istriku menegang, tapi dia melupakan tanganku. Dengan pelan-pelan aku tarik tanganku.

Pasrah istriku saat aku rebahkan dia di tempat tidur. Aku menelungkup disampingnya. Lereng gunung kenyal itu aku ciumi. Mulutku berpindah ke gunung satunya dan mengulum kelereng yang ada di atasnya. Tanganku menyibakkan handuk yang menutupi selangkangannya, menelusuri perutnya untuk menemukan bulu-bulu keriting kasar di selangkangan itu. Tubuh telanjang itu menggelinjang saat dua jariku menari di belahan memanjang yang ada, memainkan klentitnya.

Aku bangkit dari rebahku. Setelah melepaskan kain sarung yang aku pakai, aku datangi selangkangannya. Sambil menjilati dua pahanya, bergantian, aku naik di atas tubuh telanjangnya. Dengan 69 Style, kontolku yang bergantung di atas muka istriku, aku tampar-tamparkan ke pipinya sementara kepalaku masuk di antara dua pahanya, menjelajahi area kemaluannya. Tidak seperti memek istri kakak iparku yang bulu-bulu kemaluannya sering dipotong pendek, istriku lebih suka membiarkan bulu-bulu kemaluannya memanjang. Sering aku tersedak bila sedang mencumbui kemaluannya, karena ada satu atau dua bulunya yang panjang ikal dan kasar itu menyangkut di tenggorokan. Bila aku komplain, barulah istriku akan memotongnya.

Istriku melenguh saat jari tengahku, aku tusukan ke dalam lubang kemaluannya, sedangkan bibirku mencecapi bagian atas belahan memanjang itu dengan sesekali lidahku menjilati klentitnya. Sementara areal kenikmatannya aku serbu, istriku menggenggam kontolku yang bergelantungan di atas mukanya. Istriku kurang suka mengoral kontolku. Jijik, katanya. Masak burung dijilat-jilat, itu alasannya kalau aku minta dia memasukkan kontolku ke mulutnya. Tapi, setelah aku paksa, barulah dia akan melakukannya. Itu pun lebih banyak muntah-muntahnya. Berbeda jauh dengan sang kekasih gelapku, sang tetangga, istri kakak iparku, Ningsih, yang sigap mengoral kemaluanku tanpa aku minta setiap kali kami memadu birahi.

Kami berganti posisi. Kubawa tubuhnya menimpaku, tapi tetap kepalaku berada di antara dua pahanya yang menganga lebar menjilat-jilat kemaluannya, sementara kontolku hanya diremas-remas. Desahannya tetap terdengar berirama.

Kemaluannya aku tinggalkan. Istriku mengangkat badannya, meninggalkan aku yang terbaring dibawahnya. Segera aku keluar dari bawah tubuh istriku. Kutahan tubuhnya saat hendak rebah ke kasur agar tetap menungging.

Aku elus punggungnya. Aku remas buah dadanya yang bergantung itu. Aku kemudian mendatangi pantatnya. Pantat semok montok itu aku elus, aku cubit dengan gemas, dan kembali aku elus. Pun belahan pantatnya aku elus. Dari belahan pantatnya, jemariku merayap turun mencari selangkangannya, menelusuri belahan memanjang yang dipenuhi bulu-bulu. Tubuh istriku bergidik selama jari-jemariku menelusuri lekuk-lekuk di area sensitif miliknya itu.

Tidak tahan dengan daya tarik pantat montok semok yang membulat seksi didepanku, aku dorong masuk kontolku ke selangkangannya. Berbeda dengan kelakuan istri kakak iparku yang selalu menyambut kedatangan kontolku dan mengarahkannya ke lubang kemaluannya, istriku membiarkan aku mencari lubang itu, menempelkannya, dan lalu menusukkannya dalam-dalam. Hanya erangan yang terdengar.

Pinggangnya aku pegang dan aku mulai memajumundurkan kontolku di kedalaman lubang kemaluannya yang basah. Erangan nikmat istriku memenuhi kamar, membuat semangatku menggebu untuk mencapai kenikmatan bersama. Sambil tetap kontolku maju mundur, jemariku menggerayangi buah dadanya, mengelus punggungnya, dan memainkan lubang telinganya.

Tubuh istriku jatuh ke kasur, tertelungkup pasrah dengan aku tetap menggaulinya dari belakang pantatnya. Ditinggikannya pantatnya karena sepertinya istriku takut kontolku terlepas dari kemaluannya. Aksiku makin menggila. Kegagalanku mendapatkan kepuasan dari tetangga sebelah, akhirnya aku lampiaskan pada istriku.

Kutarik kontolku dari kemaluannya. Kemudian, aku terlentangkan dia. Di bawah benderangnya lampu kamar, dapat aku lihat wajah istriku memerah, nafasnya terputus-putus.

Aku berpindah duduk masuk di antara dua pahanya. Kuelus pelan belahan memanjang di selangkangannya, dan jari tengahku masuk ke lubang itu, membuat istriku mendesah.

"Apak..."teriak istriku memanggil aku saat kontol aku tekan masuk ke lubang kenikmatan miliknya.

Aku satukan dua pahanya didadaku, lalu aku mulai memompa kemaluannya. Istriku mendesah-desah nikmat sementara kedua pepaya yang menggeletak pasrah di depanku aku remas-remas, aku puntir-puntir bola kecoklatannya.

Sambil tetap memompa lubang kemaluan itu, dua pahanya aku taruh ke samping, rebah di kasur, membuat tubuh istriku berbaring menyamping. Sambil pantatnya aku remas, kontolku kian bersemangat maju mundur memompa kemaluannya, membuat istriku kelonjotan.

"Mih, Mimih!"suara anakku terdengar memanggil istriku dari balik pintu.

"Mimih tidur,"Aku yang menjawab."Ada apa?"

Istriku yang berbaring di kasur melotot. Dicubitnya dadaku. Dia tidak bisa bergerak karena aku tidak melepaskan tubuhnya. Kontolku tetap aku gerakan maju mundur dalam kemaluannya, meski pelan-pelan.

"Kami mau tidur!"teriak anakku lagi.

Kubungkam mulut istriku saat dia hendak menjawab. Aku yang menyahut,"Iya, tidurlah. Lampunya dimatikan, ya."

"Iya!"jawab anakku lagi."Cecep bagaimana? Dia sudah tidur didepan TV."

Cecep adalah anak kami yang paling kecil. Dia selalu tidur dengan Mimihnya."Angkat ke kamar Eti. Biar dia tidur bareng Eti malam ini."

Terdengar langkah menjauh. Aku menatap istriku, tersenyum padanya. Juju, istriku, kembali mencubit gemas dadaku.

"Abang nakal,"ucapnya.

"Kalau tidak nakal, ya, tidak dapat memek Juju-lah."Kusenyumi dia. Lantas, kubuka dua kakinya melebar dan kutimpakan tubuhku, mengulum bibirnya. Juju menyambut, balas mengulum dengan lebih ganas.

Sambil kontolku tetap menyerang kemaluannya, bibirku mencecapi lehernya. Setelah meninggalkan beberapa tanda merah di lehernya, aku beralih mengejar buah dadanya. Tidak seperti buah dada Eceu yang mungil dan ranum membulat, buah dada istriku berukuran jumbo. Buah dadanya meluber saat aku rengkuh, tapi aku abaikan. Aku cumbui bola kecoklatan itu, aku cecapi lereng gunungnya, dan kembali aku tinggalkan jejak merah di sana. Bertebaran di kedua lereng gunung itu.

Saat area selangkanganku memanas dan kontolku mulai berdenyut-denyut, maka aku tinggikan badanku, kupegang dua pahanya melebar, dan aku percepat tusukan kontolku di lubang kemaluannya. Istriku menjerit-menjeit bahagia dan jemarinya mencengkeram seprai tempat tidur.

Berawal dari bagian bawah perutku, aliran deras berjalan menelusuri urat-urat di areal kelaminku yang terus meluncur cepat menimbulkan satu sensasi kenikmatan yang kurasa saat gelombang air tiba di kepala kontol. Saat kepala kontolku berdenyut siap melontarkan isinya, kutekan dalam-dalam kontolku ke lubang kemaluan istriku. Akhirnya, berkali-kali percikan sperma muncrat memenuhi lubang kemaluannya.

Setelah percikan sperma berhenti dan setelah kontolku mulai mengecil, aku jatuhkan diri ke atas tubuhnya. Istriku memeluk mesra aku yang terkapar lemah. Dengus nafas kami terdengar berbagi. Detak jantung pun menyatu.
 
VI. Di Hotel itu

Dengan kunci yang ada di tanganku, pintu kamar aku buka. Bak seorang gentlemen, dengan lutut aku tekuk dan sedikit membungkukkan badan, aku mempersilakan sang kekasih, istri kakak iparku, untuk melangkah masuk. Dapat kurasakan keengganannya, tapi akhirnya dia melangkah masuk karena semakin cepat berada dalam ruangan tertutup pasti akan lebih aman dari pandangan orang-orang yang barangkali mengenali kehadiran kami di sini.

Kamar segera aku tutup dan kukunci. Istri kakak iparku hanya berdiri. Tegang wajahnya. Sebenarnya aku pun tegang, tapi aku harus menjaga wibawaku di hadapannya. Aku lelaki, lelaki yang dapat diandalkan.

Sambil melempar seulas senyum, aku mendekat. Tinggiku yang hampir seratus tujuh puluh terlihat meraksasa dihadapannya yang aku perkirakan seratus lima puluhan.

"Aman tidak, Amir?"tanya istri kakak iparku dengan nada was-was.

"Aman, Ceu. Kan tidak ada yang kenal kita di sini,"jawabku coba meyakinkannya.

Kuambil dua tangannya dan mendekatkannya ke mulutku, mengecupnya lembut. Dia hanya menonton, membiarkan saat seluruh sisi tangannya aku kecupi.

"Kita sebentar saja, ya,"kembali istri kakak iparku berucap."Nanti orang curiga kalau saya lama pulang ke rumah. Nanti anak-anak ribut mencari Ibunya."

"Aku janji cuma sebentar, Ceu,"balasku.

Dua tanganku, aku lingkarkan ke tubuh mungilnya. Di dalam kamar yang ada hanya aku dan dia, dalam rangkulanku, kuajak dia berputar-putar, berdansa diiringi irama putaran kipas angin yang berada di pojok kamar. Mata kami bersitubruk, berusaha tersenyum, untuk mengurai ketegangan.

Aku hentikan tarian kami tepat didepan cermin kaca ukuran besar yang menempel di dinding kamar. Aku balik badannya membelakangi aku. Berdua kami berdiri menghadap ke cermin besar itu. Kembali aku rangkul dia. Dapat aku rasakan jantungnya berdetak kencang. Aku eratkan pelukan. Kucium wangi rambutnya yang panjang mengurai.

Kulepaskan dia dan aku mundur satu langkah. Resleiting pakaiannya aku turunkan. Melalui cermin, mata kami bersitatap, saling membagi senyuman, dan kupelorotkan pakaiannya.

Kini, di cermin itu, istri kakak iparku hanya mengenakan beha dan celana dalam. Malu-malu dia tersenyum melihat tangan kananku yang masuk ke dalam beha untuk meremas buah dadanya. Kepalanya pasrah bersandar di dadaku, menikmati butiran yang ada di atas buah dadanya aku elus-elus lembut. Dapat pula aku rasakan bulu-bulu halus di tubuhnya meremang manakala tanganku yang menyelinap ke balik celana dalam, mengelus rambut-rambut kasar yang ada di sana.

Tubuhnya menggeliat bak cacing kepanasan, matanya terpejam seksi, nafasnya mulai terengah-engah dengan bibir setengah membuka karena belahan memanjang di selangkangannya aku masuki, ketika daging kecil yang bersembunyi di sana aku gesek dan aku tekan-tekan.

Gairahku membuhul. Pengait beha yang menyembunyikan dua buah dada itu aku lepas. Melewati dua tangannya, beha itu melorot jatuh ke lantai. Sungguh! Tidak ada rasa bosan saat menatap kedua buah dada ranum yang membulat penuh itu menggantung seksi. Apalagi saat aku gapai buah dada-buah dada itu. Dengan penuh birahi, aku remas gundukan daging kenyal itu, yang membuat tubuhnya kian menempel erat di tubuhku dan dua tangannya meremas pahaku. Saat dua butiran coklat yang berada di pucuk gunung itu aku pilin-pilin, matanya terpejam dan terdengar desahnya. Semakin semangat pula aku menjamah gunung itu.

Sambil menggerayangi buah dada-buah dada itu, satu tanganku kembali masuk ke celana dalamnya untuk mengobok-ngobok kemaluannya sementara selangkanganku yang menonjol tegang aku tempelkan ke tubuhnya. Menggesekkan dan menekan-nekannya. Istri kakak iparku mulai mendesah nikmat.

Aku tinggalkan istri kakak iparku mematung di depan cermin. Melalui cermin, matanya bingung menatap aku yang berdiri di belakangnya. Dia pun berbalik, menghadap ke arahku dan mendongak menatap aku.

Aku bersimpuh didepannya. Celana dalam putih itu ada dihadapanku. Aku elus dua pahanya. Tubuh istri kakak iparku bergidik manakala jemariku menyentuh belahan memanjang yang tersimpan dibalik celana dalam. Diremasnya rambutku. Kudekatkan wajahku ke celana dalamnya, mencium aroma khas yang menerpa hidungku. Melebar dua paha itu, maka aku jilati celana dalamnya. Lalu, dimajukannya gundukan di selangkangan itu untuk memberi peluang aku menggigit-gigit lembut kemaluannya.

Dua tanganku memegang pinggang istri kakak iparku dan mulai menurunkan celana dalamnya putih itu, tapi istri kakak iparku menahannya. Kutatap dia yang berdiri tinggi didepanku. Dia menggeleng. Tapi aku tetap menarik celana dalam itu. Dadaku berdegup kencang. Ada keindahan melihat bulu-bulu kasar yang terpotong pendek itu muncul dari balik celana dalamnya. Celana dalamnya terus aku turunkan dan belahan memanjang di selangkangan itu terlihat basah, ada daging kecil mengintip. Belum sempat aku menyentuh kelamin itu, tangan istri kakak iparku menutupnya.

"Mau ke kamar mandi,"ucapnya saat kutatap dia.

Kembali mataku menatap areal kemaluannya yang masih tertutup tangannya. Aku tarik paksa tangan itu tapi dua paha itu merapat untuk menyembunyikan kelamin itu. Pekerjaan yang sia-sia karena kelamin itu tetap menarik untuk aku nikmati.

"Amir, mau ke kamar mandi dulu,"terdengar suara dari atasku.

Dengan segan kulepaskan dia, membiarkan istri kakak iparku menghilang ke kamar mandi yang berada di sudut kamar.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd