Wangikehidupan
Guru Semprot
- Daftar
- 13 Nov 2016
- Post
- 539
- Like diterima
- 2.173
Keramaian masih terdengar. Aku yang berada di kamar tidur itu, coba mengintip dari balik pintu kamar. Untung saja anak gadis kecilnya tetap tidur di tengah kehebohan. Tapi, siapakah orang-orang yang menggeruduk kami malam ini? Apakah ada yang mengetahui kehadiranku di rumah ini? Akankah hubungan terlarang ini telah diketahui orang dan malam ini adalah kesempatan mereka melakukan penggerebekan? Aku tidak tahu. Yang pasti aku harus bersiap menyelamatkan diri agar tidak tertangkap oleh massa.
Ketukan di pintu semakin kuat dan tambah ramai. Istri kakak iparku terlihat bingung. Di ruang tengah rumahnya yang lapang, serba salah dia berdiri. Untung saja dia masih sadar untuk menutupi tubuh telanjangnya. Dipakainya kembali mukenanya.
"Wak! Wak Ningsih,"terdengar suara dari luar dan pintu pun tetap diketuk-ketuk.
Istri kakak iparku yang telah rapi memakai mukena, berjalan menuju pintu. Matanya menatap ke pintu kamar tidur, barangkali untuk memastikan kalau aku sudah tidak ada lagi, lalu, dengan muka tegang, dia menghela nafas panjang dan mulai menggeser kunci pintu.
Saat pintu terbuka, dari tempatku mengintip, dapat aku lihat raut muka istri kakak iparku yang berubah cerah. Ada rasa lega di wajah manis itu. Senyumnya pun terbit. Alhamdulilah!
Istri kakak iparku mundur dua langkah, menjauhi pintu, dan seorang anak lelaki kecil berkopiah melangkah masuk, dan disusul seorang perempuan muda yang mengenakan mukena ikut masuk, sedang di ambang pintu ada beberapa kepala yang juga tertutup mukena. Mereka terlibat percakapan. Ada tawa di antara mereka. Tak lama kemudian, perempuan bermukena itu mencium tangan istri kakak iparku, begitu pula mereka yang berdiri di ambang pintu, lalu mereka melangkah keluar rumah. Sambil mengelus kepala anak lelaki tadi, isteri kakak iparku melepas kepergian gerombolan yang menggeruduk rumahnya. Istri kakak iparku melambaikan tangan dan segera menutup kembali pintu.
Aku mundur ke pintu belakang saat istri kakak iparku mendekati pintu kamar tidur. Aku tidak mau anak lelaki itu melihat keberadaanku di rumahnya. Aku takut anak lelaki itu akan menceritakannya ke banyak orang. Siapa tahu.
Ruang belakang rumah istri kakak iparku lebih luas daripada ruang tengahnya. Ruang belakang ini terdiri dari tiga ruang. Satu kamar tidur merangkap gudang, satu dapur di ujung sana tempat aku keluar, dan ruang belakang utama yang paling besar dimana meja makan berada beserta lemari makan dan pernak-pernik makan lainnya. Sambil menunggu istri kakak iparku yang sedang menidurkan anaknya, aku duduk di kursi meja makan itu.
Aku buka tudung saji. Ada sepiring kolak pisang. Kolak pisang yang disediakan khusus untukku oleh sang kekasih, seperti yang tadi dia tawarkan, barangkali. Kulahap kolak pisang itu.
Ada bayangan keluar dari kamar tidur. Aku menoleh. Ternyata istri kakak iparku yang muncul. Berjalan dia mendekat. Mukenanya telah berganti daster. Dasternya biru muda yukensi.
"Saya kira Amir pulang,"ucapnya setelah berada disampingku.
Kulingkarkan tangan ke pinggangnya dan aku tarik melekat denganku. Aroma harum tubuhnya menyergap hidungku. Aku dudukkan dia di pangkuanku.
Tangan Istri kakak iparku melingkar di leherku, menyandarkan dirinya ke tubuhku. Buah dadanya yang kenyal menempel erat, membangkitkan kembali birahi.
"Dadan minta pulang dari langgar,"tanpa diminta istri kakak iparku bercerita tentang kehebohan tadi."Langsung tidur dia."
"Tapi, kan tidak perlu sampai seramai tadi,"jawabku sambil menggelitiki pahanya.
"Anak Amirlah yang punya gawe,"ujar istri kakak iparku seraya menahan jari-jariku."Dadan tadi minta pulang. Karena bapaknya tidak bisa meninggalkan langgar, dia menyuruh Eti, anak Amir, untuk mengantarkan Dadan pulang. Tapi, karena Eti takut, dia mengajak kawan-kawannya untuk mengantar Dadan. Rupanya, meskipun sudah beramai-ramai, mereka pun masih ketakutan. Mereka saling dorong, saling jalan cepat, takut ditinggal."
"Tapi, 'kan kita yang tegang, Ceu,"ujarku.
"Apalagi burung Amir. Sudah tegang dari tadi. Sudah naik turun lagi."Senyum istri kakak iparku mengembang. Pantatnya, lalu, ditekan-tekannya ke selangkanganku.
"Nakal, ya."Jemariku menggelitiki pinggangnya. Tawa istri kakak iparku terdengar manja, diselingi jerit genitnya.
Dan, akhirnya, di ruang belakang rumahnya itu, aku ambil bibirnya. Berpagutan kami, melanjutkan permainan yang tak tertuntaskan. Liar bibir kami bergerak, seliar jemariku yang mengobok-obok kemaluannya.
Istri kakak iparku menghentikan pagutan bibir kami. Didorongmya wajahku menjauh. Lalu,"Jam berapa sekarang?"
Istri kakak iparku mengambil tanganku, melihat arloji yang melingkar di lenganku."Hampir jam sembilan, Amir."
"Suami Eceu pulang jam berapa dari langgar?"tukasku.
"Jam sepuluhan,"jawabnya."Warung Amir belum tutup?"
"Juju yang jaga warung."Aku turunkan istri kakak dari pangkuan."Tadi aku minta Juju yang ganti aku karena aku izin pulang. Alasannya, sakit perut."
Senyumnya terbit."Awas, nanti kualat."
"Demi bertemu sang pujaan hati, apa pun akan aku lakukan, Ceu."Sambil meremas buah dadanya yang kenyal, yang masih terhalang dasternya, aku berdiri dari dudukku. Kaos aku tarik lepaskan dan menurunkan kain sarung. Bugil aku kini.
Daster yang istri kakak iparku pakai, aku angkat. Dia meninggikan kedua tangannya untuk memudahkan daster melewati kepalanya. Setelah sama-sama telanjang, aku dorong dia ke meja makan. Berpegangan dia ke meja makan saat pantatnya aku tunggingkan meninggi.
Dari arah bawah pantatnya, aku sentuh kemaluannya. Sudah basah lubang kenikmatan itu. Terdengar lenguhan saat dua jariku menusuk ke dalam lubang basah itu sementara satu tangan lagi menggapai buah dadanya, memainkan bola yang ada di atas gunung itu.
Tanpa mau membuang waktu lagi, aku tarik dua kakinya melebar. Lalu, aku selipkan kontolku di antara dua pahanya. Istri kakak iparku menyambut batang daging mengeras itu dan mengarahkannya ke lubang kenikmatan miliknya. Ada rasa hangat aku rasakan saat kepala kontolku menyentuh lubang kemaluannya.
Kupegang pinggangnya dan lenguhan panjang terdengar karena aku benamkan kontolku ke lubang kemaluannya. Pantatku aku tarik lagi untuk kemudian kudorong maju sehingga lenguhan kembali terdengar. Begitu kontolku total menghilang dalam kedalaman lubang itu, aku mulai tarik kembali untuk kutenggelamkan lagi. Semakin lama semakin cepat kontolku aku tarik dan tekan dalam lubang kemaluannya. Desahannya terdengar deras.
Meja makan tempat kami ber-doggy style dimana istri kakak iparku tertelungkup berderit berisik. Piring-piring kotor yang tergeletak di atas meja beradu berdenting ramai. Sendok-sendok bergoyang, menimbulkan bunyi, dalam gelas-gelas kosong yang belum sempat di cuci. Istri kakak iparku sepertinya menikmati keriuhan yang kami buat dan aku meneruskan aksiku menggagahinya.
Tubuh telanjang kami meninggalkan meja makan, keriuhan di ruang belakang pun berhenti.
"Pindah ke kamar, ya, Ceu?"ajakku.
Mengangguk dia. Pasrah dia saat kubopong dia dan membawanya masuk ke kamar. Tapi, tertegun kami saat melihat ke tempat tidur.
"Kasur penuh, nih,"ujarku kepada istri kakak iparku.
Bertatapan kami dan senyum merebak karena kedua anak istri kakak iparku tidak memberi ruang bagi kami untuk berbaring di kasur.
Istri kakak iparku meminta aku menurunkannya. Saat dia hendak memindahkan anaknya, kutahan dia."Kelamaan, Ceu. Nanti orang keburu datang."
Istri kakak iparku membatalkan niatnya. Dia berdiri menatap aku yang mengambil dua bantal yang tak terpakai dari tempat tidur. Bantal-bantal tadi kulempar ke lantai. Istri kakak iparku menatap heran ke arahku. Kupersembahkan satu senyumannya untuknya.
"Silakan berbaring, Ceu,"ujarku."Satu untuk kepala, satunya lagi untuk mengganjal pantat Eceu."
Istri kakak iparku mengikuti instruksiku. Dia berbaring dengan meletakkan kepalanya di bantal. Aku menyusul duduk di sampingnya. Kuambil dua pahanya dan kuangkat tinggi, lalu aku sorongkan bantal tepat dibawah pantatnya.
Sedap sekali melihat alat kelaminnya yang mengembung meninggi itu. Dua pahanya aku tarik melebar dan dengan segera aku datangi area kenikmatan itu. Saat aku cium memeknya, pantatnya meninggi, seperti menyambut kedatanganku.
Aku naik di atas tubuh istri kakak iparku. Dengan posisi 69, bertubi-tubi pahanya kuciumi dan istri kakak iparku menggeliat-geliat geli. Tawanya terdengar genit kala lidahku menjilat belahan memanjang yang berselimutkan bulu-bulu halus.
Kutempelkan kontolku di mulutnya dan dia menyambutnya. Hangat kurasa saat kontolku berada dalam mulutnya. Dikulumnya kontolku, disedotnya, dan mulutnya, dengan perlahan, maju mundur menelan kontolku. Nikmat sekali.
Sayang konsentrasi kami buyar karena terdengar panggilan dari arah depan. Istri kakak iparku melepaskan kontolku. Segera aku meninggalkan tubuhnya. Dengan terburu-buru pula istri kakak iparku bangkit. Karena dasternya tertinggal di ruang belakang, maka ditujunya lemari yang ada di pojok kamar, membuka pintunya dan mengambil pakaian.
Dari arah depan terdengar lagi panggilan di pintu. Aku mengenakan pakaian, begitu pula istri kakak iparku.
"Cepat pulang, Amir,"ucapnya was-was.
Aku mengangguk dan cepat-cepat menghilang keluar kamar. Dengan hati-hati aku mengintip keluar rumah. Setelah yakin tidak ada orang, aku pun melangkah keluar. Kutuju rumahku. Masih sepi rumahku saat aku masuk. Anak-anak belum pulang dari langgar. Istriku pun belum datang dari warung.
Berbaring aku di tempat tidur. Pikiranku kacau. Senjataku masih keras dibalik sarung. Tidak tuntasnya permainan tadi, membuat aku pusing kepala. Seandainya tadi tidak ada gangguan-gangguan, senjataku pasti sudah memuntahkan sperma sehingga libidoku tak menumpuk seperti sekarang.
Kusingkapkan kain sarung meninggi meninggalkan selangkanganku. Kontolku yang masih tegang, aku ambil dalam rangkulan jemariku. Sambil meremas daging panjang itu, memainkan kepala kontolku, aku membayangkan tubuh telanjang istri kakak iparku, membayangkan ekspresi wajahnya saat aku setubuhi, mengingat desahannya saat dia orgasme.
Kutinggalkan kontolku, kututupkan kembali selangkangan dengan kain sarung, saat pintu luar terdengar terbuka dan terdengar suara-suara perempuan. Aku pejamkan mata agar istriku mengira aku telah tertidur.
Ketukan di pintu semakin kuat dan tambah ramai. Istri kakak iparku terlihat bingung. Di ruang tengah rumahnya yang lapang, serba salah dia berdiri. Untung saja dia masih sadar untuk menutupi tubuh telanjangnya. Dipakainya kembali mukenanya.
"Wak! Wak Ningsih,"terdengar suara dari luar dan pintu pun tetap diketuk-ketuk.
Istri kakak iparku yang telah rapi memakai mukena, berjalan menuju pintu. Matanya menatap ke pintu kamar tidur, barangkali untuk memastikan kalau aku sudah tidak ada lagi, lalu, dengan muka tegang, dia menghela nafas panjang dan mulai menggeser kunci pintu.
Saat pintu terbuka, dari tempatku mengintip, dapat aku lihat raut muka istri kakak iparku yang berubah cerah. Ada rasa lega di wajah manis itu. Senyumnya pun terbit. Alhamdulilah!
Istri kakak iparku mundur dua langkah, menjauhi pintu, dan seorang anak lelaki kecil berkopiah melangkah masuk, dan disusul seorang perempuan muda yang mengenakan mukena ikut masuk, sedang di ambang pintu ada beberapa kepala yang juga tertutup mukena. Mereka terlibat percakapan. Ada tawa di antara mereka. Tak lama kemudian, perempuan bermukena itu mencium tangan istri kakak iparku, begitu pula mereka yang berdiri di ambang pintu, lalu mereka melangkah keluar rumah. Sambil mengelus kepala anak lelaki tadi, isteri kakak iparku melepas kepergian gerombolan yang menggeruduk rumahnya. Istri kakak iparku melambaikan tangan dan segera menutup kembali pintu.
Aku mundur ke pintu belakang saat istri kakak iparku mendekati pintu kamar tidur. Aku tidak mau anak lelaki itu melihat keberadaanku di rumahnya. Aku takut anak lelaki itu akan menceritakannya ke banyak orang. Siapa tahu.
Ruang belakang rumah istri kakak iparku lebih luas daripada ruang tengahnya. Ruang belakang ini terdiri dari tiga ruang. Satu kamar tidur merangkap gudang, satu dapur di ujung sana tempat aku keluar, dan ruang belakang utama yang paling besar dimana meja makan berada beserta lemari makan dan pernak-pernik makan lainnya. Sambil menunggu istri kakak iparku yang sedang menidurkan anaknya, aku duduk di kursi meja makan itu.
Aku buka tudung saji. Ada sepiring kolak pisang. Kolak pisang yang disediakan khusus untukku oleh sang kekasih, seperti yang tadi dia tawarkan, barangkali. Kulahap kolak pisang itu.
Ada bayangan keluar dari kamar tidur. Aku menoleh. Ternyata istri kakak iparku yang muncul. Berjalan dia mendekat. Mukenanya telah berganti daster. Dasternya biru muda yukensi.
"Saya kira Amir pulang,"ucapnya setelah berada disampingku.
Kulingkarkan tangan ke pinggangnya dan aku tarik melekat denganku. Aroma harum tubuhnya menyergap hidungku. Aku dudukkan dia di pangkuanku.
Tangan Istri kakak iparku melingkar di leherku, menyandarkan dirinya ke tubuhku. Buah dadanya yang kenyal menempel erat, membangkitkan kembali birahi.
"Dadan minta pulang dari langgar,"tanpa diminta istri kakak iparku bercerita tentang kehebohan tadi."Langsung tidur dia."
"Tapi, kan tidak perlu sampai seramai tadi,"jawabku sambil menggelitiki pahanya.
"Anak Amirlah yang punya gawe,"ujar istri kakak iparku seraya menahan jari-jariku."Dadan tadi minta pulang. Karena bapaknya tidak bisa meninggalkan langgar, dia menyuruh Eti, anak Amir, untuk mengantarkan Dadan pulang. Tapi, karena Eti takut, dia mengajak kawan-kawannya untuk mengantar Dadan. Rupanya, meskipun sudah beramai-ramai, mereka pun masih ketakutan. Mereka saling dorong, saling jalan cepat, takut ditinggal."
"Tapi, 'kan kita yang tegang, Ceu,"ujarku.
"Apalagi burung Amir. Sudah tegang dari tadi. Sudah naik turun lagi."Senyum istri kakak iparku mengembang. Pantatnya, lalu, ditekan-tekannya ke selangkanganku.
"Nakal, ya."Jemariku menggelitiki pinggangnya. Tawa istri kakak iparku terdengar manja, diselingi jerit genitnya.
Dan, akhirnya, di ruang belakang rumahnya itu, aku ambil bibirnya. Berpagutan kami, melanjutkan permainan yang tak tertuntaskan. Liar bibir kami bergerak, seliar jemariku yang mengobok-obok kemaluannya.
Istri kakak iparku menghentikan pagutan bibir kami. Didorongmya wajahku menjauh. Lalu,"Jam berapa sekarang?"
Istri kakak iparku mengambil tanganku, melihat arloji yang melingkar di lenganku."Hampir jam sembilan, Amir."
"Suami Eceu pulang jam berapa dari langgar?"tukasku.
"Jam sepuluhan,"jawabnya."Warung Amir belum tutup?"
"Juju yang jaga warung."Aku turunkan istri kakak dari pangkuan."Tadi aku minta Juju yang ganti aku karena aku izin pulang. Alasannya, sakit perut."
Senyumnya terbit."Awas, nanti kualat."
"Demi bertemu sang pujaan hati, apa pun akan aku lakukan, Ceu."Sambil meremas buah dadanya yang kenyal, yang masih terhalang dasternya, aku berdiri dari dudukku. Kaos aku tarik lepaskan dan menurunkan kain sarung. Bugil aku kini.
Daster yang istri kakak iparku pakai, aku angkat. Dia meninggikan kedua tangannya untuk memudahkan daster melewati kepalanya. Setelah sama-sama telanjang, aku dorong dia ke meja makan. Berpegangan dia ke meja makan saat pantatnya aku tunggingkan meninggi.
Dari arah bawah pantatnya, aku sentuh kemaluannya. Sudah basah lubang kenikmatan itu. Terdengar lenguhan saat dua jariku menusuk ke dalam lubang basah itu sementara satu tangan lagi menggapai buah dadanya, memainkan bola yang ada di atas gunung itu.
Tanpa mau membuang waktu lagi, aku tarik dua kakinya melebar. Lalu, aku selipkan kontolku di antara dua pahanya. Istri kakak iparku menyambut batang daging mengeras itu dan mengarahkannya ke lubang kenikmatan miliknya. Ada rasa hangat aku rasakan saat kepala kontolku menyentuh lubang kemaluannya.
Kupegang pinggangnya dan lenguhan panjang terdengar karena aku benamkan kontolku ke lubang kemaluannya. Pantatku aku tarik lagi untuk kemudian kudorong maju sehingga lenguhan kembali terdengar. Begitu kontolku total menghilang dalam kedalaman lubang itu, aku mulai tarik kembali untuk kutenggelamkan lagi. Semakin lama semakin cepat kontolku aku tarik dan tekan dalam lubang kemaluannya. Desahannya terdengar deras.
Meja makan tempat kami ber-doggy style dimana istri kakak iparku tertelungkup berderit berisik. Piring-piring kotor yang tergeletak di atas meja beradu berdenting ramai. Sendok-sendok bergoyang, menimbulkan bunyi, dalam gelas-gelas kosong yang belum sempat di cuci. Istri kakak iparku sepertinya menikmati keriuhan yang kami buat dan aku meneruskan aksiku menggagahinya.
Tubuh telanjang kami meninggalkan meja makan, keriuhan di ruang belakang pun berhenti.
"Pindah ke kamar, ya, Ceu?"ajakku.
Mengangguk dia. Pasrah dia saat kubopong dia dan membawanya masuk ke kamar. Tapi, tertegun kami saat melihat ke tempat tidur.
"Kasur penuh, nih,"ujarku kepada istri kakak iparku.
Bertatapan kami dan senyum merebak karena kedua anak istri kakak iparku tidak memberi ruang bagi kami untuk berbaring di kasur.
Istri kakak iparku meminta aku menurunkannya. Saat dia hendak memindahkan anaknya, kutahan dia."Kelamaan, Ceu. Nanti orang keburu datang."
Istri kakak iparku membatalkan niatnya. Dia berdiri menatap aku yang mengambil dua bantal yang tak terpakai dari tempat tidur. Bantal-bantal tadi kulempar ke lantai. Istri kakak iparku menatap heran ke arahku. Kupersembahkan satu senyumannya untuknya.
"Silakan berbaring, Ceu,"ujarku."Satu untuk kepala, satunya lagi untuk mengganjal pantat Eceu."
Istri kakak iparku mengikuti instruksiku. Dia berbaring dengan meletakkan kepalanya di bantal. Aku menyusul duduk di sampingnya. Kuambil dua pahanya dan kuangkat tinggi, lalu aku sorongkan bantal tepat dibawah pantatnya.
Sedap sekali melihat alat kelaminnya yang mengembung meninggi itu. Dua pahanya aku tarik melebar dan dengan segera aku datangi area kenikmatan itu. Saat aku cium memeknya, pantatnya meninggi, seperti menyambut kedatanganku.
Aku naik di atas tubuh istri kakak iparku. Dengan posisi 69, bertubi-tubi pahanya kuciumi dan istri kakak iparku menggeliat-geliat geli. Tawanya terdengar genit kala lidahku menjilat belahan memanjang yang berselimutkan bulu-bulu halus.
Kutempelkan kontolku di mulutnya dan dia menyambutnya. Hangat kurasa saat kontolku berada dalam mulutnya. Dikulumnya kontolku, disedotnya, dan mulutnya, dengan perlahan, maju mundur menelan kontolku. Nikmat sekali.
Sayang konsentrasi kami buyar karena terdengar panggilan dari arah depan. Istri kakak iparku melepaskan kontolku. Segera aku meninggalkan tubuhnya. Dengan terburu-buru pula istri kakak iparku bangkit. Karena dasternya tertinggal di ruang belakang, maka ditujunya lemari yang ada di pojok kamar, membuka pintunya dan mengambil pakaian.
Dari arah depan terdengar lagi panggilan di pintu. Aku mengenakan pakaian, begitu pula istri kakak iparku.
"Cepat pulang, Amir,"ucapnya was-was.
Aku mengangguk dan cepat-cepat menghilang keluar kamar. Dengan hati-hati aku mengintip keluar rumah. Setelah yakin tidak ada orang, aku pun melangkah keluar. Kutuju rumahku. Masih sepi rumahku saat aku masuk. Anak-anak belum pulang dari langgar. Istriku pun belum datang dari warung.
Berbaring aku di tempat tidur. Pikiranku kacau. Senjataku masih keras dibalik sarung. Tidak tuntasnya permainan tadi, membuat aku pusing kepala. Seandainya tadi tidak ada gangguan-gangguan, senjataku pasti sudah memuntahkan sperma sehingga libidoku tak menumpuk seperti sekarang.
Kusingkapkan kain sarung meninggi meninggalkan selangkanganku. Kontolku yang masih tegang, aku ambil dalam rangkulan jemariku. Sambil meremas daging panjang itu, memainkan kepala kontolku, aku membayangkan tubuh telanjang istri kakak iparku, membayangkan ekspresi wajahnya saat aku setubuhi, mengingat desahannya saat dia orgasme.
Kutinggalkan kontolku, kututupkan kembali selangkangan dengan kain sarung, saat pintu luar terdengar terbuka dan terdengar suara-suara perempuan. Aku pejamkan mata agar istriku mengira aku telah tertidur.