BAB – 6
“
menilai langit sebagai pemisah, sedang disana bersemayam doa-doa yang sama hanyalah cara termudah untuk menyerah pada perbedaan.
”
Tentang malam dan kalam, dan setan berbisik membenarkan setiap prasangka. Hasrat-hasrat layu diantara ruang-ruang kecil kesadaran saat pengulangan tak lagi memaknai hari, seragam dengan sederet tangisan ketika hujan datang.
Ada ruang terpisah yang selama ini kita coba isi bersama, namun semakin hari ruangan itu semakin terbelah hingga terpisah. Mencoba untuk menghiraukan pemisahan ruangan nyatanya terasa percuma.
Menyapu sedih dengan menari namun nyanyian adalah lagu luka, mengisi gelas dengan anggur dan bersulang bersama setiap luka, menyudutkan diri atas setiap kehilangan bersamaan dengan satu pertanyaan yang datang.
Apakah tuhan-tuhan kami tak merestui?
^^^
kehampaan ini kian bernyawa, suara-suara dikepala kian getir tanpa gemetar, potongan-potongan kecil beberapa memori terus berputar, dan yang menyebalkan dari sebuah perpisahan adalah mengenang momen-momen saat masih bersama.
Kepergian itu seperti fatamorgana dengan rasa sakit yang nyata.
Beberapa hari setelah Dita membisikan sebuah isyarat perpisahan, gue nyoba menguhubungi Dita, namun setiap telepon gue selalu dia reject dan setiap pesan gue selalu berakhir tanpa balasan. Akhirnya gue nekat untuk nyari Dita ke kampusnya dan nemuin beberapa temen dia disana.
Tapi hasilnya nihil, gue ga nemuin Dita disana juga beberapa temen Dita yang selalu menjawab setiap pertanyaan gue dengan “Gak tau...” entah sebuah litelary atau mereka telah sepakat untuk menyembunyikan semuanya. Semuanya seperti sudah menjadi skema yang direncanakan shit!
Hari berikutnya, gue masih dengan semangat yang sama untuk nyari Dita karena gue ngerasa bahwasanya gue punya hak untuk menagih dan mendapati sebuah jawaban yang kongkrit.
Tok.. Tok.. tookkk....
Dan tebukalah pintu Rumah Dita, ibunya yang membukakan pintu itu. “Siang tante, udah lama ga ketemu ya tante... oia Dita nya ada tant” sapa gue ke ibunya Dita. “Bentar....” sesingkat itu jawaban dari ibunya plus muka datarnya, hal yang udah ga aneh lagi buat gue.
Sekitar lima menit Dita muncul, tapi langsung nyelenong gitu aja dan langsung masuk ke mobil gue.
“Kamu ngapain sih kerumah, kan udah aku bilang.....”
“Gue layak untuk dapet sebuah penjelasan dit!... bukan cuma sebuah bisikan sebuah kiasan.....”
Cuma itu percakapan gue dengan Dita selama di dalam mobil, selebihnya kita berdua lebih banyak diam, diam secara verbal tapi gue yakin masing-masing pikiran kami ga pernah benar-benar diam.
Hingga akhirnya, gue parkirin mobil didepan sebuah taman disudut kota Bandung. Lalu gue sama Dita duduk ditengahnya.
“Kita kehilangan kolase bersamaan filsafat yang kehilangan kedalamanya”
kita berdua masih saling diam, mungkin masih saling menebak harus mulai dari mana, atau mulai dengan bahasa yang seperti apa. Tapi gue sendiri sepertinya mulai tau kenapa semuanya kaya gini, gue mulai ngebaca semuanya pelan-pelan meski masih sekedar praduga.
“Harus sekarang banget ya dit...?” ucap gue ngebuka pembicaraan sambil sedikit tersenyum sambil menatap ranting-ranting pohon disekeliling taman.
“Bukanya kita sama-sama percaya kalo cinta itu bisa nyatuin perbedaan, dit...” tambah gue.
“Iya... tapi dulu ren... sekarang pelan-pelan semuanya sedikit jauh beda...” jawab Ditta pelan.
“Jadi bener semua ini tuh karena hal itu lagi...”
“itu bukan lagi cuma sekedar Hal ren.... itu masalah kita dari dulu yang selalu kita coba tutupin kan... mau sampe kapan kita nyumput dari semua itu... mau sampe kapan...?”
“bukanya kita percaya kalo Tuhan itu cuma satu meski cara kita beda....”
“Iya aku percaya ren, tapi sekali lagi itu semua dulu.... kamu kapan sih sadarnya? Iya aku percaya bahwa setiap agama itu menumbuhkan cinta, dan cinta juga yang bisa nyatuin semua perbedaan itu, tapi pada akhirnya cinta cuma sekedar cinta ren.... pada akhirnya setiap agama memisahkan banyak orang....”
“hahahaha! Apa ini pendewasaan lo dit? Kenapa lo seperti kaya mereka semua? Padahal kita tau kalo hari ini tuh agama adalah hal propaganda paling murah sekaligus paling ampuh... kenapa pendewasaan lo malah jadi kaya anak kecil sih...”
“bukan gitu ren.... kamu ga ngerti ren... aku cuma berpikir lebih realistis aja...”
“dan pikiran realisti lo itu cuma ngelanjutin pemikirn dangkal seperti yang udah-udah dit... alesan yang sangat klasik banget...”
“oke... terserah kamu mau pikir aku ini bocah atau aku bodo ren... tapi coba pikir ren, semakin lama kita pacaran semakin lama juga kita ngebohongin diri sendiri, semakin lama juga kita ngebohongin bahkan nyakitin orang lain....”
“terus apa perpisahan adalah sebuah jalan keluar dit? Itu malahan nyakitin kita berdua kan?”
“Iya ren, jalan keluarnya cuma kita pisah dan seenggaknya cuma kita berdua yang tersakiti... gak banyak orang seperti kalo kita terus ngelanjutin hubungan kita....”
“hehehe..... Anjing!......” gerutu gue pelan.
Dita kayanya denger ketika gue bilang anjing tadi, akhirnya kita saling diem lagi untuk beberapa saat, sampai akhirnya gue mulai denger kalo dita nangis. Dari sekian banyak hal yang gue benci, salah satunya adalah ngeliat cewe nangis apalagi itu adalah Dita.
Sambil nahan tangisanya Dita “Aku selalu nyoba untuk sabar ren, aku selalu nyoba untuk cari jalan keluar yang lain, jalan keluar yang bisa bikin kita tetep bareng-bareng... aku juga sama ren, pengen banget nikah sama kamu, aku selalu mimpi untuk itu dan kita punya anak terus jadi sebuah keluarga kecil yang bahagia, dimana setiap paginya aku bisa nyiapin sarapan untuk kamu dan anak kita... liat mereka tumbuh kembang, sekolah dan lain-lain... aku selalu seneng setiap ngebayangin hal itu ren, tapi aku juga langsung sedih ketika tau itu semua cuma sekedar impian aku...”
Setiap pertanyaan mempunyai jawaban yang berbeda, kehidupan bukan matematika yang diselesaikan atau di jawab melalui sebuah format untuk menghasilkan sebuah jawaban. Yang menyedihkanya, memang lebih mudah untuk menghadirkan sebuah pertanyaan dari pada menjawab pertanyaan, itu kenyataanya.
Rasa cinta mudah untuk tumbuh namun lebih mudah lagi untuk berubah menjadi sebuah amarah, atau benci, atau nafsu. Cinta memang seharusnya bisa menyatukan banyak perbedaan dan memang, banyak perbedaan yang bisa disatukan oleh sebuah cinta namun harus sedikit diberi tanda disini, bahwa tidak semuanya bisa disatukan. Cinta layaknya medan magnet, disatu sisi mereka saling mencari dan menarik dan disisi yang lainya mereka saling menolak.
Kita semua hidup didalam itu semua, didalam sebuah perbedaan itu sendiri, maka lebih mudah untuk meratapi banyaknya perbedaan itu dari pada menuliskan atau mencarikan jalan keluar, bukan tanpa jawaban karena ada banyak pilihan untuk masalah-masalah ini, namun bukan pilihan yang mudah.
“terus, untuk apa tuhan menciptakan sebuah rasa cinta? Untuk apa tuhan menciptakan banyak agama, untuk apa semua ini....? apakah tuhan-tuhan kita saling bermusuhan, apakah tuhan kita berada di tempat-tempat yang berbeda...?” ucap gue lirih.
PLAKK!!!!
Dita menampar pipi sebelah kanan gue. Bersamaan dengan tangisnya yang semakin pecah. Tamparan ini terasa panas dan pasti membekas merah, rasa sakit saling bersautan, meski ada rasa sakit yang jauh lebih terasa jauh di dalam dada ini.
“kita ga lagi bermain tuhan ren.... coba sedikit aja kamu ngerti posisi aku... sedikit aja kamu buka pikiran kamu, ini semua emang kaya masalah sederhana, tapi nyatanya kita ga se-sederhana itu....” ucap Dita sambil menangis.
“Apa cinta manusia itu sepadan atau relevan? Apa Tuhan itu serendah itu? Apa sepadan menukarkan cinta Tuhan hanya demi Cinta manusia? Apa itu layak?” tambah Dita di ujung tangisnya.
“Tuhan yang mana? Agama yang mana?....” jawab gue pelan.
“kamu kenapa jadi apatis gini sih ren? Jadi sekarang yang ga dewasa itu siapa?” ucap Dita sedikit menghentak.
Gue langsung meraih wajah Dita dan langsung menarik wajahnya mendekati wajah gue, tatapan kita saling mengunci, mata Dita berbinar, bahkan basah, matanya seperti gelap tanpa cahaya “Lebih baik ga ada tuhan atau agama, biar gue bisa selalu bareng sama lo dit!.... apa perlu gue yang pindah!...” ucap gue tepat didepan wajah dita.
PLAKK!!!!
Dita nampar gue untuk ke dua kalinya.
“kamu ga beresin masalah ini, kamu cuma narik masalah ini ke satu titik, kamu narik semua masalah ke titik yang sama sampe titik itu penuh. Mungkin kamu ga bakalan ngerti hari ini, atau besok atau lusa, karena masalah kita bukan hal yang mudah untuk diterima akal manusia... dan satu lagi ren, kaya tepat buat aku ninggalin kamu sekarang.. kamu udah ga sayang lagi sama aku ren.. kamu cuma takut kehilangan aku aja.. ga lebih dari itu semua... gimana bisa kamu sayang sama aku kalo kamu ga bisa sayang sama tuhan kamu, gimana bisa nantinya kamu sayang sama keluarga kamu kalo kamu aja bisa sayang sama agama kamu... Seperti yang udah-udah ren, mungkin hal yang mudah untuk kamu memindahkan sebuah rasa cinta, tapi kali ini dan untuk ini, kita ga lagi bermain konsepsi Tuhan, ini bukan sekedar masalah filsafat dasar...”
Waktu terasa pelan berputar, ruang taman ini seakan hanya di-isi kita berdua, langit-langit kota sedikit redup dan dari samar semakin jelas suara kumandang Adzan terdengar.
“Bulan, dengan sisi gelapnya. Dan cinta adalah kedua sisi itu”
Pelan, Dita merapatkan posisi duduknya dan sebelah tanganya merangkul tangan gue sambil ia sandarkan kepalanya di ujung bahu. Dengan lembut juga geu membelai rambut hitam Dita, waktu seperti mundur kebelakang membawa pada masa-masa lalu.
CUP!!!
Geu kecup kening Dita dan ia langsung tersenyum manis, ada rasa sakit tersendiri melihat ia tersenyum indah seperti itu karena gue tau, itu adalah senyuman terkahir Dita untuk gue.
Dita semakin merapatkan tubuhnya, kita sama-sama sadar didepan sana ada sebuah perpisahan, mungkin emang selama ini kita hanya bisa menaha-nahan perpisahan itu.
Gue dan Dita terpaut perbedaan keyakinan, keluarganya masih berpikiran ortodoks dan dipihak keluarga gue pun ga jauh berbeda. Selama ini kita berdua nyoba untuk saling mencari jalan keluar untuk masalah ini.
Gue pernah belajar tentang keyakinan Dita, pun dengan ia yang lebih giat belajar dan nyari tahu keyakinan gue, banyak kesamaan diantara keduanya tapi ini bukan tentang siapa yang laebih mau mengalah untuk berpindah keyakinan.
Hal-hal itu semua yang membuat keluarga Dita mati-matian nolak kehadiran gue.
“Maafin aku ren, mungkin aku keliatan egois banget dan kamu bebas nilai aku gimana atau nilai kalo nyerah sama keadaan, atau mungkin aku emang nyerah ren... ini semua bukan lagi tentang perasaan cinta aku dan kamu semata ren... ini bukan sekedar perihal Mekah atau Jarusalem, bukan perihal Lebaran atau pohon Natal lagi, di ujung timur sana peperangan masih terjadi dan seperti yang sering bilang kan ren kalo religi hari ini gak lebih dari sebuah alat proganda paling murah sekaligus paling efektif.. tapi sekali lagi, ketika tuhan telah menciptakan rasa sayang dan cinta manusia masih bisa dikuasi rasa benci, apa jadinya kalo tuhan bener-bener enggak nyiptain rasa cinta di hati manusia...”
“kita sebagai manusia emang terkadang merasa melebihi tuhan itu sendiri, kita lebih sering berasumsi perihal manusia mana yang lebih layak untuk masuk surga atau neraka, kita manusia sering menjelma sebagai tuhan itu sendiri, menjadi terlalu angkuh....”
Dita menatap gue dengan sayu, “Ren... aku yakin nanti kamu bakalan ngerti semuanya dan dapetin semua jawaban kamu sendiri yang mungkin bukan hari ini, tapi sekali lagi ini bukan cuma sekedar masalah kita ren... gimana perasaan keluarga kamu, gimana perasaan keluarga aku? Gimana pandangan sosial ke kita berdua nantinya, mungkin kita bisa ga peduli sama hal terakhir tadi, tapi gimana perasaan ibu kamu yang pasti ingin punya menantu yang bisa di ajak Shalat bareng, dan perasaan mamah aku yang ingin pergi ke Gereja bareng menantunya.. apa kita terlalu angkuh dan tega untuk nyakitin perasaan kedua ibu kita ren?”
“Kita ga bener-bener berbeda, mungkin tuhan kita masih sama, hanya cara kita yang berbeda, atau mungkin tuhan kita memeng benar-benar sama, tapi manusia seperti kita ini yang menciptakan semua perbedaan itu”
Sebelah tangan Dita mengusap pipi yang tadi ia tampar, meski rasa sakitnya sudah hilang tapi ada getir tersendiri dalam setiap usapan tangan Dita saat ini.
“Ren.... rendi.....” Dita sedikit menarik kepala gue, dan pelan kedua bibir kamu bertemu, nafas lembutnya, bibir manisnya, dan hangat tubuhnya lebih terasa dari biasanya, ada rasa sakit yang semakin gue rasain dari ciuman ini. Ada luka yang semakin disayat hingga terbuka lebar, renyuh dan runtuh.
“ren, kita bukan dipisahin sama sebuah perbedaan, tapi kita memaksakan diri kita....... aku sayang kamu ren dan terima kasih untuk waktu-waktu yang dulu....”
gue ngeliat Dita berdiri dan tersenyum lalu melangkah pergi, menyaksikan sebuah perpisahan, langkah dita semakin jauh dan meninggalkan jejak pertanyaan yang tercecer di setapak selasar jalan ini.
Gue sadar, bahwa kita ga akan pernah siap untuk sebuah perpisahan, terlebih dengan alasan yang jawabanya rumit untuk dimengerti.
Dita bener, ini bukan lagi perihal rasa cinta kita berdua, tapi lebih luas dari itu dan gue sangat ngerti, meski untuk beberapa bagian gue masih kurang bisa menerima. Tapi jelas ini memang bukan sebuah filsafat dasar yang mempertanyakan konsepsi tuhan dan semesta raya.
Dita menghilang di ujung taman, pergi membawa banyak hal juga meninggalkan banyak potongan-potongan memoar yang suatu saat akan gue buka dan kenang ketika gue merasa cukup mempunyai jawaban atas setiap pertanyaan.
Ini adalah perpisahan yang selama ini kita tunda.
END- SEASON 1
Si Pujangga mesum 
