Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Wiihhhh.... satria dah melenceng dari misi awalnya dan mulai menjadi core hunter...
 
Yahhhh suhu 3 hari sekali update nya bikin penasaran and kentang...kurangin jadi 2 hari dong suhu....
 
jdi penasaran cerita apa yg bakal di karang sama satria buat minta core istimewanya maria?
Dan Apakah ada mode triggence cewe
Maen gunting2an gitu :pandajahat: :pandajahat: :p
 
jdi penasaran cerita apa yg bakal di karang sama satria buat minta core istimewanya maria?
Dan Apakah ada mode triggence cewe
Maen gunting2an gitu :pandajahat: :pandajahat: :p

Mungkin bs aj suhu, pake inspirasi klitoris sebesar milik assassin Ana di quest sblumnya bs tu jd triggence cewek..tpi terserah TS yg trus memberikan karya dan imajinasi yg menakjubkan dan better n better everyday :D
 
satria jadi predator core :p ,.. semuanya 1 sekolahan bisa di mangsa :tegang:
 
Bimabet
========
QUEST#11
========​

“Elu ditunggu Maria di kantin...” bisik Gladys yang berjalan cepat menghampiri kami. Hera, Meisya dan aku berjalan bersama pagi ini untuk sarapan sebelum aktifitas pelajaran dimulai jam 8:00 ini.
“Ada apa, Tria?” tanya Hera mendengar bisikan Gladys barusan. “Elu sudah ke kamar Maria tadi malam, kan?” sadarnya.
Aku hanya menggeleng.
“Jadi tadi malam kau kemana aja?” kaget Hera dan Meisya.
“Hanya keliling asrama... “ jawabku ringan.
“Maria pasti marah besar... Aku sudah menyuruhmu ke kamarnya, kan?” kata Hera khawatir ia terkena imbas pembangkanganku ini.
“Aku nyasar tadi malam... Nomor berapa kamarnya?” kataku coba mengingat nomor kamar Maria.
“3-36 loh, Tria... Masa gitu aja bisa nyasar, sih?” kalut Hera.
“Ya, sori... Nanti-nanti juga bisa ke sana, kan? Kenapa ngebet banget, sih? Kaya kebelet kawin aja...” candaku tak ambil pusing.
Di meja yang hanya diisi anggota klub renang di sudut kantin, penghuninya sudah lebih banyak. Ini mungkin seluruh anggota klub renang karena hari ini resmi hari pertama belajar mengajar di sekolah Hati Murni semester genap ini.
Mereka semua sedang sarapan bubur kacang hijau atau bubur ayam dengan minuman susu atau teh manis hangat.
Begitu aku kelihatan, Gladys langsung menggiringku menuju dimana Maria duduk. Dipaksanya aku untuk duduk di samping ketua klub renang itu. Ia sedang menyuapi bubur kacang hijau saat aku duduk.
“... kenapa kau tidak datang tadi malam?” tanya Maria terus mengunyah buburnya.
“Nyasar...” kataku ringan. Gladys meletakkan semangkuk bubur kacang hijau dan teh manis hangat di depanku. “Makasih...” Pelayanan di klub ini nomor satu, deh.
“Kau tidak coba bertanya?” tanya Maria lagi menyuap sendok berikutnya dan mengunyah lagi.
“Nanti malam lagi aja, ya?... 3-36, kan?” ingatku. “Hurk!”
“Aku tanya?... Kenapa tidak coba bertanya pada siapapun?... Semua orang tau kamarku ada di mana... Kau sudah jadi anggota klub renang... Dan kau juga harus patuh pada perintahku...” sambutnya dingin sambil menjambak rambutku dari belakang tiba-tiba hingga kepalaku menengadah. Sakit...
“Ugh!” keluh Maria karena perutnya kusikut. Betotan tangannya pada rambut setengah punggungku terlepas paksa.
Berikutnya adalah kejadian cepat yang kubiarkan terjadi. Beberapa tangan menelikung kedua tanganku dan menarikku keluar dari kantin. Aku hanya sempat melihat Hera melongo dan Meisya yang kaget. Meisya sampai menutup mulut dan matanya berkaca-kaca.
Aku baru tahu kalau di atas lantai 6 asrama ada satu tingkat lagi. Pagar beton keliling dan pelataran luas untuk berbagai macam aktifitas siswi dan menjemur pakaian.
Dari pintu setelah menaiki tangga, tubuhku dilemparkan begitu saja ke lantai beton. Terseret beberapa jauh dan kemudian berhenti. Kuusap-usap kepalaku yang sudah direnggut kasar pada bagian rambut tadi. Aku sama sekali tak mengeluh.
Terdengar pintu dibanting dan ditutup rapat. Maria berdiri di pintu sementara 5 orang siswi lain mengepungku yang masih meringkuk di atas lantai.
“Belagu lu, ya, anak baru!” umpat Gladys dan menendang perutku.
“Ufft...” sakit. Tapi aku sudah duga ini.
“Baru jadi anggota klub satu hari aja udah bertingkah!” umpat Ambar dan menjejakkan kakinya ke mukaku.
Di sini aku tidak bisa diam lagi. Kutangkap sepatu yang hendak memberi tanda di mukaku itu dan kutepis ke kanan. Ambar terbanting ke kanan. Mukanya mencium lantai beton. Mengaduh sakit.
Pacarnya datang kembali; Gladys hendak menendang perutku lagi. Kutangkis dengan sikuku tepat di tulang keringnya. Ia melompat-lompat kesakitan saat aku bangkit dan kusapu kakinya hingga jatuh terjerembab.
Dua KO. 4 lagi.
3 orang siswi lainnya belum pernah kulihat dan tak kutahu namanya bergegas mengerubungiku. Tapi tak lama mereka juga sudah mengaduh di lantai.
Tinggal Maria yang terkaget-kaget melihat kejadian yang diluar perkiraan mereka. Kenyataan kalau Tria jago berkelahi. Ia hanya bisa tetap bersandar di pintu saja.
“Dapat!” tiba-tiba ada sepasang tangan yang mendekapku erat dari belakang. Tangannya cukup kuat khas atlet renang yang terlatih. Aku tidak bisa bergerak karena tangaku terjepit disisi tubuhku.
“Bagus, Ambar...” kata Maria mulai kembali keberaniannya.
“Aduh!” tak lama Ambar mengaduh kesakitan karena hidungnya kuhantam dengan belakang kepalaku hingga dekapan kuatnya pada tubuh dan tanganku lepas. Dan sejurus kemudian jidat Maria juga kubenturkan dengan keningku.
Keduanya terhuyung-huyung mundur. Darah keluar dari hidung Ambar dan memercik di seragamnya. Ia terduduk kembali di lantai dan memegangi hidungnya. Maria terjajar kembali ke pintu.
“Kalau kalian mau maen keroyokan begini... setidaknya bawa orang yang lebih banyak... Atau sekalian minta bantuan dari klub karate... Aku tidak takut!” kataku di depan muka Maria. Jidatnya merah bekas kuhantam tadi.
“Apa maumu sebenarnya? Mentang-mentang kau ketua klub renang... Trus kenapa? HAH?” hardikku. Dia tidak tahu berhadapan dengan siapa. Wujudku memang perempuan tapi mentalku tetap lelaki. Memang tidak adil, sih.
Maria tidak bergeming. Mata kami masih berpandangan tajam saat aku menyandarkan tanganku di samping pipinya. Ia tidak mau kalah dariku. Tak sekalipun ia mau berkedip walau aku tahu itu sulit. Kedua matanya mulai lembab dan merah.
“Jadi bagaimana? Kubilang nanti malam akan kucoba lagi ke kamarmu... kalian malah memperlakukanku seperti ini... Kalian pikir semua orang bisa kalian perlakukan semena-mena seperti ini... Aku tidak! Ingat itu!” kataku luluh dan mengendur.
Kubuka pintu yang masih disandari Maria dengan paksa hingga tubuhnya terdorong pintu. Kelima temannya masih terduduk di lantai memegangi bagian tubuhnya yang kesakitan.
Saat kuturuni tangga baru kusadari kalau kain lengan kiri seragamku sobek. Mungkin akibat pergumulan tadi atau saat paksaan di perjalanan kemari.
Yah... Sudah jam 8 lagi. Kalau balik ke kamar untuk ganti seragam terus ke lapangan upacara, sudah tidak terkejar lagi. Kegiatan pertama hari ini adalah upacara bendera di bagian depan gedung sekolah lalu pelajaran Bahasa Indonesia jam 9. Upacara bendera juga merupakan penyambutan semester genap ini dan kata sambutan dari kepala sekolah, para guru dan perwakilan siswi.
Upacara bendera pasti sudah dimulai dari tadi dan aku terpaksa melewatkannya untuk mengganti pakaian seragamku yang robek ini. Pakaian baru sudah sobek. Nasib...
Sepertinya ada orang di dalam kamar... Apa Hera dan Meisya... Mereka juga tidak ikut upacara? Pasti mereka lagi indehoi berduaan.
Saat keduanya bergumul, mereka tidak menyadari keberadaanku yang tidak masuk lewat pintu—melainkan menembus dinding dengan kekuatan SHADOW GEIST. Aku menonton mereka bercinta dengan duduk saja di atas ranjangku sendiri.
“ASTAGA!” kaget Hera menutupi tubuhnya dan tubuh Meisya dengan selimut setelah beberapa waktu mereka selesai bercinta. Baru ia menyadari keberadaanku saat aku sedang memperhatikan kain lengan seragamku yang robek.
“Kapan elo masuk, Tria?” tanya Hera basa-basi sambil memakai kembali seragamnya yang berserakan di lantai. Begitu juga Meisya. Keduanya melakukannya dengan buru-buru.
“Baru aja... Aku gak ikut upacara... Bajuku robek...” jawabku bangkit dari ranjangku dan membuka lemari, mengambil baju seragam lainnya lalu menggantinya di depan mata mereka.
“Santai aja... Aku kan udah tau semuanya...” kataku setelah selesai berganti pakaian.
“Oh, iya, Tria...” kata Hera mengambil sesuatu dari lemarinya. “Ini pakaian renang klub... Ukuran M cukup, kan? Kita rutin latihan tiap hari Selasa dan Kamis setelah jam sekolah... jam 4 sampai 6 sore... dan setiap hari kalau ada keperluan khusus... seperti kejuaraan atau turnamen...” kata Hera agak gugup awalnya dan mulai tenang di pertengahan.
“Bagus, ya? Warna kuning begini...” kataku menerima pakaian renang one piece itu dan mematutnya di depan tubuhku. Ada bordiran logo sekolah Hati Murni di dada kanan. “Tapi aku baru saja menghajar Maria dan lima anggota klub lainnya di loteng sana... Apa aku masih bisa jadi anggota?” tanyaku tenang.
“Hah?” kaget Hera. Meisya hanya bisa menutupi mulutnya.
“Kalian berdua liat, kan aku dibawa mereka dari kantin tadi waktu sarapan...” kuingatkan keduanya tentang kejadiannya.
“Aku tidak tau bagaimana kalian biasanya memperlakukan anggota baru... tapi aku tidak terima kalian perlakukan seperti itu...” kusampaikan semuanya dengan nada datar saja. Seperti semua ini bukan masalah besar.
“Jadi mulai besok, ya latihannya? Aku akan datang... Makasih, ya seragam renangnya...” ujarku selesai. Aku kemudian keluar kamar dan menuju kelas bahasa Indonesia yang akan dimulai beberapa menit lagi.
Sekolah ini tidak terlalu jelek juga. Apalagi semua muridnya adalah siswi perempuan melulu, jadi tidak akan dijumpai kenakalan siswa cowok khas sekolah biasa. Siswi perempuan akan cenderung merasa tenang dan tertib tanpa provokasi dan kooptasi siswa cowok.
Pakaian seragam sekolah ini disediakan pihak Hati Murni. Kemeja lengan pendek berwarna putih dengan logo sekolah di kantung dada sebelah kanan dan rok sejengkal di atas lutut lipit-lipit berwarna maroon kotak-kotak. Sepatu kulit berhak tebal berwarna hitam dan kaus kaki putih tinggi sampai setengah betis adalah kewajiban yang harus dikenakan setiap hari oleh semua siswi.

Pemandangan segar untuk beberapa gelintir kaum Adam yang ada di sekolah ini. Termasuk aku sendiri. Rok pendek, betis, paha dan lengan terbuka adalah yang selalu ada sejauh mata memandang. Berbeda jauh dengan sekolahku yang campuran siswa dan siswi. Banyak juga yang memakai rok panjang dan juga jilbab.
Beberapa kali aku harus memperkenalkan diri sebagai siswi baru di beberapa kelas. Kelas bahasa Indonesia, Fisika, Matematika dan bahasa Inggris.
Semuanya berjalan lancar dan biasa-biasa saja dan sekarang waktunya istirahat. Semuanya bergerak bersamaan, keluar dari ruangan kelas dan menuju kantin untuk makan siang. Waktu yang diberikan adalah satu jam.
Lalu terdengar pengumuman dari speaker yang ada di langit-langit. Ada namaku disebut-sebut diantara beberapa nama yang diminta ke ruangan lab bahasa untuk menjumpai pak Tirto.
“Ada apa, ya?” heranku.
Setelah bertanya pada beberapa siswi cantik, aku akhirnya sampai ke lab bahasa itu. Lab ini ada di level 2 dekat dengan kelas bahasa Indonesia-ku tadi.
Pak Tirto adalah satu dari hanya 4 guru dan staf pria yang ada di sekolah Hati Murni ini. Pria itu sudah cukup tua dan termasuk guru senior di sini.
Lab bahasa adalah tempat yang bersih sehingga semua harus membuka sepatu kalau memasuki tempat ini. Ada 5 pasang sepatu yang diletakkan di rak sepatu. Sudah ada yang datang?
Saat aku masuk dan celingak-celinguk–liat keadaan, benar saja sudah ada beberapa siswi lain di dalam lab. Keempatnya berdiri dengan gelisah di depan deretan meja-meja lab bahasa ini. Yang kelima pasti sedang di dalam ruangan satunya bersama pak Tirto dengan pintu tertutup.
Ruangan kecil di dalam lab bahasa yang dijadikan ruangan kantor oleh pak Tirto sebenarnya hanyalah ruangan sparepart lab bahasa. Lab bahasa ini dilengkapi layar beserta proyektor dan 50 meja audio-visual untuk pelajaran bahasa.
Kudekati keempat siswi itu dan berkenalan. Tiga siswi dari kelas 10 termasuk yang sedang di dalam, 1 dari kelas 11 dan satu lagi dari kelas 12 seperti aku juga.
Ketiga junior kami ini kelihatannya sangat ketakutan. Sementara aku dan Lusi (siswi kelas 12) baru pertama ini dipanggil kemari. Mereka hanya menjawab kalau kami bertanya. Lama kelamaan ketiganya semakin menjauh hingga kami membentuk dua kelompok berdiri.

Lusi
“Ada apa, ya Tria?... Kok kita dipanggil kemari? Apa karena nilai bahasa Indonesia-ku semester lalu jeblok?” tebak Lusi. Siswi ini cantik dengan tubuh sempurna, alis mata indah dan rambut yang dirawat bagus bercat kemerahan. Tipe gadis populer di tiap sekolah.
“Aku kurang ngerti... Lha aku baru mulai masuk hari ini, kok...” jawabku tak tahu apapun. “Mereka ini kayaknya udah sering kemari...” kataku tentang ketiga siswi kelas 10 dan 11 itu.
“Mereka kayak ketakutan gitu, ya?” kata Lusi.
Belum sempat aku menjawab komentar Lusi barusan, pintu kantor pak Tirto terbuka perlahan dan seorang gadis keluar dari sana–berlari sambil menutupi mulutnya. Matanya berlinangan air mata.
“Habis dimarahi, ya?” komentar Lusi saat siswi kelas 10 itu lewat di depan kami. Ia tidak merespon melainkan terus lari menuju pintu keluar lab.
“Sekarang kalian berdua... Kelas 12, kan?” kata seorang bapak tua yang menyembulkan kepalanya keluar dari balik pintu. Lelaki berumur 50-an tahun itu berambut putih hampir di seluruh kepalannya.

Tirto
“Iya, pak...” jawab aku dan Lusi hampir serentak. Aku dan Lusi bergerak masuk ke ruangan itu. Lusi dengan percaya diri berjalan lebih dahulu di depanku. Rok kotak-kotak Lusi bergoyang tiap langkahnya. Seragam miliknya sepertinya lebih pendek dari kebanyakan siswi lain. Sekitar sejengkal di atas lutut. Mempertontonkan pahanya yang putih mulus. Kemeja putihnya juga ngepas dengan tubuh remajanya hingga lekuk tubuhnya tercetak jelas di bahan kain putih itu. Apalagi dadanya mendongak mencuat dan menantang dunia dengan ukuran 32C. Mungkin ia akan mendapat teguran karena masalah seragam ini.
Ruangan kecil berukuran 2x3 meter ini memang sangat sempit. Di atas dan kanan kiri meja pak Tirto dipenuhi rak-rak sparepart laboratorium bahasa. Ia memaksakan meja kecil penuh dengan buku-buku teks pelajaran masuk ke dalam ruangan ini. Di dinding juga digantung beberapa foto para siswi terdahulu dimana ia pernah berfoto bersama. Hanya ada satu foto ia bersama istrinya. Foto ini masih lumayan baru.
Kami berdua berdiri di depan meja menghadap pak Tirto yang duduk di kursinya. Tidak ada kursi lain di ruangan ini karena memang tidak akan muat lagi. Punggung kami berdua saja sudah hampir menyentuh rak yang dipenuhi barang.
“Kamu Lusiana... dan kamu Satryani, kan?” lirik pak Tirto sambil terus memeriksa kertas-kertas berkas di dalam folder map.
“Iya, pak... Saya Lusiana...” jawab Lusi. Aku diam saja. Cuma ada dua pilihan, kan? Aku sudah pasti yang Satryani–nya.
Dipandangi kami berdua bergantian dari kepala sampai pinggang. (Karena terhalang tinggi meja. Kalau tidak ada meja ini pasti sampai ujung kaki yang dilihatnya) Ia memperhatikan Lusi agak lama, yang berdiri berjingkat bergantian–kanan dan kiri dengan tangan bermain jari didepan. Dengan imut dan manja. Ini jurus andalannya kalau bertemu lain jenis tak perduli tua atau muda. Caranya menghadapi untuk menaklukkan dan mengambil hati pria.
Sepertinya pak Tirto lebih tertarik pada Lusi yang berpenampilan lebih segar dan modis dibanding aku yang biasa-biasa aja. Mungkin aura maskulin-ku masih lebih menonjol dari pada penampilanku saat ini.
“Satryani... Kamu tunggu dulu di sebelah sana, ya?” perintah bapak tua ini padaku. Sepertinya ia akan berurusan dengan Lusi terlebih dahulu. Ia menunjuk sudut ruangan, disamping rak peralatan lab.
“Di sini, pak?” tunjukku begitu sampai sudut.
“Ya... Dibaliknya... Ya... Betul disitu... Tunggu dulu disitu dan diam saja!” katanya memastikan posisiku tepat dimana ia mau. Gila aja guru tua ini! Masa aku disuruh ngumpet dibalik rak yang tidak rapat ke dinding ini. Didepanku ada beberapa jas lab putih panjang yang digantung dan menutupi pandanganku ke meja dimana ia duduk. Aku tersembunyi dengan sempurna disini. Seperti aku tidak ada saja.
Kalau dalam keadaan seperti ini, ia sedang memberikan semacam shock terapi pada kami berdua agar patuh dan menurut apapun yang ia mau. Terapi kejut? Apa yang ia mau?
“Berdiri saja di sana dan diam!” katanya melotot begitu aku coba mengintip apa yang ia lakukan bersama Lusi. Ia menungguku melongokkan kepalaku. Ia tahu persis kalau aku akan melakukan itu.
Cepat-cepat aku kembali berdiri tegak. Guru tua brengsek!
“Lusiana... Kamu anak sulung dari tiga bersaudara... Hanya papamu yang bekerja sebagai pegawai swasta dan beberapa tahun lagi pensiun... Apa rencanamu setelah tamat tahun ini?” mulai pak Tirto mewawancarai Lusi yang berdiri di depannya.
“Rencana saya... saya ingin masuk Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, pak... Agar saya bisa bisa bekerja di perusahaan...”
“Bagaimana Lusi bisa melanjutkan sekolah di sana kalau kelulusanmu saja sangat sulit...” potongnya. Lusi terdiam. Setidaknya aku tidak mendengar apa-apa karena aku hanya bisa mendengar diskusi mereka.
“Papamu sebentar lagi pensiun... Uang pensiunnya hanya akan cukup untuk biaya makan sehari-hari dan sekolah kedua adikmu di sekolah negeri biasa... Tidak untuk kuliahmu yang bapak yakin akan sangat mahal...” lanjut pak Tirto.
“Kau sudah memikirkan itu?” tanyanya kembali. Lusi hanya bungkam tak bersuara.
“Sementara itu Lusi hanya banyak bermain di klub Cheerleader itu... Membuang-buang waktu... Liat... Nilai semester ganjil-mu kemarin rata-rata C... Bahkan nilai bahasa Indonesia-mu dengan bapak malah dapat C minus... Mana tanggung jawabmu...” kotbah pak Tirto.
“Mana tanggung jawabmu pada kedua orang tuamu... Biaya sekolahmu di sini tidak murah, loh? Mahal, kan?” tekan pak Tirto terus.
“Sebagai ketua dewan guru juga saya sangat berat untuk memberikan rekomendasi beasiswa untuk kau melanjutkan kuliahmu itu... Lusi pernah mengajukan formulir beasiswa ini, kan?” sambung pak Tirto terus memberi wejangan. Ditunjukkan selembar formulir permohonan beasiswa.
“Apa saya tidak bisa dibantu, pak?” terdengar suara Lusi pelan dan lirih.
“Dibantu? Bagaimana cara saya bisa membantu kamu dengan nilai-nilai semester seperti ini? Apa Lusi pikir saya bisa sulap... Wushh... Nilai-nilai kamu ini langsung berubah jadi A semua... Begitu?” sergah pak Tirto.
“Ngg... Tidak tau, pak... Tapi tolong, dong, pak?” melas Lusi. Suaranya semakin manja dan menghiba.
Kemudian keduanya hening. Aku hanya mendengar bisikan-bisikan tidak jelas dan gesekan sol sepatu sekolah Lusi di lantai keramik. Apa yang keduanya lakukan?
Aku tidak mau mengambil resiko dibentak guru tua itu lagi karena mencoba mengintip. Aku punya solusi jitu untuk masalah ini. Kugunakan mata XOXAM sebagai perantaraku. CORE utamaku ini bisa bertindak sebagai mataku tanpa bisa terlihat kalau perlu.
Lusi sekarang berdiri tepat di samping kanan pak Tirto yang sedang menjelaskan sesuatu padanya dengan suara sangat perlahan. Mungkin supaya aku tidak dengar karena guru tua itu berkali-kali melirik ke tempatku berada.
“... bapak bisa bantu Lusi dengan nilai-nilaimu yang jelek ini... Nilaimu ini bisa bapak ganti menjadi A+ sekalipun... Tapi... ada tapinya, ya? Lusi harus bantu bapak juga...” bisik pak Tirto perlahan sekali. Hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya. Tapi XOXAM-ku juga bisa.
“Kalau Lusi bisa... Lusi bantu, pak...” setuju Lusi mendapat titik cerah bantuan yang diperlukannya untuk masa depannya. Wajahnya kembali berseri-seri setelah sempat gundah.
Kembali ia mengintip dimana aku berada. Ia memperbaiki posisi duduknya hingga leher dan punggungnya lebih bersandar di sandaran kursi.
Lusi hanya bisa melihat dengan nafas tertahan melihat guru tua itu menurunkan restleting celana panjangnya dan meraih sebelah tangan Lusi yang putih halus.
“Sini...” diarahkannya telapak tangan kiri gadis cantik itu memasuki restleting celana panjang. Tiba-tiba tangan Lusi menegang kaku. Tapi pak Tirto sudah mengantisipasinya dengan mencengkram lengan gadis itu dan tidak bisa menghindar.
“Pak... Jangan, pak?” melas Lusi lemas. Tangannya sudah menjamah kerasnya batang kemaluan lelaki tua sebaya bapaknya itu. Guru mesum itu terus memaksa Lusi untuk menggenggam kemaluannya di dalam celananya yang kini menggembung penuh tangan Lusi.
“Bapak akan ganti semua nilaimu jadi A+... Cuma pegang saja, Lusi... Nah... Begitu... Terus... Ini mudah saja, Lusi...” rayu pak Tirto semakin bersemangat.
Wajah cantik Lusi yang tadinya manja dan bersemangat kini terlihat pucat pasi. Air mata mulai membasahi matanya yang besar dan berkornea coklat. Ia membuang pandangannya jauh-jauh. Jijik dengan dirinya dan guru tua kurang ajar ini.
Pak Tirto menggesek-gesekkan tangan halus Lusi ke kemaluannya. Merasakan jari lentik remaja itu di batang tua keriputnya yang sudah menegang. Sekali-kali jembut berubannya tertarik terjepit gerakan liarnya, memberi sensasi tambahan yang segera membuatnya semakin mendekati awang-awang.
“Oohh!... Oohh!... Ohh!” keluhnya pelan tertahan saat ia menyemprotkan cairan kental itu ke tangan Lusi. Cairan hangat itu berlepotan di telapak tangan Lusi yang membuatnya terlonjak kaget.
Merasakan nikmat yang amat sangat, pak Tirto melonggarkan cengkraman tangannya pada lengan Lusi sehingga mangsa mudanya ini bisa melepaskan diri dan secepatnya keluar dari ruangan itu.
Untuk beberapa lama, pak Tirto tetap bersandar di kursinya dan membersihkan kemaluannya dengan tisu. Ia masih menikmati kejadian barusan. Ia tidak merasa perlu untuk memperingatkan Lusi agar tidak memberitahu siapapun tentang kejadian barusan atau nilai-nilainya menjadi taruhan.
Kemudian diperbaikinya posisi duduknya dan dinaikkannya kembali restletingnya. Diambilnya folder map milikku.
“Satryani... Sekarang giliranmu...” katanya berusaha bersuara wibawa seperti biasa. Giliranku dikerjai, nih.
“Saya, pak...” jawabku keluar dari tempat persembunyianku dan memposisikan diri di tempat Lusi barusan. Di depan meja.
“Satryani... Kamu pindahan dari sekolah mitra Hati Murni di daerah, ya?” katanya mulai dengan interview standarnya.
“Iya, pak...” jawabku.
“Kamu sering pindah-pindah sekolah karena orang tuamu juga sering pindah tugas... Benar begitu?” lanjutnya. Ia hanya membaca dataku tanpa melihatku sama sekali. Seolah-olah tak tertarik dengan masalahku.
“Iya, pak...” jawabku pendek.
“Jadi kenapa tadi Satryani tidak ikut upacara bendera?” tanya pak Tirto tembak langsung.
“Upacara?” kagetku. Ternyata masalah upacara bendera yang dipermasalahkannya sebagai alasan. Ini buntut pertikaianku dengan klub renang kalau begitu.
“Sakit perut, pak...” jawabku asal.
“Sakit perut? Kenapa tidak ada laporan dari klinik sekolah kalau kamu sakit perut?” tanya pak Tirto menyelidik.
Aku mulai gelisah.
“Saya... saya tidak ke klinik, pak... Saya hanya minum obat yang saya bawa sendiri... Kalau gelisah saya sering mules, pak... Terlalu tegang dengan sekolah baru...” jawabku tambah ngawur.
“Gelisah? Seperti sekarang ini?” katanya rupanya memperhatikan bahasa tubuhku yang seperti cacing kepanasan. Aku mendesis-desis seperti kepedasan makan sambal cabai level neraka.
“Iya, pak... Ini mules lagi perut saya...” kataku menambah gerakan mengurut perut yang sakit.
“Sakit perut lagi?” herannya.
“Iya, pak... Aduh... Gak tahan, pak... Tuh... Tuh... Hampir keluar, pak...” kataku menjadi-jadi isengnya. Aku malah memegangi pantatku sekarang.
“Ya, sudah kamu keluar sana! Nanti berceceran di kantor saya...” usirnya jijik dengan tingkahku.
Aku langsung cabut dari ruangan sempit itu dengan bebas. “Satryani... tolong panggil yang bernama Irene masuk...” pesannya sebelum aku hilang melewati pintu.
“Iya, pak... Aduuhhh...” lanjutnya dan lenyap. Kuhampiri tiga siswi junior-ku yang duduk di kelas 10 dan 11. “Yang mana yang namanya Irene? Disuruh masuk, tuh...” kataku pada semuanya. Lusi tidak ada di sini. Pasti ia sudah kabur ke kamar mandi untuk membersihkan tangannya yang bernoda sperma.
Dua siswi menatap penuh iba pada seorang temannya yang berdiri paling kiri. Dia yang pasti bernama Irene. Dengan lemas ia berjalan lunglai menuju pintu neraka itu.
Ini pasti bukan kali pertama mereka mengalami pelecehan ini. Siswi pertama yang kami jumpai lari dari ruangan itu juga baru saja mendapat perlakuan yang sama. Entah apa yang sudah dilakukan pak Tirto padanya. Seperti yang juga sudah dialami Lusi.
Enak betul guru tua mesum itu. Awalnya cuma disuruh pegang. Berikutnya disuruh ngemut. Terus buka baju sampai bugil. Lalu disodok. Keenakan banget dia!

TEEEET! TEEEET! TEEEET! TEEEET!

Begitu suara lengkingan bising ini berulang-ulang di seantero bangunan sekolah dan asrama. Dari speaker di langit-langit lorong gedung meneriakkan suara alarm kebakaran. Memberi peringatan agar seluruh penghuni gedung melakukan evakuasi.
Kontan seluruh isi gedung ini melakukan evakuasi dengan tertib dan berkumpul di tempat yang aman yaitu lapangan tempat tadi pagi dilakukan upacara bendera. Jalur-jalur evakuasi dipenuhi siswi dan guru beserta staf Hati Murni.
Aku juga melihat pak Tirto di antara semua yang mengevakuasi diri. Wajahnya terlihat pucat dan ketakutan. Takut mati juga, ya?
Para petugas security kemudian melakukan pemeriksaan ke dalam gedung dengan membawa tabung racun api untuk bersiaga atas bahaya kebakaran.
Tapi aku tahu pasti kalau mereka tidak akan menemukan titik api karena memang tidak ada. Itu hanya kejahilanku saja yang menarik tuas lever alarm yang tertutup kaca pelindung dengan bantuan tenaga XOXAM. Kalau ini terjadi, ketiga siswi malang di laboratorium bahasa, bisa selamat dari kebuasan pak Tirto kali ini.
Semua siswi dan pengajar diminta menunggu selama satu jam untuk benar-benar memastikan tidak api di kompleks sekolah. Semuanya tetap berkumpul di lapangan ini untuk menunggu instruksi selanjutnya. Terbayang betapa bisingnya lapangan saat ini. Ratusan siswi berbagai umur berkumpul menjadi satu dengan berbagai masalah dan pribadi.
Selama itu, tak satupun anggota klub renang yang mendekatiku. Mereka berkumpul di satu tempat dan membentuk lingkaran besar tersendiri yang eksklusif. Ada juga lingkaran lain yang dibentuk klub lainnya. Lebih baik aku bergabung dengan 10% komunitas siswi yang tak tergabung dengan klub manapun.
“Gimana, Tria? Berhasil?” tanya Deswita begitu aku berhasil menemukannya di sebaran siswi 10%.
“Berhasil... Kau mau liat rekaman video-nya?” tawarku.
“Wah? Ada rekamannya?” serunya lirih penuh kaget. Ia tak percaya aku berhasil melakukan niatku tadi malam untuk mengintip affair pak Wahyu. “Rekaman dengan siapa? Bener, nih?”
“Di sini masih terlalu rame... Nanti malam aja di kantin... OK?” kataku. Kami berdua terdiam kala objek pembicaraan kami melintas di depan para siswi. Banyak pasang mata yang juga melihat.
Pak Wahyu berjalan dengan anggun dan gagahnya di depan para siswi yang memujanya bak superstar. Di terangnya siang hari, memang sangat tampan guru satu ini. Kulitnya putih bersih dan jangkung dengan otot yang kekar. Cocok dengan jabatannya sebagai guru olah raga. Kumis dan cambangnya dicukur klimis hingga meninggalkan bayangan kehijauan di wajahnya.
Wah! Tebar pesona banget nih orang. Norak malah.
Tak lama, terlihat pak Bagas menaiki podium yang biasa dipakai oleh pembina upacara. Ia sepertinya akan mengumumkan sesuatu.
“Tidak ada api yang ditemukan... Semua sudah aman. Harap kembali ke kelas masing-masing dengan tertib. Dipersilahkan...” katanya langsung turun setelah mematikan mic-nya.
Kami berbondong-bondong kembali masuk ke dalam gedung dan meneruskan jadwal kelas yang tertunda.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd