Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sambungan Enam

bwthobi

Suka Semprot
Daftar
1 Oct 2011
Post
19
Like diterima
415
Bimabet
Maaf kalo lama sekali gak buka Forum ini, sampai kedua threadnya di kunci. Punten ke admin dah ngerepotin. Mudah2an ini sekarang ampe tamat.
Sebelumnya: https://v1.semprot.com/threads/enam.1014345/

Tujuh, sambungan dari Enam


“Naik.”
“Seius?”
“Naik gelo.”
“Serius moal matak jadi ka Hasan Sadikin?”
“Sia deui, naek, aman, geus, ulah cemen, naik.”
Rian masuk ke dalam mobil, segan. “Mau kumpul di mana?”
“Ciwalk, bari mau beli sesuatu. Eh, kira-kira si Gusti dek ngomong apa nya? Apa si eta udah ngelamar si Lidya?”
“Meureun. Udah nempel pisan dari dulu. Cocok sih, saya sih oke.” Jawab Rian. Dan mobilpun mulai berjalan ke arah Cihampelas. Kedua sahabat itu mulai kembali cair, saling bercerita tentang dunia mereka dan masa lalu.
“Hmmm, ini kita mau kumpul tigaan wae? Gakan ama yang lain Yan?”
“Gak usah, tiluan weh.”
“Masih kesel ama Bima dan Revi juga?”
“Iya, padahal saya ge salah, ngan tetep weh, kesel mah ka batur, haha.”
“Yan, jujur, ampe sekarang, masih ada rasa ama Revi?”
“Naha nanya gitu?”
“Nanya weh, nya mun mau di jawab, jawab, henteu ge, jawab.”
“Beuh, sarua ieu mah atuh mang. Hahahaha, ada sih, ngan teu apal, ini rasa sayang, nafsu, atawa cemburu.”
“Hahahaha, dasar, jigana kita sama, sebagai laki-laki, itu yg dirasa. Ngomong-ngomong, ieu Cihampelas macetna makin parah.”
“Hahaha, ya pastina, kabeh ge berubah atuh bro. Everything is berubah. Semuanya berkembang. Lingkungan dan manusia berkembang. Tapi, people sometimes, when they are growing, they grow apart.”
“Hadah, mellow deui. Maneh tah anu grow apart.”
“Bae lah, dari pada grow bigger, hahaha.”

======================================================

Dalam sebuah kedai kopi yang selalu menanyakan nama pemesan satu-satu.

“Jadi gini, minggu depan, Gua mau lamar Lidya. Nah, berhubung ortu lagi pada sibuk, Gue minta, Lu Lu pade, anterin Gue ngelamar.”
“Seriusan Gus?”
“Iya, udah sayang banget Gua ama dia.”
“Mau dibere makan apa Gus? Cinta?” Tanya Udin.
“Yee Lo lagi, eh Din, Negara kita ini, Indonesia, merdeka dulu, baru ngebangun. Soal rejeki sih, ada di tangan yang Atas sana.”
“Bisa wae maneh ngajawab. Oke lah kalo begitu, aing, Udin, siap antar. Ngan, pastikeun, maneh moal di tolak lamarana. Era uy lamun udah kaditu, dandan seganteng-gantengnya, terus di tolak. Tengsin bro.”
“Gak bakalan. Cuman menggugurkan kewajiban aja lamarannya. Pasti diterima. Oh ya, gimana kuliah? lancar pada Lo semua?”
“Lancar Gus. Oh ya, kamu mau nikah bukan gara-gara kebablasan kan Gus?”
“Kagak lah, gila aja Lo Yan, kalo iya, bisa digorok Gua ama babeh. Aman ko, main aman, hahahaha.”
"Perasaan hidup kamu enak-enak aja ya Gus, Sekolah lancar, kuliah lancar, jodoh lancar, boker lancar ga?"
"Beuh, yang penting, hidup mah kudu ikhlas Yan, selow, jangan buru-buru. Eh, kamu ngilang 2 tahun lebih dapet apa? Ada yang baru ga?"
"Apaan? Film porno? Banyak tuh."
"Pacar ******."
"Haha, si Rian mah koleksinya terus bertambah. Kalo masalah cewek mah, Yan, ada keberanian teu?"
"Gelo, ada, udah jadian. Ama anak SMA."
"Wah, dapet daun muda ni anak satu. Cakep ga?"
"Gus, saya aja ganteng gini, ya pasti ceweknya cakep."
"Eh, ngomong-ngomong soal cewek cakep, tuh, ada dua anak cewek, gareulis uy, di lawang."
Otomatis tanpa dikomando Gusti dan Rian menolehkan kepala mereka ke arah pintu.

"Iya, cantik, taruhan, bisa saya panggil tuh dua bidadari ke sini, untuk ngopi bareng."
"Okeh, sok, mun maneh bisa, ini kopi, jang maneh." Sahut Udin sambil menyodorkan kopinya ke Rian.
"Jiah, urut maneh eta Din." Jawab Rian sambil melambaikan tangannya ke arah dua perempuan yang dimaksud.


"Eh, Ning, tuh ada cowok manggil."
"Mana? Loh, Ka Rian? Sini Yu."


"Lah, beneran nyamperin tu cewek dua."
"Jelas lah, itu yg pake kerudung pink pacar urang."
"Pantesssss." Bersamaan Gusti dan Udin merespon.

"Ning, ngapain?"
"Mau nonton ama Ayu, eh iyah, kenalin Kak, Ayu ini, sahabat Nuning di sekolah."

Dan mereka pun saling berkenalan, Ayu dan sahabat Rian. Bercengkrama. Bercanda. Dan terlihat dari iler dan mata Udin, sepertinya dia menyukai Ayu. Ya bagaimana tidak, Ayu cantik, putih, berkacamata, dengan jilbab putih sederhana namun menawan, walaupun asetnya kurang menonjol. Tapi sepertinya, tidak dengan dadanya, batin Udin. Pas.

"Din, hei, udah, ngeliatin neng Ayu nya ulah kitu teuing."
"Ah, hahaha, maklum. Laki-laki normal."
"Dasar. Ayu udah punya cowok Kak Udin ih."
"Oh, gapapa Ning, sebelum ada bendera kuning, masih ada waktu."
"Idih, Ayu nikah nya masih la.. , eh, bendera kuning? Hahaha, dasar ih Ka Udin. Jadi mau nunggu Ayu ampe lewat nih ceritanya?"
"Hahaha, ya enggak juga Yu, hehe."
"Dasar, kirain."
"Tapi mau dong, sehidup semati ama Ayu." Lanjut Udin.
"Dasar si Udin, liat kondisi bro, Lo itu item, Ayu ini putih, lah, bisa jadi Hitam Putih nanti."
"Berisik maneh Betawi, biarin aja, anggap aja kopi dan susu, saling melengkapi."
"Bisa aja lo Din, ngeles, kaya belut, licin. Eh, mau nonton jam berapa? tar bablas lagi."
"Oh iya, bentar lagi, yaudah, kak, Nuning pamit, ama Ayu."
"Mau ditungguin ga Ning?"
"Ga usah, tar pulang dianter Ayu aja."
"Eh, ada yang lupa." Sahut Udin mengagetkan semua.
"Apaan Kak?"
"Nomor HP Ayu."

Dan jitakan itu terdengar, jelas.

======================================================

"Gimana, filmnya rame gak tadi?"
"Mayan kak, seru juga."

Nuning kembali duduk bersila di depan komputer Rian, bukan nonton film porno, tapi menyelesaikan tugas sekolahnya.

"Eh, Kak, tahu gak?"
"Enggak." Jawab Rian cepat.
"Iiih, belum cerita juga."
"Haha, ya sok, mau cerita apa?"
"Ayu udah gak perawan loh.”
“Wah?” Sedikit kaget, dan ada perasaan iri Rian rasa, jelas aja, perempuan se cantik Ayu. Beruntung banget laki-laki yang sudah menikmatinya. “Terus, hubungannya apa Ning?”
“Enggak. Gak apa apa.”
“Hmmm, jangan-jangan …. “
“Jangan-jangan apa Kak?”
“Jangan - jangaaannnnn ….. “
“Iih, Kak Rian geje, jangan-jangan apa?”
“Hahahaha, jangan-jangan Nuning juga pengen ya?”
“Ih, apaan? Gak, perawan Nuning cuman buat suami Nuning nanti.”
“Hahahaha, ya, terus cerita kalo Ayu udah bukan perawan, buat apa?”
Dan Nuning bingung, bener juga apa kata Rian, buat apa? Apa diam-diam dia juga ingin merasakan hal itu? Bercinta, dengan orang yang dikasihi.
“Udah, sini, dari pada minikirin yang gituan.”
“Ke mana?”
“Sini, biar Kak Rian peluk.”
“Uuuh, maunya.” Timbal Nuning, namun tak khayal, badannya bangkit dan mendekati Rian yang sudah duduk di atas kasur. Kemudian Nuning duduk disebelah kanan Rian.
“Ning, Ayu emang cerita apa lagi?” Tanya Rian sambil memeluk Nuning.
“Idiih, tadi bilang ngapain sekarang nanya. Ya gitu deh, udah ML, di kostan cowoknya. Bisa seminggu 3 kali tuh. Dan kemarin, dia cerita, ada adegan lucu, ada yang ngintipin mereka lagi maen, terus sepertinya terangsang, terus ikutan maen di luar kamar, disangka maling, cowoknya Ayu kan langsung nge cek, eh, taunya temen sebelah kamar cowoknya, lagi maen ama ceweknya, hahahaha.”
“Wah, parah, emang maennya liar ya? Sampe yang lain terangsang gitu?”
“Kata Ayu sih iya, semua lubang Ayu dah gak perawan katanya.”
“Wah, pantat juga?” Tanya Rian sambil meremas pantat Nuning.
“Ih, ini tangannya jangan nakal juga dong. Remes-remes gak pake ijin, huuuu.” Nuning memasang muka cemberut, yang, menurut Rian, menambah cantik wajahnya. “Iya, semua lubang, dan, Kak, kata Ayu, pacarnya suka itu...”
“Apa?”
“Hmm, buang sperma di mulut Ayu, terus harus di telen.”

Rian mulai membayangkan Ayu dengan bibirnya yang tipis dan indah mengoral penis pacarnya lalu menelan semua sperma. Mulai terangsang, Rian mulai menciumi dan mengendus telinga Nuning.
“Ah, geli Kak.”
“Terusin lagi ceritanya Ning.”
“Ahhh, iyaah, ini, ahh, udah dulu dong, geli. Yah, gitu deh. Emang enak ya rasa spermaaa, ah, Kak, geliii.”
“Gak tau, belum ngerasain.”
“Yee, iya lah jelas, kecuali kalo Kak Rian homo. Ah, kak, tangannyaaa, ahhhhh, hmmmpppff.” Saat itu Rian mulai meremasi dada kanan Nuning, dan tak kuat, Nuning menolehkan wajahnya ke kiri dan langsung melumat bibir Rian.
Keduanya kemudian bercumbu, saling meremas, melumat, bersilat lidah dan bertukar air liur. Sampai HP Nuning berbunyi.

“Ahh, bentar Kak.”
“Siapa?”
“Ayu. Gelo. Liat Kak.” Nuning menunjukan HP nya ke Rian. Tampak Ayu sedang melakukan selfie, tapi sambil mengoral penis, dengan caption, ‘Kamu harus coba.’
“Mau?” Tanya Rian.
“Weeeeek, ENGGAK!”
======================================================

Bandung beberapa hari ini terus menerus diguyur hujan. Ima memandang ke luar jendela kamar. Bersandar kepada bingkai jendela, menikmati setiap air hujan yang membentuk montase yang indah. Lama dia berdiri sedari sore tadi.

Sampai nanti ketika hujan tak lagi
Meneteskan duka meretas luka
Sampai hujan memulihkan luka

Desember terdengar sayup dibelakang. Slalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam. Namun, terang itu belum datang. Atau bahkan tidak akan datang. Bagi Ima, hujan akan selalu dateng. Dan luka yang ada tidak terpulihkan, justru bertambah. Hari-hari terakhir sebelum Gio meneruskan studinya di luar negeri dihabiskan dengan persetubuhan mereka di hotel yang disewa Gio. Ya, hanya itu yang mereka lakukan. Bercinta. Tidak lebih. Setelah Gio pergi, giliran Bima yang melampiaskan nafsunya.
Lelah. Sangat melelahkan, apa selamanya dia hanya menjadi objek pemuas nafsu? Namun Ima masih bersyukur, karena baik Gio ataupun Bima, sebenarnya memiliki ruang tersendiri di hati Ima. Dan inilah yang setiap waktu menghantui pikirannya, apakah dia harus memilih salah satu, atau pergi dari keduanya?
Malam ini sebetulnya Bima meminta, lebih tepatnya, memerintah Ima untuk datang kerumahnya, namun untuk kali ini, Ima merasa lelah teramat, dia tidak peduli akan apa yang akan dilakukan Bima padanya. Malam ini Ima hanya ingin sendiri, menikmati hujan yang tak juga reda. Menikmati montase yang tercipta dan suara merdu hujan yang turun.

==============================================================

“Sialan.” Bima kembali melemparkan HP nya ke atas kasur. “Liat aja nanti.”
Beberapa kali dia menelepon Ima namun tak kunjung diangkat. Hempasan badannya kemudian kembali membuat si HP sedikit bergeser. Bima memejamkan matanya, rasa ini, horny dan kecewa bercampur menjadi rasa marah. Nafas Bima mulai memburu. Sesaat kemudian dia bangun, menggunakan pakaian untuk secepatnya pergi ke rumah Ima. Buru-buru dia mengambil kunci mobil dan menyenggol gelas yang sedang berdiri diam di tas meja hingga terjatuh. Refleks badan Bima menunduk mengambil gelas, dan di situ, di bawah meja, terdapat bingkai foto, bingkai foto yang tiga tahun lalu dia hempaskan dari atas meja, diambilnya bingkai foto itu, berdebu.
Didalamnya terangkai foto mereka, enam sekawan. Udin, dengan wajah tanpa dosa, Gusti dengan senyum lebarnya, Revi dengan bibir tipisnya yang menawan, Ima dengan kecantikannya, Rian dengan senyuman dan rangkulan kepada dirinya.
Terduduk, termenung dia memandangi foto itu. 4 atau 5 tahun yang lalu. Mereka adalah sahabat yang selalu ada buat Bima, membantu pada masa-masa sulit ketika keluarganya hancur. Rian. Orang yang pertama kali menyapanya ketika dia duduk termenung sendirian di toilet belakang sekolah, dengan rokok yang mengepul. Rian duduk begitu saja, tanpa berucap sepatah kata. Lama menemani dirinya menghabiskan berbatnag-batang rokok.
“Dah habis?” Tanyanya ketika seluruh rokok sudah terbakar.
“Ya, kenapa, kamu punya?”
“Gak, teu ngarokok saya mah.”
“Terus ngapain duduk disini?”
“Bim, saya ga kenal kamu, kita sekelas juga baru beberapa bulan. Tapi saya gak suka dengan kesendirian. Ya, minimal bisa duduk disini nemenin kamu. Ya atuh, kalo udah abis mah, saya balik.”
Dan Rian kemudian berdiri, menepuk celananya, kemudian berlalu, sebelum benar-benar pergi, dia berucap “Baru kali ini saya ngeliat ada anak SMA ngerokok Jarum Coklat kretek.” Tersenyum, lalu pergi.
Sialan, rokoknya tadi dituker ama pak Ujang karena ketauan bawa rokok. “Bangsat juga tu anak, Rian, ya, Rian.”
Kenangan itu berputar kembali, pada awal-awal dia menganal Rian. Kemudian Ima, orang yang harusnya saat ini memberikan kehangatan badannya.
“Hah?”. Kaget, karena tiba-tiba saja air mata keluar tanpa dia sadari. Dia sudah melampaui batas, apa yang dia cari? Saat ini, keluarganya sudah seolah tidak ada sama sekali. Teman? Teman kuliah ada, sahabat? Tidak ada. Pacar? Gak ada, karena ada Ima. Dan Ima? Siapa dia? Mungkin pada saatnya dia pun akan pergi. Satu persatu pergi meninggalkan dirinya.
Semua gara-gara Rian. Gara-gara Ciwidey.
BUKAN, sesuatu melintas di pikirannya. Bukan gara-gara Rian. Tapi gara-gara ego. Ya, baik ego nya maupun Rian.
“Huuuuffffff.” Diletakannya bingkai itu kembali di atas meja, kemudian dia melangkah keluar kamar.

==============================================================

Acara lamaran selesai dilaksanakan. Suasana tegang telah cair. Kebahagiaan terpancar di semua wajah, terutama Gusti dan Lidya. Selangkah lagi mereka akan resmi menjadi suami istri.
Rian memandang dua sejoli itu dengan perasaan bahagia, bangga dan cemburu. Ato lebih tepatnya iri. Iri pada Gusti yang sebentar lagi akan mengakhiri masa lajangnya.
Kemudian wajahnya menoleh, kepada perempuan cantik yang duduk dengan manis disebelahnya. Nuning pun menoleh, keduanya tersenyum, tersipu.

==============================================================

“Halo?”
“Halo, Ma, masih bangun? ganggu ga?”
“Masih lah, buktinya bisa angkat telepon. Enngak ko Yan, tumben, ada apa nih nelepon?”
“Boleh minta nomornya Revi?”
“Hmmm, boleh. Emang kamu ga punya?”
“Gak. Dah saya hapus dulu.”
“Dasar, oke, nanti Ima share kontaknya.”
“Sip. Nuhun.”
Rian berfikir sudah saatnya dia move on, melihat kebahagiaan Gusti tadi pagi membuat dia tersadar, sudah ada Nuning disisinya. Sudah saatnya dia memikirkan tentang masa depannya sendiri. Toh sahabat-sahabatnya di SMA dulu masih ada, ya, mungkin minus Bima dan Revi. Tapi itu semua harus berubah. Jika mereka tidak bisa seperti dahulu, minimal tidak saling menjauh satu sama lain.
Mulai dari Revi, selanjutnya, dia akan menghubungi Bima, untuk bisa bertemu dan meminta maaf. Ya, maaf, tidak ada salahnya dia yang memulai. Toh, posisi dia pun salah. Pada saat itu ada Atika, kenapa harus marah ketika Bima dan Revi ketahuan.
Walaupun hatinya tidak bisa dibohongi. Rasa cemburu masih terus membakar.
Sebuah notifikasi masuk ke HP nya, dari Ima berisikan kontak Revi. Disimpan tanpa ragu,
==============================================================

“Hmm, sudah di read.” Jam 11 malam dia melihat jam di HP nya. Kenapa Rian minta nomornya Revi? Apa yang mau Rian omongin ya?
Dering telepon tadi sebenarnya membangunkan Ima dari tidurnya yang lumayan lelap. Dilihatnya banyak sekali miss call, terutama dari Bima. Ada juga dari mas Gio, disertai pesan, “KANGEN.” Ima tersenyum. Tapi kemudian kaget setelah membaca pesan dari Bima. “Maaf.”
Ya, Maaf. Kenapa? Mungkin dia lagi waras, pikir Ima.
Kemudian HP nya berdering sekali lagi. Pesan masuk dari Bima, isinya file video. Ima membukanya, kaget. Video itu berisikan ketika dia dan mas Gio bercinta di luar waktu di Ciwidey dulu. Video yang digunakan Bima untuk memeras Ima sehingga bisa menjadi budak seksnya.
“Ini vid yg dulu, di sy dah dihapus. Km bebas Ma, km bebas, sy gakan ganggu km lagi. Maaf.” Kemudian pesan itu masuk.
Air mata menetes dari kedua matanya, dia bebas, tak harus lagi mengikuti nafsu birahinya Bima. Seharusnya dia bersyukur dan berbahagia, namun entah kenapa, rasa sedih dan takut meresapi setiap sel di tubuhnya. Karena mau bagaimanapun, untuk hampir dua tahun ini, walaupun seperti apa perlakuan Bima kepadanya, harus diakui, jika dia menyukainya, dan dia senang Bima ada disisinya.
==============================================================

Revi menghempaskan badan di atas kasurnya. Jam 11. Badannya masih dililit handuk. Baru jam 10.30 tadi dia diantar Reza pulang. Karaoke bersama teman-teman, dilanjut seperti biasa, pergumulan mereka di kamar Reza. Tangannya memegang anusnya. Perih. Sakit. Reza tidak pernah puas jika hanya dengan oral, tapi Revi masih belum mau memberikan kegadisannya untuk Reza.
Jarinya masih menekan bagian anusnya, meringis. Revi sedikit menikmatinya, namun rasa nikmat itu selalu diiringi oleh rasa sakit. Ketika penis Reza masuk ke dalam lubang anusnya, rasa geli dia rasa, namun ketika penis itu dicabut, perih yang terasa, walaupun sudah menggunakan pelumas. Itulah yang membuat bahkan hingga kini, masih dapat dihitung dengan jari berapa kali Reza menusuk anusnya.
Teringat waktu pertama kali Reza memasukan penisnya ke dalam anus Revi. Waktu itu genap satu tahun mereka berpacaran, hampir saja dia kehilangan keperawanannya kalo HP nya tidak berdering. Penis Reza waktu itu sudah tepat di depan lubang kemaluannya. Sempat terjadi perdebatan ketika mereka ingin melakukan lagi, dan pada akhirnya Revi kalah, merelakan lubang anusnya untuk dimasuki penis Reza. Awalnya sangat sulit, karena tentu saja tidak ada pelumas alami yang keluar dari anus Revi. Dan akhirnya Reza meludahi anus Revi hingga teramat basah dirasa, baru perlahan tapi pasti, Reza memasukan penisnya ke dalam anus Revi. Dia berteriak kesakitan, karena memang sangat sakit. Air matanya menetes keluar. Untung saja Reza tidak terlalu lama berada di dalam sana. Karena menurutnya pantat Revi sangat sempit, hingga dia pun tak kuat menahan ejakulasi dan menembakkan banyak sekali air mani nya di dalam anus Revi. Seminggu dia rasakan perihnya.
Membayangkan itu, walaupun sakit, tetap saja membuat Revi cukup merasa bergairah, tangannya perlahan berpindah ke atas kemaluan, namun HP nya tetiba berbunyi. Ima.
Dia mengajak ketemuan besok. Tapi yang membuat dia sedikit terhenyak adalah informasi jika Rian meminta nomornya.
Ah, Rian. Apapun akan dia lakukan jika itu bisa memutar waktu ke tiga tahun yang lalu. Lalu tangannya mulai bergerak.

==============================================================
Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi menembus gelapnya Kota Bandung. Raungan mesin terdengar dari mobil. Waktu menunjukan pukul 2 pagi hari. Di dalamnya, Bima, terus memacu kereta besinya tanpa rasa takut. Memanfaatkan jalanan yang lengang.
Pikirannya satu, apa yang akan diperbuat sekarang. Video yang digunakan untuk memeras Ima sudah dihapus.
Ketemu. Ya, dia harus bertemu dengan Ima, dan meminta maaf secara langsung, bukan melalui pesan.
==============================================================

Pagi ini langit Bandung kembali menangis. Membuat seluruh penghuni kota seakan enggan untuk turun dari tempat tidur dan rangkulan selimut mereka. Begitupun dengan Revi. Janji ketemu dengan Ima siang nanti.
Perutnya terasa sakit, ingin dia secepatnya ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat, namun rasa takut akan sakit ketika buang hajat membuatnya ragu. Ditengah keraguan dia, HP nya berbunyi. Nomor Rian.
“Halo.”
“Halo.”
Hening untuk beberapa saat, baik dia dan Rian sepertinya masih takut untuk mulai berbicara.
“Vi”
“Yan.”
Sahut mereka bersamaan.
“Sok, kamu dulu.” Revi cepat menimpali.
“Ya.” Sahut Rian. “Apa kabar?” Lanjutnya.
“Baik Yan, kamu gimana? Baik Juga?”
“Baik, Vi, gini, kira-kira kita bisa ketemu ga? Ada yang mau saya omongin.”
“Mau kapan?”
“Kamu bisanya kapan?”
“Ih, ditanya teh malah balik nanya.”
“Ya, saya kan ga tau jadwal kamu Vi, hmmm, kalo hari ini?”
“Siang ini ada janji ketemu Ima, mau bareng? Ato tar aja sesudah aku ketemu Ima?”
“Hmmm, ketemu Ima ya?”
“Iya, biar sekalian, maklum, kan digunung.”
“Hahaha, iya, putri gunung.”
Keduanya kemudian terdiam, sudah lama kalimat itu tidak terucap dan terdengar.
“Oke, kabari aja jam dan tempatnya, nanti saya susul.” Lanjut Rgian.
“Ok. Dan Yan, jangan anggap apa-apa, tapi, seneng bisa denger suara kamu lagi.”
“Sama Vi.”
==============================================================

“Bima, eh, gimana?”
Pagi ini, masih dibawah guyuran hujan, Ima kedatangan tamu tak terduga. Bima. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan apa yang akan terjadi.
“Boleh saya masuk? Disini dingin.”
“Eh, boleh, masuk ajam Bim. Tunggu, Ima ambilin air anget.”
Bima melihat Ima masuk ke dalam, dia kemudian duduk, melihat seisi ruang tamu. Pernah sekali waktu dia menikmati hangatnya tubuh Ima di ruangan ini. Sama, di luar hujan turun, deras malah. Saat itu semua anggota keluarga Ima sedang di luar kota. Dan seharian Bima menikmati Ima dirumahnya.
“Ini Bim, minum dulu.”
“Ma kasih Ma.”
“Emm, ada apa Bim? Ujan-ujan gini.”
“Saya langsung aja ya Ma. Cuman mau bilang maaf, dua taun ini saya udah berbuat ga baik ama kamu. Saya salah. Saya udah buat kamu seperti budak seks aja. Kalo boleh jujur, awalnya karena saya cemburu. Cemburu dengan apa yang udah saya liat, saya bodoh Ma, udah mah telat dalam menyadari kalo saya bener-bener jatuh cinta ama kamu, juga bodoh dengan rasa cemburu ini, dan parahnya membuat kamu menjadi korban.
Apa yang saya lakuin emang salah, dan egois kalo saya bisa dengan mudah mendapatkan maaf dari kamu. Hati kamu pasti ancur, harga diri kamu juga. Semua gara-gara saya. Gara-gara nafsu saya.”
Kemudian Bima terdiam. Ima pun hanya bisa menunduk. Jantungnya kembali berdetak kencang, namun kali ini disertai amarah yang keluar.
“Kamu brengsek Bim. Apa yang kamu lakuin ke Ima itu sangat jahat. Kamu tau apa yang Ima rasa? Ima ngerasa kalo diri Ima itu gak jauh dari sampah. Murahan.” Bergetar Ima mengucapkan kalimatnya. Air matanya pun turun. Tangannya mengepal.
“Pernah satu waktu, Ima ngerasa ingin mati aja.”
“Ma, … “ Bima kaget.
“Kamu brengsek, jahat.” Tangisan Ima semakin menjadi, dia tutupi wajahnya dengan kedua tangan. Bima hanya bisa terdiam, namun perlahan air mata turun, ternyata dia tak sanggup melihat orang yang dikasihinya itu menangis, terlihat rapuh. Padahal biasanya terlihat penolakan dan keberanian dari Ima ketika Bima melakukan hal-hal yang bahkan sangat kurang ajar. Seperti ketika menyuruh Imamenyapa Rian dengan menggunakan vibrator tempo itu.
Ingin Bima memeluk Ima, memeluk dirinya yang sedang menangisy, tapi dia sadar diri, sadar untuk bahkan tidak menyentuhnya.
“Maaf. Dan terima kasih.” Sambung Bima. “Kalo kamu mau, kamu boleh melakukan apapun ke saya. Saya terima apapun itu.”
“Hah? Apa? Apa yang mau Ima lakuin ke kamu Bim? Kamu udah mengotori badan ini. Mulut ini, udah nelen banyak sekali air mani kamu. Kamu bahkan sering ngeluarin di dalem ini.” Jawab Ima samil menunjuk ke arah kemaluannya. “Bahkan pantat, ya Tuhan Bim, kamu tau? Rasa sakitnya bukan main. Fisik dan psikis Ima. Kamu tau rasanya jadi perempuan yang gak punya harga diri? Apa yang mau Ima lakuin? Membunuh kamu Bim, Ima pengen kamu mati.”
“Ya, saya sadar. Maaf. Dan kalo kamu ingin saya mati, mungkin memang wajar. Saya nerima aja. Lagipula, saya juga dah gak punya siapa-siapa lagi. Di rumah sepi. Sahabat gak ada. Satu-satunya orang yang bisa saya ajak cerita dan berbagi ya cuma kamu. Kalo itu mau kamu, silahkan Ma.” Kepalanya menunduk seraya di berucap. Air matanya semakin deras mengucur.
“Saya memang orang bodoh yang jahat.”
Ima memandang Bima, amarah yang yang dirasakan benar-benar sudah sampai ke puncak, namun ketika melihat kondisi Bima, orang yang biasanya terlihat kuat dan tegar, ternyata bisa seperti ini juga.
PLAK.
Ima menampar Bima.
Diam, ya, Bima hanya bisa diam menerima tamparan itu.
“Keluar. Keluar kamu Bim, dan jangan pernah lagi kamu menghubungi Ima lagi.”
Bima menarik nafas panjang. Kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Maaf.” Kemudian pergi menerobos hujan yang semakin deras.
==============================================================

Cafe ini masih terlihat sepi, mungkin hujan yang tidak berhenti sedari pagi, walau kini hanya tersisa gerimis kecil menjadi penyebabnya. Revi mendudukkan pantatnya di atas sebuah sofa.
“Di mana?”
Menunggu.
“Bentar lagi, mau nyebrang jalan.”
Beberapa saat kemudian, sosok perempuan cantik masuk ke dalam cafe. Revi melambaikan tangannya. Berpelukan mereka selama beberapa saat.
“Nah, ada apa sampai kamu memanggil putri gunung untuk turun wahai ananda?”
“Jih, geje. Hmmm, Ima mau cerita. Udah ga kuat nyimpen ini sendiri.”

Bersambung.


======================================================
 
Terakhir diubah:
Gila Sih..... Ini Cerita LEGEND 🙏

DiRemake Aja Hu Dari Awal Dengan Judul Yang Baru 🍺

Soalnya Yang Bisa Ngikutin kelanjutan cerita ini Cuma yg udah pernah baca dari awal

Klo yg baru tahu pasti ga "ngeh" dg cerita legend ini
Waduh, saya tergolong manusia pemalas. Maafkan. Hahaha. Paling banter ngasih link ke cerita sebelumnya di atas.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd