Story of A Submissive Doctor
Part-11
Dering telepon terus meraung kencang layaknya suara alarm tanda bahaya. Bunyinya seperti ingin mengganggu kebersamaan kami yang sedang intim2nya di kamar mandi.
Karena merasa terganggu, kami pun memutuskan untuk menyudahi kesempatan kami untuk melakukan persenggamaan ketiga pada pagi itu.
Bu Dokter melihat sekilas ke hp nya. Terlihat di layar screen touchnya nama yg rutin menelepon Bu Dokter tiap waktu senggang...Ibunya Bu Dokter...
Sebagai informasi, keluarga dr Bu Dokter turun temurun adalah seorang dokter.
Bapaknya Dokter Spesialis Bedah Tulang, Ibunya Dokter Gizi dan kakaknya sedang menempuh Spesialis Anak...
Bu Dokter masih menimbang-nimbang untuk meneruskan spesialis karena passion utamanya sebenarnya adalah melukis bangunan terunik di dunia..
Kalau menanyakan apa kiprah aku? Hahaha..tidak usah dibahas..Aku hanyalah kuli yg berusaha utk mencari nafkah agar dapur terus mengebul..
Kami berdua sedikit terkaget2, ada apa gerangan sang ibu menelepon ketika fajar baru saja menampakkan batang wajahnya.
Bu Dokter bergegas mengangkat teleponnya, masih tanpa busana dan basah karena belum sempat mengambil handuk di kasur.
"Halo, Mom..," ujarnya menyapa suara di ujung speaker.
Bu Dokter berbincang intens di telepon hingga ia lupa untuk membasuh tubuh basahnya yg masih bergelimang air bekas shower.
Kupandangi dengan seksama bulir-bulir air yg sdh membentuk bulatan dan terus menetes satu persatu dr pundak Bu Dokter, ke punggungnya, turun ke belahan pantatnya dan menetes jatuh ke lantai dr belahan tersebut..
Aku yg mudah horny ini, sudah ingin menyerangnya kembali dr belakang, langsung menyerang bagian pantat, memasukkan ke kedua lubang miliknya, vagina dan anus..
Tapi aku harus menahan diri..aku harus menghormati Bu Dokter yg sedang bicara serius dg ibunya.
Akupun bersikap gentle dengan membawakan handuk dr kasur, mengusapkan ke punggungnya, dan menutupi seluruh tubuh bu dokter dg handuk berwarna putih.
Kukecup pundaknya dan kutinggalkan sejenak ke pojok ruangan utk memeriksa ponselku.
Sejurus kemudian, Bu Dokter menutup teleponnya dan dengan wajah setengah panik berkata kepadaku, "Hon, listen to me very carefully...after this, my mom will call you to asked where's your position. You should tell her that you are far from this city..far from me? understood,"...
Aku merasa kebingungan dan mulai bertanya," memang kenapa hon, your mom want to call me??"...
"Just do what I've told you.. its very urgent, understood??.."
Akupun tak berani bertanya lebih lanjut karena beberapa saat kemudian giliran handphone ku yg berbunyi, nomornya tidak kukenal, tp aku yakin sekali itu dr ibu Bu Dokter...
Aku coba memberanikan diri dan berusaha tenang. Maklum, Ibu Bu Dokter belum mengetahui kalau aku dan anaknya sudah bermain liar di luar kediaman.
"Halo, selamat pagi,"...
"Selamat Pagi, Nak. Saya Ibu Bu Dokter,"...
"Owh ya Bu..apakah ada yg bisa saya bantu di pagi hari ini..karena tumben sekali ibu menelepon,"..
"Iya nak, ibu hanya khawatir dengan Bu Dokter. Selama ini apakah benar dia ada di apartemennya?"
"Wah saya kurang tau Ibu. Sudah seminggu ini saya tidak bertemu dengannya karena sedang dinas di luar kota," jawabku lugas tanpa canggung walau tahu aku berbohong.
"Memangnya ada apa ibu. Baru kemarin saya menelepon dengan Bu Dokter dan dia baik2 saja di tmpt praktiknya maupun ketika pulang kerumah,"...
"Oh tidak apa2 nak. Semoga pernyataan anda benar ya.. Sebab saya menerima email dr alamat yg tdk saya kenal. Disitu dia menjelaskan secara detil bahwa saat ini anda dengan anak saya sedang menginap di sebuah hotel berdua saja. Saya jg menerima kopi resinya. Saya harap itu hanya hoax saja ya," ketusnya sedikit memojokkan.
Aku kaget dan panik, tp berusaha utk menenangkan diri dan menjawab sesantai mungkin..
"Bu saya yakin sekali bahwa email itu tidak dapat dipertanggung jawabkan,"...
"Fakta pertama, andai resi itu kenyataan, mengapa ia sengaja mengirimnya kepada anda dengan alamat anonymous?" Dari awal saja dia sudah tidak memiliki niatan baik dalam mengirim email.
"Kedua, resi booking hotel tdk mgkn dimunculkan dalam dua nama seperti yang ibu katakan dan dikirimkan ke nama ato alamat email lain selain yg terdaftar." Jadi saya bisa yakinkan kalo email tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Oh okay nak. saya percaya dg argumen mu..kebetulan sekali ibu sedang di Amerika saat ini. Saya harap kamu jaga ya anakku, tolong jangan diajari hal2 yg tdk baik," ujarnya.
Oh iya, sebagai informasi, Ibu Bu Dokter sudah mengetahui bahwa aku berpacaran dg anaknya. Tapi yg tidak diketahuinya adalah, betapa aku telah mengajarkan anaknya untuk menjadi lebih liar di ranjang dan binal dalam melayani.
Telepon pun ditutup, aku pun bernafas lega. Bu dokter yg sedari tadi berdiri di hadapanku, kini tak lagi memasang bahu tegang. Ia kini lebih rileks dan mulai membuka obrolan. Ia masih memakai handuk putih yang melekat saat kupakaikan di awal tadi.
"Darimana mama bisa mengetahui keberadaan kita?"
"Terus siapa yg berani nekad mengirim email ke ibu ku untuk memfitnah kita?" Ia masih bertanya2...
"Apakah ag*da (layanan pesan kamar saàt itu) bisa seenak perutnya mengirim itinerary ke sembarang email?" investigasinya.
"Ataukah pegawai hotel ini ad yg brengsek untuk melaporkan hal2 seperti ini ke keluarga terdekat?"
"Tapi ga mungkin, karena mrk tidak mengetahui email ibuku," ungkapnya bingung.
Ditengah kebingungannya dan lamunku yg terus berpikir, tiba2 kami sejenak menemukan satu kejanggalan.
Aku bertanya kepada Bu Dokter ,"Eh, mantanmu itu biasa ngasi ucapan selamat ulang tahun via email kah??"...
Pikirku tiba2 melayang kepada mantan Bu Dokter.
Logisku berjalan seperti ini, walaupun pada saat itu email masih menjadi alat komunikasi utama, namun sangat jarang orang yg menggunakan email sebagai alat komunikasi karena kurang time-sensitive. Kemungkinan email dibuka adalah sewaktu-waktu dan tidak saat itu juga, tak seperti WA ato BBM.
Tapi si Mantan bisa mengetahui kalau Bu Dokter akan membacanya, berarti dia mengetahui perilaku yg umum dilakukan oleh Bu Dokter.
Perilaku Bu Dokter untuk selalu membuka email mengoneksikan nalarku bahwa ia pasti sering berkomunikasi dg mantannya melalui email.
Dari seringnya komunikasi via email, umumnya orang yg pernah dekat, pasti tidak saling merahasiakan password masing2.
Aku merasa Bu dokter belum pernah mengganti password nya semenjak putus dengan mantannya yang nggelibet ini.
Tanpa bertanya lagi, aku sudah menggapai konklusi kalau akses ke email bu dokter inilah yang dimanfaatkannya untuk melakukan blackmailing kepada kami.
Akupun tanpa ragu berujar,..
"Ganti Password mu, dan jangan pernah kau bagikan lagi kepada siapapun juga, bahkan kepadaku sekalipun," ucapku dengan wajah datar menutup pemikiran pagi itu.
(bersambung ke part-12)