Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
Si Pemanah Gadis – Bab 4



Melihat salah seorang kawannya berhasil dijatuhkan seorang bocah buta bertongkat hitam dalam tiga jurus, membuat tujuh orang lainnya semakin meningkatkan serangan.
“Bocah buta keparat! Makan golokku!”
Seorang yang bergolok besar menggerakkan golok sedemikian rupa hingga membentuk gulungan golok membadai, mengurung ruang gerak Jalu Samudra.
Weerr! Wess!!
Dengan mengandalkan indra pendengaran super tajam, Jalu Samudra bergegas menarik diri ke samping lewat jurus 'Kepiting Beringsut'.
Sett!
Lagi-lagi si pemegang golok kaget mendapati kenyataan itu.
“Jurus apa yang digunakan bocah itu? Belum pernah selama aku malang melintang melihat jurus seaneh itu? Miring-miring kayak kepiting?” pikir si pemegang golok sambil bersalto ke atas menghindari sapuan tongkat hitam yang dilancarkan Jalu Samudra. “Bocah buta! Murid siapa kau ini?”
“Aku? Aku ya ... muridnya guruku!” sahut si bocah sambil melenting ke atas menghindari sabetan golok.
“Siapa nama gurumu?”
“Kusebutkan pun kau juga tidak bakalan tahu!” sahut Jalu Samudra sambil memutar tongkat hitamnya bagai kitiran.
Werr! Werr!
Takk! Trakk!
Suara beradunya tongkat dan golok terdengar keras. Jalu Samudra terjajar beberapa langkah ke belakang. Dan celakanya ... tepat di belakang bocah itu terdapat sebuah lubang yang cukup besar.
Liang ular!
Begitu kakinya menginjak udara kosong, tubuh si bocah buta itu terjeblos masuk ke dalam liang diikuti jerit lengking memanjang.
“Aaaaaa .... !”
Bersamaan suara lengkingan Jalu Samudra yang jatuh ke dalam lubang ular, terdengar pula jeritan kecil dari arah belakang.
“Ahhh ... !”
Rupanya Kumala Rani tidak berhasil menghindari sabetan pedang panjang lawan, dimana pundak kanan terserempet ayunan pedang hingga terluka cukup dalam. Praktis, pedang pendeknya jatuh ke tanah karena tangan kanan tidak kuasa menggenggam dengan erat.
“He-he-he, terimalah jurus 'Gagak Mencincang Bangkai'-ku, gadis binal! Hyaatt ... !”
Nila Sawitri dengan sepasang trisulanya tidak bisa berbuat apa-apa karena lima orang Perkumpulan Gagak Cemani menekannya dengan keras hingga tidak sempat memberi bantuan pada Kumala Rani yang terancam bahaya, bahkan gadis cantik itu masih sempat mendengar jerit lengking Jalu Samudra yang terperosok ke dalam lubang.
Wuuss!!
Kumala Rani hanya menatap nanar pada pedang panjang yang berkelebat cepat melalui jurus 'Gagak Mencincang Bangkai' ke batang lehernya. Rasa ngerinya terhadap kematian terbayang di pelupuk mata.
Akan tetapi, rupanya Yang Maha Kuasa belum menghendaki nyawa gadis keras kepala itu pergi meninggalkan raga. Sesosok bayangan berkelebat cepat menyambar Kumala Rani diikuti dengan berkelebatnya sinar putih sepanjang satu tombak berhawa panas menghambur ke arah orang yang mengayunkan pedang.
Blarrr ... !
Tubuh orang itu langsung hangus disertai bau sangit.
“Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’!” seru laki-laki yang berada ditengah, “Semuanya mundur!”
Serentak tujuh orang dari Perkumpulan Gagak Cemani langsung berloncatan meninggalkan Nila Sawitri.
“Paman Suro Bledek! Paman Suro Keong!” seru Nila Sawitri sambil menghampiri orang yang baru saja melepas Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’ yang ternyata adalah Suro Keong adanya, sedang yang menyambar Kumala Rani adalah Suro Bledek.
“Suro Keong, cepat kau obati Kumala Rani! Biar begundal tengik ini aku yang menghadapi!” kata si Suro Bledek, seperti namanya, suara memang keras menggelegar seperti halilintar jika ia sedang marah.
Suro Keong, laki-laki yang tadi siang dijumpai oleh Jalu Samudra bergegas menotok beberapa titik jalan darah yang ada di pundak si gadis kecil, lalu ia menaburi jejak luka dengan bubuk putih.
“Dasar licik! Menghadapi gadis kecil saja pakai racun,” gumam Suro Keong.
Sementara itu ...
“Sobat, kami tidak ada urusan denganmu!”
“Tidak ada urusan denganku katamu? Kalian mengeroyok keponakanku masih mengatakan tidak ada urusan padaku?” sahut Suro Bledek dengan suaranya yang menggelegar. “Apa nyawa kalian rangkap sepuluh hingga berani menghadapiku?”
Kali ini amarahnya benar-benar meledak. (kalau diumpamakan seperti petasan bersumbu pendek, tinggal disulut langsung meledak!)
“Perkara dia keponakanmu atau bukan, itu bukan urusan kami dari Perkumpulan Gagak Cemani! Tapi yang jelas, orang-orang Gunung Putri harus dimusnahkan dari muka bumi!” seru si lelaki yang ada di tengah.
“Ooo ... jadi kalian ini cecunguk-cecunguk dari perkumpulan ngawur itu!” seru Suro Keong dari kejauhan. “Bledek! Jangan banyak cingcong. Mereka telah membumihanguskan Perguruan Gunung Putri! Sikat saja sekalian!”
“Apa!?”
Kali ini jurus ‘Mulut Guntur’ langsung terlepas tanpa kontrol dengan pengerahan tenaga dalam tinggi hingga tempat itu bagai dilanda topan kecil.
Whozzz! Brakk!
Enam orang dari mereka langsung jatuh bergelimpangan dengan telinga mengucurkan darah kental, sedang pimpinan mereka bertahan dengan dua tangan bersilangan di depan dada.
“Edan! Teriakannya bisa membuat gendang telingaku pekak!” batin laki-laki yang masih berdiri kokoh.
“Orang-orang Gagak Cemani benar-benar keparat! Lebih baik mampus saja kalian!”
“Tunggu se ... “
Belum lagi ucapan pimpinan rombongan selesai, langsung terdengar teriakan keras membahana yang langsung menerjang ke arah tujuh orang utusan Perkumpulan Gagak Cemani.
“Huaaaa .... huaaa .... huaaaaaaaaa ... “
Bagai sebuah genderang perang di tabuh bertalu-talu sehingga menimbulkan getaran-getaran keras yang merambat cepat lewat udara dimana wilayah sejauh belasan tombak bergetar bagai gempa bumi.
“Huaaaa .... huaaa .... huaaaaaaaaa ... “
Setingkat demi setingkat, Suro Bledek meningkatkan daya hancur jurus ‘Mulut Guntur’ andalannya.
Pada tingkat ke lima, dua orang tewas dengan kepala pecah berantakan tidak kuat menahan daya hancur jurus maut Suro Bledek. Di tingkat ke enam, kembali tiga korban berjatuhan akibat serangan jurus ‘Mulut Guntur’ dengan kondisi yang sama. Pada tingkat ke tujuh, dua orang lagi tewas mengenaskan karena seluruh tubuhnya hancur bagai dicacah-cacah dengan sebilah pisau tajam.
“Huaaaa .... haaaaaaaaa ... “
Kali ini tinggal sang pimpinan. Ia pun ikut berteriak keras untuk menahan serangan udara dari jurus ‘Mulut Guntur’ yang kini memasuki tahap ke delapan. Namun bagaimanapun juga, jurus ‘Pekikan Gagak’ milik si pimpinan rombongan kalah mutu jurus ‘Mulut Guntur’ si Suro Bledek. Hingga memasuki tahap delapan setengah, si pimpinan sudah tidak kuat lagi menahan jurus sakti yang seolah-olah membetot tubuhnya dari segala penjuru. Dan akhir ...
“Toobbaaaatt .... !!!”
Diikuti teriakan keras, tubuh orang terakhir dari Perkumpulan Gagak Cemani meledak berhamburan membentuk serpihan-serpihan daging merah darah.
Dharrr ... dhuarr!!!
Sebenarnya sembilan orang jago dari Perkumpulan Gagak Cemani bukanlah orang-orang yang lemah. Mereka terkenal dengan sebutan Sembilan Gagak Sakti, dimana sembilan orang itu merupakan orang tingkat kedua dari perkumpulan tersebut. Sembilan Gagak Sakti berhasil dengan gemilang menghancurkan Perguruan Gunung Putri, bahkan puluhan murid Gunung Putri yang rata-rata gadis cantik pun menjadi budak nafsu setan mereka bersembilan.
Selesai memperkosa satu gadis, langsung dibunuh begitu saja!
Setelah dihitung kembali, ternyata masih tersisa dua orang yang bisa meloloskan diri. Tentu saja mereka tidak mau membiarkan mangsa lepas begitu saja, hingga akhirnya melakukan pengejaran dua hari dua malam lamanya. Pada akhirnya, Sembilan Gagak Sakti berhasil menyusul buruannya yang ternyata Nila Sawitri dan Kumala Rani. Belum lagi mereka memperkenalkan diri sebagai Sembilan Gagak Sakti, si mata juling telah tewas terlebih akibat terlalu meremehkan kekuatan lawan, tewas di tangan Jalu Samudra, si bocah buta. Hingga akhirnya Sembilan Gagak Sakti hancur di tangan Suro Bledek, pemilik jurus ‘Mulut Guntur’.
“Hanya segitu saja, cuih!!” kata Suro Bledek sambil menarik kembali hawa tenaga dalam yang tadi dilancarkannya.
Lalu ia berjalan menghampiri kawannya.
“Bagaimana keadaannya?”
“Racunnya sudah hilang, tinggal luka luar saja. Paling seminggu juga pulih.” jawab Suro Keong.
“Jalu? Mana si Jalu?” teriak Nila Sawitri, panik.
“Jalu? Jalu siapa?” tanya Suro Keong.
“Si bocah buta! Tadi ia membantu kami menghadapi mereka,” kata Kumala Rani lirih.
“Maksudmu bocah yang memegang tongkat hitam?” tanya Suro Bledek.
“Benar! Dialah orangnya!”
“Aduh, celaka!”
“Kenapa, Paman Bledek?”
“Kalau bocah buta itu berada di tengah-tengah mereka, pasti sekarang sudah jadi perkedel!” ucap Suro Bledek sambil berulang kali menepak jidat.
“Hah!?” pekik dua gadis beda usia itu.
“Kasihan sekali si Jalu! Padahal aku belum mengucapkan terima kasih padanya,” kata Kumala Rani pelan.
“Kita cari dia! Siapa tahu ia masih hidup.” kata Suro Keong sambil bangkit berdiri.
Mereka berempat dengan obor di tangan mencari di sekitar lokasi pertarungan. Namun tidak ditemukan satu petunjuk tentang keberadaan si bocah buta berbaju biru.
Tiba-tiba saja, Rani berteriak keras, “Kemari sebentar!”
Tiga orang itu segera bergegas menghampiri si gadis kecil yang saat itu sedang berjongkok.
“Ada apa Rani?” tanya Nila Sawitri.
“Lihat!”
Gadis itu menjumput sesuatu di rerumputan.
Sebuah sobekan baju warna biru laut!
“Ini ... ini kan baju si Jalu.” gumam Kumala Rani. “Tapi kemana orangnya?”
Baru saja gadis itu melangkah ke depan, tiba-tiba ia terjeblos masuk ke dalam tanah.
“Eh?”
Wutt!
Sebuah tangan kekar langsung menyambar pinggang si gadis kecil. Siapa lagi yang punya kecepatan kilat seperti itu jika bukan si Suro Keong, pemilik Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’?
Jantung Kumala Rani berdebar kencang.
“Untung saja aku bertindak cepat, kalau tidak kau sudah dimakan ular raksasa!” kata Suro Keong sambil meletakkan Kumala Rani menjauhi tempat yang tertutup rumput. Suro Keong segera menghantamkan tangan ke bawah, ke arah rerumputan tebal.
Blumm!
Sebuah lubang terkuak. Rupanya tebalnya rumput menutupi sebuah lubang yang menganga lebar. Terlihat beberapa selongsong kulit ular berserakan di dalam lubang.
“Kalau begitu ... “
“Kemungkinan besar, si Jalu terjeblos masuk ke dalam sarang ular ini.” kata lirih Suro Keong setelah mengamati beberapa saat.
Kumala Rani dan Nila Sawitri terlihat sedih mendengar perkataan paman mereka. Mereka masih ingat kebaikan Jalu Samudra yang meski buta sudah mencarikan makan malam buat mereka berdua dan menolong Kumala Rani dari incaran ular.
Tiba-tiba Kumala Rani tersentak, “Paman! Berapa jumlah ular yang menghuni liang ini?”
“Memangnya kenapa?”
“Sebab tadi sore Jalu telah membunuh seekor ular besar di sebelah sana,” kata Kumala Rani sambil menuding ke arah rimbunnya ilalang tempat ia mandi.
“Apakah ular itu belang-belang kuning keemasan dengan kepala sedikit membulat?” tanya Suro Bledek.
“Benar, Paman!”
“Hmmm ... si jantan telah mati!” gumam Suro Bledek, “ ... jadi tinggal si betina saja yang berada di dalam sarang.”
“Oooh ... kasihan si Jalu! Ia pasti jadi santapan ular,” keluh Suro Keong.
Ia masih ingat betul bahwa tadi siang dirinya menawari si bocah untuk singgah dikediamannya, namun ditolak dengan halus.
“Lebih baik kita pulang saja!” ucap Suro Bledek.
“Lalu ... bagaimana dengan si Jalu?”
“Kita doakan saja supaya bocah buta baik hati itu diberi umur panjang. Hidup mati seseorang bukan urusan kita,” kata bijak Suro Keong.
Akhirnya, mereka berempat meninggalkan tepi danau yang kini penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan.
Mayat Sembilan Gagak Sakti!
 
Si Pemanah Gadis – Bab 5


Begitu memasuki liang ular, tubuh Jalu Samudra langsung meluncur tegak lurus dengan deras. Setelah sejarak lima belas tombak, bocah buta itu merasakan bahwa tempat dimana ia meluncur sekarang ini mulai meliuk ke kanan ke kiri. Beberapa kali kepalanya terantuk tanah padas.
Brakk! Brakk!
“Mati dech aku ... “ keluh Jalu Samudra saat kepalanya terbentur padas cukup keras.
Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali hingga membuat kepalanya berdenyut-denyut saking kerasnya setiap benturan.
Brakk!
Lagi-lagi saat melalui belokan ke kiri, kali ini justru jidatnya terbentur padas padat, namun kali ini sudah bisa ditahan lagi.
Ia pingsan!

-o0o-

Entah berapa ia pingsan, tapi akhirnya siuman juga.
“Uhhh ... kepalaku ... “ keluhnya sambil memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.
Lalu ia mengambil sikap semadi, dua kali terlipat membentuk teratai dengan dua telapak tangan saling bertemu di depan dada. Napas mengalir pelan dari hidung, melewati leher, dilanjutkan mengisi paru-paru. Begitu seterusnya hingga sebentar kemudian sebuah aliran hawa hangat yang berada di bawah pusar bergolak. Bocah berbaju biru itu segera mengalirkan hawa hangat ke seluruh tubuh.
“Hemm, lumayan juga! Kepalaku sudah tidak sakit lagi!” gumamnya. “Dimana aku ini?”
Keadaan liang yang gelap dan yang jelas karena ia buta, membuat Jalu sulit sekali menentukan arah dan dimana saat ini ia berada. Beberapa kali ia memiringkan kepala, namun tidak terdengar suara apa pun, hanya desiran angin yang menerpa dari arah depan.
“Angin bertiup dari depan ... kemungkinan besar ada lubang angin disana. Tidak ada suara seekor binatang pun di tempat ini.”
Baru saja ia bangkit, tangannya secara tidak sengaja menyentuh sebuah benda panjang.
“Tongkatku!” serunya gembira setelah mengetahui bahwa benda yang tersentuh tangan kirinya adalah tongkat warisan dari nenek Tombak Utara.
Tongkat hitam!
Dengan memegang tongkat hitamnya, ia mulai meraba-raba keadaan sekitar liang, dan akhirnya ia menemukan sebuah lorong.
“Hemm ... disini cuma ada lorong ini? Masuk atau tidak, ya?” gumamnya, “ ... ah ... bodo amat! Paling-paling juga mampus.”
Setelah mengambil keputusan bulat, ia memasuki lorong yang tidak diketahui seberapa dalam dan bahaya yang akan dihadapinya. Setelah berjalan dua tombak lebih, ia mendapati sebuah ruangan yang cukup besar dan lebar.
“Anginnya bertiup semakin kencang. Pasti ini sebuah ruang atau gua yang cukup besar.”
Baru saja berjalan beberapa langkah.
Kriuukk! Kriukkk!
“Yach ... perutku minta jatah.” keluhnya, “Biasanya ini perut baru minta jatah setelah empat hari. Apa aku pingsan selama itu ya?” katanya sambil duduk bersandar di dekat pintu gua. “Mau makan apa di tempat seperti ini?”
Saat ia berniat meletakkan tongkat di samping kiri, tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh sesuatu yang menggantung berada persis sejangkauan di depannya.
“Eh ... apa itu tadi?”
Hidung sedikit mengendus-endus, mirip sekali dengan hidung anjing yang membau daging.
“Baunya harum sekali.”
Dengan sedikit meraba-raba, akhirnya ia berhasil menemukan benda yang mengeluarkan bau harum semerbak.
“Apa ini?”
Tangan kanannya memegang-megang dua benda kecil sebesar buah tomat.
“Apa ini yang namanya tomat ya? Kata nenek benda seperti ini namanya tomat.”
Setelah itu ia menggeser tangan, searah dengan buat yang disebutnya tomat.
“Buah apa ini? Kok besar banget! Apa kelapa ya? Dua lagi!” tangannya terus menggeser ke samping sambil mengomel panjang pendek. “Uh ... siapa sih yang kurang kerjaan menggantung buah tomat bersebelahan dengan buah kelapa.”
Saat ia beralih ke sebelah, ia mendapati sebuah benda panjang yang cukup keras.
Hanya sebuah!
“Benda apa lagi ini? Jangan-jangan ... ini mentimun?” katanya dengan nada aneh. “Aku pernah makan mentimun pemberian kakek. Meski sedikit keras, tapi bisa mengurangi lapar beberapa lama.”
Setelah itu ia menggeser tangan ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ditemukan apapun di tempat itu.
“Enak dimakan nggak ya?” katanya. “Coba dulu ah ... moga-moga aja tidak beracun.”
Setelah itu, Jalu menggeser sedikit ke kanan, melewati buah mentimun, dua buah kelapa dan akhirnya singgah pada buat yang disebutnya tomat, lalu dipetiknya dengan pelan.
Kress!
“Hi-hi-hik, suaranya nyaring juga, kayak dipotong dengan pisau,” katanya sambil memasukkan satu buah tomat ke dalam mulut. Setelah mengunyah sebentar, langsung ditelan, dan langsung amblas ke dalam perut. “Manis! Coba yang satunya!”
Ia pun memasukkan buah satunya ke dalam mulut, dan dengan cara yang sama benda itu akhirnya menghuni ke dalam perutnya.
“He-he-he, segar juga!” katanya sambil mengecap-ngecapkan mulut. “Sekarang yang mana lagi ya?”
Ia pun menggeser sedikit ke kiri.
“Kalau makan buah kelapa, ntar ngga habis. Lebih baik yang mentimun aja dech, buah kelapanya buat empat dan delapan hari ke depan.” katanya setelah menimbang-nimbang antara makan buah kelapa dan mentimun. Kemudian ia memetik buah mentimun dengan lembut. Dan lagi-lagi terdengar suara pelan seperti pisau memotong daun.
Kress!
“Wah ... yang ini juga bersuara nyaring. Jangan-jangan tanaman aneh ini ada penunggunya,” gumamnya, “Bodo ah! Mau makan saja ribet amat! Perkara ada penunggunya atau tidak, itu urusan belakangan!”
Jalu Samudra dengan nikmat makan mentimun yang baru saja dipetiknya sambil duduk di dekat pintu gua.
Krauk! Krauk!
“Edan! Ini buah apa batubata? Kerasnya minta ampun!” katanya sambil mengunyah cepat, terus di telan begitu saja. “Rupanya mentimun ini ngajak perang mulut! Baik aku layani!”
Dengan semangat membara, mentimun itu kembali beradu keras dengan gigi Jalu Samudra.
Krauk! Krauk!
Suara beradu pun kembali terdengar di tempat itu, bahkan sampai menggema ke mana-mana, menjalari seluruh dinding dua. Setiap kali si bocah menggigit dan mengunyah, langsung terdengar suara gema yang kian lama kian keras, tapi semua itu tidak disadari oleh Jalu samdra.
Yang ada di kepalanya saat itu hanyalah makan dan makan!
Sepeminuman teh kemudian, buah mentimun yang kerasnya mirip batubata itu akhirnya kalah telak, dan kini menghuni perut si bocah buta.
“Wah ... sekarang kok haus ya? Ambil buah kelapa ah ... “
Baru saja ia bangkit berdiri, mendadak sebentuk arus panas dan kuat disertai rasa perih menjalari sekitar perut.
“Aduh ... celaka! Jangan-jangan buahnya beracun!” kata si Jalu sambil memegangi perut.
Saat ia menekan perut, tiba-tiba saja sepasang matanya bagai dijalari sengatan petir.
“Aahhh ... “ jerit si Jalu sambil memegangi dua matanya.
Setelah mata, gantian bawah pusarnya, tepat dimana pilar tunggal penyangga langitnya berada, kini terasa panas membara bagai di godok dalam kuali.
“Huaa ... “
Kali ini jeritan si Jalu semakin keras … semakin keras dan semakin keras terdengar, seolah beusaha memenuhi seluruh ruangan dengan jerit lengking kesakitan. Sebentar kemudian, seluruh tubuh si Jalu merasakan sakit yang terus menjalari seluruh jalan darah di dalam tubuh. Rasa panas bagai di panggang api serta sekujur tubuh bagai dihujani sengatan halilintar datang silih berganti. Si bocah buta betul-betul mengalami siksaan yang berat.
Lebih berat dari kebutaan yang ia alami!
Suara teriakan keras diikuti dengan kelojotan tubuh yang berguling-guling kesana kemari memenuhi gua bawah tanah.
Sementara itu diluar sana, saat matahari musim kemarau berada tepat di atas kepala, seleret cahaya kilat datang silih berganti.
Sratt! Sratt!
Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Semuanya mengarah pada liang ular, lalu berkelok-kelok dan akhirnya menghujani tubuh Jalu yang saat ini sedang berkelojotan menahan sakit akibat makan buah tomat dan mentimun aneh.
Zrrtt! Zrrtt!
Semua orang bisa melihat kilatan itu dengan jelas, bahkan Suro Keong dan Suro Bledek yang saat itu sedang mengawasi latihan silat antara Nila Sawitri dengan Kumala Rani pun tercekat melihat kilatan cahaya putih di langit biru yang terang benderang.
“Apa akan hujan, ya?”
“Tidak mungkin hujan!” sela Suro Keong.
“Tapi kok ada kilat di langit?”
“Aku juga tidak tahu.”
“Ini khan pertengahan musim kemarau, tidak mungkin terjadi hujan, Paman!” kata Kumala Rani, sambungnya “ ... kecuali kepepet! Hi-hi-hi!”
“Maksudmu ... hujan di musim kemarau begitu?” seloroh Suro Keong, menimpali canda Kumala Rani.
Kilatan cahaya di langit hanya terjadi sebentar, setelah itu langit kembali bersih dan matahari semakin garang memancarkan sinarnya.
“Bledek, apa kau menghitung berapa jumlah sambaran kilat barusan?”
“Jika tidak salah hitungan sekitar sembilan kali.” kata Suro Bledek.
“Benar! Sembilan kali tepat! Tidak lebih dan tidak kurang!” ucap Suro Keong, mantap.
“Memangnya ada apa dengan sambaran kilat sembilan kali? Kukira tidak ada yang aneh?”
“Aku masih ingat dengan perkataan mendiang guru kita. Jika di langit muncul sambaran kilat sebanyak sembilan kali, itu artinya ada orang yang berhasil menguasai Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ dengan sempurna.”
“Apa? Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ yang legendaris itu?”
“Benar!”
“Maksudmu sempurna ... itu tingkat ke sembilan?”
“Tepat! Tingkat ke sembilan!” tegas Suro Keong, lalu bergumam lirih, “Tapi ... siapa orangnya yang bisa menguasai ilmu langka itu?”
Di dalam gua bawah tanah ...
Begitu sambaran kilat ke sembilan menerjang tubuh Jalu, sebuah lengkingan keras terdengar. Bahkan lengkingan kali ini lebih besar dari sebelumnya.
“Aaaaaahh ... “
Tubuh kecil itu kembali tersentak-sentak bahkan lebih keras dari sebelumnya dan ketika sampai pada titik kekuatan yang dimilikinya ...
Ia pingsan!
Bagaimana pun juga, ia masih seorang bocah. Sakit atau pun derita tampaknya akan selalu membayangi perjalanan hidup bocah buta yang dibesarkan di oleh laut, tepatnya di Gua Walet. Sepanjang ia mengarungi samudra kehidupan selain kakek neneknya yang paling menyayangi dirinya, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan orang mencaci-maki dirinya dengan segala bentuk umpatan yang menusuk perasaan. Gelandangan-lah, pengemis-lah, si buta-lah, atau apalah sebutannya, ia terima dengan lapang dada. Justru dengan adanya caci maki itulah yang membentuk dirinya menjadi bocah bermental baja, berkemauan kuat dan pantang menyerah. Semua itu tidak lepas dari jasa baik Tombak Utara Tongkat Selatan yang mendidiknya sedari kecil. Caci-maki bagi Jalu merupakan cambuk yang bisa menguatkan semangatnya untuk bisa maju.
Baginya putus asa adalah dosa, sebuah perbuatan yang tidak bisa diampuni!
Meski ia mengalami siksaan lahir yang kuat dan menyakitkan, sebisa mungkin ia bertahan dengan sekuat tenaga. Sebisa mungkin hingga titik kekuatan tertinggi yang bisa ia raih. Saat ia mengalami siksa derita sehabis makan buat tomat dan mentimun aneh, sekuat mungkin ia bertahan dari serangan yang bertubi-tubi. Yang namanya laut saja ada pantainya, seperti halnya Jalu Samudra, kekuatan yang dimilikinya juga ada batasnya. Pada sengatan kilat ke sembilan, ia akhirnya kalah juga. Jiwa dan raganya ambruk, takluk oleh kekuatan alam yang maha dahsyat.
Justru karena ia makan tomat dan mentimun aneh itulah yang sebenarnya merupakan keberuntungan tidak terduga bagi si Jalu. Siksaan raga dan batin hanyalah proses penyatuan sepasang buah Naga Kilat dan Bibit Matahari ke dalam tubuhnya. Setelah penyatuan berakhir, maka berakhir pula siksa derita yang dialami si Jalu. Tanpa disadari sendiri oleh si Jalu, bahwa dalam dirinya kini bermukim dua kekuatan hebat yang bersumber dari Naga Kilat dan Bibit Matahari, dimana dengan penyatuan dua benda langka itu bisa menumbuhkan sebentuk kekuatan ajaib, yang oleh kalangan tokoh-tokoh persilatan disebut sebagai ...
Mata Malaikat!
Tidak ada satu pun tokoh persilatan yang bisa menemukan bagaimana bentuk asli dari Mata Malaikat. Semuanya masih dalam bentuk praduga. Ada yang mengatakan sebuah ilmu sakti, ada pula yang menyebut benda langka, bahkan terakhir kabar terdengar ada yang menyebut sebuah kitab pusaka. Namun, jsutru seorang bermata buta yang tidak kenal sama sekali oleh tokoh silat mana pun, berhasil mendapatkan apa yang disebut sebagai Mata Malaikat dengan sempurna!
Padahal sebenarnya, yang dimaksud dengan Mata Malaikat adalah Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat sembilan!
Mungkin dinamakan sebagai Mata Malaikat karena siapa saja yang terkena ilmu ini, tubuhnya langsung berasap dan akhirnya mati dengan tubuh menghilang, seperti halnya malaikat yang bisa datang dan pergi bagai asap. Ilmu ini pernah dimiliki oleh pasangan tokoh putih dari Partai Pengemis dari Aliran Rajawali Terbang pada masa lima ratus tahun silam, yang dijuluki sebagai Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga, yang konon kabarnya istri si Dewa Pengemis merupakan putri tunggal aliran Partai Pengemis (Gai Bang) dari Daratan Tiongkok.
Pada saat lima ratusan tahun silam hingga sekarang ini, Partai Pengemis dibagi menjadi tiga aliran yaitu Tongkat Dewa, Naga Perak dan Rajawali Terbang, dimana setiap aliran memiliki memiliki Ketua Aliran yang dipilih berdasarkan tataran ilmu kesaktian dan budi pekerti luhur. Tidak ada Ketua Tunggal dalam Partai Pengemis ini, sebab meski sama-sama dalam golongan pengemis, mereka tetap menghormati satu sama lain.
Barulah pada masa Dewa Pengemis-lah, tiga Partai Pengemis disatukan dalam satu wadah dengan tiga aliran masing-masing.
Dewi Binal Bertangan Naga yang waktu itu sedang terluka parah akibat kapalnya hancur di hantam badai, kemudian di tolong Dewa Pengemis muda dan akhirnya saling jatuh cinta kemudian mengikat diri sebagai pasangan suami istri. Dikarenakan kondisi luka yang tidak memungkinkan untuk belajar ilmu silat dalam tiga empat tahun ke depan, dua kitab sakti aliran aliran Partai Pengemis (Gai Bang) diberikan pada Dewa Pengemis untuk dipelajari, dimana si suami yang pada waktu itu sedang getol-getolnya mempelajari ilmu silat.
Itulah sebabnya, mengapa Dewa Pengemis hanya bisa menguasai tingkat tiga Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ dari leluhur aliran Pengemis yang diketemukan secara tidak sengaja di suatu tempat bawah tanah. Meski baru mencapai tingkat ke tiga dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, tapi sudah bisa membuat Dewa Pengemis disejajarkan dengan tokoh-tokoh tingkat atas dan dianggap memiliki ilmu sakti tersebut, sebab dari kedua matanya bisa mengeluarkan kilatan cahaya yang bisa menghancurkan apa saja termasuk tubuh manusia yang tersentuh akan berubah menjadi debu. Sampai pada akhirnya, Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga menghilang dari percaturan dunia persilatan lima ratus tahun silam, hingga sekarang ini tidak ada yang mengetahui tempat terakhir dari tokoh utama golongan pengemis tersebut.

-o0o-
 
iya ntar dic
ts harus buat sala satu syarat cerpan nih...

yaitu ss nya harus ada...

di tunnggu ss si jalu ama dua wanita itu...
ya ntar dicari yg pas
 
Ini cerita sebenarnya menarik tpi udh berpa thun sipengarang belum juga menamati...cerita nya..
ya betul ini cerita di posting okt 2007, dan sipengarang jg pernah ngepost nih cerita disalah satu forum yg sdh almarhum
dari situlah klo ga salah inget sipengarang pernah cerita klo dia mengalami musibah kecelakaan,
kemungkinan recovery kesehatannya membutuhkan waktu yg lama jd dia ga ngelanjutin nih cerita,
sampe skrg ga ada kabar beritanya.
yahh dgn saya memposting ulang cersil ini di forum Semprot ini (semoga beliau membacanya jg) dgn harapan beliau tergugah utk ngelanjutin nih cerita
minimal menamatkan cersil ini,
dan harapan saya sipengarang slalu diberikan kesehatan oleh yg maha kuasa
aamiin
 
iya ntar dic

ya ntar dicari yg pas


Kok di cari yang pas, lha katanya td di awal ini bukan murni punya TS :huh: hmmmmm tp klo punya ts ya silahkan di gubah sesuai selera wkwkw tp biarkan mengalir sesuai apa adanya, beuuuuuuhhhh klo aq punya ilmu mata malaikat wkwkwkw dah pasti ane akan jadi jagoan perlendiran :haha:
 
Kok di cari yang pas, lha katanya td di awal ini bukan murni punya TS :huh: hmmmmm tp klo punya ts ya silahkan di gubah sesuai selera wkwkw tp biarkan mengalir sesuai apa adanya, beuuuuuuhhhh klo aq punya ilmu mata malaikat wkwkwkw dah pasti ane akan jadi jagoan perlendiran :haha:
nahh iya itu makanya saya dari awal ga berani ngasih ss nya:Peace: karena ini bkn karya saya
 
Si Pemanah Gadis – Bab 6


Sembilan hari sembilan malam lamanya Jalu Samudra terbujur pingsan di tempat itu. Pakaiannya sudah compang-camping, hangus di sana-sini. Rambut gundul plontos, andai seekor lalat hinggap di sana pasti terpeleset saking licinnya.
Pada hari ke sembilan, tubuh si bocah mulai terlihat bergerak-gerak. Saat ia membuka mata, tiba-tiba matanya terasa silau.
“Uhh ... cahaya apa ini? Kenapa silau sekali,” katanya sambil memejamkan mata kembali. Setelah berkali-kali mengerjap-ngerjap mata menyesuaikan diri, akhirnya ia membuka kelopak mata. Begitu ia membuka mata, langsung terlonjak kaget.
“Lho ... sudah siang tho?”
Sebuah kata yang aneh terlontar dari mulutnya.
Tentu saja siang hari, terang benderang begitu masa' di bilang malam?
****** amat ni anak!
Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
“Ini ... pasti tongkatku,” katanya sambil memungut tongkat hitam.
Ia pun melihat ke sekelilingnya. Semua terlihat jelas alias jelas terlihat. Bahkan sampai seberapa luas dan lebarnya gua ia tahu. Saat ia mendongak, dilihatnya beberapa kelelawar bergelantungan di atas sana. Beberapa selongsong kulit ular terlihat berserakan dimana-mana.
“Tunggu dulu! Aku ... aku bisa melihat!” gumamnya sambil mengangkat dua tangan di depan mata. “Tanganku pun bisa kulihat dengan jelas.”
Tiba-tiba ia berjingkrak-jingkrak seperti orang kesurupan.
“Cihuy! Asyiikkk!! Aku bisa melihat! Aku bisa melihat!” katanya dengan keras. “Aku tidak buta lagi! Asyiikkk ... !!”
Benar-benar kamso alias kampungan tur ndeso!
Makin lama lompatannya makin tinggi, dan hampir saja ia kepala botaknya benjol membentur atap gua, jika tidak dengan sigap mencengkeram tonjolan batu yang ada di depannya.
“Upss!”
Kress!
Seperti meremas tahu, batu dinding gua itu langsung hancur. Tentu saja tubuh telanjang Jalu langsung meluncur ke bawah dengan deras.
Jlegg! Bless!
Begitu menyentuh tanah, sepasang kaki bocah buta yang kini bisa melihat itu, langsung amblas setinggi lutut!
“Wah ... kok aku jadi hebat begini?”
Disentuhnya tanah didepannya dengan jari telunjuk kiri.
Bless!
Tanah langsung bolong bundar!
“Jariku pun juga jadi hebat!” seru Jalu girang, “ ... kalau gini sih jadi mendadak sakti dong!”
Bukan mendadak dangdut, lho!
Pelan-pelan ia mengangkat kaki kiri keluar dari lubang, diikuti kaki kanan dikeluarkan pula.
“Jadi orang sakti susah juga, harus bisa mengatur tenaga biar tidak kelewar takaran.” keluhnya.
Saat ia menunduk dengan maksud melihat bekas injakan kaki, si Jalu terlonjak kaget.
“Wuaaa ... kok bisa gedhe begini?”
Tentu saja ia kaget, sebab ia melihat pilar tunggal penyangga langit miliknya menjadi panjang mendekati pusar dan berukuran lumayan besar, sedang berdiri tegak menantang mengajak perang. Dengan gemetar, ia mulai menyentuh pilar tunggal penyangga langit, dan disentilnya pelan.
“Benar-benar keras! Aduh gimana nih ... kok tidak lemes-lemes juga?” keluhnya, “Kalau dilihat orang khan malu. Ntar pada bilang masa’ kuda ekornya di depan?”
Begitulah ... sesorean Jalu Samudra sibuk dengan hal-hal baru. Mata melek, lalu adanya lonjakan tenaga dalam yang berubah ribuan kali lipat, hingga perubahan postur tubuh yang menjadi lebih kekar, bahkan kulit menjadi lebih liat dan kenyal. Adakalanya ia mencoba jadi orang buta dan berjalan dengan tongkat hitam sambil mengetuk-ngetuk tanah, bahkan dengan otak mesum ia membayangkan tubuh telanjang Kumala Rani yang sedang mandi.
Dasar bocah piktor (pikiran kotor)!
Merembang malam, barulah ia bisa menyesuaikan dengan keadaan dirinya yang baru. Bahkan saat ia menemukan peti kecil yang berisi beberapa pakaian, langsung dipakai meski kedodoran dimana-mana, tapi sudah dari cukup membungkus rapat tubuhnya, terutama sekali pilar tunggal penyangga langitnya yang kini sudah kembali ke bentuk semula, meski saat tertidur terlihat gedhe juga dan rasanya berat di depan.
Di sudut gua, ia menemukan sebuah pancuran air dengan kolam jernih. Beberapa ekor ikan tampak berlalu lalang di kolam itu. Lalu ia menuju dimana beradanya sebuah peti kecil dan dari dalam peti kecil ia mengeluarkan satu jilid kitab yang terdiri dari tiga bab, terus berjalan ke pinggir kolam, lalu duduk uncang-uncang kaki di tepi kolam.
Pada sampulnya ia membaca tulisan jawa kuno yang berbunyi 'Kitab Dewa Dewi Diperuntukkan Bagi Yang Berjodoh' sedang dibawahnya tertulis 'Buah cinta Dewa Pengemis kepada Dewi Binal Bertangan Naga’!
“Apa aku berjodoh dengan kitab ini, ya?” renungnya setelah ia membaca sampul kitab.
Lalu pada lembar kedua, berisi sebuah tulisan yang cukup panjang.

Muridku,
Jika kau bisa membaca tulisan ini, berarti kau sudah lulus ujian yang kami berikan!

“Ujian? Memangnya tadi ada ujian?” pikirnya.

Jika muridku laki-laki, haruslah berumur dibawah dua belas tahun dan jika seorang gadis haruslah berusia dibawah sebelas tahun.
Untuk mempelajari kitab ini, yang laki-laki terlebih dahulu harus selamat dari siksaan sambaran Naga Kilat dan dipanggang panasnya Bibit Matahari, sedang yang gadis harus selamat dari dinginnya Kabut Rembulan. Dua buah Naga Kilat dan Bibit Matahari diberikan khusus hanya laki-laki sedangkan dua butir Kabut Rembulan yang berukuran besar hanya boleh diberikan kepada seorang gadis. Keliru memakan dua jenis benda langka akan mengubah jiwa laki-laki menjadi berjiwa perempuan dan berjiwa perempuan menjadi jiwa laki-laki.
Ingat baik-baik pesanku ini, muridku!

“Jadi yang berbentuk bulat besar seperti kelapa gading itu namanya Kabut Rembulan. Wah ... untung aku tidak rakus kemarin! Kalau kumakan seluruhnya ... Hiiih! Makan Buah Naga Kilat dan Bibit Matahari saja sudah seperti ini, kalau sekalian kumakan Kabut Rembulan, kayak apa aku ya jadinya?” gumam Jalu sambil bergidik ngeri. “Mungkin dinamakan banci kali ya?”
Bisa dibayangkan laki-laki seperti dia memiliki payudara yang besar lengkap dengan pilar tunggal penyangga langit panjang dan besar.
Jalu Samudra melanjutkan dengan membuka lembaran kedua.

Muridku,
Akibat dari dua buah Naga Kilat dan Bibit Matahari akan memunculkan Tenaga Sakti Kilat Matahari yang jumlahnya sembilan tingkat. Siksa derita ini harus bisa kau tahan hingga sampai pada sambaran ke sembilan, jika kurang dari sembilan sambaran dan kau sudah jatuh pingsan, maka Tenaga Sakti Kilat Matahari hanya bisa dikuasai sampai tingkat dua setengah. Sama halnya jika tidak kuat dengan dinginnya Kabut Rembulan.

“Perasaan ... kemarin aku tersengat sambaran kilat sembilan kali berturut-turut. Tapi entahlah ... mau tingkat dua setengah atau sembilan kek, itu bukan urusanku,” katanya mantap, lalu ia melanjutkan membaca.

Jika kau tidak tidak menelan buah Naga Kilat, Bibit Matahari atau pun Kabut Rembulan, jangan harap bisa membuka dan membaca kitab ini!
Mati hangus tersambar kilat atau mati beku diserang kabut!

“Ooo... begitu rupanya! Jadi untuk bisa membuka dan membaca kitab ibi, harus disiksa dulu. Kejam amat yang buat kitab ini!” gerutunya, “ ... tapi, sekarang khan mereka berdua sudah jadi guruku. Ngga boleh mengejek guru dong, itu khan sama artinya mengejek diri sendiri.”
Pada bagian bawah terdapat tulisan yang terdiri dua baris saja.

Seluruh isi kitab harus dipelajari semua!
Waktumu hanya sepuluh tahun sejak kitab ini terbuka, dan untuk keluar hanya dengan cara ikan menyusup ke kedalaman!

“Apa maksudnya?” kata Jalu sambil membuka lembar berikutnya, “Masa mempelajari kitab segini tebal harus sepuluh tahun? Mana cukup?”
Pada lembar berikutnya tertulis, Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’!
“Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’? Nama ilmu kok aneh begini?” katanya sambil membuka lembar berikutnya.
Begitu ia terbuka, langsung saja ia terperanjat kaget!
“Huah! Ilmu apa ini?” serunya sambil memelototi gambar-gambar yang ada di depannya.
Bagaimana tidak kaget, sebab yang namanya Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’ berisi gambar-gambar hubungan intim antara pria dan wanita, dimana pada tiap jurus memuat penjelasan detil tentang tata krama dan tata tertib plus aneka trik hubungan intim yang unggul, dimana seluruhnya terdiri dari ‘30 Jurus Asmara Pemanah Gadis‘. Nama-nama jurus juga ditampilkan dalam nuansa romantis.
Benar-benar lengkap!
Di bagian kiri atas terdapat sederet tulisan kecil yang berbunyi 'Karya cinta kasih Dewi Binal Bertangan Naga dan Dewa Pengemis'!
“Wah ... kalau ilmu seperti ini sih ... tanpa disuruh pun aku juga mau belajar. He-he-he ... asyik juga jadi murid mereka berdua!” ia berkata sambil membuka-buka lembar gambar yang ada, hingga tuntas seluruhnya. Bahkan jurus-jurus silat aneh yang intinya dari ‘30 Jurus Asmara Pemanah Gadis‘ terpampang disitu.
Lalu ia membuka bab berikutnya, tepatnya pada halaman ke tiga puluh tiga. Disana tertulis '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang karya Dewa Pengemis, di bawahnya tertulis 'Jurus ini merupakan gubahan terbaru dari ‘36 Jurus Tongkat Penggebuk Anjing (Da Gou Bang Fa)’ dari Daratan Tiongkok serta seluruh inti ilmu silat Dewa Pengemis!'.
“Jurus Panah Hawa?” kata lirih si Jalu, sambil mengamati posisi tangan dan kaki dari gambar yang ada di dalam kitab.
Pada jurus pertama, tertulis 'telunjuk kanan menghadap ke langit, menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari'. Begitu ia mengikuti petunjuk dan posisi seperti gambar, dimana jari telunjuk kiri menuding-nuding diikuti hentakan tenaga dari pusar melewati jari.
Srett!
Keluar seberkas cahaya putih berkelok-kelok dari jari telunjuk dan melabrak dinding di depannya, menimbulkan suara desisan keras.
Cuss! Brull!
“Wah ... hebat! Dinding batu saja bisa berlobang,” ujar si bocah kagum sambil mengamat-amati jarinya yang baru saja melepaskan ‘Jurus Panah Hawa’ bagian pertama tanpa disadari. Begitu seterusnya, ia mencoba setiap jurus yang ada dalam Kitab Dewa Dewi itu. Hingga pada halaman ke tujuh puluh, terdapat tulisan yang cukup aneh bagi mata Jalu.
“Tulisan model rumput begini cara bacanya gimana?” keluhnya sambil membolak-balik kitab.
Akan tetapi terjadilah keanehan, begitu si Jalu membolak-balik kitab untuk ketiga kalinya, dibawah tulisan rumput keluar tulisan lain yang berbunyi '18 Jurus Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)'!
“Kitab ini pengertian sekali, cuma dibolak-balik saja bisa menterjemahkan tulisan yang tidak kumengerti.” katanya sambil membuka-buka Kitab Dewa Dewi temuannya.
Pada bagian akhir kitab, dimuat pula tata cara bagaimana melatih Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ hingga tingkat ke sembilan.
“Lebih baik, aku latih dulu tenaga saktiku, biar bisa mengontrol dengan baik dan benar, tidak kelepasan seperti tadi.”
Lalu bocah yang kini tidak buta lagi itu berlutut di tanah.
“Guru Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga, murid Jalu Samudra memberi hormat! Serta berjanji dengan sepenuh hati belajar dengan giat dan pantang menyerah.” katanya sambil membentur kepala tiga kali ke tanah. “Mohon arwah guru berdua merestui!”
Akhirnya, dengan kesungguhan hati, Jalu Samudra yang berjodoh dengan Kitab Dewa Dewi mempelajari kitab itu dengan seksama. Bahkan Ilmu Silat 'Kepiting Kencana' yang diwarisi dari kakek neneknya digabung dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ semakin terlihat kehebatannya. Namun, ada satu hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh Jalu Samudra yaitu kebiasaan mengetuk-ngetukkan tongkat ke tanah seperti orang buta berjalan dan justru yang tidak disadari oleh si bocah, meski matanya bisa melihat seperti mata orang pada umumnya, bahkan mungkin lebih tajam, tapi bola mata si Jalu tetap berwarna putih bersih.
Mata orang buta!

-o0o-
 
Si Pemanah Gadis – Bab 7


“Orang-orang Gagak Cemani harus menerima pembalasanku! Gara-gara kalian, kekasihku mati!” geram seorang gadis cantik berpakaian putih-putih sambil mengarahkan dua jari tangan lurus kencang diikuti dengan sentakan kuat ke depan berulang kali.
Syutt! Syutt!
Darr! Daarrr!
Orang-orangan dari tumpukan jerami langsung berhamburan diselimuti bau sangit menyengat saat sinar putih sepanjang satu tombak berhawa panas menerabas langsung. Jurus apalagi yang digunakan gadis cantik berpakaian putih-putih itu jika bukan Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’, dan yang menguasai jurus maut itu selain Suro Keong yang dijuluki si Pendekar Tombak Putih, tentulah muridnya. Namun, ternyata ia bukanlah murid resmi si Pendekar Tombak Putih, tapi keponakan dari saudara seperguruannya yang bernama Suro Bledek, pemilik jurus 'Mulut Guntur'.
Pada sepuluh tahun silam, dua murid Perguruan Gunung Putri yang tersisa yaitu Nila Sawitri dan Kumala Rani ditolong oleh Suro Keong dan Suro Bledek dari keroyokan Sembilan Gagak Sakti, dan pada akhir pertarungan sembilan orang dari Perkumpulan Gagak Cemani harus melepas nyawa di tangan dua tokoh sakti itu, dimana yang satu orang justru terbunuh di tangan Jalu Samudra.
Delapan tahun sejak peristiwa maut itu, di saat Kumala Rani sedang berjalan-jalan dengan kekasihnya yang juga anak kepala desa yang bernama Raganata, mereka diserang orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani. Namun kali ini Raganata yang berilmu silat pas-pasan harus meregang nyawa menghadapi satu orang saja dari Perkumpulan Gagak Cemani. Yang pada akhirnya, sepuluh orang lawan Kumala Rani juga harus menyusul Raganata ke alam baka, sebagai bentuk balas dendam pada kekasih yang sangat dicintai oleh gadis cantik itu.
Kumala Rani kemudian semakin tekun berlatih silat dibawah bimbingan Suro Keong, sedang kakaknya Nila Sawitri yang saat itu baru saja menikah dengan seorang pendekar muda Rangga Wuni yang berjuluk Pedang Naga Perkasa juga menimba ilmu pada Si Mulut Guntur, sehingga pasangan suami istri itu masing-masing menguasai jurus ‘Mulut Guntur’. Jika Rangga Wuni hanya mencapai tingkat enam justru Nila Sawitri berhasil menembus tingkat delapan. Sekarang pasangan suami istri itu menghuni puncak Gunung Naga yang bersebelahan dengan Gunung Putri dan mendirikan sebuah partai persilatan yang bernama Partai Naga Langit.
Mendengar bahwa kekasih adiknya tewas di tangan orang-orang Gagak Cemani, membuat Nila Sawitri naik pitam. Beruntunglah bahwa suaminya dengan sabar memadamkan kemarahan istrinya, karena memang belum waktunya mereka menggempur Perkumpulan Gagak Cemani yang telah membunuh Raganata dan juga menghancurkan Perguruan Gunung Putri.
“Rani! Jika jiwamu dalam kondisi tidak tenang, Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’ hanya berfungsi setengah saja,” seru seorang yang berjalan dengan lambat-lambat menghampiri si gadis.
“Paman!”
“Bagaimana pun juga, kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, Rani!” kata Suro Keong sambil mengelus pelan rambut Kumala Rani yang saat itu berdiri dengan napas memburu, “Apa kematian Raganata masih terus membayangimu?”
Kumala Rani hanya terdiam. Tidak berkata berarti benar.
“Saat ini ... dendam kesumatmu harus kau kubur ke dasar hatimu yang paling dalam. Jika kau belum menguasai benar jiwamu, tingkat terakhir dari pukulan yang kau mainkan tidak bisa berjalan sempurna.” kata Pendekar Tombak Putih sambil mendekati orang-orangan dari jerami itu, “Lihat buktinya! Seharusnya kau bisa menghanguskan seluruh bagian orang-orangan ini dengan ilmu itu, tapi pada bagian bawah masih utuh, tidak tersentuh sedikitpun hawa pukulanmu.” sambungnya sambil menunjuk bagian bawah orang-orangan jerami.
Kumala Rani hanya menunduk lesu.
“Jika kau ingin bisa segera membalas dendam, hilangkan dulu hawa amarahmu.” kata Suro Keong kemudian.
Gadis cantik berbaju putih segera menghela napas dalam-dalam, lalu dihembuskan dengan pelan melalui hidung dan mulut. Sebentar kemudian ia sudah merasa tenang kembali.
“Bagus!” seru Suro Keong, “Coba kau ulangi jurus pukulan tadi.”
Kumala Rani mengarahkan dua jari tangan lurus kencang diikuti dengan sentakan kuat ke depan. Sinar putih sepanjang satu tombak berhawa panas menerabas langsung dengan cepat. Kali ini sinar putih itu lebih cepat dan lebih berbahaya dari sebelumnya
Syutt! Syutt!
Blub! Jdarr!
Orang-orangan yang sebelah kiri yang masih utuh langsung hancur berhamburan diselimuti bau hangus menyengat.
Plok! Plok!
“Kau betul-betul hebat, Rani!” seru seseorang dengan suara keras.
Siapa lagi jika bukan Suro Bledek, Si Mulut Guntur!
“Kekuatan seperti itulah Ilmu ‘Pukulan Tombak Akherat’ yang sejati!” kata Suro Keong membenarkan ucapan Suro Bledek. “Gunakan dengan jiwa tenang, maka tenaga yang terpancar justru semakin mantap dan berbahaya.”
“Terima kasih atas nasehatnya, paman berdua.” kata Kumala Rani.
“Hari sudah sore, lebih baik kau mandi sana. Baumu sudah sampai disini,” kata Suro Keong sambil memencet hidung betetnya. “Siapa tahu saja ada perjaka tampan yang bisa memikat hatimu jika sudah mandi bersih.”
“Ah ... Paman bisa saja.”
Kumala Rani segera masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan sebuah buntalan berisi baju dan celana.
“Kau mau kemana?” tanya Suro Bledek, heran.
“Mau mandi sekalian mencuci di danau.”
“Tapi di danau khan ada ularnya?”
“Pukul saja dengan Tombak Akherat, khan beres.” seru Kumala Rani dari kejauhan.
“Ooi ... ilmuku bukan untuk membunuh ular!” seru Suro Keong.
“Biarin!”
Kumala Rani sudah menghilang di kelokan yang ada di ujung jalan.
“Bocah itu makin lama makin bandel saja.”
“Lha memang siapa gurunya? Khan kau juga!”
“Eee ... memangnya kau juga bukan gurunya?”
“Bukan! Aku khan gurunya kakaknya, bukan gurunya adiknya!” elak Suro Bledek.
“Huah-ha-ha-ha!”
Keduanya langsung tertawa terbahak-bahak.
Entah apanya yang lucu, pokoknya tertawa!

-o0o-
 
Kwkwkwwkw tongak penyanga langit
Wah kayaknya rani nich bakal jadi santapan mata pertama si buta dari gua hantu wkwkwkwk
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd