Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Haha... Ternyata ada jg penggemar cersil di mari, ini karya sudah mandeg lamaaaaaaa bgt di indozone, padahal ceritanya ok punya. Selamat menikmati utk yg blm pernah baca & thanks to TS yg sharing di mari. Salam sukses slalu.
 
Mantaab gan...akhirnya ada lagi cerita silat yang seru n bikin konak...gpp dah sambil berimajinasi bayangin kumala rani nya...semoga sampai dapat perdikat tamat gan...lanjuuutt
 
pilar tunggal penyangga langit wkwkwkwkwk....
ga kebayang gimn bentuknya
 
Terakhir diubah:
Si Pemanah Gadis – Bab 12


“Kali ini kita harus bisa mengorek keterangan tentang adanya ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ pada bekas murid Perguruan Gunung Putri yang tersisa,” kata salah seorang yang sebelah kanan, sebab dialah pimpinan rombongan kecil yang terdiri dari tiga puluhan laki-laki.
Tujuh delapan diantaranya masih berusia muda, sekitar sembilan belas tahunan, akan tetapi sorot mata mereka terlihat kejam dan bengis. Sedang yang lainnya berusia rata-rata dua puluh tujuh tahunan. Di bagian pinggang terlilit sabuk kuning dengan garis merah melintang satu, sedang sang pimpinan mengenakan sabuk kuning dengan garis merah melintang tiga. Seluruh tubuh mereka terbalut pakaian abu-abu dengan sulaman burung gagak raksasa merentangkan sayap di bagian punggung.
Diantara mereka semua, dialah yang ilmunya paling tinggi.
Dan uniknya, semua orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani selalu memberikan nama 'gagak' di depan nama mereka.
“Kakang Gagak Ludira, apa rombongan yang lain sudah sampai di tempat yang direncanakan ketua?” tanya salah seorang yang bernama Gagak Angkeran.
“Aku sudah mengirim sandi 'Api Gagak Suci' untuk memberitahukan posisi kita berada saat ini,” ujar Gagak Ludira menanggapi pertanyaan Gagak Angkeran. “kau tidak perlu khawatir, Adi Gagak Angkeran.”
“Kali ini Ketua membagi kita dalam enam kelompok kecil ... hampir seluruh murid tingkat dua dan enam orang murid tingkat satu dikerahkan semua. Andaikata murid utama ketua, yaitu Sembilan Gagak Sakti tidak tewas sepuluh tahun yang lalu, mungkin kita masih melanjutkan pelajaran silat kita.”
“Memang tewasnya Sembilan Gagak Sakti membuat kita semua kelimpungan, sebab secara tidak langsung mereka bersembilan adalah tulang punggung Perkumpulan Gagak Cemani. Kehilangan satu saja sudah merupakan tamparan berat bagi kita, tapi kita justru kehilangan mereka bersembilan sekaligus. Entah siapa yang bisa membantai mereka bersembilan yang kita tahu ilmunya hanya dua tingkat saja di bawah Ketua kita,” papar Gagak Ludira.
Pandang matanya menyapu seluruh teman-temannya, dan kemudian ia menemukan sebuah wajah muram.
“Apa ada, Angkeran? Kulihat kau sedang ada masalah serius?”
“Kakang, kali ini firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat ini,” gumam Gagak Angkeran.
“Apakah firasat buruk?” tanya yang paling muda, ia bernama Gagak Berpedang Sakti.
“Entahlah. Aku sendiri tidak tahu.” gumaman kali ini agak sedikit keras.
“Kakang Gagak Ludira, apa menurutmu Partai Naga Langit adalah memang tempat munculnya ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ yang sesungguhnya? Jangan-jangan cuma kabar angin saja.”
“Jaga mulutmu, Gagak Rambata!” bentak Gagak Ludira pada Gagak Rambata, “ ... yang menyatakan tempat kemunculannya Mata Malaikat di Partai Naga Langit adalah guru Ketua sendiri, Ki Gagak Surengpati. Apa kau meragukan kemampuan ilmu nujum beliau?”
“Tidak Kakang, sama sekali tidak! Hanya saja aku merasa heran, sudah sepuluh tahun lamanya kita memburu ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ tapi hasilnya tidak ada. Bahkan beberapa perguruan silat telah kita hancurkan dan yang terakhir kali ... Perserikatan Mata Emas, yang dikatakan sebagai tempat keberadaan ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’, tapi tidak ada hasilnya sama sekali,” sahut Gagak Rambata membela diri. “Jelas tidak mungkin ilmu bisa berpindah-pindah seenaknya seperti itu?”
Gagak Ludira hanya mendengus saja, meski dalam hatinya ia pun mulai goyah dalam keyakinan.
“Benar juga apa kata Gagak Rambata! Semua perguruan yang dihancurkan adalah tempatnya orang-orang aliran putih yang sebagian besar memusuhi perkumpulan kami. Jangan-jangan ini merupakan siasat adu domba yang dilakukan oleh guru Ketua. Tapi tidak mungkin guru Ketua setega itu pada murid kesayangannya?” pikirnya.
Sementara itu, di balik rimbunnya pohon-pohon raksasa yang ada di sekitar tempat itu, dua sosok manusia duduk mengintai di atas ketinggian. Helaan napas mereka sudah menyatu dengan alam, sehingga orang sehebat Gagak Ludira tidak akan bisa mengetahui keberadaan mereka. Rupanya, dua saudara seperguruan Suro Keong dan Suro Bledek sudah sampai terlebih dahulu di tempat itu.
“Hemm, mereka ada bertiga puluh, apa perlu kita sikat sekarang?” bisik Suro Bledek, namun meski berbisik tetap saja suaranya keras.
“Bledek, rendahkan sedikit suaramu,” bisik pula Suro Keong, “ ... mereka bukan orang-orang berilmu rendah.”
“Aku tahu!” bisiknya dengan nada lebih rendah lagi, “Ini sudah jadi ciri khasku. Apa perlu kuserang dengan jurus 'Mulut Guntur'-ku?”
“Jangan, nanti kita ketahuan.”
“Lalu bagaimana caranya membunuh mereka tanpa ketahuan siapa diri kita. Ilmu-ilmu kesaktian kita sudah banyak dikenali orang-orang persilatan ... “
“Kita berdua masih punya ilmu sakti yang belum pernah kita gunakan sama sekali.”
“Ilmu apa?” bisik Suro Bledek setelah berpikir keras.
“Kau ingat dengan jurus 'Memindah Bayangan' dan jurus 'Kelereng Arwah'? Bukankah tidak ada yang mengetahui ilmu itu selain kita berdua dan dua keponakanmu.”
“Benar juga! Rata-rata orang persilatan mengenalmu dengan ‘Ilmu Pukulan Tombak Akherat’ dan aku dengan jurus 'Mulut Guntur', tapi tidak ada yang tahu kalau kita punya ilmu sakti yang tingkatannya lebih tinggi dari ilmu yang biasa kita gunakan.” kata Suro Bledek manggut-manggut, “Sekarang tunggu apa lagi?”
“Biarkan matahari berada tepat di atas kepala!”
“Kenapa harus menunggu selama itu?”
“Bego benar kau ini! Kalau kita gunakan sekarang, mereka pasti bisa menduga siapa bayangan yang tiba-tiba menyerang mereka. Kalau matahari tepat di atas kepala, akan sulit menentukan kita ini manusia atau setan?”
“Ooo ... betul juga kau!” bisik Suro Bledek, “Baiklah! Kita perpanjang sedikit umur mereka hingga tengah hari, toh juga tidak lama lagi.”
“Itu baru sobat karibku!” bisiknya sambil menyenggol rusuk kiri Suro Bledek.
Hampir saja orang tua itu terjatuh jika tidak segera berpegangan pada ranting yang ada di samping kanan.
Sementara itu, matahari yang semula berada di ufuk timur sedikit demi sedikit bergeser ke barat, dan tepat di tengah hari, dua sosok bayangan samar bergerak lincah dari sesekali menjentikkan jari ke arah kerumunan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani.
“Awas serangan gelap!” seru Gagak Ludira sambil berkelit ke samping.
Jrub! Jrub! Jrub!
Tiga lesatan benda bulat sebesar kelereng melesat dalam-dalam di tanah menimbulkan kepulan asap. Akan tetapi serangan bayangan yang sulit sekali ditentukan bentuk dan rupanya kembali melakukan serangan kilat. Kali ini enam orang langsung terkapar menjadi mayat saat dahi mereka tertembus benda-benda kecil pembawa maut.
Jrub! Jrub! Crook! Crook!
“Ahh ... “ jerit kematian terdengar bersamaan dengan tumbangnya enam orang sekaligus.
Gagak Berpedang Sakti dengan bergulingan di tanah segera mencabut pedang yang ada di punggung.
Srangg!
Secepat ia mencabut pedang, secepat itu pula ia mengayunkan benda tajam ke bagian tengah bayangan samar yang memunggunginya.
Bless!
Aneh, pedang itu berhasil menebas dengan tepat tapi seperti memotong bayangan, bahkan terdengar jerit kesakitan saja tidak!
“Eh?” Gagak Berpedang Sakti terperanjat, “Ini ... bukan manusia?”
Keterperanjatan Gagak Berpedang Sakti harus ditebus dengan mahal. Dua butir benda sebesar kelereng langsung menembus dada kiri dan mata kanan dengan telak.
Jrub! Crook!
“Ughh ... “ terdengar lenguhan pendek sebelum akhirnya ia terkulai melepas nyawa.
Benar-benar cepat nyawa pemuda itu pergi!
Kali ini firasat buruk yang dirasakan Gagak Angkeran benar-benar menjadi kenyataan. Bahkan pemuda itu sebisa mungkin berkelit kesana kemari dengan jurus peringan tubuh sambil membagi-bagikan serangan bertenaga dalam tinggi, harus rela melepaskan nyawa satu-satunya yang ia miliki. Lehernya tertembus benda bulat yang sebelumnya telah merenggut nyawa Gagak Berpedang Sakti.
Jrubb!
“Ukkh ... khekk ... “
Hanya terdengar suara mengorok nyaring, kemudian ia ambruk dengan tubuh berkelojotan dan akhirnya ... mati juga!
“Biadab! Ilmu apa ini?” keluh Gagak Ludira sipat kuping menghindari serangan-serangan gencar dari dua bayangan yang berkelebat cepat bagai malaikat maut pencabut nyawa.
“Serangan pukulan-pukulan sakti tidak berguna sama sekali. Dua bayangan ini benar-benar seperti bayangan yang sesungguhnya, bisa menembus benda apa saja.” gumamnya sambil bersalto ke atas menghindari lontaran benda bulat yang mengarah ke dada.
Wutt!
Serangan bayangan melesat lewat di bawah kakinya, tapi dua orang yang di belakanglah yang menjadi korban.
Jrubb! Jrubb!
Kembali dua nyawa melayang ke neraka.
Dua bayangan samar yang melihat hasil karya mereka, semakin mempergencar pola serangan yang semakin hebat.
Wutt! Wutt! Jrubb! Jrubb!
Kali ini orang-orang Gagak Cemani harus ketemu batunya. Dua orang tokoh kelas tinggi rimba persilatan yang cukup terkenal adalah lawan yang tidak sepadan dengan mereka, apalagi mereka menggunakan jurus-jurus aneh dan langka, yaitu jurus 'Memindah Bayangan' dan jurus 'Kelereng Arwah' yang saat ini hanya dikuasai dengan sempurna oleh Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur.
Sepeminuman teh kemudian, dua puluh sembilan mayat terbujur kaku malang melintang di sana-sini, sedang yang seorang yaitu Gagak Ludira masih dengan lincah menghindari sergapan-sergapan benda bulat sebesar kelereng yang kemana-mana selalu mengejarnya.
Wutt! Wutt!!
Gagak Ludira berusaha menghindari serangan yang tiba-tiba saja sudah berada tepat di depan mata dengan mendongak ke belakang, tapi terlambat!
Jrubb!
Dahinya sempat terserempet benda pembawa maut. Kepalanya bagai pecah saat rasa panas menyengat merebak di jejak luka berdarah di dahi.
“Ughh ... pecah kepalaku ... “ gumamnya sambil memegang erat kepala dan dahinya yang kini berlinang darah merah.
Darah merah itu begitu panas bagai dimasak pada kuali mendidih.
Sambil terhuyung-huyung, kembali Gagak Ludira berusaha menghindari serangan beruntun.
Wutt! Wutt!
Dua tiga serangan berhasil di hindari, tapi hujan serangan yang kian banyak membuatnya tidak bisa bergerak leluasa, apalagi ditambah dengan mata berkunang-kunang karena hawa panas menyengat.
“Uuhh .. kalian pasti setan gentayangan!” serunya keras saat melihat tiga serangan beruntun mengarah ke tiga jalan darah kematian ditubuhnya.
Jantung, ulu hati dan ubun-ubun!
Jrubb! Jrubb! Jrubb!
Tiga benda maut yang berasal dari jurus 'Kelereng Arwah' sukses menembus jantung, ulu hati dan ubun-ubun hingga ke belakang.
Dan tentu saja ... orang tingkat satu rombongan kecil itu menyusul rekan-rekannya yang lain.
Begitu selesai dengan pekerjaannya, dua bayangan itu mendadak menghilang begitu saja.
Lenyap bagai dtelan bumi!
Di atas pohon ...
“Kali ini kita berhasil mengurangi jumlah lawan. Entah berapa banyak orang-orang Gagak Cemani yang akan menyerang Partai Naga Langit,” kata Suro Keong.
“Dari apa yang berhasil aku sadap tadi, mereka mengerahkan hampir seluruh kekuatan yang ada.”
“Benar-benar gawat keadaan sekarang ini. Kita harus bergerak cepat dalam mengurangi jumlah lawan.”
“Benar katamu. Ayo kita cari yang lain!” kata Suro Bledek sambil berkelebat cepat, diikuti Suro Keong yang berada dibelakangnya.
Blass! Blass!
Sebentar kemudian, terlihat dua titik hitam di kejauhan!

-o0o-
 
Si Pemanah Gadis – Bab 13


“Berapa jumlah mereka?” tanya seorang pemuda berbaju biru laut pada dara cantik di sebelahnya.
“Sekitar tiga puluhan orang, mungkin lebih,” jawab si gadis tanpa mengalihkan pandangan.
“Banyak juga! Jika langsung diserang mendadak, mungkin sembilan sepuluh orang bisa kita bereskan, justru sisanya itulah yang paling merepotkan,” bisik si pemuda lirih.
“Kenapa dulu aku tidak belajar melempar pisau terbang atau senjata rahasia,” sahut lirih si gadis. “Kakang Jalu, kau pernah belajar menggunakan senjata rahasia?”
“Belum pernah, Rani!” kata Jalu dengan singkat.
Mata putih menatap nanar pada sekumpulan orang yang sedang menyantap daging ayam bakar.
Saat ini mereka berdua sedang bertengger di atas sebuah dahan yang cukup besar dengan duduk bersebelahan. Pohon tempat persembunyian mereka berada dalam jarak aman sehingga lawan tidak bisa mendeteksi keberadaan dua insan itu.
“Bagaimana kalau kita serang sekarang juga?” kata Rani sambil mengarahkan dua jari tangan lurus kencang.
“Jangan gegabah! Dengan jurus pukulanmu mereka akan mengenali siapa kau adanya,” cegah Jalu sambil menyentuh lembut lengan gadis itu.
“Lalu kita harus bagaimana?” tanya Kumala Rani sambil menurunkan tangan.
Pemuda itu tidak menjawab. Tangan kiri meraih tongkat kayu hitam, tangan kanan menarik pelan seutas tali hitam, lalu sedikit direntangkan mundur.
Sebuah busur kini terentang!
“Apa yang Kakang lakukan?”
“Membuat hujan turun dari langit.” kata si Jalu sambil mengarahkan busur ke atas.
Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat empat dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari yang ada di pusar.
Swoshh ... !!!
Sebentuk tenaga berupa kilatan cahaya kuning kebiru-biruan merambat keluar melewati tangan kanan dan kiri, lalu membentuk empat buah benda bulat kecil memanjang sepanjang setengah tombak. Rupanya dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, Jalu Samudra bisa membuat anak panah sejumlah empat sekaligus, dimana mata anak panah berbentuk kepala burung rajawali dengan tangkai yang memancarkan cahaya bening kuning kebiru-biruan.
“Ilmu apa lagi yang mau digunakan Kakang Jalu?” pikir Kumala Rani takjub, “Hebat juga dia bisa membuat anak panah dari pancaran hawa tenaga dalamnya. Entah darimana ia mempelajari ilmu unik ini.”
Kali ini Jalu Samudra mengerahkan jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ yang merupakan salah satu bagian dari '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis. Begitu empat anak panah telah terbentuk sempurna, dengan sedikit tarikan yang semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali yang direntang.
Sasarannya adalah ... matahari!
Srett! Twanggg!
Empat anak panah terlepas dari busur. Bagaikan burung rajawali langsung melesat cepat ke angkasa menuju matahari.
“Apa yang Kakang panah? Bukankah mereka ada di bawah sana?' kata Kumala Rani sedikit kesal setelah mengetahui serangan panah tidak ditujukan pada orang-orang Gagak Cemani yang ada dibawah sana.
Jalu Samudra hanya tersenyum ringan.
“Edan! Ditanya baik-baik malah senyam-senyum mirip orang sinting.” pikir Rani, “ ... tapi kalau dilihat-lihat, senyumannya manis juga.”
Sementara itu, rombongan kecil itu tidak menyadari bahaya yang mengancam.
“Apa itu?” tanya salah satu diantara mereka yang makan sambil tiduran hingga bisa menatap langit biru sehingga bisa melihat sekawanan benda kecil berwarna hitam bergerombol di atas sana
Salah seorang berkomentar, “Cuma sekawanan burung yang mau kawin. Apa anehnya?”
Beberapa orang tertawa pelan mendengarnya.
Tess!
Setitik air bening menetes dan mengenai lengan kanan orang baru saja berkomentar.
“Lho, ini khan air hujan? Masak siang benderang ada air hujan?” katanya sambil mendongak. “ ... tapi ... kenapa rasanya panas menyengat ya?” katanya lagi sambil mengusap-usap lengan yang terkenan tetesan air hujan. Semakin diusap justru semakin membengkak besar.
Belum lagi hilang keterkejutan mereka, datanglah bencana yang sangat mengejutkan.
Kali ini justru nyawa mereka yang terkejut bukan alang kepalang!
Bagai dicurahkan dari langit, titik-titik air maut berbentuk panah berkepala rajawali langsung menerjang bagai hujan lebat dari langit.
Bress! Bress! Bessh!
“Huahhh ... aakhh .... ugh ... “
“Panas ... panass ... tolooong ... “
Jerit lengking kematian terdengar keras bagai membelah bumi mengguncang langit. Tiga puluh orang itu tubuhnya seketika melepuh bagai tersiram air panas dan kulit terkelupas bagai disayat pisau. Beberapa diantara mereka yang sudah tidak tahan dengan rasa sakit dan panas menyengat bagai terkena sambaran kilat, langsung memukul kepala mereka sendiri.
Bunuh diri!
Sisanya dengan bergulingan di tanah, berkelojotan meregang nyawa. Teriakan kepanasan dan minta tolong mengiringi jerit kematian kini telah mereda dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula mereka melepas nyawa.
Mati dengan kondisi mengenaskan!
Tapi kematian mereka masih berlanjut. Saat hujan panah buatan akibat jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ yang dikerahkan Jalu Samudra menggunakan tingkat empat dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ berhenti, tubuh mereka mulai meleleh, mencair dan akhirnya menyatu ke dalam tanah.
Dari tanah kembali tanah!
“Bukan main! Jurus yang baru saja kau peragakan betul-betul jurus maut!” kata Kumala Rani dengan bergidik ngeri saat melihat orang-orang Gagak Cemani tewas terbantai tanpa perlawanan.
“Hemm ... aku sendiri tidak menyangka kalau jurus yang kugunakan begitu mengerikan akibatnya,” sahut Jalu Samudra menyesali diri.
“Kau tidak perlu menyesalinya, Kakang Jalu!” hibur Kumala Rani pada pemuda yang semakin membuatnya kagum, “Jika dibandingkan dengan perbuatan mereka, perbuatanmu tadi tidak sebanding dengan mereka.”
“Meski begitu, mereka juga manusia sama seperti kita.”
“Kalau saja pikiran mereka sama dengan apa yang Kakang pikirkan, tentu aku akan sangat mengasihani mereka. Tapi pikiran mereka tidak seperti itu, Kakang,” ucap Kumala Rani, sambungnya, “ ... yang mereka pikirkan hanyalah kesenangan diri mereka sendiri, perkara orang lain menderita akibat perbuatan mereka ... itu sudah urusan lain.”
Sambil menghela napas, Jalu berucap, “Mungkin yang katakan tadi benar, Rani! Tapi aku ... “
“Sudahlah, tidak usah Kakang memikirkannya.” kembali Rani menghibur, “Jika mereka tidak dihabisi sekarang, tentu orang-orang Partai Naga Langit dan penduduk di sekitarnya yang akan menjadi korban.”
Jalu Samudra mengangguk-anggukkan kepala.
Kumala Rani sedikit berjinjit dan ...
Cupp!
Sebuah ciuman hangat mendarat di pipi kiri Jalu.
Jalu hanya mengusap pelan pipi kiri yang baru saja mendapat ciuman.
“Kita pergi dari sini, siapa tahu masih ada kelompok yang lain,” kata Jalu sambil menggandeng tangan Rani dan berkelebat turun.
“Selain kau pandai memanah mati orang, ternyata Kakang juga pandai memanah hati seorang gadis.” kata Kumala Rani dengan mesra, lalu ia bergerak ke punggung Jalu.
Apalagi jika bukan minta digendong?
Sebab selama dalam perjalanan menuju Partai Naga Langit, Kumala Rani berada dalam gendongan Jalu. Andai saja hawa tenaga dalam gadis itu sudah mencapai tingkat tinggi, bisa saja ia menyamai kecepatan lari yang dikerahkan Jalu.
Dan jika tidak dalam kondisi tergesa-gesa, Jalu inginnya berlama-lama dengan dara cantik yang ada dalam gendongannya, dan tentu saja Jalu dengan senang hati menggendong si gadis cantik, sebab dengan begitu punggungnya akan terasa nyaman saat dua gumpalan daging padat di dada Kumala Rani menekan hangat.
“Ahhh ... yang bener?”
“Benerr!” kata rani sambil mencuri cium dari samping, “Contohnya ya ... aku ini! Sekali panah ... langsung kena!”
“Bagaimana jika aku memanah gadis lain?” tanya Jalu sambil berkelebatan diantara lebatnya pepohonan.
“Ehhmm ... tidak masalah bagiku!”
“Kau ... tidak cemburu jika aku juga bercinta dengan gadis lain?”
“Tidak!”
“Kenapa tidak?” tanya Jalu dengan heran.
“Karena kau buta! Jadi andai seribu orang gadis cantik dari negeri mana pun berhasil kau panah sekaligus, aku tidak bakalan cemburu padamu.”
“Hanya itu saja?” tanya Jalu semakin heran, “ ... padahal aku tidak buta lho... “ sambungnya.
“Aku tahu, tapi apa yang aku katakan tadi adalah benar, asal ... “
“Asal apa?”
“Asal Kakang tidak menggeser hatimu untukku! Dan selama dalam relung hatimu yang paling dalam tetap ada nama Kumala Rani yang tercinta disana.” bisik gadis itu di telinga Jalu, “ ... itu sudah cukup bagiku!”
“Gadis ini benar-benar berlapang dada. Tidak percuma aku mencintainya sepenuh hati,” pikir Jalu sambil sesekali menjejakkan kaki di pucuk-pucuk daun.
Wesss!
“Yang namanya pendekar khan harus punya gelar, Kakang. kurasa Kakang pun juga harus memilikinya sebagai tanda pengenal kependekaran,” kata Kumala Rani dari belakang.
“Apa itu harus!?”
“Harus itu! Masak jagoan ngga punya gelar, sih?”
“Terus ... kira-kira gelar apa yang pas bagiku menurutmu, sayang?” tanya Jalu Samudra sambil tangan kiri mencubit ujung hidung Kumala Rani yang ada dalam gendongannya.
“Emmh ... sebentar kucarikan nama dulu,” gumam Rani sambil berpikir, “Kalau Dewa Panah ... kurang cocok. Jika si Pemanah Sakti ... juga tidak bagus. Pemanah Buta? Ihh ... jelek banget! Ahaa ... aku tahu!”
“Apa?”
“Kakang lebih pantas disebut ... Si Pemanah Gadis! Kukira gelar itu lebih cocok untukmu.” cetus Rani, “Bagaimana, bagus tidak?”
“Hemm ... Si Pemanah Gadis?” gumam si Jalu sambil meluncur ke bawah, menghindari ular yang baru saja mengeluarkan kepala dari atas dahan pohon. “Apa tidak kedengaran seperti lelaki hidung belang, tuh?”
“Tenang Kakang, aku sudah memikirkannya. Kalau lelaki hidung belang, jelas Kakang tidak masuk hitungan. Sebab yang namanya lelaki hidung belang pasti menggunakan segala tipu daya dalam menghadapi para gadis mau pun istri orang dan pasti tujuan mereka hanyalah tubuh para korbannya. Sedang Kakang tidak! Kakang lebih alami, lebih apa adanya. Tidak ada yang direkayasa atau dibuat-buat. Semua serba asli, dan yang pasti ... “ urai Rani memperjelas maksudnya memberi gelar aneh pada Jalu Samudra, kekasihnya. “ ... hidung Kakang tidak belang, tapi mancung. Hi-hi-hik!” kata Rani sambil terkikik geli, mirip benar dengan kuntilanak mau beranak.
Si Pemanah Gadis, itulah gelar kehormatan yang dipilihkan Kumala Rani untuk kekasihnya tercinta!
Setelah sekian lama mengitari lereng Gunung Naga, Jalu Samudra dan Kumala Rani menemukan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani dan dengan jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ pula, pemuda berbaju biru berhasil mengurangi jumlah lawan yang akan menyerang Partai Naga Langit. Tidak kurang empat kelompok berhasil dilumpuhkan pasangan muda-mudi itu.
Yang satu cantik jelita dan satunya tampan rupawan!
“Kakang ... kita sudah melumpuhkan empat kelompok. Jika ditotal sekitar seratus dua puluhan orang.” kata Kumala Rani, sambil menyantap ayam panggang, “Tentu mereka masih banyak yang berkeliaran di tempat ini. Aku hanya berharap Paman Suro Keong dan Suro Bledek pun melakukan pengurangan jumlah lawan yang cukup berarti. Sebab kekuatan Partai Naga Langit selain terletak pada Kakang Rangga dan Kangmbok Nila, tidak ada yang bisa diandalkan, kecuali Partai Naga Langit dibantu pendekar lain selain kita.”
“Kupikir juga begitu. Meski baru saja muncul di jagad persilatan, nama Partai Naga Langit cukup diperhitungkan juga, terutama Ketuanya, Si Pedang Naga Perkasa,” sahut Jalu.
“Jika ada bantuan lain, kemungkinan besar dari Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit,” kata Kumala Rani.
“Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit yang terkenal itu?”
“Perguruan Catur Bawana masih ada hubungan dengan kami berdua, karena kami berdua adalah cucu dari wakil Ketua Perguruan Catur Bawana dari garis ayah, sedang Kuil Langit adalah tempat asal perguruan Kakang Rangga Wuni, bisa dikatakan bahwa dia berguru di tempat itu, meski sekarang tidak resmi.”
“Secara tidak resmi, maksudmu ... dia mencuri belajar ilmu silat disana?”
“Tidak, Kakang! Kebetulan Kakang Rangga Wuni pernah membantu Kuil Langit dari serbuan beberapa pentolan aliran hitam yang pada waktu itu sedang dalam silang sengketa Kitab ‘Langit Sakti’ dan akhirnya, Kakang Rangga diangkat sebagai tamu kehormatan Kuil Langit dan dianugerahi jurus ‘Pedang Aliran Naga’ yang kini digunakan sebagai ilmu khas Partai Naga Langit.”
“Ooo ... begitu rupanya!”
Mereka makan sambil bercakap-cakap.
“Rani, apa puncak Gunung Naga masih jauh dari tempat ini?”
“Tidak seberapa jauh, paling juga tidak sampai tengah malam nanti kita sudah sampai disana. memangnya kenapa?”
“Aku capek gendong kamu terus ... “
“Beneran nih?”
“Tidak, kok cuma bercanda!” seru Jalu sambil meringis kena cubitan si gadis, lalu ia berkata sambil mengelus-elus lengannya, “Kita harus secepatnya sampai Partai Naga Langit, sebab aku merasakan firasat buruk jika kita datang terlambat.”
Kumala Rani tercenung sebentar, dalam hati ia berkata, “Daya batin orang buta biasanya lebih peka membaca alam dari pada orang normal. Mungkin firasat Kakang Jalu ada benarnya.”
“Kalau begitu kita berangkat sekarang,” kata Kumala Rani sambil bangkit berdiri.
“Ayo!”
Keduanya segera melesat pergi, dan kali ini tujuannya adalah Gunung Naga, tempat berdirinya Partai Naga Langit!

-o0o-
 
kereennnn!! Duo Suro kocak abis!!
Lanjut lagi dong, suhu.
 
julukan yang pas buat jalu harusnya si pematuk gadis gan
 
Gua suka cerita silat...masalahnya jarang hu...
 
Hmm..
Membaca cerita ini...
Kalimat demi kalimat....
Mengingatkan pada sebuah cerita lama...
Yamg pernah di tulis
Pada situs P*c*k L*m** P*l*ngi...

Kisah Kino-Tris...
Apalagi pada cerita hub intimnya...
Mirip pada kisah tersebut pada bab Kembang Semusim..
Jangan jangan penulisnya orang yang sama...

Berharap banyak beberapa ceritanya
Yang tak selesai,

Kisah
.Kino - Tris...
.Maharani....
.Bari dan Surti...
.dll
bisa diteruskan kembali...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd