Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG REBIRTH OF SHADOW: CIRCLE OF MILF

PART 20

The Conqueror






Gio terbangun di sebuah kamar yang cukup ia kenal. Kamar ini adalah kamar yang ia tempati Ketika ia tinggal di rumah Bu Dewi. Ia melihat sekeliling, Nampak tak ada yang aneh. Namun, siapa sangka bahwa Bu Dewi sedang tertidur pulas disampingnya dengan selimut tebal yang menutup tubuhnya dan tubuh Gio.



“udah bangun kamu, Nak…” ucap Bu Dewi yang perlahan membuka mata dan menguceknya.

Bu Dewi pun membuka selimutnya dan duduk bersandar di ujung ranjang, “gimana tidurnya, nyenyak?” ucapnya sembari tersenyum ramah.



Gio terkejut Ketika Bu Dewi membuka selimutnya. Bagaimana tidak, ia melihat dengan jelas bahwa ibu angkatnya itu hanya mengenakan lingerie semi-transparent. Seumur-umur, ia tak pernah melihat ibunya mengenakan pakaian seperti ini.

Gio memandangi tubuh ibunya dari mulai kepala hingga kaki. Sungguh keindahan yang luar biasa. Berpadu dengan rambut panjangnya, karena kebetulan sedang tak mengenakan hijab, Bu Dewi Nampak sungguh seksi dengan balutan lingerie semi-transparant itu.



“kenapa kamu kok ngeliatin ibu sebegitunya.” Celetuk Bu Dewi yang heran dengan tingkah anaknya.

“iii—ibu kenapa pake beginian?” tanya Gio gugup.

“kamu nggak suka ya?” ucap Bu Dewi sembari memasang muka cemberut dan menundukkan kepalanya.

“bbb—bukan begitu Bu… Cuma Gio kaget aja ibu pake pakaian kayak begini.”

“ibu tuh Cuma pengen menuruti apa yang dulu kamu pengenin. Ibu kangen sama kamu, sayang…”

“maksudnya, Bu?”

“Ssssttt…” ucap Bu Dewi sembari menaruh jari telunjuknya di depan bibir Gio.



Bu Dewi pun berpindah posisi dan langsung duduk di perut Gio. Dari posisi tersebut, Gio semakin dibuat menelan ludah. Sungguh sangat mempesona bisa menyaksikan kecantikan ibunya dari bawah. Payudaranya, wajahnya, bibirnya, matanya… ARRRGGGHHHH rasanya ingin segera menerkamnya.



“beri tau ibu tentang bagaimana kamu memuaskan para Wanita-wanita dewasa di luar sana.” Ucap Bu Dewi berbisik tepat di samping Gio.



Setelah itu, Bu Dewi langsung mendaratkan bibirnya pada bibir Gio. Kini Bu Dewi berada di atas tubuh Gio dan menindihnya. Gio benar-benar tak menyangka bahwa semua ini bakal terjadi setelah insiden yang membuatnya pergi dari rumah ini.

Bibir mereka saling Bersatu dan saling memberikan kecupan-kecupan hangatnya. Lidah mereka juga saling melilit satu sama lain. Gio sangat menikmati apa yang sedang terjadi.

Tangannya tak tinggal diam, kini segera menuju ke arah pantat montok milik Bu Dewi dan meremasinya. Sementara bibir mereka masih saling berpagutan.

Tak mau menunggu untuk waktu yang lama, Gio membalikkan badannya dan Bu Dewi, sehingga kini ia berada di atas tubuh Bu Dewi.

Selanjutnya, ia melepaskan pagutan bibirnya dan langsung menyerang tengkuk leher Bu Dewi. Dijilatinya leher jenjang nan mulus milik Bu Dewi tersebut dan sesekali memberikan kecupan-kecupan hangat.

Ciumannya Kembali turun menuju ke dada Bu Dewi. Kembali ia mendaratkan ciumannya di area dada Bu Dewi. Seolah-olah, Gio ingin melumeri seluruh tubuh Bu Dewi dengan air liur miliknya.

Kini, Gio mulai mengecup dengan gemas area atas payudara Bu Dewi yang masih tertutup lingerienya. Kiri dan kanan secara bergantian ia kecup. Bersama Dengan kecupannya, Gio juga mendaratkan tangannya pada toket itu dan meremasinya secara bergantian.

Puas dengan apa yang baru saja ia lakukan, Gio melorotkan bagian atas lingerie itu hingga terpampang gunung montok milik Bu Dewi. Gio langsung menghisap putting mungil itu dengan rakusnya layaknya bayi yang kehausan. Tak hanya itu, jarinya juga memainkan perannya dengan memilin-milin putting itu dan meremasinya.

Areola coklat muda Bu Dewi juga menjadi santapan gio dengan memberikan Gerakan melingkar menggunakan lidahnya. Gio meremas toket Bu Dewi layaknya meremas squishy lalu menghisap putingnya layaknya bayi yang menyusu.



*sluurrrppp… sluurrrppp…*

“aaakkkhhh… Giiiooohhhh… kamu apakan tete ibuu…. Mmhhh…”

“tete ibu bagus banget… masih kencang lagi.” Ucap Gio di sela-sela hisapannya pada payudara Bu Dewi.

“kamu suka, Nak?”

“banget…”

“hisap lagi kalo kamu suka.”



Tak menunggu dua kali, Gio Kembali menghisap dan memainkan payudara Bu Dewi dengan rakus. Sementara Bu Dewi tak henti-hentinya terus mendesah kenikmatan atas apa yang sedang dilakukan oleh Gio tersebut.



“ooohhh… Giiooohhh… Cukuuppp…”

“cuukkuuppp… naaakkkhhh…”

Gio pun menghentikan aktivitasnya, “kenapa, Bu?”

“ibu udah basah banget, Nak. Coba kamu liat.”



Gio lantas menuju ke area yang dimaksud oleh Bu Dewi. Di sana ia melihat lingerie yang menutupi bagian kewanitaan Bu Dewi telah basah karena rembesan cairan lubricant Bu Dewi yang keluar.

Gio langsung mengarahkan jari telunjuknya untuk membelai belahan bibir memek Bu Dewi. Bu Dewi pun tak kuasa menahan desahannya Ketika jari Gio membelai lembut bibir memeknya itu.



“mmmhhh…”

“makin basah, Bu.”

“sshhh… mmhhh…”



Bu Dewi tak henti-hentinya mendesah kenikmatan. Gio juga mulai menyingkap CD itu ke samping dan Kembali menggesek belahan memek Bu Dewi dengan jarinya. Setelah itu, giliran klitoris Bu Dewi yang menjadi sasaran.

Gio memainkan klitoris Bu Dewi dengan sangat lembut menggunakan jarinya. Hal tersebut membuat desahan Bu Dewi semakin menjadi-jadi.

Mendengar desahan yang keluar dari mulut Bu Dewi membuat birahi Gio semakin naik. Segera ia daratkan bibirnya di bibir memek Bu Dewi. Gio menjulurkan lidahnya dan langsung menyapu bibir memek Bu Dewi, sementara jarinya masih bermain pada area klitoris Bu Dewi.



*ssllluuurrpp… sluurrppp…*

*cccrreepp… crrreeeppp…*

“Giiooohhh… ahhh…”

“aaduuuhh… uhhh…”



Gio terus memainkan lidahnya pada area kewanitaan Bu Dewi dan mengecupnya sesekali. Gio pun mulai membuka lebar-lebar bibir memek Bu Dewi hingga terpampang lubang peranakannya. Selanjutnya, langsung lidahnya menusuk-nusuk dan menari-nari di depan lubang tersebut.

Tak berselang lama kemudian, kini bergantian jarinya yang menusuk lubang peranakan tersebut. Sementara lidahnya kini memainkan klitoris milik Bu Dewi. Jarinya terus menyodok-nyodok memek Bu Dewi dengan cepat.



“aahhh… Giiioohhh…”

“nakall bangeetthh… ahhh… dduuuhhhh…”

“ibuuuhhh… nggakk taaahaannn… aaaaa….”



Lenguhan Panjang Bu Dewi seiring dengan orgasme pertamanya. Memek Bu Dewi pun berkedut dan jari Gio berasa dihisap oleh memek Bu Dewi yang mengalami orgasmenya. Cairan orgasmenya pun membasahi jari Gio.

Gio menarik keluar jarinya dan menghisap jarinya yang basah oleh cairan orgasme Bu Dewi. Gio menatap Bu Dewi yang masih menikmati sisa-sisa orgasmenya.



“rasa penasaran ibu akhirnya terjawab, kenapa Bu Elin begitu tergila-gila sama kamu.”

“dan Gio juga akan membuat ibu menjadi seperti Bu Elin.” Ucap Gio sembari Kembali menindah tubuh Bu Dewi dan mengecup bibirnya.



Gio pun melepaskan kecupannya dan Kembali bergerak ke bawah, area selangkangan Bu Dewi. Ia buka lebar-lebar kedua kaki Bu Dewi dan memposisikan diri diantara kedua kakinya. Kepala kontolnya kini sudah berada tepat di depan bibir memek Bu Dewi.



“sekarang, Bu?” tanya Gio.

“…” Bu Dewi tak menjawab dan hanya mengangguk pelan.



Gio mulai mendorong kontolnya perlahan hingga kepala kontolnya mulai menyeruap masuk menembus lubang peranakan milik Bu Dewi. Namun tiba-tiba…



*BRAAAKKK…*



Gio dikejutkan dengan suara keras yang mana berasal dari pintu kamar yang di dobrak. Mata mereka pun tertuju ke arah sumber suara. Tak lama dari suara tersebut, langsung muncul sosok yang tak asing bagi Gio.

Orang itu langsung berjalan mendekat ke arah Gio. Sementara Gio langsung mencabut kontolnya yang baru masuk kepalanya saja dan berdiri di tepi ranjang dan menatap orang tersebut dengan tajam.

Gio memberikan instruksi kepada Bu Dewi untuk sedikit menjauh, karena ia tau orang ini bukan lah orang sembarangan. Bu Dewi pun menuruti perkataan Gio dengan menutupi tubuh bugilnya dengan selimut dan menggeser tubuhnya ke sudut ranjang.

Gio dan orang tersebut pun Kembali saling menatap tajam. Seperti layaknya singa yang sedang berebut hewean buruan mereka. Dada Gio menjadi semakin berdebar darahnya mengalir deras.

Ingin rasanya ia segera menikam orang itu. Orang yang selama ini menjadi bayang-bayang dirinya. Orang yang selama ini telah merampas kebahagiaan dalam hidupnya.



“Tony… Tony… Tony…” ucap orang tersebut.

“setelah sekian lama, akhirnya kita ketemu lagi…” lanjutnya.

“bagaimana bisa kamu menemukanku?” tanya Gio.

Orang tersebut pun tertawa, “cepat atau lambat kita pasti akan bertemu, Ton, semesta akan selalu mempertemukan kita.”

Orang tersebut mengalihkan pandangannya dari Gio dan menatap Bu Dewi dengan tajam, “kau memang tak ada habisnya, Ton. Masih saja dirimu bermain dengan pelacur sana sini. Pelacur mana lagi yang kau garap kali ini?” lanjutnya.

“JAGA MULUTMU, BANGSAT!” bentak Gio.

“setelah pelarianmu, ternyata masih saja tetap seperti dulu.” Ucap orang tersebut sembari tertawa keras.

“sudahkah kau menengok bisnismu yang dulu itu? Lihatlah bisnis itu sekarang… semakin berkembang pesat dan akan menguasai seluruh penjuru negeri.”

“dan kamu tau? Sebentar lagi semuanya akan tunduk pada kita.”

“karena siapa semua itu? Karena aku, Ton… AKUUU…” ucapnya sembari menunjuk dadanya sendiri dengan jari telunjuknya.

“Tony… Tony… coba saja dulu kau tak idealis buat nggak jual obat-obatan ini ke anak muda. Pastinya kau udah tidur di mansion mewah bareng sama lacur-lacur sewaanmu itu. Bukan di sini, di tempat sempit dan sama lacur tua yang udah nggak laku.” Pungkasnya yang diiringi tawa Kembali.

“BAJINGAN KAMU, LEO. BAJINGAAAANNN!!!”



Gio yang sudah tersulut emosinya pun bergerak mendekat ke arah Leo. Dengan kepalan tangannya ia berusaha menghantam Leo.



*Dorrr…*



Belum sempat pukulannya mengarah ke wajah Leo, Gio dibuat jatuh tersimpuh karena lututnya ditembak oleh orang yang ternyata sedari tadi berjaga di depan pintu.



Bu Dewi yang sedari tadi hanya diam ketakutan pun terkejut dengan tembakan tersebut, “GIOO…” “TOLONG HENTIKAN INI SEMUA… APA MAU KALIANN…” Teriak Bu Dewi sembari mencoba menghampiri Gio.

“tetap di situ Bu, jangan kemana-mana, Gio nggak apa-apa…” ucap Gio sebelum Bu Dewi bergerak sembari menahan rasa sakitnya.



Gio hanya bisa meringis kesakitan menahan sakitnya peluru yang bersarang di lututnya. Ia pun ambruk dan terduduk karena kakinya kini hanya satu yang bisa menopang tubuhnya, sementara kakinya yang lain merasakan rasa sakit yang amat pedih.



Leo pun ikut berjongkok di hadapan Gio yang terduduk akibat tembakan yang tepat mengenai lututnya, “lihatlah dirimu sekarang. LEMAH DAN TAK BERDAYA.” Ucap Leo sembari tertawa keras.

“Wanita Cuma bikin diri kita lemah, Ton.” Lanjutnya.

“dan kini aku datang untuk membuatmu Kembali menjadi Tony seperti dulu.” Pungkasnya sembari berdiri dan mengeluarkan revolver dari pinggangnya.

“JANGAANNN…” Teriak Gio.



Namun Leo tak mengindahkan perkataan Gio dan segera mengarahkan revolver tersebut ke arah Bu Dewi. Langsung ia Tarik pelatuknya Ketika ia merasa ujung revolver tersebut sudah sesuai target yang ia tuju. Dan…



*Doorrr…*



Peluru yang keluar dari revolver tersebut langsung mengarah ke arah kepala Bu Dewi dan bersarang tepat di kepalanya. Bu Dewi pun menjadi tak bernyawa seketika karena peluru yang menembus tengkorak kepalanya.



“IBUUU…” teriak Gio. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia bergerak merayap menghampiri tubuh Bu Dewi yang telah terkulai lemas.

“BUUU… SADAR, BU… GIO MOHONNN…” Gio mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Bu Dewi, naasnya sang ibu kini telah tak bernyawa.



Ia meratapi wajah ibunya yang berlumuran darah. Darah terus mengalir menetes hingga tangannya penuh dengan darah. Tangannya menggenggam tangan sang ibu, namun tak ada reaksi. Ia hanya bisa menangis, menyesali kenapa semua ini terjadi.

Terlambat, semuanya terlambat…



“BIADAB KAMU LEOOO… BIADAABBBB!!!”



Gio pun berusaha untuk bangkit dari posisinya dan Bersiap untuk menyerang Leo. Emosinya benar-benar sudah memuncak. Apalagi setelah Leo dengan tega menembak sang ibu tiri dengan revolver miliknya. Namun, baru mencoba mengayunkan kepalannya…



*Brukkk…*



Gio terjatuh Kembali karena kaki kirinya ditendang Leo.



Leo pun tertawa, “segitu lemahnya kau sekarang, Ton?”



Setelah itu, Leo memberikan isyarat kepada orang yang tadi menembak Gio. Tanpa Gio sadari, orang itu memukulnya hingga membuatnya tak sadarkan diri. Gio diseret keluar ruangan dan dibawanya entah kemana.







Gio terbangun saat ia merasakan perih yang amat sangat terasa pada bagian lutut kaki kanannya. Nampaknya ia sedang berada dalam sebuah kotak kecil yang berisi air. Ia mencoba untuk berteriak dan melepaskan diri. Sayangnya kedua tangan dan kakinya terikat.

Gio tak kuasa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa melihat aliran air yang terus mengisi kotak tersebut secara perlahan.

Sekuat apapun tenaga yang ia miliki, rasanya ia mustahil untuk bisa keluar dari kotak yang mulai dipenuhi air tersebut. Apalagi tenaganya telah terkuras habis.

Hingga tibalah air tersebut sampai kepalanya. Ia berusaha mendongak ke atas agar air itu tak masuk ke saluran pernafasannya. Namun sia-sia, air itu terus mengalir mengisi kotak tersebut.

Gio hanya bisa pasrah dan menerima ajalnya. Ia berusaha menahan nafas sekuat mungkin agar tidak menghirup air. Namun, sekuat-kuatnya manusia menahan nafas, pasti ada batasnya.

Gio malah teringat Kembali tentang ibunya, Bu Dewi. Ia tak menyangka bahwa itu akan menimpa ibu angkatnya itu. Baru saja momen indah akan tercipta, namun naasnya malapetaka malah menimpa mereka.

Perlahan dadanya mulai sesak tak kuasa lagi menahan nafasnya di dalam air. Ia menyerah, membiarkan air itu perlahan masuk ke dalam paru-parunya dan membuat dadanya sesak. Rasa sesak itu benar-benar menyiksanya, hingga ia tak bisa bernafas lagi.

Akhirnya ia pun Kembali tak sadarkan diri karena kehabisan nafas…







“HAAAHHHH… AHHHAAAHHHH…. AHHHAAAHHHH…”

“UHUKKK… UHUKKK…”



Tony tersadar. Ia sudah tak berada di dalam kotak itu, tapi sudah berpindah ke sebuah ranjang. Ia mengatur ritme nafasnya sembari menengok kanan dan kiri mencoba menerka sedang di mana ia berada.

Tempat ini terasa tidak asing baginya. Tempat ini… serasa ia pernah berada di sini dahulu. Ia terus berusaha memutar memori-memori masa lalunya.



“Sadar juga kau, Ton.” Ucap seseorang dengan suara beratnya.

Tony Nampak mengenali suara tersebut. Segera ia menengok ke arah sumber suara, “Prof. Gio…”

Tony berusaha bangkit untuk mendekat dan memeluk prof. Gio. Namun kondisinya terlalu lemah.

“Ssssttt… tak usah banyak gerak. Tubuhmu itu sedang lemah.” Ucapnya.

“Prof… bagaimana prof…”

“ssssttt… simpan saja pertanyaanmu.”

“justru aku yang seharusnya banyak bertanya kepadamu.” Lanjut prof. Gio

“maksudnya prof?”

“hmm… kamu itu, selalu pura-pura bodoh. Apa kamu nggak ingat maksud dan tujuan utamamu menjadi remaja seperti sekarang ini?”

“iii—ingat prof…”

“lantas, mengapa sampai sekarang tak ada progress yang berarti? Kemana saja dirimu?”

“aku sedang mengusahakannya prof…”

Prof. Gio terkekeh, “Tony… Tony… Kau terlalu banyak bermain-main dengan Wanita di luar sana hingga kau lupa tugas utamamu.”

“aku membuatmu menjadi seperti ini bukan untuk kamu gunakan menaklukkan Wanita-wanita di luar sana.”

“bukankah kini kau menggunakan namaku sebagai nama barumu? Seharusnya kau tak melalaikan tugas utamamu.”

“kau boleh bermain dengan Wanita mana saja… boleh… terserah… tapi ingatlah, generasi bangsa ini ada di tanganmu…”

“sudah, tidurlah… tubuhmu masih butuh istirahat.” Pungkas prof. Gio sembari menempuk Pundak Tony.



Ia merasa tak percaya karena pada akhirnya bisa bertemu dengan prof. Gio Kembali, setelah terakhir kali ia hanya bisa menerima kabar dari Derry. Bagai terhipnotis, Tony akhirnya tertidur setelah prof. Gio pergi meninggalkan dirinya di ruangan itu.







“Giooo… sus… Gio sadar, sus…” ucap Bu Dewi yang heboh memanggil suster melalui intercom rumah sakit setelah melihat anak tirinya itu Kembali membuka matanya.



Gio akhirnya bisa membuka matanya dengan sempurna. Matanya menyapu seluruh ruangan yang sedang ia tempati. Ia menengok ke arah samping dan langsung melihat raut wajah haru dan Bahagia dari sang ibu.



“Gio Di mana, Bu?” kalimat pertama yang muncul dari mulut Gio setelah Kembali sadar.

“kamu di rumah sakit, Nak. Kata dokter kamu kelelahan setelah bantu Bu Lilis.”



Gio berusaha Kembali mengingat kejadian itu. Kejadian Dimana ia dengan semangat menggenjot memek Bu Lilis hingga ia berhasil sampai pada klimaksnya. Namun setelah itu… semuanya gelap.

Lalu kejadiannya Bersama Bu Dewi, Leo, dan Prof. Gio? Arrrghhh… untungnya itu semua hanya kejadian di alam bawah sadarnya. Buktinya sekarang ia di sini, Bersama dengan Bu Dewi yang selalu mengasihi serta menyayangi dirinya.

Tapi kenapa itu berasa seperti nyata? Dan kenapa itu terjadi pada alam bawah sadarnya? Leo… orang itu, orang yang sangat berbahaya dan bisa saja mengancam dirinya dan orang-orang yang dia sayang.

Gio kembali geram Ketika membayangkan Kembali kejadian yang terjadi pada alam bawah sadarnya. Sepertinya ia memang harus menuntaskan semua masalah ini segera.

Namun hatinya Kembali teduh Ketika melihat wajah ibunya, di mana senyuman tersungging di sana. Wajah itu, wajah yang ayu walau tanpa make-up, wajah yang selalu membuat dirinya merasa nyaman, dan wajah yang selalu ia rindukan senyumannya.

Tak lama berselang, dokter ditemani oleh seorang suster datang ke kamar tersebut. Mereka datang untuk memeriksa keadaan Gio setelah siuman.



“syukurlah kamu akhirnya sadar, Nak Gio.” Ucap dokter.

“emang berapa lama saya pingsan, Dok?”

“Sudah tiga hari kamu tidak sadarkan diri dan akhirnya, hari ini, ibumu bisa Kembali tersenyum setelah melihatmu siuman.” Ucap Dokter itu sembari tersenyum ramah.

“memangnya saya kenapa, Dok?”

Dokter itu menatap Bu Dewi sejenak, “mmm… kamu hanya kelelahan saja.”

“Sekarang apa yang kamu rasakan?” tanya dokter tersebut.

“sudah tidak ada pertanyaan lagi?”

“…” Gio hanya menggeleng.

“kalau begitu, saya permisi.”

“terima kasih, dok.” Ucap Bu Dewi.



Beberapa hari yang lalu, saat Gio sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap, Bu Dewi merasa bingung dan cemas Ketika melihat anak angkatnya itu masih terbaring lemah tak sadarkan diri. Akhirnya, ia pun mendatangi ruangan dokter dan bertanya, kenapa anaknya tak kunjung sadarkan diri.

Melalui persetujuannya, akhirnya dokter melakukan Tindakan lebih lanjut. Ia melakukan observasi terhadap tubuh Gio. Proses tersebut berlangsung cukup lama. Bu Dewi pun dibuat menunggu dengan perasaan yang campur aduk dan berharap tak terjadi apa-apa dengan anaknya itu.

Hingga tibalah sang dokter tersebut keluar ruangan dan langsung mengajak Bu Dewi untuk menuju ke ruangannya.



“jadi apa yang sebenarnya terjadi, Dok?” tanya Bu Dewi dengan rasa penasaran dan khawatir.

Dokter pun mendengus kasar, “saya bingung harus mulai menjelaskannya dari mana.”

“tapi saya harap ibu bisa menerima penjelasan saya dengan baik dan menerima kondisi anak ibu.”

“maksudnya, Dok?”

“jadi begini… setelah melakukan observasi pada kepala anak ibu, khususnya pada bagian otaknya, ternyata ditemukan sebuah kesimpulan bahwa anak ibu pernah mengalami suatu kejadian hingga terjadi trauma pada otaknya dan mungkin juga itu yang membuat anak ibu tak sadarkan diri hingga saat ini. Namun…” dokter itu menghentikan sejenak perkataannya.

“…” Bu Dewi pun terdiam dan tetap menyimak dengan serius omongan dokter tersebut Bersama dengan jantungnya yang berdegup lebih kencang.

“saya dan tim juga menemukan kelainan genetic pada anak ibu. Kelainan yang bahkan sangat langka dan mungkin sedikit mustahil terjadi, yaitu tentang kondisi tubuh bagian dalam anak ibu yang sudah tumbuh layaknya manusia dewasa atau dengan kata lain, anak ibu ini hanya casing-nya saja yang anak remaja, tapi dalam dirinya adalah orang dewasa.”

“bagaimana itu bisa terjadi, Dok?”

“entahlah, belum ada penelitian mengenai kondisi ini, jadi saya sendiri tidak bisa menyimpulkannya.”

“lantas seberapa berpengaruh kondisi tersebut pada anak saya?”

“sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Karena keterbatasan kami dan belum ada penelitiannya pada kasus ini membuat kami minim informasi, bahkan kami juga tak bisa memastikan apakah kondisi tersebut mempengaruhi perilaku, sifat, dan kepribadian anak ibu atau tidak.”



Bu Dewi keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan campur aduk. Ingatannya Kembali pada waktu Dimana terjadi keanehan pada anaknya, Dimana ia menemukan Gio dalam kondisi anak-anak dan tiba-tiba berubah menjadi seorang anak remaja hanya dalam waktu semalam.

Dari situ saja sebenarnya sudah terdapat kemustahilan yang terjadi pada anaknya itu. Dan perkataan dokter barusan, terdengar kontradiksi dengan apa yang ia lihat waktu itu. Ia menjadi penasaran tentang bagaimana background anak tersebut.



Dipenghujung lamunannya, tiba-tiba Bu Dewi dikejutkan dengan tepokan Pundak seseorang, “Bu… bagaimana kondisi Gio?”

“eh… Bu Lilis. Gio masih belum sadar, Bu.” Jawab Bu Dewi dengan wajah sedih.

“ya Allah… saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Bu, ini semua memang kesalahan saya.” Ucap Bu Lilis mengiba.

“tidak, Bu. Memang sudah jalan yang di atas Gio harus seperti ini.” Ucap Bu Dewi sembari tersenyum menegarkan hati.

“lalu bagaimana kondisi ibu sekarang?” lanjutnya.

“Alhamdulillah saya sudah mendingan, Bu. Hanya perlu sedikit istirahat untuk memulihkan kondisi saya Kembali.”

“Syukur Alhamdulillah jika demikian, Bu. Mari ke kamar Gio.”



Setelah itu, Bu Dewi mengajak Bu Lilis untuk menuju ke kamar Gio. Bu Lilis sendiri masih terpasang infus di tangannya, sehingga ia masih harus mendorong tiang infus tersebut Ketika beranjak dari kamar inapnya.

Tak lama dari Bu Dewi dan Bu Lilis masuk ke kamar Gio, tiba-tiba muncul Bu Dina dan Bu Niki yang kebetulan bertemu di parkiran dan masuk Bersama. Setelah mengucap salam, Bu Dina dan Bu Niki pun masuk ke dalam kamar inap Gio.



“Bu Lilis? Sudah siuman, Bu?” tanya Bu Dina.

“Alhamdulillah, Bu.” Jawab Bu Lilis.

“jadi apa yang terjadi, Bu? Denger-denger ibu juga pingsan karena kecapean.” Saut Bu Niki.

“iii—iya memang demikian, Bu.” Jawab Bu Lilis.



Merasa Bu Lilis tidak nyaman karena seolah-olah terus diinterogasi, Bu Dina dan Bu Niki mencukupkan pertanyaannya. Mereka pun mengalihkan perhatiannya Kembali kepada Gio, orang yang sedang ia tengok.

Namun, tiba-tiba pandangan mereka secara tak sengaja tertuju pada area selangkangan Gio. Secara Bersama-sama mereka melihat ke arah yang sama. Ketiga guru yang pernah merasakan keperkasaan kontol Gio itu pun dibuat heran karena kontol Gio yang tiba-tiba ngaceng.

Mereka masih menatap kontol itu, begitu pula dengan Bu Dewi yang menyadari ada hal aneh pada selangkangan Gio. Ia pun lalu mengalihkan pandangannya pada Bu Lilis, Bu Dina, dan Bu Niki yang diam termenung menyaksikan pemandangan tersebut.



“jangan-jangan mereka…” bisik Bu Dewi dalam hati, namun segera ia tepis.

Mereka yang larut dalam lamunan itu akhirnya tersadar, “Bu… maaf, kalau boleh tau, kenapa sampai sekarang Gio masih belum sadar juga?” tanya Bu Niki memecah keheningan tersebut,



Semua mata langsung tertuju kepada Bu Dewi, berharap jawaban yang diberikan bukan berita buruk. Rasanya mereka semua tak rela jika hal buruk menimpa Gio. Mereka tak kan mungkin bisa melupakan kegagahan Gio Ketika menggauli mereka semua.

Bu Dewi pun akhirnya angkat bicara. Ia mengatakan persis apa yang tadi dikatakan oleh dokter, namun ia tak mengungkapkan apa yang ada dalam tubuh anaknya tersebut. Ia takut jika Gio dipandang aneh, tidak seperti remaja pada umumnya, sehingga ia memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.



“Inalillahi, saya turut prihatin atas apa yang menimpa Gio, Bu.” Ucap Bu Dina.

“jadi apa memang dulunya pernah terkena benturan di kepalanya, Bu, sehingga traumanya bisa sampai sekarang.” Tutur Bu Niki.

Bu Dewi menjadi flashback tentang bagaimana ia menemukan Gio dan mengangkatnya menjadi anaknya, “iii—iya, Bu. Dulu Gio pernah terjatuh dan kepalanya bocor, tapi salahnya saya tidak membawanya ke rumah sakit, karena merasa itu hanya benturan biasa dan tak berbahaya.” Ucap Bu Dewi dengan raut wajah merasa bersalah.

“ini semua memang karena kesalahan saya, Bu…” lanjut Bu Dewi sembari terisak karena merasa bersalah.

Bu Lilis pun merapatkan tubuhnya ke arah Bu Dewi dan memeluknya dengan hangat, “sudah, Bu, tak ada gunanya meratapi kesalahan di masa lalu, yang lalu biarkan berlalu, yang terpenting sekarang adalah bagaiamana Gio bisa sembuh seperti sedia kala Kembali.” Ucap Bu Lilis.



Setelah itu, mereka pun larut dalam obrolan-obrolan ringan dengan Bu Dewi yang banyak menanyai kehidupan Gio di sekolah. Sesekali juga guru-gurunya itu melirik ke arah kontol Gio yang masih saja tegak dengan gagahnya.

Bu Dewi dengan setia terus mendampingi Gio yang masih belum sadar. Ia terus berusaha berada di sampingnya dan ingin menjadi yang pertama dilihat Ketika anaknya itu tersadar kelak.

Hingga akhirnya penantiannya tak sia-sia. Sang anak pun tersadar dari tidur panjangnya. Hingga kini ia tak sadar jika senyuman terus tersungging di wajahnya melihat anaknya yang telah sadar Kembali.



“kamu mau makan apa, Nak?” tanya Bu Dewi sesaat setelah dokter dan suster yang mengecek kondisinya keluar ruangan.

“seadanya saja, Bu.” Jawab Gio sembari memberikan senyuman yang menyejukkan kepada ibunya tersebut.



Gio memang selalu memberikan keteduhan kepada Bu Dewi, terlepas dari kekhilafannya pada waktu itu. Bu Dewi telah memaafkannya dan menganggap itu adalah hal normal yang dilakukan oleh anak yang sedang mengalami masa puber.

Setelah itu, Gio menyantap makanan dengan disuapin ibunya. Perut Gio terasa keroncongan karena sudah beberapa hari hanya cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya. ia pun menyantap hidangan rumah sakit tersebut dengan lahap, meskipun hambar rasa masakannya.

Hari berikutnya, Ketika dokter melakukan check-up Kembali, Gio sudah diperbolehkan untuk pulang. Gio mesti harus beristirahat beberapa hari lagi di rumah sampai ia pulih total dan bisa melakukan kegiatannya seperti hari-hari biasanya.



“kamu mau makan apa nak? Biar ibu masakin special buat kamu.” Tanya Bu Dewi.

“nggak usah, Bu, Gio nggak mau ibu kecapean. Gio mau ibu di sini saja, di samping Gio.” Jawab Gio yang berbaring di Kasur.

Bu Dewi lantas berjalan mendekat ke arah sofa tempat Gio duduk, “duhhh… anak ibu ini emang manja banget ya sama ibunya.” Ucap Bu Dewi sembari duduk di samping Gio.

“Gio kangen sama ibu.”

“ibu juga kangen sama kamu, Nak.” Ucap Bu Dewi sembari memberikan pelukan hangat kepada Gio.

“Gio minta maaf atas kejj…”

Bu Dewi yang paham arah pembicaraan Gio pun melepaskan pelukannya dan memotong perkataan Gio dengan mendesis, “sssstttt… sudah, lupakan itu. Ibu sudah memaafkanmu, kita bisa bikin lembaran baru, kan?”

Gio hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya tersebut.

“apa yang kamu rasakan sekarang, Nak? Masih lemas?”

Gio menggeleng, “Gio udah sehat, Bu. Besok Gio mau sekolah lagi, boleh?”

“kamu yakin? Tapi dokter minta kamu buat istirahat beberapa hari lagi.”

“Gio udah kuat lagi, Bu…” ucap Gio sembari bangkit dari tempat duduknya sembari meperlihatkan otot bisep dan trisepnya layaknya seorang bina raga.

“ibu nggak percaya?” lanjut Gio.

Bu Dewi hanya tersenyum melihat tingkah laku anaknya itu, “coba buktikan sama ibu, kalo kamu udah kuat lagi.”

“oke kalo gitu.” Ucap Gio sembari mendekat ke arah Bu Dewi dan membopong tubuhnya.

“eeeehhhh… Giooo… ibu mau dibawa kemana…”



Gio membawa Bu Dewi masuk ke dalam kamarnya dan membaringkan tubuhnya di atas Kasur. Gio menatap wajah ibunya sembari tersenyum manis dan seolah-olah ia bisa membuktikan perkataannya.



“Gimana, Bu? Gio udah kuat lagi, kan?”

“hhmmm… iya, ibu percaya.” Jawab Bu Dewi.

“gimana kalo buat buktiin ucapan Gio lagi, Gio yang masakin buat ibu.”

“emangnya kamu bisa masak?” ucap Bu Dewi meledek.

“kita liat saja nanti.” Ucap Gio sembari berlalu meninggalkan Bu Dewi di kamarnya.



Gio menuju ke dapur dan berpikir sejenak, kira-kira masakan apa yang akan ia buat. Ia membuka kulkas sejenak untuk melihat bahan makanan apa yang kiranya bisa ia manfaatkan. Di dalam kulkas tersebut ternyata Gio hanya menemukan ayam mentah dan sayur-sayuran. Ia juga mengecek lemari dapur dan menemukan sebuah mie.

Akhirnya Gio memutuskan untuk membuat mie Jawa saja, karena menurutnya menu tersebut terbilang simple dan mudah untuk ia lakukan.

Tak berselang lama, bau harum makanan sudah tercium dan begitu menggugah selera. Segera Gio memindahkan masakannya ke atas piring dan sedikit memberikan hiasan di atasnya.

Selanjutnya, ia membawa masakannya tersebut masuk ke dalam kamar Bu Dewi. Dan ternyata Bu Dewi sedang tertidur cukup pulas. Gio pun membangunkan Bu Dewi dengan lembut untuk ia bisa menikmati hidangan yang dibuat oleh Gio.



“hmmm… harum banget masakanmu, Nak.” Ucap Bu Dewi sesaat setelah terbangun dari tidur siangnya.

Gio tersenyum, “ini masakan special yang Gio bikin untuk ibu.”

“benarkah? Coba sini ibu icip, masak apa kamu?”

“spaghetti dengan kearifan lokal.” Jawab Gio sembari menyodorkan piringnya kepada Bu Dewi yang duduk di ranjang.

Bu Dewi tertawa, “belajar dari mana kamu, Nak, kok bisa bikin spaghetti lokal kayak begini?”

“Gio nggak perlu belajar untuk bisa membuat sesuatu, Bu.” Jawab Gio.

“dasar… ibu boleh mencobanya?”

“silahkan ibu juri.” Jawab Gio.

Bu Dewi akhirnya memasukkan sesuap mie goreng jawa tersebut ke dalam mulutnya, “bagaiman ibu juri rasa masakan saya?” tanya Gio seolah-olah sedang berhadapan dengan juri MasterChef.

“top… ibu nggak nyangka kamu bisa bikin masakan seenak ini.” Jawab Bu Dewi sembari melemparkan senyumannya.

“sini makan bareng sama ibu.” Ajak Bu Dewi.



Akhirnya mereka berdua pun makan masakan tersebut Bersama-sama, layaknya sepasang kekasih yang sedang berbagi hidangan sepiring berdua.

Gio melewati hari ini dengan Bersama Bu Dewi yang selalu di sampingnya. Mereka saling berbagi canda dan tawa seperti orang yang sudah lama tak berjumpa. Seperti ada rindu yang belum tuntas diantara mereka berdua.

Keesokan harinya, Gio Kembali berangkat ke sekolah setelah mendapatkan ijin dari Bu Dewi, karena Bu Dewi begitu khawatir dengan Kesehatan Gio. Hebatnya, Gio bisa meyakinkan ibu tirinya tersebut bahwa ia sudah Kembali bugar seperti sedia kala.



“Giooo… akhirnya sekolah lagi, Lu. Gilak, kemana aja beberapa hari nggak ke basecamp?” Sapa Reno yang berpapasan dengan Gio di halaman depan sekolah.

“badanku drop, Ren, beberapa hari kemaren, makanya nggak sekolah.”

“buset… bisa sakit juga orang kek elu begini?”

“ya gimanapun juga aku tetap manusia, Ren.”

Reno tertawa mendengar jawaban Gio yang lempeng-lempeng aja, “Gue Cuma bercanda kali, tapi gimana rencana kita, tetap jalan kan?”

“tenang kalo itu mah, sesuai rencana.” Jawab Gio

“sip dah kalo gitu. Gue duluan, yak.” Pungkas Reno dan pergi berlainan arah dengan Gio.



Hari berjalan seperti biasanya. Tak sedikit dari teman Gio yang menanyakan tentang kondisinya sekarang dan bersimpati atas sakit yang dialaminya beberapa hari kebelakang. Tak hanya teman-temannya, tetapi juga guru-guru yang mengajar di kelasnya pada hari ini pun demikian.

Salah satunya adalah Bu Dina yang kebetulan hari ini ada jam di kelas Gio. Ia bertanya mengapa sudah berangkat ke sekolah, mengingat baru beberapa hari yang lalu Gio pulang dari rumah sakit. Namun Gio selalu menjawabnya dengan alasan bahwa ia sudah baik-baik saja dan tak ada kondisi yang mesti dikhawatirkan.

Pun demikian dengan Bu Lilis dan Bu Niki yang kebetulan secara tak sengaja bertemu dengan Gio. Pertanyaan yang sama selalu terlontar dari mulut mereka yang mengenal Gio di sekolah ini.



“Gio, kok udah sekolah lagi?” tanya Bu Niki yang tak sengaja berpapasan dengan Gio.

“iya, Bu. Saya sudah sehat lagi.”

“benarkah?”

“iya, Bu, kalau ibu tidak percaya, saya bisa besok ikut ekstra BJJ lagi…”

“ehhh… eenngg—nggak usah… nggak usah dipaksakan.”

Gio teringat kejadian tempo hari di rumah Bu Niki, “hmm… saya minta maaf atas kejadian di rumah ibu waktu itu…” ucap Gio dengan nada lemah.

“lupakan itu, Gio… jangan dibahas lagi.” Jawab Bu Niki sembari menundukkan kepalanya.

“saya mengaku salah atas kekhilafan saya waktu itu, Bu.”

“cukup, Gio. Kamu bisa berlatih lagi Ketika kamu sudah benar-benar sehat, oke?” ucap Bu Niki yang berusaha mengalihkan pembicaraan ini.

“baik, Bu. Terima kasih.”



Bu Niki khawatir tentang Kesehatan Gio. Mengingat ia mendengar apa yang dikatakan oleh Bu Dewi tempo hari di rumah sakit tentang apa yang menyebabkan dirinya sampai tak sadarkan diri cukup lama.

Sepulang sekolah, Gio berlanjut menuju ke basecamp anak-anak untuk segera memulai aksinya. Di sana sudah ada anak-anak yang lain dan sudah berkumpul. Mereka langsung menyadari kehadiran Gio Ketika Gio mulai melangkahkan kakinya melewati pintu.



“gimana, Bro, lu yakin mau sekarang?” tanya Reno.

“yakin, kalo kalian siap, ayo jalan sekarang, keburu pada bubar.”

“gimana?” tanya Reno kepada teman-temannya yang lain.



Mereka yang berada di sana Nampak mengangguk dengan sedikit ragu-ragu. Gio tak peduli, ia langsung melangkahkan kakinya keluar basecamp dan diikuti oleh anak-anak yang lain. Dengan menumpangi bus kota, mereka semua menuju ke salah satu sekolah yang telah menjadi target mereka.

Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai. Reno yang sudah mengetahui letak basecamp para pentolan sekolah tersebut pun langsung mengarahkan Gio dan anak-anak yang lain ke sana. Dari kejauhan terlihat puluhan anak yang sedang asik bercengkrama dan bercanda ria.

Mereka akhirnya menyadari kedatangan gerombolan Gio dan langsung Bersiap seolah akan diserang.



“Tenang… kami ke sini bukan buat cari ribut, tapi kami mau berbisnis sama kalian.” Ucap Gio di hadapan anak-anak sekolah sebelah.

“maksud lu apa?”

“mana ketua gang ini? Biar aku bicara sama dia.”

“GUE… Bisnis apa yang lu maksud? Lu mau minta bantuan ke kita buat nyerang sekolah lain?” ucap salah seorang dari mereka dengan suara ngebas dan berbadan besar tersebut diikuti tawanya yang menggelegar.

Gio melempar seplastik bubuk jahanam itu ke arah sang ketua gang, “kalian pasti tau barang itu…”

“…kami mau kalian jadi bagian kami buat jual itu barang di daerah sini. Kalian akan dapat lima persen dari keuntungan. Atau kalian bisa dapat free barang itu sebagai ganti dari lima persen keuntungan bagian kalian.” Lanjut Gio.

“hanya lima persen? Cihhh… nggak ada untungnya buat kami berbisnis dengan bajingan rakus macam kalian.” Ucapnya sembari meludah.

“Take it or leave it…” Jawab Gio dengan tenang.

Sang ketua pun menoleh ke kanan dan ke kiri, memandangi teman-temannya satu per satu, “oke… kita sepakat.” Jawabnya.

Gio tersenyum sumringah, “bagus… sebagai permulaan, besok akan ada orang yang kirim barang ke sini, dan pastikan uang setoran pas dan disetor setiap harinya saat pengiriman barang di hari berikutnya.”



Ketua gang tersebut pun mengangguk dan sepakat. Akhirnya sekolah pertama berhasil menjadi partner mereka. Gio dan teman-temannya pergi meninggalkan tempat tersebut setelah terjadi kesepakatan diantara mereka.



“Gilaaa… Gitu doang ternyata.” Ucap Reno yang Nampak antusias.

“tantangannya bukan hari ini, Ren, tapi lihat beberapa hari ke depan. Tikus tetap akan menjadi tikus.” Jawab Gio.



Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju ke basecamp sekolah lain. Mereka ingin semua ini segera selesai dan mendapatkan semua keuntungan ini segera.

Tak ada hambatan Ketika bernegosiasi dengan sekolah lain karena pada dasarnya mereka adalah golongan orang yang butuh duit, sehingga mudah bagi Gio untuk merayu mereka. Hingga akhirnya, mereka telah bisa merayu sepuluh sekolah untuk menjadi partner mereka dalam perdagangan barang haram ini.







Seminggu berlalu, kehidupan Gio benar-benar berubah sepulangnya Kembali ke rumah Bu Dewi. Ia merasa bahwa Bu Dewi kali ini lebih mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepadanya tanpa ia tau sebenarnya ada apa semua ini.

Begitu pula apa yang terjadi di sekolah. Kini, seolah-olah guru-guru terdekatnya sedikit memandang Gio berbeda. Gio berpikir, apakah ini semua karena ulahnya yang menyetubuhi mereka? Tapi Gio tak ambil pusing karena merasa bisa lebih dekat dengan mereka semua.

Gio dan teman-temannya kini bisa berbangga hati, lantaran kini pemasukan mereka bisa lebih besar dengan menggandeng sekolah-sekolah lain untuk menjadi Kongsi perdagangan mereka. Sejauh ini tidak ada masalah, hingga…



Gio yang sedang menikmati es tehnya di basecamp dikejutkan dengan datangnya salah seorang anggotanya.

“Gio… tolongin kita…” ucap Amir yang merupakan salah satu anggotanya dengan tergopoh-gopoh.

Hal tersebut membuat seisi basecamp kaget dan suasana menjadi tegang.

“kenapa? Mereka nggak mau ngasih uang setoran? Barang kita habis dipake mereka?” tanya Gio dengan santai.

“iii—iya… mereka berusaha ingkar dari perjanjian kita.”

“Giooo… ini gimana?” ucap Reno yang juga ikut panik tapi melihat Gio masih santai menyedot es tehnya.



Setelah menyedot habis es tehnya, Gio beranjak berdiri dari posisinya dan pergi keluar basecamp meninggalkan teman-temannya. Sontak, teman-temannya juga mengikuti Langkah kaki Gio, mereka tau bahwa Gio akan pergi ke tempat itu.

Dengan santainya Gio menghampiri basecamp yang dimaksud oleh temannya tersebut. Prediksi Gio tak pernah meleset, ia tau bahwa ini adalah tantangan sesungguhnya, bukan di awal kemaren.



“mana bos kalian?” ucap Gio dengan santainya Ketika sampai di basecamp orang tersebut.

Kehadiran Gio membuat mereka seakan Bersiap untuk tawuran, “MAU APA KALIAN?” ucap salah seorang dari gang tersebut.

“aku Cuma mau ambil apa yang seharusnya menjadi hak kami.”

“ALAH, NGGAK USAH BANYAK BACOT…”



Mereka langsung menyerang Gio dan teman-temannya. Gio tak tinggal diam, ia langsung melayangkan pukulan dan tendangan yang selalu on target ke tubuh mereka. Teman-temannya pun membantu dengan sebisanya, karena pada dasarnya banyak dari mereka yang tidak bisa bela diri.



*Baakkk… Bukkk… Braakkk… Bruukkk…*



Tak butuh waktu lama bagi Gio dan teman-temannya untuk bisa menyelesaikan perkelahian ini. Gio berhasil melumpuhkan mereka hinnga terkapar tak berdaya.



“eh TOLOL… di mana bos lu… apa masih kurang?” ucap Reno dengan gelagat sok jagoannya dan ingin memukul anak yang songong tadi.

“ampun bang… ampunn…”

“CEPET OMONG DI MANA DIA?”

“dia… dia… ke basecamp anak sebelah…” ucapnya.

“bangsat… cari koalisi ternyata.” Umpat Reno.

“Gimana ini, Gi?” tanya Reno sembari menengok ke arah Gio.

“Sikat… nggak ada ruang untuk tikus pecundang.” Jawab Gio.



Setelah itu, mereka menuju ke tempat yang dimaksud. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai, karena jaraknya yang tidak jauh.

Di sana, Nampak terlihat bahwa anak-anak sedang berkumpul dan bercanda gurau. Cukup ramai dari biasanya, sepertinya Sebagian dari anak-anak di sana tadi ikut berkumpul di sini Bersama sang bos.



“Whooppp… punya nyali juga kalian buat dateng ke sini.” Ucap sang bos gang sebelah yang menyadari kehadiran gerombolan Gio.

“nggak usah banyak bacot, kembaliin duit setoran kalian.” Balas Reno.

Ia pun tertawa, “balikin? Ini duit udah jadi milik kita… lewati dulu kami kalau kalian mau duit ini balik.”

“sssttt… kalo emang laki, nggak usah bawa-bawa yang lain, cukup kita, satu lawan satu, atau temanmu yang ketua gang sini mau ikut silahkan…” ucap Gio.

“banyak bacottt…” teriaknya sembari maju ke depan dan ingin menyerang Gio.



Pukulan yang mengarah ke wajah Gio pun bisa dihindari dengan mudah. Gio langsung membalasnya dengan melayangkan pukulan yang tepat mengenai rusuknya.

Terkena pukulan telak itu membuat dirinya mundur sejenak sembari memegangi rusuknya yang terasa sangat sakit. Setelah itu, ia mengambil ancang-ancang untuk menyerang Gio Kembali, kali ini ia berusaha menendang perut Gio.

Namun, dengan cepat, Gio berhasil menangkap kakinya dan berbalik menyerang dengan menendang kaki tumpuannya dan langsung membuatnya terkapar.

Temannya yang disinyalir merupakan ketua gang yang dimintai pertolongan pun tak tinggal diam. Melihat temannya jatuh tersungkur, ia langsung maju ke depan dan menyerang Gio.



*Bruukkk…*



Sebuah tendangan telak mengenai perut Gio. Gio jatuh tersungkur ke belakang karena tak siap dengan serangan tersebut. Teman-temannya pun membantu Gio untuk berdiri Kembali.

Gio Kembali memasang kuda-kuda, orang itu terus menyerang Gio secara membabi buta. Tendangan dan pukulan selalu ia layangkan untuk bisa menjatuhkan Gio. Tetapi, Gio selalu bisa menangkis dan menghindar.

Mendapati lawannya yang mulai kelelahan dan lengah, Gio langsung melayangkan sebuah pukulan telak. Pukulan yang tepat mengenai rahang lawannya.

*Buuukkkk…*



Lawannya pun langsung jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Sebuah serangan yang mengejutkan orang yang melihatnya sekaligus menyudahi perlawanannya.

Gio menghampiri Kembali si bos gang sebelah yang masih terkapar di tanah. Ia langsung mencengkram kerahnya.



“aku masih kasih kau nyawa sekali lagi. Berani kau ulang perbuatanmu ini, ku pastikan kau tak akan bisa melihat duniamu lagi.” Ucap Gio sembari mengambil uang yang berada di kantong depan baju seragamnya.



Setelah itu, Gio mengajak teman-temannya untuk pergi meninggalkan tempat tersebut. Namun, baru beberapa Langkah ia mendengar derap Langkah orang berlari dari arah belakangnya. Sontak membuat Gio dan teman-temannya menengok ke arah belakang.

Namun terlambat, beberapa orang yang jalan paling belakang tak bisa menghindar dari ayunan balok kayu yang dilayangkan oleh orang-orang itu. Satu orang yang berusaha memukul Gio dengan balok kayunya berakhir naas.

Gio berhasil membalikkan serangannya dan membuat hidung orang itu mengeluarkan darah. Gio pun berhasil mengambil balok kayu dari orang tersebut dan digunakannya untuk menghantam satu per satu dari mereka yang melawan teman-temannya.

Dengan Gerakan tangannya yang lincah serta kekuatan pukulannya yang kuat, membuat orang-orang itu langsung tersungkur ke tanah. Saat ini Gio Nampak seperti actor film laga yang berhasil menumbangkan musuhnya dengan mudah.



“bajingan kalian, sudah dikasih hati minta jantung.” Umpat Gio.



Gio melembarkan baloknya yang ia gunakan untuk menyerang dan bertahan diri tadi ke arah si bos gang dan tepat mengenai wajahnya. Ia pun langsung meringis kesakitan karena tak sempat menghindar Ketika balok kayu tersebut melayang dan tepat mengenai wajahnya.

Setelah itu, Gio meminta teman-temannya yang masih sehat untuk membawa teman-teman yang lain Kembali ke basecamp. Mereka pergi meninggalkan kekacauan ini dan membiarkan lawan-lawannya terkapar.



“lu nggakpapa, Gi?” tanya Reno sesampainya di basecamp.

“aman.” Ucap Gio simple sembari membersihkan bajunya yang ada bercak Sepatu akibat terkena tendangan.

“gila lu ya… bisa-bisanya orang sebanyak itu lu bantai semua...”

“oh iya, gue udah ngabarin big bos tentang perkara ini dan elu diminta big bos buat ke ruangannya besok.”


 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd