oyeckpunkerz
Semprot Addict
- Daftar
- 6 Dec 2010
- Post
- 426
- Like diterima
- 2.383
Si Pemanah Gadis – Bab 4
Melihat salah seorang kawannya berhasil dijatuhkan seorang bocah buta bertongkat hitam dalam tiga jurus, membuat tujuh orang lainnya semakin meningkatkan serangan.
“Bocah buta keparat! Makan golokku!”
Seorang yang bergolok besar menggerakkan golok sedemikian rupa hingga membentuk gulungan golok membadai, mengurung ruang gerak Jalu Samudra.
Weerr! Wess!!
Dengan mengandalkan indra pendengaran super tajam, Jalu Samudra bergegas menarik diri ke samping lewat jurus 'Kepiting Beringsut'.
Sett!
Lagi-lagi si pemegang golok kaget mendapati kenyataan itu.
“Jurus apa yang digunakan bocah itu? Belum pernah selama aku malang melintang melihat jurus seaneh itu? Miring-miring kayak kepiting?” pikir si pemegang golok sambil bersalto ke atas menghindari sapuan tongkat hitam yang dilancarkan Jalu Samudra. “Bocah buta! Murid siapa kau ini?”
“Aku? Aku ya ... muridnya guruku!” sahut si bocah sambil melenting ke atas menghindari sabetan golok.
“Siapa nama gurumu?”
“Kusebutkan pun kau juga tidak bakalan tahu!” sahut Jalu Samudra sambil memutar tongkat hitamnya bagai kitiran.
Werr! Werr!
Takk! Trakk!
Suara beradunya tongkat dan golok terdengar keras. Jalu Samudra terjajar beberapa langkah ke belakang. Dan celakanya ... tepat di belakang bocah itu terdapat sebuah lubang yang cukup besar.
Liang ular!
Begitu kakinya menginjak udara kosong, tubuh si bocah buta itu terjeblos masuk ke dalam liang diikuti jerit lengking memanjang.
“Aaaaaa .... !”
Bersamaan suara lengkingan Jalu Samudra yang jatuh ke dalam lubang ular, terdengar pula jeritan kecil dari arah belakang.
“Ahhh ... !”
Rupanya Kumala Rani tidak berhasil menghindari sabetan pedang panjang lawan, dimana pundak kanan terserempet ayunan pedang hingga terluka cukup dalam. Praktis, pedang pendeknya jatuh ke tanah karena tangan kanan tidak kuasa menggenggam dengan erat.
“He-he-he, terimalah jurus 'Gagak Mencincang Bangkai'-ku, gadis binal! Hyaatt ... !”
Nila Sawitri dengan sepasang trisulanya tidak bisa berbuat apa-apa karena lima orang Perkumpulan Gagak Cemani menekannya dengan keras hingga tidak sempat memberi bantuan pada Kumala Rani yang terancam bahaya, bahkan gadis cantik itu masih sempat mendengar jerit lengking Jalu Samudra yang terperosok ke dalam lubang.
Wuuss!!
Kumala Rani hanya menatap nanar pada pedang panjang yang berkelebat cepat melalui jurus 'Gagak Mencincang Bangkai' ke batang lehernya. Rasa ngerinya terhadap kematian terbayang di pelupuk mata.
Akan tetapi, rupanya Yang Maha Kuasa belum menghendaki nyawa gadis keras kepala itu pergi meninggalkan raga. Sesosok bayangan berkelebat cepat menyambar Kumala Rani diikuti dengan berkelebatnya sinar putih sepanjang satu tombak berhawa panas menghambur ke arah orang yang mengayunkan pedang.
Blarrr ... !
Tubuh orang itu langsung hangus disertai bau sangit.
“Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’!” seru laki-laki yang berada ditengah, “Semuanya mundur!”
Serentak tujuh orang dari Perkumpulan Gagak Cemani langsung berloncatan meninggalkan Nila Sawitri.
“Paman Suro Bledek! Paman Suro Keong!” seru Nila Sawitri sambil menghampiri orang yang baru saja melepas Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’ yang ternyata adalah Suro Keong adanya, sedang yang menyambar Kumala Rani adalah Suro Bledek.
“Suro Keong, cepat kau obati Kumala Rani! Biar begundal tengik ini aku yang menghadapi!” kata si Suro Bledek, seperti namanya, suara memang keras menggelegar seperti halilintar jika ia sedang marah.
Suro Keong, laki-laki yang tadi siang dijumpai oleh Jalu Samudra bergegas menotok beberapa titik jalan darah yang ada di pundak si gadis kecil, lalu ia menaburi jejak luka dengan bubuk putih.
“Dasar licik! Menghadapi gadis kecil saja pakai racun,” gumam Suro Keong.
Sementara itu ...
“Sobat, kami tidak ada urusan denganmu!”
“Tidak ada urusan denganku katamu? Kalian mengeroyok keponakanku masih mengatakan tidak ada urusan padaku?” sahut Suro Bledek dengan suaranya yang menggelegar. “Apa nyawa kalian rangkap sepuluh hingga berani menghadapiku?”
Kali ini amarahnya benar-benar meledak. (kalau diumpamakan seperti petasan bersumbu pendek, tinggal disulut langsung meledak!)
“Perkara dia keponakanmu atau bukan, itu bukan urusan kami dari Perkumpulan Gagak Cemani! Tapi yang jelas, orang-orang Gunung Putri harus dimusnahkan dari muka bumi!” seru si lelaki yang ada di tengah.
“Ooo ... jadi kalian ini cecunguk-cecunguk dari perkumpulan ngawur itu!” seru Suro Keong dari kejauhan. “Bledek! Jangan banyak cingcong. Mereka telah membumihanguskan Perguruan Gunung Putri! Sikat saja sekalian!”
“Apa!?”
Kali ini jurus ‘Mulut Guntur’ langsung terlepas tanpa kontrol dengan pengerahan tenaga dalam tinggi hingga tempat itu bagai dilanda topan kecil.
Whozzz! Brakk!
Enam orang dari mereka langsung jatuh bergelimpangan dengan telinga mengucurkan darah kental, sedang pimpinan mereka bertahan dengan dua tangan bersilangan di depan dada.
“Edan! Teriakannya bisa membuat gendang telingaku pekak!” batin laki-laki yang masih berdiri kokoh.
“Orang-orang Gagak Cemani benar-benar keparat! Lebih baik mampus saja kalian!”
“Tunggu se ... “
Belum lagi ucapan pimpinan rombongan selesai, langsung terdengar teriakan keras membahana yang langsung menerjang ke arah tujuh orang utusan Perkumpulan Gagak Cemani.
“Huaaaa .... huaaa .... huaaaaaaaaa ... “
Bagai sebuah genderang perang di tabuh bertalu-talu sehingga menimbulkan getaran-getaran keras yang merambat cepat lewat udara dimana wilayah sejauh belasan tombak bergetar bagai gempa bumi.
“Huaaaa .... huaaa .... huaaaaaaaaa ... “
Setingkat demi setingkat, Suro Bledek meningkatkan daya hancur jurus ‘Mulut Guntur’ andalannya.
Pada tingkat ke lima, dua orang tewas dengan kepala pecah berantakan tidak kuat menahan daya hancur jurus maut Suro Bledek. Di tingkat ke enam, kembali tiga korban berjatuhan akibat serangan jurus ‘Mulut Guntur’ dengan kondisi yang sama. Pada tingkat ke tujuh, dua orang lagi tewas mengenaskan karena seluruh tubuhnya hancur bagai dicacah-cacah dengan sebilah pisau tajam.
“Huaaaa .... haaaaaaaaa ... “
Kali ini tinggal sang pimpinan. Ia pun ikut berteriak keras untuk menahan serangan udara dari jurus ‘Mulut Guntur’ yang kini memasuki tahap ke delapan. Namun bagaimanapun juga, jurus ‘Pekikan Gagak’ milik si pimpinan rombongan kalah mutu jurus ‘Mulut Guntur’ si Suro Bledek. Hingga memasuki tahap delapan setengah, si pimpinan sudah tidak kuat lagi menahan jurus sakti yang seolah-olah membetot tubuhnya dari segala penjuru. Dan akhir ...
“Toobbaaaatt .... !!!”
Diikuti teriakan keras, tubuh orang terakhir dari Perkumpulan Gagak Cemani meledak berhamburan membentuk serpihan-serpihan daging merah darah.
Dharrr ... dhuarr!!!
Sebenarnya sembilan orang jago dari Perkumpulan Gagak Cemani bukanlah orang-orang yang lemah. Mereka terkenal dengan sebutan Sembilan Gagak Sakti, dimana sembilan orang itu merupakan orang tingkat kedua dari perkumpulan tersebut. Sembilan Gagak Sakti berhasil dengan gemilang menghancurkan Perguruan Gunung Putri, bahkan puluhan murid Gunung Putri yang rata-rata gadis cantik pun menjadi budak nafsu setan mereka bersembilan.
Selesai memperkosa satu gadis, langsung dibunuh begitu saja!
Setelah dihitung kembali, ternyata masih tersisa dua orang yang bisa meloloskan diri. Tentu saja mereka tidak mau membiarkan mangsa lepas begitu saja, hingga akhirnya melakukan pengejaran dua hari dua malam lamanya. Pada akhirnya, Sembilan Gagak Sakti berhasil menyusul buruannya yang ternyata Nila Sawitri dan Kumala Rani. Belum lagi mereka memperkenalkan diri sebagai Sembilan Gagak Sakti, si mata juling telah tewas terlebih akibat terlalu meremehkan kekuatan lawan, tewas di tangan Jalu Samudra, si bocah buta. Hingga akhirnya Sembilan Gagak Sakti hancur di tangan Suro Bledek, pemilik jurus ‘Mulut Guntur’.
“Hanya segitu saja, cuih!!” kata Suro Bledek sambil menarik kembali hawa tenaga dalam yang tadi dilancarkannya.
Lalu ia berjalan menghampiri kawannya.
“Bagaimana keadaannya?”
“Racunnya sudah hilang, tinggal luka luar saja. Paling seminggu juga pulih.” jawab Suro Keong.
“Jalu? Mana si Jalu?” teriak Nila Sawitri, panik.
“Jalu? Jalu siapa?” tanya Suro Keong.
“Si bocah buta! Tadi ia membantu kami menghadapi mereka,” kata Kumala Rani lirih.
“Maksudmu bocah yang memegang tongkat hitam?” tanya Suro Bledek.
“Benar! Dialah orangnya!”
“Aduh, celaka!”
“Kenapa, Paman Bledek?”
“Kalau bocah buta itu berada di tengah-tengah mereka, pasti sekarang sudah jadi perkedel!” ucap Suro Bledek sambil berulang kali menepak jidat.
“Hah!?” pekik dua gadis beda usia itu.
“Kasihan sekali si Jalu! Padahal aku belum mengucapkan terima kasih padanya,” kata Kumala Rani pelan.
“Kita cari dia! Siapa tahu ia masih hidup.” kata Suro Keong sambil bangkit berdiri.
Mereka berempat dengan obor di tangan mencari di sekitar lokasi pertarungan. Namun tidak ditemukan satu petunjuk tentang keberadaan si bocah buta berbaju biru.
Tiba-tiba saja, Rani berteriak keras, “Kemari sebentar!”
Tiga orang itu segera bergegas menghampiri si gadis kecil yang saat itu sedang berjongkok.
“Ada apa Rani?” tanya Nila Sawitri.
“Lihat!”
Gadis itu menjumput sesuatu di rerumputan.
Sebuah sobekan baju warna biru laut!
“Ini ... ini kan baju si Jalu.” gumam Kumala Rani. “Tapi kemana orangnya?”
Baru saja gadis itu melangkah ke depan, tiba-tiba ia terjeblos masuk ke dalam tanah.
“Eh?”
Wutt!
Sebuah tangan kekar langsung menyambar pinggang si gadis kecil. Siapa lagi yang punya kecepatan kilat seperti itu jika bukan si Suro Keong, pemilik Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’?
Jantung Kumala Rani berdebar kencang.
“Untung saja aku bertindak cepat, kalau tidak kau sudah dimakan ular raksasa!” kata Suro Keong sambil meletakkan Kumala Rani menjauhi tempat yang tertutup rumput. Suro Keong segera menghantamkan tangan ke bawah, ke arah rerumputan tebal.
Blumm!
Sebuah lubang terkuak. Rupanya tebalnya rumput menutupi sebuah lubang yang menganga lebar. Terlihat beberapa selongsong kulit ular berserakan di dalam lubang.
“Kalau begitu ... “
“Kemungkinan besar, si Jalu terjeblos masuk ke dalam sarang ular ini.” kata lirih Suro Keong setelah mengamati beberapa saat.
Kumala Rani dan Nila Sawitri terlihat sedih mendengar perkataan paman mereka. Mereka masih ingat kebaikan Jalu Samudra yang meski buta sudah mencarikan makan malam buat mereka berdua dan menolong Kumala Rani dari incaran ular.
Tiba-tiba Kumala Rani tersentak, “Paman! Berapa jumlah ular yang menghuni liang ini?”
“Memangnya kenapa?”
“Sebab tadi sore Jalu telah membunuh seekor ular besar di sebelah sana,” kata Kumala Rani sambil menuding ke arah rimbunnya ilalang tempat ia mandi.
“Apakah ular itu belang-belang kuning keemasan dengan kepala sedikit membulat?” tanya Suro Bledek.
“Benar, Paman!”
“Hmmm ... si jantan telah mati!” gumam Suro Bledek, “ ... jadi tinggal si betina saja yang berada di dalam sarang.”
“Oooh ... kasihan si Jalu! Ia pasti jadi santapan ular,” keluh Suro Keong.
Ia masih ingat betul bahwa tadi siang dirinya menawari si bocah untuk singgah dikediamannya, namun ditolak dengan halus.
“Lebih baik kita pulang saja!” ucap Suro Bledek.
“Lalu ... bagaimana dengan si Jalu?”
“Kita doakan saja supaya bocah buta baik hati itu diberi umur panjang. Hidup mati seseorang bukan urusan kita,” kata bijak Suro Keong.
Akhirnya, mereka berempat meninggalkan tepi danau yang kini penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan.
Mayat Sembilan Gagak Sakti!