Si Pemanah Gadis – Bab 13
“Berapa jumlah mereka?” tanya seorang pemuda berbaju biru laut pada dara cantik di sebelahnya.
“Sekitar tiga puluhan orang, mungkin lebih,” jawab si gadis tanpa mengalihkan pandangan.
“Banyak juga! Jika langsung diserang mendadak, mungkin sembilan sepuluh orang bisa kita bereskan, justru sisanya itulah yang paling merepotkan,” bisik si pemuda lirih.
“Kenapa dulu aku tidak belajar melempar pisau terbang atau senjata rahasia,” sahut lirih si gadis. “Kakang Jalu, kau pernah belajar menggunakan senjata rahasia?”
“Belum pernah, Rani!” kata Jalu dengan singkat.
Mata putih menatap nanar pada sekumpulan orang yang sedang menyantap daging ayam bakar.
Saat ini mereka berdua sedang bertengger di atas sebuah dahan yang cukup besar dengan duduk bersebelahan. Pohon tempat persembunyian mereka berada dalam jarak aman sehingga lawan tidak bisa mendeteksi keberadaan dua insan itu.
“Bagaimana kalau kita serang sekarang juga?” kata Rani sambil mengarahkan dua jari tangan lurus kencang.
“Jangan gegabah! Dengan jurus pukulanmu mereka akan mengenali siapa kau adanya,” cegah Jalu sambil menyentuh lembut lengan gadis itu.
“Lalu kita harus bagaimana?” tanya Kumala Rani sambil menurunkan tangan.
Pemuda itu tidak menjawab. Tangan kiri meraih tongkat kayu hitam, tangan kanan menarik pelan seutas tali hitam, lalu sedikit direntangkan mundur.
Sebuah busur kini terentang!
“Apa yang Kakang lakukan?”
“Membuat hujan turun dari langit.” kata si Jalu sambil mengarahkan busur ke atas.
Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat empat dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari yang ada di pusar.
Swoshh ... !!!
Sebentuk tenaga berupa kilatan cahaya kuning kebiru-biruan merambat keluar melewati tangan kanan dan kiri, lalu membentuk empat buah benda bulat kecil memanjang sepanjang setengah tombak. Rupanya dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, Jalu Samudra bisa membuat anak panah sejumlah empat sekaligus, dimana mata anak panah berbentuk kepala burung rajawali dengan tangkai yang memancarkan cahaya bening kuning kebiru-biruan.
“Ilmu apa lagi yang mau digunakan Kakang Jalu?” pikir Kumala Rani takjub, “Hebat juga dia bisa membuat anak panah dari pancaran hawa tenaga dalamnya. Entah darimana ia mempelajari ilmu unik ini.”
Kali ini Jalu Samudra mengerahkan jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ yang merupakan salah satu bagian dari '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis. Begitu empat anak panah telah terbentuk sempurna, dengan sedikit tarikan yang semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali yang direntang.
Sasarannya adalah ... matahari!
Srett! Twanggg!
Empat anak panah terlepas dari busur. Bagaikan burung rajawali langsung melesat cepat ke angkasa menuju matahari.
“Apa yang Kakang panah? Bukankah mereka ada di bawah sana?' kata Kumala Rani sedikit kesal setelah mengetahui serangan panah tidak ditujukan pada orang-orang Gagak Cemani yang ada dibawah sana.
Jalu Samudra hanya tersenyum ringan.
“Edan! Ditanya baik-baik malah senyam-senyum mirip orang sinting.” pikir Rani, “ ... tapi kalau dilihat-lihat, senyumannya manis juga.”
Sementara itu, rombongan kecil itu tidak menyadari bahaya yang mengancam.
“Apa itu?” tanya salah satu diantara mereka yang makan sambil tiduran hingga bisa menatap langit biru sehingga bisa melihat sekawanan benda kecil berwarna hitam bergerombol di atas sana
Salah seorang berkomentar, “Cuma sekawanan burung yang mau kawin. Apa anehnya?”
Beberapa orang tertawa pelan mendengarnya.
Tess!
Setitik air bening menetes dan mengenai lengan kanan orang baru saja berkomentar.
“Lho, ini khan air hujan? Masak siang benderang ada air hujan?” katanya sambil mendongak. “ ... tapi ... kenapa rasanya panas menyengat ya?” katanya lagi sambil mengusap-usap lengan yang terkenan tetesan air hujan. Semakin diusap justru semakin membengkak besar.
Belum lagi hilang keterkejutan mereka, datanglah bencana yang sangat mengejutkan.
Kali ini justru nyawa mereka yang terkejut bukan alang kepalang!
Bagai dicurahkan dari langit, titik-titik air maut berbentuk panah berkepala rajawali langsung menerjang bagai hujan lebat dari langit.
Bress! Bress! Bessh!
“Huahhh ... aakhh .... ugh ... “
“Panas ... panass ... tolooong ... “
Jerit lengking kematian terdengar keras bagai membelah bumi mengguncang langit. Tiga puluh orang itu tubuhnya seketika melepuh bagai tersiram air panas dan kulit terkelupas bagai disayat pisau. Beberapa diantara mereka yang sudah tidak tahan dengan rasa sakit dan panas menyengat bagai terkena sambaran kilat, langsung memukul kepala mereka sendiri.
Bunuh diri!
Sisanya dengan bergulingan di tanah, berkelojotan meregang nyawa. Teriakan kepanasan dan minta tolong mengiringi jerit kematian kini telah mereda dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula mereka melepas nyawa.
Mati dengan kondisi mengenaskan!
Tapi kematian mereka masih berlanjut. Saat hujan panah buatan akibat jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ yang dikerahkan Jalu Samudra menggunakan tingkat empat dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ berhenti, tubuh mereka mulai meleleh, mencair dan akhirnya menyatu ke dalam tanah.
Dari tanah kembali tanah!
“Bukan main! Jurus yang baru saja kau peragakan betul-betul jurus maut!” kata Kumala Rani dengan bergidik ngeri saat melihat orang-orang Gagak Cemani tewas terbantai tanpa perlawanan.
“Hemm ... aku sendiri tidak menyangka kalau jurus yang kugunakan begitu mengerikan akibatnya,” sahut Jalu Samudra menyesali diri.
“Kau tidak perlu menyesalinya, Kakang Jalu!” hibur Kumala Rani pada pemuda yang semakin membuatnya kagum, “Jika dibandingkan dengan perbuatan mereka, perbuatanmu tadi tidak sebanding dengan mereka.”
“Meski begitu, mereka juga manusia sama seperti kita.”
“Kalau saja pikiran mereka sama dengan apa yang Kakang pikirkan, tentu aku akan sangat mengasihani mereka. Tapi pikiran mereka tidak seperti itu, Kakang,” ucap Kumala Rani, sambungnya, “ ... yang mereka pikirkan hanyalah kesenangan diri mereka sendiri, perkara orang lain menderita akibat perbuatan mereka ... itu sudah urusan lain.”
Sambil menghela napas, Jalu berucap, “Mungkin yang katakan tadi benar, Rani! Tapi aku ... “
“Sudahlah, tidak usah Kakang memikirkannya.” kembali Rani menghibur, “Jika mereka tidak dihabisi sekarang, tentu orang-orang Partai Naga Langit dan penduduk di sekitarnya yang akan menjadi korban.”
Jalu Samudra mengangguk-anggukkan kepala.
Kumala Rani sedikit berjinjit dan ...
Cupp!
Sebuah ciuman hangat mendarat di pipi kiri Jalu.
Jalu hanya mengusap pelan pipi kiri yang baru saja mendapat ciuman.
“Kita pergi dari sini, siapa tahu masih ada kelompok yang lain,” kata Jalu sambil menggandeng tangan Rani dan berkelebat turun.
“Selain kau pandai memanah mati orang, ternyata Kakang juga pandai memanah hati seorang gadis.” kata Kumala Rani dengan mesra, lalu ia bergerak ke punggung Jalu.
Apalagi jika bukan minta digendong?
Sebab selama dalam perjalanan menuju Partai Naga Langit, Kumala Rani berada dalam gendongan Jalu. Andai saja hawa tenaga dalam gadis itu sudah mencapai tingkat tinggi, bisa saja ia menyamai kecepatan lari yang dikerahkan Jalu.
Dan jika tidak dalam kondisi tergesa-gesa, Jalu inginnya berlama-lama dengan dara cantik yang ada dalam gendongannya, dan tentu saja Jalu dengan senang hati menggendong si gadis cantik, sebab dengan begitu punggungnya akan terasa nyaman saat dua gumpalan daging padat di dada Kumala Rani menekan hangat.
“Ahhh ... yang bener?”
“Benerr!” kata rani sambil mencuri cium dari samping, “Contohnya ya ... aku ini! Sekali panah ... langsung kena!”
“Bagaimana jika aku memanah gadis lain?” tanya Jalu sambil berkelebatan diantara lebatnya pepohonan.
“Ehhmm ... tidak masalah bagiku!”
“Kau ... tidak cemburu jika aku juga bercinta dengan gadis lain?”
“Tidak!”
“Kenapa tidak?” tanya Jalu dengan heran.
“Karena kau buta! Jadi andai seribu orang gadis cantik dari negeri mana pun berhasil kau panah sekaligus, aku tidak bakalan cemburu padamu.”
“Hanya itu saja?” tanya Jalu semakin heran, “ ... padahal aku tidak buta lho... “ sambungnya.
“Aku tahu, tapi apa yang aku katakan tadi adalah benar, asal ... “
“Asal apa?”
“Asal Kakang tidak menggeser hatimu untukku! Dan selama dalam relung hatimu yang paling dalam tetap ada nama Kumala Rani yang tercinta disana.” bisik gadis itu di telinga Jalu, “ ... itu sudah cukup bagiku!”
“Gadis ini benar-benar berlapang dada. Tidak percuma aku mencintainya sepenuh hati,” pikir Jalu sambil sesekali menjejakkan kaki di pucuk-pucuk daun.
Wesss!
“Yang namanya pendekar khan harus punya gelar, Kakang. kurasa Kakang pun juga harus memilikinya sebagai tanda pengenal kependekaran,” kata Kumala Rani dari belakang.
“Apa itu harus!?”
“Harus itu! Masak jagoan ngga punya gelar, sih?”
“Terus ... kira-kira gelar apa yang pas bagiku menurutmu, sayang?” tanya Jalu Samudra sambil tangan kiri mencubit ujung hidung Kumala Rani yang ada dalam gendongannya.
“Emmh ... sebentar kucarikan nama dulu,” gumam Rani sambil berpikir, “Kalau Dewa Panah ... kurang cocok. Jika si Pemanah Sakti ... juga tidak bagus. Pemanah Buta? Ihh ... jelek banget! Ahaa ... aku tahu!”
“Apa?”
“Kakang lebih pantas disebut ... Si Pemanah Gadis! Kukira gelar itu lebih cocok untukmu.” cetus Rani, “Bagaimana, bagus tidak?”
“Hemm ... Si Pemanah Gadis?” gumam si Jalu sambil meluncur ke bawah, menghindari ular yang baru saja mengeluarkan kepala dari atas dahan pohon. “Apa tidak kedengaran seperti lelaki hidung belang, tuh?”
“Tenang Kakang, aku sudah memikirkannya. Kalau lelaki hidung belang, jelas Kakang tidak masuk hitungan. Sebab yang namanya lelaki hidung belang pasti menggunakan segala tipu daya dalam menghadapi para gadis mau pun istri orang dan pasti tujuan mereka hanyalah tubuh para korbannya. Sedang Kakang tidak! Kakang lebih alami, lebih apa adanya. Tidak ada yang direkayasa atau dibuat-buat. Semua serba asli, dan yang pasti ... “ urai Rani memperjelas maksudnya memberi gelar aneh pada Jalu Samudra, kekasihnya. “ ... hidung Kakang tidak belang, tapi mancung. Hi-hi-hik!” kata Rani sambil terkikik geli, mirip benar dengan kuntilanak mau beranak.
Si Pemanah Gadis, itulah gelar kehormatan yang dipilihkan Kumala Rani untuk kekasihnya tercinta!
Setelah sekian lama mengitari lereng Gunung Naga, Jalu Samudra dan Kumala Rani menemukan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani dan dengan jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ pula, pemuda berbaju biru berhasil mengurangi jumlah lawan yang akan menyerang Partai Naga Langit. Tidak kurang empat kelompok berhasil dilumpuhkan pasangan muda-mudi itu.
Yang satu cantik jelita dan satunya tampan rupawan!
“Kakang ... kita sudah melumpuhkan empat kelompok. Jika ditotal sekitar seratus dua puluhan orang.” kata Kumala Rani, sambil menyantap ayam panggang, “Tentu mereka masih banyak yang berkeliaran di tempat ini. Aku hanya berharap Paman Suro Keong dan Suro Bledek pun melakukan pengurangan jumlah lawan yang cukup berarti. Sebab kekuatan Partai Naga Langit selain terletak pada Kakang Rangga dan Kangmbok Nila, tidak ada yang bisa diandalkan, kecuali Partai Naga Langit dibantu pendekar lain selain kita.”
“Kupikir juga begitu. Meski baru saja muncul di jagad persilatan, nama Partai Naga Langit cukup diperhitungkan juga, terutama Ketuanya, Si Pedang Naga Perkasa,” sahut Jalu.
“Jika ada bantuan lain, kemungkinan besar dari Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit,” kata Kumala Rani.
“Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit yang terkenal itu?”
“Perguruan Catur Bawana masih ada hubungan dengan kami berdua, karena kami berdua adalah cucu dari wakil Ketua Perguruan Catur Bawana dari garis ayah, sedang Kuil Langit adalah tempat asal perguruan Kakang Rangga Wuni, bisa dikatakan bahwa dia berguru di tempat itu, meski sekarang tidak resmi.”
“Secara tidak resmi, maksudmu ... dia mencuri belajar ilmu silat disana?”
“Tidak, Kakang! Kebetulan Kakang Rangga Wuni pernah membantu Kuil Langit dari serbuan beberapa pentolan aliran hitam yang pada waktu itu sedang dalam silang sengketa Kitab ‘Langit Sakti’ dan akhirnya, Kakang Rangga diangkat sebagai tamu kehormatan Kuil Langit dan dianugerahi jurus ‘Pedang Aliran Naga’ yang kini digunakan sebagai ilmu khas Partai Naga Langit.”
“Ooo ... begitu rupanya!”
Mereka makan sambil bercakap-cakap.
“Rani, apa puncak Gunung Naga masih jauh dari tempat ini?”
“Tidak seberapa jauh, paling juga tidak sampai tengah malam nanti kita sudah sampai disana. memangnya kenapa?”
“Aku capek gendong kamu terus ... “
“Beneran nih?”
“Tidak, kok cuma bercanda!” seru Jalu sambil meringis kena cubitan si gadis, lalu ia berkata sambil mengelus-elus lengannya, “Kita harus secepatnya sampai Partai Naga Langit, sebab aku merasakan firasat buruk jika kita datang terlambat.”
Kumala Rani tercenung sebentar, dalam hati ia berkata, “Daya batin orang buta biasanya lebih peka membaca alam dari pada orang normal. Mungkin firasat Kakang Jalu ada benarnya.”
“Kalau begitu kita berangkat sekarang,” kata Kumala Rani sambil bangkit berdiri.
“Ayo!”
Keduanya segera melesat pergi, dan kali ini tujuannya adalah Gunung Naga, tempat berdirinya Partai Naga Langit!
-o0o-